You are on page 1of 43

AGAMA

Agama merupakan gejala yang boleh dikatakan universal dalam


hidup manusia.
TEMPAT DAN ASAL AGAMA
• Agama asli atau agama pribumi : agama yang lahir dan berkembang dalam
suatu kelompok, suku, atau masyarakat tertentu.
Agama asli ini tidak terpisah dari adat-kebiasaan, budaya, dan cara hidup
masyarakat yang menganutnya  agama keluarga, suku, bangsa

• Agama universal: agama yang tumbuh dan berkembang di luar kelompok,


suku, atau masyarakat yang menganutnya.
Cara masuk: lewat penyebaran oleh para penyebar atau pun pemaksaan oleh
para penjajah.
INTI AGAMA
• Semua agama pada dasarnya mempercayai, meyakini, dan berpegang pada
“Hal yang sama”, yaitu “Realita”, “Zat”, atau “Sesuatu” yang paling tinggi.
• Agama-agama universal: Tuhan, Alloh, God, Deus, Theos
• Realitas yang tertinggi itu dipahami sebagai “Yang Suci”
 Asal, penyelenggara, dan tujuan hidup
 Tanpa diadakan, mandiri, tanpa bergantung pada pengada yang lain
 Dia mengatasi dan ada di atas, transenden (transcendens), tetapi
sekaligus dia dekat, bahkan berada, imanen (immanens) pada segala
makhluk.
 Dia menyelenggarakan dan mendukung keberadaan segala sesuatu
STRUKTUR AGAMA
1. Segi eksistensial (menyangkut keseluruhan hidup): terjelma dalam iman dan
kepercayaan. Oleh iman, Tuhan diterima dan diakui sebagai satu-satunya
Realita yang disembah. Iman itu berdampak pada : cipta, rasa, karsa, karya,
dan hidup manusia
2. Segi intelektual (menyangkut pemahaman): menyentuh pengertian
mengenai Tuhan. Di sini, hakikat dan sifat-sifat Tuhan dimengerti dan
dirumuskan dalam pernyataan-pernyataan, ungkapan-ungkapan, dan kata-
kata yang dapat dipahami.
3. Segi institusional (menyangkut kelembagaan): berurusan dengan
kelembagaan dan pengorganisasian agama. Fungsi lembaga: menjaga iman-
kepercayaan dan pemahaman akan Tuhan. Mengembangkan iman dalam
hidup konkret. Dan meneruskan dari satu angkatan ke angkatan yang lain.
4. Segi etikal (menyangkut perwujudan iman): mengungkapkan iman kepada
Tuhan dan mewujudnyatakan dalam perilaku sehari-hari
MENGAPA MANUSIA BERAGAMA?

1. Mendapat keamanan
2. Mencari perlindungan
3. Menemukan penjelasan
4. Memperoleh pembenaran Praktik kehidupan
5. Meneguhkan Tata Nilai
6. Memuaskan Kerinduan
Mendapat Keamanan
• Manusia harus berhadapan dengan berbagai peristiwa alam (bencana),
peristiwa sosial (pencurian, perkosaan, pembunuhan, dll), peristiwa kesusahan
(sakit, kematian).
• Berbagai pencegahan dan pengendalian sudah diupayakan manusia untuk
menghadapi peristiwa-peristiwa tersebut. Tetapi, tetap saja peristiwa yang
menyebabkan derita ada dalam kehidupan manusia. Bahkan, kadang berbagai
alat pencegahan dan pengendalian tidak mampu untuk mengatasinya.
• Dari situasi ini, manusia berpaling kepada agama. Manusia datang kepada
Tuhan, Sang Pemberi dan Pemelihara kehidupan.
Mencari Perlindungan
• Berhadapan dengan bencana alam, derita penyakit, aneka kejahatan, hidup
manusia penuh ketidakpastian.
• Manusia tidak menemukan sesuatu yang sungguh-sungguh dapat diandalkan.
Alat atau perlindungan orang pun tidak selamanya bisa menjamin
perlindungan manusia sehingga terbebas dari aneka peristiwa kehidupan yang
tidak diharapkan.
• Dalam keadaan ini, manusia lari kepada agama. Karena, manusia datang
kepada Tuhan, Sang Penyelenggara Kehidupan yang dapat diandalkan.
Manusia menyerahkan hidupnya kepada Tuhan, sumber kepastian dan
pegangan.
