You are on page 1of 27

DIPHTHERIA [DIFTERI]

Oleh : Chairuddin P. Lubis Fakultas Kedokteran USU

Difteri adalah penyakit akut yang mengancam


nyawa yang disebabkan Corynebacterium diphtheriae.

Penyebab Corynebacterium diphtheriae, dikenal dua macam Corynebacterium diphtheriae, yaitu: - Toxigenic Corynebacterium diphtheriae - Non-tixigenic Corynebacterium diphtheriae Toxigenic Corynebacterium diphtheriae.

Ada 4 strain yang yirulen yang berhubungan dengan penyakit pada manusia:
Di Eropah bentuk yang ganas dari difteri,

berhubungan dengan tipe strain gravis, dan kebanyakan kematian berhubungan dengan group ini. Tipe strain mitis, berbeda keganasannya dari tipe strain gravis dan jarang fatal, dan umumnya hanya mengenai saluran nafas. Tipe. strain intermedius juga telah diidentifikasi dan merupakan penyebab penyakit difteri yang agak berat. Tipe strain minimus, pernah di isolasi sewaktu epidemik dari penyakit difteri yang berat di Amerika.

Non toxigenic Corynebacterium diphtheriae Organisme ini sering dijumpai pada daerah nasofaring, telinga dan pada kotoran mata, dan harus dibedakan dari strain yang menghasilkan toxin. Pemeriksaan mikroskopis ataupun morfologi pada kultur tidak bisa membedakan antara toxigenic dengan non toxigenic diphtheriae. Metoda lama dengan menginokulasikan pada guinea pig memerlukan waktu beberapa hari, tetapi dengan metoda baru, yaitu dengan melakukan test invitro untuk identifikasi "skin toxin production", memberikan hasil yang dapat dipercaya dalam waktu 18 jam sesudah isolasi pertama.

Patofisiologi

Corynebacterium diphtheriae adalah organisme yang minimal melakukan invasive, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang lokal pada membrana mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan exotoxin yang paten, yang tersebar keseluruh tubuh melalui aliran darah dan sistem limpatik. Dengan sejumlah kecil toxin, yaitu 0,06 ug, biasanya telah bisa menimbulkan kematian pada guinea pig. Pada saat bakteri berkembang biak, toxin merusak jaringan lokal, yang menyebabkan timbulnya kematian dan kerusakan jaringan, lekosit masuk kedaerah tersebut bersamaan dengan penumpukan fibrin dan elemen darah yang lain, disertai dengan jaringan yang rusak membentuk membrane Akibat dari kerusakan jaringan, oedem dan pembengkakan pada daerah sekitar membran sering terjadi, dan ini bertanggung jawab terhadap terjadinya penyumbatan jalan nafas pada tracheo-bronchial atau laryngeal difteri. Warna dari membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau abu-abu, dan ini sering meragukan dengan "simple tonsillar exudate". Karena membran terdiri dari jaringan yang mati, atau sel yang rusak, dasar dari membran rapuh, dan mudah berdarah bila membran yang lengket diangkat.

Kematian umumnya disebabkan oleh kekuatan dari exotoxin. Exotoxin ditransportasikan melalui aliran darah ke jaringan lain, dimana dia menggunakan efeknya pada metabolisme seluler. Toxin terlihat terikat pada membran sel melalui porsi toxin yang disebut "B" fragment, dan membantu dalam transportasi porsi toxin lainnya,"A" fragment kedalam cytoplasma. Dalam beberapa jam saja setelah terexpose dengan toxin difteri, sintesa protein berhenti dan sel segera mati. Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan saraf. Pada miokardium, toxin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitochondria, dengan fatty degeneration, oedem dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi kerusakan jaringan miokardium, peradangan setempat akan terjadi, diikuti dengan perivascular dibalut dengan lekosit [cuffing]. Kerusakan oleh toxin pada myelin sheath dari saraf perifer terjadi pada keduanya, yaitu sensory dan saraf motorik. Begitupun saraf motorik lebih sering terlibat dan lebih berat.

