You are on page 1of 10

AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL

http://ppraudlatulmubtadiin.wordpress.com/2009/11/14/agama-dan-kesehatan-mental/
Manusia dan Agama

Psikologi modern tampaknya memberi porsi yang khusus bagi perilaku keagamaan,
walaupun pendekatan psikologis yang digunakan terbatas pada pengalaman empiris.
Psikologi agama merupakan salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli psikologi
terhadap peran agama dalam kehidupan kejiwaan manusia.

Pendapat yang paling ekstrem pun hal itu masih menunjukkan betapa agama sudah dinilai
sebagai bagian dari kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala
psikologi. Agama menurut Freud tampak dalam perilaku manusia sebagai simbolisasi
dari kebencian terhadap Ayah yang direfleksi dalam bentuk tasa takut kepada Tuhan.
Secara psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari kepada agama karena rasa
ketidakberdayaannya menghadapi bencana. Dengan demikian, segala bentuk perilaku
keagamaan merupakan ciptaan manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya terhindar
dari bahaya dan dapat memberikan rasa aman.

Lain halnya dengan penganut Behaviorisme. Walaupun dalam pembahasannya, Skinner,


salah seorang tokoh Behaviorisme tidak menyinggung perilaku keagamaan secara
khusus, namun tampaknya sama sekali tak dapat menghindarkan diri dari keterkaitannya
dengan kenyataan bahwa agama memiliki institusi dalam kehidupan masyarakat. Dalam
hubungan ini pula Skinner melihat agama sebagai isme social yang lahir dari adanya
factor penguat. Menurutnya kegiatan keagamaan menjadi factor penguat sebagai perilaku
yang meredakan ketegangan.

Sejalan dengan prinsip teorinya, bahwa Behaviorisme memandang perilaku manusia itu
lahir karena adanya stimulant (rangsangan dari luar dirinya) teori Sarbond (gabungan dari
stimulant dan respon) yang dikemukakan oleh Behaviorisme tampaknya memang kurang
memberi tempat bagi kajian kejiwaan nonfisik. Namun, dalam masalah perilaku
keagamaan, sebagai sebuah realitas dalam kehidupan manusia tak mampu ditampik oleh
Behaviorisme. Perilaku keagamaan menurut pandangan Behaviorisme erat kaitannya
dengan prinsip reinforcement (reward and punishment). Manusia berperilaku agama
karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah. Menghindarkan hukuman
(siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala).

Memang aliran Behaviorisme melihat perilaku bekerja menurut asas mekanistik yang
bersifat serba fisik. Karena itu, para ahli psikologi yang kurang sependapat dengan
pandangan Behaviorisme yang dipelopori oleh E.L. Thorndike, Watso maupun Skinner
menyindir bahwa aliran ini merupakan aliran psikologi yang tidak berjiwa. Mereka
menganggap bahwa perilaku manusia bersifat kondisional, jadi dapat dibentuk dan
diarahkan menurut situasi yang diberikan kepada manusia.

Barang kali yang lebih jelas membahas perilaku keagamaan adalah psikologi humanistic.
Menurut Abraham Maslow, salah seorang pemuka psikologi humanistic yang berusaha
memahami esoteric (rohani) manusia. Maslow menyatakan bahwa kebutuhan manusia
memliki kebutuhan yang bertingkat dari yang paling dasar hingga kebutuhan yang paling
puncak. Pertama, kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan dasar untuk hidup seperti: makan,
minum, istirahat, dan sebagainya. Kedua, kebutuhan akan rasa aman yang mendorong
orang agar bebas dari rasa takut dan cemas. Ketiga, kebutuhan akan kasih sayang, antara
lain berupa pemenuhan hubungan antarmanusia. Keempat, kebutuhan akan harga diri.
Kebutuhan ini dimanifestasikan manusia dalam bentuk aktualisasi diri antara lain dengan
berbuat sesuatu yang berguna.

