You are on page 1of 29

EUTHANASIA

Kelompok C 6.1
NIKEN LARASATI ( 110.2014.193 )
PUPUT AURELIA HARJANTO ( 110.2014. 210 )
RAFA ASSIDIQ ( 110.2014. 218 )
SASYA SHARFINA ASSAF ( 110.2014. 239 )
1. PENDAHULUAN

Dalam kondisi penyakit yang sudah tidak ada harapan hidup, atau tidak ada kemampuan berobat
karena alasan tertentu, atau berobat hanya akan memperpanjang penderitaan pasien, juga pada
keluarganya, saat rasa sakit sangat pedih tak tertahankan, bahkan kadang hidupnya hanya
tergantung dari alat medis mahal yang terpasang. Jika demikian keadaannya, apakah melepas alat-
alat bantu medis yang konsekwensinya jantung berhenti berdetak yang berarti mati dapat
dianggap sebagai tindakan pembunuhan yang berarti bertentangan dengan etik dan norma hukum
yang berlaku?
2. PENGERTIAN EUTHANASIA

Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and
with dignity dan thanatos yang berarti mati. Secara etimologis, euthanasia berarti mati dengan baik,
tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.
Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia, euthanasia dipergunakan dalam tiga arti, yaitu:
1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa pasienan, untuk orang yang beriman
dengan menyebut nama Allah di bibir.
2. Ketika hidup berakhir, pasienan si sakit diringankan dengan memberikan obat penenang.
3. Mengakhiri pasien dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien
sendiri dan keluarganya.
3. PEMBAGIAN EUTHANASIA

Ditinjau dari segi cara dilaksanakannya, euthanasia dibagi tiga macam, yaitu:
a. Euthanasia Aktif
Yaitu perbuatan yang dilakukan secara medik melalui intervensi aktif oleh seorang dokter dengan
tujuan untuk mengakhiri hidup pasien.
b. Euthanasia Pasif
Yaitu perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk
mempertahankan hidup manusia.
c.Auto-Euthanasia
Yaitu jika seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis
dan ia mengetahui bahwa hal tsb akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan
tsb ia membuat cocodicil (sebuah pernyataan tertulis). Auto-euthanasia pada dasarnya adalah
euthanasia pasif atas permintaan.
4. HIDUP DAN MATI DALAM TERMINOLOGI ISLAM
QS. AT –TAHRIM 66 : 12
QS, AL – ANBIYA 21 : 91 DEFINISI MATI

Berdasarkan kedua ayat diatas, kehidupan karena adanya


tiupan ruh, hal ini menunjukan dan disimpulkan bahwa
mati terjadi dengan adanya perpisahan antara ruh dan
jasad
QS. AL – ZUMAR 39 : 42
Sakratul Maut

QS. AL – AWAQI’AH 56 :83 – 84 QS. QAF 50 : 19


RUH ?
QS. AL ISRA 17 : 85

RUH merupakan hak dan rahasia Allah.


QS. AL – SAJDAH 32 ; 9 DEFINISI HIDUP

HIDUP “ Jika atau karena ia memiliki roh “


Digunakan sebagai maksud untuk “ potensi untuk tumbuh “ & “ adanya
HIDUP ? potensi rasa “ atau “ potensi untuk intelektual “
QS. AL – AN’AM 6 ; 122 QS. AL – FAJR 89 ; 24
QS. AL – ANBIYA 21 ; 30

Potensi
intelektual

Potensi untuk Adanya potensi


tumbuh rasa Tanda – tanda kehidupan
1. Adanya kesadaran
2. Kehendak
3. Pengindaraan
4. Gerak
5. Pernapasan
6. Pertumubuhan
7. Dan kebutuhan makanan
Mati dan Hidup Manusia ada ditangan Allah. Manusia tidak diberi hak atau wewenang
memberi hidup dan mematikannya.
QS. YUNUS 10 ; 49 QS. AL – MULK 67 1 - 2
QS. YUNUS 10 ; 56
5. KEDUDUKAN NYAWA MANUSIA DALAM ISLAM

Islam sangat menghargai nyawa manusia. Baik al – qur ‘an maupun hasdist nabi mengajarkan bahwa harus
menghormati dan memelihara nyawa manusia ( hifzh al – nafs ), termasuk salah satu lima dharuriyyah. Oleh
karena itu, seseorang tidak diperkenankan melenyapkan tanpa ada alasan syar’i yang kuat.
tindakan menghilangkan nyawa hanya diberikan kepada lembaga pengadilan sesuai dengan aturan
pidana islam. Dengan tujuan memelihara dan melindungi manusia secara keseluruhan.
QS. AL – MAIDAH 5 ; 32
QS. AL – BAQARAH 2 ; 179
6.TANDA KEMATIAN MANUSIA

