You are on page 1of 16

KONSEPSI AGROPOLITAN

(Pengembangan Sarana dan Prasarana Agropolitan)


Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perencanaan Wilayah Pengampu: Drs. Wakino, MS

Oleh: ERNIKA CEYLA IRTA WAHYUNI K5408028 SEMESTER V

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

A.

Latar Belakang Munculnya Konsep Agropolitan Dalam konteks spasial, proses pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini ternyata telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang. Hal ini terutama bisa dilihat dari interaksi antara desa-kota yang secara empiris seringkali menunjukkan suatu hubungan yang saling memperlemah. Berkembangnya kota sebagai pusat-pusat pertumbuhan ternyata tidak memberikan efek penetesan ke bawah (trickle down effect), tetapi justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah di sekitarnya (backwash effect). Ada beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya backwash effect tersebut. Pertama, terbukanya akses ke daerah perdesaan seringkali mendorong kaum elit kota, pejabat pemerintah pusat, dan perusahaanperusahaan besar untuk mengeksploitasi sumberdaya yang ada di desa. Masyarakat desa sendiri tidak berdaya karena secara politik dan ekonomi para pelaku eksploitasi sumberdaya tersebut memiliki posisi tawar yang jauh lebih kuat. Menurut Anwar (2001), berdasarkan pengalaman ternyata bertambahnya akses pada pasar yang lebih baik di wilayah perdesaan di Indonesia, tidak selamanya dapat meningkatkan pertumbuhan produktivitas pertanian karena seringkali hak-hak (property right) masyarakat lokal terhadap sumberdaya menjadi terampas oleh kepentingan kaum elit di luar mereka. Kedua, kawasan perdesaan sendiri umumnya dihuni oleh masyarakat yang kualitas SDM-nya kurang berkembang. Kondisi ini mengakibatkan ide-ide dan pemikiran modern dari kaum elit kota sulit untuk didesiminasikan. Oleh karena itu, sebagian besar aktivitas pada akhirnya lebih bersifat enclave dengan mendatangkan banyak SDM dari luar yang dianggap lebih mempunyai ketrampilan dan kemampuan.

Dalam kaitannya dengan sejarah perkembangan wilayah perdesaan di Indonesia, secara spesifik semakin lemahnya kawasan perdesaan juga didorong oleh kebijakan nasional yang sangat bersifat urban bias (Anwar 2001). Proses dan jasa) transformasi mulai struktur ekonomi ke arah terlalu industrialisasi dan bertumbuhnya sektor-sektor modern (industri pertengahan dasawarsa 1980-an, dipercepat (accelerated) dengan berbagai proteksi pemerintah sehingga mengarah pada proses yang tidak matang (immature) dan seringkali merugikan sektor pertanian berupa dikenakannya pajak-pajak ekspor dan pungutan dalam negeri ataupun pajak implisit seperti mata uang rupiah yang kelebihan nilai (over valuaded rupiah). Semuanya ini tentunya merugikan bagi para petani karena harga ekspor pertanian yang menjadi tidak kompetitif dan pada akhirnya juga berdampak pada melemahnya pembangunan kawasan perdesaan. Selain itu, menurut Anwar (2001), meskipun jumlah penduduk perdesaan lebih banyak jika dibandingkan dengan penduduk kota, tetapi bentuk permukiman penduduk yang lebih tersebar, lebih miskin, tidak berpikiran canggih dan kurang terorganisasi telah mengakibatkan terjadinya bias dalam pengalokasian sumberdaya. Investasi yang dilakukan di wilayah perdesaan menjadi sangat terbatas karena secara ekonomi tidak efisien dan terdapat kecenderungan fasilitas-fasilitas umum hanya terkonsentrasi di pusat-pusat administrasi wilayah lokal. Sedangkan di wilayah-wilayah perdesaan yang jauh dan miskin, fasilitas-fasilitas seperti sekolah, Puskesmas, dan penyuluh pertanian tidak dapat dijangkau. Berbagai faktor di atas selain mengakibatkan terjadinya backwash effect, pada akhirnya juga mengakibatkan penguasaan terhadap pasar kapital dan kesejahteraan yang lebih banyak dimiliki oleh masyarakat perkotaan. Sebagai akibatnya

