You are on page 1of 25

AGAMA DAN KEARIFAN LOKAL

DALAM MEMELIHARA KERUKUNAN


UMMAT BERAGAMA
OLEH: TIM WIDYAISWARA BDK BANDUNG
Apakah Indonesia adalah
bangsa yang artistik?
Saat ini agama menghadapi permasalahan yang
kompleks, yaitu pada keberagamaan kultural. Sekarang
kita dihadapkan pada berbagai macam bentuk
perpecahan. Adanya kelompok-kelompok yang
membuat tandingan, ricuh, dan masih banyak lagi yang
mengganggu ketentraman bermasyarakat
situasi di negara ini yang tampaknya senang menciptakan
tontonan yang memainkan emosi rakyat, membuat tawa bahkan
kemarahan rakyat.
Agama sejatinya melingkupi
berbagai aspek. Tidak hanya aspek
teologi tetapi juga aspek
kemasyarakatan. Agama dianut
bukan hanya karena mengatur
hubungan kita kepada Tuhan tetapi
juga mengatur bagaimana hidup
bersama dalam masyarakat.
Hal ini menarik ketika dihubungkan
dengan Al-Quran dalam Surah al-Hujurat
ayat 13 bahwa Allah menciptakan
manusia bersuku-suku dan berbangsa-
bangsa. Bila dihubungkan dengan surah
dan ayat tersebut, dapat dipahami bahwa
Islam adalah rahmat untuk alam semesta.
Oleh karena realitas alam ada dalam
keragaman, maka hal itu berarti harus
diikhtiarkan terwujudnya kerukunan
umat manusia (umat beragama).
TOPIK 1
AGAMA

Agama sering didefinisikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kepatuhan


penganut/umat terhadap suatu keyakinan terhadap Tuhan (sesuatu yang Maha
Suci/Maha Agung/Maha Kuasa), tempat-tempat suci, dan kitab suci. Praktik
agama juga dapat mencakup ritual, khotbah, peringatan atau pemujaan tuhan,
dewa atau dewi, pengorbanan, layanan pernikahan, meditasi, doa, musik, seni,
tari, tatanan kehidupan masyarakat dan aspek lain dari budaya manusia.
Agama juga mungkin mengandung mitologi.
Sejak mula pertama umat manusia sudah mampu
untuk menangkap tentang adanya suatu kekuatan
yang mengatasi dan maha kuasa. Kesadaran ini
merupakan komponen yang esensial dari seluruh
masyarakat tradisional dari segala tingkatan. Meskipun
seperti dalam penjelasan Kuntowijoyo, bahwa pada
fase ini manusia menggantungkan segala sesuatunya
kepada alam
Perasaan-perasaan tersebut oleh Rudolf
Otto disebut dengan 'numinous'. Yaitu
perasaan dan keyakinan seseorang
terhadap adanya Yang Maha Kuasa yang
lebih besar dan tinggi yang tidak bisa
dijangkau dan dikuasai manusia.
Kata agama kadang-kadang digunakan bergantian dengan iman, sistem
kepercayaan atau kadang-kadang mengatur tugas Namun, dalam menurut Émile
Durkheim, agama berbeda dari keyakinan pribadi oleh karena agama itu
merupakan "sesuatu yang nyata sosial“. Émile Durkheim juga mengatakan bahwa
agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik
yang berhubungan dengan hal yang suci
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Agama adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan
kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia
dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama"
berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang
berarti "tradisi“. Kata lain untuk menyatakan
konsep ini adalah religi yang berasal dari
bahasa Latin religio dan berakar pada kata
kerja re-ligare yang berarti "mengikat
kembali". Maksudnya dengan berreligi,
seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Dengan demikian Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari
kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang
menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan.
Banyak agama memiliki narasi, simbol, dan sejarah suci yang
dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup dan / atau menjelaskan
asal usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan mereka
tentang kosmos dan sifat manusia, orang memperoleh moralitas, etika,
hukum agama atau gaya hidup yang disukai. Menurut beberapa
perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia.
Agama yang mengklaim diri bersumber pada
‘wahyu’ itu bersifat sacre (karena wahyu itu
lebih merupakan ‘Kalam/Firman Tuhan’ dan
“milik Tuhan”), tetapi ketika ajaran agama
(wahyu) itu dipahami dan kemudian diamalkan
maka ia bermetamorfosis menjadi “milik
manusia” (karena telah berubah menjadi
budaya)
TOPIK 2
KEARIFAN LOKAL