Ahli medis mengatakan bahwa mati ditandai dengan “ matinya batang otak “.
Fukaha ( ahli fiqih ), tanda – tanda kematian didasarkan pada pantauan lahiriyah,
visual jasad seseorang, terdapat sejumlah indikasi telah terjadi perpisahan jasad
dan rohnya. Yusuf al – Qaradhawi menjelaskan, seseorang dianggap telah mati dan
diberlakukan semua hukum syarak yang berkenaan dengan kematian, apabila telah
nyata adanya salah satu dari dua indikasi seperti ini :
a) Jika denyut jantung dan pernapasannya sudah berhenti secara total, dan para
dokter telah menetapkan bahwa keberhentian tersebut tidak akan pulih kembali.
b) Jika seluruh aktivitas otaknya sudah berhenti samasekali, dan para dokter ahli
sudah menetapkan tidak akan pulih kembali, otaknya sudah tidak berfungsi.
Dalam kondisi seperti ini, jika pasien menggunakan alat bantu seperti
respirator, ventilator, dan yang lain diperbolehkan melepasnya, meskipun sebagian
orangannya, seperti jantungnya masih berdenyut karena kerja alat bantu tersebut.
7. LARANGAN EUTHANASIA

• Secara Normatif : Euthanasia aktif tidak dibenarkan oleh syarak.


• Pendapat Ulama : Sepakat mengharamkan euthanasia baik pasif maupun aktif, karena termasuk
tindakan mempercepat kematian & termasuk tindakan pembunuhan.
• Nash agama yang mengharamkan pembunuhan:
– Bahwa urusan hidup dan mati hanya ada di tangan Allah swt., seperti disebutkan dalam ayat Alquran,
Q.s. al-Mulk (67):2
“(Allah-lah) yang menciptakan kematian dan kehidupan supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang
lebih baik amalannya. Dia adalah Al ‘Aziz (Maha Perkasa) Al Ghafur (Maha Pengampun).”
– Islam melarang bunuh diri dan membunuh orang lain kecuali yang hak, firman Allah:
[Q.s. al-An’am (6): 151]
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu
(sebab) yang benar”.

Ayat Alquran, secara khusus melarang bunuh diri:


[Q.s. al-Nisa (4); 29]
… “dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.

– Nabi saw memerintahkan berobat dan melarang putus asa. Sabda Rasulullah saw:
(HR. al-Turmudzi,Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Nabi bersabda: “Hai hamba-hamba Allah! Berobatlah! Sesungguhnya Allah swt tidak menciptakan penyakit,
kecuali diciptakannya pula obat penyembuhnya, kecuali satu, apakah itu ya Rasulullah, Nabi menjawab:
pikun/tua”
[Q.s. al-Nisa (4): 92]
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah
(tidak sengaja), dan siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh)
dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan
hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai)
antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Siapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara
taubat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
 Sanksi azab di akhirat bagi pelaku tindak bunuh diri, antar lain, disebutkan dalam
hadits Nabi:
[HR. al- Bukhari dan Muslim]
“Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Siapa orang yang membunuh dirinya dengan sepotong
besi, maka dengan besi yang tergenggam di tangannya itulah dia akan menikam perutnya dalam Neraka Jahannam
secara berterusan dan dia akan dikekalkan di dalam Neraka tsb untuk selama-lamanya. Siapa yang membunuh
dirinya dengan meminum racun maka dia akan merasai racun itu dalam Neraka Jahannam secara beterusan dan
dia akan dikekalkan di dalam Neraka tsb untuk selama-lamanya. Begitu juga, siapa yang membunuh dirinya dengan
terjun dari puncak gunung, maka dia akan terjun dalam Neraka Jahannam secara berterusan untuk membunuh
dirinya dan dia akan dikekalkan dalam Neraka tersebut untuk selama-lamanya”
 Sanksi azab terhadap pembunuh orang mukmin tanpa hak di akhirat:
[Q.s. al-Nisa (4): 93]
“Dan siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di
dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”

 Sedangkan sanksi di dunia adalah qishash, seperti dijelaskan dalam Alquran:


[Q.s. al-Maidah (5): 45]
“Dan kami telah telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa,
mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada
kisasnya..”
8. EUTHANASIA PASIF

