You are on page 1of 12

BAB I PENDAHULUAN

Darah membentuk sekitar 8% dari berat badan tubuh total dan memiliki volume ratarata 5 liter pada wanita dan 5,5liter pada pria. Darah terdiri dari tiga jenis unsur sel khusus, eritrosit, leukosit, dan trombosit, yang terendam dalam cairan kompleks plasma. Sejumlah besar zat organic dan anorganik larut dalam plasma. Konstituen organic yang paling banyak berdasarkan beratnya adalah protein plasma, yang membentuk 6% sampai 8% dari berat total plasma. [1] Plasma adalah elemen cair di dalam darah. Didalam darah terdapat berbagai komponen yang berperan penting dalam kehidupan. Sebagian besar plasma terdiri dari air (H2O). [2] Protein plasma adalah sekelompok konstituen yang tidak sekedar di angkut, karena merupakan konstituen plasma berukuran terbesar, protein-protein plasma biasanya tidak keluar dari pori-pori di dinding kapiler. Juga tidak seperti konstituen plasma lainnya yang larut dalam air plasma, protein plasma berada dalam bentuk disperse koloid. Terdapat tiga kelompok protei plasma yaitu albumin, globulin, dan fibrinogen. [1] Eritrosit adalah sel darah merah berbentuk bikonkraf (cekung). Warna merah darah disebabkan oleh eritrosit. Satu sel eritrosit membawa 280 molekul hemoglobin dan setiap molekul membawa 4 molekul O2. Eritrosit diproduksi sekitar 2,5 juta sel setiap detik. Usia eritrosit berkisar 120 hari. Mekanisme produksi eritrosit diatur oleh kadar O2 di darah.
[2]

Walupun terdapat tindakan-tindakan control, kapasitas darah mengangkut O2 tidak selalu dapat dipertahankan unutk memenuhi kebutuhan jaringan. Anemia mengacu kepada penurunan di bawah normal kapasitas darah mengangkut O2 dan ditandai oleh hematrokit yang rendah. Enemia disebabkan oleh penurunan kecepatan eritropoises, kehilangan eritrosit berlebihan, atau defisiensi kandungan hemoglobin dalam eritrosit.[2] Anemia dapat diklasifikasikan menurut factor-faktor morfologik sel darah merah dan indeks-indeksnya atau etiologi.[1] Anemia hemolitik adalah anemia yang terjadi karena meningkatnya penghancuran sel darah merah. Dalam keadaan normal, sel darah merah mempunyai waktu hidup 120 hari. Jika menjadi tua, sel pemakan dalam sumsum tulang, limpa, dan hati dapat mengetahuinya dengan merusaknya. Jika suatu penyakit menghancurkan sel darah merah sebelum waktunya
1

(hemolisis), sumsum tulang berusaha menggantinya dengan mempercepat pembentukan sel darah merah yang baru, sampai 10 kali kecepatan normal. Jika penghancuran sel darah merah melebihi pembentukannya, maka akan terjadi anemia hemolitik.[3]

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Darah membentuk sekitar 8% dari berat badan tubuh total dan memiliki volume ratarata 5 liter pada wanita dan 5,5liter pada pria. Darah terdiri dari tiga jenis unsur sel khusus, eritrosit, leukosit, dan trombosit, yang terendam dalam cairan kompleks plasma. Sejumlah besar zat organic dan anorganik larut dalam plasma. Konstituen organic yang paling banyak berdasarkan beratnya adalah protein plasma, yang membentuk 6% sampai 8% dari berat total plasma. [1] Plasma adalah elemen cair di dalam darah. Didalam darah terdapat berbagai komponen yang berperan penting dalam kehidupan. Sebagian besar plasma terdiri dari air (H2O). [2] Protein plasma adalah sekelompok konstituen yang tidak sekedar di angkut, karena merupakan konstituen plasma berukuran terbesar, protein-protein plasma biasanya tidak keluar dari pori-pori di dinding kapiler. Juga tidak seperti konstituen plasma lainnya yang larut dalam air plasma, protein plasma berada dalam bentuk disperse koloid. Terdapat tiga kelompok protei plasma yaitu albumin, globulin, dan fibrinogen. [1] Eritrosit adalah sel darah merah berbentuk bikonkraf (cekung). Warna merah darah disebabkan oleh eritrosit. Satu sel eritrosit membawa 280 molekul hemoglobin dan setiap molekul membawa 4 molekul O2. Eritrosit diproduksi sekitar 2,5 juta sel setiap detik. Usia eritrosit berkisar 120 hari. Mekanisme produksi eritrosit diatur oleh kadar O2 di darah.
[2]

