You are on page 1of 21

+

PENGANTAR ILMU PERUNDANG-UNDANGAN


OLEH: Dr. IMA MAYASARI, S.H., M.H.
+ PENGANTAR
 Ilmu pengetahuan perundang-undangan adalah ilmu pengetahuan tentang
pembentukan peraturan negara, yang merupakan ilmu yang bersifat interdisipliner—
berhubungan dengan ilmu politik dan sosiologi.
 Perundang-undangan:
a. merupakan proses pembentukan atau proses membentuk peraturan negara, baik di
tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah;
b. segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan, baik di
tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.
 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
merumuskan:
a. Pembentukan peraturan perundang-undangan: pembuatan peraturan perundang-
undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan [vide Pasal 1 angka 1]
b. Peraturan perundang-undangan: peraturan tertulis yang memuat norma hukum
yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan [vide Pasal 1 angka 2].
 Dengan demikian, pembahasan ilmu di bidang perundang-undangan mencakup
pembahasan tentang proses pembentukan atau perbuatan membentuk peraturan negara
dan sekaligus pembahasan tentang seluruh peraturan negara yang merupakan hasil dari
pembentukan peraturan negara, baik di Pusat maupun di Daerah.
ILMU PENGETAHUAN PERUNDANG-UNDANGAN*
ilmu pengetahuan interdisipliner tentang pembentukan peraturan perundang-undangan

TEORI PERUNDANG-UNDANGAN ILMU PERUNDANG-UNDANGAN


bersifat kognitif bersifat normatif
berorietasi kepada menjelaskan dan menjernihkan berorietasi kepada melakukan
pemahaman perbuatan pengaturan