Definisi: Memudahkan proses kematian dengan cara pasif / penghentian pengobatan / tidak
memberikan pengobatan yang didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan / obat-obatan
yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tiak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan
sunatullah dan hukum kasualitas.
• Hukum euthanasia pasif:
1. Perspektif Etika Kedokteran
Merujuk pada isi Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit dan yang tidak dapat disembuhkan.
2. Perspektif Hukum Islam
Kaitannya dengan Hukum Berobat dalam perspektif Islam dapat dikategorikan dalam dua kondisi:
I. Hukum asal (dasar) -> sunah dan mubah.
II. Hukum situsional dan kondisional -> sunah, wajib, mubah, makruh atau haram.
 Ulama menetapkan diperbolehkan melepas seluruh instrumen yang dipasang pada seseorang
meskipun sebagian organnya, seperti jantung masih berdenyut karena kerja instrumen tsb.
Argumen tersebut didasarkan karena tidak ada kegunaannya lagi.

 Bahkan, sebagian ulama mewajibkannya menghentikan penggunaan alat-alat itu karena


menggunakannya berarti bertentangan dengan syariah Islam.

 Dalam ketentuan hukum islam, memberi mudarat kepada diri sendiri dan kepada orang lain
dilarang, sesuai dengan Hadist Nabi:
[HR. Ibnu Majah,Ahmad, dan Malik]
“Dari ‘Ubadah bin al-Shamit, bahwa Rasulullah saw mewajibkan agar tidak memberi mudarat kepada diri sendiri
dan kepada orang lain”
9. MELEPAS ALAT BANTU
PENGOBATAN
 Ulama memperbolehkan dokter dan keluarga pasien melepas peralatan kedokteran atas dasar:
1. Alat bantu yang digunakan tidak membawa kemajuan sama sekali
2. Para dokter menetapkan bahwa kesembuhannya tidak dapat lagi diharapkan
3. Meneruskan penggunaan peralatan tersebut sudah tidak ada manfaatnya
4. Yang menjadikannya tampak hidup adalah ketergantungan dari alat tersebut, jika dilepas tidak lama akan
meninggal

Selanjutnya pasien dibiarkan menurut kadar kemampuannya sendiri tanpa campur tangan orang lain. Namun
tetap dialihkan dengan metode pengobatan yang lain diantaranya:
1. Pengobatan alternatif
2. Disertai dengan doa, sabar, dan tawakal
• Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pada Muktamar Omman disebutkan,
‘Seseorang dinyatakan telah meninggal dunia menurut hukum Islam dan berlaku
segala hukum yang berlaku bagi kematian dikala itu bilama telah adanya dua
tanda’, yaitu:
1. Apabila jantungnya telah berhenti dan tidak bernafas lagi secara sempurna dan para dokter ahli telah
memastikan bahwa berhentinya pernafasan itu tidak dapat kembalai lagi (irreversible).
2. Apabila seluruh organ otak telah tidak berfungsi lagi secara total (mati batang otak) dan para dokter
ahli telah memastikan tidak dapat kembali lagi (irreversible), sementara otaknya mulai mengurai.
Dalam keadaan demikian patut mengangkat (melepaskan) / mencabut respirator / alat bantu dari pasien,
meskipun sebagian organnya seperti jantung masih dapat bekerja dengan bantuan alat tersebut.
10.EUTHANASIA DAN KAITANNYA
DENGAN JARIMAH MATI
Para ulama sepakat menetapkan suatu perbuatan digolongkan sebagai jarinah apabila dilarang secara
tegas dalam syarak. Dapatnya ditegakkan had terhadap pelaku tindakan jarinah, jika terpenuhi unsur-
unsurnya yaitu:
1. Unsur formal (rukun syar’i) yaitu Nash yang melarang perbuatan tersebut memberikan ancaman
hukuman.
2. Unsur material (rukun maddi) yaitu tindakan yang membentuk suatu perbuatan jarimah, baik
perbuatan nyata maupun sikap tidak berbuat
3. Unsur moral (rukun abadi) yaitu pelakunya seorang mukallaf, orang yang dapat dimintai
pertanggungan jawab terhadap jarimah yang dilakukannya.
Terjadinya euthanasia aktif, tidak terlepas dari 3 alasan berikut:
1. Dari pihak pasien yang meminta kepada dokter (tidak tahan lagi
menderita sakit akut, telah lama dialami, beban ekonomi, merasa ajal
sudah tiba, atau harapan sembuh terlalu jauh)
2. Dari pihak keluarga/wali yang merasa kasihan atas pasien (tidak tahan
lagi menderita sakit akut, telah lama dialami, beban ekonomi, merasa
ajal sudah tiba, atau harapan sembuh terlalu jauh)
3. Pihak keluarga tertentu yang bekerjasama dengan dokter untuk
mempercepat kematian pasien karena menginginkan warisan.
11. PANDANGAN ULAMA INDONESIA
TENTANG EUTHANASIA
Menurut parlemen Belanda telah mengesahkan UU yang memperbolehkan
euthanasia, sedangkan respon ulama Indonesia antara lain datang dari Bahtsul Masail
NU yang diputuskan pada Mukhtamar XXII tahun 1989 bahwa “tidakan medis yang
demikian hukumnya HARAM“
Dalam hal ini Bahtsul Masail NU lebih melihat pada adanya “unsur kesengajaan” yang
membuat seseorang mati atau terjadi tindakan penghancuran diri sendiri sebagai
alasan, maka hukumnya HARAM.
Pada Munas NU di NTB (1998), kembali ditegaskan bahwa “hukum euthanasia
(tindakan mengakhiri hidup) ialan HARAM”. Dasarnya, teks tunggal dalam kitab
Mughni al-Muhtaj.
Fatwa tentang euthanasia pernah dikeluarkan oleh MUI Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2001, yang
menetapkan bahwa menurut kum islam, hukum euthanasia adalah HARAM, karena hak untuk
menghidupkan dan mematikan manusia hanya berada ditangan Allah SWT. Ditegaskan pula, bahwa
euthanasia merupakan suatu tindakan bunuh diri yang diharamkan. Pelakunya akan menjadi penghuni
neraka.
Pada dasarnya, sejumlah ayat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah SWT sebagai pemilik hak
menghidupkan dan mematikan diantaranya adalah Q.S AL-Imran : 156

