You are on page 1of 16

I. PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Kegiatan usaha budidaya ikan di Indonesia sekarang ini mengalami peningkatan dan merupakan usaha yang memiliki potensi untuk dikembangkan di masa yang akan datang, terlebih lagi pemerintah telah mencanangkan program minapolitan. Akan tetapi, hal ini tidak bisa terlepas dari peristiwa di Indonesia dimana pernah terjadi wabah penyakit ikan sampai 5 kali, yaitu tahun 1932, 1940, 1951, 1971, dan terakhir 1980. Empat wabah pertama peyebabnya belum begitu jelas, mungkin oleh sejenis parasit, sedangkan pada wabah terakhir disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila (Djajadireja dan Cholik, 1982). Wabah penyakit khususnya yang terjadi tahun 1980 telah menyerang beberapa spesies ikan terutama karper dan lele. Sejak wabah terakhir ini penyakit oleh bakteri selalu timbul secara berkala dan menimbulkan kerugian besar sehingga menghambat usaha pengembangan budidaya ikan. Wabah penyakit terjadi karena adanya patogen ganas, inang yang rentan dan lingkungan yang kurang baik (Kamiso & Triyanto, 1990). Penyakit ikan yang disebabkan oleh bakteri lebih umum dikenal dengan penyakit bakterial. Salah satu bakteri tersebut adalah bakteri Aeromonas sp. yang banyak manyebabkan kematian hampir 80-100% dari ikan komoditas yang dibudidayakan dalam waktu 1-2 minggu dan merugikan dari sisi produktivitasnya (Purwaningsih dkk, 2007). Penanggulangan hama dan penyakit ikan selama ini tertumpu pada penggunaan obat-obatan. Penggunaan obat-obatan secara terus menerus akan menimbulkan masalah, yaitu timbulnya patogen yang resisten, penimbunan residu obat-obatan di tubuh ikan, dan pencemaran lingkungan yang akhirnya dapat mempengaruhi organisme perairan yang berguna (Wu dkk., 1981). Pencegahan timbulnya penyakit bakterial dapat dilakukan dengan sanitasi lingkungan, meningkatkan nutrisi yang diberikan maupun dengan vaksinasi. Pengendalian penyakit dengan vaksinasi sangat efisien karena dengan cara ini dapat diperoleh kekebalan hanya dengan sekali atau dua kali pemberian vaksin sampai ikan dipanen. Selain itu vaksinasi tidak menimbulkan efek samping bagi ikan seperti halnya pada penggunaan antibiotik (Supriyadi & Rukyani, 1990). Usaha vaksinasi untuk mencegah penyakit yang disebabkan bakteri A. hydrophila menurut Plumb (1984) 1

mempunyai prospek yang baik tetapi masih terdapat beberapa masalah. Salah satu masalah yang ditimbulkan oleh adanya heterogenitas antigenik dari bakteri tersebut. Untuk mengatasi hal itu Plumb (1984) berpendapat adanya kemungkinan pembuatan vaksin monovalen dengan aplikasi terbatas atau vaksin polivalen dengan aplikasi yang lebih luas. Vaksin monovalen merupakan vaksin yang dibuat dari satu isolat bakteri. Vaksin monovalen didisain untuk imunisasi melawan satu antigen atau satu mikroorganisme Vaksin polivalen adalah vaksin yang terdiri dari beberapa antigen yang memiliki beberapa epitope. Epitope adalah bagian antigen (tempat penentu) yang benar-benar berespon dengan klon-klon limfosit. Tempat penentu tersebut akan menyebabkan reaksi-reaksi silang sesuai dengan gaya ikat masing-masing pada antibodi-antibodi. Sehingga ikan yang telah diberi vaksin maka klon-klon limfosit ikan tersebut akan aktif dan akan menghasilkan antibodi. B. Tujuan 1. Mengetahui sifat dan karakteristik vaksin monovalen dan polivaelen A. hydrophila. 2. Membandingkan keefektifan penggunaaan vaksin monovalen dengan vaksin polivalen Aeromonas hydrophila dalam mencegah penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia). C. Manfaat Kajian ini diharapkan dapat membandingkan keefektifan antara vaksin monovalen dengan vaksin polivalen Aeromonas hydrophila dalam mencegah penyakit MAS (Motile Aeromonas hydrophila) sehingga kedepannya dapat lebih efektif dan efisien.