masyarakat perdesaan kondisinya semakin terpuruk dalam kemiskinan dan kebodohan. Melihat kondisi yang demikian maka masyarakat perdesaan secara rasional mulai melakukan migrasi ke wilayah perkotaan. Meskipun tidak ada jaminan bahwa mereka akan mendapatkan pekerjaan, tetapi kehidupan di kota lebih memberikan itu harapan untuk di menambah perkotaan. penghasilan. dan Kecepatan Karena berkembanglah kumuh sektor-sektor informal

pemukiman-pemukiman

urbanisasi yang sedemikian besar ini ternyata pada beberapa kasus menjadi semakin sulit untuk diatasi sehingga muncul berbagai dampak negatif seperti kemacetan, polusi, sampah, pengangguran, kriminalitas dan sebagainya. Kondisi ini pada akhirnya juga memperlemah kondisi wilayah perkotaan yang sebelumnya mengalami kemajuan yang cukup pesat. Sementara itu Saefulhakim (2004), menyatakan bahwa kebijakan yang bersifat bias kota ini diakibatkan oleh pemikiran para ekonom yang berkaitan dengan konsep economic of scale dan economic of scope. Economic of scale berarti semakin meningkatnya marginal productivity apabila ada peningkatan skala usaha, sedangkan economic of scope berarti semakin meningkatnya marginal productivity apabila ada penggabungan dari berbagai jenis usaha. Sampai batas tertentu hal ini memang bisa diwujudkan untuk mencapai efisiensi dari proses pembangunan. Namun apabila hal ini terus dipacu secara berlebihan, maka pada batas tertentu marginal productivity akan menurun dengan bertambahnya skala usaha atau penggabungan usaha. Artinya proses aglomerasi yang terlalu besar semakin lama akan menurunkan marginal productivity karena semakin meningkatnya transaksi. Jelaslah sudah bahwa hubungan antar wilayah perdesaan dan perkotaan yang tidak berimbang telah menimbulkan biaya-biaya eksternalitas dan biaya-biaya

berbagai permasalahan baik di perdesaan maupun di perkotaan itu sendiri. Padahal seharusnya antara wilayah perdesaan dan perkotaan terjadi mekanisme pertukaran sumberdaya yang saling menguntungkan ini akan sehingga mampu hubungan mewujudkan yang saling memperkuat keberlanjutan

pembangunan dalam jangka panjang. Hasil industri dan jasa di perkotaan akan dijual di perdesaan dan sebaliknya hasil-hasil pertanian dan pengolahan sumberdaya alam di perdesaan akan dijual ke perkotaan. Dengan semakin meluasnya masalahmasalah sejenis di sebagian besar negara-negara berkembang, para pakar pembangunan mulai berpikir untuk mencari solusi bagi pembangunan daerah perdesaan. Pembangunan yang berimbang secara spasial menjadi penting karena dalam skala makro hal ini menjadi prasyarat bagi tumbuhnya perekonomian nasional yang lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan.

B.

Konsep Agropolitan dan Perkembangannya Berkaitan dengan permasalahan ketimpangan desa kota di atas maka salah satu ide yang dikemukakan adalah mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah desa itu sendiri, dimana keterkaitan dengan perekonomian kota harus bisa diminimalkan. Friedmann dan Douglass (1976), menyarankan suatu bentuk pendekatan agropolitan sebagai aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan jumlah penduduk antara 50.000 sampai 150.000 orang. Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan Otoritas sumberdaya dan alam memang menjadi keputusan yang mata akan di pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan. perencanaan pengambilan masyarakat didesentralisasikan sehingga tinggal