Gejala klinik
Difteri tejadi setelah periode masa inkubasi yang pendek

yaitu 2 -4 hari, dengan jarak antara 1 -5 hari. Gambaran klinik tergantung pada lokasi anatomi yang dikenai. Beberapa tipe difteri berdasarkan lokasi anatomi adalah: 1. Nasal diphtheria 2. Tonsillar [ faucial] diphtheria 3. Pharyngeal diphtheria 4. Laryngeal atau laryngotracheal diphtheria dan 5. Non respiratory diphtheria.
Lebih dari satu lokasi anatomi mungkin terlibat pada

waktu yang bersamaan.

Nasal diphtheria
Gejala permulaan dari nasal diphtheria sukar dibedakan dari

common cold. Tanda karakteristik adalah dijumpai pengeluaran sekresi hidung tanpa diikuti gejala lain. Demam bila ada biasanya rendah.. Pengeluaran sekresi hdung ini mula-mula serous, kemudian serosanguinous, pada beberapa kasus terjadi epistaksis. Pengeluaran sekresi ini bisa hanya berasal dari salah satu lobang hidung ataupun dari keduanya. Lama kelamaan sekresi hidung ini bisa menjadi mucopurulent dan dijumpai exkoriasi pada lobang hidung sebelah luar dan bibir bagian atas, terlihat seperti impetigo. Pengeluaran sekresi kadang mengaburkan tentang adanya membran yang putih pada sekat hidung. Karena absorpsi toxin yang jelek pada tempat lokasi, menyebabkan gejala hanya ringan tanpa adanya gejala yang menonjol. Pada penderita yang tidak diobati, pengeluaran sekresi akan berlangsung untuk beberapa hari sampai beberapa minggu, dan ini merupakan sumber penularan. Infeksi dapat diatasi secara cepat dengan pemberian antibiotika.

Tonsillar dan pharyngeal diphtheria


Penyakit timbul secara perlahan dengan tanda-tanda,

malas, anorexia, sakit tenggorokan, dan panas yang rendah. Dalam waktu 24 jam bercak eksudat atau membran dijumpai pada daerah tonsil. Berikutnya terjadi perluasan membran, yang bervariasi dari hanya melibatkan sebagian dari tonsil sampai menjalar ke kedua tonsil, uvula, palatum molle dan dinding dari faring. Membran ini rapuh, lengket dan berwarna putih atau abuabu, dan bila dijumpai perdarahan bisa berwarna hitam. Pengangkatan dari membran akan mudah menimbulkan perdarahan.
Terlibatnya tonsil dan faring ditandai dengan pembesaran

kelenjar, cervical adenitis dan periadenitis. Pada kasus yang berat, pembengkakan jelas terlihat dan disebut dengan "bull neck".

Berat ringannya penyakit tergantung pada berat

tidaknya toxemia. Pada keadaan ini temperatur bisa normal atau sedikit meninggi, tetapi pols cepat dan tak teratur.
Pada kasus yang ringan, membran akan lepas

pada hari ke-7 sampai hari ke-10, dan penderita sembuh tanpa adanya gejala yang berarti, sedang pada kasus yang sangat berat, ditandai dengan gejala yang diakibatkan peningkatan toxemia, yaitu; kelemahan yang amat sangat, pucat sangat menonjol, pols halus dan cepat,stupor, kama dan meninggal dalam 6 -10 hari. Pada keadaan penyakit yang sedang, penyembuhan terjadi secara perlahan dan biasanya sering diikuti dengan komplikasi miokarditis dan neuritis.

