You are on page 1of 18

I.

PENDAHULUAN

Analisa gas darah merupakan salah satu alat diagnosis dan penatalaksanaan penting bagi pasien untuk mengetahui status oksigenasi dan keseimbangan asam basanya. Manfaat dari pemeriksaan analisa gas darah tersebut bergantung pada kemampuan dokter untuk menginterpretasi hasilnya secara tepat. Pemahaman yang mendalam tentang fisiologi asam basa memiliki peran yang sama pentingnya dengan pemahaman terhadap fisiologi jantung dan paru pada pasien-pasien kritis. Telah banyak perkembangan dalam pemahaman fisiologi asam basa, baik dalam suatu larutan maupun dalam tubuh manusia. Pendekatan tradisional dalam menganalisa kelainan asam basa adalah dengan menitik beratkan pada rasio antara bikarbonat dan karbondioksida, namun cara tersebut memiliki beberapa kelemahan. Saat ini terdapat pendekatan yang sudah lebih diterima yaitu dengan pendekatan Stewart, dimana pH dapat dipengaruhi secara independent oleh tiga faktor, yaitu strong ion difference (SID), tekanan parsial CO2, dan total konsentrasi asam lemah yang terkandung dalam plasma. Kelainan asam basa merupakan kejadian yang sering terjadi pada pasien-pasien kritis. Namun, pendekatan dengan metode sederhana tidak dapat memberikan gambaran mengenai prognosis pasien. Pendekatan dengan metode Stewart dapat menganalisa lebih tepat dibandingkan dengan metode sederhana untuk membantu dokter dalam menyimpulkan outcome pasien.

II.

ANALISA GAS DARAH

Salah satu faktor utama yang mempengaruhi oksigenasi sel atau jaringan adalah jumlah oksigen yang terkandung dalam darah. Tekanan gas darah tersebut dapat diukur dengan menganalisa darah arteri secara langsung atau melalui pulse oksimetri dengan melihat saturasi hemoglobin. Analisa gas darah (AGD) telah banyak digunakan untuk mengukur pH, PaO2, dan PCO2. Akan tetapi, makna dari hasil pengukuran tersebut tergantung pada kemampuan dokter untuk menginterpretasikannya.

Tujuan AGD

Menilai tingkat keseimbangan asam dan basa Mengetahui kondisi fungsi pernafasan dan kardiovaskuler Menilai kondisi fungsi metabolisme tubuh

Indikasi

Pasien dengan penyakit obstruksi paru kronik Pasien deangan edema pulmo Pasien akut respiratori distress sindrom (ARDS) Infark miokard Pneumonia Klien syok Post pembedahan coronary arteri baypass Resusitasi cardiac arrest Klien dengan perubahan status respiratori Anestesi yang terlalu lama

Lokasi pungsi arteri

Arteri radialis dan arteri ulnaris (sebelumnya dilakukan allens test), merupakan pilihan pertama yang paling aman dipakai untuk pungsi arteri kecuali terdapat banyak bekas tusukan atau haematoem juga apabila Allen test negative.

Arteri dorsalis pedis, merupakan pilihan kedua. Arteri brakialis, merupakan pilihan ketiga karena lebih banyak resikonya bila terjadi obstruksi pembuluh darah.

Arteri tibialis posterior Arteri femoralis, merupakan pilihan terakhir apabila pada semua arteri diatas tidak dapat diambil. Bila terdapat obstruksi pembuluh darah akan menghambat aliran darah ke seluruh tubuh / tungkai bawah dan bila yang dapat mengakibatkan berlangsung lama dapat menyebabkan kematian jaringan. Arteri femoralis berdekatan dengan vena besar, sehingga dapat terjadi percampuran antara darah vena dan arteri

Arteri femoralis atau brakialis sebaiknya tidak digunakan jika masih ada alternatif lain, karena tidak mempunyai sirkulasi kolateral yang cukup untuk mengatasi bila terjadi spasme atau trombosis. Sedangkan arteri temporalis atau axillaris sebaiknya tidak digunakan karena adanya risiko emboli otak. Komplikasi

Apabila jarum sampai menebus periosteum tulang akan menimbulkan nyeri. Perdarahan Cidera syaraf Spasme arteri

Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan AGD 1. Gelembung udara Tekanan oksigen udara adalah 158 mmHg. Jika terdapat udara dalam sampel darah maka ia cenderung menyamakan tekanan sehingga bila tekanan oksigen sampel darah kurang dari 158 mmHg, maka hasilnya akan meningkat.