perdesaan akan mempunyai tanggung jawab penuh terhadap perkembangan dan pembangunan daerahnya sendiri. Namun beberapa argumen lain mengemukakan bahwa keterkaitan dengan perekonomian kota tidak perlu diminimalkan karena pengembangan kota-kota dalam skala kecil menengah pada beberapa kasus justru akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Dengan tumbuhnya kota-kota kecil menengah tersebut maka fasilitas-fasilitas pelayanan dasar bisa disediakan dan pasar untuk produk-produk perdesaan juga bisa dikembangkan. Karena itu, dalam pengembangan agropolitan sebenarnya keterkaitan dengan perekonomian kota tidak perlu diminimalkan. Keterkaitan yang sifatnya berjenjang dari desakota kecil-kota menengah-kota besar akan lebih bisa mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Richardson dalam Rondinelli (1985) mengemukakan bahwa pandangan terhadap wilayah perkotaan yang selalu dianggap sebagai wilayah pusat yang melakukan eksploitasi sumberdaya terhadap hinterlandnya tidak bisa diberlakukan secara general. Pada kenyataannya beberapa kasus menunjukkan bahwa berkembangnya kota justru memberikan dampak positif bagi perkembangan wilayah perdesaan, meskipun secara kuantitatif jumlahnya tidak terlalu banyak. Jadi menurutnya interaksi desakota lebih dipengaruhi oleh berkembangnya fungsi kota yang mampu menunjang perkembangan perdesaan, bentuk kelembagaan dan budaya yang berkembang, dan bagaimana perumusan dan implementasi kebijakan pengembangan kotakota kecil dan menengah. Namun justru pengembangan kota-kota kecil menengah dengan segala fungsi pelayanannya inilah yang menjadi kelemahan utama di negara-negara yang sedang berkembang. Menurut Rondinelli (1985), terdapat tiga hal yang menyebabkan

interaksi desa-kota menjadi suatu hal yang merugikan bagi perkembangan desa yaitu : 1. Terbatasnya jumlah kota-kota kecil menengah
2. Terbatasnya distribusi fasilitas dan pelayanan diantara kota-

kota kecil menengah di wilayah perdesaan.


3. Terbatasnya keterkaitan antar lokasi pemukiman di wilayah

perdesaan. Berkembangnya kota-kota kecil menengah dapat secara positif mendorong perkembangan dari wilayah hinterlandnya, terutama untuk mentransformasikan pola pertanian perdesaan yang subsisten menjadi pola pertanian komersial dan mengintegrasikan ekonomi perkotaan dan perdesaan di negaranegara berkembang. Pembangunan pusat-pusat industri yang telah dilakukan di negara-negara berkembang sejak tahun 1960, pada dasarnya kurang sesuai dan tidak mencukupi untuk menciptakan efek multiplier (spread effect). Pengembangan sektor jasa, distribusi, perdagangan, pemasaran, agroprocessing, dan berbagai fungsi lainnya bisa berdampak lebih baik dalam menstimulasi pertumbuhan kota-kota kecil menengah di wilayah perdesaan daripada pengembangan industri manufaktur dalam skala besar. Menurut Saefulhakim (2004), konsep keterkaitan desakota ini bisa dilakukan melalui pendekatan yang diarahkan untuk membangun keterkaitan/interaksi spasial antar subsistem rantai agribisnis/agroindustri. Hal ini mengingat bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling diandalkan di wilayah perdesaan. Dengan adanya keterkaitan ini akan terjadi peningkatan nilai tambah lokal perdesaan, sehingga pada akhirnya akan terjadi penguatan sektor perdesaan dan terwujudlah pembangunan desa-kota yang berimbang. Menurut Smith (1976), peningkatan permintaan eksternal saja tidak akan mencukupi untuk mendorong pengembangan