II. PEMBAHASAN

A. Bakteri Aeromonas hydrophila Menurut Buchanan dan Gibbon (1974) cit Lestari (2002), Holt et al., (2000), Aeromonas hydrophila diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Family Genus Spesies : Protophita : Schizomycetes : Pseudomonadales : Aeromonadaceae : Aeromonas : Aeromonas hydrophila Bakteri A. hydrophila merupakan bakteri Gram negatif yang bersifat patogen terhadap ikan dan bersifat oportunis. Pada dasarnya A. hydrophila sangat umum dijumpai di air dan memiliki beragam serotipe yang berbeda tingkatan virulensinya. Ciri utama bakteri Aeromonas adalah bentuknya batang, ukurannya 1-4 0,4-1 m, bersifat Gram negatif, fakultatif aerobik (dapat hidup dengan atau tanpa oksigen), tidak berspora, bersifat motil (bergerak aktif) karena mempunyai satu flagel (monotrichous flagella) yang keluar dari salah satu kutubnya, senang hidup di lingkungan bersuhu 15-30oC dan pH antara 5,5-9 (Kordi, 2004). Menurut Kamiso dkk., (1993), A. hydrophila juga bersifat oksidase positif, membentuk asam dan gas pada medium karbohidrat, dan fermentatip. Berbentuk batang, bergerak, tanpa endospora dan tanpa kapsul serta bersifat katalase positif. Bersifat H2S positif dan indol positif (Austin dan Austin, 1986). Holt et al., (2000) menyatakan bahwa genus Aeromonas secara biokimia bersifat chemoorganotrophic, tipenya fermentatif metabolisme. Kebanyakan spesies tumbuh baik pada suhu 37 oC, tetapi setiap strains berbeda. Memproduksi asam dan gas pada proses katabolisasi karbohidrat seperti pada glukosa. Dapat menghidrolisis arginin, bersifat decarboxylase ornithin negatif yang artinya bakteri A. hydrophila tidak dapat menguraikan gugus karboksil dari suatu molekul organik untuk menghasilkan CO2, dan tidak dapat menghidrolisis urea artinya bakteri A. hydrophila tidak dapat menghasilkan enzim urease untuk menguraikan urea menjadi ammonium dan CO2, serta pada test deaminase phenylalanin bernilai negatif yang artinya tidak dapat mengkatalisis pemindahan gugus 3

amino (NH2) dari asam amino dan molekul lainnya yang mengandung NH-. Gelatin positif yang berarti bahwa A. hydrophila mampu menghidrolisis gelatin oleh eksoenzim yang disebut gelatinase, dapat mereduksi nitrat, dapat memfermentasi karbohidrat untuk semua strains yaitu maltosa, D-galaktosa, dan trehalose. y Epizootiologi Penyakit bakterial yang disebabkan oleh bakteri tersebut dikenal dengan nama MAS (Motil Aeromonas Septicaemia) atau menurut Irianto (2004), dikenal dengan nama BHS (Bacterial Hemorrhagic Septicaemia), dengan tanda-tanda antara lain warna kulit menjadi gelap, bercak-bercak merah pada permukaan tubuh, dan pada sirip-siripnya, mata rusak dan menonjol serta adanya benjolan-benjolan yang terdapat pada permukaan tubuh (Kamiso dan Triyanto, 1991). Pada bagian dalam tubuh juga terdapat tanda-tanda antara lain hemorrhage pada intestinum, peritonium dan jaringan otot serta isi perut tampak berdesakkan. Secara histopatologis tampak terjadinya nekrosis pada limpa, hati, ginjal, dan jantung. Seringkali bakterimia ditandai oleh penampakkan sel-sel bakteri pada jaringan tersebut (Irianto, 2004). y Epidemiologi Umumnya penyebaran terjadi secara horizontal lewat kontak langsung dengan air atau hewan yang sakit (Irianto, 2004). Menurut Kordi (2004), penularan bakteri Aeromonas juga dapat melalui kontak dengan peralatan yang telah tercemar atau karena pemindahan ikan yang telah terserang Aeromonas dari satu tempat ke tempat lain. Biasanya bakteri Aeromonas hidup di air tawar yang mengandung bahan organik tinggi.