Menemukan Penjelasan
• Manusia lahir dan hadir di dunia tanpa dikehendaki dari dirinya sendiri. Padahal,
dalam kehidupan, manusia dipenuhi berbagai pertanyaan fundamental yang
menuntut penjelasan.
• Dari mana asalnya? Untuk apa hidup? Mengapa manusia harus mati? Bukannya
manusia tetap harus berkarya, bukannya sakit? Mengapa ada penderitaan dan
kesusahan dalam hidup ini? dll
• Baik ilmu, ahli, orang berpengalaman berusaha memberi jawaban, tetapi toh tidak
memberi jawaban yang memuaskan. Agama bergerak di bidang misteri kehidupan,
berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan fundamental.
• Tuhan diakui dan diyakini sebagai asal dan tujuan kehidupan. Maka, manusia
mengacu kepada agama untuk mencari kejelasan atas makna hidup dan alam raya.
Memperoleh Pembenaran Praktik Kehidupan
• Dalam masyarakat, terdapat praktik-praktik hidup yang baik dan berguna. Misal:
rajin, tolong-menolong, sopan-santun, dll
• Praktik-praktik hidup baik tersebut memiliki daya Tarik dan dorong agar orang
melaksanakannya. Tetapi, agar lebih tergerak lagi, hidup ini ditambahkan motivasi
agama.
Contoh slogan: Ora et Labora, sopan santun bagian dari ibadah, dll
• Semua motivasi keagamaan amat bermanfaat dalam melaksanakan, melestarikan,
dan mengembangkan praktik-praktik kehidupan yang baik.
• Catatan: ada bahaya agama dijadikan tutup/kedok bagi praktik-praktik yang
sebetulnya hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Contoh: feodalisme (menguntungkan kelompok atas)…semua sudah ditentukan dari
atas…raja titisan dewa, dll.
Meneguhkan Tata Nilai
• Dalam masyarakat terdapat berbagai nilai kehidupan etikal dan moral.
• Sebetulnya segala nilai dari dirinya sendiri sudah memiliki kekuasaan untuk menarik
dan mendorong orang untuk mempertahankan, memiliki, menghayati dan
memperkembangkan. Namun, agar lebih terdorong ‘memeluk’ nilai itu, manusia
membutuhkan motivasi lain termasuk motivasi keagamaan.
Contoh: mencuri…mencuri dijadikan larangan agama
jujur…jujur dimasukkan dalam lingkup Tuhan (pahala, anugerah)
• Berkat agama, nilai jahat dan nilai baik dihindari dan dipeluk, bukan hanya karena
jahat atau baik, tetapi juga karena dilarang dan diperintah agama. Berkat agama,
manusia mendapat kekuatan, dorongan, dan pemantapan dalam pelaksanaan nilai
kehidupan.
Memuaskan Kerinduan
• Manusia tidak pernah puas. Manusia selalu mau memenuhi kebutuhan
jasmani, inderawi, duniawi, dan mental. Manusia selalu ingin lebih.
• Manusia tidak puas dan tidak merasa cukup dengan nilai manusia, seperti
kebaikan, kejujuran, keadilan, cinta kasih. Dia ingin juga ingin memuaskan
nilai adikodrati atau nilai rohani yang dapat menjadi hasratnya yang paling
dalam. Manusia belum merasa tenang, sebelum menemukan harta rohani,
yaitu Tuhan sendiri.
• Banyak usaha ditempuh untuk memuaskan kerinduannya akan Tuhan dalam
agama. Dalam agama, Tuhan disembah, dimuliakan, dan diagungkan.
• Meski banyak hambatan, manusia akan terus mencari Tuhan, dan agama
dilihat sebagai jalan yang penting untuk menjawab kerinduan itu.
PAHAM TENTANG TUHAN
PAHAM MONOTEISME
• Monos (Yun.): tunggal, sendirian, satu-satunya, tak ada yang lain; Theos (Yun.):
Tuhan.
• Monoteisme: Tuhan itu hanya satu, Tak ada Tuhan selain Allah. Tuhan itu
transenden, mengatasi segala yang ada. Namun bersamaan itu pula, Tuhan itu
imanen, ada dalam segala. Keberadaan-Nya memberi dampak bagi keberadaan
segala yang ada.
• Segala yang ada mendapat berkat-Nya, segala yang ada diberikelangsungan hidup
dari-Nya, dan segala yang ada menuju ke tujuan akhirnya, yaitu bersatu dengan-Nya.