2. Antikoagulan Antikoagulan dapat mendilusi konsentrasi gas darah dalam tabung. Pemberian heparin yang berlebihan akan menurunkan tekanan CO2, sedangkan pH tidak terpengaruh karena efek penurunan CO2 terhadap pH dihambat oleh keasaman heparin. 3. Metabolisme Sampel darah masih merupakan jaringan yang hidup. Sebagai jaringan hidup, ia membutuhkan oksigen dan menghasilkan CO2. Oleh karena itu, sebaiknya sampel diperiksa dalam 20 menit setelah pengambilan. Jika sampel tidak langsung diperiksa, dapat disimpan dalam kamar pendingin beberapa jam. 4. Suhu Ada hubungan langsung antara suhu dan tekanan yang menyebabkan tingginya PO2 dan PCO2. Nilai pH akan mengikuti perubahan PCO2. Nilai pH darah yang abnormal disebut asidosis atau alkalosis sedangkan nilai PCO2 yang abnormal terjadi pada keadaan hipo atau hiperventilasi. Hubungan antara tekanan dan saturasi oksigen merupakan faktor yang penting pada nilai oksigenasi darah

Hal-hal yang perlu diperhatikan


1. 2.

Tindakan pungsi arteri harus dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih Spuit yang digunakan untuk mengambil darah sebelumnya diberi heparin untuk mencegah darah membeku.

3.

Kaji ambang nyeri pasien apabila ia tidak mampu mentoleransi nyeri, berikan anestesi lokal.

4.

Bila menggunakan arteri radialis, lakukan tes Allent untuk mengetahui kepatenan arteri.

5.

Untuk memastikan apakah yang keluar darah vena atau arteri, lihat darah yang keluar apabila keluar sendiri tanpa ditarik, berarti itu adalah darah arteri.

6.

Apabila darah sudah berhasil diambil, goyangkan spuit agar darah tercampur rata dan tidak membeku.

7.

Lakukan penekanan yang lama pada daerah bekas pungsi (arteri lebih deras daripada vena).

8.

Keluarkan udara dari spuit jika sudah berhasil mengambil darah, dan tutup ujung jarum dengan karet atau gabus.

9. 10.

Ukur tanda vital (terutama suhu sebelum darah diambil). Segera kirim ke laboratorium (cito).

Tes Allen 1) Pasien diminta untuk mengepalkan tangan selama kira-kira 30 detik. 2) Tekanan diaplikasikan di atas ulnar dan arteri radialis sehingga menutup jalan keduanya. 3) Kepalan tangan kemudian dibuka sehingga muncul warna pucat (pucat dapat diamati pada kuku jari). 4) Tekanan ulnaris dilepaskan dan warna harus kembali dalam 7detik.

Kesimpulan: suplai arteri ulnaris ke tangan cukup dan aman untuk menusuk arteri radialis. Jika warna tidak kembali atau kembali setelah 7 - 10 detik, tes ini dianggap positif dan pasokan arteri ulnaris ke tangan tidak cukup. Arteri radialis karena itu tidak dapat aman ditusuk.

Aspek yang dinilai dalam analisa gas darah pH, yang dinilai konsentrasi ion H+ bebas. Pa O2 yang dinilai jumlah O2 yang terlarut dalam plasma. Sa O2 jumlah O2 yang berikatan dengan Hb. PaCO2 tekanan parsial CO2 dalam plasma

HCO3 konsentrasi ion HCO3 dalam plasma BE (Base Excess), perbedaan jumlah asam penyanggah dalam cairan ekstra sel. TCO2, yaitu jumlah total CO2 dalam plasma.

