Professional Documents
Culture Documents
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum: tampak lemas, CM
TD: 100/60
Pemeriksaan Fisik
Lidah kotor (-)
Tonsil hiperemis (-)
Sianosis (-)
Pem. Leher:
Limfonodi bengkak (-)
Tiroid membesar (-)
JVP meningkat (-)
Pem. Thorax:
Pemeriksaan Fisik & Penunjang
Pem. Abdomen:
Inspeksi: Jejas (-), datar
Auskultasi: Bising Usus (+) normal
Palpasi: Supel (+), distensi (-), NTE (+), hepar dan lien tidak
teraba
Perkusi: Timpani
Pem. Ekstrimitas:
Udem (-)
Akral hangat (+)
Pemeriksaan Penunjang:
Laboratorium
Hematologi:
AL: 6,5 (4-10 ribu/uL)
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil: 3 (0-5%)
Basofil: 1 (0-1%)
Netrofil: 84 (50-70%)
Limfosit: 6 (25-40%)
Monosit: 6 (2-8%)
AE: 4,74 (4,4-5,9 juta/uL)
Pemeriksaan Penunjang:
Laboratorium
Imunologi:
CRP: Negatif
HBsAg: Negatif
Kimia Klinik:
GDS: 186 (70-140 mg/dl)
HbA1c: 11,1 (4,8-5,9 %)
Bilirubin total: 0,37 (0,1-1,2 mg/dl)
Protein total: 5,8 (6,6-8,8 g/dl)
Albumin: 3,6 (3,5-5,2 g/dl)
Diagnosis & Terapi
Diagnosis Kerja Cephalgia dengan riwayat DM tipe 2; DD
Vertigo
Terapi:
Glimepiride Tab 1 x 2 mg
Metformin Tab 2 x 500 mg
Apidra 3 x 8 UI (Insulin Glulisin)
Betaserc Tab 3 x 8 mg (Betahistin) vertigo, pusing,
gangguan keseimbangan
Nexium Extra Inj 40 mg (Exomeprazole) dalam NaCl 100 ml
tukak lambung & duodenum
Tomit Extra Inj 1 ampul 10 mg/ 2ml (Metoclopramide)
Mual muntah
Follow Up
12-03-2013 13-03-2013 14-03- 15-3-
2013 2013
Tek. 100/70 104/66 110/70 130/90
Darah
Suhu 36,4 36,4 36,8 36,5
Nadi 80x 80x 85x 85x
GDS Jam 06: 145 Jam 01: 97 Jam 06: Jam 06:
Jam 17: 146 Jam 06: 119 103 97
Jam 23: 61 Jam 11: 68 Jam 11:
Jam 17: 106 159
Jam 23: 123 Jam 17: 73
Jam 23:
109
Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005:
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya.
Menurut WHO 1980:
DM sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi
yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat
defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi
insulin.
Prevalensi
World Health 2000 2030
Organization People People
(WHO) With With
memperkiraka Ranking Country Country
Diabetes Diabetes
n, prevalensi (Millions) (Millions)
global diabetes India India
melitus tipe 2 1 31,7 79,4
China China
akan 2 20,8 42,3
USA USA
meningkat dari 3 17,7 30,3
Indonesi Indonesi
171 juta orang 4 8,4 21,3
a a
pada 2000 5 6,8 13,9
Japan Pakistan
penderitamenjadi
DM di Indonesia
366 sadar; 30% penderita DM melakukan pemeriksaan te
juta tahun
Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005:
Diabetes Melitus Tipe 1
Patogenesis: Diabetes Melitus
Tipe 1
Disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi
akibat kerusakan sel beta pankreas. Gejala yang menonjol
adalah sering kencing (terutama malam hari), sering lapar dan
sering haus, sebagian besar penderita DM tipe ini berat
badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda
dan memerlukan insulin seumur hidup.
Pada saat diabetes melitus tergantung insulin muncul,
sebagian besar sel pankreas sudah rusak. Proses perusakan ini
hampir pasti karena proses autoimun, meskipun rinciannya
masih samar. Ikhtisar sementara urutan patogenetiknya
adalah:
1. Harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini.
2. Keadaan lingkungan seperti infeksi virus diyakini
Patogenesis: Diabetes Melitus
Tipe 1
3. Insulitis, sel yang menginfiltrasi sel pulau adalah
monosit/makrofag dan limfosit T teraktivasi.
