You are on page 1of 51

Oleh : Teacher Manalu

NIM : 0908012867
KUSTA
 Sinonim
 Zaraath (bahasa Hebrew, Kitab Injil);
 Kushtha (Hindi) berasal “Kushnati” = “eating away”
 Aussatz (German); Lepre (French); Prokaza (Rusia)
 Mafung (China); Raibyo (Japan); Judham (Arab)
 Leprosy; Morbus Hansen (M.H); Hansen Disease
Definisi

 Penyakit infeksi kronis, disebabkan Mycobacteroium


leprae
 Mula-mula mengenai SS tepi, lalu kulit & mukosa
traktus respiratorius atas, RES, mata, otot, tulang,
testis & organ lain, kecuali SSP.
 Cenderung menyebabkan cacat tangan dan kaki
Etiologi

 Mycobacterium leprae atau basil Hansen


 Ditemukan th 1873 oleh G.H.A Hansen, Norwegia
 Basil tahan asam, alkohol dan gram +
 Berkelompok (globus) atau tersebar satu-satu, sifat
parasit obligat intraseluler (jaringan dengan suhu
dingin)
 Tidak dapat dibiakan dalam media buatan, dpt
menyebabkan infeksi sistemik pd armadillo
Epidemiologi

 ± 15 – 20 juta penderita di dunia


 Penyakit endemis  tropis dan subtropis (di Asia,
Afrika & Amerika Latin a.l Brasil, Chili)
 ± 4 juta penduduk di India
 ± 200.000 penderita di Indo. (Irian & SulSel, Maluku,
NTT, KalBar, Sumatra, Jawa & Bali)
 Sosial ekonomi, higiene dan lingkungan hidup buruk
 Usia 25 – 35 tahun (13% anak < 14 tahun; tak pernah
bayi < 1 tahun)
Patogenesis

 Masa tunas : masa belah diri kuman memerlukan


waktu yang sangat lama dibandingkan kuman lain
yaitu 12-21 hari, sehingga masa tunas menjadi lama
yaitu rata-rata 2-5 tahun.
 Sumber penularan penderita MB (multi-basiler)
sebagai kontak (+) melalui:
 Kontak langsung erat dan lama  lesi kulit + suhu
dingin (terutama Susceptible persons)
 Droplet infection (aerogen) dari/ melalui mukosa
hidung (infeksi melalui oral lambung & kulit utuh
ditentang ahli)
 Pengaruh M. leprae terhadap kulit bergantung pada
faktor imunitas seseorang, kemampuan M. leprae pada
suhu tubuh yg rendah, waktu regenerasi yg lama
 M. leprae terutama terdapat pada sel makrofag di
sekitar PD superfisial pada dermis dan sel Schwann di
jaringan saraf
 Kuman M. leprae → tubuh → makrofag untuk
fagositosis
 Tipe LL → kelumpuhan SIS → makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman → multiplikasi kuman bebas
 Tipe TT → kemampuan fungsi SIS tinggi → makrofag
sanggup hancurkan kuman → makrofag berubah jadi
sel epiteloid yg tidak bergerak aktif dan kadang
bersatu membentuk sel datia Langhans → infeksi
tidak diatasi → terjadi reaksi berlebihan dan masa
epiteloid timbulkan kerusakan saraf dan jaringan
sekitar
Klasifikasi
 Klasifikasi Madrid (1953):
 Indeterminate (I)
 Tuberkuloid (TT)
 Borderline – Dimorphous (B)
 Lepromatous (L)
 Klasifikasi Ridley-Jopling : untuk kepentingan riset (1962):
 Tuberkuloid (TT)
 Borderline tuberculoid (BT)
 Mid – borderline (BB)
 Borderline Lepromatous (BL)
 Lepromatosa (LL)
 Klasifikasi WHO, klasifikasi untuk kepentingan
program kusta :
 Pausibasiler (PB)
 Hanya kusta tipe I, TT dan BT dengan BTA –
 Multibasiler (MB)
 Termasuk kusta tipe LL, BL, dan BB dan semua tipe kusta
dengan BTA +
menurut klasifikasi WHO