AGD biasanya diambil dari arteri radialis, meskipun dapat juga dari arteri lainnya seperti arteri femoralis. Pengambilan darah arteri dapat berakibat spasme, kloting intralumen, perdarahan, dan hematoma yang pada akhirnya akan menimbulkan obstruksi arteri bagian distal. Hal ini tidak terjadi jika arteri yang ditusuk memiliki kolateral yang cukup. Arteri radialis lebih dipilih karena memiliki cukup kolateral untuk menghindari terjadinya obstruksi dibandingkan dengan arteri brakhialis atau femoralis. Selain itu, letak arteri radialis lebih superfisial, mudah diraba dan difiksasi. Darah arteri diambil sebanyak 3 ml pada spuit yang sebelumnya telah diberikan heparin 0,2 ml. Sampel darah yang telah diambil harus terbebas dari gelembung udara dan dianalisa secepatnya. Hal ini disebabkan komponen seluler pada sampel masih aktif bermetabolisme, sehingga akan mempengaruhi tekanan gas.

Interpretasi Hasil AGD

Secara singkat, hasil AGD terdiri atas komponen: pH atau ion H+, menggambarkan apakah pasien mengalami asidosis atau alkalosis. Nilai normal pH berkisar antara 7,35 sampai 7,45. PO2, adalah tekanan gas O2 dalam darah. Kadar yang rendah menggambarkan hipoksemia dan pasien tidak bernafas dengan adekuat. PO2 dibawah 60 mmHg mengindikasikan perlunya pemberian oksigen tambahan. Kadar normal PO2 adalah 80-100 mmHg PCO2, menggambarkan gangguan pernafasan. Pada tingkat metabolisme normal, PCO2 dipengaruhi sepenuhnya oleh ventilasi. PCO2 yang tinggi menggambarkan

hipoventilasi dan begitu pula sebaliknya. Pada kondisi gangguan metabolisme, PCO2 dapat menjadi abnormal sebagai kompensasi keadaan metabolik. Nilai normal PCO2 adalah 3545 mmHg HCO3-, menggambarkan apakah telah terjadi gangguan metabolisme, seperti ketoasidosis. Nilai yang rendah menggambarkan asidosis metabolik dan begitu pula sebaliknya. HCO3- juga dapat menjadi abnormal ketika ginjal mengkompensasi gangguan pernafasan agar pH kembali dalam rentang yang normal. Kadar HCO3- normal berada dalam rentang 22-26 mmol/l Base excess (BE), menggambarkan jumlah asam atau basa kuat yang harus ditambahkan dalam mmol/l untuk membuat darah memiliki pH 7,4 pada kondisi PCO2 = 40 mmHg dengan Hb 5,5 g/dl dan suhu 37C0. BE bernilai positif menunjukkan kondisi alkalosis metabolik dan sebaliknya, BE bernilai negatif menunjukkan kondisi asidosis metabolik. Nilai normal BE adalah -2 sampai 2 mmol/l Saturasi O2, menggambarkan kemampuan darah untuk mengikat oksigen. Nilai normalnya adalah 95-98 %

Dari komponen-komponen tersebut dapat disimpulkan menjadi empat keadaan yang menggambarkan konsentrasi ion H+ dalam darah yaitu:

1. Asidosis respiratorik Adalah kondisi dimana pH rendah dengan kadar PCO2 tinggi dan kadar HCO3juga tinggi sebagai kompensasi tubuh terhadap kondisi asidosis tersebut. Ventilasi alveolar yang inadekuat dapat terjadi pada keadaan seperti kegagalan otot pernafasan, gangguan pusat pernafasan, atau intoksikasi obat. Kondisi lain yang juga dapat meningkatkan PCO2 adalah keadaan hiperkatabolisme. Ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan ekskresi H+ dan retensi bikarbonat. Setelah terjadi kompensasi, PCO2 akan kembali ke tingkat yang normal. 2. Alkalosis respiratorik