PAHAM POLITEISME
• Polys (Yun.): banyak atau beberapa. Theos (Yun.): Tuhan.
• Politeisme: paham yang mengimani dan memuja banyak Tuhan, banyak dewa.
• Paham dulu: politesme adalah adalah awal keyakinan agama, yang kemudian
berkembang dan pada akhirnya berarkhir serta memuncak pada monoteisme
(bdk. Teori evolusi agama)
• Paham mutakhir (kelompok historiko-fenomenologis): monoteisme
merupakan paham awal dan asli yang kemudian berkembang menjadi paham
politeistis. Faktor utama yang membawa perubahan pandangan tentang
Tuhan dari monoteisme ke politeisme adalah perubahan cara hidup dan
budaya manusia.
• Ketika cara hidup dan budaya berkembang dari bentuk pengembara
(nomadis) menjadi penggembala (pastoral), peranan Tuhan sendiri berubah.
• Budaya nomadis: peranan Tuhan terasa sentral. Budaya pastoral: peranan
Tuhan terasa merosot. Peranan Tuhan ‘kalah’ dari peranan kekuatan-kekuatan
langit yang dapat mengubah musim, iklim dan cuaca, dan medatangkan
hujan, halilintar, petir, angina, dan taufan. Kekuatan langit itulah yang
disembah, dipuja, dan diberi nama dewa-dewi.
• Jika, dewa-dewi, tidak mampu mengatasi penderitaan, wabah, dan kesulitan,
manusia lalu berpaling lagi kepada Tuhan, Sang Penguasa kehidupan (bdk.
budaya gembala, agraris yang menyembah kekuatan-kekuatan yang
berhubungan dengan tanah dan kesuburan).
HUBUNGAN TUHAN
DENGAN CIPTAAN
ada yang menganut: monism, dan ada yang mengikuti dualisme
Monisme
• Monisme (Yun.): monos: tunggal, sendirian, satu-satunya.
• Menurut Monisme: hanya ada satu kenyataan. Kenyataan itu bersifat roh (segala-
galanya adalah roh) dan bersifat benda (segala-galanya adalah benda). Monisme roh
melahirkan paham panteisme.
• Panteisme (Yun.): Panta: segala dan Theos yang berarti Allah, Tuhan. Menurut
panteisme, segala yang ada hanyalah cara (modus) Tuhan berada. Tuhan menjadi
prinsip pemersatu dari segala yang ada. Paham panteisme ini meniadakan
keunggulan atau transendensi Tuhan. Pada gilirannya, pandangan ini dapat
menyamakan Tuhan, Realitas Tertinggi, dengan sehala yang ada, segala ciptaan,
dunia.
• Dari pandangan Panteisme, muncullah paham panteisme benda (monisme
benda). Salah satu bentuk panteisme benda adalah pankosmisme.
• Pankosmisme (Yun.) Pan: segala, semua, seluruhnya; Kosmos: alam yang
teratur.
Pankosmisme: alam raya dengan segala isinya adalah satu-satunya realitas.
Tak ada realitas lain di luarnya. Akibatnya, Tuhan tidak mendapat
tempatnya. Panteisme benda dalam bentuk pankosmisme berakhir pada
penyangkalan Tuhan (ateisme).
Dualisme
• Duo (Latin), dua.
• Faham dualistis: kenyataan dikendalikan oleh dua prinsip, kekuatan atau
kekuasaan. Dalam paham ini, Tuhan (realitas tertinggi) dan dunia (alam
semesta) masing-masing bergerak menurut azasnya sendiri.
Dua kekuatan ini berjalan menurut kekuatan dan iramanya sendiri.
PENGETAHUAN MANUSIA TENTANG TUHAN
Wahyu Tuhan
• Wahyu Tuhan termuat dalam Kitab Suci. Di antara para penganut, ada yang mendapat
pengetahuan tentang tuhan berdasarkan wahyu, ada yang mengikuti paham fideistis (fideisme),
dan ada yang mengikuti paham tradisionalistis (tradisionalisme)
• Fideisme (Fides. Latin: iman, kepercayaan)
pada hakikatnya manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui apa pun tentang Tuhan
dengan kekuatan sendiri. Untuk dapat mengetahui, Tuhan harus turun tangan. Tuhan
mewahyukan diri kepada manusia. Maka, satu-satunya sumber pengetahuan tentang Tuhan
adalah Wahyu-Nya. Wahyu itu termuat dalam Kitab Suci.