PB MB
1. Lesi kulit (makula -1-5 lesi -> 5 lesi
yang datar, papul -Hipopigmentasi /
yang meninggi, eritema
infiltrat, plak eritem, -Distribusi tidak -Distribusi lebih
nodus) simetris simetris
2. Kerusakan saraf
(menyebabkan -Hilangnya sensasi -Hilangnya sensasi
hilangnya yang jelas kurang jelas
sensasi/kelemahan -Hanya satu cabang -Banyak cabang saraf
otot yang dipersarafi saraf
oleh saraf yang
terkena)
Gambaran klinis tipe PB
Karakteristik Tuberkuloid (TT) Borderline Indeterminate (I)
tuberculoid (BT)
Lesi
• tipe • makula atau •Makula dibatasi •Makula
makula dibatasi infiltrat, infiltrat (hipopigmentasi)
•Jumlah infiltrat saja •Satu atau
•Ditribusi •Satu atau beberapa •beberapa atau satu beberapa
•Terlokalisasi & dengan lesi satelit •Bervariasi
•Permukaan asimetris •Asimetris
•Kering, skuama •Kering, skuama •Dapat halus agak
•Sensibilitas berkilat
BTA •Hilang •Hilang •Agak terganggu
• pada lesi kulit
Tes Lepromin •Negatif •Negatif, atau 1 + •Biasanya negatif
•Positif kuat (3+) •Positif (2+) •Meragukan (1+)
Gambaran klinis tipe MB
Karakteristik Lepromatosa (LL) Borderline
lepromatosa (BL)
Mid- borderline
(BB)
Lesi •Makula, plak
•Tipe •Makula, infiltrat (beberapa tampak •Plak, lesi
difus, papul, nodus seperti punched- berbentuk kubah,
out), papul lesi punched-out
•Jumlah •Banyak, distribusi •Banyak, tapi kulit •Beberapa, kulit
luas, praktis tidak sehat masih ada sehat (+)
ada kulit sehat
•Distribusi •Simetris •Cenderung simetris •Asimetris
•Permukaan •Halus dan •Halus, berkilap •Sedikit berkilap,
mengkilap beberapa lesi kering
•Sensibilitas •Sedikit berkurang •Berkurang
BTA •Tidak terganggu
•Pada lesi kulit •Banyak •Agak banyak
•Pada •Banyak (globi) •Biasanya tidak ada •Tidak ada
hembusan •Banyak (globi)
hidung •negatif •Biasanya negatif,
Tes Lepromin •negatif dapat juga (+)
Hubungan antara bakterioskopik,
tes mitsuda dan SIS
 Kusta tipe neural
 Tidak ada dan tidak pernah ada lesi kulit
 Ada satu atau lebih pembesaran saraf
 Ada anesthesia dan atau paralisis, serta atrofi otot pada
daerah yang disarafinya
 Bakterioskopik negatif
 Tes Mitsuda umumnya positif
 Kusta histoid
 Variasi klinis pada tipe lepromatosa
 Nodus sirkumskrip dan dapat berbentuk plak
 Bakterioskopik positif tinggi
 Timbul sebagai kasus relapse sensitive (resisten
sekunder) atau relapse resistent (resisten primer)
 Predileksi lesi kulit :
 Bagian tubuh yang relatif lebih dingin, mis pada muka,
hidung, mukosa, telinga, anggota tubuh, dan bagian
tubuh yang terbuka
Predileksi kerusakan saraf tepi :
 Nervus ulnaris
 Anestesi pada jari V dan sebagian jari IV
 Clawing jari V dan IV
 Atropi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis
medial
 Nervus medianus
 Anestesi pada ujung jari I, II dan III
 Tidak mampu aduksi ibu jari
 Clawing jari I, II dan III
 Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis

 Nervus radialis
 Anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
 Wrist drop
 Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
 Nervus poplitea lateralis
 Anestesi tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
 Foot drop
 Kelemahan otot peroneus
 Nervus tibialis posterior
 Anestesi telapak kaki
 Claw toes
 Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
 Nervus fasialis
 Cabang temporal dan zigomatik sebabkan lagoftalmus
 Cabang bukal, mandibular dan servical sebabkan hilangnya
ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
 Nervus trigeminus
 Anestesi kulit wajah dan konjungtiva mata
 Manifestasi penyakit yang menunjukkan penyakit
kusta masih aktif :
 Kulit : lesi membesar, jumlah bertambah, ulserasi,
eritematosa, infiltrat atau nodus
 Saraf : nyeri, gangguan fungsi bertambah, jumlah saraf
yang terkena bertambah
 Tanda sisa penyakit kusta :
 Kulit : atrofi, keriput, non-repigmentasi, bulu hilang
 Saraf : mati rasa persisten, paralisis, kontraktur dan
atrofi otot
Diagnosis
 Penemuan tanda kardianal :
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, makula, plak.
Anestesi pada bercak bisa total atau sebagaian saja
terhadap rasa raba, nyeri, dan rasa suhu
2. Penebalan saraf tepi
rasa nyeri dan dengan atau tanpa gangguan fungsi saraf
yang terkena :
gangguan fungsi sensoris : anestesi
gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis
gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema,
pertumbuhan rambut yang terganggu
3. Ditemukan basil tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga
dan lesi kulit pada bagian yang aktif
4. Lesi kulit yang khas
 Penegakan diagnosis, paling sedikit ditemukan satu
tanda kardinal
 Makula hipopigmentasi yang khas + 5A yaitu :
 Achromia = tidak ada pigmen
 Anestesia = baal
 Atrofi = kulit agak mencekung
 Alopesia = tanpa rambut
 Anhidrosis = tidak berkeringat
Pemeriksaan
 Anamnesis
 Keluhan pasien
 Riwayat kontak dengan pasien
 Latar belakang keluarga, mis sosial ekonomi
 Inspeksi
 Perhatikan lesi dan kerusakan kulit
 Palpasi
 Kelainan kulit : nodus, infiltrat, ulkus khususnya pada tangan
dan kaki
 Kelainan saraf : catat adanya nyeri tekan dan penebalan saraf,
bandingkan saraf bagian kiri dan kanan, membesar atau
tidak, pembesaran regular atau irregular, bergumpal,
perabaan keras atau kenyal
 Tes fungsi saraf
 Tes sensoris
 Menggunakan kapas, jarum, dan tabung reaksi berisi air hangat dan
dingin
 Raba rasa : menggunakan kapas pada bagian lesi dan bagian kulit
lain untuk periksa sensibilitas. Bercak pada kulit diperiksa bagian
tengah, bukan bagian pinggir.
 Rasa nyeri : menggunakan jarum, pasien membedakan ujung mana
yang tumpul dan mana yang tajam
 Rasa suhu : menggunakan tabung berisi air hangat dan air dingin.
Tabung dicoba pada daerah kulit yang dicurigai.
 Tes otonom
 Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi,
dilakukan tes anhidrosis
 1. tes dengan pinsil tinta (tes Gunawan), pinsil tinta digariskan mulai
dari bagian tengah lesi yang dicurigai terus sampai ke daerah kulit
normal
 2. tes Pilocarpin, daerah kulit makula dan perbatasannya disuntik
dengan pilokarpin subkutan, maka setelah beberapa menit tampak
daerah kulit normal berkeringat, sedangkan daerah lesi tetap kering.
• Tes motoris
 Voluntary muscle test (VMT)
 Pemeriksaan bakterioskopis
 Sediaan diambil dari kerokan kelainan kulit yang paling
aktif
 Kulit muka dihindari, untuk alasan kosmetik
 Pada pemeriksaan ulangan, diambil dari tempat
kelainan kulit yang sama dan bila perlu ditambah lesi
yang baru timbul
 Tempat yang sering diambil untuk sediaan : cuping
telinga, lengan, punggung, bokong, paha
 Jumlah pengambilan sediaan apus minimum
dilaksanakan di 3 tempat : cuping telinga kiri, cuping
telinga kanan, bercak yang paling aktif
Indeks Bakteri (IB)
 Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan
nonsolid dinyatakan dengan IB menurut Ridley
 0 : bila tidak ada BTA dalam 100 LP
 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP
 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
 5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
 6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
 Pemeriksaan histopatologik
 Digunakan untuk penegakan diagnosis
 Dilakukan bilamana pemeriksaan saraf sensoris sulit
dilakukan, terutama pada anak-anak
 Pada lesi dini contohnya pada tipe indeterminate
 Untuk menentukan klasifikasi yang tepat, utk
membedakan tipe TT & LL
 Pada tipe TT  ditemukan Tuberkel (Giant cell, limfosit)
 Pada tipe LL  ditemukan sel busa (Virchow cell/ sel lepra)
yaitu histiosit dimana di dalamnya BTA tidak mati, tapi
berkembang biak membentuk gelembung. Ditemukan lini
tenang (subepidermal clear zone)
 Pemeriksaan tes lepromin (digunakan utk melihat daya imunitas
penderita thdp penyakit Lepra)
 TES MITSUDA
 Menggunakan basil lepra mati