Laryngeal diphtheria
Laryngeal

diphtheria lebih sering merupakan lanjutan dari pharyngeal diphtheria, jarang sekali dijumpai berdiri sendiri. Penyakit ditandai dengan adanya demam, suara serak dan batuk. Peningkatan penyumbatan jalan nafas oleh membran menimbulkan gejala; inspiratory stridor, retraksi suprasternal, supraclavicular dan subcostal.

Pada keadaan yang berat laryngeal diphtheria

belanjut sampai kepercabangan tracheobronchial. Pada keadaan yang ringan, yang biasanya diakibatkan oleh pemberian antitoxin, saluran nafas tetap baik, dan membran dikeluarkan dengan batuk pacta hari ke-6 -10.

Pada

kasus yang sangat berat, dijumpai penyumbatan yang semakin berat, diikuti dengan adanya anoxia dan penderita terlihat sakit parah, sianose, kelemahan yang sangat, koma dan berakhir dengan kematian. Kematian yang mendadak bisa dijumpai pada kasus yang ringan yang disebabkan oleh karena penyumbatan yang tiba-tiba oleh bagian membran yang lepas.

Gambaran klinik dari laryngeal diphtheria, serupa

dengan gambaran mekanikal obstruksi dari saluran nafas, yang biasanya disebabkan oleh membran, dan dijumpai kongesti, oedem, sedang tanda toxemia adalah minimal pada saat pemulaan terinfeksinya laring, hal ini disebabkan karena absorpsi dari toxin sangat kecil sekali didaerah laring. Terlibatnya laring biasanya bersamaan dengan tonsil dan pharyngeal diphtheria, dengan kosekwensi gejala klinik adalah gambaran obstruksi dan toxemia yang berat, yang dijumpai secara serentak.

Tipe difteri yang jarang


Infeksi difteri sekali-sekali bisa mengenai tempat lain

diluar tempat yang lazim [saluran pernafasan ] yaitu pada kulit, conjunctiva, aural dan vulvovaginal.
Pada cutaneous diphtheria, kelainan yang terjadi

adalah khas, berbentuk ulkus, dengan batas yang tegas, dan pada dasar ulkus dijumpai adanya membran.
Pada conjunctival diphtheria, yang mula-mula terlibat

adalah kelopak mata, dimana kelopak mata menjadi merah, cedem dan dijumpai membran.
Terlibatnya

liang telinga luar biasanya ditandai dengan keluarnya cairan yang purulent yang terus menerus. Sedang lesi vulvovaginal biasanya berbentuk ulkus yang mengelompok.

Diagnosa
Diagnosa

ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan laboratorium. Gejala klinik merupakan pegangan utama dalam menegakkan diagnosa, karena setiap keterlambatan dalam pengobatan akan menimbulkan resiko pada penderita. Secara klinik diagnosa dapat ditegakkan dengan melihat adanya membran yang tipis dan berwarna keabu-abuan , mirip seperti sarang laba-laba dan mudah berdarah bila diangkat.

Diagnosa banding
1. Nasal diphtheria, diagnosa banding adalah:
Common

cold Bila sekret yang dihasilkan serosanguinous atau purulent harus dibedakan dari:
Benda asing dalam hidung Sinusistis Adenoiditis Congenital syphilis.

2. Tonsillar atau dan pharyngeal diphtheria, diagnosa banding adalah:

Pharyngitis oleh streptococcus Pada keadan ini biasanya diikuti dengan rasa sakit yang hebat pada saat menelan, temperatur tubuh yang tinggi, dan membran yang tidak lengket pada lesi. Infeksi mononucleosis Biasanya diikuti lymphadenopathy dan splenomegali Blood dyscrasia Post tonsillectomy faucial membranous.