Perubahan primer yang terjadi adalah menurunnya PCO2 sehingga pH meningkat. Kondisi ini sering terjadi pada keadaan hiperventilasi, sehingga banyak CO2 yang dilepaskan melalui ekspirasi. Penting bagi dokter untuk menentukan penyebab hiperventilasi tersebut apakah akibat hipoksia arteri atau kelainan paru-paru, dengan memeriksa PaO2. Penyebab hiperventilasi lain diantaranya adalah nyeri hebat, cemas, dan iatrogenik akibat ventilator. Kompensasi ginjal adalah dengan meningkatkan ekskresi bikarbonat dan K+ jika proses sudah kronik.

3. Asidosis Metabolik Ditandai dengan menurunnya kadar HCO3-, sehingga pH menjadi turun. Biasanya disebabkan oleh kelainan metabolik seperti meningkatnya kadar asam organik dalam darah atau ekskresi HCO3- berlebihan. Pada kondisi ini, paru-paru akan memberi respon yang cepat dengan melakukan hiperventilasi sehingga kadar PCO2 turun. Terlihat sebagai pernafasan kussmaul. Pemberian ventilasi untuk memperbaiki pola pernafasan justru akan berbahaya, karena menghambat kompensasi tubuh terhadap kondisi asidosis. Untuk mengetahui penyebab asidosis metabolik, dapat dilakukan penghitungan anion gap melalui rumus : (Na+ + K+) (HCO3- + Cl-) Batas normal anion gap adalah 10 12 mmol/l. Rentang normal ini harus disesuaikan pada pasien dengan hipoalbumin atau hipofosfatemi untuk mencegah terjadinya asidosis dengan anion gap yang lebih. Koreksi tersebut dihitung dengan memodifikasi rumus diatas menjadi : (Na+ + K+) (HCO3- + Cl-) (0,2 x albumin g/dl + 1,5 x fosfat mmol/l) Asidosis dengan peningkatan anion gap, disebabkan oleh adanya asam-asam organik lain seperti laktat, keton, salisilat, atau etanol. Asidosis laktat biasanya akibat berkurangnya suplai oksigen atau berkurangnya perfusi, sehingga terjadilah metabolisme anaerob dengan hasil sampingan berupa laktat. Pada keadaan gagal ginjal, ginjal tidak mampu mengeluarkan asam-asam organik sehingga terjadi asidosis dengan peningkatan anion gap.

Asidosis dengan anion gap yang normal disebabkan oleh hiperkloremia dan kehilangan bikarbonat atau retensi H+. Contohnya pada renal tubular asidosis, gangguan GIT (diare berat), fistula ureter, terapi acetazolamide, dan yang paling sering adalah akibat pemberian infus NaCl berlebihan.

4. Alkalosis metabolik Adalah keadaan pH yang meningkat dengan HCO3- yang meningkat pula. Adanya peningkatan PCO2 menunjukkan terjadinya kompensasi dari paru-paru. Penyebab yang paling sering adalah iatrogenik akibat pemberian siuretik (terutama furosemid), hipokalemia, atau hipovolemia kronik dimana ginjal mereabsorpsi sodium dan mengekskresikan H+, kehilangan asam melalui GIT bagian atas, dan pemberian HCO3atau prekursornya (laktat atau asetat) secara berlebihan. Persisten metabolik alkalosis biasanya berkaitan dengan gangguan ginjal, karena biasanya ginjal dapat mengkompensasi kondisi alkalosis metabolik.