 Hasil reaksi diperiksa stlh 3 – 4 minggu

 - tidak ada reaksi/ kelainan


 +/- papel + eritema  < 3 mm

 +1 papel + eritema  3 – 5 mm

 +2 papel + eritema  > 5 mm

 +3 ulserasi

 TES FRENANDEZ
 Menggunakan fraksi prot M.leprae

 Hasil reaksi diperiksa setelah 48 jam

 - tidak ada kelainan


 +/- indurasi + eritema  < 5 mm

 + 1 indurasi + eritema  5 – 10 mm

 + 2 indurasi + eritema 10 – 15 mm

 + 3 indurasi + eritema  15 – 20 mm
Terapi
 WHO → rekomendasi pengobatan kusta dengan
regimen kombinasi → MDT-WHO (Multi drug
treatment)
 Kombinasi dapson, rifampisin, dan klofazimin
 Mengatasi resistensi dapson
 Mengurangi ketidaktaatan penderita dan menurunkan
angka putus obat pada masa monoterapi dapson
 Mengeliminasi persisten kuman kuata dalam jaringan
 Obat DDS (4,4 diamino-difenil-sulfon, Dapson)
 Bersifat bakteriostatik menghambat enzim dihidrofolat
sintetase, bekerja sbg antimetabolit PABA
 Dosis tunggal (sampai 6 bulan):
 50 – 100 mg/ hari  utk dewasa
 2 mg/ kgBB untuk anak-anak
 Efek samping
 Insomnia, neuropatia
 Erupsi obat  nekrolisis epidermal toksika !!
 Hepatitis
 Leukopenia,anemia hemolitik, methemoglobinemia
 Rifampisin
 merupakan obat paling ampuh dg sifat bakteriostatik kuat
utk BTA
 bekerja menghambat enzim polimerase RNA dengan ikatan
ireversibel, harga mahal
 Dosis:
 600 mg/ hari (5 – 15 mg/ kgBB/hari)
 900 – 1200 mg/ minggu  flu like syndrome
 600 atau 1200/ bulan  efek & toleransi baik
 Efek samping
 Ggn Gastrointestinal
 Erupsi kulit