B. Vaksin dan Vaksinasi 1. Vaksin dan pembuatannya Menurut Kordi dan Ghufran (2004), vaksin adalah satu antigen yang biasanya berasal dari suatu jasad patogen yang telah dilemahkan atau dimatikan, ditujukan untuk meningkatkan ketahanan (kekebalan) ikan atau menimbulkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit tertentu. Vaksin berfungsi sebagai antigen stimulan untuk memacu selsel terspesialisasi untuk memproduksi antibodi dan sel-sel tersebut umunya adalah limfosit (Anderson, 1974). Meskipun dari proses masuknya vaksin ke dalam tubuh 4

ikan sampai terbentuknya antibodi secara biokimia dan fisiologis belum diketahui dengan jelas, tetapi sampai sekarang dikenal adanya dua imunitas pada vertebrata, yaitu imunitas sel dan imunitas humoral. Pada prinsipnya vaksin dapat mencegah terjadinya infeksi yaitu vaksin yang mengandung seluruh sel, dan vaksin dapat mencegah efek infeksi yaitu vaksin toxoid clostridium (Soeripto, 2001). Mekanisme kerjanya, sebelum vaksin dibuat lakukan kultur bakteri dan setelah disiapkan kultur bakteri dari masing-masing isolat, bakteri diinaktifkan dengan larutan formalin sampai 2 % dan didiamkan selama 24 jam. Kemudian sel-sel bakteri dipanen, sel-sel bakteri yang diperoleh kemudian dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali dengan menggunakan sentrifuse selama 10 menit pada kecepatan 3000 rpm. Sebelum vaksin digunakan atau disimpan, diadakan uji viabilitas terlebih dahulu untuk melihat kemungkinan adanya sel bakteri yang masih hidup. Caranya yaitu dengan mengambil sampel dan ditumbuhkan pada medium TCBS selama 24 jam. Bila ternyata masih ada yang hidup, inaktivasi diulangi kembali. Selanjutnya vaksin disimpan dalam refrigerator untuk sewaktu-waktu digunakan. Antigen O (Ag O) dibuat dari kultur murni bakteri pada medium Trypticase Soya Broth (TSB) yang telah berumur 18-24 jam. Inaktivasi bakteri dengan cara pemanasan pada suhu 100 oC selama 30 menit. Selanjutnya dicuci dengan Phosphate Buffer Saline (PBS) (pH 7,0) sebanyak 3 kali dengan sentrifuse (3000 rpm selama 10 menit). Selanjutnya Ag O tersebut disimpan dalam refrigerator sampai digunakan. Pada saat penggunaan antigen O melalui pemanasan, hal ini ditujukan agar didapat bagian membran sel yang hanya mengandung polisakarida murni tanpa ada lagi campuran dari lipid yang hilang karena pemanasan. Antigen H (Ag H) dibuat dengan menginaktivasi bakteri dari kultur murni dalam medium TSB umur 18-24 jam dengan formalin konsentrasi 2%. Selanjutnya dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali. Untuk penggunaan selanjutnya, antigen H tersebut disimpan dalam refrigerator. pada penggunaan antigen H dengan perendaman formalin yang bertujuan untuk melemahkan bakteri sehingga mengalami pengkerutan karena kehilangan cairan sel. Biasanya titer antibodi yang didapat relatif tinggi karena antigen H mempunyai afinitas tinggi terhadap flagel dan mudah menyebabkan bergerombolnya flagel. Semua vibrio mempunyai antigen H yang sama. Antigen H ini bersifat tahan