Keseimbangan Asam Basa pH adalah derajat keasaman yang merupakan log negatif dari konsentrasi ion H+. Konsentrasi ion H+ ini diatur dengan sangat ketat, karena perubahan pada konsentrasinya akan mempengaruhi hampir semua proses biokimia, termasuk struktur dan fungsi protein, dissosiasi dan pergerakan ion, serta reaksi kimia obat. Berbeda dengan ion-ion lain, kadar ion H+ dijaga dalam nanomolar (36-43 nmol/l ~ pH 7,35-7,45). Sebagian besar asam yang masuk dalam tubuh berasal dari proses respirasi, yaitu CO2 yang membentuk asam karbonat, sedangkan sisanya berasal dari metabolisme lemak dan protein. Mekanisme tubuh untuk menjaga pH tetap dalam rentang normalnya diketahui melalui tiga mekanisme,

Kontrol respirasi terhadap PaCO2 oleh pusat pernafasan yang mengatur ventilasi alveolar. Semakin banyak ion H+ dalam darah, semakin banyak CO2 yang dibuang melalui paruparu. Mekanisme ini cepat dan sangat efektif untuk mengkompensasi kelebihan ion H+. Pengontrolan ginjal terhadap bikarbonat dan ekskresi asam-asam non-volatil. Mekanisme ini relatif lebih lama (jam sampai hari) jika dibandingkan dengan kontrol respirasi. Sistem buffer oleh bikarbonat, sulfat, dan hemoglobin yang meminimalkan perubahan asam-basa akut.

Metode Henderson Hasselbach (H H) Persamaan H H menitik beratkan pada sistem buffer asam karbonat yang memegang peranan penting dalam pengaturan asam basa melalui ginjal dan paru paru. Karbondioksida bereaksi dengan air untuk membentuk HCO3- dan H+. CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3-

Berdasarkan hukum kekekalan massa, maka [H+] [HCO3-] / [H2CO3] = konstan. Sehingga, dapat ditentukan bahwa pH = pKa + log([H+] [HCO3-] / [H2CO3]). Dari persamaan tersebut, pH dapat dikatakan sebagai rasio antara bikarbonat dan karbondioksida. Perubahan pH dapat disebabkan oleh perubahan CO2 (respirasi) atau HCO3- (metabolik). Sistem kompensasi tubuh berusaha mempertahankan rasio tersebut tetap 20:1. Namun, persamaan H H tidak membahas mekanisme perubahan pH akibat efek metabolik sejelas efek respiratoriknya, karena secara in vivo kadar bikarbonat sangat tergantung pada tekanan parsial karbondioksida (pCO2). Oleh sebab itu, muncullah konsep standard bikarbonat dan standard base excess (BE) untuk membantu menghitung efek metabolik terhadap perubahan pH. Standard bikarbonat adalah jumlah bikarbonat yang seharusnya ada pada PCO2 = 40 mmHg, sehingga dapat menyingkirkan efek respirasi pada suatu perubahan pH. Sementara standard BE melihat jumlah asam (dalam mmol/l) yang harus ditambahkan atau dikurangkan pada sampel darah yang sama dengan Hb 5,5 g/dl

10

untuk mencapai pH normal pada PCO2 40 mmHg. Semakin negatif BE menunjukkan sampel darah tersebut semakin asam.