4. Perubahan sel beta sehingga dikenal sebagai sel asing.
5. Perkembangan respon imun. Karena sel pulau sekarang
dianggap sebagai sel asing, terbentuk antibodi sitotoksik
dan bekerja sama dengan mekanisme imun seluler.
6. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan penampakan
diabetes.
Patogenesis: Diabetes Melitus
Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja
dengan baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan
meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa
tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap
tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita
DM tipe II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya
diketahui DM setelah usia 30 tahun.
Pasien DM tipe 2 mempunyai dua defek fisiologik:
1. sekresi insulin abnormal dan,
2. resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (target).
Abnormalitas yang utama tidak diketahui.
Patogenesis: Diabetes Melitus
Tipe 2
Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis
yang biasa:
1. Glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin
karena kadar insulin meningkat.
2. Resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun
konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam
bentuk hiperglikemia setelah makan.
3. Resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun,
menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.
Faktor Risiko
Usia > 45 tahun
Berat badan lebih > 110% BB ideal atau IMT > 23 kg/m2
Hipertensi (> 140/90 mmHg)
Riwayat DM dalam garis keturunan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir
bayi > 4000 gram
Kolesterol HDL 35 mg/dl dan atau trigliserida 150 mg/dl
Manifestasi Klinis
4P: Polifagi, Penurunan berat badan, Polidipsi, Poliuri; juga
keluhan tambahan lain seperti sering kesemutan, rasa baal dan
gatal di kulit
Kriteria diagnostik antara lain Gejala klasik DM ditambah Gula
Darah Sewaktu 200 mg/dl. Gula darah sewaktu merupakan
hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan
waktu makan terakhir, atau
Kadar Gula Darah Puasa 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien
tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam, atau
Kadar gula darah 2 jam pada TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral)
200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan standar WHO 1994,
menggunakan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam
Komplikasi: Penyulit Akut
Ketoasidosis diabetik (KAD), suatu keadaan terdapatnya
defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon
kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon
pertumbuhan) sehingga menyebabkan produksi glukosa hati
meningkat dan penggunaan glukosa oleh sel tubuh menurun
dengan hasil akhir hiperglikemia. Berkurangnya insulin
mengakibatkan aktivitas kreb cycle menurun sehingga
terjadilah glukoneo-genesis dari lemak dan protein yang akan
mengakibatkan end product berupa benda keton yang bersifat
asam. Kriteria diagnosis KAD adalah GDS > 250 mg/dl, pH
<7,35, HCO3 rendah, anion gap tinggi dan keton serum (+).
Biasanya didahului gejala berupa anorexia, nausea, muntah,
sakit perut, sakit dada dan menjadi tanda khas adalah
Komplikasi: Penyulit Akut
Koma Hiperosmolar Non Ketotik, ditandai oleh penurunan
kesadaran dengan gula darah lebih besar dari 600 mg% tanpa
ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350
mosm. Keadaan ini jarang mengenai anak-anak, usia muda
atau DM tipe 2 karena pada keadaan ini pasien akan jatuh ke
dalam kondisi KAD, sedang pada DM tipe 2 dimana kadar
insulin darahnya masih cukup untuk mencegah lipolisis.
Hipoglikemia, ditandai dengan menurunnya kadar glukosa
darah < 60 mg% tanpa gejala klinis atau GDS < 80 mg%
dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium parasimpatik: lapar,
mual, tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan:
lemah lesu, sulit bicara gangguan kognitif sementara. Stadium
simpatik, gejala adrenergik yaitu keringat dingin pada muka,
Komplikasi: Penyulit Menahun
Mikroangiopati Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi
endotel dan trombosis
Retinopati Diabetik
Nefropati Diabetik, ditandai dengan albuminuria menetap >
300 mg/24 jam. Berlanjut menjadi proteinuria akibat
hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat
glomerulus. Akibat glikasi nonenzimatik dan AGE, advanced
glication product yang ireversible dan menyebabkan hipertrofi
sel dan kemoatraktan mononuklear serta inhibisi sintesis nitric
oxide sebagai vasadilator, terjadi peningkatan tekanan
intraglomerulus dan bila terjadi terus menerus dan inflamasi
kronik, nefritis yang reversible akan berubah menjadi nefropati
Komplikasi: Penyulit Menahun
Neuropati diabetik, yang tersering dan paling penting
adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal.
Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar
sendiri dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis
DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining
untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan
pemeriksaan neurologi sederhana/tahun.
Makroangiopati
Pembuluh darah jantung atau koroner dan otak,
kewaspadaan kemungkinan terjadinya PJK dan stroke harus
ditingkatkan terutama untuk mereka yang mempunyai resiko
Penatalaksanaan: Edukasi &
Terapi Gizi
Tujuan: mencegah komplikasi akut dan kronik; meningkatkan
kualitas hidup
Pilar penatalaksanaan Diabetes mellitus:
A. Edukasi
B. Terapi gizi medis, pada prinsipnya melakukan pengaturan
pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetes dan
melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan
individual.
Tujuan terapi gizi ini adalah untuk mencapai dan
mempertahankan:
1. Kadar glukosa darah yang mendekati normal
Glukosa darah berkisar antaara 90-130 mg/dl
Penatalaksanaan: Edukasi &
Terapi Gizi
2. Tekanan darah < 130/80
3. Profil lipid:
Kolesterol LDL <100 mg/dl
Kolesterol HDL >40 mg/dl
Trigliserida <150 mg/dl
4. Berat badan senormal mungkin, BMI 18 24,9
Komposisi nutrien berdasarkan konsensus nasional adalah
Karbohidrat 60-70%, Lemak 20-25%, dan Protein 10-15%.
Menentukan kebutuhan kalori basa yang besarnya 25-30
kalori/kg BB ideal ditambah atau dikurangi bergantung pada
beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan dan lain-lain.
Penatalaksanaan: Edukasi &
Terapi Gizi
Kebutuhan Basal
Laki-laki = BB ideal (kg) x 30 kalori
Wanita = BB ideal (kg) x 25 kalori
Koreksi:
Umur
40-59 th : -5%
60-69 : -10%
>70% : -20
Penatalaksanaan: Latihan
Jasmani
Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan
pagi 20%, makan siang 30% dan makan malam 25%, serta 2-3
porsi ringan 10-15% diantara porsi besar.
C. Latihan Jasmani, sangat dianjurkan karena mengurangi
resiko kejadian kardiovaskular dimana pada diabetes telah
terjadi mikroangiopati dan peningkatan lipid darah. Dengan
latihan jasmani kebutuhan otot akan glukosa meningkat
dan ini akan menurunkan kadar gula darah.
.5-10 menit pertama: glikogen akan dipecah menjadi glukosa
.10-40 menit berikutnya: kebutuhan otot akan glukosa akan
meningkat 7-20x. Lemak juga akan mulai dipakai untuk
pembakaran sekitar 40%
Penatalaksanaan: Latihan
Jasmani
Semua latihan memenuhi program CRIPE: Continous,
Rhythmical, Interval, Progressive, Endurance.
Continous maksudnya berkesinambungan dan dilakukan terus-
menerus tanpa berhenti.
Rhytmical artinya latihan yang berirama, yaitu otot berkontraksi
dan relaksi secara teratur.
Interval, dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat.
Progresive dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari
intensitas ringan sampai sedang hingga 30-60 menit.
Endurance, latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan
kardiopulmoner seperti jalan santai, jogging dll.
Penatalaksanaan: Intervensi
Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa
darah belum tercapai degan pengaturan makanan dan latihan
jasmani.
Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
1. Insulin Secretagogue
a. Sulfonilurea: meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Merupakan obat pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal dan kurang namun masih
boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan
lebih. Contohnya glibenklamid.
b. Glinid: bekerja cepat, merupakan prandial glucose
regulator. Penekanan pada peningkatan sekresi insulin
Penatalaksanaan: Intervensi
Farmakologis
2. Insulin Sensitizers
Thiazolindindion. Mensensitisasi insulin dengan jalan
meningkatkan efek insulin endogen pada target organ (otot
skelet dan hepar). Menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga ambilan glukosa di perifer meningkat. Agonis
PPAR yang ada di otot skelet, hepar dan jaringan lemak.