panas. Antibodi terhadap antigen H tidak bersifat protektif. Sedangkan Antibodi terhadap antigen O bersifat protektif. 2. Vaskinasi Vaksinasi adalah salah satu cara pemberian rangsangan atau antigen secara sengaja agar ikan dapat memproduksi antibodi terhadap suatu bibit penyakit atau patogen. Keberhasilan vaksinasi tergantung beberapa vaktor antara lain jumlah dan mutu antigen, cara vaksinasi, umur ikan, lingkungan hidup, serta sifat dan kemampuan masing-masing individu ikan (Dorson, 1984). Menurut Souter (1984), cara vaksinasi dapat dilakukan dengan injeksi peritoneal, injeksi intramuskular, merendam dalam suspensi vaksin, menyemprotkan suspensi vaksin bertekanan tinggi ketubuh ikan dan melalui makanan atau oral. Vaskinasi dilakukan dengan tujuan peningkatan antibodi. Adapun mekanisme terbentuknya antibodi yaitu dimulai dengan adanya 2 macam sel limfosit, limfosit T yang dipersiapkan oleh atau mempunyai ketergantungan dari kelenjar timus dan berperanan dalam kekebalan seluler dan limfosit B yang mempunyai ketergantungan dari bursa dan berperanan dalam kekebalan humoral. Kedua macam limfosit setelah dirangsang oleh antigen akan mengalami proliferasi dan perubahan morfologi. Limfosit B akan berubah menjadi sel plasma yang mensintesa dan mengeluarkan antibodi. Kemudian limfosit T berubah menjadi sel limfoblas yang mengandung

banyak ribosom sehingga menjadi basofilik dalam pewarnaan. Kegiatan limfosit B dapat dilihat dari pembentukan pusat germinatif di daerah korteks kelenjar limfe dan penyebaran sel plasma ke daerah medulla. Immunoglobulin hanya ditemukan pada permukaan sel limfosit B dan sebagian besar memilki immunoglobulin jenis IgM pada permukaan sel, mungkin dalam bentuk monomer. Antibodi pada ikan terletak di dalam serum dan yang digunakan dalam Ab adalah serum dan PBS yang diletakkan dalam sumuran. Antibodi digunakan untuk mengetahui adanya reaksi antara antigen dengan antibodi atau disebut dengan aglutinasi. Setelah dilakukan booster perbandingan antara vaksin dan kontrol cukup terlihat jelas yaitu terjadi peningkatan pada titer antibodi akhir setelah divaksin yaitu 4,5 dan kontrol 4. Hal tersebut dikarenakan didalam tubuh ikan yang divaksinasi sudah

ada respon imun yang terbentuk secara alami dalam tubuh ikan tersebut, dengan demikian terjadi reaksi antigen-antibodi. Menurut Kamiso dan Triyanto (1990), mengatakan bahwa besarnya titer

antibodi tidak langsung sebanding dengan kemampuan daya tahan ikan. Hal ini diindikasikan bahwa ikan yang memiliki titer Ab rendah lebih tahan dibandingkan ikan yang memilki titer tinggi. Hal tersebut tergantung sifat dan kemampuan Ab yang terbentuk walaupun Ab yang dimiliki mempunyai kelas yang sama (IgM pada ikan). SR (Survival Rate) merupakan tingkat kelulushidupan ikan setelah divaksin. Variasi dari tingkat kelulushidupan dikarenakan adanya perbedaan kondisi lokasi percobaan, baik keadaan fisik bak pemeliharaan, kualitas air, jumlah dan mungkin tingkat keganasan dari vibrio yang ada serta cara pemeliharaan. RPS (Relative Percent Survival) atau tingkat perlindungan relatif digunakan untuk menunjukkan efikasi vaksin atau penggunaan vaksin untuk melindungi ikan dari serangan bakteri. Menurut Kamiso dkk., (1993) mengatakan bahwa hasil uji laboratorium dimana RPS vaksinasi sekitar 58-100%. Umur ikan sangat berpengaruh terhadap evikasi vaksin. Semakin besar atau semakin tua ikan nila yang divaksin semakin tinggi RPS-nya. Karena menurut Thune (1980), semakin besar atau bertambahnya umur ikan, tanggapan kekebalannya semakin baik, sebab organ tubuh yang berhubungan dengan tanggapan kekebalan sudah lebih berkembang. MTD (Mean Time To Death) atau rata-rata hari kematian, vaksinasi tidak selalu mempengaruhi hari kematian ikan. Menurut Kamiso (1986) pada vaksinasi untuk mencegah vibriosis mengatakan bahwa meskipun vaksinasi meningkatkan tingkat perlindungan ikan, ternyata rata-rata waktu kematian tidak berbeda antara ikan yang divaksin dan kontrol. Vaksin atau vaksinasi itu meningkatkan daya tahan tidak hanya humoral tetapi juga seluler dalam pertahanan tubuh antara seluler dan humoral tidak saja bekerja sendiri-sendiri tetapi juga saling bekerja sama. Apabila pertahanan, baik itu humoral maupun seluler meningkat maka antibodi pun juga akan meningkat. Karena kita tahu bahwa pertahanan humoral berperan di dalam sel limfosit B dan sedangkan petahanan seluler berperan dalam sel limfosit T. Setelah kedua macam sel tersebut dirangsang oleh antigen maka akan mengalami proliferasi dan perubahan morfologi. Pada sel 7