Metode Stewart Pada tahun 1983, Stewart memperkenalkan metode pendekatan asam basa yang diakui secara luas. Metode ini menggunakan pendekatan matematis dan menyimpulkan bahwa jika hukum keseimbangan muatan terjadi pada suatu larutan, maka pH atau konsentrasi ion H+ akan ditentukan terutama oleh derajat disosiasi air. Terdapat tiga variabel yang masing-masing dapat mempengaruhi derajat disosiasi air, yaitu PCO2, strong ion difference (SID), dan konsentrasi total asam lemah (Atot). Ion bikarbonat dan asam lemah merupakan variabel yang terikat dan tidak mempengaruhi pH secara langsung. Pengaruh PCO2 sudah dijelaskan melalui persamaan H H, bahwa perubahan pada CO2 hasil respirasi secara langsung juga akan mengubah konsentrasi ion H+. Ion-ion kuat adalah ion yang dalam jumlah besar terdapat dalam bentuk terdisosiasi atau ion bebas dalam plasma. Pada manusia, SID adalah selisih antara kation kuat (Na+, K+, Mg2+, dan Ca2+) dengan anion kuat (Cl- dan laktat) yang nilai normalnya adalah 42 mmol/l. SID memiliki pengaruh kuat terhadap disosiasi air, peningkatan kation total akan menurunkan konsentrasi H+ dan menurunkan pH. Begitu pula sebaliknya, peningkatan jumlah anion total akan menurunkan pH. Pada dasarnya plasma tidak bisa bermuatan, sehingga dibutuhkan muatan negatif untuk menetralkan kelebihan muatan (SIDe). SIDe terutama dibentuk oleh ion yang sulit berdisosiasi seperti HCO3- dan asam lemah yang terdisosiasi seperti albumin, fosfat, dan sulfat. Strong ion gap (SIG) adalah selisih antara SID dan SIDe, menggambarkan ion-ion yang tidak terukur seperti keton, sulfat, atau asam yang berasal dari luar. Perhitungan ini mirip dengan anion gap, namun memiliki kelebihan karena memperhitungkan albumin dan fosfat. SIG juga dapat menjadi prediktor yang sensitif bagi kegawatan pada pasien-pasien kritis. Atot adalah konsentrasi total asam-asam lemah non-volatil dalam plasma, fosfat inorganik, protein serum dan albumin.

11

Pendekatan Stewart tidak merubah klasifikasi kelainan asam basa sebelumnya, begitu pula dengan BE tetap dapat digunakan untuk menghitung jumlah perubahan SID yang telah terjadi dibandingkan dengan nilai normal. Namun dengan pendekatan ini, kita dapat melihat peran ion-ion dalam mengembalikan pH darah. Contoh kasus adalah, untuk merubah BE dari -20 menjadi -10 mEq/l adalah dengan memberikan NaHCO3, dimana terjadi peningkatan konsentrasi Na+ dalam serum sebesar 10 mEq/l. Implikasi lain yang penting dari pendekatan Stewart adalah peran ion klorida dalam homeostasis asam basa. Ion-ion yang terutama mempengaruhi SID adalah Na+ dan Cl-. Peningkatan Cl- relatif terhadap Na+ akan menurunkan SID dan begitu pula pH. Peran Clmenjadi lebih penting dalam mengatur pH, karena Na+ dikontrol secara lebih ketat untuk mengatur tonus plasma. Contoh kasus adalah pada muntah yang terus menerus sering menyebabkan alkalosis. Pendekatan lama menganggap hal ini disebabkan karena kehilangan ion H+ melalui HCl. Namun, hipotesis Stewart menganggap hal ini terjadi akibat Cl- (anion kuat) berkurang tanpa diimbangi oleh berkurangnya kation kuat, sehingga terjadi peningkatan SID. Pada akhirnya hal ini akan menghambat disosiasi air dan ion H+ berkurang. Penatalaksanaan kasus ini adalah dengan pemberian normal saline sehingga ion klorida tergantikan. Kasus lain adalah asidosis hiperkloremik yang juga sering terjadi akibat pemberian infus normal saline berlebihan. Normal saline mengandung ion sodium dan klorida sebanyak 150 mEq/l dibandingkan dengan konsentrasi plasma 135 dan 100 mEq/l. Hal ini menyebabkan penurunan SID dan pH. Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kedua metode sebenarnya dapat digunakan. Metode pendekatan Handerson-Hasselbach lebih mudah diterapkan, terutama untuk mengklasifikasikan jenis kelainan asam basa yang terjadi. Sedangkan, pendekatan Stewart lebih berguna dalam menghitung kelainan asam basa secara kualitatif dan juga untuk menyusun hipotesis mekanisme yang menyebabkan timbulnya kelainan asam basa pada pasien.