ekonomi wilayah perdesaan. Harus terdapat upaya-upaya yang bersifat komplementer, baik dalam bentuk investasi infrastruktur fisik, modal, teknologi maupun kelembagaan yang mampu membangun kemampuan masyarakat perdesaan secara internal untuk meningkatkan skala ekonomi dan sekaligus menekan resiko dan ketidakpastian. Hal ini juga sesuai dengan yang dikemukakan oleh Friedmann&Douglass (1976) yaitu daripada terus mengencourage penduduk desa mengalir ke kota-kota dengan terus menerus menumpuk investasi di kota, lebih baik dicoba untuk mengencourage mereka untuk nyaman tinggal di desa dan membangun desanya dengan melakukan investasi di desa dan menata struktur ruang kehidupan dan ekonomi yang lebih kondusif. Wilayah perdesaan dengan infrastruktur yang semakin baik, secara alamiah akan mendorong meningkatnya permintaan terhadap lahan. Nilai sewa lahan (land rent) yang semakin tinggi membuat peluang untuk terjadinya konversi lahan ke arah penggunaan lahan lain yang lebih menguntungkan menjadi lebih besar. Karena adanya peluang yang lebih menguntungkan tersebut, maka banyak orang akan berlomba-lomba untuk menanamkan investasi dan melakukan spekulasi sehingga seringkali terjadi perubahan struktur kepemilikan lahan yang cukup signifikan. Apabila selama proses pembangunan kawasan agropolitan, masalah alih kepemilikan lahan ini tidak diperhatikan, maka pada saat berbagai infrastruktur sudah tersedia, lahan tersebut bisa saja bukan lagi menjadi milik petani yang bersangkutan. Karena itu diperlukan penegasan hak-hak masyarakat terhadap lahan dan bahkan apabila dipandang perlu, akses petani terhadap hak-hak pemanfaatan lahan bisa lahan diperluas. menjadi Pengukuhan masyarakat terhadap

penting karena akan menjadi salah satu faktor yang bisa mendorong berkembangnya pasar finansial di perdesaan (Anwar,

2001). Dengan adanya kepemilikan atas lahan, akses terhadap lembaga perkreditan akan lebih terbuka sehingga akan mendorong investasi yang pada gilirannya bisa menyumbang pada pertumbuhan ekonomi. Karena itu upaya-upaya untuk melakukan penegasaan hak-hak masyarakat terhadap lahan dan land reform menjadi penting dan akan sangat menunjang pengembangan kawasan Agropolitan. Selain itu, komponen penting lainnya yang berkaitan dengan keberhasilan penyusunan dan pelaksanaan rencana pengembangan kawasan agropolitan adalah seberapa besar masyarakat ikut berpartisipasi mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan maupun pengendalian (monitoring dan evaluasi). Seringkali dalam pelaksanaan program, keterlibatan masyarakat kurang diperhatikan karena pihak pemerintah masih menganggap bahwa merekalah yang paling mengetahui apa yang harus dilakukan oleh masyarakat perdesaan. Akibatnya pelaksanaan seringkali pemerintah kegiatan sudah menjadi saat tidak berkelanjutan karena dari akan berakhir pada pendanaan kegiatan tentunya

tidak ada lagi. Hal ini

menimbulkan kemubaziran dalam anggaran pembangunan dan tidak mendorong ke arah kemandirian. Menurut Anwar (2001) dalam kaitannya dengan perencanaan di tingkat lokal, partisipasi masyarakat menjadi penting karena sebenarnya merekalah yang paling mengetahui situasi dan kondisi wilayah tempat tinggal mereka. Apabila mereka tidak dilibatkan secara penuh, maka pemahaman yang terbatas dampak dari pihak program pengelola dan program bisa menimbulkan terhadap program menurunnya dukungan akhirnya masyarakat pelaksanaan

pelaksanaan

tersebut tidak akan mencapai sasaran. Pengembangan kawasan pada dasarnya harus dilandaskan pada pembangunan kapasitas sumberdaya manusia di dalam

kawasan tersebut. Hal ini tentunya tidak akan pernah terwujud jika masyarakat hanya dijadikan obyek pembangunan. Karena itu konsep pendekatan pembangunan partisipatif menjadi penting untuk diperhatikan dalam pengembangan kawasan Agropolitan.

C.