limfosit B akan menjadi sel plasma yang mensintesis dan memproduksi antibodi. Dengan demikian apabila sel limfosit B tersebut meningkat akibat rangsangan vaksin maka produksi antibodi yang dihasilkan pun juga akan meningkat. Vaksin merupakan antigen stimulan yang memacu sel-sel terspesialisasi untuk memproduksi antibodi dan sel-sel tersebut umumnya adalah limposit (Anderson, 1974). Sedangkan antibodi adalah molekul immunoglobulin yang memilki urutan asam amino khas, hanya berinteraksi dengan antigen yang sintesanya dirangsang mutagen tersebut di jaringan limfoid (Kamiso dkk., 1993). Vaksin dengan antigen memiliki hubungan yang sangat erat karena vaksin sendiri adalah bahan atau antigen yang sengaja dimasukkan ke dalam tubuh ikan untuk merangsang kekebalan spesifik pada ikan. Kemudian antigen memiliki hubungan yang erat pula dengan titer antibodi, karena jenis antigen akan menentukan tingginya titer antibodi. Selain itu juga variasi antigenik dari bakteri yang digunakan tidak saja pada jenis antigen tetapi juga besarnya titer antibodi yang terbentuk. Dengan demikian tingginya titer antibodi tergantung dari jenis antigen yang digunakan dan variasi antigenik dari bakteri tersebut. Jika titer antibodi tinggi maka tingkat kelulushidupan dari ikan pun juga akan tinggi. Karena semakin baik efikasi vaksin yang digunakan untuk merangsang sel limfosit dalam membentuk antibodi maka semakin baik pula pertahanan baik itu humoral maupun seluler. Sehingga akan menekan tingkat kematian yang tinggi akibat infeksi bakteri dan sebaliknya akan meningkatkan laju pertumbuhan.

C. Perbandingan Keefektifan antara Vaksin Monovalen dengan Polivalen Dalam pengembangannya, vaksin dapat bersifat monovalen maupun polivalen. Sifat vaksin monovalen didesain untuk imunisasi melawan satu antigen atau satu mikroorganisme. Vaksin polivalen adalah vaksin yang dirancang untuk melawan dua atau lebih antigen dari mikroorganisme yang sama atau mikroorganisme yang berbeda. Penelitian tentang penggunaan kedua vaksin ini telah banyak dilakukan sehingga perlu dilihat tingkat keefektifan dari kedua sifat vaksin tersebut. Song et al. (1984) telah berhasil mengebalkan ikan Japanese Eel (Anghuila japonica) dengan vaksin monovalen A. hydrophila. Daya kandung vaksin tersebut pada ikan sekitar 87%. Penelitan lain juga dilakukan oleh Kamiso dan Triyanto (1992), dimana 8

membandingkan antara vaksin monovalen dengan polivalen dalam uji tantang Aeromonas hydrophila di Yogyakarta dengan berbagai perlakuan.

Tabel 1, menunjukkan bahwa vaksin monovalen sangat efektif bila digunakan secara rendaman dan vaksin polivalen secara injeksi. Perlindungan juga terlihat beda nyata (P<0,05) pada kedua vaksin, kecuali pada infeksi dengan isolate Bantul. Perlindungan dari vaksin monovalen lebih tinggi daripada vaksin polivalen terhadap isolate Cijeruk, akan tetapi terhadap isolate Cangkringan, tingkat perlindungan vaksin polivalen lebih tinggi daripada vaksin monovalen. Hasil ini didapat karena adanya variasi patogenesitas dan antigenitas atau serotype (Pumb, 1984 dan Stevenson, 1988). Penelitian lain yang dilakukan Kamiso (1997) adalah uji lapang vaksinasi Aeromonas hydrophila antara vaksin monovalen dengan polivalen secara rendaman. 9

Tabel 2

\ Hasil menunjukkan bahwa presentase mortalitas tidak berbeda nyata (P>0,05) antara ikan yang divaksin monovalen (11,92%) dengan polivalen (11,10%). Rata-rata hari kematian (MTD), antara ikan yang divaksin monovalen (hari ke 22,6), polivalen (hari 26,6) dan kontrol (hari ke 25,4) juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (tabel 2.). Tetapi apabila ke empat lokasi dibandingkan terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05). Tabel 3.