3. Laryngeal diphtheria, diagnosa banding adalah: Spasmodik dan non spasmodik croup Acute epiglotitis Laryngo-tracheo bronchitis Aspirasi benda asing . Pharyngeal dan retropharyngeal abscess Laryngeal papiloma Hemangioma atau lymphangioma

Penatalaksanaan
1. Antibiotika Penicillin dapat digunakan bagi penderita yang tidak sensitif, bila penderita sensitif terhadap penicillin dapat digunakan erythromycin. Lama pemberian selama 7 hari, pada golongan erithromycin dapat digunakan selama 7 -10 hari.
Penggunaan antibiotika bukan bertujuan untuk

membanteras toxin, ataupun membantu kerja antitoxin, tetapi untuk membunuh kuman penyebab, sehingga produksi toxin oleh kuman berhenti.

2. Antitoxin [ ADS]
Antitoxin yang digunakan adalah yang berasal dari

binatang, yaitu dari serum kuda. Sebelum digunakan harus terlebih dahulu dilakukan test.
Test sensitivitas terhadap antitoxin serum kuda

dilakukan dengan cara : 0,1 ml dari antitoxin yang telah diencerkan 1:1000 dalam larutan garam, diberikan I.C. dan diteteskan pada mata. Reaksi dikatakan positif bila dalam waktu 20 menit dijumpai erythema dengan diameter > 10 mm pada bekas tempat suntikan, atau pada test mata dijumpai adanya conjunctivitis dan pengeluaran air mata.

Bila hal ini dijumpai, pemberian dapat dilakukan dengan metoda desensitisasi, Salah satu cara yang digunakan adalah:

0,05 ml dari larutan pengenceran 1:20 diberi secara S.C. 0,1 ml dari larutan pengenceran 1:20 diberi secara S.C. 0,1 ml dari larutan pengenceran 1:10 diberi 5acara S.C. 0,1 ml tanpa pengenceran diberi secara S.C. 0,3 ml tanpa pengenceran diberi secara I.M. 0,5 ml tanpa pengenceran diberi secara I.M. 0,1 ml tanpa pengenceran diberi secara I.V.

Bila tidak dijumpai reaksi, sisa dari antitoxin dapat diberikan

secara perlahan melalui infus. Bila dijumpai reaksi dari pemberian antitoxin, harus segera diobati dengan pemberian epinephrine [ 1 : 1000 ] secara I.V.
Di Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran

USU, pada mulanya ADS [ Biofarma ] diberikan secara I.M. dengan dosis 20.000 unit, selama 2 hari berturut-turut. Cara ini sudah ditinggalkan. Belakangan digunakan ADS secara intra vena pada penderita yang tidak sensitif, dengan dosis 20.000 40.000 u, dilarutkan dalam larutan NaCl fisiologis dengan perbandingan 1:20, dan diberikan dengan kecepatan 15 tetes/menit dan harus sudah selesai dalam waktu 30 -45 menit. Sejak periode Maret 1984 polisi yang digunakan bagi penderita difteri yang tidak sensitif adalah sebagai berikut: ADS diberikan dengan dosis 40.000 u dalam larutan 200 ml NaCl fisiologis diberikan per-infus dan pemberian diselesaikan dalam waktu 30 -45 menit.

Menurut studi Tasman [dikutip dari Krugman, Infectious disease of children, 1985 ] penggunaan ADS intra vena memberikan beberapa keuntungan seperti:
Peak serum antitoxin level tercapai dalam waktu 30

menit setelah pemberian secara intra vena dibandingkan 4 hari pada pemberian secara intra muskular.
Antitoxin

terlihat sangat cepat di saliva sesudah pemberian secara intra vena dibandingkan pemberian secara intra muskular yang mungkin terlambat beberapa jam sampai beberapa hari. binatang percobaan, terlihat pada group intra vena angka kematian yang lebih rendah, komplikasi miokarditis dan neuritis yang lebih sedikit.