Pengetahuan akan Tuhan hanya dapat dimiliki bila orang percaya kepada isi Kitab Suci.
• Tradisionalisme (trader: menyerahkan, menyampaikan, meneruskan, memberikan)
manusia hanya mungkin mengetahui sesuatu tentang Tuhan bila Tuhan berkenan mewahyukan
diri. Wahyu yang dipercayai adalah wahyu yang diberikan Tuhan kepada manusia pertama, yang
kemudian diturunkan dan disampaikan kepada keturunan mereka, begitu seterusnya. Kritik
terhadap paham ini: karena wahyu yang disampaikan secara turun-temurun, apalagi lisan, maka
sulit mempertahankan kemurniannya.
• Pengalaman
Manusia juga mengenal Tuhan lewat pengalaman hidup. Pengalaman religius adalah
pengalaman yang membawa manusia kepada kepercayaan akan adanya Tuhan.
Pengalaman religius terjadi karena manusia berhadapan dengan peristiwa-peristiwa
alam: apa atau siapa yang menciptakan, siapa yang menyelenggarakan, dll.
Pengalaman religius juga bisa terjadi pada saat manusia mengalami pengalaman
hidup yang penuh misteri: sepi, bahagia, cinta, dll.
Pengalaman religious juga bisa muncul pada wakty manusia mengalami “Yang
Kudus”, sesuatu yang menakutkan (tremendum) tetapi sekaligus menarik
(fascinosum). Berhadapan dengan situasi ini, manusia lalu merasa kecil, lemah, dan
mau bersatu.
GAMBARAN TENTANG ALLAH
1. Gambaran Tuhan ideal: gambaran tentang Tuhan yang disimpulkan dari
bacaan KS yang dilakukan secara lengkap dan benar.
2. Gambaran Tuhan real: gambaran tentang Tuhan sebagaimana ada dalam
benak orang dalam hubungan pribadi dengan Tuhan.
3. Gambaran Than menurut para filsof
AGAMA DAN KITAB SUCI
• Kitab Suci disebut suci karena memuat wahyu Tuhan. Wahyu adalah ajaran,
petunjuk, perintah, yang datang dari Allah dan disampaikan lewat nabi atau
rasul-Nya serta dimaksudkan untuk orang banyak atau segala bangsa.
• Kitab Suci memiliki kewibawaan sebagai pegangan hidup, sumber ajaran etis,
moral, dan keagamaan, dan kriteria menilai hidup beriman dan beragama.
SIKAP TERHADAP KITAB SUCI
• Sikap Legalistik
Pertama-tama, sikap orang legalistik adalah memandang kitab suci sebagai
hukum. Hidup beragama sebatas ‘melaksanakan hukum agama.’ Dalam
menjalan agama, kelompok ini menjadi minimalis. Mereka melakukan atau
tidak melakukan kegiatan agama, sejauh diperintahkan atau dilarang oleh
hukum agama.
• Sikap Literalistis
dalam menghadapi KS, sikap literalistis hanya memperhatikan huruf-huruf
yang tertulis dan mengartikan isinya berdasarkan arti kata dan kalimat yang
tertulis.
Kaum literalis tidak memperhatikan bentuk-bentuk sastra, konteks bagian-
bagian dalam keseluruhan, struktur teks, situasi historis, dan semangat
zamar waktu teks ditulis. Hanya penafsiran huruf per huruf sajalah
merupakan penafsiran yang paling benar.
• Demitologistis
demitologi: membersihkan Kitab Suci dari unsur-unsur cerita atau dongeng,
untuk menemukan pesan aslinya.
Kritik terhadap kelompok ini: hasil penafsiran mereka menggantikan KS
dari bentuk aslinya. Isi Kitab Suci dipermiskin, dipersempit, dan dibatasi.
Jasa dari kaum demitologis: menyajikan metode untuk menggali isi, maksud,
dan pesan Kitab Suci. Kaum ini berseberangan dengan kaum literalis.
• Sikap egoistis
kaum egoistis mengembangkan pemikiran, gagasan, ide terlepas dari iman
kepada Tuhan dan Kitab Suci.
Kaum egois memanfaatkan KS sebagai dukungan untuk pemikiran,
gagasan, dan ide mereka sendiri. Dalam mengembangkan pemikiran dan
gagasan, kaum egois berjalan menurut logika, analisa, dan kesimpulan
sendiri.
