You are on page 1of 96

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah melahirkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif, karena di satu sisi memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, namun di sisi lain menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. Teknologi informasi dan komunikasi juga telah

mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat secara global, dan menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless), serta

menimbulkan perubahan di berbagai bidang kehidupan. Perkembangan teknologi informasi telah melahirkan beragam jasa di bidang teknologi informasi dan komunikasi dengan berbagai fasilitasnya, dalam hal ini internet merupakan bagian dari kemajuan teknologi informasi tersebut, yang memberi kemudahan dalam berinteraksi tanpa harus berhadapan secara langsung satu sama lain.

Bangsa Indonesia yang sedang tumbuh dan berkembang menuju masyarakat industri yang berbasis teknologi informasi, dalam beberapa hal masih tertinggal. Kondisi ini disebabkan karena masih relatif

rendahnya sumber daya manusia di Indonesia dalam mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ini, termasuk

kemampuan dalam menghadapi masalah hukum yang timbul akibat penyalahgunaan teknologi informasi tersebut, yang menimbulkan Saat ini

terjadinya tindak pidana melalui media internet (cybercrime).

telah ada beberapa regulasi dalam hukum positif Indonesia di bidang teknologi informasi, diantaranya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut

Undang-Undang ITE) atau Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi. Namun demikian, masih saja muncul kendala dalam penerapannya, karena terkadang antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya tidak sejalan atau saling bertentangan, sehingga banyak menimbulkan tafsir hukum yang berbeda-beda dari para penegak hukum di Indonesia.

Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembangunan nasional merupakan proses berkelanjutan dan berkesinambungan di berbagai bidang, tidak terkecuali pada kegiatan perbankan nasional. Perkembangan teknologi tersebut apabila dimanfaatkan secara tepat guna diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Indonesia .

Aplikasi teknologi informasi di bidang perbankan dapat menciptakan suatu sistem pelayanan bank yang baik, cepat, dan efisien.

Pengotomatisan sistem perbankan sebagai jawaban atas perkembangan

teknologi informasi dapat terlihat dari penerapan RTGS (Real Time Gross Settlement) oleh Bank Indonesia (BI). Bank akan memberikan pelayanan yang cepat, teliti, dan aman melalui penerapan teknologi informasi yang tepat. Salah satu contoh penerapan teknologi informasi di bidang perbankan adalah layanan internet banking. Kehadiran layanan internet banking merupakan media alternatif dalam memberikan kemudahankemudahan bagi nasabah suatu bank yang ingin mengedepankan aspek kemudahan, fleksibilitas, efisiensi, dan kesederhanaan. Nasabah yang ingin melakukan transaksi tidak harus datang ke bank dan menunggu antrian yang panjang, dengan adanya pelayanan internet banking tersebut, transaksi dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Pelayanan perbankan untuk saat ini dan yang akan datang diwarnai dengan pemanfaatan teknologi elektronik dalam kegiatan kerjanya.

Kemudahan yang dilahirkan melalui penerapan teknologi informasi pada perbankan (internet banking) diikuti pula dengan risiko dalam

penggunaannya. Pada praktiknya, seringkali analisis cost-risk-benefit pada penerapan internet banking tidak dipertimbangkan secara

komprehensif dan baru dilakukan setelah timbulnya masalah yang menyebabkan kerugian. Karakteristik layanan internet banking untuk

memfasilitasi transaksi perbankan yang berbeda dengan layanan perbankan secara konvensional banyak menimbulkan masalah, karena dalam pemanfaatan layanan internet banking ini melibatkan berbagai pihak, baik pihak perbankan, pihak internet service provider, maupun

nasabah perbankan yang bersangkutan1. Saat ini, pengaturan hukum di bidang perbankan tidak dapat lagi mengantisipasi dinamika bisnis sektor perbankan, termasuk fasilitas internet banking yang sering

disalahgunakan oleh para nasabahnya sehingga menimbulkan terjadinya tindak pidana seperti tindak pidana pencucian uang melalui internet

(internet banking).

Munir Fuady mengemukakan bahwa dalam sejarah hukum bisnis munculnya tindak pidana pencucian uang (money laundering) dimulai dari negara Amerika Serikat sejak Tahun 1830.2 Pada waktu itu banyak

orang yang membeli perusahaan dengan uang hasil kejahatan seperti hasil perjudian, penjualan narkotika, minuman keras secara illegal dan hasil pelacuran. Pihak-pihak yang telah terbiasa dengan masalah pencucian uang di Amerika Serikat, terkenal dengan nama kelompok legendaries Al Capone (Chicago). Mayer Lansky memutihkan uang kotor milik kelompok Al Capone dengan mengembangkan pusat perjudian, pelacuran, serta bisnis hiburan malam di Las Vegas (Nevada). Lalu dikembangkan lagi offshore banking di Havana (Cuba) dan Bahama. Kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh kelompok ini menjadikan Mayer Lansky dijuluki sebagai bapak Money Laundering Modern.

Selanjutnya uang tersebut disimpan di lembaga keuangan seperti bank.

Budi Agus Riswandi, Aspek Hukum Internet Banking, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 186. 2 Munir Fuady.. Hukum Perbankan Indonesia. Cirtra Aditya Bakti, Bandung. 2001. hlm. 154.

Penyimpanan uang tersebut menjadi legal.

bertujuan agar uang hasil kejahatan itu

Kejahatan berkembang seiring perkembangan teknologi informasi, begitu pula tindak pidana pencucian uang sering dilakukan melalui internet, dalam hal ini adanya penyalahgunaan fasilitas internet banking. Sifat

money laundering menjadi universal dan bersifat transnasional yakni melintasi batas-batas yurisdiksi negara3. Berarti pemahaman hukum

pidana terhadap kejahatan ini tidak lagi terkait dengan asas teritorial suatu negara saja akan tetapi lebih dari satu hukum nasional yang dilanggar. Uang hasil dari tindak pidana ini tidak saja disimpan atau dimanfaatkan dalam suatu lembaga keuangan suatu negara asal, akan tetapi juga dapat ditransfer ke negara lain dengan berbagai macam cara dan kepentingan, misalnya dengan cara pembayaran yang dilakukan melalui bank secara elektronik (cyberpayment)4.. Kegiatan semacam ini melibatkan lebih dari satu hukum pidana nasional. Bank Indonesia

menyebutkan bahwa tindak pidana penyuapan, korupsi, perjudian, pemalsuan uang merupakan Laundering dapat pemicu money laundering. Money ketidakpercayaan nasabah dan

menimbulkan

masyarakat kepada sistem perbankan.

NHT. Siahaan.. Pencucian uang dan Kejahatan Perbankan. Sinar Harapan. Jakarta, 2005, hlm. 103. 4 Ibid. halaman 3

Ada beberapa tindak pidana money laundering

yang terjadi seperti

tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh mantan Presiden Phillipina Ferdinand Marcos, dalam hal ini uang hasil tindak pidana korupsi yang dilakukannya disimpan di bank Credit Suisse, kemudian di transfer ke rekening salah satu keluarganya. Kasus lain adalah tindak pidana pencucian uang (money laundering) yang dilakukan oleh bank seperti kasus Bank Bank of Credit & Commerce Internasional (BCCI) Tahun 1991. Tindak pidana pencucian uang (money laundering) yang dilakukan BCCI berhubungan dengan perdagangan obat bius. BCCI

bertindak sebagai penyalur uang hasil transaksi itu, yang disalurkan melalui layanan internet banking. Namun, pada tahun 1990 Dinas Bea dan Cukai Amerika Serikat berhasil membongkar jaringan perdagangan obat bius dan pencucian uang (money laundering) yang melibatkan BCCI tersebut.

Berdasarkan hal tersebut di atas terlihat bahwa uang hasil tindak pidana pencucian uang (money laundering) itu telah melalui dua tahap

kejahatan, yakni pertama, uang itu diperoleh dari suatu tindak pidana tertentu, kedua, uang itu dibersihkan melalui tindak pidana pencucian uang (money laundering) dengan berbagai cara seperti melalui penyalahgunaan fasilitas internet banking, legal. sehingga uang itu menjadi

Tindak pidana pencucian uang (money laundering) sebagai

kejahatan yang terorganisir (organized crime) juga telah banyak terjadi di


5

Munir Fuady, 2001, op.cit halaman 186.

Indonesia.

Secara umum, hal tersebut terlihat dari semakin tingginya

tingkat kejahatan yang berhubungan dengan tindak pidana pencucian uang ini seperti tindak pidana korupsi yang banyak terungkap melalui fasilitas perbankan, dalam hal ini internet banking, peredaran gelap narkoba dan sebagainya. Walaupun saat ini, telah ada ketentuan hukum yang mengatur tentang tindak pidana pencucian uang (money

laundering) yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, namun kenyataannya, belum dapat mengatasi kasus pencucian uang yang terjadi di Indonesia secara keseluruhan. Kendala atas penanganan kasus-kasus di atas antara lain dalam hal yurisdiksi penuntutan dan pembuktian, walaupun pembuktian secara elektronik telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, namun pembuktian pada tindak pidana pencucian uang melalui internet ini tetap mengalami berbagai kesulitan terutama untuk menemukan adanya unsur melawan hukum, karena tindak pidana pencucian uang biasanya dilakukan oleh kalangan intelektual, sehingga akan sulit menemukan bukti-bukti adanya unsur melawan hukum tersebut. Begitu pula mengenai yurisdiksi

penuntutannya, akan sulit ditentukan karena kejahatan pencucian uang melalui internet ini dapat saja melibatkan lebih dari satu sistem hukum, sehingga harus diketahui secara benar locus delictinya, korbannya, dan sebagainya, sehingga dapat menimbulkan kesulitan dalam

penanganannya.

Sampai saat ini, belum ada pembahasan secara khusus mengenai yurisdiksi tuntutan jaksa atas tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional. Oleh karena itu, Peneliti

tertarik untuk mencoba membahas hal tersebut, yang dituangkan dalam bentuk skripsi berjudul Yurisdiksi Tuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang Melalui Internet Berdasarkan Hukum Acara Pidana, UndangUndang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan beberapa masalah hukum, sebagai berikut : 1. Bagaimana yurisdiksi tuntutan yang dapat dilakukan jaksa dalam menangani tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional berdasarkan Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ? 2. Bagaimana Pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional Berdasarkan Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang di atas, terdapat

Teknologi Dan Transaksi Elektronik ?

C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengkaji dan menganalisis yurisdiksi tuntutan yang dapat

dilakukan jaksa dalam menangani tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional berdasarkan Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. 2. Untuk mengkaji dan menganalisis pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional Berdasarkan Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Teknologi Dan Transaksi Elektronik.

D. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah : 1. Secara teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat digunakan bagi pengembangan ilmu hukum terutama hukum pidana yang

menyangkut yurisdiksi tuntutan jaksa atas tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional yang

mengandung unsur lintas batas negara. 2. Secara praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak yang berwenang dalam membuat dan atau memperbaharui peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan

transnasional yang mengandung unsur lintas batas negara.

10

E. Kerangka Pemikiran Pada prinsipnya setiap peristiwa hukum yang terjadi di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. dalam hal ini untuk lebih mempermudah menganalisis, maka akan digunakan dua grand teori yang berdasarkan kepada Undang-Undang Dasar 1945 yaitu alinia kedua dan alinia ke empat.

Untuk mencapai suatu sistem keadilan yang baik bagi masyarakat indonesia, dapat dilihat pada alinia kedua Undang-Undang Dasar 1945, yang mengatakan bahwa :

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Amanat yang disampaikan dalam alinia kedua pembukaan UndangUndang Dasar 1945 tersebut merupakan kondisi dinamis kehidupan perekonomian bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan kekuatan nasioanl dalam menghadapi serta mengatasi segala tantangan,

ancaman, hambatan dan gangguan yang datang dari luar maupun ancaman dalam negeri secara langsung maupun tidak langsung untuk menjamin kelangsungan perekonomian bangsa dan negara Republik Indonesia.

11

Sistem perekonomian bangsa Indonesia mengacu pada pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebutkan bahwa sistem

perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Secara makro, sistem perekonomian Indonesia dapat disebut sebagai sistem perekonomian kerakyatan. Tindak pidana pencucian uang melalui internet sangat mempengaruhi sistem

perekonomian bangsa indonesia.

Kemudian dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa :

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, .

Amanat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut merupakan konsekuensi hukum yang mengharuskan pemerintah tidak hanya melaksanakan tugas pemerintahan saja, melainkan juga kesejahteraan sosial melalui pembangunan nasional. Selain itu, kata melindungi mengandung asas perlindungan hukum bagi segenap bangsa Indonesia untuk mencapai keadilan.

12

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum, maka semua peristiwa hukum yang terjadi di Indonesia harus dapat diatur oleh peraturan perundangundangan agar tidak terjadi kekosongan hukum dan terciptanya kepastian hukum. Begitu pula dengan tindak pidana pencucian uang (money

laundering) melalui internet sebagai bagian dari kejahatan transnasional harus dapat diatasi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saat ini, di Indonesia telah ada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, namun demikian harus diperhatikan pula sumber hukum lain karena pada kenyataannya tindak pidana pencucian uang ini banyak yang mengandung unsur asing yang akan berpengaruh pada proses penuntutan dan peradilannya, sementara tindak pidana pencucian uang melalui internet ini melibatkan hukum nasional lebih dari satu negara, terlebih lagi apabila tindak pidana pencucian uang ini dilakukan melalui internet.

Mendeskripsikan pencucian uang sebagai kejahatan transnasional dapat dilihat dari segi kriminalisasi dan pelaku. Kriminalisasi suatu tindak

pidana merupakan bagian dari proses penegakan hukum pidana, yang dapat dilakukan melalui tiga tahap6 diantaranya tahap formulasi. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan legislatif7.
6 7

Pada tahap inilah

terjadi

Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Undip. Semarang. 1995. hlm. 13 Pada tingkat internasional usaha penegakkan hukum pidana tahap formulasi atau kriminalisasi dituangkan dalam bentuk konvensi. Konvensi mewajibkan negara-negara peserta membentuk undang-undang untuk memberantas kejahatan yang disebutkan dalam konvensi.