Walupun terdapat tindakan-tindakan control, kapasitas darah mengangkut O2 tidak selalu dapat dipertahankan unutk memenuhi kebutuhan jaringan. Anemia mengacu kepada penurunan di bawah normal kapasitas darah mengangkut O2 dan ditandai oleh hematrokit yang rendah. Enemia disebabkan oleh penurunan kecepatan eritropoises, kehilangan eritrosit berlebihan, atau defisiensi kandungan hemoglobin dalam eritrosit.[2] Anemia dapat diklasifikasikan menurut factor-faktor morfologik sel darah merah dan indeks-indeksnya atau etiologi.[1] Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah normal jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan

ptofiologik yang mendasar yang diuraikan perubahan anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium.[7] Anemia dapat diklasifikasikan menurut (1) factor-faktor morfologik sel darah merah dan indeks-indeks atau (2) etiologi.[7] Pada klasifikasi morfologik anemia, mikro- dan makro- menunujukkan ukuran SDM dan kromik untuk menunjukkan warnanya. Sudah dikenal tiga kategori besar. Pertama, anemia normokromik normositik, SDM memiliki ukuran dan bentuk normal serta mengandung jumlah hemoglobin normal (mean corpuscular volume [MCV] dan mean corpuscular hemoglobin concentration [MCHC] normal atau normal rendah. Penyebabpenyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronis yang meliputi infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan sumsum tulang, dan penyakit-penyakit infiltrative metastatic pada sumsum tulang.[7] Kategori kedua adalah anemia normokromik makrositik, yang memilki SDM lebih besar dari normal tetapi normokromik karena konsentrasi hemoglobin normal (MCV meningkat; MCHC normal). Keadaan ini disebabkan oleh terganggunya atau terhentinya sintesis asam deoksiribonukleat (DNA) seoerti yang ditemukan pada defisiensi B12 atau asam folat atau keduanya. Anemia normokromik dapat juga terjadi pada kemotrapi kanker karena agen-agen menganggu sintesis DNA.[7] Katagori ketiga adalah anemia hipokromik mikrositik. Mikrositik berarti sel kecil, dan hipokromik berarti perwarnaan yang berkurang. Karena warna berasal dari hemoglobin, selsel ini mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari normal (penurunan MCV;penurunan MCHC). Keadaan ini umumnya mencerminkan infusiensi sintesis heme atau kekurangan zat besi, seperti pada anemia defisiensi besi, keadaan siderblstik, dan anemia darah kronis, atau gangguan sintesis globin, seperti pada thalasemia. [7] Anemia dapat juga diklasifikasikan menurut etiologi. Penyebab utama yang dipikirkan adalah (1) peningkatan hilangnya SDM dan (2) penurunan atau kelainan pembentukan sel. [7] Meningkatnya kehilangan SDM dapat disebabkan oleh perdarahan atau oleh penghancuran sel. Penghancuran SDM di dalam sirkulasi dikenal sebagai hemolisis, terjadi jika gangguan pada SDM itu sendiri memperpendek siklus hidupnya (kelainan intrinsic) atau