DASAR PROSES METODE TEKNIK


PERUNDANG PERUNDANG PERUNDANG PERUNDANG
-UNDANGAN -UNDANGAN -UNDANGAN -UNDANGAN

*Berdasarkan pembagian menurut Burkhardt Krems, dalam bukunya


Grundfragen Gesetzgebungslehre, Berlin Duncker dan Humblot, 1979, hal. 38, dst
+ HIERARKI NORMA HUKUM
 Hans Kelsen: teori mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie):
 Norma hukum itu berjenjang dalam suatu tata susunan hierarki. Suatu norma yang lebih
rendah berlaku dan bersumber atas dasar norma yang lebih tinggi, serta norma yang
lebih tinggi itu, berlaku dan bersumber kepada norma yang lebih tinggi lagi. Demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri, yang bersifat hipotetis
dan fiktif, yaitu yang dikenal dengan istilah grundnorm (norma dasar).
 Norma Dasar yang merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tidak lagi
dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar ditetapkan
terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan
bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu norma dasar dikatakan
pre supposed.
 Hans Nawiasky: teori hierarki norma hukum negara (die Theorie vom
Stufenordnung der Rechtsnormen):
 Bahwa selain norma berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu
negara juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu
negara terdiri atas empat kelompok besar, yaitu:
• Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
• Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara)
• Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang ‘formal’)
• Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan Aturan
otonom)
Persamaan: norma berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis, dalam arti suatu norma itu berlaku, bersumber dan berdasar
pada norma yang di atasnya, norma yang diatasnya berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya lagi,
semikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi dan tidak dapat ditelusuri lagi sumber dan asalnya, tetapi
bersifat ‘pre-supposed’ dan ‘axiomatis’.
Perbedaannya: 1) Kelsen tidak mengelompokkan norma, sedangkan Nawiasky membagi norma ke dalam empat kelompok
yang berlainan; 2) Kelsen membahas jenjang norma secara umum (general) dalam arti berlaku untuk semua jenjang norma
(termasuk norma hukum negara), sedangkan Nawiasky membahas teori jenjang norma secara lebih khusus, yaitu
dihubungkan dengan suatu negara; 3) Nawiasky menyebutkan Norma Dasar Negara tidak dengan sebutan
Staatsgrundnorm melainkan dengan istilah Staatsfundamentalnorm karena Norma Dasar Negara dapat berubah sewaktu-
waktu karena adanya pemberontakan, kudeta dan sebagainya, sementara grundnorm cenderung untuk tidak berubah.
+ HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
BERDASARKAN UU NO. 12 TAHUN 2011
 Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: [vide Pasal 7 ayat (1)]
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
 Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) [vide Pasal 7 ayat 2]
 Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat [vide Pasal 8 ayat (1)]
 Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan
[vide Pasal 8 ayat (2)]
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
+ TAHUN 1945
 UUD NRI 1945 terdiri atas dua kelompok norma hukum yaitu:
1 Pembukaan UUD 1945 merupakan Staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental Negara—
merupakan norma hukum tertinggi yang bersifat ‘pre-supposed’ dan merupakan landasan dasar
filosofis yang mengandung kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut.
2 Batang Tubuh UUD 1945 merupakan Staatsgrundgesetz atau Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok
Negara yang merupakan garis-garis besar atau pokok-pokok kebijaksanaan negara untuk
menggariskan tata cara membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum. Sifat
norma hukum masih bersifat garis besar dan pokok serta merupakan norma hukum tunggal, jadi
belum dilekati oleh norma sanksi.
 Cara mencari dan menemukan materi muatan Undang-Undang dapat dilaksanakan
melalui ketiga cara yaitu:
1. Ketentuan dalam Batang Tubuh UUD NRI 1945
Terdapat 43 hal yang diperintahkan secara tegas untuk diatur dengan Undang-Undang, yang dapat dibagi
ke dalam tiga kelompok yang memiliki kesamaan dan tiga kelompok lainnya, walaupun pembagian
tersebut tidak dapat dibedakan secara tegas karena berhubungan satu dan lainnya. Pembagian tersebut
sebagai berikut:
a.Kelompok lembaga negara: Pasal 2 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (5), Pasal 19 ayat (2),
Pasal 20A ayat (4), Pasal 22B, Pasal 22C ayat (4), Pasal 22D ayat (4), Pasal 23G ayat (2), Pasal 24 ayat
(3), Pasal 23A ayat (5), Pasal 24B ayat (4), Pasal 24C ayat (6) dan Pasal 25.
b.Kelompok penetapan organisasi dan alat kelengkapan negara: Pasal 16, Pasal 17 ayat (4), Pasal 18
ayat (7), Pasal 18A ayat (1), Pasal 23D, Pasa; 23 ayat (4), dan Pasal 23 ayat (5).
c.Kelompok hak-hak (asasi) manusia: Pasal 12, Pasal 15, Pasal 18A ayat (2), Pasal 18B ayat (1), Pasal
18B ayat (2), Pasal 22E ayat (6), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 23E ayat (3),
Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 28, Pasal 28I ayat (5), Pasal 30 ayat (5), Pasal 31 ayat (1),
Pasal 33 ayat (5), dan Pasal 34 ayat (4).
d.Kelompok pengaturan wilayah negara: Pasal 25 A
e.Kelompok pengaturan atribut negara: Pasal 36C
f.Kelompok lain-lain: Pasal 11 ayat (3), Pasal 22A
+ 2. Berdasarkan wawasan negara berdasar atas hukum (rechtsstaat)
Dalam Pasal 1 ayat (3) ditentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtsstaat).
Mengandung beberapa konsekuensi di bidang perundang-undangna, oleh karena hal itu menyangkut
masalah pembagian kekuasaan negara dan perlindungan hak-hak (asasi) manusia.

3. Berdasarkan wawasan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi


Negara RI menganut wawasan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi, maka kekuasaan
perundang-undangan di Negara RI terikat oleh Undang-Undang Dasar dan Hukum Dasar, sedangkan
kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan peradilan terikat oleh Undang-Undang dan hukum negara.
Penjelasan UUD 1945 menentukan pelimpahan kewenangan kepada Undang-Undang untuk mengatur
hal-hal yang merupakan pengaturan lebih lanjut dari UUD, dan pembentukan Undang-Undang yang
memerlukan persetujuan DPR. Selain itu, Presiden mempunyai kewenangan membentuk Peraturan
Pemerintah bagi pelaksanaan lebih lanjut dari Undang-Undang, serta adanya kewenangan Presiden untuk
membentuk peraturan lainnya dalam menjalankan pemerintahan, dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian:
1. Peraturan perundang-undangan yang memerlukan persetujuan DPR, yaitu Undang-Undang;
2. Peraturan perundang-undangan yang tidak memerlukan persetujuan DPR, yaitu Keputusan
Presiden dimana peraturan perundang-undangan disini merupakan peraturan yang sifatnya
delegasian atau atribusian dari Undang-Undang.