13

proses kriminalisasi. Pada proses kriminalisasi tidak hanya merumuskan tindak pidana beserta sanksinya, tetapi juga menentukan atau

memberikan sifat apakah tindak pidana ini tindak pidana konvensional atau transnasional. Apabila tindak pidana itu bersifat transnasional, hal ini menunjukkan indikasi bahwa tindak pidana itu melampaui batas negara dan tidak terikat dengan yurisdiksi hukum satu negara saja, begitu pula dengan kegiatan dan pelakunya, dalam hal ini pelaku tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kejahatan transnasional mengandung pengertian bahwa kejahatan tersebut mengandung unsur asing, maksudnya dalam pelaksanaan kejahatan itu melibatkan pihak-pihak dari negara lain, yang terkadang merupakan sebuah jaringan kejahatan termaksud, dengan kata lain kejahatan transnasional bersifat terorganisir dan merugikan masyarakat internasional. Melihat sifat kejahatan transnasional tersebut, maka tindak pidana pencucian uang (money laundering) sebagai kejahatan

transnasional ini tiada lain juga sebuah kejahatan yang termasuk dalam lingkup hukum pidana internasional.

Pertumbuhan hukum pidana internasional sebagai disiplin ilmu hukum berasal dari dua sumber, yaitu dari perkembangan kebiasaan yang terjadi dalam praktik hukum internasional (custom) dan juga berasal dari perjanjian-perjanjian internasional (treaties)8. Hukum pidana internasional
8

Ibid., hlm. 11

14

sebagai disiplin sebagai berikut 9: 1.

hukum memiliki dan telah memenuhi empat unsur

Asas hukum pidana internasional, yang dapat dibedakan antara

asas-asas hukum hukum yang bersumber pada hukum internasional dan asas-asas hukum yang bersumber pada hukum pidana nasional. Asas-asas hukum yang bersumber pada hukum internasional terdiri dari asas-asas yang bersifat umum seperti pacta sunt servanda dan bersifat khusus seperti yang diungkapkan oleh Hugo Grotius yaitu asas au dedere au punere yang berarti terhadap pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana oleh negara locus delicti dalam batas teritorial suatu negara tersebut atau diserahkan atau diekstradisi kepada negara peminta yang memiliki yurisdiksi untuk mewakili pelaku tersebut. Selain itu, terdapat asas au dedere au judicare yang berarti bahwa setiap negara berkewajiban untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana internasional dan berkewajiban untuk melakukan kerja sama dengan negara lain dalam menangkap, menahan dan menuntut serta mengadili pelaku tindak pidana internasional sebagaimana dinyatakan oleh Bassioni. Perbedaan

kedua asas di atas terletak pada pemahaman dan persepsi mengenai kedaulatan Negara, namun demikian kedua asas tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling mengisi. Sementara itu, asas-asas hukum

pidana internasional juga bersumber pada asas-asas hukum pidana nasional yaitu asas legalitas, asas teritorial, asas nasionalitas aktif
9

Ibid., hlm. 17

15

dan pasif, asas universalitas, asas non retroaktif, asas ne bis in idem dan asas tidak berlaku surut. 2. Kaidah-kaidah hukum pidana internasional, meliputi semua

ketentuan dalam konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan internasional atau kejahatan transnasional, perjanjian-perjanjian

internasional, baik bilateral maupun multilateral mengenai kejahatan internasional internasional. 3. Proses dan penegakan hukum pidana internasional meliputi serta ketentuan lain mengenai tindak pidana

ketentuan hukum internasional mengenai prosedur penegakan hukum pidana internasional, dalam hal ini terdapat tiga wilayah yurisdiksi yang terdiri dari yurisdiksi kriminal pertama meliputi kejahatan genocide, yurisdiksi kriminal kedua meliputi kejahatan pencucian uang (money laundering) serta yurisdiksi kriminal ketiga seperti terhadap kejahatan agresi. 4. Objek hukum pidana internasional adalah tindak pidana

internasional yang telah diatur dalam konvensi-konvensi internasional.

Pada

perkembangannya,

Edward

M.

Wise,

menyatakan

bahwa

pengertian hukum pidana internasional bukan merupakan pengertian yang kaku dan pasti karena dalam pengertian luas meliputi tiga topik sebagai berikut 10:

10

Ibid., hlm. 36

16

1. Topik pertama mengenai kekuasaan mengadili dari pengadilan negara tertentu terhadap kasus-kasus yang mengandung unsur asing, termasuk diantaranya masalah ekstradisi. 2. Topik kedua mengenai prinsip-prinsip hukum publik internasional yang menetapkan kewajiban pada negara-negara yang dituangkan dalam hukum pidana nasional atau hukum acara pidana nasional negara yang bersangkutan yang bersumber dari konvensi dan perjanjian internasional yang menyangkut masalah tindak pidana pencucian uang. 3. Topik ketiga mengenai termasuk keutuhan pengertian hukum pidana

internasional

instrument-instrumen

yang

mendukung

penegakan hukum pidana internasional tersebut.

Ada beberapa dimensi yang dapat dijadikan pedoman dalam menentukan bahwa suatu kejahatan itu merupakan kejahatan transnasional, yakni11 : 1. Tempat terjadinya kejahatan nasional di luar wilayah negara yang bersangkutan tetapi menimbulkan akibat dalam wilayahnya, dalam hal ini ada kepentingan satu negara atau lebih kejahatan itu. 2. Korban suatu kejahatan nasional tidak semata-mata dalam yang terkait dengan

wilayah negara itu sendiri tetapi juga terdapat di wilayah negara lain atau di suatu tempat di luar wilayah negara.

11

I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widia, Bandung, hlm. 38.

17

3. Kejahatan yang terjadi dalam wilayah suatu negara tetapi pelakunya adalah negara yang bukan warganegaranya.

Selain itu, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi suatu kejahatan sebagai kejahatan transnasional, yaitu12 : 1. Tempat terjadinya kejahatan 2. Kewarganegaraan pelaku dan atau korbannya 3. Korban yang berupa harta benda bergerak dan atau benda tidak bergerak milik pihak asing. 4. Perpaduan antara butir 1,2 dan 3 5. Tersentuhnya nilai-nilai kemanusiaan universal, rasa keadilan dan kesadaran hukum umat manusia

Pada proses penegakan hukum dalam menanggulangi kejahatan transnasional tidak terlepas dari ketentuan hukum yang berlaku di negara-negara tersebut serta penerapan beberapa asas-asas hukum pidana nasional dari negara-negara yang pada dasarnya tidak berbeda antara satu dengan yang lainnya, antara lain 13: 1. Asas legalitas, merupakan asas utama dalam hukum pidana nasional beberapa negara, yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak

12 13

Ibid. Ibid., Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widia. Bandung. 2004, hlm. 63.

18

dapat dipidana apabila atas perbuatan itu tidak atau belum diatur dalam suatu undang-undang pidana nasional. 2. Asas non-retroactive sebagai turunan asas legalitas, yang

menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan terhadap perbuatan yang terjadi sebelum peraturan perundang-undangan itu berlaku, atau dengan kata lain undangundang tidak berlaku surut. 3. Asas culpabilitas, yang menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila kesalahannya telah dapat dibuktikan berdasarkan peraturan perundang-undangan pidana yang didakwakan kepadanya melalui proses pemeriksaan oleh badan peradilan yang memang memiliki wewenang untuk itu. 4. Asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), menegaskan bahwa seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana wajib dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan berdasarkan suatu putusan peradilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan pasti. 5. Asas ne/no bis in idem, menyatakan bahwa orang yang telah diadili dan atau dijatuhi hukuman yang telah memiliki kekuatan mengikat dan pasti oleh badan peradilan yang berwenang atas suatu kejahatan atau tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, tidak boleh diadili dan atau dijatuhi putusan untuk kedua kalinya atau lebih atas kejahatan atau tindak pidana tersebut.

19

Asas-asas yang diuraikan di atas, telah terkandung dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia, termasuk dalam ketentuan yang dapat diberlakukan terhadap tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional. Pada hukum pidana yang berlaku di Indonesia, asas legalitas termuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, asas non-retroactive dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, asas culpabilitas terdapat dalam Pasal 44 ayat (1), (2) dan (3) KUHP, asas praduga tak bersalah termuat dalam Pasal 8 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan asas no/ne bis in idem terkandung dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Sementara itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP)

yang diberlakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, terdapat beberapa asas yang berkaitan dengan penerapan hukum pada kejahatan transnasional antara lain : Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP mengenai lingkup berlakunya hukum pidana terutama Pasal 9 KUHP yang menetapkan bahwa berlakunya hukum pidana nasional dibatasi oleh ketentuan hukum internasional. Saat ini sistem pembuktian hukum di Indonesia, khusunya dalam Pasal 184 KUHAP belum mengenal istilah bukti elektronik/digital evidence sebagai bukti yang sah menurut undang-undang. Masih banyak perdebatan khususnya antara akademisi dan praktisi mengenai hal ini.

20

Untuk aspek pidana, asas legalitas menetapkan bahwa tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana jika tidak ada aturan hukum yang mengaturnya (nullum delictum nulla poena sine previa lege poenali). Untuk itulah dibutuhkan adanya dalil yang cukup kuat sehingga perdebatan akademisi dan praktisi mengenai hal ini tidak perlu terjadi lagi. Begitu pula pada kasus pencucian uang (money laundering) melalui internet, terdapat alat bukti elektronik, walaupun dalam Pasal 184 KUHAP tidak diatur, namun berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik mengatur bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik adalah alat bukti yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia. Di bawah ini akan diuraikan beberapa hal yang berhubungan dengan tindak pidana pencucian uang atau money laundering sebagai berikut : 1. Kriminalisasi pencucian uang Pada tingkat internasional, ada suatu konvensi yaitu the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga UN Drug Convention 1988. Konvensi ini mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan money laundering. Berdasarkan konvensi ini, pemerintah Indonesia telah meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997.

21

Implementasi ratifikasi ini dilakukan melalui pembuatan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa pencucian uang (money laundering) merupakan suatu tindak pidana. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Konsideran Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jelas menyatakan bahwa pencucian uang bukan saja merupakan kejahatan nasional tetapi juga kejahatan transnasional, oleh karena itu harus diberantas, antara lain dengan cara melakukan kerja sama regional atau internasional melalui forum bilateral atau multilateral. Sementara itu, Konsideran Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 menyatakan bahwa agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan efektif, maka UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 perlu disesuaikan dengan

perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar internasional. Kriminalisasi tindak pidana berpedoman kepada sifat hukum pidana, yaitu clarity (jelas), certainty (pasti), proportion (terukur), speedy (cepat) dan prevention (bersifat mencegah). Kriminalisasi pencucian uang terdapat dalam Pasal 1 angka (1) juncto Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (selanjutnya disebut UUTPPU), yang menyebutkan bahwa pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, menitipkan,

membelanjakan,

menghibahkan,

menyumbangkan,

membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas

22

harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah olah menjadi harta kekayaan yang sah. Pada dasarnya rumusan tindak pidana pencucian uang dalam UUTPPU dapat dibedakan atas 2 (dua) kriteria yaitu tindak pidana pencucian uang itu sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 6 UUTPPU, dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUTPPU. Mengenai sanksi pidana kejahatan pencucian uang diatur dalam Pasal 13 UUTPPU. Sementara itu, UUTPPU juga mengatur tentang pembentukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). 2. Kegiatan dan pelaku tindak pidana pencucian uang Pencucian uang sebagai tindak pidana yang terorganisir dan kejahatan transnasional melibatkan beberapa pihak yang terlibat dan mempunyai tugas masing-masing. Biasanya organisasi seperti ini disebut dengan sindikat atau jaringan. Agar organisasi ini

berjalan dengan sempurna sesuai dengan rencana perlu adanya kerangka tertentu sebagai sarana. Beberapa literatur yang

membahas pencucian uang mengemukakan bahwa kegiatan pencucian uang mempunyai kerangka, model, modus operandi, instrumen, metode, tahapan serta pelaku tertentu dalam kegiatan kejahatan merupakan satu paket.. Sarana-sarana ini menjadi

23

pedoman melakukan pencucian uang sehingga untuk melakukan pencucian uang dapat dipilih dari beberapa alternatif. 3. Model pencucian uang Schaap, sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady mengemukakan bahwa terdapat beberapa model untuk melakukan pencucian uang, yaitu a.
14

tindak pidana

: menyimpan

Model dengan operasi Chase. Model ini

uang di bank di bawah ketentuan sehingga bebas dari kewajiban lapor transaksi keuangan (Non Currency Transaction Reports) dan melibatkan bank luar negeri dengan memanfaatkan tax haven. b. Model pizza connection. Model ini memanfaatkan sisa

uang yang ditanam di bank untuk mendapatkan konsesi Pizza, dan melibatkan negara tax haven dengan memanfaatkan ekspor fiktif. c. Model La Mina. Model ini memanfaatkan pedagang

grosir emas dan permata dalam negeri dan luar negeri. d. Model dengan penyelundupan uang kontan ke negara

lain. Model ini mempergunakan konspirasi bisnis semu dengan sistem bank paralel. e. Model dengan melakukan perdagangan saham di Bursa

Efek.Model ini melakukan kerja sama dengan lemabaga keuangan yang bergerak di bursa efek.
14

Munir Fuady. op.cit. hlm. 198.

24

Ada beberapa modus operandi pencucian uang antara lain : kerjasama penanaman modal, transfer ke luar negeri, kredit bank Swiss, usaha

tersamar di dalam negeri, perjudian, penyamaran dokumen, atau rekayasa pinjaman luar negeri. Sementara itu, Siahaan mengemukakan 3 (tiga) metode yang digunakan dalam melakukan pencucian uang yaitu 15: 1. Buy and Sell Conversions, Metode ini dilakukan

melalui transaksi barang dan jasa. Selisih harga yang dibayar kemudian dicuci melalui transaksi bisnis. Barang atau jasa dapat diubah menjadi hasil yang legal melalui rekening pribadi atau

perusahaan yang ada di suatu bank. 2. Offshore Conversions, dalam hal ini uang

hasil kejahatan dikonversi ke dalam wilayah yang merupakan tempat yang sangat menyenangkan bagi penghindaran pajak (tax heaven money laundering centers) untuk kemudian didepositokan di bank yang berada di wilayah tersebut. 3. Legitimate Business Conversions. Metode ini

dilakukan melalui kegiatan bisnis yang sah sebagai cara pengalihan atau pemanfaatan hasil kejahatan. Uang tersebut kemudian lain untuk

dikonversi melalui transfer, cek atau alat pembayaran

disimpan di rekening bank atau ditransfer kemudian ke rekening bank lainnya melalui fasilitas internet banking. Biasanya pelaku bekerja

15

NHT.Siahaan. Op.cit ,hlm. 21

25

sama dengan perusahaan yang rekeningnya dapat digunakan sebagai terminal untuk menampung uanghasil kejahatan.

