You are on page 1of 22

KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c

SYOK ANAFILAKTIK

Pendahuluan

Syok atau renjatan merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang


mengakibatkan hipoksia jaringan dan sel. Karena hipoksia pada syok terjadi
gangguan metabolisme sel, sehingga dapat terjadi gangguan irreversibel pada
jaringan organ vital. Bila terjadi kondisi seperti ini penderita meninggal dunia.
Syok bukan merupakan penyakit dan tidak selalu disertai kegagalan perfusi
jaringan.

Syok dapat terjadi karena kehilangan cairan dalam waktu singkat dari ruang
intravaskuler (syok hipovolemik), kegagalan kuncup jantung (syok kardiogenik),
infeksi sistemik berat (syok septik), reaksi imun yang berlebihan (syok anafilaktik),
dan reaksi vasovagal (syok neurogenik).

Anaphylaxis berasal dari bahasa Yunani, dari 2 kata, ana artinya jauh dan
phylaxis artinya perlindungan. Secara bahasa artinya adalah menghilangkan
perlindungan. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Portier dan Richet pada
tahun 1902 ketika memberikan dosis vaksinasi dari anemon laut untuk kedua
kalinya pada seekor anjing. Hasilnya, anjing tersebut mati mendadak.c 

Reaksi anafilaksis merupakan reaksi alergi akut sistemik dan termasuk reaksi
Hipersensivitas Tipe I pada manusia dan mamalia pada umumnya. Reaksi ini harus
dibedakan dengan reaksi anafilaktoid. Gejala, terapi, dan risiko kematiannya sama
tetapi degranulasi sel mast atau basofil terjadi tanpa keterlibatan atau mediasi dari
IgE.c 

Pada kematian akibat reaksi anafilaksis, onset gejala biasanya muncul pada
15 hingga 20 menit pertama, dan menyebabkan kematian dalam 1-2 jam. Reaksi
anafilaktik yang fatal terjadi akibat adanya distress pernafasan akut dan kolaps
sirkulasi. Pada kasus-kasus syok anafilaktik yang menyebabkan kematian inilah
aspek-aspek medikolegal perlu diperhatikan. Seiring dengan semakin

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI u


c
KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c
c

meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, dimana masyarakat lebih menyadari


akan haknya, kasus-kasus seperti ini akan dipertanyakan oleh masyarakat apakah
termasuk tindakan malpraktek atau tidak. Dalam referat ini, selain akan
dipaparkan aspek klinis dari syok anafilaktik, sedikit pembahasan tentang sudut
medikolegalnya akan turut pula disertakan.c 

Definisi

Anafilaksis adalah reaksi alergi umum pada beberapa system organ


terutama kardiovaskular, respirasi, kulit dan gastrointestinal yang merupakan
reaksi imunologis yang didahului dengan terpaparnya allergen yang sebelumnya
sudah tersensitasi.

Sedangkan syok anafilaktik merupakan tipe paling berat dari reaksi


anafilaksis. Muncul ketika respon alergi memacu pelepasan cepat mediator
imunologis dari sel mast dalam jumlah besar yang menyebabkan vasodilatasi
sistemik (dihubungkan dengan penurunan tekanan darah secara tiba-tiba) dan
edema mukosa bronchial (menghasilkan bronkokontriksi dan kesulitan nafas). Hal
ini bisa menyebabkan kematian dalam hitungan menit jika tidak segera
ditangani. 