UU No. 12 Tahun 2011, hal mengenai materi muatan UU dan peraturan perundang-
undangan lainnya dirumuskan dalam pasal-pasalnya. Perumusan materi muatan UU dan
perundang-undangan lainnya sebagai berikut:
+ UNDANG-UNDANG

 Materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi [vide Pasal 10 ayat (1)]:
a. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD NRI Tahun 1945;
b. Perintah suatu UU untuk diatur dengan UU;
c. Pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. Tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi; dan atau
e. Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat

 Tindak lanjut atas putusan MK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dilakukan oleh DPR atau Presiden [vide Pasal 10 ayat (2)]:

PERPU

Dalam Penjelasan Pasal 22 UUD NRI 1945 dinyatakan bahwa Perpu adalah peraturan yang
setingkat dengan UU, sehingga dalam Pasal 11 UU No. 12 Tahun 2011 ditetapkan materi
muatan Perpu adalah sama dengan materi muatan UU.
+ PERATURAN PEMERINTAH
 Sesuai dengan sifat dan hakikat PP, yang merupakan peraturan delegasi dari UU, atau
peraturan yang melaksanakan suatu UU, maka materi muatan PP adalah seluruh materi
muatan UU tetapi sebatas yang dilimpahkan, artinya sebatas yang perlu dijalankan atau
diselenggarakan lebih lanjut oleh PP.
 Pasal 12 UU No 12 Tahun 2012 merumuskan: “materi muatan PP berisi materi untuk
menjalankan UU sebagaimana mestinya”.
 Penjelasan Pasal 12, yang dimaksud dengan “sebagaimana mestinya” adalah penetapan
PP untuk melaksanakan perintah UU atau untuk menjalankan UU sepanjang diperlukan
dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam UU yang bersangkutan.

PERATURAN PRESIDEN
 Setelah mengetahui dan menemukan apa yang menjadi materi muatan UU dan PP, amaka
dapat diketahui materi muatan ‘sisanya’, yaitu materi muatan dari Keputusan Presiden
(sekarang Peraturan Presiden), baik yang bersifat delegasi maupun atribusi.
 Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 merumuskan: “materi muatan Peraturan Presiden berisi
materi yang diperintahkan oleh UU, materi untuk melaksanakan PP, atau materi untuk
melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
 Penjelasan Pasal 13, sesuai dengan kedudukan Presiden menurut UUD NRI, Peraturan
Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah UU atau PP
secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya.
+ PERATURAN DAERAH
 Pasal 14 UU No. 12 Tahun 2011 merumuskan: “materi muatan Peraturan Daerah Provinsi
dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, serta menampung kondisi
khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.

KETENTUAN PIDANA
 Pasal 15 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2012 merumuskan: “materi muatan mengenai
ketentuan pidana hanya dimuat dalam:
a. Undang-Undang;
b. Peraturan Daerah Provinsi; atau
c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
 Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c berupa
ancaman pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) [vide Pasal 15 ayat (2)]
 Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat
ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan [vide Pasal 15 ayat (3)]
+ PENGUJIAN UU/PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
BAWAH UU YANG DIDUGA BERTENTANGAN DENGAN UUD
NRI TAHUN 1945

 Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi [vide Pasal 9 ayat (1)]

 Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-


Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung [vide Pasal 9 ayat (2)]
+ ASAS PEMBENTUKAN
PERUNDANG-UNDANGAN
PERATURAN