Di samping itu, terdapat 8 (delapan) Instrumen yang dipergunakan dalam tindak pidana pencucian uang. yaitu : 1. 2. 3. 4. Changer 5. 6. Institusi Penanaman Uang Asing Pasar Modal dan Pasar uang. Pasar uang Bank dan Lembaga Keuangan lainnya Perusahaan Swasta Real estate Deposit Taking Institution dan Money

tidak mempunyai tempat fisik seperti pasar modal. Pasar uang memperdagangkan surat berharga pemerintah, sertifikat

deposito,surat perusahaan seperti aksep, dan wesel. Lembagalembaga yang aktif dalam pasar uang adalah bank komersial, merchant banks, bank dagang, penyalur uang, dan bank sentral. 7. 8. Emas dan Barang Antik Kantor konsultan keuangan

Tindak pidana pencucian uang dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut ; Placement, yaitu menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, weselbank, sertifikat deposito,)

26

kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan; selanjutnya proses Layering, yaitu tindakan mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement ) ke penyedia jasa keuangan yang lain, biasanya dilakukan melalui proses transfer dengan menggunakan fasilitas internet banking. kekayaan melalui layering, sulit diketahui asal-usul harta Integration, yaitu

tersebut; kemudian dilakukan proses

penggunaan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau kekayaan halal (clean

transfer, sehingga seolah-olah menjadi harta

money) untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.

Pencucian uang sebagai kejahatan terorganisir dilakukan oleh orang yang menguasai dunia penyedia jasa keuangan baik bank maupun non bank. Pencucian uang merupakan kejahatan kerah putih (white collar crime). Kejahatan kerah putih tidak ada rumusan yang jelas baik dari sisi kriminologi maupun dalam perundang-undangan. Pergerakan kejahatan kerah putih sangat luas yang dapat meliputi perekonomian, keuangan dan biasanya dilakukan secara terorganisir (organized crime)16.

16

Marulak Pardede..Hukum Pidana Bank. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 1995. hlm. 135

27

Kejahatan kerah putih dilakukan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi mulai dari manual hingga extra sophisticated atau super canggih yang memasuki dunia maya (cyberspace) sehingga kejahatan kerah putih dalam bidang pencucian uang disebut dengan cyber laundering17 merupakan bagian dari cyber crime yang didukung oleh pengetahuan tentang bank, bisnis, electronic banking yang cukup.

Walaupun realisme hukum adalah suatu kepastian, namun realitas hukum saat ini justru adalah ketidakpastian dalam penegakan hukum. Hal ini terlihat pada beragam tafsir hukum yang mengatur kasus tindak pidana pencucian uang (money laundering) melalui internet ini. Pencegahan atau upaya preventif dan upaya represif terhadap kejahatan merupakan bagian dari politik kriminal, sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dan reaksi terhadap pelanggaran hukum 18, termasuk tindak pidana pencucian uang.

F. Metode Penelitian Pada penelitian ini, Peneliti menggunakan metode-metode sebagai berikut : 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitis yaitu

menggambarkan secara sistematis fakta-fakta

dan permasalahan

hukum yang diteliti sekaligus menganalisis peraturan perundang17 18

NHT. Siahaan. Op.cit., hlm. 41 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 113

28

undangan yang berlaku, dihubungkan dengan teori hukum dan praktis pelaksanaannya, berupa data sekunder bahan hukum primer antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, kemudian data sekunder bahan hukum sekunder yaitu pendapat para ahli hukum yang berkaitan dengan yurisdiksi tuntutan jaksa atas tindak pidana pencucian uang (money laundering) melalui internet sebagai

kejahatan transnasional serta data sekunder bahan hukum tertier seperti kamus hukum.

2. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, dalam hal ini menguji dan mengkaji data sekunder yang berkaitan dengan yurisdiksi tuntutan jaksa atas tindak pidana pencucian uang (money laundering) melalui internet sebagai

kejahatan transnasional, pada tahap ini dilakukan pula penafsiran hukum secara gramatikal yaitu menafsirkan kata atau kalimat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai yurisdiksi tuntutan jaksa dan tindak pidana pencucian uang (money laundering) melalui internet sebagai kejahatan transnasional, penafsiran hukum secara sistematis dengan memperhatikan keterkaitan antara

ketentuan yang satu dengan ketentuan lainnya, baik dalam satu

29

peraturan atau peraturan lainnya, penafsiran hukum secara otentik yang dapat dilihat langsung pada penjelasan peraturan perundangundangan yang bersangkutan, serta penafsiran hukum secara ekstensif dengan cara memperluas arti kata dalam suatu ketentuan peraturan perundang-undangan tertentu.

3. Teknik Pengumpulan Data Pada penelitian ini dilakukan teknik pengumpulan data beberapa cara yaitu : a. Penelitian Kepustakaan (library research), dalam hal ini Peneliti melakukan penelitian terhadap data sekunder bahan hukum primer seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, kemudian data sekunder bahan hukum sekunder yaitu pendapat para ahli yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang (money laundering) melalui internet sebagai kejahatan dengan

transnasional serta data sekunder bahan hukum tertier seperti kamus hukum. b. Penelitian Lapangan (field research), untuk menunjang dan melengkapi studi kepustakaan, maka Peneliti melakukan penelitian lapangan, antara lain melakukan wawancara terstruktur dengan

30

pihak kepolisian, kejaksaan, pihak perbankan serta browsing melalui internet.

4. Metode Analisis Data Seluruh data yang diperoleh dianalisis secara yuridis kualitatif, maksudnya bahwa analisis dilakukan dengan memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan agar peraturan yang satu tidak

bertentangan dengan peraturan lainnya, serta tercapainya kepastian hukum.

5. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di beberapa tempat seperti : Perpustakaan Fakultas Hukum UNIKOM, Perpustakaan Hukum UNPAD, Kepolisian, Kejaksaan Negeri, Pihak perbankan serta beberapa website dalam internet.

G. Sistematika Penulisan Penelitian ini akan disajikan secara sistematis, sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini dijelaskan mengenai latar belakang, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, perangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan.

31

BAB II

: TINJAUAN TEORITIS TENTANG YURISDIKSI TUNTUTAN DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MELALUI INTERNET

Pada bab ini diuraikan mengenai aspek-aspek hukum yurisdiksi tuntutan jaksa dan teori-teori tindak pidana pencucian uang melalui internet

BAB III : YURISDIKSI

TUNTUTAN

ATAS

TINDAK

PIDANA

PENCUCIAN UANG MELALUI INTERNET Pada bab ini diuraikan mengenai proses pencucian uang melalui internet di beberapa negara, dan proses penuntutan atas tindak pidana pencucian uang melalui internet

BAB IV : ANALISIS HUKUM TENTANG

YURISDIKSI TUNTUTAN UANG

JAKSA ATAS TINDAK PIDANA PENCUCIAN

MELALUI INTERNET BERDASARKAN HUKUM ACARA PIDANA, UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 Pada bab ini, dianalisis mengenai yurisdiksi tuntutan atas tindak tindakan

pidana pencucian uang melalui internet serta

hukum yang dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan

transnasional

32

BAB V

: SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini diuraikan mengenai simpulan dan saran

33

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG YURISDIKSI TUNTUTAN DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MELALUI INTERNET
A. Aspek Hukum Yurisdiksi Tuntutan jaksa Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dimaksud dengan Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Sementara itu, berdasarkan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh UndangUndang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim, dan menunjuk juga pada Pasal 6 a dan Pasal 6 b KUHAP. Adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tersebut maka dapat dikatakan bahwa pengertian jaksa menyangkut jabatan, sedangkan Penuntut Umum menyangkut fungsi. Kejaksaan termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang dasar 1945. Untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak

34

manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. Oleh karena itu, pembaharuan Undang-Undang Kejaksaan perlu dilakukan dengan membentuk UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pada Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 disebutkan bahwa kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan

penuntutan; melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan,dan keputusan lepas bersyarat; melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik Sementara itu, dalam Pasal 14 KUHAP disebutkan bahwa Penuntut Umum mempunyai wewenang menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu, mengadakan

prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; membuat surat dakwaan;

35

melimpahkan perkara ke pengadilan; menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada sidang yang telah ditentukan; melakukan penuntutan; menutup perkara demi kepentingan hukum; mengadakan tindakan lain dalamlingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; melaksanakan penetapan hakim. Di samping tugas dan wewenang kejaksaan di bidang pidana yang tersebut dalam pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 diatas, pada pasal 32 juga disebutkan bahwa kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara/instansi lainnya. Selain itu kejaksaan dapat memberikan

pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya, sesuai dengan bunyi pasal 33 dan pasal 34 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pasal 1 butir 7 KUHAP, menyatakan bahwa penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

36

Penuntutan adalah wewenang Jaksa/Penuntut Umum, yang berdasarkan yang diatur dalam pasal 1 butir 6 KUHAP juncto pasal 1 ayat 3 UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004. Menuntut seseorang terdakwa di muka hakim berarti menyerahkan perkara seseorang terdakwa dengan berkas perkara kepada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutus perkara pidana itu kepada terdakwa. Jaksa

Penuntut Umum melakukan penuntutan berdasarkan hasil penyidikan perkara. Petunjuk yang disampaikan jaksa penuntut umum dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik tersebut yang dikenal dengan proses Pra Penuntutan (Preprosecution). Tugas jaksa dalam melakukan Pra Penuntutan diatur dalam pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP adalah : 1. melakukan penelitian berkas perkara dan memberikan

petunjuk guna melengkapi berkas perkara; 2. 3. 4. pemantauan perkembangan penyidikan; penelitian ulang berkas perkara; penelitian tersangka dan barang bukti pada tahap

penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti; 5. serta pemeriksaan tambahan, dan lain-lain

Pada Bab XV KUHAP mengenai penuntutan, Pasal 137 menyatakan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap

37

siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Penuntut umum menentukan kelengkapan suatu perkara hasil penyidikan untuk selanjutnya dilimpahkan ke pengadilan. Hal ini diatur dalam pasal 139 KUHAP. Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan

penelitian berkas perkara difokuskan terhadap kelengkapan formil dan kelengkapan materiil, yaitu : 1. Kelengkapan formil, yakni kelengkapan administrasi teknis justisial yang terdapat pada setiap berkas perkara sesuai dengan keharusan yang harus dipenuhi oleh ketentuan hukum yang diatur dalam Pasal 121 dan Pasal 75 KUHAP, termasuk semua ketentuan kebijaksanaan yang telah disepakati oleh instansi penegak hukum dan yang telah melembaga dalam praktek penegakan hukum; 2. Kelengkapan materiil, yakni kelengkapan informasi, data, fakta dan alat bukti yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian. Kelengkapan materiil ialah perbuatan materiil yang dilakukan tersangka antara lain: a. b. c. d. Fakta-fakta yang dilakukan tersangka. Unsur tindak pidana dari perbuatan materiil yang dilakukan. Cara tindak pidana dilakukan. Waktu dan tempat tindak pidana dilakukan.(Tempus Delictie

dan Locus Delictie)

38

Selanjutnya menurut Pasal 140 ayat (1) KUHAP, dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Jika menurut pertimbangan penuntut umum suatu perkara tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, dan perkara ditutup demi hukum maka penuntut umum dapat memutuskan untuk menghentikan penuntutan melalui surat ketetapan yang diatur dalam Pasal 140 ayat (2) a KUHAP. Pada penuntutan, dikenal 2 asas yaitu : 1. Asas Legalitas, yaitu asas yang mewajibkan kepada penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana. Asas ini merupakan penjelmaan dari asas equality before the Law. 2. Asas Oportunitas, yaitu asas yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk tidak melakukan penuntutan terhadap

seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana denga jalan mengesampingkan perkara yang sudah ada terang pembuktiannya untuk kepentingan umum. Pada KUHAP, asas ini dikenal dengan pengesampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. Hal ini dinyatakan dalam penjelasan resmi Pasal 77 KUHAP bahwa penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. KUHAP mengakui eksistensi perwujudan

39

asas oportunitas, sehingga perwujudan asas oportunitas tidak perlu dipermasalahkan, mengingat dalam kenyataannya perundang-

undanga positif di Indonesia, yaitu penjelasan resmi pasal 77 KUHAP dan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI pasal 35 huruf c secara tegas mengatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Maksud dari tujuan undang-undang memberikan kewenangan pada Jaksa Agung tersebut, adalah untuk menghindarkan timbulnya

penyalahgunaan kekuasaan dalam hal pelaksanaan asas oportunitas, sehingga dengan demikian satu-satunya pejabat negara yang diberi wewenang melaksanakan asas oportunitas adalah Jaksa Agung. Menurut penjelasan Pasal 35 huruf c UU No.16 Tahun 2004, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah

B. Teori-Teori Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Tindak pidana atau strafbaar feit menurut Profesor Simons adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai

40

suatu tindakan yang dapat dihukum19.

