You are on page 1of 25

2006 scumdoctor.

com

Anak Psikologi Dan Perilaku Agresif http://www.scumdoctor.com/Indonesian/parenting/child-psychology/Child-Psychology-AndAggresive-Behaviour.html Dalam psikologi anak atau jenis lainnya psikologi, agresi adalah perilaku yang didefinisikan sebagai ekspresi kemarahan dan perilaku defensif yang ditimbulkan pada anggota spesies yang sama. Terdapat beberapa alasan untuk agresi ingin menyakiti atau merugikan orang lain atau menunjukkan dominasi. Beberapa anak juga mengungkapkan agresi beberapa kali. Juga, anak-anak laki-laki cenderung lebih agresif daripada anak-anak perempuan dan juga umum menunjukkan bahwa anak laki-laki itu pada kedua laki-laki dan perempuan. Agresi, bagaimanapun, menunjukkan diri pada anak-anak pada usia 2 atau 3 dan berlangsung selama beberapa tahun. Pada anak yang normal tingkat perilaku agresif menghilang secara bertahap. Sebagian kecil anak tidak menunjukkan perkembangan positif dalam perilaku agresif dan terus seperti itu melalui pengembangan tahun. Ini mengindikasikan adanya masalah yang lebih besar pada anak-anak. Jika agresi pada anak-anak tidak diperiksa pada tahap awal, anak-anak tersebut cenderung menjadi lebih keras sebagai orang dewasa. Psikolog mengharapkan anak-anak yang lebih muda akan pergi ke taman kanak-kanak untuk menjadi lebih tegas dan mampu menanggapi rekan-rekan. Ketika beberapa anak-anak dihadapkan dengan tekanan teman sebaya pada usia mereka yang paling mungkin untuk merespon melalui perilaku agresif dan mulai memukul atau menggigit teman-teman mereka. Namun, sangat penting bagi orangtua dan anak-anak untuk membedakan antara agresi dan ketegasan. Perilaku agresif dapat menghambat anak-anak dalam iklan siklus perkembangan yang normal menyebabkan mereka menjadi lambat. Alasan utama agresi pada anak-anak dapat menjadi ketakutan, masalah keluarga, masalah belajar, autisme dan trauma emosional.

Perilaku Kasar dan Melawan (Agresif) http://agusria.wordpress.com/2011/03/07/perilaku-kasardan-melawan-agresif/

Posted: 7 Maret 2011 by Laskar Sudirman in Bimbingan dan Konseling

0 PERILAKU KASAR DAN MELAWAN (AGRESIF)

By: Agus Ria Haniati

A. Pengertian Perilaku agresif lebih menekan pada suatu yang bertujuan untuk menyakiti orang lain dan secara sosial tidak dapat diterima. Ada dua utama agresi yang saling bertentangan yakni untuk membela diri dan di pihak lain adalah untuk meraih keuntungan dengan cara membuat lawan tidak berdaya (Rita, 2005 : 105). Istilah kekerasan (violence) dan agresif (agresion) memiliki makna yang hampir sama, sehingga sering kali dipertukarkan. Perilaku agresif selalu dipersepsi sebagai kekerasan terhadap pihak yang dikenai perilaku tersebut. Pada dasarnya perilaku agresif pada manusia adalah tindakan yang bersifat kekerasan yang dilakukan oleh manusia terhadap sesamanya. Menurut Sadorki dan Sadock (2003) bahaya atau pencederaan yang diakibatkan oleh perilaku agresif bisa berupa pencederaan fisikal, namun pula bisa berupa pencederaan non fisikal atau semisal yang terjadi akibat agresi verbal (Anantasari, 2006 : 63). Dalam psikologi anak atau jenis lainnya psikologi, agresi adalah perilaku yang didefinisikan sebagai ekspresi kemarahan dan perilaku defensif yang ditimbulkan pada anggota spesies yang sama. Terdapat beberapa alasan untuk agresi ingin menyakiti atau merugikan orang lain atau menunjukkan dominasi. Dari beberapa definisi agresif di atas dapat disimpulkan bahwa agresif adalah suatu ekspresi kemarahan dan perilaku defensive yang ditimbulkan dengan tindakan kekerasan yang bertujuan untuk menyakiti orang lain dan tidak dapat diterima secara social.

B. Ciri-Ciri Perilaku Kasar dan Melawan (Agresif) Anak-anak yang sering mengalami perilaku yang menyimpang atau perilaku agresifnya biasanya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Menyakiti/merusak diri sendiri, orang lain. Perilaku agresif termasuk yang dilakukan anak hamper pasti menimbulkan adanya bahaya berupa kesakitan yang dapat dialami oleh dirinya sendiri ataupun oleh orang lain. 1. Tidak diinginkan oleh orang yang menjadi sasarannya. Perilaku agresif, terutama agresi yang keluar pada umumnya juga memiliki sebuah ciri yaitu tidak diinginkan oleh organisme yang menjadi sasarannya. 1. Seringkali merupakan perilaku yang melanggar norma social.

Perilaku agresif pada umumnya selalu dikaitkan dengan pelanggaran terhadap norma sosial. Dari berbagai ciri-ciri diatas,guru hendaklah memperhatikan perkembangan anak didiknya.Pemahaman lebih dini rupanya menjadi penting sehingga dapat dilakukan berbagai hal bijaksana yang dapat mengantisipasi perilaku agresif pada anak tersebut (Anantasari, 2006: 90)

C. Sebab-sebab atau Latar Belakang Perilaku Kasar dan Melawan (Agresif) Dalam Surya (2004: 45 - 48) disebutkan bahwa factor pencetus anak suka berperilaku suka agresif, antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Anak merasa kurang diperhatikan atau merasa terabaika. Anak selalu merasa tertekan, karena selalu mendapat perlakuan kasar. Anak kurang merasa dihargai atau disepelekan. Tumbuhnya rasa iri hati anak. Sikap agresif merupakan cara berkomunikasi anak. Pengaruh kekurangharmonisan hubungan dalam keluarga. Pengaruh tontonan aksi-aksi kekerasan dari media TV. Pengaruh pergaulan yang buruk

Sumber lain menyebutkan ada dua macam sebab yang mendasari tingkah laku agresif pada anak, yaitu: 1. Pertama, tingkah laku agresif yang dilakukan untuk menyerang atau melawan orang lain. Macam tingkah laku agresif ini biasanya ditandai dengan kemarahan atau keinginan untuk menyakiti orang lain. 2. Kedua, tingkah laku agresif yang dilakukan sebagai sikap mempertahankan diri terhadap serangan dari luar. Penyebab perilaku agresif digolongkan dalam beberapa factor yakni : 1. Faktor Biologis a. Sistem Otak