perubahan lingkungan yang menyebabkan penghancuran SDM (kelainan ekstrinsik) (Sacher, McPherson, 2000). [7] Klasifikasi etiologic yang kedua adalah berkurangnya atau tergantungnya produksi SDM (disertropoiesis). Setiap keadaan yang mempengaruhi fungsi sumsum tulang termasuk dalam kaegori ini. Jadi, anemia hemolitik termasuk dalam factor etiologic.[7] Anemia hemolitik Anemia hemolitik adalah anemia yang terjadi karena meningkatnya penghancuran sel darah merah. Dalam keadaan normal, sel darah merah mempunyai waktu hidup 120 hari. Jika menjadi tua, sel pemakan dalam sumsum tulang, limpa, dan hati dapat mengetahuinya dengan merusaknya. Jika suatu penyakit menghancurkan sel darah merah sebelum waktunya (hemolisis), sumsum tulang berusaha menggantinya dengan mempercepat pembentukan sel darah merah yang baru, sampai 10 kali kecepatan normal. Jika penghancuran sel darah merah melebihi pembentukannya, maka akan terjadi anemia hemolitik.[3] Ada dua faktor utama dan mendasar yang memegang peranan penting untuk terjadinya anemi hemolitik yaitu: 1. Faktor instrinsik (Intra Korpuskuler). Biasanya merupakan kelainan bawaan, diantaranya yaitu : a) Kelainan membrane, b) Kelainan molekul hemoglobin, c) Kelainan salah satu enzym yang berperan dalam metabolisme sel eritrosit. Sebagai contoh: bila darah yang sesuai ditransfusikan pada pasien dengan kelainan intra korpuskuler maka sel eritrosi tersebut akan hidup secara normal, sebaliknya bila sel eritrosit dengan kelainan dengan kelainan intra korpuskuler tersebut ditransfusikan pada orang normal, maka sekeritrosit tersebut akan mudah hancur atau lisis. 2. Kelainan faktor ekstrinsik (Ekstra Korpuskuler) Biasanya merupakan kelainan yang didapat (aquaired) dan selalu disebabkan oleh faktor immune dan non immune, bila eritrosit normal di transfusikan pada pasien ini, maka penghancuran sel eritrosit tersebut menjadi lebih cepat ,sebaliknya bila eritrosit pasien dengan kelainan ekstra korpuskuler di transfusikan pada orang normal maka sel eritrosit akan secara normal. Umur sel eritrosit yang memendek tidak selalu dikaitkan dengan anemi hemolitik, ada beberapa penyakit yang menyebabkan anemi dengan umur eritrosit yang pendek namun tidak digolongkan kedalam anemi
5

hemolitik, diantaranya yaitu : a. leukemia, b. limfoma malignum, c. gagal ginjal kronik, d. penyakit liver kronik, e. rheumatoid artheritis, f. anemi megaloblastik.

Hemolisis ditandai oleh ikterus disertai meningkatnyta bilirubin serum yang belum berkonjungasi, meningkatnya urobilinogen dalam urin dan tinja, meningkatnya heptoglobin, dan retikulositosis. Pada apus darah bias tampak polikromasia, sferosit, eritrosit mengkerut dan pecah menjadi fragmen-fragmen. Bisa tampak gambaran: Penghancuran eritrosit yang cepat peningkatan heptoglobin, hemoglobin hemoglobinuria, plasma, dan

methemalbuminemia, hemosiderinuria; dan

menurunya

Pembentukan eritrosit berlebihan retikulositosis, heperplasia eritroid dan meningkatnya kebutuhan folat.[4]

Anemia Hemolitik Kelainan eritrosit instrisik (RBC abnormal) (semuanya Coombsnegatif) Kalainan mambran Sterositosis herediter*; Eliptositosis herediter Kelainan ekstrinsik (RBC normal) Imun Autoimun (Coombs-positif) Antibodi hangat Idopatik Sekunder (SLE, CLL, limfoma, hodgin, karsinoma, obatObatan : metildopa, asam mefenamat) Aglutinin dingin Defisiensi enzim G6PD*; piruvat kinase Idopati Sekunder (Mycoplasma, demam kelenjar, limfoma) Lisis Hemoglobinopati Anemia sel sabit; Thalasemia Isoimun (Coombs-negatif) Transfusi yang tidak cocok Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir Nonimun (Coombs-negatif)
6

Anemia hemolitik mekanik: koagulasi intravascular diseminata. Anemia hemolitik mikroangiopatik (purpura trombositopenik Trombotik), sindrom hemolitik-urenik, pascakardiotomo Katub jantung buatan (fragmentasi eritrosit), hemoglobinuria Bergerak, hipersplenisme, dan luka bakar Infeksi : malaria, Clostorium perfingers. Infeksi virus Obat-obatan : misalnya kerusakan oksidatif, dapson salazopirin sekunder akibat penyakit ginjal atau hati.