 Menurut I.C. van der Vlies: membagi ke dalam asas-asas yang formal dan
yang material.
 Asas-asas yang formal meliputi:
1. Asas tujuan yang jelas
2. Asas organ/lembaga yang tepat
3. Asas perlunya pengaturan
4. Asas dapatnya dilaksanakan
5. Asas konsesus
 Asas-asas yang material meliputi:
1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar
2. Asas tentang dapat dikenali
3. Asas tentang perlakuan yang sama dalam hukum
4. Asas kepastian hukum
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual
+  Menurut A. Hamid S. Attaminimi:
 Asas-asas yang formal meliputi:
1. Asas tujuan yang jelas
2. Asas perlunya pengaturan
3. Asas organ/lembaga yang tepat
4. Asas materi muatan yang tepat
5. Asas dapatnya dilaksanakan
6. Asas dapatnya dikenali
 Asas-asas yang material meliputi:
1. Asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma Fundamental Negara
2. Asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara
3. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum. Dam
4. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasar sistem konstitusi

 Rumusan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011:


 Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan
pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik meliputi:
a. Kejelasan tujuan
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan
d. Dapat dilaksanakan
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan
f. Kejelasan rumusan
g. Keterbukaan
 Asas-asas yang dimaksudkan dalam Pasal 5 diberikan penjelasannya dalam Penjelasan
Pasal 5 sebagai berikut:
a. Asas kejelasan tujuan, bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, bahwa setiap jenis peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-
undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau
batal demi hukum, bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
c. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan, bahwa dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai
dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
d. Asas dapat dilaksanakan, bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan
harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, bahwa setiap peraturan perundang-undangan
dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
f. Asas kejelasan rumusan, bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata
atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Asas keterbukaan, bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan
mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
+  Rumusan Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011:
1. Materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. Pengayoman
b. Kemanusiaan
c. Kebangsaan
d. Kekeluargaan
e. Kenusantaraan
f. Bhineka tunggal ika
g. Keadilan
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. Kesimbangan, keserasian dan keselarasan
2. Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peraturan
perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
 yang dimaksud asas lain antara lain:
a. Dalam hukum pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa
kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah.
b. Dalam hukum perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian antara lain: asas
kesepakatan, asas kebebasan berkontrak dan itikad baik.

 Asas-asas tersebut dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1).


a. Asas pengayoman, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
b. Asas kemanusiaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat
setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c. Asas kebangsaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Asas kekeluargaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan.
e. Asas kenusantaraan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
f. Asas bhinneka tunggal ika, bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah
serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g. Asas keadilan bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
h. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan,
gender, atau status sosial.
i. Asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
j. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan
negara.
+ PERATURAN (REGELING) DAN PENETAPAN (BESCHIKKING)
 Kegiatan mengatur (regeling), yaitu membuat keputusan yang secara materiil
berupa pengaturan, berarti perbuatan menciptakan norma hukum yang berlaku
umum (tidak disebut nama orang atau badan hukum yang dikenai norma
hukum) dan biasanya bersifat abstrak (tidak mengenal hal dan keadaan yang
konkrit)

 Kegiatan mengurus (bestuur), yaitu membuat keputusan yang bersifat


penetapan (beschikking)—dapat berarti perbuatan hukum
(rechtelijkehandelingen) atau perbuatan materiil (feitelijke handelingen). Dalam
arti perbuatan hukum, mengurus berarti menciptakan norma hukum yang
berlaku individual dan bersifat konkrit, sedangkan dalam arti materiil, mengurus
berarti memberikan layanan dan melakukan pembangunan proyek-proyek
tertentu (secara konkrit dan kasuistik).
+ PERBEDAAN PERATURAN (REGELING) DAN PENETAPAN
(BESCHIKKING)

KEPUTUSAN PERATURAN
(BESCHIKKING) (REGELING)

 Bersifat individual and concrete  Bersifat general and abstract

 Pengujiannya melalui gugatan di  Pengujian untuk peraturan di bawah


undang-undang (judicial review) ke
peradilan tata usaha negara Mahkamah Agung, sedangkan untuk
undang-undang diuji ke Mahkamah
 Bersifat sekali-selesai (enmahlig). Konstitusi.

 Berlaku terus menerus (dauerhaftig)


+ TERIMAKASIH

You might also like