Para peneliti yang menyelidiki kaitan antara cedera kepala dan perilaku kekerasan mengidentifikasikan betapa kombinasi pencederaan fisikal yang pernah dialami. Cedera kepala

mungkinikut melandasi perilaku agresif. Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau memperlambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Prescott (Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang pernah mengalami kesenangan, kegembiraan cenderung untuk melakukan kekejaman atau penghancuran. Prescott yakin bahwa keinginan yang kuat untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurangnya rangsangan sewaktu bayi. b. Gen

Merupakan faktor yang tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. c. Kimia Darah

Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditemukan pada faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresif (Rita, 2005 : 107). 1. Faktor Lingkungan a. Kemiskinan

Bila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresif mereka secara alami mengalami perbuatan (Byod Mc Cendles dalam Davidoff). Hal ini dapat dilihat dan dialami dalam kehidupan sehari-hari apalagi di kota-kota besar, dalam antrian lampu merah, perempatan jalan. Model agresi modeling sering kali diadopsi anak-anak sebagai model pertahanan diri dan pertahanan hidup. b. Anonimitas

Terlalu banyak rangsangan indra kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal artinya antara satu orang dengan orang yang lain tidak saling mengenal. Setiap individu menjadi anonym tidak mempunyai identitas. Bila seorang mempunyai anonim ia cenderung berperilaku menyendiri. c. Suhu Udara Panas

Pengaruh polusi udara, kebisingan dan kesesakan karena kondisi manusia yang terlalu berjejal. Kondisi-kondisi itu bisa melandasi perilaku agresif (Rita, 2005 : 108) 1. Faktor Psikologis a. Perilaku Naluriah

Menurut Sigmund Freud, dalam diri manusia ada naluri kematian yang ia sebut pula thanatos yaitu energi yang tertuju untuk perusakan. Agresi terutama berakar dalam naluri kematian yang diarahkan bukan ke dalam diri sendiri melainkan diarahkan pada orang lain. b. Perilaku Yang Dipelajari.

Menurut Albert Bandura perilaku agresif berakar dalam respons-respons yang dipelajari manusia lewat pengalamanpengalaman di masa lampau (Anantasari, 2006 : 64) 1. Faktor Sosial a. Reaksi Emosi Terhadap Frustasi

Tidak diragukan lagi pengaruh frustasi dalam peryakan perilaku agresif. John Dollad berpendapat frustasi bias mengakari agresif. Kendati demikian tidak setiap anak yang mengalami frustasi seta merupakan agresi. Agresivitas muncul akibat banyaknya larangan yang diperbuat guru dan orang tua. (Rosmala, 2005 : 112)

b.

Provokasi Langsung

Pencederaan fiskal dan ejekan verbal dari orang-orang lain bisa memicu perilaku agresif. Perilaku ini biasanya dilakukan karena anak kurang mendapatkan perhatian dari orang-orang di sekelilingnya dan anak akan terus akan mencari perhatian. Orang tua anak yang agresif biasanya mempunyai gejolak emosi yang buruk dan situasi emosional perkawinan sebagai reaksi dari penolakan. Akibatnya anak melakukan agresi sebagai reaksi dari penolakan oleh orang tua. c. Peniruan (Modeling)

Semua perilaku tidak terkecuali agresif lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Peniruan tidak dilakukan pada semua orang tetapi terhadap figur tertentu seperti ayah, ibu, kakak, atau teman bermainnya yang memiliki perilaku agresif. Orang tua sering bertengkar menyebabkan anak juga akan sering bertengkar. Terdapat kaitan antara agresi dan paparan tontonan kekerasan lewat televisi. Semakin banyak anak menonton kekerasan lewat televisi, maka tingkata agresi anak terhadap orang lain bisa meningkat pula. Ternyata pengaruh tontonan kekerasan lewat televisi bersifat komulatif artinya makin panjang paparan tontonan kekerasan semakin meningkat pula perilaku agresinya. Aletha Stein (Davidoff, 1991) mengemukakan bahwa anak yang memiliki kadar agresi di atas normal akan lebih cenderung berlaku agresif. Maka setelah menyaksikan adegan kekerasan ia akan bertindak seperti terhadap orang lain. (Anantasari, 2006 : 65) 1. Faktor Situasional Termasuk dalam faktor ini antara lai adalah rasa sakit, terluka yang dialami anak. Perasaan anak yang terluka entah karena rasa kesal, marah, kecewa, sedih dan ia tidak tahu bagaimana cara

semestinya untuk mengungkapkan perasaan-perasaan itu, maka ia melampiaskan dengan perilaku agresif. (Anantasari, 2006 : 66)

D. Bahaya yang Timbul Dari Perilaku Kasar dan Melawan (Agresif) Agresivitas memiliki dampak sosial yang luas. Agresivitas seorang anak bisa berpengaruh terhadap situasi sosial dilingkungannya. Agresivitas juga bersifat langsung dan sangat berpengaruh terhadap diri anak. Apabila perilaku agresif tidak segera ditangani dan tidak mendapat perhatian dari orang tua maupun pendidiknya, maka akan berpeluang besar menjadi yang persistent atau menetap. Di lingkungan sekolah anak agresif cendedrung ditakuti dan dijauhi teman-temannya dan ini dapat menimbulkan masalah baru karena anak terisolir dari lingkungan disekelilingnya. Perilaku agresif yang dibiarkan begitu saja, pada saat remaja nanti akan menjadi juvenite deliquence yakni perilaku khas kenakalan remaja. Dengan deemikian, perilaku agresif dari sejak anak berusia dini berpengaruh pada perkembangan-perkembangan anak selanjutnya.

E. Cara Mengatasi Perilaku Kasar dan Melawan (Agresif) Dalam Surya (2004: 49 51) ada beberapa langkah pendekatan yang dapat kita lakukan untuk mengantisipasi perilaku anak suka agresif, antara lain: 1. Jika melihat anak secara langsung bersikap agresif terhadap temannya, berusahalah untuk mencegahnya dengan tanpa menyinggung perasaan anak. 2. Kita harus memperlakukan anak dengan sabar, kita tidak boleh bersikap agresif menghadapi anak yang suka agresif. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Dengarkan suara hati anak. Ajarkan pada anak cara bergaul dengan baik dan menyenangkan. Kita bisa mendampingi dan mengawasi anak saat bermain bersama teman atau saudaranya. Kita bisa membatasi jumlah teman bermain anak. Ciptakan suasana kebersamaan dalam keluarga. Damping anak ketika nonton TV

Dalam (Sobur, 1987) dijelaskan bahwa untuk menanggapi sikap agresif anak-anak, kita perlu melacak dua macam jalan keluarnya. Pertama, bagaimana mengurangi sikap agresifnya pada saat ini. Sedangkan jalan keluar yang lebih berjangka panjang adalah mencegah timbulnya sikap

agresif dimasa yang akan datang. Apapun yang dipilih untuk menyalurkan dorongan agresifnya ini, tetap berarti bahwa dorongan agresif itu sendiri harus disalurkan dengan sebaik-baiknya. Perbuatan orangtua untuk setiap kali menyuruh diam anak-anak yang sedang bertengkar, atau menghukum anak setiap kali habis berkelahi dengan temannya adalah kurang bijaksana.