Kearifan lokal merupakan bagian dari


budaya suatu masyarakat yang tidak
dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat
itu sendiri. Kearifan lokal biasanya
diwariskan secara turun temurun dari
satu generasi ke generasi melalui cerita
dari mulut ke mulut
Dalam memaknai kearifan local, kelokalan itu
lebih merupakan sebagai suatu amanat Allah.
Hal ini didukung oleh surat Al –Hujurat ayat 13.
Manusia yang diciptakan Tuhan dalam berbagai
suku dan bangsa itu merupakan suatu ihwal
yang disebut kodrat Tuhan. Bersuku-suku dan
bangsa adalah kodrat bagi manusia. Dalam
konteks kearifan local, pada kehidupan
masyarakat Jawa, kita dapat menemui berbagai
ritual yang dilakukan guna lebih dekat dengan
Sang Pencipta. Kenyataan ini bukanlah bentuk
dari kemusyrikan.
Para wali dan ulama pada masa yang lalu telah mendesain islamisasi dengan sangat
apik dan harmonis. Masuknya pesan islami melalui produk budaya ini merupakan
aplikasi tasawuf, yaitu dengan menyesuaikan budaya setempat dalam rangka
islamisasi. Proses ini sampai pada pemilihan istilah seperti 'jumatan', 'yasinan',
'tahlilan', dan sebagainya. Eling lan Waspada Di tengah konflik di masyarakat saat ini,
perlu bagi kita untuk kembali pada budaya sebagai bentuk kearifan lokal yang harus
kita jaga. Kembalinya kita untuk berdiri berdampingan dengan budaya akan
membentuk pemikiran yang realitis sesuai dengan kenyataan. Disebut dalam bahasa
jawa sebagai 'sak madya' atau sewajarnya
dakwah Islam dilakukan dengan
menyentuh titik paling peka, yaitu rasa
serta kesadaran kejiwaan. Aspek yang
dituju adalah falsafah, bahasa, dan
kesenian orang jawa. Tembang-tembang
Jawa umumnya didominasi tema
pendidikan dan permenungan. Dalam
aplikasinya, para wali memasukkan
ideologi islam melalui tembang.
Pada tembang Dhandhanggula, kita sudah
bisa melihat pada baris pertama. "Wenang
sami ngawruhana pati" berasal dari
"cukuplah mati sebagai guru" yang diambil
dari Hadist. "Wong agesang tan palasastra"
pada kalimat kedua memiliki arti "yang
bernyawa akan merasakan mati".
Ranggawarsita, seorang pujangga Kasunanan Surakarta, memasukkan konsep "eling
(lan waspada)" sebagai kata lain dari taqwa pada karyanya yang berjudul Sinom.
Ranggawarsita berusaha untuk mendefinisikan, bahkan membantu masyarakat jawa
memahami konsep taqwa. Tidak mudah untuk kebanyakan orang jawa menghayati
konsep ini pada masa itu. Eling memiliki pengaruh yang sakti, karena mampu
menembus wilayah religius mereka. Oleh karena itu, apabila seseorang diberi nasehat
"Dadia wong sing eling" memiliki makna yang sama dengan "Jadilah orang yang
bertaqwa.
Ungkapan Jawa yang berbunyi “sepi ing pamrih rame ing gawe” (bekerja
keras tanpa memperhatikan imbalan). Konsep modal sosial (social capital)
yang lebih tertuju kepada saling kepercayaan (trust) dan menjadi salah satu
bagian kajian ekonomi untuk memperkuat tolong menolong dan gotong
royong sebagai konsep kearifan lokal yang kini terkenal luas di Indonesia.
Di Sampit, Kalimantan Selatan, yang diprakarsai oleh pemerintah daerah
bersama dengan pemuka adat yang ada di Sampit,toleransi terwujud karena
masing-masing pemuka masyarakat menggelorakan kembali semangat hidup
bertetangga dan kebersamaan seperti “Seudik serangkuh dayung, dimane bumi
diinjak di situ langit di junjung, dimane ranting di patah di situ aie disauh dan lain
lubuk lain ikannye” (= sejalan merangku dayung, dimana bumi dipijak disitu
langit dijunjung, dimana ranting dipatah, disitu air disauk. Lain lubuk lain
ikannya ). Falsafah ini digelorakan dalam menghentikan pertikaian.
konsepsi toleransi yang ada pada suku
Banjar adalah “Waja sampai ka putting,
olah babaya”. Yaitu bekerja sampai tuntas
dan bahu membahu maju
bersama. Falsafah ini mengamanatkan
bahwa pada dasarnya masyarakat suku
Banjar mengutamakan sifat kerja sama
sehingga suku Banjar dapat hidup
berdampingan dengan suku manapun juga
Konsepsi toleransi etnis bugis adalah
“rebba sipatokkang mali si parappe, malilu
si pakainge” yang memiliki makna bahwa
jika ada diantara mereka yang jatuh (sakit,
kena musibah, miskin) maka mereka harus
saling angkat, saling membantu dan tolong
menolong. Hidup saling memuliakan, lupa
saling mengingatkan.
Konsepsi toleransi masyarakat ambon
adalah “Gandongge mari beta, Gendong
ose jua. Lawa mena haulala” yang memiliki
makna bahwa mereka harus saling
membantu untuk maju, kemudian ada juga
ungkapan masyarakat seperti “pela
gandong”, yang artinya adalah saling
gotong royong

Konsepsi toleransi suku bangsa dari


manado adalah : “Sitou timou tumou tou”
yang memiliki makna saling menyokong
dan mendamaikan antara satu dengan
yang lainnya
Terlihat harmoni yang menjadi local
wisdom Indonesia mengajarkan tentang hubungan
yang baik antara sesama manusia, manusia dan
alam, serta manusia dan sang pencipta. Kearifan
lokal memiliki potensi dan kekuatan yang sangat
besar untuk menginspirasi sintesis keragaman
karakter solusi masalah diIndonesia dan dunia
pada umumnya. Dalam bingkai kearifan lokal ini,
masyarakat bereksistensi, dan berkoeksistensi satu
dengan yang lain.
H.A.MUSODIK
WIDYAISWARA BDK
BANDUNG
E-mile :
indisav172@gmail.com
FB : Dikdik Moeshodik Indisav

You might also like