12

Gangguan Keseimbangan Asam Basa Pada Pasien Kritis Beberapa kelainan pada AGD dapat digunakan sebagai marker resiko kematian pada pasien-pasien kritis. Diantaranya adalah terjadinya asidosis laktat, BE yang tinggi, asidosis hiperkloremik, efek asidosis terhadap sistem imun, dan SIG yang tinggi. Sebagian besar pasien-pasien trauma menderita asidosis laktat akibat hovolemia atau hipoperfusi. Perbaikan asidosis laktat berkorelasi dengan survival pasien berdasarkan hubungan waktu. Keadaan asidosis laktat yang persisten, meskipun telah terjadi perbaikan tanda vital, berhubungan dengan resiko infeksi dan kematian. Kadar BE yang tinggi dapat menjadi prognosis yang buruk bagi pasien-pasien, namun hal tersebut tergantung pada jenis penyakit atau trauma pasien. BE lebih memiliki nilai prognostik pada pasien-pasien dengan cedera kepala. Selain itu, jumlah SIG juga memiliki nilai prognostik pada pasien-pasien kritis. Dikatakan nilai SIG >5 pada pasien yang membutuhkan resusitasi atau >2 pada pasien asidosis metabolik adalah prediktif untuk mortalitas. Kondisi hiperkloremik diketahui dapat menyebabkan disfungsi renal dan gangguan pembekuan darah. Asidosis diduga dapat menstimulasi sel T-protein kinase sehingga memperparah reaksi peradangan pada pasien kritis.

13

Langkah-langkah untuk menilai gas darah: berdasarkan asumsi nilai rata rata sbb: pH PaCO2 HCO3 : 7,4 : 40 mmHg : 24 mEq/L

1. Pertama-tama perhatikan pH, pH tinggi,rendah atau normal pH > 7,4 pH < 7,4 pH = 7,4 Alkalosis Asidosis Normal Dapat menunjukan gas darah yang benar benar normal atau

mengindikasikan kompensasi.

terjadinya

2. Menentukan penyebab primer gangguan dengan mengevaluasi PaCO2 dan HCO 3 dalam hubungannya dengan pH pH > 7,4 Alkalosis Jika PaCO2 <40 mmHg gangguan primer adalah alkalosis respiratorik. Jika HCO3 >24 mEq/L ganggaun primer adalah alkalosis metabolik. pH < 7,4 Asidosis Jika PaCO2 >40 mmHg gangguan primer adalah asidosis respiratorik. Jika HCO3 <24 mEq/L ganggaun primer adalah asidosis metabolik.

14

3. Langkah berikutnya mencakup menentukan apakah kompensasi telah terjadi (hal ini dilakukan dengan melihat nilai selain gangguan primer, jika nilai bergerak yang sama dengan nilai primer, kompensasi sedang berjalan). Contoh: Asidosis metabolik tanpa kompensasi pH PaCO2 HCO3 : 7,2 : 60 mmHg : 24 mEq/L

Asidosis respiratorik terkompesasi pH PaCO2 HCO3 : 7,4 : 60 mmHg : 37 mEq/L

Rentang nilai normal pH CO2 PCO2 BE PO2 saturasi O2 HCO3 : 7,35-7,45 : 23-27 mmol/L : 35-45 mmHg : 0 2 mEq/L : 80-100 mmHg : 95 % atau lebih : 22-26 mEq/L

15

Tabel gangguan asam basa: Jenis gangguan Asidosis respiratorik akut Asidosis respiratorik terkompensasi sebagian Asidosis respiratorik terkompensasi penuh Asidosis metabolik akut Asidosis metabolik terkompensasi sebagian Asidosis metabolik terkompensasi penuh Asidosis respiratorik dan metabolic Alkalosis respiratorik akut Alkalosis respiratorik tekompensasi sebagian Alkalosis respiratorik terkompensasi penuh Alkalosis metabolik akut Alkalosis metabolik terkompensasi sebagian Alkalosis metabolic terkompensasi penuh Alkalosis metabolik dan respiratorik N N N N N N pH

PCO2

HCO3 N

Klasifikasi gangguan asam basa primer dan terkompensasi:


1.