Etiologi

Adapun beberapa alergen yang dapat menimbulkan reaksi anafilaksis adalah


sebagai berikut :

Gbr.1.Obat ² obatan bisa menjadi alergen

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI Ô


c
KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c
c

Alergen yang Menimbulkan Reaksi Anafilaktik (1)

Makanan 

c Krustasea : lobster, udang, kepiting


c Moluska : kerang
c Ikan
c Kacang ² kacangan dan biji ² bijian
c Buah beri
c Putih telur
c susu

Obat  c Hormon : insulin, PTH, ACTH, vasopressin,


relaxin
c Enzim : tripsin, chymotripsin, penicillinase,
asparaginase
c oaksin dan darah
c Toxoid : ATS, ADS, SABU
c Ekstrak allergen untuk uji kulit
c Dextran
c Antibiotik : Penisilin, streptomisin, tetrasiklin,
ciprofloksasin, amphotericin B, nitrofurantoin
c Agen diagnostic kontras
c oitamin B1 dan asam folat
c Agen anastesi : lidokain, prokain
c Lain-lain : barbiturate, diazepam, phebitoin,
protamine, aminopyrine, acetyl cystein, codein,
morfin, asam salisilat, HCT
Bisa serangga  Lebah madu, jaket kuning, semut api, tawon
Lain-lain  Lateks, karet, glikoprotein seminal fluid

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI ·


c
KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c
c

Frekuensi Beberapa Agen Penyebab Reaksi Anafilaksis dan Kematian di


Amerika Serikat : (7)

Agen Frekuensi Rx Frekuensi Rx Berat Kematian per Tahun


Sedang
Penisilin 0,5-1 % 0,04 % 400-800
Sengatan 0,5 % 0,05 % • 100
Media 5% 0,1 % 250-1000
kontras

Dari Lavine SJ, Shelhamer JH: Anaphylaxis. In: Critical Care. Civetta JM, Raylor
RW, Kirby RR (editors). Lippincott, 1992

Epidemiologi

Di Amerika Serikat, kematian akibat reaksi anafilaksis sistemik kira-kira


1500-2000 kematian per tahun. Kasus nonfatal lebih sering muncul, yakni
sekitar0,2 % dari populasi setiap tahunnya.(4) Prevalensi kunjungan ke bagian
kegawatdaruratan kira-kira 2 per 10.000 penduduk sampai 5 per 10.000
penduduk. (8)
Neugut et al memperkirakan bahwa 1-15 % dari populasi Amerika
Serikat berada dalam risiko mendapatkan reaksi anafilaktik atau reaksi
anafilaktoid. Lebih lanjut, mereka memperkirakan rata-rata reaksi anafilaksis akibat
makanan adalah 0,0004%, 0,7-10% untuk penisilin, 0,22-1% untuk media
radiokontras, dan 0,5-5% untuk gigitan serangga.(2)

Faktor Risiko (2,9)

c Atopi merupakan faktor risiko. Pada studi berbasis populasi di Olmsted


County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki riwayat penyakit atopi.
Penelitian lain menunjukkan bahwa atopi merupakan faktor risiko untuk
reaksi anfilaksis terhadap makanan, reaksi anafilaksis yang diinduksi oleh
latihan fisik, anafilaksis idiopatik, reaksi terhadap radiokontras, dan reaksi

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI V


c
KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c
c

terhadap latex. Sementara, hal ini tidak didapati pada reaksi terhadap
penisilin dan gigitan serangga.
c Cara dan waktu pemberian berpengaruh terhadap terjadinya reaksi
anafilaksis. Pemberian secara oral lebih sedikit kemungkinannya
menimbulkan reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak berat, meskipun
reaksi fatal dapat terjadi pada seseorang yang memang alergi setelah
menelan makanan. Selain itu, semakin lama interval pajanan pertama dan
kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan muncul kembali.
Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE
spesifik seiring waktu.
c Asma merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90%
kematian karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma.
c Penundaan pemberian epinefrin juga merupakan faktor risiko yang
berakibat fatal.

Patofisiologi

Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe 1 atau reaksi tipe


segera (immediate type reaction) oleh Coomb dan Gell (1963), timbul segera
setelah tubuh terpajan dengan allergen. Anafilaksis diperantarai melalui ikatan
antigen kepada antibodi IgE pada sel mast jaringan ikat di seluruh tubuh individu
dengan predisposisi genetik, yang menyebabkan terjadinya pelepasan mediator
inflamasi.(3) Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut (1,3)

1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya dengan reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
pencernaan yang ditangkap oleh makrofag. Makrofag segera
mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit T yang akan mensekresikan
sitokin (IL-4, IL-3) yang menginduksi limfosit B berfloriferasi menjadi sel plasma
(plasmosit). Plasmosit akan memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut.