DAFTAR PUSTAKA

Anantasari. 2006. Menyikapi Perilaku Agresif Anak, Yogyakarta : KANISUS Dewi, Rosmala. 2005. Berbagai Masalah Anak TK, Jakarta: Depdiknas Ezzaty, Eka Rita. 2005. Mengenali Permasalahan Perkembangan Anak Usia TK. Jakarta ; Depdiknas Sobur, Alex. 1987. Butir-Butir Mutiara Rumah Tangga. Jakarta: BPK Gunung Mulia Surya, Hendra. 2004. Kiat Mengatasi Perilaku Penyimpangan Perilaku Anak (Usia 3 12 Tahun). Jakarta: PT Elex media Komputindo. http://www.scumdoctor.com/Indonesian/parenting/child-psychology/Child-Psychology-AndAggresive-Behaviour.html
Faktor Penyebab Perilaku Agresif http://www.e-psikologi.com/epsi/individual_detail.asp?id=380 Kategori Individual Oleh : Zainun Mutadin, SPsi. MSi. Jakarta, 21 Juni 2002
Bagi warga Jakarta, aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal mungkin sudah merupakan berita harian. Saat ini beberapa televisi bahkan membuat program-program khusus yang menyiarkan berita-berita tentang aksi kekerasan. Aksi-aksi kekerasan dapat terjadi di mana saja, seperti di jalanjalan, di sekolah, bahkan di kompleks-kompleks perumahan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki) maupun kekerasan fisik (memukul, meninju, dll). Pada kalangan remaja aksi yang biasa dikenal sebagai tawuran pelajar/masal merupakan hal yang sudah terlalu sering kita saksikan, bahkan cenderung dianggap biasa. Pelaku-pelaku tindakan aksi ini bahkan sudah mulai dilakukan oleh siswa-siswa di tingkat SLTP/SMP. Hal ini sangatlah memprihatinkan bagi kita semua. Hal yang terjadi pada saat tawuran sebenarnya adalah perilaku agresi dari seorang individu atau kelompok. Agresi itu sendiri menurut Murray (dalam Hall & Lindzey, Psikologi kepribadian, 1993)

didefinisikan sebagai suatu cara untuk melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh,atau menghukum orang lain. Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain. Pertanyaannya kemudian adalah faktor-faktor apa saja yang dapat menjadi pemicu perilaku agresi tersebut? Mengapa kasus-kasus sepele dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari dapat tiba-tiba berubah menjadi bencana besar yang berakibat hilangnya nyawa manusia? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu apa saja penyebab perilaku agresi.

Amarah
Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak (Davidoff, Psikologi suatu pengantar 1991). Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya agresi adalah suatu respon terhadap marah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, atau ancaman sering memancing amarah dan akhirnya memancing agresi. Ejekan, hinaan dan ancaman merupakan pancingan yang jitu terhadap amarah yang akan mengarah pada agresi. Anak-anak di kota seringkali saling mengejek pada saat bermain, begitu juga dengan remaja biasanya mereka mulai saling mengejek dengan ringan sebagai bahan tertawaan, kemudian yang diejek ikut membalas ejekan tersebut, lama kelamaan ejekan yang dilakukan semakin panjang dan terus-menerus dengan intensitas ketegangan yang semakin tinggi bahkan seringkali disertai kata-kata kotor dan cabul. Ejekan ini semakin lama-semakin seru karena rekan-rekan yang menjadi penonton juga ikut-ikutan memanasi situasi. Pada akhirnya bila salah satu tidak dapat menahan amarahnya maka ia mulai berupaya menyerang lawannya. Dia berusaha meraih apa saja untuk melukai lawannya. Dengan demikian berarti isyarat tindak kekerasan mulai terjadi. Bahkan pada akhirnya penontonpun tidak jarang ikut-ikutan terlibat dalam perkelahian.

Faktor Biologis
Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi (Davidoff, 1991):

1. Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku
agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya. 2. Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott (Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi). Prescott yakin bahwa keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi. 3. Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang memberikan ciri kelamin jantan) maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong alat

kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progresteron menurun jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat berlangsungnya siklus haid ini.

Kesenjangan Generasi
Adanya perbedaan atau jurang pemisah (Gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. permasalahan generation gap ini harus diatasi dengan segera, mengingat bahwa selain agresi, masih banyak permasalahan lain yang dapat muncul seperti masalah ketergantungan narkotik, kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll.

Lingkungan
1. Kemiskinan Bila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan (Byod McCandless dalam Davidoff, 1991). Hal ini dapat kita lihat dan alami dalam kehidupan sehari-hari di ibukota Jakarta, di perempatan jalan dalam antrian lampu merah (Traffic Light) anda biasa didatangi pengamen cilik yang jumlahnya lebih dari satu orang yang berdatangan silih berganti. Bila anda memberi salah satu dari mereka uang maka anda siap-siap di serbu anak yang lain untuk meminta pada anda dan resikonya anda mungkin dicaci maki bahkan ada yang berani memukul pintu mobil anda jika anda tidak memberi uang, terlebih bila mereka tahu jumlah uang yang diberikan pada temannya cukup besar. Mereka juga bahkan tidak segan-segan menyerang temannya yang telah diberi uang dan berusaha merebutnya. Hal ini sudah menjadi pemandangan yang seolah-olah biasa saja. Bila terjadi perkelahian dipemukiman kumuh, misalnya ada pemabuk yang memukuli istrinya karena tidak memberi uang untuk beli minuman, maka pada saat itu anak-anak dengan mudah dapat melihat model agresi secara langsung. Model agresi ini seringkali diadopsi anak-anak sebagai model pertahanan diri dalam mempertahankan hidup. Dalam situasi-situasi yang dirasakan sangat kritis bagi pertahanan hidupnya dan ditambah dengan nalar yang belum berkembang optimal, anak-anak seringkali dengan gampang bertindak agresi misalnya dengan cara memukul, berteriak, dan mendorong orang lain sehingga terjatuh dan tersingkir dalam kompetisi sementara ia akan berhasil mencapai tujuannya. Hal yang sangat menyedihkan adalah dengan berlarut-larut terjadinya krisis ekonomi & moneter menyebabkan pembengkakan kemiskinan yang semakin tidak terkendali. Hal ini berarti potensi meledaknya tingkat agresi semakin besar dan kesulitan mengatasinya lebih kompleks. 2. Anonimitas Kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota besar lainnya menyajikan berbagai suara, cahaya dan bermacam informasi yang besarnya sangat luar biasa. Orang secara otomatis cenderung berusaha untuk beradaptasi dengan melakukan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang berlebihan tersebut. Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal atau mengetahui secara baik. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identitas diri). Bila seseorang merasa anonim ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati pada orang lain.