10

Tingkat mortalitas dan perlindungan antara lokasi ujicoba ternyata bervariasi meskipun tidak berbeda nyata. Faktor lain yang menyebabkan hasil berbeda dengan penelitian sebelumnya adalah faktor variasi lingkungan. Pada kenyataannya tidak ada perairan yang sama kondisinya antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan antar perairan antara lain adalah kualitas air, bibit penyakit dan antigen alami. Kualitas air akan sangat mempengaruhi kemampuan ikan yang divaksin dalam membentuk antibodi dan faktor kekebalan nonspesifik (Anderson, 1974). Di perairan alami biasanya terdapat berbagai patogen terutama patogen oportunistik. Keadaan lingkungan akan sangat mempengaruhi baik jenis maupun jumlahnya. Tingkat keganasan bakteri patogen juga akan berbeda pada kondisi yang berbeda. Ada suatu kecenderungan bahwa pada suhu air yang lebih tinggi bakteri patogen akan lebih ganas (Stevenson, 1988). Di alam terdapat berbagai antigen alami baik berupa bakteri maupun senyawa organik yang dapat merangsang ikan untuk membentuk antibodi sehingga secara alami (tanpa vaksinasi) akan mempunyai antibodi terhadap berbagai bakteri patogen, meskipun sangat rendah (Roberts, 1993). Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, menujukkan bahwa vaksin monovalen dan polivalen tidak didapat perbandingan yang signifikan atau terlihat beda nyata pada saat ditantang dengan Aeromonas hydrophila karena masih banyaknya faktorfaktor yang mempengaruhi kedua vaksin tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah seperti cara pemberian vaksin (injeksi, oral, dan rendaman), lingkungan dan kondisi, umur ikan, serta tingkat stress ikan. Lingkungan menjadi faktor utama dalam pengaruh vaksin karena lingkungan merupakan carrying capacity di perikanan itu sendiri. Di lingkungan sendiri bnyak yang bisa mempngaruhi tingkat efikasi vaksin seperti kualitas air, bibit penyakit atau bakteri oportunistik, dan juga adanya antigen alami. Vaksin monovalen yang bersifat satu antigen untuk satu bakteri mempunyai kekurangan tidak dapat mencegah bakteri yang memiliki serotype atau antigenitas lain karena vaksin monovalen bersifat spesifik. Begitu juga dengan vaksin polivalen yang menggabungkan beberapa antigen yang telah di reaksi silang dan menunjukkan hasil titer antibodi yang sama. Kekurangan dari vaksin polivalen adalah pada saat reaksi silang isolat Aeromonas hydrophila ada kemungkinan untuk saling melindungi sehingga kekebalan vaksin tersebut menjadi berkurang. Hal itu ditunjukkan dengan banyaknya penelitian yang 11

sebagian besar memberikan hasil yang tidak beda nyata. Dengan mengacu berbagai penelitian di atas, maka apabila ditemukan suatu common antigen (antigen menyeluruh) pembuatan vaksin akan lebih efisien baik dalam tenaga maupun biaya. Penggunaan vaksin monovalen Aeromonas hydrophila akan lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan vaksin polivalen. III. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Vaksin monovalen didesain untuk imunisasi melawan satu antigen atau satu mikroorganisme. Vaksin polivalen adalah vaksin yang dirancang untuk melawan dua atau lebih antigen dari mikroorganisme yang sama atau mikroorganisme yang berbeda dengan menggunakan reaksi silang antigen sebelumnya. 2. Vaksin monovalen lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan vaksin polivalen dengan menggunakan isolat Aeromonas hydrophila yang memiliki common antigen. B. Saran Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang common antigen sehingga lebih dapat dikembangkan dan lebih efektif untuk menangani masalah penyakit MAS (Motile Aeromonas hydrophila)