Pengalaman puncak yang transeden digambarkan sebagai kondisi yang sehat super
normal (normal super healty) dan sehat super-super (super-super healty), yang oleh
Maslow disebut peakers (transcenderr) dan non-peakers (non-transcenders). Peakers
memiliki pengalaman-pengalaman puncak yang memberikan wawasan yang jelas
tentang diri mereka dan dunia mereka. kelompok ini cenderung menjadi lebih mistik,
puitis, dan saleh.

Teori yang dikemukakan Maslow yang disebutnya sebagai pribadi yang lepas dari
realitas fisik dan menyatu dengan kekuatan transcendental ini dinilainya sebagai tingkat
dari kesempurnaan manusia sebagai pribadi (self). Gambaran tentang kesempurnaan
tingkat kepribadian manusia ini agak mirip dengan konsep insan al-kamil, pribadi
manusia sempurna yang kembali pada fitrah kesuciannya. Fitrah ini menurut M. Quraish
Shihab memiliki ciri-ciri berupa kecenderungan manusia untuk menyenangi yang benar,
baik, indah.

Pendekatan berikutnya adalah yang dikemukakan Victor Frankle pendiri aliran


logoterapi. menurut Frankle, eksistensi manusia ditandai oleh tiga factor, yakni
spirituality (keruhanian), freedom (kebebasan), dan responsibility (tanggung jawab).
Memang Frankle menggunakan istilah spirituality tidak dihubungkan dengan
keberagamaan melainkan semata-mata dikaitkan dengan penghayatan maknawi manusia
akibat adanya kemampuan transedensi terhadap dirinya lingkungannya.

Melalui teori relativisme, Einstein memiliki pengalaman batin yang unik. Menurut Oemar
Hasem dalam bukunya Mengapa Einstein ber-Tuhan, dikemukakan secara garis besarnya
sebagai berikut:

“Saat mengadakan percobaan di laboratorium, Einstein membakar batu bara seberat satu
kilogram. sisa pembakaran berupa abu dan asap ia tampung dalam sebuah tabung kaca.
ternyata beratnya menyusut satu gram.

Setiap kali ia melakukan hal yang serupa, senantiasa ditemuinya kasus yang sama.
Einstein mula-mula menjadi heran, ke mana zat yang satu gram itu perginya. padahal
sudah demikian rapinya ia menjaga agar sisa pembakaran itu tidak menguap. akhirnya, ia
menemukan jawabannya bahwa berat yang segram itu berubah menjadi energi. jadi,
setiap terjadi pembakaran satu kilogram batu bara diperoleh energi sebesar satu gram.

Akhirnya, Einstein berkasimpulan bahwa benda-benda langit itu pasti ada yang
menggerakannya. ia menyebutnya sebagai suatu kekuatan Yang Maha Dahsyat. Itulah
Tuhan, cetus Einstein.

Dengan menggunakan pendekatan psikologi agama, barangkali kedua kasus tersebut


dapat di golongkan ke dalam rasa kagum yang oleh Rudloff Otto timbul dari muncul
presaan yang bersumber dari adanya The Wolly Others dan yang menimbulkan perasaan
getaran misterius (mysterium tremendum) dalam hati Einstein.

Agama tampaknya memang tampak tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Pengingkaran manusia terhadap agama agaknya dikarenakan factor-faktor tertentu baik
yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Manusia ternyata
memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada Zat yang gaib.

Agama sebagai fitrah manusia telah diinformasikan oleh al-Qur’an:

” ‫فأقم وجهك للّدين حنيفا فطرت ال التي فطر الناس عليها ل تبديل لخلق ال ذلك الّدين القّيم ولكن أكثر الناس ل‬
30:‫)يعلمون ” )الروم‬

artinya:

maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); tetaplah atas fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (QS
30:30).