Normal bila tekanan CO2 40 mmHg dan pH 7,4. Jumlah CO2 yang diproduksi dapat dikeluarkan melalui ventilasi.
16

2.

Alkalosis respiratorik. Bila tekanan CO2 kurang dari 30 mmHg dan perubahan pH, seluruhnya tergantung pada penurunan tekanan CO2 di mana mekanisme kompensasi ginjal belum terlibat, dan perubahan ventilasi baru terjadi. Bikarbonat dan base excess dalam batas normal karena ginjal belum cukup waktu untuk melakukan kompensasi. Kesakitan dan kelelahan merupakan penyebab terbanyak terjadinya alkalosis respiratorik pada anak sakit kritis.

3.

Asidosis respiratorik. Peningkatan tekanan CO2 lebih dari normal akibat hipoventilasi dan dikatakan akut bila peninggian tekanan CO2 disertai penurunan pH. Misalnya, pada intoksikasi obat, blokade neuromuskuler, atau gangguan SSP. Dikatakan kronis bila ventilasi yang tidak adekuat disertai dengan nilai pH dalam batas normal, seperti pada bronkopulmonari displasia, penyakit neuromuskuler, dan gangguan elektrolit berat.

4.

Asidosis metabolik yang tak terkompensasi. Tekanan CO2 dalam batas normal dan pH di bawah 7,30. Merupakan keadaan kritis yang memerlukan intervensi dengan perbaikan ventilasi dan koreksi dengan bikarbonat.

5.

Asidosis metabolik terkompensasi. Tekanan CO2 < 30 mmHg dan pH 7,30--7,40. Asidosis metabolik telah terkompensasi dengan perbaikan ventilasi.

6.

Alkalosis metabolik tak terkompensasi. Sistem ventilasi gagal melakukan kompensasi terhadap alkalosis metabolik ditandai dengan tekanan CO2 dalam batas normal dan pH lebih dari 7,50 misalnya pasien stenosis pilorik dengan muntah lama.

7.

Alkalosis metabolik terkompensasi sebagian. Ventilasi yang tidak adekuat serta pH lebih dari 7,50.

8.

Hipoksemia yang tidak terkoreksi. Tekanan oksigen kurang dari 60 mmHg walau telah diberikan oksigen yang adekuat

9.

Hipoksemia terkoreksi. Pemberian O2 dapat mengoreksi hipoksemia yang ada sehingga normal.

10.

Hipoksemia

dengan

koreksi

berlebihan.

Jika

pemberian

oksigen

dapat

meningkatkan tekanan oksigen melebihi normal. Keadaan ini berbahaya pada bayi karena dapat menimbulkan retinopati of prematurity, peningkatan aliran darah paru, atau keracunan oksigen. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan yang lain seperti konsumsi dan distribusi oksigen

17

Kesimpulan
Untuk menilai menjaga homeostasis tubuh diperlukan pemantauan pH dari analisa gas darah arteri. Pemeriksaan AGD dari darah arteri, karena arteri adalah pembuluh darah yang keluar dari jantung yang kaya oksigen. Gas darah arteri memungkinkan untuk pengukuran pH dan juga keseimbangan asam basa. Oksigenasi kadar CO2, kadar bikarbonat dan saturasi oksigen. Pemeriksaan gas darah arteri dan pH sudah secara luas digunakan sebagai pedoman penatalaksanaan pasien-pasien berat yang akut dan menahun. Pemeriksaan gas darah juga dapat menggambarkan hasil berbagai tindakan penunjang yang dilakukan, tetapi tidak dapat menegakan suatu diagnosa hanya dari AGD dan keseimbangan sama basa saja, kita harus melihat riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan data laboratorium lainnya. Gangguan keseimbangan asama basa metabolik meliputi asidosis metabolik dan alkalosis metabolik. Gangguan asam basa respiratorik meliputi alkalosis respiratorik dan asidosis respiratorik.

18

You might also like