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI ‰


c
KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c
c

IgE ini kemudian terikat padareseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan
Basofil.

2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang sama dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi.

3. Fase efektor yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai
efek mediator-mediator yang dilepas selmast.

Reaksi hipersensitifitas tipe I

Antigen merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel Th2. IgE
diikat oleh sel mast dan basofil melalui reseptor Fc. Sel mast banyak ditemukan
pada jaringan ikat di bawah permukaan epitel, termasuk pada jaringan submukosa
traktus gastrointestinal, traktus respiratorius, dan pada lapisan dermis kulit.
Apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tesebut
akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast/basofil. Akibat
ikatan antigen IgE, sel mast/basofil mengalami degranulasi dan melepas mediator
antara lain histamin, leukotrien, dan prostaglandin.(3)Respon fisiologis terhadap
mediator tersebut antara lain spasme otot polos pada traktus respiratorius dan
gastrointestinal, vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan stimulasi
ujung saraf sensorik. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala klasik anafilaksis
seperti flushing (kemerahan), urtikaria, pruritus, spasme otot bronkus, dan kram
pada abdomen dengan nausea, vomitus, dan diare. Hipotensi dan syok dapat
tejadi sebagai akibat dari kehilangan volume intravaskular, vasodilatasi, dan
disfungsi miokard. Peningkatan permeabilitas vaskuler dapat menyebabkan
pergeseran 50 % volume vaskuler ke ruang extravaskuler dalam 10 menit.(2,3)

Histamin memperantarai efek tersebut di atas melalui aktivasi resptor


histamin 1 (H1) dan histamin 2 (H2). oasodilatasi diperantarai oleh baik reseptor
H1 maupun H2. reseptor H2 membeikan efek langsung pada otot polos

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI Ú


c
KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c
c

sementara reseptor H1 menstimulasi sel endotel untuk memproduki NO. Efek


pada jantung sebagian besar diperantarai oleh reseptor H2. Resptor H1 secara
primer bertanggungjawab untuk kontraksi otot polos extravaskular (misalnya otot
bronkus dan otot gasrointestinal). (2)

Reaksi sistemik akut umumnya mulai timbul beberapa menit setelah


pemaparan alergen; keterlambatan yang lebih lama dari 1 jam sangat jarang
terjadi. Pada kepekaan yang ekstrim, penyuntikan alegen dapat segera
menyebabkan keatian atau reaksi subletal dan umumnya reaksi-reaksi yang paling
berat terjadi paling cepat.(11)

Para peneliti secara khusus membedakan anafilaksis dengan reaksi


anafilaktoid. Dimana keduanya memiliki gejala, penatalaksanaan, dan resiko
kematian yang sama, tetapi pada anafilaksis degranulasi sel mast atau basofil selalu
diperantarai oleh IgE, sedangkan pada reaksi anafilaktoid degranulasi sel mast atau
basofil tidak diperantarai oleh IgE. (3)

Gbr.2.Reaksi anafilaktik sistemik

Manifestasi Klinik

Pada sebagian besar studi, frekuensi gejala dan tanda anafilaksis


dikelompokkan berdasarkan sistem organ. Pada studi Olmsted County, ditemukan
100 % pasien mengalami manisfestasi kulit, studi lain menyebutkan 90 % pasien
mengalami manifestasi kulit, 69 % bermanifetasi pada system respiratorius, 41 %

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI m


c
KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c
c

melibatkan system kardiovaskuler, dan 24 % bermanifestasi pada oral atau


gastrointestinal. (2)