*Paling sering dijumpai CLL, chronic lymphoid leukemia; G6PD, glukosa-6-fosfat dehodrogenase; RBC, red blood cell atau eritrosit; SLE, lupus eriternatus sistemik. Table klasifikasi anemia hemolitik [4] Gejala dari anemia hemolitik mirip dengan anemia lainnya. Kadang-kadang hemolisis terjadi secara tiba-tiba dan berat, menyebabkan krisis hemolitik, yang ditandai dengan : Demam Menggigil Nyeri punggung dan nyeri lambung Perasaan melayang Penurunan tekanan darah

Sakit kuning (jaundice) dan air kemih yang berwarna gelap bias terjadi karena bagian sel darah merah yang hancur masuk kedalam darah. Limpa membesar karena menyaring sejumlah besar sel merah yang hancur, kadang menyebabkan nyeriperut. Hemolisis yang berkelanjutan bias menyebabkan batu empedu yang berpigmen, dimana batu empedu berwarna gelap yang berasal dari pecahan sel darah merah.[3] Anemia hemolitik herediter Sferositosis herediter Sferositosis herediter (HS) adalah penyakit dominan autosomal ini menghasilkan membrane sel darah merah yang abnormal, dan biasanya timbul pada masa kanak-kanak dengan pucat dan serangan ikterus.[5]
7

Patogenesis HS biasanya disebabkan oleh defek protein yang terlibat dalam interaksi vertical antara rangka membrane dan lapisan lemak dua lapis eritrosit. Hilangnya membrane dapat terjadi akibat terlepasnya bagian-bagian lemak dua lapis yang tidak ditunjang oleh rangka. Sumsum tulang memproduksi eritrosit berbentuk bikonkraf normal, tetapi eritrosis tersebut kehilangan membrannya dan menjadi semakin sferis (kehilangan lus permukaan relative terhadap volume) selama bersirkulasi melalui limpa dan system RE lainnya. Akhirnya sferosis tidak mampu melewati mikrosirkulasi limpa, sehingga sferosit mati secara prematur.[6] Gambaran klinis Kelainan ini diwariskan secara dominan autosomal dengan gambaran klinis bervariasi. Kadang-kadang dapat bersifat resesif autosomal. Anemia dapat timbul pada usia berapapun dari bayi sampai tua.[6] Temuan hematologic Anemia lazim ditemukan, tetapi yidak selalu ada; keparahannya cenderung serupa dengan anggota keluarga yang sama. Retikulosit biasanya 5-20%. Sediaan apus darah memperlihatkan adanya mikrosferosit yang terwarna padat dengan diameter lebih kecil dibandingkan dengan eritrosit normal.[6] Pemeriksaan dan pengobatan Temuan klasik adalah adanya peningkatan fragilitas osmotik. Kelainan tersebut mungkin memerlukan inkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC supaya tampak jelas. Autohemolisis meningkat dan terkoreksi dengan glukosa. Eritrosit diinkubasi dengan plasmanya sendiri selama 48 jam dengan atau tanpa glukosa. Uji antiglobulin (Coobms) langsung hasilnya normal, menyingkirkan penyebab sferositosis dan hemolisis autoimun.[6] Bentuk utama pengobatan adalah spelenektomi walaupun ini tidak boleh dilakukan kecuali diindikasikan secara klinis karena anemia atau batu empedu, sebab terdapat resiko sepsis pasca-spelenektomi, khususnya pada awal masa anak.anak. Splenektomi harus selalu meningkatkan kadar hemoglobin menjadi normal, walaupun mikrosferosit yang terbentuk di system RE sisanya akan tetap ada. Asam folat diberikan pada kasus yang berat untuk mencegah terjadinya defisiensi folat.[6]
8