Agama dan Iman
• Iman berarti: mempercayakan diri pada Tuhan sebagai Realitas Tertinggi di
luar diri kita. Kepada-Nya hidup kita bergantung.
• Unsur-Unsur Agama dan Iman: Iman adalah anugerah, Iman adalah
keputusan, Iman adalah Keterlibatan, Iman Tak Pernah selesai, Inti Hidup
Beriman
Iman adalah Anugerah
• Dengan kekuatan sendiri, tak mungkin manusia mengenal dan berhubungan
dengan Tuhan. Maka, iman adalah anugerah dari Tuhan untuk mengenal dan
berhubungan dengan-Nya. Atau dengan kata lain, iman terjadi karena
inisiatif Allah.
• Mengenal apa? Untuk mengenal Sabda, Kehendak, Perintah, dan Diri-Nya
sendiri
Iman adalah Keputusan
• Iman harus memilih. Di tengah-tengah hidup yang diwarnai dengan berbagai
tawaran akan ‘andalan hidup’, manusia harus mengambil sikap: apakah dia
akan mengandalkan Tuhan sebagai dasar dan tujuan hidupnya atau tidak.
• Iman bukan hal yang otomatis, juga bukan secara kebetulan terjadi. Dalam
iman, manusia memahami Tuhan sebagai yang paling dapat diandalkan dan
dapat diharapkan.
Iman adalah Keterlibatan
• Iman embawa akibat pada hidup orang yang beriman. Tidak cukup bila
dengan beriman, manusia sekedar terhenti pada memahami Tuhan dan
mengerti kehendak-Nya.
• Iman mengandung unsur keterlibatan, artinya: Iman membuat manusia
bersedia untul melakukan apa saja yang harus dilakukan dalam kehidupan ini.
Iman tidak hanya menyangkut akal budi (bisa dimengerti), tetapi juga
menyangkut cipta, rasa, karsa, dan karya seturut kehendak-Nya.
Iman Tak Pernah Selesai
• Hidup terus berjalan; zaman terus berkembang. Maka iman pun harus ikut
berkembang juga. Dengan kata lain, iman harus relevan untuk zamannya.
• Orang beriman harus terus-menerus berusaha menemukan kehendak dan
perintah Tuhan dalam situasi zamannya dengan segala tantangannya. Ia
berusaha mencermati zamannya dalam segala aspek dan mencari jawab: apa
kehendak Tuhan bagi hidup manusia.
Inti Hidup Beriman
• Orang beriman bukan saja hanya orang yang rajin berdoa dan tertib mentaati aturan
doa dan ibadat. Orang beriman bukan hanya orang berkelakuan etikal menurut
norma yang berlaku. Orang beriman bukan hanya ditandai oleh perilaku hidup etis
dan moral yang baik.
• Ini semua memang baik, tetapi inti beriman adalah berkata “ya” secara total kepada
Tuhan. Dia mengakui dan menerima Tuhan sebagai satu-satunya penyelamat.
• Dari sikap percaya ini, lahirlah hidup etis dan moral yang baik sesuai dengan
kehendak-Nya.
Pemujaan Berhala
• Inti Pemujaan Berhala adalah mengakui dan menerima segala sesuatu yang
bukan Tuhan sebagai Tuhan.
• Pada zaman dulu: berhala adalah benda (batu, pohon, tempat) atau manusia
ajaib (dukun, tukang sihir, raja).
• Pada zaman modern: berhala muncul dalam bentuk ilmu dan teknologi, seks,
dan faham konsumerisme.
Iman Ekstrinsik
• Iman ekstrinsik adalah iman yang tak menyatu dengan pribadi orang yang
beragama. Baginya iman merupakan perkara luar yang tidak mempengarui
cara berpikir, berkehendak, dan berperilaku.
• Orang yang beriman ekstrinsik sering menggunakan iman demi kepentingan
pribadi. Dia menganut agama dengan pamrih, karena kepentingan pribadi,
ekonomi, sosial.
Iman Intrinsik
• Orang yang beriman intrinsic tidak memanfaatkan, tetapi menghayati iman secara
benar. Alasan orang beriman tidak terletak di luar, tetapi dalam pribadi mereka.
• Orang yang beriman intrinsik menghayati imannya secara total dan tanpa syarat.
Mereka konsekwen menanggung akibat dari keputusan itu dan berani menanggung
risikonya.