Dalam al-Qur’an dan Terjemahnya (Departemen Agama) dijelaskan bahwa fitrah Allah.
Maksudnya ciptaan Allah. Manusia dicipatakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu
agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu wajar. Mereka
tidak beragama tauhid itu hanya lantaran pengaruh lingkungan.

Muhammad As-Shobuny, mentafsirkannya menjadi sikap ikhlas dan tunduk kepada Islam
sebagai agama Allah dan menjadikan kecenderungan untuk tunduk kepada agama yang
benar, yaitu Islam. dan Allah menjadikan pada diri manusia untuk tunduk pada fitrah
tauhid. dalam berbagai sumber, psikologi agama menurut pendekatan Islam telah
mengungkapkan hubungan manusia dengan agama.

Agama dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan Mental

Kesehatan mental (mental bygiene) adalah ilmu yang meliputi system tentang prinsip-
prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan
ruhani.

Dalam ilmu kedokteran dikenal istilah psikosomatik (kejiwabadanan). Dimaksudkan


dengan istilah tersebut adalah untuk menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang erat
antara jiwa dan badan. istilah “makan hati berulam jantung” merupakan cerminan tentang
adanya hubungan antara jiwa dan badan sebagai hubungan timbal balik, jiwa sehat badan
segar dan badan sehat jiwa normal.

Sejumlah kasus yang menunjukkan adanya hubungan antara factor keyakinan dan
kesehatan jiwa atau mental tampaknya sudah disadari para ilmuwan beberapa abad yang
lalu. misalnya, pernyataan Carel Gustay Jung “diantara pasien saya yang setengah baya,
tidak seorang pun yang penyebab penyakit kejiwaannya tidak dilatarbelakangi oleh aspek
agama”. Prof Dr. Muhammad Mahmud Abd Al-Qadir lebih jauh membahas hubungan
antara agama dan kesehatan mental melalui pendekatan teori biokimia. menurutnya, di
dalam tubuh manusia terdapat sembilan kelenjar hormon yang memproduksi
persenyawaan-persenyawaan kimia yang mempunyai pengarih biokimia tertentu,
disalurkan lewat pembuluh darah dan selanjutnya memberi pengaruh kepada eksistensi
dan berbagai-bagai kegiatan tubuh.

Lebih jauh Muhammad Mahmud Abd Al-Qadir berkesimpulan bahwa segala bentuk
gejala emosi seperti bahagia, rasa dendam, rasa marah, takut, berani, pengecut yang ada
dalam diri manusia adalah akibat dari pengaruh persenyawaan-persenyawaan kimia
hormon, di samping persenyawaan lainnya. tetapi dalam kenyataannya, kehidupan akal
dan emosi manusia senantiasa berubah dari waktu ke waktu. karena itu, selalu terjadi
perubahan-perubahan kecil produksi hormon-hormon yang merupakan unsur dasar dari
keharmonisan kesadaran dan rasa hati manusia, tepatnya perasaannya.

Jika seseorang berada dalam keadaan normal, seimbang hormon dan kimiawinya, maka
ia akan selalu berada dalam keadaan aman. Perubahan yang terjadi dalam kejiwaan itu
disebut oleh Abd Al-Qadir sebagai spectrum hidup. Penemuan Muhammad mahmud Abd
Al-Qadir seorang ulama dan ahli biokimia ini, setidak-tidaknya memberi bukti akan
adanya hubungan antara keyakinan agama dengan kesehatan jiwa. Pengobatan penyakit
batin melalui bantuan agama telah banyak dipraktikkan orang. Dengan adanya gerakan
Christian Science, kenyataan sepeti itu diperkuat pengakuan ilmiah pula. Dalam gerakan
ini dilakukan pengobatan pasien melalui kerja sama antara dokter, psikiater, dan ahli
agama (pendeta). Di sini tampak nilai manfaat dari ilmu jiwa agama. Barangkali
hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama
sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang
terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang itu diduga akan
memberi sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif. Maka,
dalam kondisi yang serupa itu manusia berada dalam keadaan tenang dan normal, yang
oleh Muhammad Mahmud Abd Al-Qadir, berada dalam keseimbangan persenyawaan
kimia dan hormon tubuh. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada
kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kajadiannya, sehat jasmani, dan ruhani.