12

DAFTAR PUSTAKA

Audibert, F. M and L. D. Lise. 1993. Adjuvant: Current Status, Clinical Perspectives and Future Prospects. Immunology Today. 14: 218-284. Djajadireja, R. dan Cholik. 1982. Penanggulangan Wabah Penyakit Ikan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1: 35-39 Kamiso, H. N. dan Triyanto. 1990. Sistem Pertahanan Tubuh dan Diagnosis serologi Penyakit Ikan. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. 84p. Kamiso, H. N., 1986. Fish Disease As a Problem in Intensive Aquaculture. In : Proceeding Seminar Multy Disciplinary Studies on Fisheries and inshore Coastal Resources Management. N. Willougby D. Suprapto, P. Soedarsono (eds). Semarang, 21-26 Juli 1986. 416-438. Plumb, J. A. 1984. Immunization of Warm Water Fish against five important pathogens. Symposium on Fish Vaccination, O.I.E., Paris. 199-222. Purwaningsih, Uni dan Suwidah. 2007. Kerusakan Jaringan pada Ikan Kancra (Tor sp.) akibat Infeksi Artificial Bakteri Aeromonas hydrophila. Prosiding Seminar Na sional Perikanan UGM 2007. Yogyakarta. Supriyadi, H dan A. Rukyani. 1990. Imunoprofilaksis dengan Cara Vaksinasi pada Usaha Budidaya Ikan. Prosiding Seminar Nasional II Penyakit Ikan dan Udang 16-18 Januari. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 64-70. Supriyadi, H dan P. Taufik. 1981. Identifikasi dan Cara Penanggulangan Penyakit Bakterial pada Ikan Lele (Clarias batrachus L.). Bull. Perikanan 1 (3): 447-454. Swain, P., S.K. Nayak, A. Sahu, P.K. Meher, B.K. Mishra. 2002. High Antigenic CrossReaction Among the Bacterial Species Responsible for Disease of Cultured Freshwater Fishes and Strategies to Overcome It for Specific Serodiagnosis. Journal of Comparative immunology, Microbiology & Infectious Diseases 26: 199-211.

13

LAMPIRAN

14

PERTANYAAN DAN JAWABAN 1. Amiqatul Fikriyah (11552)  Pertanyaan: Dalam kesimpulan tertera bahwa Sifat dari Vaksin polivalen adalah pada saat reaksi silang isolat Aeromonas hydrophila ada kemungkinan untuk saling melindungi sehingga tingkat kekebalan vaksin tersebut menjadi berkurang, arti dalam melindungi itu sendiri bagaimana? Bisa dijelaskan?  Jawaban: Melindungi disini diartikan bahwa bakteri Aeromonas sp. memiliki antigen yang berbeda- beda dan banyak macamnya. Menurut Plumb (1984), vaksin mempunyai prospek yang baik tetapi masih terdapat beberapa masalah. Salah satu masalah yang ditimbulkan oleh adanya heterogenitas antigenik dari bakteri tersebut. Vaksin adalah satu antigen yang biasanya berasal dari suatu jasad patogen yang telah dilemahkan atau dimatikan, ditujukan untuk meningkatkan ketahanan (kekebalan) ikan atau menimbulkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit tertentu. Karena antigen Aeromonas hydrophila bersifat heterogen, maka dibuat vaksin polivalen agar dapat mencegah semua gen pathogen, akan tetapi dengan adanya vaksin tersebut membuat gen pathogen yang lain kebal dan resisten, sehingga dapat menyerang ikan tersebut, meskipun ada gen pathogen yang tervaksin.

15

KOREKSI DAN SARAN DOSEN 1. Dosen Indah Istiqomah, S.Pi., M.Si. y Perlu dipelajari kembali khususnya tentang vaksin polivalen dan pembuatannya karena belum dijelaskan lebih detail. y Perlu pemahaman kembali tentang kasus dan pustaka yang diambil dalam seminar.

2. Dosen Senny Helmiati, S.Pi., M. Sc. y Perlu adanya perubahan judul yang diambil karena masih terlalu umum dalam membedakan antara vaksin monovalen dan polivalen Aeromonas hydrophila.

16

You might also like