Profesor Simons merumuskan

tindak pidana seperti diatas adalah karena20 : 1. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu diisyaratkan bahwa harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, dalam hal ini pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. 2. Agar sesuatu itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dalam undang-undang. 3. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum

Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) meliputi unsur-unsurnya, yang dibagi menjadi dua macam yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.21 Unsur subjektif ini terdiri dari22 : 1. hal dapat dipertanggungjawabkannya seseorang terhadap perbuatan yang telah dilakukan;
19 20 21 22

PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung , 1997, hlm 185 Ibid., hlm 10-11 Ibid., hlm 193 PAF Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus, Bandung : Tarsito, 1995, hlm 16

41

2. kesalahan seseorang;

Sementara itu, unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari pelaku itu harus dilakukan.23 Dikatakan unsur

objektif, jika unsur tersebut terdapat diluar si pembuat yang dapat berupa24 : 1. suatu perbuatan, perbuatan mana dapat berupa berbuat

sesuatu atau tidak berbuat sesuatu 2. 3. suatu akibat masalah-masalah, keadaan-keadaan, yang semuanya itu

dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang

Tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu tindak pidana sebagaimana telah diuraikan di atas. Pada tingkat internasional, ada

suatu konvensi the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga UN Drug

Convention 1988. Konvensi ini mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan pencucian uang (money laundering). Berdasarkan konvensi ini, pemerintah Indonesia telah meratifikasinya dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1997. Implementasi ratifikasi ini dilakukan
23 24

Op Cit, PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, hlm 194 Op Cit, PAF Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus, , hlm 14

42

melalui pembuatan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa pencucian uang (money laundering) merupakan suatu tindak pidana.

Selanjutnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Konsideran Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2002 jelas menyatakan bahwa pencucian uang bukan saja merupakan kejahatan nasional tetapi juga kejahatan transnasional, oleh karena itu harus diberantas, antara lain dengan cara melakukan kerja sama regional atau internasional melalui forum bilateral atau multilateral. Tahun 2003 Sementara itu, Konsideran Undang-Undang Nomor 25 menyatakan bahwa agar upaya pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana pencucian uang

dapat berjalan efektif,

maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar internasional. Kriminalisasi tindak pidana berpedoman kepada sifat

hukum pidana, yaitu clarity (jelas), certainty (pasti), proportion (terukur), speedy (cepat) dan prevention (bersifat mencegah).

Berdasarkan Pasal 1 angka (1) juncto Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (selanjutnya disebut UUTPPU), menyebutkan bahwa pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,

membayarkan,

membelanjakan,

menghibahkan,

menyumbangkan,

menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan

43

lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah olah menjadi harta kekayaan yang sah. Pada dasarnya rumusan tindak

pidana pencucian uang dalam UUTPPU dapat dibedakan atas 2 (dua) kriteria yaitu tindak pidana pencucian uang itu sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 6 UUTPPU, dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUTPPU. Sanksi pidana kejahatan pencucian uang diatur dalam Pasal 13 UUTPPU.

Untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, UU TPPU membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) suatu lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. PPATK pada dasarnya adalah unit intelijen keuangan (Financial Inteligent Unit/FIU). PPATK dibentuk karena keharusan adanya keahlian khusus dalam memberantas tindak pidana pencucian uang.

Kewenangan PPATK, antara lain meminta dan menerima laporan dari penyedia jasa keuangan, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan atas tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum.

Dalam rangka mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang, PPATK berwenang menerima laporan, berupa:

44

1. Laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan (Pasal 1 angka 6 7 dan Pasal 13 UU TPPU); 2. Laporan yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan tentang transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif Rp 500 juta atau lebih (Pasal 1 angka 8 dan Pasal 13UU TPPU); 3. Laporan yang disampakan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai mengenai pembawaan uang tunai rupiah ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia sejumlah Rp 100 juta atau lebih (Pasal 16 UU TPPU).

Selanjutnya dalam proses penegakan hukum, PPATK dapat melakukan kerjasama serta membantu pihak penyidik dan penuntut umum dengan informasi yang dimiliki dan kemampuan analisisnya.

Berdasarkan Keppres No.82 Tahun 2003, PPATK juga dapat menerima informasi dari masyarakat yang terindikasi telah melakukan tindak pidana pencucian uang, atau informasi dari pihak ketiga baik perorangan maupun entitas mengenai dugaan tindak pidana pencucian uang oleh sesuatu pihak.

Pasal 8 UU TPPU menyebutkan bahwa Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) UU TPPU, dipidana

45

dengan pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Selain itu dalam Pasal 6 UU TPPU diatur pula bagi setiap orang yang menerima atau menguasai : penempatan; pentransferan; pembayaran; hibah; sumbangan; penitipan atau penukaran, harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).

Tindak pidana pencucian uang tidak hanya dapat dilakukan secara konvensional, tetapi juga dapat dilakukan melalui penyalahgunaan internet sebagai salah satu kemajuan teknologi informasi, antara lain melalui layanan internet banking. Sifat money laundering menjadi

universal dan bersifat transnasional yakni melintasi batas-batas yurisdiksi negara25. Berarti pemahaman hukum pidana terhadap kejahatan ini tidak lagi terkait dengan asas teritorial suatu negara saja akan tetapi lebih dari satu hukum nasional yang dilanggar. Uang hasil dari tindak pidana ini tidak saja disimpan atau dimanfaatkan dalam suatu lembaga keuangan suatu negara asal, akan tetapi juga dapat ditransfer ke negara lain dengan berbagai macam cara dan kepentingan, misalnya dengan cara pembayaran yang dilakukan melalui bank secara elektronik

25

NHT. Siahaan.. Pencucian uang dan Kejahatan Perbankan. Sinar Harapan. Jakarta, 2005, hlm. 103.

46

(cyberpayment)26.. Kegiatan semacam ini melibatkan hukum pidana nasional.

lebih dari satu

Bank Indonesia menyebutkan bahwa tindak

pidana penyuapan, korupsi, perjudian, pemalsuan uang merupakan pemicu money laundering. Dengan demikian Money

Laundering.dikatakan sebagai kejahatan transnasional.

Kejahatan transnasional mengandung pengertian bahwa kejahatan tersebut mengandung unsur asing, maksudnya dalam pelaksanaan kejahatan itu melibatkan pihak-pihak dari negara lain, yang terkadang merupakan sebuah jaringan kejahatan termaksud, dengan kata lain kejahatan transnasional bersifat terorganisir dan merugikan masyarakat internasional. Melihat sifat kejahatan transnasional tersebut, maka tindak pidana pencucian uang sebagai kejahatan transnasional ini tiada lain juga sebuah kejahatan internasional. yang termasuk dalam lingkup hukum pidana

Hukum pidana internasional sebagai disiplin hukum memiliki dan telah memenuhi empat unsur sebagai berikut 27: 1. Asas hukum pidana internasional, dapat dibedakan antara

asas-asas hukum hukum yang bersumber pada hukum internasional dan asas-asas hukum yang bersumber pada hukum pidana nasional. Asas-asas hukum yang bersumber pada hukum internasional terdiri dari asas-asas yang bersifat umum seperti pacta sunt servanda dan
26 27

Ibid. halaman 3 Ibid., hlm. 17

47

bersifat khusus seperti yang diungkapkan oleh Hugo Grotius yaitu asas au dedere au punere yang berarti terhadap pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana oleh negara tempat locus delicti terjadi dalam batas teritorial suatu negara tersebut atau diserahkan atau diekstradisi kepada negara peminta yang memiliki yurisdiksi untuk mewakili pelaku tersebut. Selain itu, terdapat asas au dedere au

judicare yang berarti bahwa setiap negara berkewajiban untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana internasional dan berkewajiban untuk melakukan kerja sama dengan negara lain dalam menangkap, menahan dan menuntut serta mengadili pelaku tindak pidana internasional sebagaimana dinyatakan oleh Bassioni.

Perbedaan

kedua asas di atas terletak pada pemahaman dan

persepsi mengenai kedaulatan Negara, namun demikian kedua asas tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling mengisi. Sementara itu, asas-asas hukum pidana internasional juga bersumber pada asasasas hukum pidana nasional yaitu asas legalitas, asas territorial, asas nasionalitas aktif dan pasif, asas universalitas, asas non retroaktif, asas ne bis in idem dan asas tidak berlaku surut. 2. Kaidah-kaidah hukum pidana internasional, meliputi semua

ketentuan dalam konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan internasional atau kejahatan transnasional, perjanjian-perjanjian

internasional, baik bilateral maupun multilateral mengenai kejahatan internasional internasional. serta ketentuan lain mengenai tindak pidana

48

3.

Proses dan penegakan hukum pidana internasional meliputi

ketentuan hukum internasional mengenai prosedur penegakan hukum pidana internasional. 4. Objek hukum pidana internasional adalah tindak pidana

internasional yang telah diatur dalam konvensi-konvensi internasional.

Pada

perkembangannya,

Edward

M.

Wise,

menyatakan

bahwa

pengertian hukum pidana internasional bukan merupakan pengertian yang kaku dan pasti karena dalam pengertian luas meliputi tiga topik sebagai berikut 28: 1. Topik pertama mengenai kekuasaan mengadili dari pengadilan

negara tertentu terhadap kasus-kasus yang mengandung unsur asing, termasuk diantaranya masalah ekstradisi. 2. Topik kedua mengenai prinsip-prinsip hukum publik

internasional yang menetapkan kewajiban pada negara-negara yang dituangkan dalam hukum pidana nasional atau hukum acara pidana nasional negara yang bersangkutan yang bersumber dari konvensi dan perjanjian internasional yang menyangkut masalah tindak pidana pencucian uang. 3. Topik ketiga mengenai keutuhan pengertian hukum pidana termasuk instrument-instrumen yang mendukung

internasional

penegakan hukum pidana internasional tersebut.

28

Ibid., hlm. 36

49

Istilah kejahatan transnasional menunjukan adanya kejahatan yang sebenarnya bersifat nasional namun mengandung unsur asing atau lintas batas negara. Kejahatan itu sebenarnya terjadi dalam batas wilayah

suatu negara (nasional), tetapi dalam beberapa hal terkait kepentingan negara-negara lain, sehingga tampak adanya dua atau lebih negara yang berkepentingan atau terkait dengan kejahatan tersebut. Pada praktiknya terdapat banyak faktor yang menyebabkan adanya kepentingan lebih dari satu negara dalam suatu kejahatan, baik pelakunya, korbannya, tempat terjadinya kejahatan atau perpaduan unsur-unsur tersebut.

Ada beberapa dimensi yang dapat dijadikan pedoman dalam menentukan bahwa suatu kejahatan itu merupakan kejahatan transnasional, yakni29 : 1. Tempat terjadinya kejahatan nasional di luar wilayah negara

yang bersangkutan tetapi menimbulkan akibat dalam wilayahnya, dalam hal ini ada kepentingan satu negara atau lebih yang terkait dengan kejahatan itu. 2. Korban suatu kejahatan nasional tidak semata-mata dalam

wilayah negara itu sendiri tetapi juga terdapat di wilayah negara lain atau di suatu tempat di luar wilayah negara. 3. Kejahatan yang terjadi dalam wilayah suatu negara tetapi

pelakunya adalah negara yang bukan warganegaranya.

29

I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widia, Bandung, hlm. 38.

50

Selain itu, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi suatu kejahatan sebagai kejahatan transnasional, yaitu30 tempat terjadinya kejahatan, kewarganegaraan pelaku dan atau

korbannya, korban yang berupa harta benda bergerak dan atau benda tidak bergerak milik pihak asing, Perpaduan antara butir 1,2 dan 3, tersentuhnya nilai-nilai kemanusiaan universal, rasa keadilan dan kesadaran hukum umat manusia

Pada proses penegakan hukum dalam menanggulangi kejahatan transnasional tidak terlepas dari ketentuan hukum yang berlaku di negara-negara tersebut serta penerapan beberapa asas-asas hukum pidana nasional dari negara-negara yang pada dasarnya tidak berbeda antara satu dengan yang lainnya, antara lain 31: 1. Asas legalitas, merupakan asas utama dalam hukum pidana

nasional beberapa negara, yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila atas perbuatan itu tidak atau belum diatur dalam suatu undang-undang pidana nasional. 2. Asas non-retroactive sebagai turunan asas legalitas, yang

menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan terhadap perbuatan yang terjadi sebelum peraturan perundang-undangan itu berlaku, atau dengan kata lain undangundang tidak berlaku surut.

30 31

Ibid., hlm 39 Ibid., Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widia. Bandung. 2004, hlm. 63.

51

3. dapat

Asas culpabilitas, yang menyatakan bahwa seseorang hanya dipidana apabila kesalahannya telah dapat dibuktikan

berdasarkan peraturan perundang-undangan pidana yang didakwakan kepadanya melalui proses pemeriksaan oleh badan peradilan yang memang memiliki wewenang untuk itu. 4. Asas praduga tak bersalah (presumption of innocent),

menegaskan bahwa seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana wajib dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan berdasarkan suatu putusan peradilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan pasti. 5. Asas ne/no bis in idem, menyatakan bahwa orang yang telah

diadili dan atau dijatuhi hukuman yang telah memiliki kekuatan mengikat dan pasti oleh badan peradilan yang berwenang atas suatu kejahatan atau tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, tidak boleh diadili dan atau dijatuhi putusan untuk kedua kalinya atau lebih atas kejahatan atau tindak pidana tersebut.

Asas-asas yang diuraikan di atas, telah terkandung dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia, termasuk dalam ketentuan yang dapat diberlakukan terhadap tindak pidana pencucian uang sebagai kejahatan transnasional. Pada hukum pidana yang berlaku di Indonesia, asas

legalitas termuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, asas non-retroactive dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP tentang asas legalitas di atas, asas culpabilitas terdapat dalam Pasal 44 ayat (1), (2) dan (3) KUHP, asas

52

praduga tak bersalah termuat dalam Pasal 8 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan asas no/ne bis in idem terkandung dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Sementara itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP)

yang diberlakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, terdapat beberapa asas yang berkaitan dengan penerapan hukum pada kejahatan transnasional antara lain : Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP mengenai lingkup berlakunya hukum pidana terutama Pasal 9 KUHP yang menetapkan bahwa berlakunya hukum pidana nasional dibatasi oleh ketentuan hukum internasional.