3. Suhu udara yang panas Bila diperhatikan dengan seksama tawuran yang terjadi di Jakarta seringkali terjadi pada siang hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujan relatif tidak ada peristiwa tersebut. Begitu juga dengan aksiaksi demonstrasi yang berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik dan panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas. Pada tahun 1968 US Riot Comision pernah melaporkan bahwa dalam musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat dibandingkan dengan musim-musim lainnya (Fisher et al, dalam Sarlito, Psikologi Lingkungan,1992

Peran Belajar Model Kekerasan


Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui Televisi dan juga "games" atau pun mainan yang bertema kekerasan. Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya. Pendapat ini sesuai dengan yang diutarakan Davidoff (1991) yang mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut. Model pahlawan di film-film seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindak kekerasan. Hal ini sudah barang tentu membuat penonton akan semakin mendapat penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangka dan dapat dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hal ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresi. Dalam suatu penelitian Aletha Stein (Davidoff, 1991) dikemukakan bahwa anak-anak yang memiliki kadar aagresi diatas normal akan lebih cenderung berlaku agresif, mereka akan bertindak keras terhadap sesama anak lain setelah menyaksikan adegan kekerasan dan meningkatkan agresi dalam kehidupan sehari-hari, dan ada kemungkinan efek ini sifatnya menetap. Selain model dari yang di saksikan di televisi belajar model juga dapat berlangsung secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Bila seorang yang sering menyaksiksikan tawuran di jalan, mereka secara langsung menyaksikan kebanggaan orang yang melakukan agresi secara langsung. Atau dalam kehidupan bila terbiasa di lingkungan rumah menyaksikan peristiwa perkelahian antar orang tua dilingkungan rumah, ayah dan ibu yang sering cekcok dan peristiwa sejenisnya , semua itu dapat memperkuat perilaku agresi yang ternyata sangat efektif bagi dirinya. Model kekerasan juga seringkali ditampilkan dalam bentuk mainan yang dijual di toko-toko. Seringkali orang tua tidak terlalu perduli mainan apa yang di minta anak, yang penting anaknya senang dan tidak nangis lagi. Sebenarnya permainan-permainan sangat efektif dalam memperkuat perilaku agresif anak dimasa mendatang. Permainan-permainan yang mengandung unsur kekerasan yang dapat kita temui di pasaran misalnya pistol-pistolan, pedang, model mainan perang-perangan, bahkan ada mainan yang dengan model Goilotine (alat penggal kepala sebagai hukuman mati di Perancis jaman dulu). Mainan kekerasan ini bisa mempengaruhi anak karena memberikan informasi bahwa kekerasan (agresi) adalah sesuatu yang menyenangkan. Permainan lain yang sama efektifnya adalah permainan dalam video game

atau play station yang juga banyak menyajikan bentuk-bentuk kekerasan sebagai suatu permainan yang mengasikkan.

Frustrasi
Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi. Frustrasi yang berujung pada perilaku agresi sangat banyak contohnya, beberapa waktu yang lalu di sebuah sekolah di Jerman terjadi penembakan guru-guru oleh seorang siswa yang baru di skorsing akibat membuat surat ijin palsu. Hal ini menunjukan anak tersebut merasa frustrasi dan penyaluran agresi dilakukan dengan cara menembaki guru-gurunya. Begitu pula tawuran pelajar yang terjadi di Jakarta ada kemungkinan faktor frustrasi ini memberi sumbangan yang cukup berarti pada terjadinya peristiwa tersebut. Sebagai contoh banyaknya anak-anak sekolah yang bosan dengan waktu luang yang sangat banyak dengan cara nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan ditambah lagi saling ejek mengejek yang bermuara pada terjadinya perkelahian. Banyak juga perkelahian disulut oleh karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap saat dipalak (diminta uangnya) oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang yang di palak adalah untuk kebutuhan dirinya.

Proses Pendisiplinan yang Keliru


Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja (Sukadji, Keluarga dan Keberhasilan Pendidikan, 1988). Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membeci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar (cth: dilarang untuk keluar main, tetapi di dalam rumah tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya karena kesibukan mereka). Dengan mengetahui faktor penyebab seperti yang dipaparkan diatas diharapkan dapat diambil manfaat bagi para orangtua, pendidik dan terutama para remaja sendiri dalam berperilaku dan mendidik generasi berikutnya agar lebih baik sehingga aksi-aksi kekerasan baik dalam bentuk agresi verbal maupun agresi fisik dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan. Mungkin masih banyak faktor penyebab lainnya yang belum kami bahsa disini, namun setidaknya faktor-faktor diatas patut diwaspadai dan diberikan perhatian demi menciptakan rasa aman dalam masyarakat kita. Bukankah Damai Itu Indah...?

TINJAUAN PSIKOLOGI SOSIAL TERHADAP PERILAKU AGRESI


http://unikunik.wordpress.com/2009/05/03/tinjauan-psikologi-sosial-terhadap-perilaku-agresi/