Pasien seringkali awalnya melaporkan gatal dan kemerahan pada kulit yang
kemudian diikuti gejala berikut : (2,8,9)

a. Kulit : flushing (kemerahan), urtikaria, angioedema, pruritus, dan bengkak.

r 
| 
 

b. Respiratorius : diawali dengan rasa penuh pada tenggorokan,yang kemudian


menjadi dyspnea,disfonia,suara serak dan batuk, dapat ditemukan wheezing.
Jika terjadi edema paru akan timbul sianosis selain dyspnea. Selain itu dapat
ditemukan rhinorrhea dan kongesti nasal.

c. Kardiovaskular : diawali dengan rasa kelemahan dan pingsan (fainting) yang


dapat disertai dengan aritmia, gangguan konduksi, dan iskemia miokardial,
palpitasi.

d. Gastrointestinal : nausea, vomitus, diare, kram.

e. Neurologik : sakit kepala (jarang).

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI 6


c
KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c
c

Gejala biasanya mulai dalam 5-30 menit dari waktu setelah antigen
disuntikkan tetapi dapat terjadi dalam beberapa detik. Jika antigen tersebut
ditelan, gejala umumnya muncul dalam 2 jam, walaupun gejala seringkali muncul
lebih cepat. Pada kasus yang jarang, gejala dapat tertunda onsetnya selama
beberapa jam.(2)

Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan : (2)

a. Respiratorius :

1.Angioedema pada lidah dan bibir dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas

2.Edema laring yang dapat bermanifestasi sebagai stridor atau haus akan udara
yang berat.

3.Kehilangan suara, suara nafas yang kasar (hoarseness), dan atau disfagia
dapat terjadi

4.Bronkospasme, edema jalan nafas, dan hipersekresi mukus yang


bermanifestasi menjadi wheezing.

Gbr.4.Anafilaksis merupakan reaksi alergi yang serius.

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI D


c
KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c
c

5.Hipoksia yang dapat mengganggu status mental

b. Kardiovaskular :

1.Takikardia, sebagai kompensasi terhadap kehilangan volume intravaskular.

2.Hipotensi akibat kelemahan kapiler, vasodilatasi, dan hipoksik miokardial.

c. Mukokutan :

1.Kemerahan (flushing) terutamadi pipi. Urtikaria dapat terjadi di seluruh


tubuh. Lesi eritematous, meninggi, sangat gatal, dan ukurannya bervariasi.

2.Angioedema yang melibatkan lapisan dermal kulit dan biasanya tidak gatal
dan nonpitting. Biasanya ditemukan pada laring, bibir, kelopak mata,
tangan, kaki, dan genital. Edema pada laring dapat mematikan oleh karena
obstruksi pernafasan.

d. Gastrointestinal : vomitus, diare, dan distensi abdomen

Pemeriksaan Labolatorium

Peningkatan hematokrit umumnya ditemukan sebagai akibat dari


hemokonsentrasi karena peningkatan permeabilitas vaskuler. Serum tryptase sel
mast biasanya meningkat.(8)

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan syok dimulai dengan tindakan umum untuk memulihkan


perfusi jaringan dan oksigenasi sel. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab
syok. Untuk perfusi jaringan, diperlukan tekanan darah sekurang-kurangnya 70-80
mmHg supaya kebutuhan metabolit dan zat asam jaringan dapat dipenuhi.
Tekanan darah ini dapat dicapai dengan memperhatikan prinsip resusitasi ABC.
Jalan nafas (A) harus bebas, kalau perlu dengan intubasi. Pernafasan (B) harus