Konsep Agropolitan di Indonesia Konsep dewasa ini Pengembangan dengan Daerah, Wilayah menjadi dengan pilihan basis utama

pengembangan kota-kota pertanian atau yang lebih dikenal Agropolitan, dalam Pemerintah melaksanakan Otonomi-nya.

Meskipun keluarnya UU 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, bukan hanya sebagai suatu kebetulan bahwa Pemerintah Pusat kesulitan melaksanakan re-covery krisis ekonomi, tetapi telah dirancang sejak tahun 1996. Daerah-daerah yang berbasis pertumbuhannya pada ekonomi pertanian, hampir tidak banyak menderita akibat krisis ekonomi nasional. Karena itu menjadi referensi/acuan bagi Pemerintah Daerah setelah mendapatkan kewenangan pembangunan dalam mengatur diganti rumah tangga dan model pembangunan daerahnya secara lebih leluasa. Model sentralisasi harus dengan desentralisasi, ketergantungan Pembangunan Daerah terhadap Pusat harus diakhiri, tetapi kemandirian mengelola rumah tangganya sendiri, juga tersandung-sandung. Ryas Rasid menyebutkan pemberian otonomi daerah yang bertanggung jawab seharusnya bertahap, dan bukan sekaligus seperti euforia demokrasi yang kebablasan dalam era reformasi ini (Kompas, Juli 2000). Demikian juga halnya dengan pemilihan model pembangunan daerah yang lebih mandiri, tampaknya harus secara bertahap, tidak sekaligus merombak model sistem pembangunan daerah yang ada. Demikian pula dengan penerapan Model Pengembangan Wilayah melalui Pembangunan Kawasan Agropolitan, secara

konseptual

Pemerintah

Daerah

harus

memahami

bahwa

penerapan Agropolitan pada Pembangunan Kawasan Wilayah Baru (Frontier Region) akan berbeda dengan penerapan pada Pembangunan Kawasan yang telah Berkembang. Pada Kawasan Wilayah Baru seperti pada pengembangan wilayah untuk atau rehabilitasi lahan bekas pertambangan (Kab.Kutai)

Pembukaan Kawasan untuk Permukiman Transmigrasi (era Pelita I-III) kebutuhan untuk menyusun Masterplan Agropolitan adalah penting dalam mengarahkan setiap tahapan dan jenis kegiatan pembangunan yang dilaksanakan. Sedangkan pada Kawasan yang telah berkembang, Masterplan Kawasan Agropolitan berperan untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan

program atau rencana induk sektor pembangunan yang telah ada pada setiap tahapan pembangunan Kawasan Agropolitan. Masterplan Kawasan Agropolitan seperti itu, pada setiap tahapannya akan selalu menghadapi tantangan besar dimana pelaksanaan koordinasi adalah masalah besar yang dihadapi birokrasi pemerintahan kita. Mungkin tantangan besar ini akan sedikit diringankan apabila Pemerintah Daerah dan sektor-sektor terkait telah memiliki komitmen yang kuat untuk membangun daerahnya melalui pembangunan pertanian, tetapi tidak untuk Pemda yang lain yang belum memiliki komitmen. Sebagai sebuah pendekatan pengembangan wilayah, menurut Rustiadi dan Hadi (2004) ada tiga tahapan yang perlu dilakukan dalam pengembangan kawasan Agropolitan. Tahap awal pengembangan agropolitan adalah penetapan lokasi dengan melihat empat karakteristik utama yaitu : (1) Tingkat kemajuan wilayah; (2) Luas wilayah; (3) Batas wilayah secara fungsional dalam arti melihat ciri agroklimat dan lahan, serta pengusahaan usaha tani yang sama; (4) Kemajuan sumberdaya manusia/petani. Tahap berikutnya adalah penyusunan produk tata ruang dan bentuk organisasi pengelolaan sesuai dengan

kebutuhan (dihindari langkah penyeragaman organisasi). Setelah itu adalah tahap penguatan bisa sumberdaya dihindari manusia dan kelembagaan, sehingga adanya peluang