Kejahatan terorganisir adalah suatu jenis kejahatan kerah putih yang dilakukan oleh para mafia dalam suatu jaringan yang terorganisir rapi pada suatu organisasi bawah tanah, baik mafia preman maupun mafia intelek yang melakukan berbagai jenis kejahatan dengan tujuan akhir yaitu mencari uang, baik dilakukan melalui bisnis gelap atau terangterangan32. Kejahatan terorganisir (organized crime) harus dibedakan

dengan kejahatan organisasi (organizational crime), karena yang dimaksud dengan organizational crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh organisasi, baik berbentuk badan hukum atau non badan hukum, sedangkan organized crime adalah tindakan yang dilakukan oleh
32

Munir Fuady, Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Citra Adtya Bhakti, Bandung, 2004, hlm. 41.

53

sekelompok orang yang memiliki kegiatan utama yang berlawanan dengan hukum (pidana) dengan tujuan mencari keuntungan secara ilegal dengan menggunakan kekuasaan yang tidak sah, melakukan pemerasan, bahkan manipulasi finansial33. Contoh kejahatan terorganisir antara lain pencucian uang, mafia pembobolan bank, peredaran gelap narkoba, dan sebagainya. Oleh karena itu, tindak pidana pencucian uang juga

berkaitan dengan kejahatan terorganisir dan melibatkan lebih dari suatu negara sehingga dianggap sebagai kejahatan transnasional.

Berbicara mengenai kejahatan transnasional, tentu berkaitan pula dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Pada kasus-kasus yang merupakan kejahatan transnasional diperlukan adanya kerja sama antarnegara untuk mempermudah penanganan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atas suatu masalah pidana yang timbul baik di Negara Peminta maupun Negara Diminta. Untuk memberikan dasar hukum yang kuat mengenai kerja sama antarnegara dalam bentuk bantuan timbal balik dalam masalah pidana diperlukan perangkat hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi Pemerintah Republik Indonesia untuk membuat perjanjian dan

melaksanakan permintaan bantuan kerja sama dari negara asing. Perangkat hukum tersebut berupa undang-undang yang mengatur beberapa asas atau prinsip, prosedur dan persyaratan permintaan
33

Op.Cit. Hagan dalam Munir Fuady, hlm.43.

54

bantuan, serta proses hukum acaranya.

Asas atau prinsip bantuan

timbal balik dalam masalah pidana dalam Undang-Undang di atas didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana, perjanjian antar negara yang dibuat, serta konvensi dan kebiasaan internasional. Bantuan timbal balik dalam masalah pidana dapat dilakukan berdasarkan suatu perjanjian dan jika belum ada perjanjian, maka bantuan dapat dilakukan atas dasar hubungan baik. Undang-Undang ini tidak memberikan

wewenang untuk mengadakan ekstradisi atau penyerahan orang, penangkapan atau penahanan dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan orang, pengalihan narapidana, atau pengalihan perkara.

Di samping itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 termaksud mengatur secara rinci mengenai permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dari Pemerintah Republik Indonesia kepada Negara Diminta dan sebaliknya yang antara lain menyangkut pengajuan permintaan bantuan, persyaratan permintaan, bantuan untuk mencari atau mengindentifikasi orang, bantuan untuk mendapatkan alat bukti, dan bantuan untuk mengupayakan kehadiran orang.

55

BAB III YURISDIKSI TUNTUTAN ATAS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MELALUI INTERNET

A. Pengertian internet (Cyber Space) Untuk membahas mengenai Cyber Law, terlebih dahulu perlu dijelaskan satu istilah Cyber Space (ruang maya) yang erat kaitannya dengan Cyber Law, karena Cyber Space lah yang akan menjadi objek atau concern dari Cyber Law. Istilah Cyber Space pertama kali diperkenalkan oleh William Gibson seorang penulis fiksi ilmiah (Science fiction) dalam novelnya yang berjudul Neuromancer. Istilah yang sama kemudian diulanginya dalam novel yang lain yaitu Virtual Light. Menurut Gibson, cyberspace was a consensual hallucination that felt and looked like a physical space but actually was a computer-generated construct representing abstract data. Pada perkembangan selanjutnya seiring dengan meluasnya penggunaan komputer istilah ini kemudian dipergunakan untuk menunjuk sebuah ruang elektronik (electronic space), yaitu masyarakat virtual yang terbentuk computer melalui komunikasi Pada jaringan saat ini, komputer cyberspace (interconnected sebagaimana

networks).

56

dikemukakan oleh Cavazos dan Morin adalah : represents a vas array of computer systems accessible from remote physical locations. Aktivitas yang potensial untuk dilakukan di cyberspace tidak dapat diperkirakan secara pasti. Sebab, kemajuan teknologi informasi berjalan terlalu cepat dan sulit diprediksi. Namun, saat ini kita mengenal ada beberapa aktivitas utama yang sudah dilakukan di cyberspace seperti Commercial On-line Services, Bulletin Board System, Conferencing Systems, Internet Relay Chat, Usenet, Email list, dan entertainment. Oleh karena itu orang kemudian menyimpulkan bahwa cyberspace itu tidak lain adalah Internet. Dengan karakteristik seperti ini kemudian ada juga yang menyebut cyber space dengan istilah virtual community (masyarakat maya) atau virtual world (dunia maya). Dengan kondisi virtual (maya) itu orang kemudian berasumsi bahwa aktivitas di Internet itu tidak bisa dilepaskan dari manusia dan akibat hukumnya juga mengenai masyarakat yang ada di physical world (dunia maya), akan tetapi Virtual Community memiliki kompleksitas karakteristik yang aneh, sebab semua aktifitas yang di lakukan atas dasar ketidak tahuan, dengan demikian dalam komunikasi orang tidak dapat

mengetahui

identitas

lawan,

sehingga

kiranya

kawan

ternyata

menyerang, kiranya minta amal ternyata merampok dan kiranya partner ternyata penjarah bertangan dingin. Maka muncullah kemudian pemikiran mengenai perangkat hukum yang mengatur komunitas maya tersebut,

57

sebab tanpa aturan yang jelas dan tegas, kejahatan demi kejahatan itu akan semakin meresahkan dan merugikan orang banyak (masyarakat). Perbedaan yang kemudian muncul adalah apakah kita akan memakai hukum konvensional (The existing law) atau kah menciptakan hukum baru yang khusus mengatur masalah ini. Salah satu kesulitan apabila memakai sistem hukum tradisional disebabkan karena dua hal yaitu : 1. Karakteristik aktivitas di Internet yang bersifat lintas-batas dan, 2. Sistem hukum tradisional (The existing law) yang justru bertumpu pada batasan - batasan teritorial maka dianggap tidak cukup memadai untuk menjawab persoalan - persoalan hukum yang muncul akibat aktivitas di Internet. Paling tidak muncul tiga kelompok yang masih memperdebatkan persoalan tersebut, yakni : 1. Kelompok Pertama, secara total menolak setiap usaha untuk membuat aturan hukum bagi aktivitas - aktivitas di Internet yang didasarkan atas sistem hukum tradisional/konvensional. Mereka beralasan bahwa Internet yang layaknya sebuah Surga Demokrasi (democratic paradise) yang menyajikan wahana bagi adanya lalulintas ide secara bebas dan terbuka. Dengan pendirian seperti ini, maka Internet harus diatur sepenuhnya oleh sistem hukum baru yang didasarkan atas norma - norma hukum yang baru pula. Kelemahan utama dari kelompok ini adalah mereka menafikan fakta, meskipun

58

aktivitas Internet itu sepenuhnya beroperasi secara virtual, namun masih tetap melibatkan masyarakat di dunia nyata. 2. Kelompok Kedua, berpendapat bahwa penerapan sistem hukum tradisional untuk mengatur aktivitas - aktivitas di Internet sangat mendesak untuk dilakukan. Dengan pertimbangan pragmatis yang didasarkan atas meluasnya akibat yang ditimbulkan oleh Internet. Untuk itu semua yang paling mungkin adalah mengaplikasikan sistem hukum tradisional yang saat ini berlaku. Kelemahan utama kelompok ini merupakan kebalikan dari kelompok pertama, yaitu mereka menafikan fakta bahwa aktivitas - aktivitas di Internet menyajikan realitas dan persoalan baru yang merupakan fenomena khas masyarakat informasi yang tidak sepenuhnya dapat direspon oleh sistem hukum tradisional. 3. Kelompok Ketiga, tampaknya merupakan sintesis dari kedua

kelompok di atas. Mereka berpendapat bahwa aturan hukum yang akan mengatur mengenai aktivitas di Internet harus dibentuk secara evolutif dengan cara menerapkan prinsip - prinsip common law yang dilakukan secara hati - hati dan dengan menitikberatkan kepada aspek aspek tertentu dalam aktivitas cyber space yang

menyebabkan kekhasan dalam transaksi - transaksi di Internet. Kelompok ini memiliki pendirian yang cukup moderat dan realistis, karena memang ada beberapa prinsip hukum tradisional yang masih dapat merespon persoalan hukum yang timbul dari aktivitas Internet disamping juga fakta.

59

Cyber Law didasarkan atas satu konstruksi hukum yang mensintesiskan prinsip - prinsip hukum tradisional dengan norma - norma hukum baru yang terbentuk akibat dari aktivitas - aktivitas manusia lewat Internet. Secara akademis, terminologi cyber law tampaknya belum menjadi terminologi yang sepenuhnya dapat diterima. Hal ini terbukti dengan dipakainya terminologi lain untuk tujuan yang sama seperti The law of the Internet, Law and the Information Superhighway, Information Technology Law, The Law of Information, dan sebagainya. Di Indonesia sendiri tampaknya ada satu istilah yang disepakati atau paling tidak hanya sekedar terjemahan atas terminologi cyber law. Sampai saat ini ada beberapa istilah yang dimaksudkan sebagai terjemahan dari cyber law, misalnya, Hukum Sistem Informasi, Hukum Informasi, dan Hukum Telematika (Telekomunikasi dan Informatika). Istilah (Indonesia) manapun yang akan dipakai tidak menjadi persoalan. Yang penting, didalamnya memuat atau membicarakan mengenai aspek aspek hukum yang berkaitan dengan aktivitas manusia di Internet. Oleh karena itu dapat dipahami apabila sampai saat ini di kalangan peminat dan pemerhati masalah hukum yang berkaitan dengan Internet di Indonesia masih menggunakan istilah cyber law. Lahirnya pemikiran untuk membentuk satu aturan hukum yang dapat merespon persoalan - persoalan hukum yang muncul akibat dari pemanfaatan Internet terutama disebabkan oleh sistem hukum tradisional

60

yang tidak sepenuhnya mampu merespon persoalan - persoalan tersebut dan karakteristik dari Internet itu sendiri. Hal ini pada gilirannya akan melemahkan atau bahkan mengusangkan konsep - konsep hukum yang sudah mapan seperti kedaulatan dan yuridiksi. Kedua konsep itu berada pada posisi yang dilematis ketika harus berhadapan dengan kenyataan bahwa para pelaku yang terlihat dalam pemanfaatan Internet tidak lagi tunduk pada batasan kewarganegaraan dan kedaulatan suatu negara. Dalam kaitan ini Aron Mefford seorang pakar cyberlaw dari Michigan State University sampai pada kesimpulan bahwa dengan meluasnya pemanfaatan Internet sebenarnya telah menjadi semacam paradigma shift dalam menentukan jati diri pelaku suatu perbuatan hukum dari citizens menjadi netizens. Dilema yang dihadapi oleh hukum tradisional dalam menghadapi fenomena cyberspace ini merupakan alasan utama perlunya membentuk satu regulasi yang cukup akomodatif terhadap akibat pemanfaatan Internet. Aturan hukum yang akan dibentuk itu harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hukum (the legal needs) para pihak yang terlibat dalam transaksi - transaksi lewat Internet. Untuk itu, kecenderungan untuk menyetujui proposal dari Mefford lebih kuat, yang mengusulkan Lex Informatica (Independent Net Law) sebagai Foundations of Law on the Internet. Proposal Mefford ini tampaknya diilhami oleh pemikiran mengenai Lex Mercatoria yang merupakan satu sistem hukum yang dibentuk secara evolutif untuk merespon kebutuhan - kebutuhan hukum

61

(the legal needs) para pelaku transaksi dagang yang mendapati kenyataan sistem hukum nasional tidak cukup memadai dalam menjawab realitas - realitas yang ditemui dalam transaksi perdagangan nasional. Dengan demikian maka cyber law dapat didefinisikan sebagai

seperangkat aturan yang berkaitan dengan persoalan - persoalan yang muncul akibat dari pemanfaatan Internet. Bagi Indonesia berbicara mengenai urgensi cyber law di saat pemerintah dan masyarakat dihadapkan kepada krisis yang bersifat multi dimensional tentunya kedengaran sangat aneh dan mungkin saja di tuduh sebagai mengada ada. Namun, apabila melihat fakta meskipun Indonesia tengah dirundung berbagai persoalan yang sangat rumit dan kompleks, masyarakat Indonesia meskipun baru sebagian kecil sudah melibatkan diri dalam mainstream budaya masyarakat informasi. Pemakaian Internet sekarang sudah hampir merata di kota - kota besar di Indonesia dan dalam waktu yang tidak lama lagi, bukan tidak mungkin Internet akan segera menjangkau sampai ke kota - kota kecil. Publikasi mengenai ECommerce yang sangat gencar dilakukan oleh On-line company sedikit banyak telah membawa masyarakat kepada budaya masa depan. Dilihat dari ukuran yang menitikberatkan kepada skala prioritas yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia saat ini maka cyber law jelas tidak akan masuk dalam prioritas. Namun, apabila kita melihat bahwa Internet sekarang sudah menjadi bagian penting dalam sektor -

62

sektor tertentu khususnya perdagangan misalnya, On-line banking atau scripless trading yang sekarang sudah diberlakukan di Bursa Efek Jakarta, pemerintah dan masyarakat tidak bisa hanya berpikir dengan ukuran skala prioritas. Dalam hal ini pemerintah dan masyarakat khususnya para profesional dan perguruan tinggi harus berpikir preventif, directive, dan futuristik. Disamping di sektor perdagangan, dalam level tertentu Internet telah memainkan peranan penting dalam urusan politik khususnya dalam penggalangan opini publik di kalangan menengah. Pihak luar negeri misalnya Australia dengan sangat cerdik telah memanfaatkan Internet sebagai media yang ampuh dalam penggalangan opini publik dalam kasus Timor-Timur. Apabila Indonesia tidak menaruh perhatian atas fenomena ini, maka dikemudian hari Indonesia akan mendapati kenyataan transaksi - transaksi lewat Internet yang sekarang sudah berlangsung akan berjalan tanpa suatu aturan yang jelas. Jelasnya, urgensi cyber law bagi Indonesia terletak pada keharusan Indonesia untuk mengarahkan transaksi - transaksi lewat Internet saat ini agar sesuai dengan standar etik dan hukum yang disepakati dan keharusan untuk meletakkan dasar legal dan kultural bagi masyarakat Indonesia untuk masuk dan menjadi pelaku dalam masyarakat informasi. Untuk menuju ke arah itu, maka dalam bidang hukum pemerintah harus melakukan kebijakan sebagai berikut :

63

1.