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI u


c
KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c
c

terjamin, kalau perlu dengan ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%. Pada
pasien syok yang menggunakan ventilasi mekanis, kebutuhan oksigen dapat
dipenuhi sebesar 20-25%.Defisit volume peredaran darah (C) pada syok
hipovolemik sejati atau hipovolemik relatif ( syok septik dan anafilaktik) dapat
diatasi dengan pemberian cairan intravena dan memperhatikan fungsi jantung.(13)
Adapun tindakan yang dilakukan yaitu : (1)

c Hentikan obat/identifikasi obat yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis


c Torniquet, pasang torniquet di bagian proksimal daerah masuknya obat
atau sengatan hewan longgarkan 1-2 menit tiap 10 menit.
c Posisi, tidurkan dengan posisi Trandelenberg, kaki lebih tinggi dari kepala
(posisi shock) dengan alas keras.
c Bebaskan airway, bila obstruksi intubasi-cricotyrotomi-tracheostomi
c Berikan oksigen, melalui hidung atau mulut 5-10 liter /menit bila tidak bia
persiapkan dari mulut kemulut
c Pasang cathether intra vena (infus) dengan cairan elektrolit seimbang atau
Nacl fisiologis, 0,5-1liter dalam 30 menit (dosis dewasa) monitoring
dengan Tensi dan produksi urine Pertahankan tekanan darah sistole
>100mmHg diberikan 2-3L/m2 luas tubuh /24 jam Bila 100 mmHg 500 cc/
1 Jam
c Bila perlu pasang CoP (Central oenous Pressure)

Medikamentosac c

p cc drenalinc c c
cmlc pMclengancatasccahacsekitarclesicadacenom c
aatc diulangc c c denganc selangc aktuc  c menitc emberianc pc adac
stadiumcterminalc cemberiancdengancdosiscmlcgagalcc cdilarutkancdalamcc
mlcgaramcaalicdiberikanccmlcselamac cmenitc anakc c kgc c

pp cc ihenhidramincpcelanc c cdetikccpMcataucc c mg kgccsamaic  c


mgcdosisctunggalccdaatcdilanjutkanctiaccjamcselamaccjamcbilactetacsesakc
danchiotensiccsegeracrujukc anakccmgc kg cpcmaimalc mgcpcc

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI uu


c
KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c
c

ppp c minohilincbilacadacsasmecbronhuscbericcmg ckgccdilarutkancdalamc c


mlcgaramcaalicatauccpcselamac cmenitcdilanjutkanc c
cmg kg jamcc

p cc ortiosteroidc cmg kgccdilanjutkanccmg kgcselamaccjamcemberianc


selamaccjamc idroortisoncpcbericimetidinc mgcsetelahccmenitcc

Monitoringc c

c bserasic ketatc selamac c jamc c jamc berturutturutc tiac c jamc samaic keadaanc
ungsicmembaikc
c liniscckeadaancumumckesadarancitalcsigncroduksicurinecdanckeluhanc
c arahcc ascdarahc
c Ê c

Kematian dan Autopsi Pada Syok Anafilaktik

Kematian pada syok anafilaktik kebanyakan disebabkan oleh kolapsnya


jantung dan edema laring oleh obat-obatan, makanan, dan gigitan serangga.
Gejala yang timbul pada serangan anafilaksis antara lain pusing, gatal pada kulit,
urtikaria, sesak nafas, wheezing, kesulitan dan kegagalan pernafasan. Pada
kematian karena anafilaksis, munculnya gejala biasanya berlangsung pada 15-20
menit pertama. Saat pasien meninggal sangat dibutuhkan dokumen (medical
record) yang baik tentang perkembangan penyakit pasien mulai dari gejala
terjadinya reaksi anafilaksis sampai pasien meninggal. Kematian biasanya terjadi

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI uÔ


c
KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c
c

dalam waktu 1-2 jam. Beberapa serangga seperti salah satu jenis semut, bisa yang
dihasilkan sangat toksik dan kematian terjadi tanpa berlangsungnya reaksi
anafilaktik jika gigitannya banyak. (5)

Reaksi anafilaksis yang fatal menyababkan terjadinya acute respiratory


distress atau circulatory collapse. Obstruksi pada saluran pernafasan bagian atas
dapat disebabkan oleh edema laring dan pharing. Pada saluran pernafasan bagian
bawah disebabkan oleh bronkospasme dengan kontraksi dari otot-otot
pernafasan, vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Henti jantung
mungkin disebabkan karena terhentinya pernafasan, Efek langsung oleh mediator
kimia pada syok anafilaksis disebabkan oleh hilangnya cairan intravascular oleh
edema dan vasodilatasi.(5)

