Wakaf di Pensyariatan Indonesia Wakaf Secara Bahasa : Berhenti atau menahan Secara Istilah : Sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan kepemilikan barang yang diwakafkan tersebut untuk dimanfaatkan lebih lanjut oleh khalayak umum Imam Abu Hanifah: Menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik waqif (pewakaf) dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebaikan. Waqif boleh menarik kembali dan menjualnya. Jika waqif meninggal harta tersebut menjadi warisan. Misalnya wakaf buah kelapa, tanah yang digunakan tetap milik waqif. Imam Malik: Pemberian manfaat benda secara wajar untuk kebajikan mauquf bih (penerima wakaf) sedangkan benda itu tetap milik waqif. Waqif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Misalnya mewakafkan uang Iman Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal: Melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan waqif setelah sempurnanya prosedur pewakafan. Wakif tidak boleh melakukan apapun terhadap harta yang diwakafkan. Jika waqif meninggal harta yang diwakafkan tidak dapat diwariskan.Penyerahan harta wakaf dari waqif ke mauquf alaih (yg diberi wakaf) bersifat mengikat. Jika waqif mengambil kembali maka Qadi (hakim) berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf alaih. Mazhab Imamiyah: Harta yang diwakafkan menjadi milik mauquf alaih, meskipun mauquf alaih tidak berhak melakukan tindakan atas benda wakaf tersebut, baik menjualnya maupun menghibahkannya. “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan , sebelum kamu menginfakan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan , tentang hal itu sungguh Allah Maha Mengetahui ” “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Sebelum suatu barang diwakafkan, tidak ada yang menyangkal sedikit pun bahwa ia adalah milik orang yang mewakafkan. Sebab,wakaf dipandang tidak sah,kecuali terhadap barang yang dimiliki secara sempurna. Kemudian,jika wakaf itu sudah dilaksanakan maka banyak perbedaan pendapat para ulama terhadap status kepemilikan barang yang diwakafkan.
Imam Maliki berpendapat bahwa kepemilikan barang yang
diwakafkan tetap berada ditangan pemilik aslinya,tetapi ia tidak boleh menggunakannya lagi. Adapun Imam Hanafi mengatakan bahwa barang yang diwakafkan itu sudah tidak ada lagi pemiliknya. Pendapat inilah yang paling kuat diantara beberapa pendapat dikalangan para pengikut Mazhab Imam Syafi’i, sedangkan Imam Hambali mengatakan bahwa barang tersebut berpindah ke tangan pihak yang diwakafi. 1. Wakif,yaitu orang yang mewakafkan harta o Cakap dalam bertindak o Berhak berbuat kebaikan o Kehendak sendiri 2. Mauquf, yaitu barang yang diwakafkan • Benda yang diwakafkan harus jelas wujud dan bentuknya • Benda yang diwakafkan memeliki nilai guna • Benda yang diwakafkan adalah milik penuh • Manfaat benda bersifat lama 3. Nazir,yaitu pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola sesuai dengan peruntukannya. 4. Mauquf ‘laih,yaitu pihak yang menerima manfaat dari pengelolaan wakaf nazir. 5. Sigat (lafal pengucapan wakaf),yaitu lafal tang diucapkan ketika melakukan proses perwakafan. a. Sarih : sigat/lafal dengan kata-kata yang jelas contoh : “Saya mewakafkan rumah ini untuk orang-orang fakir” b. Kinayah : sigat/lafal dengan kata kiasan contoh : “Saya sedekahakan rumah ini untuk orang-orang fakir ” Hikmah atau manfaat yang dapat kita ambil dari disyariatkannya wakaf adalah: 1. Mendapatkan kepuasan lahir dan batin dari apa yang diwakafkan 2. Meningkatkan kepedulian sosial terhada mereka yang membutuhkan 3. Menambah semangat dalam memberikan kemanfaatan kepada orang lain 4. Memperpanjang pahala dari barang yang diwakafkan 5. Meningkatkan peran lembaga sosial dalam pengelolaan wakaf