Kelainan metabolisme eritrosit Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) berfungsi meredukasi nikotiamida adenine dinukleotida (NADPH) sambil mengoksidasi glukosa-6-fosfat. Ini adalah satu-satunya sumber NADPH dalam eritrosit dan NADPH diperlukan untuk produksi gluation tereduksi sehingga defisiensi enzim ini menyebabkan eritrosit rentan terhasp stress oksidatif.[6] NADPH penting bagi pemeliharaan hemoglobin yang fungsional, dihasilkan oleh katalisis glukosa-6-fosfat oleh G6PD. Defisiensi G6PD mengakibatkan terjadi anemia hemolitik. Defisiensi G6PD diakibatkan oleh mutasi berbagai alel pada gen strukturalnya. Gen yang mengkode G6PD terpaut kromosom X, sehingga lebih banyak ditemukan pada pria. Sebagian besar orang denagn defisiensi G6PD biasanya asimtomatik sampai terjadi serangan hemolitik akut, yang dipicu oleh infeksi, beberapa jenis obat (misalnya sulfanomik dan primakuin) dan memakan kacang fava.[5] Gambaran umum hemolisis ditemukan. Badan Heinz (akibat denaturasi hemoglobin yang tidak stabil) ditemukan pada sel darah merah. Aktivitas G6PD sel darah merah rendah (<20% normal). Terapi dengan transfuse apabila perlu dan menghindari factor pemicu.[5] Defisiensi piruvat kinase Defisiensi piruvat kinase (PK) merupakan penyakit resesif autosomal yang jarang terjadi dengan prevalensi 1:10.000[5] pasien yang terkena bersifat homozigot atau heterozigot ganda. Eritrosit menjadi kaku karena berkurangnya pembentukan adenosine trifosfat (ATP). Beratnya anemia sangat bervariasi (hemoglobin 4-10g/dl) dan menyebabkan gejala yang relative ringan karena pergeseran kurva disosiasi oksigen (O2) kekanan akibat peningkatan kadar 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) intrasel[6], sehingga menurunkan afinitas oksigen dengan hemoglobin dan meningkatkan pertukaran oksigen jaringan. prickle cells yang aneh pada darah, dan penurunan aktivitas PK yang signifikan pada sela darah merah, pemberian asam folat dianjurkan. Banyak pasien memerlukan transfuse darah pada saat-saat tertentu, namun pemberian transfuse secara regular tidak menguntungkan. Spelenektomi memperbaiki kadar hemoglobin pada sebagian pasien anemia.[5] Anemia hemolitik didapat Anemia hemolitik imun
9

Anemia hemolitik autoimun Anemia hemolitik autoimun (autoimmune hemolytic anemia, AIHA) disebabkan oleh tubuh terhadap eritrosit sendiri. Kelainan ini ditandai oleh hasil yang positif pada uji antiglobulin langsung (direct antiglobulin test, DAT) yang dikenal sebagai uji Coombs dan dibagi menjadi tipe hangat dan dingin menurut reaksi antibodi yang lebih kuat pada eritrosit dilakukan pada suhu 37oC atau 4oC.[6] Gambaran klinisnya dalah kelelahan, letargi, dan terkadang terjadi gagal jantung. Splenomegali sering ditemukan. Selain gambaran klinis hemolisis, pada apus darah ditemukan sferosit (pada AIHA yang disebabkan antibody panas) dan pada beberpa kasus ditemukan aglutinasi sel darah merah. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat Anemia hemolitik autoimun hangat (warm AHA) yaknisuatu keadaan dimana tubuh membentuk autoantibody yang bereaksi terhadap sel darah merah pada suhu tubuh. Autoantibody melapisi sel darah merah, yang kemudian dihancurkan oleh sel perusak dalam limpa atau kadang dalam hati dan sumsum tulang. Dan suhu badan pasien pada anemia hemolitik autoimun hangat ini >370C. [3] Penyakit ini dapat terjadi pada semua usia pada kedua jenis kelamin dan timbul sebagai anemia hemolitik dengan keparahan yang bervariasi. Limpa seringkali membesar. Penyakit ini cenderung mengalami remisi dan relaps; dapat timbul sendiri disertai penyakit lain, atau muncul pada beberapa pasien akibat terapai metildopa. Apabila disertai purpura trombositopenik idiopatik (idiopathic thrombocytopenic purpura, ITP), yang merupakan suatu kondisi serupa yang mengenai tromboit, dikenal sebagai sindrom Evans.[6] Temuan laboratorium dan biokimia bersifat khas pada anemia hemolitik ekstravaskular dengan sferositosis yang menonjol dalam darah tepi. DAT positif akibat immunoglobulin G (IgG), IgG dan komplemen atau IgA pada sel dan beberapa kasus, autoantibody memperlihatkan spesifisitas dalam system rhesus.[6] Anemia hemolitik autoimun tipe dingin Anemia hemolitik autoimun dingin (cold AHA) yakni suatu keadaan dimana tubuh membentuk autoantibody yang bereaksi terhadap sel darah merah dalam suatu ruangan atau dalam shu yang dingin. Dan suhu tubuh pasien pada anemia hemolitik autoimun dingin ini
10