Dalam satu kepustakaan dituliskan Pumphrey dan Roberts melakukan


autopsi pada 56 kasus kematian syok anafilaksis. Didapatkan 16 kasus disebabkan
oleh alergi makanan karena kesulitan bernafas dengan 13 kasus karena henti nafas.
Sebaliknya, syok tanpa kesulitan bernafas ditemukan pada 9 dari 19 kasus karena
sengitan serangga dan 12 dari 21 kasus karena reaksi iatrogenik.(5)

Pada autopsi, hal-hal yang bisa ditemukan tidak spesifik. Seringkali


didapatkan edema laring, tetapi jarang didapatkan obstruksi komplit dari saluran
pernafasan. Pumphrey dan Roberts melaporkan edema laring dan pharing masing-
masing didapatkan 8% dan 49%. Emfisema yang disebabkan oleh
bronkokonstriksi bisa ditemukan. Kongesti pulmonal dan visceral, edema, dan
perdarahan pulmonal bisa didapatkantetapi tidak spesifik. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Pumphrey dan Roberts, 23dari 56 kematian karena anafilasis tidak
ditemukan kelainan kelainan makroskopik pada autopsi.(5)

Untuk membuat diagnosis adanya reaksi anafilaksis ditentukan adanya


riwayat alergi atau ada yang menyaksikan seseorang meninggal karena sengatan
serangga, makanan dan obat-obatan. Kebanyakan kematian yang berhubungan

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI u·


c
KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c
c

dengan obat-obatanyaitu penggunaan penicillin atau agen iodine-containing


contrast yang digunakan untuk tujuan diagnosis. Petunjuk penggunaan agen low-
osmolar pada radiologi dapat mengurangi jumlah reaksi membahayakan yang bisa
timbul karena agen iodinated contrast.(5)

Pada kematian yang disebabkan oleh gigitan serangga, adanya elevasi dari
venom-spesifik IgE antibody dapat dideteksi pada darah postmortem. Elevasi level
dari IgE spesifik antibody tidak selalu mengindikasikan terjadinya reaksi anafilaktik,
kecuali jika seseorang memang sensitif dengan venom (bisa) tersebut.
Ditemukannya antibodi dapat menjelaskan terjadinya reaksi anafilaksis karena
gigitan serangga. Tidak semua kematian karena reaksi anafilaksis menunjukkan
adanya antibodi yang spesifik dengan serangga yang menggigitnya. Pada beberapa
kasus, cross-reaction dengan antigen pada serangga lainnya yang bisa
menyebabkan kematian karena alergi masih memungkinkan.(5)

Aspek Medikolegal

Reaksi alergi yang bisa timbul tidak sama pada setiap orang, bisa ringan
berupa gatal yang hilang dengan sendirinya, bisa pula berat hingga fatal. Reaksi
alergi terhadap obat muncul tanpa diduga. Seseorang yang tadinya tidak apa-apa
minum Antalgin, suatu ketika gatal sekujur tubuhnya setelah minum antalgin.
Jangka waktu munculnyapun bisa cepat bisa lambat, demikian pula berat
ringannya. Seseorang mungkin langsung syok tak sadarkan diri sesaat setelah
minum antalgin, misalnya.(14) Sementara yang lain hanya gatal, beberapa saat
kemudian hilang gatalnya. Berikut beberapa contoh kasus pasien dengan reaksi
alergi :

c Seorang penderita mendapatkan obat. Beberapa saat kemudian penderita


tersebut datang lagi dengan keluhan gatal setelah minum obat, yang
kemungkinan menandakan reaksi alergi. Pada kasus ini, seorang dokter
wajib memberikan catatan tertulis reaksi alergi obat kepada penderita.

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI uV


c
KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c
c

Tidak cukup hanya mengatakan bahwa si penderita alergi terhadap obat A.


Catatan diberikan kepada penderita disertai pesan agar menyerahkan
catatan alergi tersebut kepada dokter manapun jika sewaktu-waktu sakit.
Selain memberikan catatan riwayat alergi kepada penderita, dokter tersebut
wajib mencatat dalam rekam medik.(14)

c Seorang penderita membawa satu tas berisi obat minum, obat suntik dan
suntikan kecil, disertai surat dari dokter ahli agar penderita diinjeksi obat
secara berkala selama waktu tertentu (kasus penderita TBC berulang).
Dalam surat disebutkan agar penderita ditest (test kulit) terlebih dahulu
menggunakan pengenceran tertentu. Siapa sangka, ketika test sedang
berlangsung (belum sampai tuntas test kulit), tiba-tiba penderita syok
(anafilaktik syok). Tak sadarkan diri, ngorok, nadi tak teraba, napas megap-
megap. Setelah tindakan darurat penanganan anafilaktik syok sesuai
prosedur tetap (protap), penderita dapat diselamatkan. (14)

c Seorang pasien berobat ke dokter kemudian padasaat pasien diterapi


dengan suntikan pasien tiba-tiba kolaps akibat obat suntik yang diberikan
atau yang biasa disebut anafilaktik syok. Dalam hal ini dokter perlu
melawan reaksi tersebut dengan memberikan penanganan berupa
pemberian kortikosteroid atau kalau perlu pemberian adrenalin. Namun
dokter tersebut tidak memberikan obat tersebut karena alasan obat tersebut
tidak ada sehingga pasien tersebut meninggal dunia. Maka dokter tersebut
dapat dipidana karena kealpaan dan kelalaiannya menyebabkan hilangnya
nyawa seseorang.(15)

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI u‰


c
KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c
c

Adapun aspek medikolegal pasien dengan anafilaktik yaitu: (1,2)

c Keterlambatan menganggap/madiagnosis pasien tersebut mengalami


anafilaktik padahal sudah terjadi sinkop dan hipotensi sehingga tidak
diberikan penanganan yang cepat dan tepat.

c Tidak menganamnesa penyakit alergi yang diderita pasien sebelumnya


sebelum terapi diberikan (obat, makanan, atopi)

c Kelalaian memeberikan resep injeksi epinefrin dan penjelasan kepada


pasien tentang penyimpanan dan penggunaannya.

c Kegagalan mendiagnosis penyebab terjadinya anafilaktik

c Tidak mencegah terjadinya reaksi obat pada pasien yang diketahui hampir
atau sensitif dengan melakukan tes terlebih dahulu (cross-reacting drug).

c Lalai memberikan informed consent sebelum melakukan tindakan pada


pasien

c Tidak memberikan penanganan yang tepat (sesuai prosedur penanganan


syok anafilaktik)

c Tidak bersiaga dengan menyediakan emergency kit bila melakukan injeksi.

Akhir-akhir ini tuntutan hukum terhadap dokter dengan dakwaan


melakukan malpraktek makin meningkat dimana-mana. Hal ini menunjukkan
adanya peningkatan kesadaran hukum masyarakat, dimana masyarakat lebih

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI uÚ


c
KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c
c

menyadari akan haknya. Disisi lain para dokter dituntut untuk melaksanakan tugas
dan kewajiban profesinya dengan hati-hati dan penuh rasa tanggung jawab.
Malprektek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat
ilmu pengetahuan dan keterampilannnya untuk untuk mengobati pasien atau atau
orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud
kelalaian adalah kurang hati-hatiatau bisa pula diartikan melakukan tindakan
kedokteran di bawah standar pelayanan medik.(16)

Adapun Hukum/Undang-Undang yang berhubungan dengan kasus-kasus


syok anafilaktik antara lain : (17-19)

©c UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 53


(1) Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
(2) Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
mematuhi
standar profesi dan menghormati hak pasien.
(3) Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pcmbuktian, dapat melakukan
tindakan medisterhadap seseorang dengan memperhatikan
kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan.

©c UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 54


(1) Terhadap tenaga keschatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian
data melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
(2) Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kalalaian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI um


c
KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c
c

©c UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 55


(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian
yang dilakukan tenaga kesehatan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

©c UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 45


(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup :

a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;


b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan


baik secaratertulis maupun lisan.
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung
risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI u6


c
KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c
c

©c UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 46


Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib
membuat rekam medis.
Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi
setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.

©c UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 50


Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai hak :
a.c memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
b.c memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional;
c.c memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.

©c UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 51


Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban :
a.c memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.

©c UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 52

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:


mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
c meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
c menolak tindakan medis; dan
c mendapatkan isi rekam medis.

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI uD


c
KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c
c

©c UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 79


Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi
yang :
b.c Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.

©c KUHP,Pasal 359
Barang siapa karena kesalahan (kealpaaannya) menyebabkan orang lain
mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan
paling lama 1 tahun.

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI Ô


c
KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c
c

DAFTAR PUSTAKA

1. Wahyu Widodo AD, Endradita G, Syok Anafilaktik. [online]. 2008. [cited


2008 May 12]. Available from URL: http://www.Bakornaslkmi.org

2. Dreskin, SC. Anaphylaxis. [online]. 2005. [cited 2008 May 12]. Available from
URL: http://www.emedicine.com

3. Anonymous. Anaphylaxis. [online]. 2008. [cited 2008 May 12]. Available


from URL: http://www.wikipedia.com

4. Schwartz, LB. Systemic Anaphylaxis. In:Goldman L, Ausiello D. Cecil Textbook


of Medicine. Ed. 22. Philadhelpia:Saunders; 2004.

5. DiMaio, oJ. DiMaio D. Forensic Pathology. Ed. 2. Florida: CRC; 2001.

6. Accetta Donald. Allergic reaction. [online]. 2007.[cited 2008 May 12].


Available from URL: http://www.about.com

7. Bongard, FS. Sue, DY. Current Critical Care Diagnosis & Treatment. Ed. 2.
United States of America: McGraw-Hill; 2003.

8. McHugh, DF. Anaphylaxis and Acute Alergic Reactions. In: Ma, JO. Cline,
DM. Emergency Medicine Just the Facts. Ed. 2.United States of America:
McGraw-Hill; 2004.

9. Castells M, Horan RF, Sheffer Al. Anaphylaxis. In. Branch, WT. Office Practice
of Medicine. Ed.4. Philadelpia: Sauders. 1994.

10. Baratawidjaja KG. Imunologi Dasar. Ed. 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.2004

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI Ôu


c
KEMATIAN AKIBAT ANAPHYLACTIC SHOCK c
c

11. Solomon WR. Gangguan Alergi Biasa (Anafilaksis dan Penyagit Atopik). In:
Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Ed. 4. Jakarta: EGC.1995
12. Accetta Donald. Anaphylaxis. [online]. 2007.[cited 2008 May 12]. Available
from URL: http://www.MedlinePlus.com

13. Syamsuhidjat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. Jakarta:EGC.2005

14.Admin. Catatan Alergi Obat. [online]. 2007.[cited 2008 May 12]. Available
from URL: http://www.Kesehatanonline.com

15. Anonymous. Peran Perlindungan Hukum Terhadap Dokter. [online]. [cited


2008 May 12]. Available from URL: http://www.Klinikmedis.com

16. Anonymous. Malpraktek Medik (dikutip dari buku etika kedokteran dan
hokum kesehatan M yusuf hanafiah). [online].2007. [cited 2008 May 12].
Available from URL: http://www.Goresan Jiwamu.com

17. UU No 23. Tentang Kesehatan


18. UU No 29 tentang Praktik Kedokteran Tahun 2004
19. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

c RSUD. DR. RM. DJOELHAM BINJAI ÔÔ


c

You might also like