3 May 2009 maman A. Ilustrasi Perilaku Agresi Harris dan Klebold Pada jam 11.30 hari Selasa 20 April 1999, hari ulang tahun Adolf Hitler ke 110, Eric Harris (18) dan Dylan Klebold (17) melakukan penembakan secara membabi-buta sepanjang koridor Sekolah Menengah Columbine, Littleton, Colorado. 13 orang mati, 25 orang luka-luka, banyak dari antaranya sangat parah, dan seluruh kota menjadi gempar. Mereka menembak siapa saja murid yang berseliweran karena panik dan yang bersembunyi di ruang-ruang kelas. Di ruang perpustakaan, para murid, yang baru sebentar sempat belajar, berjatuhan dihujani rentetan tembakan. Beberapa murid yang masih bisa bertahan hidup di kemudian hari melaporkan bahwa Harris dan Klebold tersenyum dan tertawa pada saat mereka melepaskan tembakan. Rentetan tembakan yang terakhir terdengar pada pukul 12.30 tengah hari ketika Harris dan Klebold menembak dirinya sendiri. Eric sangat berharap bisa diterima masuk Korps Marinir tetapi lamarannya ditolak beberapa hari sebelum pembantaian tragis itu. Alasan yang diberikan kepadanya adalah bahwa Eric telah biasa mengkonsumsi obat antidepresan Luvox, yang biasa digunakan untuk pasien penderita penyimpangan jenis obsesif-kompulsif. Sejauh yang diketahui, hanya ada sekali insiden yang menyangkut perilaku kriminal kedua anak ini di masa lalu. Pada bulan Maret tahun sebelumnya, keduanya ditangkap atas tuduhan kejahatan karena melakukan tindakan kriminal membuka paksa sebuah mobil dan mencuri beberapa barang dari dalamnya. Dari hasil investigasi yang terus berkembang, terkuak sisi lain kehidupan kedua anak itu. Ternyata Eric Harris mempunyai website internet sendiri yang secara terbuka mengungkapkan kemarahannya kepada orang-orang di Littleton, khususnya para guru dan murid di Sekolah Menengah Columbine. Pada situs ini, Harris menyatakan keinginannya untuk membalas dendam kepada siapa saja yang mengganggu dan menghinanya. Sejumlah murid menceritakan dalam beberapa kesempatan Harris dan Klebold membual akan membalas dendam secara besar-besaran di sekolah tersebut, karena merasa diejek dan dianggap orang buangan. Para siswa disalahkan karena mengejek dan tidak menerima mereka yang berbeda, sementara orang tua dan para guru disalahkan karena mendidik mereka jadi kambing. (www.solusihukum.com) B. Definisi Agresi Agresi adalah perilaku fisik maupun verbal yang diniatkan untuk melukai objek sasaran agresi. Sebuah perilaku dapat dikategorikan sebagai perilaku agresi jika terdapat niat dan

harapan untuk menyakiti atau merusak objek agresi serta adanya keinginan objek agresi untuk menghindari agresi yang ditujukan kepadanya. Agresi seringkali berhubungan erat dengan marah. Ketika seseorang marah, biasanya ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi. Menurut Buss (dalam Pas) perilaku agresi bisa berupa verbal dan fisik, aktif dan pasif, langsung dan tidak langsung. Perbedaan antara verbal dan fisik adalah antara menyakiti secara fisik dan menyerang dengan kata-kata; aktif atau pasif membedakan antara tindakan yang terlihat dengan kegagalan dalam bertindak; perilaku agresi langsung berarti melakukan kontak langsung dengan korban yang diserang, sedangkan perilaku agresi tidak langsung dilakukan tanpa adanya kontak langsung dengan korban. Bentuk Agresi Fisik, aktif, langsung Fisik, aktif, tak langsung Fisik, pasif, langsung Contoh Menikam, memukul, atau menembak orang lain Membuat perangkap untuk orang lain, menyewa seorang pembunuh untuk membunuh. Secara fisik mencegah orang lain memperoleh tujuan atau tindakan yang diinginkan (seperti aksi duduk dalam demonstrasi) Menolak melakukan tugas-tugas yang seharusnya Menghina orang lain Menyebarkan gossip atau rumor jahat tentang orang lain Menolak berbicara kepada orang lain, menolak menjawab pertanyaan, dll Tidak mau membuat komentar verbal (misal: menolak berbicara ke orang yang menyerang dirinya bila dia dikritik secara tidak fair) C. Penyebab Perilaku Agresi

Fisik, pasif, tak langsung Verbal, aktif, langsung Verbal, aktif, tak langsung Verbal, pasif, langsung Verbal, pasif, tak langsung

1. Faktor Biologis Beberapa faktor biologis yang bisa mempengaruhi perilaku agresi adalah gen, aktivitas otak, hormon, dan abnormalitas. Penelitian menunjukkan bahwa gen berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Penelitian yang dilakukan pada binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya. Marah juga bisa dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi dibanding orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai. Menurut perspektif biologis, perilaku agresi disebabkan oleh meningkatnya hormon testosteron, 17-estradiol dan estrone. Dalam suatu eksperimen, ilmuwan menyuntikkan hormon testosteron pada tikus dan beberapa hewan lain. Tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Peningkatan hormon testosteron saja ternyata tidak mampu memunculkan perilaku agresi secara langsung. Hormon testosteron dalam hal mi bertindak sebagai anteseden, sehingga perlu ada pemicu dari luar. Hasil penelitian mengenai peningkatan hormon testosteron terhadap meningkatnya perilaku agresi ini tidak konsisten. Pada anak laki-laki memang meningkat perilaku agresinya, hal ini tidak ditemukan pada anak perempuan. Perilaku agresi juga disebabkan adanya abnormalitas. Pada tahun 1996, otopsi terhadap Vharles Whitman, seorang pembunuh berdarah dingin, yang telah membunuh 16 orang dan telah melukai 12 orang menunjukkan bahwa ada kerusakan jaringan di otaknya. Berdasarkan peristiwa tersebut mulai timbul pertanyaan apakah ada kaitan antara kerusakan jaringan otak dengan perilaku agresi? Abnormalitas yang lain adalah kromosom supermale atau XYY. Kromosom ini 15-20 kali lebih sering ditemukan pada populasi narapidana daripada populasi non narapidana. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Price dan Whitemore yang dikutip Pearlman dan Cozby

(dalam Soedardjo dan Helmi) menyatakan bahwa 1 dari 1000 orang yang ditemukan mempunyai kromosom supermale atau XYY. Hasil penelitian Worchel dan Cooper (1986) juga memperkuat penelitian yang terdahulu bahwa 2-3,6% narapidana mempunyai kromosom XYY. 1. Kesenjangan Generasi Adanya perbedaan atau jurang pemisah (gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk kegagalan hubungan komunikasi. Hal ini diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. 1. Lingkungan Beberapa faktor lingkungan seperti kemiskinan, anonimitas dan suhu udara yang terlalu panas juga berperan dalam pembentukan perilaku agresi. Bila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan. Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif seperti di kota-kota besar yang menyajikan berbagai suara, cahaya dan bermacam informasi yang besarnya sangat luar biasa membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal atau mengetahui secara baik. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identitas diri). Bila seseorang merasa anonim ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati pada orang lain. Aksi-aksi demonstrasi yang berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan seringkali terjadi pada cuaca yang terik dan panas, tapi bila musim hujan relatif jarang terjadi peristiwa tersebut. Hal ini sesuai dengan laporan US Riot Commission pada tahun 1968 bahwa ketika musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat dibandingkan dengan musim-musim lainnya. 1. Proses Pendisiplinan yang Keliru Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama yang dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh buruk bagi remaja.

Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. 1. Insting Menurut Sigmund Freud, setiap orang mempunyai insting bawaan untuk berperilaku agresi. Agresi merupakan derivasi insting mati (thanatos) yang harus disalurkan untuk menyeimbangkannya dengan insting hidup (eros). Eros dan thanatos ini harus diseimbangkan untuk menstabilkan mental. 1. Frustrasi Frustrasi adalah terhalangnya seseorang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Teori hipotesis frustrasi-agresi dipelopori oleh lima orang ahli yaitu Dollard, Doob, Miller, Mowrer, dan Sears pada tahun 1939. Pada mulanya mereka menyatakan bahwa dalam setiap frustrasi selalu menimbulkan perilaku agresi. Pada tahun 1941, Miller menyatakan bahwa frustrasi menimbulkan sejumlah respon yang berbeda dan tidak selalu menimbulkan perilaku agresi, perilaku agresi hanya salah satu bentuk respon yang muncul. Watson, Kulik dan Brown (dalam Soedardjo dan Helmi) menyatakan bahwa frustrasi yang muncul akibat faktor luar menimbulkan perilaku agresi yang lebih besar dibandingkan dengan halangan yang disebabkan diri sendiri. Hasil penelitian Burnstein dan Worchel menyatakan bahwa frustasi yang menetap akan mendorong perilaku agresi. Dalam hal ini, orang siap melakukan perilaku agresi karena orang menahan ekspresi agresi. Frustasi yang disebabkan situasi yang tidak menentu (uncertaint) akan memicu perilaku agresi lebih besar dibandingkan dengan frustasi karena situasi yang menentu. 1. Peran Belajar Model Kekerasan Bandura, Baron, dan Berkowitz menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil dari proses belajar sosial. Belajar sosial adalah belajar melalui pengamatan terhadap dunia sosial. Hal ini bertentangan dengan pendapat Sigmund Freud yang menyatakan bahwa sejak lahir setiap individu telah mempunyai insting agresi. Dalam kasus Harris dan Klebold, perilaku agresi

mereka sangat mungkin karena proses belajar sosial. Teman-temannya menyatakan bahwa kedua anak itu biasa berjam-jam main game yang tergolong penuh kekerasan seperti Doom, Quake, dan Redneck Rampage. Sementara itu, Mubashar Ali (9), seorang bocah dari Multan, Pakistan baru-baru ini meninggal gara-gara meniru adegan eksekusi mati Saddam Husein yang diambil secara diam-diam dan disiarkan oleh TV di negaranya (Jawa Pos edisi 2 Januari 2007 halaman 6). Ini merupakan contoh konkret bagaimana sebuah perilaku dipelajari dari lingkungan sosial. Di Indonesia sendiri beberapa waktu lalu ada acara-acara TV yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat populer seperti Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya. Pendapat ini sesuai dengan yang diutarakan Davidoff (dalam Mutadin) yang mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut. 1. Penilaian Kognitif Teori ini menjelaskan bahwa reaksi individu terhadap stimulus agresi sangat bergantung pada cara stimulus itu diinterpretasi oleh individu. Sebagai contoh, frustrasi dapat menyebabkan timbulnya perilaku agresi jika frustrasi itu diinterpretasi oleh individu sebagai gangguan terhadap aktivitas yang ingin dicapainya. 1. Kompetisi Sosial Menurut perspektif sosiobiologi, perilaku agresi berkembang karena adanya kompetisi sosial yaitu kompetisi terhadap sumber daya. Dalam hal ini satu macam sumber daya yang dipandang terbatas, diperebutkan oleh dua belah pihak. Perilaku agresi menurut perspektif ini merupakan sesuatu yang fundamental karena merupakan strategi adaptasi dalam kehidupannya. Dalam pandangan ini manusia diharapkan bertindak agresif ketika sumber daya yang penting itu terbatas, ketika mengalami ketidaknyamanan, ketika sistem sosial tidak berjalan dengan baik, dan ketika ada ancaman dari pihak luar (Dunkin dalam Soedardjo dan Helmi). Hal ini dilakukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup manusia.

Pada kasus Harris dan Klebold di atas, penulis menarik kesimpulan terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan Harris dan Klebold melakukan tindakan agresi berupa penembakan, yaitu: 1. Frustrasi Dalam hal ini, frustrasi Harris adalah keinginannya untuk masuk Korps Marinir terhalang karena dugaan pemakaian obat anti-depresan Luvox. 2. Belajar sosial Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, Harris dan Klebold biasa berjam-jam main game yang tergolong penuh kekerasan. Dalam video game, nilai yang tinggi justru diperoleh lewat sikap yang agresif dan penggunaan kekerasan secara sistematis. Dengan cara ini, pemain video game merasa bahwa kekerasan memperoleh ganjaran (reward) dan kekerasan yang lebih tinggi akan memperoleh imbalan yang tinggi pula. 3. Penilaian kognitif Para siswa disalahkan karena mengejek dan tidak menerima mereka yang berbeda, sementara orang tua dan para guru disalahkan karena mendidik mereka jadi kambing. Harris dan Klebold menginterpretasikan sikap para siswa, orang tua, dan guru sebagai suatu gangguan terhadap aktivitas yang ingin mereka capai. D. Pemecahan Masalah Kasus Harris dan Klebold merupakan perilaku agresi yang menjadi salah satu masalah sosial yang cukup serius yang harus segera dipecahkan. Terdapat beberapa strategi untuk mengendalikan dan mengurangi perilaku agresi. Strategi-strategi tersebut adalah: 1. Hukuman Menurut kaum behaviorisme, hukuman dapat dipakai untuk mengurangi perilaku yang tidak diharapkan, yang dalam hal ini adalah perilaku agresi. Namun agar dapat efektif