Menetapkan Prinsip-Prinsip Pembentukan dan Pengembangan Cyber Law, antara lain sebagai berikut : a. Melibatkan berbagai unsur yang terkait; pemerintah,

swasta, profesional, dan perguruan tinggi; b. Memakai pendekatan yang moderat (jalan tengah) untuk

mensintesiskan antara prinsip c. prinsip hukum tradisional dan norma - norma hukum

baru yang akan dibentuk; d. e. Memperhatikan keunikan dari cyberspace/Internet; Mendorong adanya kerjasama internasional mengingat

sifat Internet yang beroperasi secara virtual dan lintas batas; f. Menempatkan sektor swasta sebagai leader dalam

persoalan - persoalan yang menyangkut industri dan perdagangan; g. Pemerintah harus mengambil peran dan tanggung jawab

yang jelas untuk persoalan yang menyangkut kepentingan publik; h. Aturan hukum yang akan dibentuk tidak bersifat restriktif,

melainkan harus bersifat preventif, direktif, dan futuristik. 2. Melakukan pengkajian terhadap perundang - undangan nasional yang memiliki kaitan baik langsung maupun tidak langsung dengan munculnya persoalan - persoalan hukum akibat dari transaksi di Internet.

64

B. Proses Pencucian Uang Melalui Internet Seiring perkembangan teknologi dan informasi, menimbulkan dampak positif yaitu memberi kemudahan bagi masyarakat untuk melakukan aktifitasnya melalui internet. Setiap orang dapat berhubungan dengan pihak lain tanpa harus bertatap muka, sehingga dunia menjadi tanpa batas (borderless). Selain dampak positif terdapat pula dampak negatif yang timbul dari perkembangan teknologi dan informasi ini yakni menjadi sarana untuk melakukan perbuatan melanggar hukum baik secara perdata maupun pidana. Tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu kejahatan yang dimungkinkan dapat dilakukan melalui internet sebagai wujud adanya perkembangan teknologi dan informasi. Ada beberapa model tindak pidana pencucian uang, yaitu
34

1. Model dengan operasi Chase. Model ini menyimpan uang di bank di bawah ketentuan sehingga bebas dari kewajiban lapor transaksi keuangan (Non Currency Transaction Reports) dan melibatkan bank luar negeri dengan memanfaatkan tax haven. 2. Model pizza connection. Model ini memanfaatkan sisa uang yang ditanam di bank untuk mendapatkan konsesi Pizza, dan melibatkan negara tax haven dengan memanfaatkan ekspor fiktif. 3. Model La Mina. Model ini memanfaatkan pedagang grosir emas dan permata dalam negeri dan luar negeri. 4. Model dengan penyelundupan uang kontan ke negara lain. Model ini mempergunakan konspirasi bisnis semu dengan sistem bank paralel.
34

. Op.Cit. Munir Fuady, hlm. 198.

65

5. Model dengan melakukan perdagangan saham di Bursa Efek.Model ini melakukan kerja sama dengan lemabaga keuangan yang bergerak di bursa efek.

Selain model tindak pidana pencucian uang, terdapat beberapa modus operandi pencucian uang antara lain : kerjasama penanaman modal, transfer ke luar negeri, kredit bank Swiss, usaha tersamar di dalam

negeri, perjudian, penyamaran dokumen, atau rekayasa pinjaman luar negeri. Sementara itu, terdapat pula 3 (tiga) metode yang digunakan

dalam melakukan pencucian uang yaitu 35: 1 Buy and Sell Conversions, Metode ini dilakukan melalui transaksi barang dan jasa. Selisih harga yang dibayar kemudian dicuci melalui transaksi bisnis. Barang atau jasa dapat diubah menjadi hasil yang legal melalui rekening pribadi atau perusahaan yang ada di suatu bank. 2 Offshore Conversions, dalam hal ini uang hasil kejahatan dikonversi ke dalam wilayah yang merupakan pajak tempat yang sangat

menyenangkan

bagi penghindaran

(tax heaven money

laundering centers) untuk kemudian didepositokan di bank yang berada di wilayah tersebut. 3 Legitimate Business Conversions. Metode ini dilakukan melalui kegiatan bisnis yang sah sebagai cara pengalihan atau pemanfaatan hasil kejahatan. Uang tersebut kemudian dikonversi melalui transfer,
35

Op.Cit , NHT.Siahaan.hlm. 21

66

cek atau alat pembayaran lain untuk disimpan di rekening bank atau ditransfer kemudian ke rekening bank lainnya melalui fasilitas internet banking. Biasanya pelaku bekerja sama dengan perusahaan yang rekeningnya dapat digunakan sebagai terminal untuk menampung uanghasil kejahatan.

Di samping itu, terdapat 8 (delapan) Instrumen yang dipergunakan dalam tindak pidana pencucian uang. yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Bank dan Lembaga Keuangan lainnya Perusahaan Swasta Real estate Deposit Taking Institution dan Money Changer Institusi Penanaman Uang Asing Pasar Modal dan Pasar uang. Pasar uang tidak mempunyai

empat fisik seperti pasar modal. Pasar uang memperdagangkan surat berharga pemerintah, sertifikat deposito,surat perusahaan seperti aksep, dan wesel. Lembaga- lembaga yang aktif dalam pasar uang adalah bank komersial, merchant banks, bank dagang, penyalur uang, dan bank sentral. 7. 8. Emas dan Barang Antik Kantor konsultan keuangan

Tindak pidana pencucian uang dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut ;

67

Placement, yaitu menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, weselbank, sertifikat deposito,) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan;

Layering, yaitu tindakan mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement ) ke penyedia jasa keuangan yang lain, biasanya dilakukan melalui proses transfer dengan menggunakan fasilitas internet banking. melalui layering, sehingga sulit untuk mengetahui asal-usul harta kekayaan tersebut;

Integration, yaitu penggunaan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer, seolah-olah menjadi

harta kekayaan halal (clean money) untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.

Setelah melewati review yang dilakukan oleh negara-negara yang tergabung dalam Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), Indonesia pada bulan Juni 2001 untuk pertama kalinya dimasukkan ke dalam NCCTs (Non-Cooperative Countries and

Territories). Predikat sebagai NCCTs diberikan kepada suatu negara atau teritori yang dianggap tidak mau bekerja sama dalam upaya global

68

memerangi kejahatan pencucian uang (money laundering). Tindakan FATF kepada Indonesia itu didasarkan atas beberapa pertimbangan yaitu belum adanya peraturan perundang-undangan yang menyatakan

pencucian uang sebagai tindak pidana, ketidakjelasan pengaturan lembaga keuangan terutama lembaga keuangan non bank, terbatasnya sumber daya yang dimiliki, serta minimnya kerjasama internasional dalam upaya memerangi kejahatan pencucian uang tersebut.

Dimasukkannya Indonesia ke dalam daftar NCCTs telah membawa konsekuensi negatif tersendiri baik secara ekonomis maupun politis. Secara ekonomis, masuk ke dalam daftar NCCTs mengakibatkan mahalnya biaya yang ditanggung oleh industri keuangan Indonesia khususnya perbankan nasional apabila melakukan transaksi dengan mitranya di luar negeri (risk premium). Biaya ini tentunya menjadi beban tambahan bagi perekonomian yang pada gilirannya mengurangi daya saing produk-produk Indonesia di luar negeri. Sementara itu, secara politis, masuknya Indonesia ke dalam NCCTs dapat menggangu pergaulan Indonesia di dunia internasional.

Selanjutnya Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diundangkan pada tanggal 17 April 2002. Undang-Undang tersebut bukan saja telah

menyatakan, bahwa perbuatan pencucian uang merupakan suatu tindak pidana, tetapi juga telah melahirkan suatu lembaga baru yang bernama

69

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Banyak pihak yang turut menentukan keberhasilan pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut, yaitu PPATK; aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Bea Cukai, juga para regulator yaitu Bank Indonesia, Departemen Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal, penyedia jasa keuangan, yaitu perbankan, asuransi, perusahaan pembiayaan , dana pensiun,perusahaan efek, pengelola reksa dana; media masa ;dan masyarakat. Sebenarnya upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang secara parsial dan sporadis telah dilakukan bangsa Indonesia sebelum dikeluarkannya undang-undang TTPU tersebut, misalnya terlihat dalam ketentuan yang dikeluarkan Bank Indonesia yaitu Peraturan Bank Indonesia tentang Prinsip Mengenal Nasabah.

Dewasa ini perlawanan terhadap kegiatan pencucian uang (money laundering) secara internasional semakin meningkat, bahkan di banyak negara maupun secara regional hal tersebut telah menjadi salah satu agenda politik yang selalu dibahas. Beberapa hal yang mendorong sejumlah pemerintah untuk memerangi pencucian uang terutama adalah kepedulian terhadap kejahatan yang terorganisir (organized crime) yang hasilnya selama ini belum terjamah oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di samping adanya tekanan internasional terhadap negara yang belum menerapkan ketentuan anti money laundering dengan sepenuhnya, seperti yang dialami oleh Filipina dan Indonesia.

70

Pada tahun 2001, Indonesia dimasukkan ke dalam Non-Cooperative Countries and Territories (NCCTs) oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) Kondisi karena inilah dinilai yang tidak memenuhi forty

Recommendations.

membangun

kesadaran

Pemerintah Indonesia akan pentingnya memiliki rezim anti pencucian uang yang efektif. Baru pada tanggal 11 Februari 2005 yang lalu, Indonesia telah berhasil keluar dari daftar NCCTs karena Indonesia dinilai telah berhasil memenuhi syarat minimal suatu rezim anti pencucian uang berdasarkan standar yang mereka keluarkan yang dikenal dengan FATF 40+9 Recommendation.

C. Proses Internet

Penuntutan Atas Tindak Pidana Pencucian Uang Melalui

Kejahatan transnasional mengandung pengertian bahwa kejahatan tersebut mengandung unsur asing, maksudnya dalam pelaksanaan kejahatan itu melibatkan pihak-pihak dari negara lain, yang terkadang merupakan sebuah jaringan kejahatan termaksud, dengan kata lain kejahatan transnasional bersifat terorganisir dan merugikan masyarakat internasional. Melihat sifat kejahatan transnasional tersebut, maka tindak pidana pencucian uang (money laundering) sebagai kejahatan

transnasional ini tiada lain juga sebuah kejahatan yang termasuk dalam lingkup hukum pidana internasional.

71

Tindak pidana pencucian uang sebagai kejahatan transnasional dalam penuntutannya dapat menggunakan beberapa asas seperti asas au dedere au punere yang berarti terhadap pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana oleh negara locus delicti dalam batas teritorial suatu negara tersebut atau diserahkan atau diekstradisi kepada negara peminta yang memiliki yurisdiksi untuk mewakili pelaku tersebut. Selain itu, terdapat asas au dedere au judicare yang berarti bahwa setiap negara berkewajiban untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana internasional dan berkewajiban untuk melakukan kerja sama dengan negara lain dalam menangkap, menahan dan menuntut serta mengadili pelaku tindak pidana internasional. Perbedaan kedua asas di atas

terletak pada pemahaman dan persepsi mengenai kedaulatan negara, namun demikian kedua asas tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling mengisi.

Sementara itu, asas-asas hukum pidana internasional juga bersumber pada asas-asas hukum pidana nasional yaitu asas legalitas

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 KUHP, asas teritorial, asas nasionalitas aktif dan pasif, asas universalitas (Pasal 2sampai Pasal 9 KUHP), asas non retroaktif (Pasal 1 ayat 2 KUHP), asas ne bis in idem dan asas tidak berlaku surut.

Tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional memiliki yurisdiksi penuntutan yang khusus dibanding

72

tindak pidana biasa. Negara lain memiliki kewenangan untuk menuntut tindak pidana pencucian uang tersebut apabila ada hal-hal yang berkaitan dengan pencucian uang termaksud berkaitan pula dengan negara itu, dalam hal ini dapat pula berlaku asas retro active. Pada kasus pencucian uang yang dilakukan melalui internet, penyidikan dilakukan oleh Polisi, dana dapat berlaku peradilan in absentia, diakuinya terobosan terhadap rahasia bank, serta dianut pembuktian terbalik. yurisdiksi penuntutannya, akan sulit ditentukan karena kejahatan pencucian uang melalui internet ini dapat saja melibatkan lebih dari satu sistem hukum, sehingga harus diketahui secara benar locus delictinya, korbannya, dan sebagainya

Pada praktiknya, pencucian uang juga tergolong kejahatan terorganisir (organized crime) dan kejahatan kerah putih (white collar crime), bahkan juga berdimensi internasipnal (transnasional crime). Selain itu, praktik pencucian uang dipandang pula sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Kejahatan di bidang perpajakan adalah salah satu

kejahatan asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang (TPPU). Harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana di

bidang perpajakan seperti penggelapan pajak, kemudian ditempatkan pada bank dalam bentuk deposito, atau dipindahkan ke bank dapat luar negeri dengan fasilitas wire transfer sehingga membuat penegak hukum kita sernakin sulit melacaknya. Untuk mengamankan operasional perbankan, FATF (The Forty Recommendations FATF on Money Laundering, 2003) mengkategorikan beberapa risiko yang akan dihadapi

73

oleh industri perbankan dan PJK lainnya terkait dengan penggunaan institusi PJK sebagai sarana pencucian uang.