pengaliran nilai tambah yang tidak terkendali keluar kawasan. Dengan demikian pada tahap awal aspek ruang dan penataan ruang termasuk penentuan dan batasan lokasi kawasan Agropolitan itu sendiri menjadi suatu hal penting yang perlu diperhatikan dalam penyusunan Master Plan Pengembagan Kawasan Agropolitan. Penerapan konsep agropolitan akan sangat penting artinya bagi pengembangan pembukaan wilayah frontier seperti pembangunan permukiman transmigasi, karena dapat dimulai dalam awal pertumbuhan wilayah. Mengintegrasikan desa dan kota yang ada kedalam konsep distrik agropolitan, untuk menghindari tumbuhnya kota-kota diluar kendali sistem pengembangan wilayah agropolitan. Upaya ini selain menghindari adanya kesenjangan antara permukiman yang wilayah tani. Selanjutnya faktor lain yang perlu dipertimbangkan selain dari penetapan lokasi sumber dan daya penataan manusia dan ruang adalah pengembangan kelembagaan. ada dengan pengembangan serta sekaligus kota-kota merupakan tani upaya mengintegrasikan penduduk lokal dalam skim pengembangan agropolitan meningkatkan fungsi desa dan kota yang ada menjadi kota-kota

Menurut Rustiadi dan Hadi (2004) semangat dasar dari kebijakan agropolitan adalah proses penciptaan nilai tambah di kawasan perdesaan oleh masyarakat sendiri. Pelaksanaan kebijakan tanpa keterlibatan masyarakat dalam arti yang sesungguhnya (yaitu terutama melalui peran perekonomian yang nyata) pada hakikatnya kurang sejalan dengan semangat dasar konsep agropolitan ini, karena hal itu hanya mengulangi kesalahan

pembangunan yang telah diterapkan selama ini. Berhubung pelaksanaan pembangunan tidak bisa dijalankan oleh masyarakat perdesaan itu sendiri, maka bisa dipilih pola kemitraan dalam seluruh tahap pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan implementasinya. Kemitraan adalah strategi aliansi bisnis yang dilakukan lebih dari dua pihak dengan prinsip saling membutuhkan, menguntungkan, memperkuat, serta memiliki kesetaraan antar pihak yang bermitra dengan mengandalkan prinsip kesetiaan, transparansi, bermanfaat dan menguntungkan. Kemitraan dimaksud melibatkan pihak masyarakat, sektor swasta, dan pemerintah. Kemitraan menuntut dukungan institusi kemitraan gabungan semua stakeholders terkait sebagai refleksi dari kebersamaan public-privatecommunity partnership. Pengembangan infrastruktur fisik di kawasan agropolitan, seperti yang telah diterapkan pada kawasan-kawasan yang telah ditetapkan (Cianjur, Agam, Minsel, Pemalang, Kutim, Karo, Gorontalo) seharusnya dilakukan setelah tahap-tahap di atas dilakukan dan ditentukan waktu pelaksanaannya yang tepat sesuai dengan kondisi kawasan masing-masing. Pembangunan infrastruktur publik seharusnya memang menjadi tugas pemerintah. Namun bila itu dilakukan sebelum produk tata ruang dan penguatan SDM serta dikhawatirkan Gambaran
1. Peran

kelembagaan kemitraan, maka penyimpangan kawasan (sampai terhadap agropolitan ke tingkat tujuan yang agro-

akan

terjadi

pengembangan kawasan agropolitan. ideal sektor dari suatu berkembang menurut Rustiadi dan Hadi (2004) adalah: pertanian processingnya) tetap dominan;
2. Pengaturan pemukiman yang tidak memusat, tetapi tersebar

pada skala minimal sehingga dapat dilayani oleh pelayanan infrastruktur seperti listrik, air minum, ataupun

telekomunikasi (sekitar 300 pelanggan setara dengan 300 kepala keluarga). Infrastruktur yang tersedia dapat melayani keperluan masyarakat untuk pengembangan usaha taninya sampai ke aktivitas pengolahannya. Di kawasan agropolitan juga tersedia infrastruktur sosial seperti untuk pendidikan, kesehatan, sampai pada rekreasi dan olah raga.
3. Aksesibilitas yang baik dengan pengaturan pembangunan

jalan sesuai dengan kelas jalan yang dibutuhkan dari jalan usaha tani sampai ke jalan kolektor dan jalan arteri primer;
4. Mempunyai produk tata ruang yang telah dilegalkan dengan