• Maka, orang yang beriman intrinsic tampil sebagai manusia penuh tanggungjawan
dan berpendirian. Dalam hidup, pengabdian dan perjuangannya, mereka berpegang
pada prinsip iman: “demi memuji dan memuliakan Tuhan”, kebaikan dan
kesejahteraan bersama.
Gaya Massa-Gaya Murid
• Orang yang beriman ekstrinsik terlalu mudah mengambil gaya massa. Orang
beragama untuk melindungi identitas kelompok dan mempertahankan
kepentingan kelompoknya.
• Orang yang beriman intrinsik memiliki gaya murid. Artinya: orang yang
beragama hidup berdasarkan pandangan iman. Dia mengerti dan memahami
hidup secara mendalam. Ia selalu kritis pada segala perkara kehidupan.
Dia berusaha berpegang pada iman dan menjalani hidup dengan sikap murid:
mau belajar, mau maju, mau taat, dan mau berkorban.
AGAMA DAN IBADAT
PIETISME
Pius (saleh)
Cita-cita pandangan ini adalah kesalehan atau kesucian pribadi.
Jalan menuju kesucian adalah menyingkirkan masyarakat dan dunia dan tekun
melaksanakan ibadat dengan metode dan cara beribadat secara pribadi.
Karena pribadi, maka penganut pietisme amat menekankan perasaan.
Ritualisme
• Ritus (pola upacara keagamaan yang terdiri dari rangkaian rumus-rumus, kata,
bunyi gerak-gerik tetap.
• Ritualisme berarti aliran pemikian yang memutlakkan perlunya ketetapan atau
aturan upacara. Memang ibadat perlu aturan, tetapi kebakuan aturan itu
dimutlakkan.
• Urutan upacara, rumusan doa, dan praktik-praktik ibadat lainnya tidak boleh
diubah.
Formalisme
• Dalam ibadat, ada bentuk-bentuk rumus dan pola gerak-gerik dan tata tertib
tertentu. Di belakang, bentuk-bentuk itu tentu ada makna dan arti yang perlu
dimengerti dan dihayati.
• Tapi, para penganut formalism tidak melakukannya.
• Formalisme: mentaati forma, bentuk. Formalisme mengikuti ibadat tanpa
hati, pengertian, dan keterlibatan. Asal petugas ibadat sudah melakukan
ibadat sesuai bentuk dan umat hadir, bereslah ibadat itu dan mencapai
maksudnya.
Agama dan Pergaulan
Antar Para Penganut Aguama
• Proses pertemuan antar agama:
• sinkritisme
• adaptasi
• akulturasi
• inkulturasi
 Sikap terhadap agama lain
 Indiferentisme
 Relativisme
 Menghargai
 Tidak aman
 Fanatisme
• Sikap-Sikap dalam Pergaulan antar penganut agama
• Apologetis
• Polemis
• Persaingan
• Toleransi
• Dialog
Sinkritisme
• Kata Yunani ‘synkretismos’ yang berarti penggabungan ajaran dan praktik agama
yang berbeda satu sama lain
• Kapan terjadi? Pada saat pertemuan agama menghasilkan percampuran isi iman,
ajaran, ibadat, dan praktik-praktik keagamaan antar agama yang bertemu
• Misal: nama Tuhan, ajaran-ajaran pokok, bentuk ibadat, adat kebiasaan
• Akibatnya: agama kehilangan identitas aslinya dan meleburkan diri ke dalam bentuk
agama yang baru. Pertemuan antar agama tidak mengembangkan, tetapi malah
saling melenyapkan.
Adaptasi
• Latin ‘adaptare’ yang berarti menyesuaikan
• Kapan terjadi? Pada saat agama yang satu masuk ke agama yang lain dengan
menyampaikan isi ajaran, cara beribadat, dan praktik keagamaan dengan
menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi sosial, budaya, dan cara hidup di
tempat agama yang mau dimasuki.
• Tujuan: memperlancar agama masuk ke dalam agama yang lain
• Sebetulnya, adaptasi tidak berhasil masuk ke dalam agama yang lain. Agama tidak
meresap dalam hati dan perilaku orang yang menganut agama yang hendak
dimasuki. Adaptasi hanya merupakan proses saling mempengaruhi yang bersifat
lahirian dan sebatas kulit. Ajaran pokok agama yang dimasuki tetap berdiri kokoh.

You might also like