Tahun

2006

Indonesia

terpilih

sebagai

tuan

rumah

(host)

penyelenggaraan Sidang IPCO-Interpol ke 19 Kawasan Asia Pasifik di Jakarta (The 19th ARC IPCO Interpol) berdasarkan keputusan yang telah disepakati bersama oleh seluruh peserta yang hadir pada Sidang IPCOInterpol ke 18 Kawasan Asia Pasifik di Manila, Filipina pada tahun 2004. Hasilnya antara lain penggalangan kerjasama dengan negara-negara anggota Interpol Kawasan Asia dalam penanganan terorisme, narkoba, penyeludupan dan perdagangan manusia, korupsi, illegal logging, illegal fishing, dan illegal mining, serta ketenagakerjaan lintas batas wilayah perbatasan antar negara. Sejalan dengan topik utama yang akan didiskusikan oleh para delegasi dalam The 19th ARC IPCO Interpol tersebut, termasuk pencucian uang (money laundering).

Penyelenggaraan Sidang IPCO-Interpol ke 19 di Indonesia ini diharapkan membuahkan hasil yang positif antara lain: 1. terjalinnya kerjasama operasional berdasarkan persahabatan yang lebih erat dan konkrit di antara negara-negara anggota Interpol khususnya di Kawasan Asia Pasifik dalam memerangi kejahatan lintas negara (cross-border crime)

74

2. peningkatan pertukaran informasi dalam rangka pencegahan dan pemberanatasan cross-border crime di antara negara-negara anggota Interpol Kawasan Asia Pasifik; 3. terbentuknya komitmen yang kuat dalam bentuk kerjasama yang konkrit dalam upaya pencegahan dan pemberantasan cross-border crime dengan prioritas pada penanganan kasus terorisme, narkoba, korupsi, pencucian uang dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pada khususnya dan Warga Negara Indonesia (WNI) serta Badan Hukum Indonesia (BHI) di luar negeri pada umumnya; 4. perluasan akses sistem komunikasi global ICSG 1-24/7 kepada instansi terkait di luar kepolisian negara-negara anggota IPCO-Interpol khususnya di Kawasan Asia Pasifik; dan 5. tukar-menukar perigalaman terbaik, wawasan dan pengetahuan tentang manajemen krisis guna meningkatkan kapasitas negaranegara anggota IPCO-Interpol dalam hal manajemen krisis, terutama yang terkait dengan tugas dan fungsi aparat kepolisian dan penegak hukum lainnya.

75

BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG YURISDIKSI TUNTUTAN JAKSA ATAS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MELALUI INTERNET BERDASARKAN HUKUM ACARA PIDANA, UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

A. Yurisdiksi Tuntutan Atas Tindak Pidana Pencucian Uang Melalui Internet Berdasarkan Hukum Acara Pidana Tindak pidana pencucian uang sebagai kejahatan transnasional dalam penuntutannya dapat menggunakan beberapa asas seperti asas au dedere au punere yang berarti terhadap pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana oleh negara locus delicti dalam batas teritorial suatu negara tersebut atau diserahkan atau diekstradisi kepada negara peminta yang memiliki yurisdiksi untuk mewakili pelaku tersebut. Selain itu, terdapat asas au dedere au judicare yang berarti bahwa setiap negara berkewajiban untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana internasional dan berkewajiban untuk melakukan kerja sama dengan negara lain dalam menangkap, menahan dan menuntut serta mengadili pelaku tindak pidana internasional. Perbedaan kedua asas di atas

terletak pada pemahaman dan persepsi mengenai kedaulatan negara, namun demikian kedua asas tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling mengisi.

76

Pada Bab XV KUHAP mengenai penuntutan, Pasal 137 menyatakan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili, termasuk pada kasus pencucian uang. Penuntut umum menentukan kelengkapan suatu perkara hasil penyidikan untuk

selanjutnya dilimpahkan ke pengadilan. Hal ini diatur dalam pasal 139 KUHAP. Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penelitian berkas

perkara difokuskan terhadap kelengkapan formil dan kelengkapan materiil, yaitu : 1. Kelengkapan formil, yakni kelengkapan administrasi teknis justisial yang terdapat pada setiap berkas perkara sesuai dengan keharusan yang harus dipenuhi oleh ketentuan hukum yang diatur dalam Pasal 121 dan Pasal 75 KUHAP, termasuk semua ketentuan kebijaksanaan yang telah disepakati oleh instansi penegak hukum dan yang telah melembaga dalam praktek penegakan hukum; 2. Kelengkapan materiil, yakni kelengkapan informasi, data, fakta dan alat bukti yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian. Kelengkapan materiil ialah perbuatan materiil yang dilakukan tersangka antara lain: i. Fakta-fakta yang dilakukan tersangka, dalam hal ini

terjadinya suatu tindak pidana lain yang menghasilkan sejumlah uang.

77

j. dilakukan. k.

Unsur tindak pidana dari perbuatan materiil yang

Cara tindak pidana dilakukan, baik pada tindak pidana

sebelumnya maupun pencucian uangnya, misalnya melalui transfer ke suatu bank baik di dalam maupun di luar negeri. l. Waktu dan tempat tindak pidana dilakukan.(Tempus

Delictie dan Locus Delictie) Selanjutnya menurut Pasal 140 ayat (1) KUHAP, dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Jika menurut pertimbangan penuntut umum suatu perkara tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, dan perkara ditutup demi hukum maka penuntut umum dapat memutuskan untuk menghentikan penuntutan melalui surat ketetapan yang diatur dalam Pasal 140 ayat (2) a KUHAP. Pada penuntutan, dikenal 2 asas yaitu : 1. Asas Legalitas, yaitu asas yang mewajibkan kepada penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana. Asas ini merupakan penjelmaan dari asas equality before the Law. 2. Asas Oportunitas, yaitu asas yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk tidak melakukan penuntutan terhadap

78

seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana denga jalan mengesampingkan perkara yang sudah ada terang pembuktiannya untuk kepentingan umum. B. Tindakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Melalui Internet Sebagai Kejahatan Transnasional Dihubungkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Dan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tindak pidana pencucian uang merupakan suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang dan atas hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Tindak pidana pencucian uang merupakan suatu perbuatan pidana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, dalam hal ini pencucian uang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Agar suatu perbuatan yang

dianggap pencucian uang dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, baik unsur subjektif maupun unsur objektifnya. Unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sementara itu, unsur objektif adalah unsur yang ada

hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaankeadaan mana tindakan-tindakan dari pelaku itu harus dilakukan.

79

Berdasarkan Pasal 1 angka (1) juncto Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (selanjutnya disebut UUTPPU), menyebutkan bahwa pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,

membayarkan,

membelanjakan,

menghibahkan,

menyumbangkan,

menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah olah menjadi harta kekayaan yang sah. Melihat rumusan di atas, unsur

subjektif tindak pidana pencucian uang adalah patut menduga serta adanya maksud menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah olah menjadi harta kekayaan yang sah, sedangkan unsur objeketifnya adalah menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan,

menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan tersebut.

Tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu tindak pidana sebagaimana telah diuraikan di atas. Pada tingkat internasional, ada

suatu konvensi the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga UN Drug

Convention 1988. Konvensi ini mewajibkan para anggotanya untuk

80

menyatakan pidana terhadap tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan pencucian uang (money laundering). Berdasarkan konvensi ini, pemerintah Indonesia telah meratifikasinya dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1997. Implementasi ratifikasi ini dilakukan melalui pembuatan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa pencucian uang (money laundering) merupakan suatu tindak pidana. Selanjutnya UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.

Tindakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang ini diatur dalam Pasal 13 UU TPPU. Untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, UU TPPU membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) suatu lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada

Presiden. PPATK pada dasarnya adalah unit intelijen keuangan (Financial Inteligent Unit/FIU). PPATK dibentuk karena keharusan adanya keahlian khusus dalam memberantas tindak pidana pencucian uang.

Kewenangan PPATK, antara lain meminta dan menerima laporan dari penyedia jasa keuangan, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan atas tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum.

81

Dalam rangka mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang, PPATK berwenang menerima laporan, berupa: 1. Laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan (Pasal 1 angka 6 dan 7 serta Pasal 13 UU TPPU); 2. Laporan yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan tentang transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif Rp 500 juta atau lebih (Pasal 1 angka 8 dan Pasal 13UU TPPU); 3. Laporan yang disampakan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai mengenai pembawaan uang tunai rupiah ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia sejumlah Rp 100 juta atau lebih (Pasal 16 UU TPPU).

Proses penegakan hukum, PPATK dapat melakukan kerjasama serta membantu pihak penyidik dan penuntut umum dengan informasi yang dimiliki dan kemampuan analisisnya. Berdasarkan Keppres No.82 Tahun 2003, PPATK juga dapat menerima informasi dari masyarakat yang terindikasi telah melakukan tindak pidana pencucian uang, atau informasi dari pihak ketiga baik perorangan maupun entitas mengenai dugaan tindak pidana pencucian uang oleh sesuatu pihak.

Pasal 8 UU TPPU menyebutkan bahwa Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK

82

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) UU TPPU, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Selain itu dalam Pasal 6 UU TPPU diatur pula bagi setiap orang yang menerima atau menguasai : penempatan; pentransferan; pembayaran; hibah; sumbangan; penitipan atau penukaran, harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). Proses penanganan tindak pidana pencucian uang melalui internet

sebagai kejahatan transnasional tidak terlepas dari peranan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dan Masyarakat antara lain memberikan informasi awal. Laporan dan informasi tersebut adalah : 1. Laporan dari PJK sesuai Pasal 13 UU TPPU, tentang

kewajiban pelaporan PJK kepada PPATK berupa Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) atau Suspicious Transaction Report (STR) dan Laporan Tranksaksi Keuangan Tunai (LTKT) atau Cash Transaction Report (CTR) kepada PPATK. Laporan-laporan tersebut diterima oleh Direktorat Kepatuhan, untuk selanjutnya diteruskan ke Direktorat Analisis setelah melalui pengecekan kelengkapan laporan tersebut. Sesuai Pasal 1 angka 7 UU TPPU, LTKM adalah transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan

83

pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Apabila PJK mengetahui salah satu dari 3 (tiga)

unsur transaksi keuangan mencurigakan, telah cukup bagi PJK untuk menyampaikannya kepada PPATK sebagai LTKM. LTKM ini sifatnya lebih pada informasi transaksi keuangan dan belum memiliki kualitas sebagai indikasi terjadainya tindak pidana. PJK tidak memiliki kapasitas untuk menilai suatu transaksi memiliki indikasi pidana. Oleh karena itu PPATK berkewajiban untuk melakukan analisis LTKM ini untuk mengidentifikasi ada tidaknya indikasi pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Untuk melakukan analisis ini, salah satu data pendukungnya adalah LTKT dari PJK. Pada penanganan

perkara tindak pidana pencucian uang melalui internet, peran PJK sangat membantu, baik di dalam memberikan keterangan mengenai nasabah maupun simpanannya, dan membantu PPATK serta instansi penegak hukum untuk mentrasfer aliran dana dari pihak yang dimintakan oleh PPATK dan instansi penegak hukum. Laporan dari masyarakat mengenai adanya indikasi tindak pidana yang diterima PPATK dapat dilakukan melalui surat secara tertulis dan melalui media internet (www.ppatk.go.id , icon : contuct-us@ppatk.go.id). 2. Informasi dari aparat penegak hukum dalam penanganan

suatu perkara pencucian uang oleh penyidik, seringkali harta

84

kekayaan

hasil

tindak atau

pidana

terindikasi melalui

oleh

pelakunya perbuatan

disembunyikan

disamarkan

berbagai

khususnya melalui institusi keuangan seperti : penempatan pada bank dalam bentuk deposito, giro atau tabungan serta pentransferan ke bank lainnya; pembelian polis asuransi; pembelian surat berharga pasar uang dan pasar modal; atau perbuatan lain seperti

membelanjakan, menukarkan atau dibawa ke luar negeri. 3. Menurut Pasal 26 UU TPPU, tugas PPATK antara lain:

mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi laporan dan informasi-informasi di atas. Di samping itu, PPATK dapat memberikan rekomendasi kepada Pemerintah sehubungan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, melaporkan hasil analisis terhadap transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian untuk kepentingan penyidikan dan Kejaksaan untuk kepentingan penuntutan dan pengawasan, membuat dan menyampaikan laporan mengenai kegiatan analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala kepada Presiden, DPR dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan bagi

Penyedia Jasa Keuangan (PJK). Dalam melakukan analisis, PPATK mengumpulkan informasi dari berbagai pihak baik dari FIU negara lain maupun dari instansi dalam negeri yang telah atau belum

menandatangani MoU dengan PPATK agar hasil analisis tersebut memeiliki nilai tambah untuk kemudahan proses penegakan hukum. Pasal 27 UUTPPU memberikan kewenangan kepada PPATK antara

85

lain: meminta dan menerima laporan dari PJK, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum. Pada proses penegakan hukum dalam menanggulangi kejahatan transnasional tidak terlepas dari ketentuan hukum yang berlaku di negara-negara tersebut serta penerapan beberapa asas-asas hukum pidana nasional dari negara-negara yang pada dasarnya tidak berbeda antara satu dengan yang lainnya, antara lain : 1. Asas legalitas, 2. Asas non-retroactive sebagai turunan asas legalitas, 3. Asas culpabilitas, 4. Asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), 5. Asas ne/no bis in idem,

Asas-asas yang diuraikan di atas, telah terkandung dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia, termasuk dalam ketentuan yang dapat diberlakukan terhadap tindak pidana pencucian uang sebagai kejahatan transnasional. Pada hukum pidana yang berlaku di Indonesia, asas

legalitas termuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, asas non-retroactive dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP tentang asas legalitas di atas, asas culpabilitas terdapat dalam Pasal 44 ayat (1), (2) dan (3) KUHP, asas praduga tak bersalah termuat dalam Pasal 8 Undang-Undang Pokok

86

Kekuasaan Kehakiman, dan asas no/ne bis in idem terkandung dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Sementara itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP)

yang diberlakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, terdapat beberapa asas yang berkaitan dengan penerapan hukum pada kejahatan transnasional antara lain : Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP mengenai lingkup berlakunya hukum pidana terutama Pasal 9 KUHP yang menetapkan bahwa berlakunya hukum pidana nasional dibatasi oleh ketentuan hukum internasional.