3. Glukoneogenesis Inhibitor
Metformin. Bekerja mengurangi glukoneogenesis hepar
dan juga memperbaiki uptake glukosa perifer. Terutama
dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Kontraindikasi
pada pasien dengan gangguan ginjal dan hepar dan pasien
dengan kecendrungan hipoksemia.
Penatalaksanaan: Intervensi
Farmakologis
4. Inhibitor absorbsi glukosa
glukosidase inhibitor (acarbose). Bekerja
menghambat absorbsi glukosa di usus halus sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Obat ini tidak menimbulkan efek hipoglikemi
Hal-hal yang harus diperhatikan:
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara
bertahap sesuai respon kadar glukosa darah, dapat diberikan
sampai dosis maksimal. Sulfonilurea generasi I dan II 15-30
menit sebelum makan. Glimepirid sebelum/sesaat sebelum
makan. Repaglinid, Nateglinid sesaat/sebelum makan. Metformin
sesaat/pada saat/sebelum makan. Penghambat glukosidase
bersama makan suapan pertama. Thiazolidindion tidak
Penatalaksanaan: Intervensi
Farmakologis
Insulin
Indikasi pemberiaan insulin pada pasien DM lanjut usia seperti
pada non lanjut usia, uyaitu adanya kegagalan terapi ADO,
ketoasidosis, koma hiperosmolar, adanya infeksi (stress), dll.
Dianjurkan memakai insulin kerja menengah yang dicampur
dengan kerja insulin kerja cepat, dapat diberikan satu atau dua
kali sehari.
Kesulitan pemberiaan insulin pada pasien lanjut usia ialah
karena pasien tidak mau menyuntik sendiri karena
persoalnnya pada matanya, tremor, atau keadaan fisik yang
terganggu serta adanya demensia. Dalam keadaan seperti ini
tentulah sangat diperlukan bantuan dari keluarganya
Penatalaksanaan: Intervensi
Farmakologis
Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi insulin basal dan
sekresi insulin prandial. Terapi insulin diupayakan mampu
meniru pada sekresi insulin yang fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin hanya berupa defisiensi insulin
basal, insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal
menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa,
sedangkan defisiensi nsulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan
koreksi terhadap defisiensi yang terjadi. Terapi insulin dapat
diberikan secara tunggal berupa insulin kerja cepat (rapid
insulin), kerja pendek (short acting), kerja menengah
Penatalaksanaan: Intervensi
Farmakologis
Insulin diperlukan dalam keadaan: penurunan berat badan
yang cepat; hiperglikemia yang berat disertai ketosis, asidosis
laktat, hiperosmolar non ketotik; ketoasidosis diabetik; gagal
dengan kombinasi OHO dengan dosis yang hampir maksimal;
stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke);
kehamilan dengan DM/DM Gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan; gangguan fungsi hepar atau
ginjal yang berat; kontraindikasi atau alergi OHO.
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis
rendah untuk kemudian diinaikan secara bertahap. Kombinasi
yang banyak dipakai adalah kombinasi OHO dan insulin basal
(kerja menengah atau kerja lama) yang diberikan pada malam
hari atau menjelang tidur. Dosis awal insulin kerja menengah
Kriteria Pengendalian DM
Baik Sedang Buruk
Glukosa darah puasa (mg/dl) 80-109 110-139 >140
Glukosa darah 2 jam (mg/dl) 110-159 160-199 >200
HbA1c (%) 4-5,9 6-8 >8
2. Persi. Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu Diabetes. 2008 diakses dari http:
//pdpersi.co.id
3. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya, Diagnosis dan Strategi Pengelolaannya.
Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, 2006; 1906.
4. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta :
PERKENI, 2011
5. Foster DW. Diabetes Melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Asdie, A, editor. Volume 5.
Jakarta: EGC, 2000; 2196.
6. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2006. Pengurus
Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta. 2006
7. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya, Diagnosis, dan Strategi Pengelolaan. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1920
8. Gustavani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen
Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1873