mengurangi suatu tingkah laku, hukuman harus memenuhi tiga syarat: (1) diberikan sesegera mungkin setelah perilaku yang ingin dikurangi muncul, (2) setimpal dengan perilaku yang muncul, (3) diberikan setiap kali perilaku yang ingin dikurangi timbul. 1. Katarsis Katarsis merupakan pelepasan ketegangan dan kecemasan dengan jalan melampiaskannya dalam dunia nyata. Teori katarsis menyatakan bahwa pemberian kesempatan kepada individu yang memiliki kecenderungan pemarah untuk berperilaku keras (dalam aktivitas katarsis), tapi dalam cara yang tidak merugikan, akan mengurangi tingkat rangsang emosional dan tendensi untuk melakukan perilaku agresi. Sedikit bertentangan dengan teori katarsis, Baron dan Byrne (dalam Hanurawan, 2004) menyatakan bahwa katarsis bukanlah merupakan instrumen yang efektif untuk mengurangi agresi yang bersifat terbuka. Penelitian Robert Arms dan kawan-kawan melaporkan bahwa penonton sepak bola gaya Amerika, gulat, dan hoki ternyata malah semakin menunjukkan sifat kekerasan setelah menonton pertandingan olah raga itu dibanding sebelum menonton. Pada konteks katarsis itu, partisipasi individu dalam aktivitas katarsis non agresi ternyata hanya memiliki pengaruh yang bersifat sementara terhadap rangsang emosional dan tendensi berperilaku agresi dalam dirinya. Setelah melewati jangka waktu tertentu, rangsang dan tendensi itu kemudian akan muncul kembali apabila individu itu bertemu atau berpikir tentang orang yang sebelumnya menyebabkan dirinya marah. 1. Pengenalan Terhadap Model Non Agresif Menurut teori belajar sosial Albert Bandura, pengenalan terhadap model non agresif dapat mengurangi dan mengendalikan perilaku agresi individu. Dalam penelitian Baron pada tahun 1972 (dalam Hanurawan, 2004) dan penelitian Donnerstein dan Donnerstein pada tahun 1976 (dalam Hanurawan, 2004) ditemukan bahwa individu yang mengamati perilaku model non agresif menunjukkan tingkat agresi yang lebih rendah daripada individu yang tidak mengamati perilaku model non agresif. 1. Pelatihan Ketrampilan Sosial

Pelatihan ketrampilan sosial dapat mengurangi timbulnya perilaku agresi. Pelatihan ketrampilan ini dimaksudkan untuk mengurangi frustrasi yang timbul akibat ketidakmampuan dalam mengekspresikan dan mengomunikasikan keinginan kepada orang lain, gaya bicara yang kaku, dan kurang sensitif terhadap simbol-simbol emosional orang lain. KESIMPULAN Agresi merupakan perilaku fisik maupun verbal yang diniatkan untuk melukai objek sasaran agresi. Agresi disebabkan oleh faktor-faktor biologis, kesenjangan generasi, lingkungan, kekeliruan dalam proses pendisiplinan, insting, frustrasi, peran belajar model kekerasan, penilaian kognitif (cognitive appraisal), dan kompetisi sosial. Perilaku agresi ini dapat dikendalikan dan dikurangi melalui hukuman, katarsis, pengenalan terhadap model non agresif, dan pelatihan ketrampilan sosial. DAFTAR RUJUKAN Alwisol. 2006. Psikologi Kepribadian. Malang. UMM Press. Chaplin, J.P. 2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta. Rajawali Pres. Hanurawan, Dr. Fattah. 2004. Pengantar Psikologi Sosial. Malang. Triumvirat Independen Edition. Mutadin, SPsi., MSi., Zainun. Faktor Penyebab Perilaku Agresi (http://www.epsikologi.com/remaja/100602.htm, diakses 15 Desember 2006). Pas, Alfon Sius. Perilaku Agresif Pada Anak Yang Memiliki Hobi Bermain Video Game (http://library.gunadarma.ac.id/files/disk1/9/jbptgunadarma-gdl-grey-2005-alfonsiusp-435abstraksi.pdf diakses 15 Desember 2006) Saifuddin, Ahmad. Dampak Tayangan Kekerasan di Televisi (http://www.suara karyaonline.com/news.html?id=161144, diakses 15 Desember 2006).

Soedardjo dan Helmi Avin Fadilla. Beberapa Perspektif Perilaku Agresi. (avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/perspektifagresi_avin.pdf, diakses 15 Desember 2006). Tragedi Littleton 20 April 1999 (http://www.solusihukum.com/kasus2.php?id=23, diakses 15 Desember 2006). Posted in psikologi. 1 Comment

Perilaku Agresif Remaja http://nadhirin.blogspot.com/2009/12/perilaku-agresif-remaja-hari-senin.html [12/02/2009 07:52:00 PM | 0 comments ] Hari senin tanggal 23 kemarin hati saya terasa miris ketika melihat berita di sebuah stasiun televisi swasta, di mana dua kelompok remaja yang masih mengenakan seragam putih-biru terlibat baku-hantam di sebuah jalan ibu kota Jakarta. Ya, itulah anak-anak pelajar SLTP kita yang sedang saling serang satu sama lainnya, alias tawuran. Kejadian itu langsung mengingatkan saya pada 1 tahun yang lalu, dimana masyarakat kita digegerkan dengan tindakan-tindakan menyimpang yang dilakukan oleh remaja kita, di Bandung dengan genk Motornya, di Pati dengan genk Neronya, serta di tempat-tempat lainnya yang tidak sempat terekspos oleh media. Itulah salah satu sisi kehidupan remaja di negara tercinta kita ini, yang konon akan menjadi generasi penerus bangsa. Bagi masyarakat kita, aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal mungkin sudah merupakan berita harian. Seperti yang kita ketahui bersama untuk saat ini beberapa televisi (baik nasional maupun lokal) bahkan membuat program-program khusus yang menyiarkan beritaberita tentang aksi kekerasan. Aksi-aksi kekerasan dapat terjadi di mana saja, seperti di jalan-jalan, di sekolah, di komplekskompleks perumahan, bahkan di pedesaan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki) maupun kekerasan fisik (memukul, meninju, dll). Pada kalangan remaja aksi yang biasa dikenal sebagai tawuran pelajar/masal merupakan hal yang sudah terlalu sering kita saksikan, bahkan cenderung dianggap biasa. Pelaku-pelaku tindakan aksi ini bahkan sudah mulai dilakukan oleh siswa-siswa di tingkat SLTP/SMP. Hal ini sangatlah memprihatinkan bagi kita semua Aksi-aksi kekerasan yang sering dilakukan remaja sebenarnya adalah prilaku agresi dari diri individu atau kelompok. Agresi sendiri menurut Scheneiders (1955) merupakan luapan emosi sebagai reaksi terhadap kegagalan individu yang ditampakkan dalam bentuk pengrusakan terhadap orang atau benda dengan unsur kesengajaan yang diekspresikan dengan kata-kata (verbal) dan perilaku non verbal. Agresif menurut Murry (dalam Halll dan Lindzey,1993) didefinisiakan sebagi suatui cara untuk

melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh, atau menghukum orang lain. Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain. Perilaku agresif menurut David O. Sars (1985) adalah setiap perilkau yang bertujuan menyakiti orang lain, dapat juga ditujukan kepada perasaan ingin menyakiti orang lain dalam diri seseorang. Sedangkan menurut Abidin (2005) agresif mempunyai beberapa karakteristik. Karakteristik yang pertama, agresif merupakan tingkah laku yang bersifat membahayakan, menyakitkan, dan melukai orang lain. Karakteristik yang kedua, agresif merupakan suatu tingkah laku yang dilakukan seseorang dengan maksud untuk melukai, menyakiti, dan membahayakan orang lain atau dengan kata lain dilakukan dengan sengaja. Karakteristik yang ketiga, agresi tidak hanya dilakukan untuk melukai korban secara fisik, tetapi juga secara psikis (psikologis), misalnya melalui kegiatan yang menghina atu menyalahkan. Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa prilaku agresif adalah sebuah tindakan kekerasan baik secara verbal maupun secara fisik yang disengaja dilakukan oleh individu atau kelompok terhadap orang lain atau objek-objek lain dengan tujuan untuk melaukai secara fisik maupun psikis. Pertanyaannya kemudian adalah faktor-faktor apa saja yang dapat menjadi pemicu perilaku agresi tersebut? Mengapa kasus-kasus sepele dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari dapat tiba-tiba berubah menjadi bencana besar yang berakibat hilangnya nyawa manusia? Mengapa Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu apa saja penyebab perilaku agresi. Menurut 1. Ada Davidoff perilaku agresif remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor:

beberapa

faktor

biologis

Faktor yang mempengaruhi

perilaku

Biologis agresif yaitu:

a. Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya. b. Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott (Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi). Prescott yakin bahwa keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi.

c. Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteropada tikus dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang memberikan ciri kelamin jantan) maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogendan progresteronmenurun jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat berlangsungnya siklus haid ini. 2. Yang Faktor perilaku lingkungan yaitu:

mempengaruhi

agresif

remaja

a. Kemiskinan Remaja yang besar dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan. Hal yang sangat menyedihkan adalah dengan berlarut-larut terjadinya krisis ekonimi dan moneter menyebabkan pembengklakan kemskinan yang semakin tidak terkendali. Hal ini berarti potensi meledaknya tingkat agresi semakin besar. Ya walau harus kita akui bahwa faktor kemiskinan ini tidak selalu menjadikan seseorang berperilaku agresif, dengan bukti banyak orang di pedesaan yang walau hidup dalam keadaan kemiskinan tapi tidak membuatnnya berprilaku agresif, karena dia telah menerima keadaan dirinya apa adanya. b. Anoniomitas Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identiras diri). Jika seseorang merasa anonim ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak terikkat dengan norma masyarakat da kurang bersimpati dengan orang lain. c. Suhu udara yang panas Bila diperhatikan dengan seksama tawuran yang terjadi di Jakarta seringkali terjadi pada siang hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujan relatif tidak ada peristiwa tersebut. Begitu juga dengan aksi-aksi demonstrasi yang berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik dan panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas. Pada tahun 1968 US Riot Comision pernah melaporkan bahwa dalam musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat dibandingkan dengan musim-musim lainnya (Fisher et al, dalam Sarlito, Psikologi Lingkungan,1992 3. Kesenjangan generasi

Adanya perbedaan atau jurang pemisah (gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi antara orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak.

4. Amarah Marah merupakan emosi yang memiliki cirri-ciri aktifitas system saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan akarena adanya kesalahan yang muingkin nyata-nyata salah atau mungkin tidak (Davidoff, Psikologi Suatu Pengantar, 1991). Pada saat amrah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresif. 5. Peran belajar model kekerasan Model pahlawan-pahlawan di film-film seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindak kekerasan. Hal bisa menjadikan penonton akan semakin mendapat penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangkan dan dapat dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hali ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresif. 6. Frustasi Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh ssesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara merespon terhadap frustasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustasi yang behubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera tepenuhi tetapi sulit sekali tercap[ai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berprilaku agresi. 7. Proses pendisiplinan yang keliru Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja (Sukadji, Keluarga dan Keberhasilan Pendidikan, 1988). Pendidikan disiplin seperti akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta kehilangan inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Sejak manusia dilahirkan ke dunia ini ia akan melewati beberapa priode kehidupan hingga saat dia sampai ke liang lahad. Masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan kemudian menjadi orangtua, tidak lebih hanyalah merupakan suatu proses wajar dalam hidup yang berkesinambungan dari tahap-tahap pertumbuhan yang harus dilalui oleh seorang manusia. Setiap masa pertumbuhan memiliki ciri-ciri tersendiri, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Demikian pula dengan masa remaja. Masa remaja sering dianggap sebagai masa yang paling rawan dalam proses kehidupan ini. Masa remaja sering menimbulkan kekuatiran bagi para orangtua. Masa remaja sering menjadi pembahasan dalam banyak seminar. Padahal bagi si remaja sendiri, masa ini adalah masa yang paling menyenangkan dalam hidupnya. Oleh karena itu, dengan

mengetahui faktor penyebab seperti yang dipaparkan di atas diharapkan dapat diambil manfaat bagi para orangtua, pendidik dan terutama para remaja sendiri dalam berperilaku dan mendidik generasi berikutnya agar lebih baik sehingga aksi-aksi kekerasan baik dalam bentuk agresi verbal maupun agresi fisik dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan. Khalil Gibran mengatakan bahwa anak adalah ibarat anak panah. Pertanyaannya, sudahkah anak panah ini memperoleh kebebasan untuk mengarahkan kemana yang ia tuju? Ataukah demi gengsi, atau apalah yang lain anak panah itu akan dibawa dan ditancapkan pada sasaran? Remaja adalah sebuah generasi dari suatu peradaban. Karenanya mempunyai peran strategis dalam perencanaan pembangunan dan bahkan pada arah serta pelaku pembangunan itu sendiri. Namun demikian perlakuan yang salah pada remaja baik yang nakal maupun yang tidak oleh para orangtua dan pengambil kebijakan justru akan berakibat semakin buruk pada peradaban bangsa itu. Pertanyaan terakhir adalah sudahkan kita mengambil langkah-langkah yang tepat guna mengarahkan perbuatannya kepada hal yang lebih positif? Daftar Pustaka David, Jonathan Psikologi Sosial, Jakarta: Erlangga, 2005. Koeswara, E, Agresi Manusia. Bandung: PT Erasco. 1998. Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004. Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004. http: // www. E- psikologi. Com/ epsi/ individual detail. Asp ?id= 380

You might also like