Peraturan Daerah dan konsistensi para pengelola kawasan, sehingga dapat menahan setiap kemungkinan konversi dan perubahan fungsi lahan yang menyimpang dari peruntukannya. ULASAN STUDI KASUS Studi Kasus: Konsep Agropolitan Cianjur Tidak Jelas Konsep pembukaan kawasan Agropolitan di Cianjur tidak jelas dan hanya memberikan peluang penguasaan lahan bagi pemilik modal. Berdasarkan fakta, banyak bangunan villa yang didirikan di kawasan tersebut, membuktikan bahwa konsep pembukaan kawasan agropolitan kurang terpantau dan hanya membuat lahan pertanian semakin sempit. Hal ini berati bahwa konsep agropolitan tidak tuntas dan tidak memberdayakan petani lokal. Seharusnya, pemerintah Cianjur membuat konsep agrowisata yang lengkap serta memberikan peluang ekonomi bagi rakyat di sektor riil (Mikro), memberdayakan sektor pertanian bagi warga petani, dan memperketat ijin penguasaan lahan produktif dari tangan orang luar. Hal ini dibuktikan di dua desa yakni Desa Sindangjaya dan Desa Sukatani, sebagian besar warganya banyak yang hanya menjadi buruh tani saja.

ANALISIS Berdasarkan kasus di atas, jelas sudah bahwa konsep agropolitan di daerah Cianjur memang tidak sesuai dengan tujuan dan maksud dari agropolitan tersebut. Dalam kasus tersebut, Pemerintah daerah Cianjur kurang mengoptimalkan potensi sumberdaya lembaga manusia (petani) Hal di daerahnya yang dan dapat minimnya kemitraan. inilah

menimbulkan terjadinya penyimpangan terhadap tujuan dari konsep agropolitan itu sendiri. Pesatnya pembangunan villa yang didirikan di Cianjur jelasjelas menjauhi dari konsep agropolitan dimana agropolitan merupakan konsep pengembangan wilayah dengan basis pengembangan kota-kota pertanian. Sedangkan faktanya, hanya pembangunan villa-villa yang berkembang, bahkan membuat lahan pertanian di daerah tersebut menjadi berkurang (jelas sekali hal tersebut sangat menyimpang dengan konsep agropolitan yang menciptakan kota pertanian). Selain itu, hak-hak penegasan atas lahan bagi petani di Cianjur memang tidak ada. Padahal akses petani terhadap pemanfaatan lahan bisa diperluas dengan adanya pengukuhan hak-hak masyarakat (petani) terhadap lahan. Hal ini sangat penting karena akan menjadi salah satu faktor yang bisa mendorong berkembangnya pasar finansial di perdesaan akan sangat menunjang pengembangan kawasan Agropolitan. Jika saja Pemerintah Daerah Cianjur mau serius menangani masalah kawasan agropolitan di daerahnya. Hal itu, merupakan peluang besar bagi peningkatan ekonomi masyarakat lokal terutama bagi masyarakat yang berprofesi sebagai petani (tergantung berhasilnya konsepsi agropolitan mengembangkan daerah Cianjur menjadikan wilayah berbasis pertanian atau Kota Pertanian). Selain itu, pengembangan infrastruktur fisik di

kawasan agropolitan harus dilakukan setelah tahap-tahap di atas dilakukan dan ditentukan waktu pelaksanaannya yang tepat sesuai dengan kondisi di daerah Cianjur tersebut.

You might also like