Pada studi perbandingan antara kedua cara ini pada

3. Kortikosteroid Beberapa penulis menganjurkan penggunaan kortikosteroid pada keadaan tertentu, seperti bila ada tanda miokarditis, dan pada laryngeal ataupun nasopharyngeal diphtheria. 4. Rawatan penunjang Penderita harus dalam keadaan istirahat karena ditakutkan terjadinya miokarditis [ minggu ke 2-3 atau lebih ]. Serial EKG perlu dilakukan secara seri untuk mendeteksi secara dini tanda-tanda miokarditis. Pemberian ,cairan harus cukup untuk mencegah dehidrasi, berikan kalori yang tinggi dengan makanan yang cair. Pada laryngeal diphtheria tindakan tracheostomi perlu dilakukan untuk menghilangkan sumbatan jalan nafas. Digitalis boleh diberikan bila ada tanda-tanda payah jantung, tetapi kontra indikasi bila ada aritmia jantung. Bila ada paralyse palatum molle dan pharyng, pemasangan polyethylene tube perlu dilakukan untuk mencegah jangan sampai terjadi aspirasi.

Pencegahan
Pencegahan

terhadap difteri dapat dilakukan dengan pemberian vaksinasi, yang dapat dimulai pada saat bayi berusia 2 bulan dengan pemberian DPT ataupun DT. Diberikan 0,5 ml secara I.M., imunisasi dasar diberikan sebanyak 3 kali pemberian dengan interval waktu pemberian 6 -8 minggu. Ulangan dilakukan satu tahun sesudahnya dan ulangan kedua dilakukan 3 tahun setelah ulangan yang pertama.

Penanganan kontak
Pencegahan

terhadap difteri juga termasuk didalamnya isolasi dari penderita, dengan tujuan untuk mencegah seminimal mungkin penyebaran penyakit ke orang lain. Penderita adalah infectious sampai basil difteri tidak dijumpai pada kultur yang diambil dari tempat infeksi. Tiga kali berulang kultur negatif dibutuhkan sebelum penderita dibebaskan dari isolasi.

Kontak yang intim akan mudah tertular bila ianya

tidak imun, kultur dari ronga hidung dan tenggorokan harus dilakukan.

Immunized carriers harus diberikan injeksi ulangan dengan

difteri toxoid, dan diobati dengan: Procaine penicillin 600.000 u/hari selama 4 hari. Benzathine penicillin 600.000 u, I.M. dosis tunggal atau Erythromycine, 40 mg/kg BB/24 jam, diberikan selama 7 -10 hari.
Nonimmunized asymptomatic carriers harus dilakukan:

Pemberian difteri toxoid dan penicillin Dilakukan pemeriksaan setiap harinya oleh dokter, Bila ini tidak dapat dilaksanakan, pemberian ADS 10.000 u haru dilakukan. Bila kontak telah menunjukkan gejala, pengobatan seperti penderita difteri harus dilaksanakan.
Terapi profilaksis dengan pemberian difteri toxoid, penicillin, dan

bila ada indikasi, diberikan antitoxin harus dilaksanakan sesegera mungkin tanpa terlebih dahulu menunggu hasil kultur.

Schick Test
Untuk mengetahui seseorang mempunyai antitoxin didalam serumnya, disamping pemeriksaan yang akurat dengan pemeriksaan langsung titer antitoxin yang beredar dalam darah, dapat dilakukan Schick test dengan cara menggunakan bahan Schick test toxin, [kami menggunakan bahan dari Perum Biofarma Bandung], yang tersedia dalam sediaan 5 cc, dimana setiap cc-nya mengandung toxin difteri yang stabil 1/50 d.l.m. [dosis lethal minimal], dengan cara menyuntikkan 0,1 cc secara intra cutan pada lengan bawah kiri.bagian voler dengan menggunakan jarum suntik 1 cc. Beberapa penderita mengalami hypersensitif trhadap toxin ataupun terhadap antigen lain yang terdapat didalam persediaan toxin. Untuk ini diperlukan kontrol. Kontrol dapat dilakukan dengan menginjeksikan difteri toxoid [ 0,005 Lf ], diberikan secara intra dermal pada lengan yang berbeda.

You might also like