Salah satu cabang ilmu jiwa, yang tergolong dalam psikologi humanistika dikenal
logoterapi (logos berate makna dan juga ruhani). Logoterapi dilandasi falsafah hidup dan
wawsan mengenai manusia yang mengakui adanya dimensi social pada kehidupan
manusia. kemudian, logoterapi menitikberatkan pada pemahaman bahwa dambaan utama
manusia yang asasi atau motif dasar manusia adalah hasrat untuk hidup bermakna.
Diantara hasrat itu terungkap dalam keinginan manusia untuk memiliki kebebasan dalam
menemukan makna hidup. Kebebasan seperti itu dilakukannya antara lain melalui karya-
karya yang diciptakannya, hal-hal yang dialami dan dihayati (termasuk agama dan cinta
kasih) atau dalam sikap atas keadaan dan penderitaan yang tak mungkin dielakkan.
Adapun makna hidup adalah hal-hal yang memberikan nilai khusus bagi seseorang, yang
bila dipenuhi akan menjadikan hidupnya berharga dan akhirnya akan menimbulkan
penghayatan bahagia. Dalam logoterapi dikenal dua peringkat makna hidup, yaitu makna
hidup pribadi dan makna hidup paripurna.

Maka hidup paripurna bersifat mutlak dam universal, serta dapat saja dijadikan landasan
dan sumber makna hidup pribadi. Bagi mereka yang tidak atau kurang penghayatannya
terhadap agama, mungkin saja pandangan falsafah atau ideology tertentu dianggap
memiliki nilai-nilai universal dan paripurna. Sedangkan bagi penganut agama, maka
Tuhan merupakan sumber nilai Yang Maha Sempurna dengan agama sebagai perwujudan
tuntutan-Nya. Di sinilah barangkali letak peranan agama dalam membina kesehatan
mental, berdasarkan pendekatan logoterapi. Karena bagaimanapun, suatu ketika dalam
kondisi yang berada dalam keadaan tanpa daya, manusia akan kehilangan pegangan dan
bersikap pasrah. Dalam kondisi yang serupa ini ajaran agama paling tidak akan
membangkitkan makna dalam hidupnya. Makna hidup pribadi menurut logoterapi hanya
dapat dan harus ditemukan sendiri.

Selanjutnya, logoterapi menunjukkan tiga bidang kegiatan yang secara potensial memberi
peluang kepada seseorang untuk menemukan makna hidup bagi dirinya sendiri. ketiga itu
adalah:

1. Kegiatan berkarya, bekerja, dan mencipta, serta melaksanakan dengan sebaik-


baiknya tugas dan kewajiban masing-masing.
2. Keyakinan dan penghayatan atas nilai-nilai tertentu (kebenaran, keindahan, kebaikan,
keimanan,n dan lainnya), dan
3. Sikap tepat yang diambil dalam keadaan dan penderitaan yang tidak terelakkan.

Dalam menghadapi sikap yang tak terhidarkan lagi pada kondisi yang ketiga, menurut
logoterapi, maka ibadah merupakan salah-satu cara yang dapat digunakan untuk
membuka pandangan seseorang akan nilai-nilai potensial dan makna hidup yang terdapat
dalam diri dan sekitarnya.

Terapi Keagamaan

Orang yang tidak merasa tenang, aman serta tenteram dalam hatinya adalah orang yang
sakit ruhani atau mentalnya, tulis H. Carl Witherington. Para ahli psikiatri mengakui
bahwa setiap manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu yang diperlakukan
untuk melangsungkan proses kehidupan secara lancar. