You are on page 1of 15

c c

   


 c  

Hukum humaniter internasional atau hukum humaniter adalah nama lain dari apa yang dulu
disebut dengan hukum perang atau hukum sengketa bersenjata. Hukum humaniter merupakan
salah satu cabang dari hukum internasional publik, yaitu bidang hukum yang mengatur masalah-
masalah lintas batas antar negara. Cabang hukum internasional publik lainnya antara lain hukum
diplomatik, hukum laut, hukum perjanjian internasional dan hukum angkasa. Dibandingkan
dengan cabang hukum internasional publik lainnya, hukum humaniter mempunyai suatu
keunikan yaitu bahwa sekalipun ketentuan-ketentuan yang mengaturnya dibuat melalui suatu
perjanjian multilateral atau melalui hukum kebiasaan internasional, namun substansinya banyak
mengatur hal-hal yang menyangkut individu, atau dengan kata lainnya subjek hukumnya juga
menyangkut individu. Hal ini cukup unik, karena pada umumnya subjek hukum internasional
publik adalah negara atau organisasi internasional. Hukum humaniter banyak mengatur tentang
perlindungan bagi orang-orang yang terlibat atau tidak terlibat dalam suatu peperangan. Dalam
hukum humaniter dikenal dua bentuk perang atau sengketa bersenjata, yaitu sengketa bersenjata
yang bersifat internasional dan yang bersifat noninternasional. Pada perkembangannya,
pengertian sengketa bersenjata internasional diperluas dalam Protokol I tahun 1977 yang juga
memasukkan perlawanan terhadap dominasi kolonial, perjuangan melawan pendudukan asing
dan perlawanan terhadap rezim rasialis sebagai bentuk-bentuk lain dari sengketa bersenjata
internasional. Hukum humaniter juga mengatur sengketa bersenjata yang bersifat
noninternasional, yaitu sengketa bersenjata yang terjadi didalam suatu wilayah negara. Dalam
situasi-situasi tertentu, sengketa bersenjata yang tadinya bersifat internal (noninternasional) bisa
berubah sifat menjadi sengketa bersenjata yang bersifat internasional. Hal yang terakhir ini
disebut dengan internasionalisasi konflik internal ë   

   
Namun
demikian tidak semua sengketa bersenjata internal bisa menjadi bersifat internasional apabila ada
campur tangan dari negara lain.

Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama.
Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat
ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua negara atau peradaban di dunia. Dalam
peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (× 
). Kelompok orang tertentu
itu meliputi penduduk sipil, anakanak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan
tawanan perang.

c
     

Pada makalah ini saya akan menguraikan beberapa permasalahan mengenai hukum humaniter
internasional, yaitu :

1. Apa pengertian Hukum Humaniter Internasional ?


2. Apa pengertian Perang, Konflik Bersenjata dan Damai ?
3. Prinsip-prinsip dasar Hukum Humaniter ?
4. Tujuan Hukum Humaniter ?
5. Sumber-sumber Hukum Humaniter ?
6. Definisi ahli Hukum Humaniter ?
7. Jenis-jenis konflik bersenjata ?
8. Jenis-jenis konflik yang tidak diatur dalam Hukum Humaniter?

3
    

Adapun maksud dan tujuan tim penulis dalam menyusun makalah ini tiada lain adalah sebagai
tugas yang di berikan oleh Dosen mata kuliah Hukum Internasional sebagai tugas individu
semester dua Fakultas Hukum Universitas Mulawarman.

Selain itu tujuan pembelajaran dari Hukum Humaniter Internasional adalah untuk mengetahui
bahwa hukum humaniter internasional tidak dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk
mengadakan undang-undang yang menentukan permainan ³perang´, tetapi karena alasan-alasan
perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk
membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan. Dengan alasan-alasan
ini, kadang-kadang hukum humaniter disebut sebagai ´peraturan tentang perang
berperikemanusiaan´. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat
dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. ^
 ×

mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang. Oleh karena
itu, perkembangan hukum perang menjadi hukum sengketa bersenjata dan kemudian menjadi
hukum humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh hukum
humaniter tersebut, yaitu :

1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan
yang tidak perlu (  
  ).
2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan
musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak
diperlakukan sebagai tawanan perang.
3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Disini yang
terpenting adalah asas kemanusiaan.

c c

c   


    

Hukum perang atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter internasional, atau hukum
sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama
tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu
kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia
hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa
keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat
manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan
ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa bangsa. Selanjutnya Mochtar
Kusumaatmadja juga mengatakan bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum
internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisan-
tulisan mengenai hukum perang. Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat
ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan
modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah
setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalamanpengalaman pahit
atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan
kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya
komunitas internasional, sejumlah negara di Seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas
perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional
diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal.

c
  !c     

Secara implisit dalam pengertian perjuangan Nasional atau memperjuangkan kepentingan


Nasional, tidak dapat dilepaskan dengan kemungkinan-kemungkinan adanya pertentangan
kepentingan dengan bangsa lain, bahkan pula pertentangan kepentingan antar kelompok dalam
tubuh bangsa sendiri. Dari sini timbullah situasi konflik. Penyelesaian konflik dapat dilakukan
dengan akomodasi, integrasi secara konsensus tanpa kekerasan. Banyak dilakukan dengan
tekanan dan kekerasan, tidak terbatas selalu dengan kekerasan senjata, tetapi dengan bentuk-
bentuk kekerasan yang meliputi bidang kehidupan, apakah politik, ekonomi, kebudayaan dan
sebagainya.

Perang adalah pelaksanaan atau bentuk konflik dengan intensitas kekerasan yang tinggi. Von
Clausewitz, seorang militer dan filsuf Jerman mengatakan antara lain bahwa perang adalah
kelanjutan politik dengan cara-cara lain. Dengan prinsip tersebut ia melihat bahwa hakekat
kehidupan bangsa adalah suatu perjuangan sepanjang masa dan dalam hal ini ia identikkan
politik dengan perjuangan tersebut. Sementara Indonesia menganut pendirian bahwa Bangsa
Indonesia adalah Bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaannya. Pada hakekatnya
perang adalah mematahkan semangat musuh untuk melawan.

Dahulu rakyat tidak mengetahui adanya perang, karena peperangan dilakukan oleh dua negara
dengan masing-masing menggunakan prajuritnya bahkan prajurit sewaan. Saat ini, bersamaan
dengan tumbuhnya demokrasi dalam pemerintahan dan dukungan teknologi yang cepat, maka
berubahlah perang dan konflik antar negara menjadi sangat luas dan kompleks. Dalam alam
demokrasi, perang dan konflik telah melibatkan secara politis seluruh rakyat negara yang
bersangkutan. Dengan alat-alat komunikasi mutakhir setiap manusia dimanapun berada akan
dapat dijangkau oleh radio, bahkan televisi, sarana komunikasi dan informasi lainnya sebagai
alat konflik yang akan mempengaruhi pikirannya.

Negara yang memulai perang, melakukannya dengan melancarkan serangan berkekuatan militer
terhadap Negara yang hendak ditundukkannya. Serangan dengan kekuatan militer dapat berupa
satu ofensif luas yang dinamakan invasi, juga dapat berupa serangan dengan sasaran terbatas.
Hal ini, mencerminkan adanya konflik bersenjata dimana pihak-pihak yang berperang
menggunakan kemampuan senjata yang dimiliki.

Konflik bersenjata umumnya terjadi antar Negara, namun konflik bersenjata bukan perang dapat
terjadi di dalam suatu Negara sebagai usaha yang dilakukan daerah untuk memisahkan diri atau
gerakan separatisme dengan menggunakan kekerasan senjata, dan usaha terorisme baik yang
bersifat nasional maupun internasional. Masalah-masalah tersebut, ada yang berkembang
sepenuhnya sebagai usaha domestik karena dinamika dalam satu Negara, tetapi juga ada yang
terjadi karena peran atau pengaruh Negara lain. Meskipun masalah-masalah itu tidak termasuk
perang, dampaknya bagi Negara yang mengalami bisa sama atau dapat melebihi.

Dewasa ini (pada masa damai), sering terjadi konflik di dalam suatu Negara yang dipandang
akan berdampak langsung maupun tidak langsung bagi stabilitas suatu Negara. Kesalahan
tindakan preventif terhadap konflik yang terjadi, akan berakibat fatal bagi keutuhan sebuah
Negara. Pengalaman penanganan konflik etnik yang melanda Uni Soviet dan Negara-negara
bagian, misalnya, menyadarkan banyak Negara akan arti pentingnya tindakan preventif untuk
pencegahan konflik, agar tidak berdampak negatif bagi keamanan nasional mereka.

Pengalaman Uni Soviet, yang gagal untuk mengantisipasi konflik menyebabkan Negara tersebut
runtuh menjadi serpihan-serpihan Negara kecil, ternyata telah menyadarkan banyak Negara akan
dampak langsung konflik bagi aspek pertahanan. Begitu pula sulitnya penanganan konflik yang
dipicu oleh masalah identitas agama yang menyebabkan konflik, yang belum kunjung selesai di
India antara Hindu dan Muslim sehingga Muslim membentuk identitas tersendiri sejak akhir
abad 19 mendorong setiap Negara untuk mengantisipasi sifat dan jenis-jenis konflik yang
mungkin berdampak bagi faktor keamanan dan pertahanan.


3
  "# "     
Salah satu prinsip penting dalam hukum humaniter adalah prinsip pembedaan (    

  ). Prinsip pembedaan ini adalah prinsip yang membedakan antara kelompok yang dapat
ikut serta secara langsung dalam pertempuran () disatu pihak, dan kelompok yang tidak
ikut serta dan harus dilindungi dalam pertempuran (penduduk sipil).
Di samping prinsip pembedaan, dalam hukum humaniter dikenal pula prinsip-prinsip lain, yaitu:
1.Prinsip kepentingan militer ë  
   . Berdasarkan prinsip ini pihak yang
bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi
tercapainya tujuan dan keberhasilan perang. Dalam prakteknya, untuk menerapkan asas
kepentingan militer dalam rangka penggunaan kekerasan terhadap pihak lawan, suatu
serangan harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
a. Prinsip proporsionalitas (  
  ), yaitu: ³prinsip yang diterapkan
untuk membatasi kerusakan yang disebabkan oleh operasi militer dengan
mensyaratkan bahwa akibat dari sarana dan metoda berperang yang digunakan tidak
boleh tidak proporsional (harus proporsional) dengan keuntungan militer yang
diharapkan.
b. Prinsip pembatasan (   
  ), yaitu prinsip yang membatasi penggunaan
alat-alat dan cara-cara berperang yang dapat menimbulkan akibat yang luar biasa
kepada pihak musuh.
2. Prinsip Perikemanusiaan ë  ). Berdasarkan prinsip ini maka pihak yang bersengketa
diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk
menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan
yang tidak perlu. Oleh karena itu prinsip ini sering juga disebut dengan ³  

  
  ´.
3. Prinsip Kesatriaan (  ). Prinsip ini mengandung arti bahwa di dalam perang,
kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, perbuatan curang
dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.
4. Prinsip pembedaan. Berdasarkan prinsip ini pada waktu terjadi perang/konflik bersenjata
harus dilakukan pembedaan antara penduduk sipil (³   ´) di satu pihak dengan
³combatant´ serta antara objek sipil di satu pihak dengan objek militer di lain pihak.
Berdasarkan prinsip ini hanya kombatan dan objek militer yang boleh terlibat dalam perang dan
dijadikan sasaran. Banyak ahli yang berpendapat bahwa prinsip pembedaan ini adalah yang
paling penting dalam prinsip-prinsip hukum humaniter. Oleh karena itu pada bagian ini akan
diuraikan sedikit lebih rincil tentang prinsip pembedaan yang dimaksud.


     
Menurut Mohammed Bedjaoui, hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang,
tetapi ditujukan untuk memanusiawikan perang. Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang
dapat dijumpai dalam berbagai kepustakaan, antara lain sebagai berikut:
 Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan
yang tidak perlu (  
  ).
2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan
musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak
diperlakukan sebagai tawanan perang.
3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini, yang
terpenting adalah asas perikemanusiaan.


 $ #$    
Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional (Ê 
 


  ) sumber-sumber hukum internasional terdiri dari :


a. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang membentuk
aturan-aturan yang secara tegas diakui oleh masyarakat internasional;
b. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu praktek umum yang diterima sebagai
hukum;
c. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab;
d. Keputusan-keputusan Mahkamah dan ajaran dari para ahli yang sangat kompeten dari
berbagai bangsa, sebagai sumber hukum tambahan untuk menentukan supremasi hukum.
Oleh karena hukum humaniter adalah cabang dari hukum internasional publik, maka
sumber sumbernya adalah juga sama seperti yang disebutkan dalam Pasal 38 ayat (1)
Statuta ICJ tersebut. Berikut ini akan diuraikan secara ringkas sumber-sumber hukum
humaniter yang dimaksud, dengan penekanan kepada sumber yang pertama, yaitu
perjanjian-perjnajian internasional.

‰
 !    

Menurut ^  

 Hukum Perang terbagi menjadi 2: 

a) Jus Ad Bellum Hukum tentang perang, mengatur tentang perang dalam hal bagaimana
negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata.

b) Jus Ad Bello Hukum yang berlaku dalam perang terjadi The Hague Law dan The
Geneva Law.

Dasar Hukum: Pasal 33 (1), 2 (4) UN Charter dimana suatu sengketa diharapkan dapat
diselesaikan secara damai. Pasal 24 (1) = lebih memberikan kewenangan kepada Dewan
Keamanan PBB untuk mengambil tindakan tertentu.*Intinya: Perang itu diperbolehkan tetapi
hanya sebagai upaya terakhir.

Menurut ?

Membagi Hukum Humaniter menjadi 2:

a) Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang
(Hukum Den Haag) = tentang sarana dan cara berperang.

b) Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk


sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa) = ketika peperangan dan sesudah perang.

 ? Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari Hukum Internasional
memberikan perlindungan kepada individu pada saat terjadi konflik/perang.

^   

  Hukum Humaniter = bagian dari hukum yang mengatur tentang
perlindungan korban perang,berlainan dengan Hukum Perang yang mengatur perang itu sendiri
dan segala sesuatu yang menyangkut cara perang itu sendiri.

X
 %#% !c  
  !c  & $ !      

Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang
pembebasan Nasional (

 
  ) dan konflik bersenjata internal yang
diinternasionalisir (Ê  
Ê

  ).

Konflik bersenjata internasional ³murni´ adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau
lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional ³semu´ adalah konflik bersenjata antara
negara disatu pihak dengan bukan negara (
  di pihak lain. Konflik semacam ini
seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi
berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I,
bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.

Mengenai Ê  


Ê

  
dapat dikatakan bahwa yang dimaksud
adalah suatu   

  
kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari
negara ke tiga berkembang menjadi   

  
yang di internasionalisir.

Mengenai apa yang dimaksdkan dengan istilah ³   





 

 ´ yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan ³  


  
pada Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan penjelasan dalam konvensi atau
protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat pada pembahasan tentang Protokol
Tambahan 1977.

Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar
negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara
terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article
Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol
Tambahan I tahun 1977.

º  !c  & $ !  #     

Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai ³perang


pemberontakan´ yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (  

) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan


melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan
untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-
internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article
Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.

Di samping mengetahui maksud atau pengertian konflik bersenjata non-internasional menurut


Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka tidak ada salahnya
mengetahui bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut para ahli. Berikut
dicantumkan bagaimana pendapat ahli dalam usaha mereka untuk merumuskan apa yang disebut
dengan sengketa bersenjata non-internasional.


  ‰'

Konflik bersenjata non-internasional adalah suatu konfrontasi antara penguasa pemerintah yang
berlaku dan suatu kelompok yang dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas anak
buahnya, yang melakukan perlawananan bersenjata di dalam wilayah nasional serta telah
mencapai intensitas suatu kekerasan bersenjata atau perang saudara.

º
 ( 

Suatu konflik non-internasional dicirikan dengan pertempuran antara angkatan bersenjata suatu
negara dengan perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan pemberontak« Bagaimanapun
juga suatu konflik di suatu wilayah negara antara dua kelompok etnis dapat pula diklasifikasikan
sebagai konflik bersenjata non-internasional asalkan konflik tersebut memenuhi syarat-syarat
yang diperlukan seperti intensitas konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi rakyat pada
konflik tersebut. Selanjutnya, dikatakan pula oleh Verri, bahwa konflik bersenjata non-
internasional ini adalah sinonim dari perang saudara.

)
 #  X 

Konflik non-international adalah konfrontasi bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu
negara, yaitu antara pemerintah di satu sisi dan kelompok perlawanan bersenjata di sisi lain.
Anggota kelompok perlawanan bersenjata tersebut apakah digambarkan sebagai pemberontak,
kaum revolusioner, kelompok yang ingin memisahkan diri, pejuang kebebasan, teroris, atau
istilah-istilah sejenis lainnya berperang untuk menggulingkan pemerintah, atau untuk
memperoleh otonomi yang lebih besar di dalam negara tersebut, atau dalam rangka memisahkan
diri dan mendirikan negara mereka sendiri. Penyebab dari konflik seperti ini bermacam-macam;
seringkali penyebabnya adalah pengabaian hak-hak minoritas atau hak asasi manusia lainnya
yang dilakukan oleh pemerintah yang diktator sehingga menyebabkan timbulnya perpecahan di
dalam negara tersebut.

Sebelum lahirnya Konvensi Jenewa 1949, tidak ada ketentuan-ketentuan yang mengatur
mengenai perang saudara atau pemberontakan. Baru setelah lahirnya Konvensi-Konvensi Jenewa
tahun 1949, maka mengenai sengketa bersenjata yang bersifat ini diatur. Namun demikian,
apabila pihak pemberontak memperoleh status sebagai pihak yang berperang ( ), maka
hubungan antara pemerintah 
× 
dan pihak pemberontak akan diatur oleh hukum
internasional khususnya yang mengenai perang dan netralitas. Konsekuensi dari hal ini adalah
akan mengakibatkan berakhirnya status sifat intern ( 
 ) dari konflik bersenjata
tersebut. Hal ini disebabkan karena pengakuan atas status  
tersebut oleh pemerintah 

× 
atau pihak ketiga akan memperkuat kedudukan pihak  , sehingga apabila hal ini
dilihat dari sudut pandang pemerintah 
× , maka secara politis tentunya akan merugikan
pemerintah 
× . Oleh karena itu, pemerintah 
× 
akan selalu berusaha untuk menyangkal
adanya status resmi apapun dari pihak pemberontak.

Pasal 3 keempat Konvensi Jenewa 1949 menyatakan ³Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak
bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu Pihak Agung
penandatangan, tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-
ketentuan sebagai berikut :

Orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota
angkatan perang yang telah meletakkan senjatasenjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut
serta (

) karena sakit, luka-luka, penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan
bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun
juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau
kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakantindakan
berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas
pada waktu dan di tempat apapun juga :

1. Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan,
penyekapan, perlakuan kejam dan penganiayaan;
2. Penyanderaan;
3. Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan
martabat;
4. Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan
oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan
peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.

Pasal 3 mengharuskan pihak-pihak penandatangan untuk memperlakukan korban sengketa


bersenjata internal menurut prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 3 ayat 1. Selain itu, Pasal 3
Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 memberikan jaminan perlakuan menurut asas-asas
perikemanusiaan, terlepas dari status apakah sebagai pemberontak atau sifat dari sengketa
bersenjata itu sendiri. Dalam Pasal 3 keempat Konvensi tahun 1949 ini terdapat semua pokok
utama perlakuan korban perang menurut Konvensi-konvensi 1949, sehingga pasal ini dinamakan
juga Konvensi Kecil ( 

^   ). Selanjutnya Pasal 3 ayat 2 Konvensikonvensi
Jenewa 1949 menyatakan bahwa yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat.

Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Palang Merah Internasional dapat
menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam sengketa. Pihak-pihak dalam sengketa
selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus,
semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan
tersebut di atas, tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam sengketa.

Ketentuan yang menyatakan bahwa Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha
untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, menunjukkan bahwa dalam
peristiwa terjadinya sengketa dalam negara  

  
seluruh konvensi berlaku,
melainkan hanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat 1. Selanjutnya, kalimat
diadakannya perjanjian-perjanjian demikian antara pemerintah 
× 
dan kaum pemberontak
 

 
 
  
  

  
yang berarti bahwa
maksud dari Pasal 3 adalah sematamata didorong cita-cita perikemanusiaan dan tidak
dimaksudkan untuk mencampuri urusan dalam negeri suatu negara.


 % !&         

Selain ke dua jenis konflik tersebut di atas, maka terdapat jenis konflik lainnya yang tidak diatur
dalam Hukum Humaniter. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) Protokol II 1977
yang berbunyi : ³Protokol ini tidak berlaku pada situasi-situasi kekerasan dan ketegangan dalam
negeri, seperti huru-hara, tindakan-tindakan kekerasan yang bersifat sporadis dan terisolir, serta
tindakan-tindakan yang bersifat serupa lainnya, yang bukan merupakan sengketa bersenjata´.
Pada ilustrasi di atas, tidak terdapat tanda-tanda upaya pemisahan diri dari negara induk, karena
jenis konflik yang terjadi masih dalam koridor ketegangan dan kekerasan dalam negeri dengan
intensitas konflik yang relatif masih rendah.

c c




" 

Secara garis besar, hanya ada dua tipe konflik saja yang diatur dalam Hukum Humaniter, yaitu :

      ! $   &  $ !        ë   


 
   

Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar
negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara
terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article
Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol
Tambahan I tahun 1977.
º    $   &  $ !      *  #     + ,   

    .

Sedangkan sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai ³perang
pemberontakan´ yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (  

) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan


melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan
untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-
internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article
Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.

Kemudian selain ke dua jenis konflik tersebut di atas, maka terdapat jenis konflik lainnya yang
tidak diatur dalam Hukum Humaniter. Mengapa demikian? Karena  
 
!  "
yang
ada diatur dalam Hukum Humaniter walaupun konflik tersebut menggunakan senjata serta
mengakibatkan kerusakan dan kehancuran. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2)
Protokol II 1977 yang berbunyi : ³Protokol ini tidak berlaku pada situasi-situasi kekerasan dan
ketegangan dalam negeri, seperti huru-hara, tindakan-tindakan kekerasan yang bersifat sporadis
dan terisolir, serta tindakan-tindakan yang bersifat serupa lainnya, yang bukan merupakan
sengketa bersenjata´.

Pada ilustrasi di atas, tidak terdapat tanda-tanda upaya pemisahan diri dari negara induk, karena
jenis konflik yang terjadi masih dalam koridor ketegangan dan kekerasan dalam negeri dengan
intensitas konflik yang relatif masih rendah.

c
 # 

Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa dapat mengetahui dan memahami
tentang Hukum Humaniter Internasional lebih khusus lagi mengenai jenis-jenis konflik
bersenjata.

Kita sebagai manusia tentu masih banyak kekurangan oleh karena itu marilah kita bersama saling
mengisi kekurangan itu dengan berbagi pengetahuan.
Penulis menyadari bahwa kemampuan yang dimiliki masih sangat kurang dan sangat terbatas
untuk meningkatkan kemampuan penulis maka sangat diharapkan sumbangan-sumbangan
pemikiran dari mahasiswa lainnya / pembaca. Karena penulis memahami sebagai seorang
mahasiswa yang masih dalam tahap pembelajaran.

 ‰   

Zulkarnain, S.H, M.H & Insarullah, S.H,  


×
#  
#  

#^
Fakultas
Hukum Untad, Palu, 2002.

Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H, LLM, $ $


%
^
&'(',
Alumni, Bandung, 2002.

ICRC, %
#  
#  , ICRC, Jakarta, 1999.

²²²-, %
) 
#  
#  
Ê 
*
 
% 
 


%

&
 
&''', ICRC, 1999.

C. de Rover, )
+
,
)
% 
:  
- 
%
#^, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2000.

Brig. Jend TNI. (Purn). GPH. Haryo Mataram, S.H,  


.
#  
#  
ë#  

% , Bumi Nusantara Jaya, Jakarta, 1988.

²²²-, $  
×

#  , Universitas Trisakti, Jakarta, 2002

Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman RI, )×

$

 
&'(', Agustus 1999.

Geoffrey Robertson QC
$×
) 
$  
*
%× 
 
^ × 

$ 
/, Komnas HAM, Jakarta, 2002.

http://cenya95.wordpress.com/2009/01/25/perang-konflik-bersenjata-dan-damai/

You might also like