ُ ‫ض أَ ْو َكانُوا‬
‫غ ًّزى لَ ْو َكانُوا ِع ْن َدنَا َما َماتُوا َو َما قُتِلُوا‬ ِ ‫ض َربُوا فِي ْاْل َ ْر‬َ ‫• يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل تَ ُكونُوا َكالَّذِينَ َكفَ ُروا َوقَالُوا ِ ِِل ْخ َوانِ ِه ْم ِإ َذا‬
‫صير‬ ِ َ‫َّللاُ بِ َما تَ ْع َملُونَ ب‬ َّ ‫َّللاُ َٰ َذ ِل َك َح ْس َرة ً فِي قُلُوبِ ِه ْم ۗ َو‬
َّ ‫َّللاُ يُ ْحيِي َويُ ِميتُ ۗ َو‬ َّ ‫ِليَ ْج َع َل‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu,
yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka apabila mereka mengadakan perjalanan di muka
bumi atau mereka berperang: "Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan
tidak dibunuh". Akibat (dari perkataan dan keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan
rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah
melihat apa yang kamu kerjakan.
12. KESIMPULAN
Pandangan para ulama tentang pemberhentian pengobatan dan yang terkait setelah
membahas tentang batasan dan hukum berobat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Dalam syari’at islam, dari perspektif aqidah islam bahwa pihak yang berhak
megakhiri hidup seseorang hanyalah Allah SWT.
2. Dalam perspektif hukum islam, semua bentuk euthanasia hukumnya HARAM,
karena adanya unsur tujuan dan niat agar mati
Orang yang mengakhiri hidupnya sendiri atau orang lain dengan cara dan alasan yang
bertentangan dengan ketentuan syari’at islam, diharamkan dan pelakunya diancam
dengan siksa yang berat, baik di dunia maupun di akhirat. Bentuk siksa di dunia, jika
persyaratannya terpenuhi dikenai sanki hukum Qishash, kaffarah, atau diyat.
Sedangkan bentuk siksa di akhirat diancam dengan azab neraka jahannam
Euthanasia aktif
Dilihat dari segi kode etik kedokteran, KUHP, apalagi hukum islam, euthanasia
merupakan perbuatan terlarang dan merupakan bentk tindakan bunuh diri atau
membunuh orang.
 Euthanasia pasif
Jika diniati supaya mati, termasuk perbuatan yang diharamkan meskipun tidak ada
tindakan aktif melakukan pembunuhan, tetapi ada tujuan agar mati atau cepat mati,
dapat dianggap sebagai tindakan pembunuhan dan ekspresi putus asa dari rahmat
Allah SWT.

You might also like