Berbicara mengenai kejahatan transnasional, tentu berkaitan pula dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Pada kasus pencucian uang sebagai kejahatan transnasional diperlukan adanya kerja sama

antarnegara untuk mempermudah penanganan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atas suatu masalah pidana yang timbul baik di Negara Peminta maupun Negara Diminta. Untuk memberikan dasar hukum yang kuat mengenai kerja sama antarnegara dalam bentuk bantuan timbal balik dalam masalah pidana diperlukan perangkat hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi Pemerintah Republik Indonesia untuk membuat perjanjian dan

melaksanakan permintaan bantuan kerja sama dari negara asing.

87

Perangkat hukum tersebut berupa undang-undang yang mengatur beberapa asas atau prinsip, prosedur dan persyaratan permintaan bantuan, serta proses hukum acaranya. Asas atau prinsip bantuan

timbal balik dalam masalah pidana dalam Undang-Undang di atas didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana, perjanjian antar negara yang dibuat, serta konvensi dan kebiasaan internasional. Bantuan timbal balik dalam masalah pidana dapat dilakukan berdasarkan suatu perjanjian dan jika belum ada perjanjian, maka bantuan dapat dilakukan atas dasar hubungan baik. Undang-Undang ini tidak memberikan

wewenang untuk mengadakan ekstradisi atau penyerahan orang, penangkapan atau penahanan dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan orang, pengalihan narapidana, atau pengalihan perkara.

Di samping itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 termaksud mengatur secara rinci mengenai permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dari Pemerintah Republik Indonesia kepada Negara Diminta dan sebaliknya yang antara lain menyangkut pengajuan permintaan bantuan, persyaratan permintaan, bantuan untuk mencari atau mengindentifikasi orang, bantuan untuk mendapatkan alat bukti, dan bantuan untuk mengupayakan kehadiran orang.

88

BAB V SIMPULAN DAN SARAN


A. Simpulan Berdasarkan analisis pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Penanganan tindak pidana pencucian uang melalui internet

sebagai kejahatan transnasional dapat dilakukan berdasarkan kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Pencucian Uang. Proses penanganan perkara tindak pidana pencucian uang secara umum tidak berbeda dengan penanganan perkara tindak pidana lainnya. Hanya saja, dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang melalui internet ini melibatkan satu institusi yang relatif baru yaitu Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Keterlibatan PPATK lebih pada pemberian informasi keuangan yang bersifat rahasia (financial intelligence) kepada penegak hukum terutama kepada penyidik tindak pidana pencucian uang, yaitu penyidik Polisi. pencucian uang Proses penanganan tindak pidana

melalui internet sebagai kejahatan transnasional

tidak terlepas dari peranan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dan masyarakat antara lain memberikan informasi awal. Laporan dari PJK

89

sesuai Pasal 13 UU TPPU, tentang kewajiban pelaporan PJK kepada PPATK berupa Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) atau Suspicious Transaction Report (STR) dan Laporan Tranksaksi Keuangan Tunai (LTKT) atau Cash Transaction Report (CTR) kepada PPATK. Laporan-laporan tersebut diterima oleh Direktorat

Kepatuhan, untuk selanjutnya diteruskan ke Direktorat Analisis setelah melalui pengecekan kelengkapan laporan tersebut. Apabila PJK mengetahui adanya transaksi keuangan mencurigakan, telah cukup bagi PJK untuk menyampaikannya kepada PPATK sebagai LTKM. PJK tidak memiliki kapasitas untuk menilai suatu transaksi memiliki indikasi pidana. Oleh karena itu PPATK berkewajiban untuk melakukan analisis LTKM ini untuk mengidentifikasi ada tidaknya indikasi pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Untuk melakukan analisis ini, salah satu data pendukungnya adalah LTKT dari PJK. Pada penanganan perkara tindak pidana pencucian uang melalui internet, peran PJK sangat membantu, baik di dalam memberikan keterangan mengenai nasabah maupun simpanannya, dan membantu PPATK serta instansi penegak hukum untuk mentrasfer aliran dana dari pihak yang dimintakan oleh PPATK dan instansi penegak hukum. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 termaksud mengatur secara rinci mengenai permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dari Pemerintah Republik Indonesia kepada Negara Diminta dan sebaliknya yang antara lain menyangkut pengajuan permintaan bantuan, persyaratan permintaan,

90

bantuan untuk mencari atau mengindentifikasi orang, bantuan untuk mendapatkan alat bukti, dan bantuan untuk mengupayakan kehadiran orang. 2. Tindakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang ini diatur dalam Pasal 13 UU TPPU. Untuk

mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, UU TPPU membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) suatu lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. PPATK pada dasarnya adalah unit intelijen keuangan (Financial Inteligent Unit/FIU). PPATK dibentuk karena keharusan adanya keahlian khusus dalam memberantas

tindak pidana pencucian uang. Kewenangan PPATK. Kemudian pada pasal 2 sampai dengan pasal 9 KUHP juga mengatur mengenai asas nasional akti,pasif dan universal, dimana asas ini dapat melibatkan pihak asing untuk mengungkap kasus pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional.

B. Saran Ada beberapa saran yang disampaikan Penulis antara lain : 1. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana pencucian uang ini diharapkan dapat selalu mengakomodir semua kasus pencucian uang termasuk yang dilakukan melalui internet dan sebagai kejahatan transnasional, berdasarkan hasil analisis dapat ditemukan pasal-pasal yang kurang efektif dalam menangani kasus

91

tindak pidana pencucian uang melalui internet ini, antara lain pada pasal 184 KUHAP mengenai alat bukti suatu tindak pidana. pada kasus pencucian uang melalui internet, pasal 184 KUHAP ini mengacu kepada pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE tentang alat bukti elektronik. Kemudian pada pasal 42 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE juga mengatur mengenai proses penyidikan, akan tetapi dalam pasal ini tidak mengatur secara jelas mengenai proses penyidikan. 2. Peraturan perundang-undangan yang menangani kasus tindak pidana pencucian uang melalui internet ini belum sepenuhnya dapat menjerat para pelaku tindak pidana pencucian uang melalui internet, sehingga peraturan termaksud kiranya dapat, diperbaiki, diperbaharui atau dipertahankan sesuai dengan teori Pembinaan Hukum dari Mochtar Kusumaatmadja. 3. Perlu adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia dari para penegak hukum khususnya dalam penanganan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan melalui internet sebagai kejahatan transnasional 4. Perlu adanya komunikasi yang efektif antara para penegak hukum khususnya dalam penanganan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan melalui internet sebagai kejahatan transnasional

92

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku : Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati. Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Perbankan. Citra Aditya Bhakti. Bandung. 2000. Anthon F. Susanto. Wajah Peradilan Kita : Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana. Refika Aditama. Bandung. 2004 Bassiouni,M. Cherif (Editor). International Crminal Law Transnational Publisher Inc. New York.1986. (volume I).

I Wayan Parthiana. Hukum Pidana Internasional. Yrama Widya. Bandung. 2006. __________. Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Dan Hukum Nasional Indonesia. Mandar Maju. Bandung.1990. Mochtar Kusumaatmadja. Hukum, Masyarakat, Dan Pembinaan Hukum Nasional. Bina Cipta. Bandung. 1976. Moeljatno. Dasar-Dasar Hukum PIdana. Rineka Cipta. Jakarta. 1993.

Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 1995.

Munir Fuady. Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata). Citra Aditya Bhakti. Jakarta. 2006. __________. Hukum Bisnis dalam Teori Dan Praktek. Citra Aditya Bhakti. Bandung. 1996.

93

M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan. Sinar Grafika. Jakarta. 2003. __________.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP :Pemeriksaan SidangPengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika. Jakarta.2003. Otje Salman S. dan Anthon F. Susanto. Teori Hukum:Mengingat, Mengumpulkan, dan membuka Kembali. Refika Aditama. Bandung. 2004. Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme. Putra Abardin bandung. 2000. __________. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Refika Aditama. Bandung. 2000. __________. Kapita Selekta Hukum Pidanan Internasional. Refika Aditama. Bandung. 2004. Soejono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum.UI-Press. Jakarta. 1996. Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung. 1986. Thomas Suyatno. Kelembagaan Perbankan. Penerbit Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi. Jakarta. 1999. Marulak Pardede. Hukum Pidana Bank. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 1995. Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Undip. Semarang. 1995. Munir Fuady. Hukum Perbankan Indonesia.. Cirtra Aditya Bakti. Bandung. 2001. NHT. Siahaan. Pencucian uang dan Kejahatan Perbankan. Sinar Harapan. Jakarta, 2005.

94

Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan UndangUndang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang perubahan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Sumber lain : Sudarmadji. Makalah yang berjudul Essensi dan Cakupan UU Tentang Pencucian Uang di Indonesia, disampaikan pada seminar nasional Sosialisasi UU No 25 Tahun 2003 Kerjasama Kajian Hukum dan Bisnis Fakultas Hukum Unsri dengan PT. Bank Pembangunan Daerah Sumsel, tgl 15 Juli 2003 Tim Bank Indonesia. Makalah yang berjudul Peranan bank Indonesia dalam Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang. Disampaikan pada Seminar Nasional Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Dalam Era Globalisasi, di Bandung, 23 Juni 2007. PPATK. Makalah yang berjudul Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Disampaikan pada Seminar Nasional Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Dalam Era Globalisasi, di Bandung, 23 Juni 2007.

95

DAFTAR RIWAYAT HIDUP


Nama Tempat/tanggal lahir Jenis Kelamin Agama Alamat No Telp : Jaya Wardhana : Aceh, 20 November 1984 : Laki-laki : Islam : Jl. Cicendo No. 9 Asrama Mahasiswa Aceh Wisma Teuku Umar Bandung. : 081320525467 / 081572076802

Pendidikan Formil Tahun 2004 s.d sekarang Tahun 2001 s.d 2004 Tahun 1998 s.d 2001 Tahun 1992 s.d 1998 Tahun 1990 s.d 1992 : UNIKOM, Jurusan Ilmu Hukum (S1) : SMU Negeri 9 Tunas Bangsa Banda Aceh : SLTP Negeri 1 Kota Jantho Aceh Besar : SD Negeri Data Geumpung Aceh Besar : Tk Bhayangkara Banda Aceh

Pendidikan Non Formal Cisco Certifified Network Associate (CCNA) Angakatan I BiNus Center Bandung 2008-2009 Peserta pada pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Aceh (LKMA) tahun 2008 Peserta LK I. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Tahun 2007 Peserta pada Seminar Aspek Hukum Dalam Masalah Information, Communication, And Technology tahun 2009 Panitia dalam kegiatan pelatihan manajeman kemahasiswaan tahun 2006 Panitia Semiloka Forum Masyarakat Aceh Sejawa (FOMAJA) dengan tema Ekonomi Dan Politik Aceh Pasca BRR 2008 Masalah Dan Solusinya tahun 2008

96

Panitia Semiloka Forum Masyarakat Aceh Sejawa (FOMAJA) dengan tema POLITIK DAN EKONOMI ACEH PASCA PILKADA 2006 Tahun 2007 Peserta pada Kegiatan Ilmiah Studium Generale Cyber Dan Teknologi Informasi Sebagai Pola Ilmiah Pokok Pada Program Kekhususan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia Tahun 2004 Peserta pada diskusi interaktif dengan tema Potret Buram Pergaulan Remaja Tahun 2007.

You might also like

  • 1.1 Latar Belakang: Bab I Pendahuluan
    1.1 Latar Belakang: Bab I Pendahuluan
    Document72 pages
    1.1 Latar Belakang: Bab I Pendahuluan
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Derww
    Derww
    Document101 pages
    Derww
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Skripsi Beti Pajak - Doc2
    Skripsi Beti Pajak - Doc2
    Document47 pages
    Skripsi Beti Pajak - Doc2
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Deee
    Deee
    Document5 pages
    Deee
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • ASAS PEMBUKTIAN
    ASAS PEMBUKTIAN
    Document64 pages
    ASAS PEMBUKTIAN
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Chapter III-V
    Chapter III-V
    Document71 pages
    Chapter III-V
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Sder
    Sder
    Document15 pages
    Sder
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Babab
    Babab
    Document57 pages
    Babab
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Kra2 PPJK011
    Kra2 PPJK011
    Document28 pages
    Kra2 PPJK011
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Document2 pages
    Daftar Pustaka
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Udan
    Udan
    Document41 pages
    Udan
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • T Ips 1004768 Chapter3-1
    T Ips 1004768 Chapter3-1
    Document38 pages
    T Ips 1004768 Chapter3-1
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Tyuiuu
    Tyuiuu
    Document14 pages
    Tyuiuu
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • COVER
    COVER
    Document15 pages
    COVER
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Chapter II 1
    Chapter II 1
    Document83 pages
    Chapter II 1
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Freee
    Freee
    Document28 pages
    Freee
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • T Ips 1004768 Chapter3-1
    T Ips 1004768 Chapter3-1
    Document38 pages
    T Ips 1004768 Chapter3-1
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Dalma
    Dalma
    Document132 pages
    Dalma
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • COVER
    COVER
    Document15 pages
    COVER
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Document12 pages
    Bab Iii
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Reww
    Reww
    Document26 pages
    Reww
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Derr
    Derr
    Document12 pages
    Derr
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Frtyr
    Frtyr
    Document71 pages
    Frtyr
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Chapter I-1
    Chapter I-1
    Document10 pages
    Chapter I-1
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • DEEE
    DEEE
    Document105 pages
    DEEE
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Serww
    Serww
    Document96 pages
    Serww
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Deree
    Deree
    Document12 pages
    Deree
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Chapter II
    Chapter II
    Document23 pages
    Chapter II
    Ferri Wicaksono
    No ratings yet
  • Sder
    Sder
    Document19 pages
    Sder
    Nur Qodri
    No ratings yet
  • Chapter II
    Chapter II
    Document23 pages
    Chapter II
    Ferri Wicaksono
    No ratings yet