 Hepatotoksik & nefrotoksik


 Klofazimin (B-663, Lamprene)
 Merupakan derivat zat warna iminofenazin dengan efek
bakteriostatik, cara menggangu metabolisme radikal
oksigen
 Efek anti-inflamasi berguna utk reaksi lepra, harga
relatif mahal
 Dosis:
 50 mg/ hari atau 100 mg/ 3x seminggu (1 mg/ kgBB sehari)
 300 mg/ bulan utk cegah reaksi lepra
 Efek samping
 Pigmentasi kulit  keringat & air mata merah
 Gangguan GIT  anorexia, vomitus, diare, kadang-kadang
nyeri abdomen
 SKEMA REJIMEN MDT-WHO
 Untuk Pausi-basiler
 Rifampisin 600 mg/ bulan (diawasi)
 Dapson 100 mg/hari (swakelola)  6 bln (dosis 1 – 2
mg/kgBB/hari)
 Untuk Multi-basiler
 Rifampisin 600 mg/ bulan (diawasi)
 Dapson 100 mg/ hari (swakelola)
 Lamprene 50 mg/ hari atau 100 mg/3x seminggu atau 300 mg/
bulan (diawasi)
OBAT KUSTA BARU
 OFLOKSASIN
 Merupakan obat turunan fluorokuinolon yang paling efektif
thd M.leprae
 Kerja melalui hambatan thdp enzim girase DNA
mikobakterium
 Dosis percobaan: 400 mg/ hari selama 1 bulan
 MINOSIKLIN
 Merupakan turunan tetrasiklin yang aktif thdp M.lepra
karena sifat lipofiliknya mampu menembus dinding sel
kuman
 Cara kerjanya menghambat sintesis protein
 Obat ini dapat menembus kulit dan mencapai jaringan saraf
yang mengandung banyak kuman
 Dosis uji klinis: 100 mg/ hari selama 2 bulan
 KLARITROMISIN
 Merupakan obat golongan makrolid (spt eritromisin &
roksitromisin)
 Mempunyai efek bakterisidal setara dengan ofloksasin &
minosiklin ada mencit
 Bekerja dengan menghambat sintesis protein
 Dosis uji klinis: 500 mg/ hari
Reaksi Lepra
 Reaksi kusta menggambarkan keadaan mengenai
pelbagai gejala dan tanda radang akut lesi pasien kusta
sebagai kelaziman dalam perjalanan penyakit atau
bagian komplikasi penyakit kusta
 Komplikasi jaringan akibat invasi masif M. leprae
 Komplikasi akibat reaksi
 Komplikasi akibat imunitas yang menurun
 Komplikasi akibat kerusakan saraf
 Komplikasi disebabkan resisten terhadap obat antikusta
Etiologi :
 Kemingkinan reaksi menggambarkan episode
hipersensitivitas akut terhadap antigen basil yg
menimbulkan gangguan keseimbangan imunitas yg telah
ada
 Faktor pencetus :
 Setelah pengobatan antikusta yang intensif
 Infeksi rekuren
 Pembedahan
 Stres fisik
 Imunisasi
 Kehamilan
 Saat-saat setelah melahirkan
Pembagian reaksi
 2 tipe menurut hipersensitivitas yang menyebabkan :
 Reaksi lepra tipe I disebabkan oleh hipersensitivitas
selular
 Reaksi lepra tipe 2 disebabkan oleh hipersensitivitas
humoral
 Fenomena Lucio atau reaksi kusta tipe 3, sebenarnya
merupakan bentuk tipe 2 yang lebih berat
1. Reaksi Lepra Tipe I (Reversal Reaction)
Sering pada tipe PB (TT-BB)
perubahan keseimbangan antar imunitas
(SIS) dan basil
lebih sering pada bentuk BB
1.a. Reaksi Down Grading o.k. imunitas penderita
menurun, sehingga proliferasi bakteri >>, timbul lesi-lesi
baru  tipe L
1.b. Reaksi Up Grading o.k. peningkatan imunitas
penderita, sehingga lesi yang tenang  meradang akut 
tipe T
Gejala:
Kelainan kulit bertambah dengan atau tanpa
ringan/ berat  cacat a.l. Claw Hand
Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat

Kulit Lesi kulit yang telah ada Lesi yang ada menjadi
menjadi lebih eritematosa. Timbul lesi
eritematosa baru yang kadang-kadang
disertai panas dan
Saraf malaise
Membesar, tidak nyeri Membesar, nyeri, fungsi
fungsi, tidak terganggu
mengganggu Berlangsung lebih dari 6
Kulit dan saraf bersama- Berlangsung kurang dari minggu
sama 6 minggu Lesi kulit yang
Lesi ada menjadi lebih eritematosa disertai
erimatosa, nyeri pada ulserasi atau odeme pada
saraf tangan/kaki
Berlangsung kurang dari Saraf membesar, nyeri
6 minggu dan fungsinya terganggu
Berlangsung sampai 6
minggu atau lebih
2. Reaksi Lepra Tipe II (Eritema Nodosum Leprosum/
ENL)
 Sering timbul tipe multibasiler (BL-LL), di sini
imunitas humoral menurun, sehingga terjadi reaksi
dengan antigen yang banyak dilepas serta mengaktifkan
sistem komplemen  kompleks imun
 Umumnya sedang dapat terapi DDS (Dapsone)
 Biasanya disertai dengan gejala sistemik
 Tidak lazim terjadi dalam 6 bulan
pertama pengobatan, terjadi pada akhir
pengobatan karena basil telah menjadi
granular
Gejala:
 Malaise, mialgia, demam sampai menggigil
 Infiltrat bertambah  nodulus/ nodus eritematosus
berkelompok + nyeri tekan terutama di muka,
punggung, dada
 Iritis, neuritis, arthritis, pleuritis, nefritis, orchitis
Manifestasi reaksi lepra tipe 2
Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat

Kulit •Nodus sedikit, dapat •Nodus banyak, nyeri


berulserasi berulserasi
•Demam ringan, malaise •Demam tinggi, malaise

Saraf •Saraf membesar •Saraf membesar, nyeri


•Tidak nyeri
Mata •Fungsi tidak terganggu •Fungsinya terganggu
•Linak, tidak nyeri •Nyeri, penurunan visus
dan merah sekitar limbus
testis •Lunak, nyeri dan
membesar

You might also like