<37oC.[5] Pasien mngkin menderita anemia hemolitik kronik yang diperburuk oleh dingin dan seringkali disertai dengan hemolisis intravascular. Dapat terjadi ikterus ringan dam splenomegali. Pasien dapat menderita akrosianosis (perubahan warna kulit menjadi keungguan) di ujung hidung, telinga, jari-jari tangan dan kaki yang disebabkan oleh aglutinasi eritrosit dalam pembuluh darah kecil.[6] Pengobatan dengan cara mempertahankan pasien tetap hangat dan mengobati penyebab yang mendasari, jika ada. Agen pengakkil (alkylating agent) seperti klorambusil dapat bermanfaat untuk varian yang kronik. Splenektomi biasanya tidak menolong kecuali bila terdapat splenomegali massif, dan pemberian steroid tidak membantu. Limfoma yang mendasari harus disingkirkan pada kasus idiopatik.[6] Anemia hemolitik aloimun Pada anemi ini, antibody yang dihasilkan oleh satu individu bereaksi dengan eritrosit individu lain. Dua keadaan yang penting adalah transfusi darah yang tidak sesuai secara ABO dan penyakit rhesus pada neonatus penerapan translantasi alogenetik untuk penyakit ginjal, hati, jantung, dan sumsum tulang telah menyebabkan ditemukannya anemia hemolitik autoimun yang disebabkan oleh produksi antibody eritrosit pada resepien oleh limfosit donor yang dipindahkan dalam alograf.[6]

Anemia hemolitik imun yang diinduksi obat Obat dapat menyebabkam terjadinya anemia hemolitik imun melalui tiga mekanisme berbeda: 1. Antibody yang ditunjukan pada kompleks membrane eritrosit-obat (mis. Penisilin, ampisilin); 2. Deposisi komplemen melalui kompleks obat-protein (antigen)-antibodi pada permukaan eritrosit (mis. Kuinidin, rifampisin); atau 3. Anemia hemolitik autoimun sejati; pada keadaan ini peran obat tidak jelas (mis. Metildopa, flu-darabin) Pada kasus anemia hemoilitik menghilang secara perlahan jika obat dihentikan, tetapi pada pengobatan menggunakan metildopa, antibody dapat menetap selama beberapa bulan. Anemia hemolitik imun terinduksi penisilin hanya terjadi pada pemberian antibiotic dosis besar.[6]

11

BAB III PENUTUP

1. Anemia hemolitik adalah anemia yang terjadi karena meningkatnya penghancuran sel darah merah. Dalam keadaan normal, sel darah merah mempunyai waktu hidup 120 hari. Jika menjadi tua, sel pemakan dalam sumsum tulang, limpa, dan hati dapat mengetahuinya dengan merusaknya. Jika suatu penyakit

menghancurkan sel darah merah sebelum waktunya (hemolisis), sumsum tulang berusaha menggantinya dengan mempercepat pembentukan sel darah merah yang baru, sampai 10 kali kecepatan normal. Jika penghancuran sel darah merah melebihi pembentukannya, maka akan terjadi anemia hemolitik.

2. Ada dua faktor yang mempengaruhi hemolisis yaitu: a).Faktor Instrinsik (intra korpuskuler), kelainan terutama pada sel eritrosit, sering merupakan kelainan bawaan, kelainan terutama pada enzym eritrosit, b). Faktor Ekstrinsik (extra korpuskuler) kelainan umumnya didapat (aguaired) dan biasanya merupakan kelainan immunologi.

12

You might also like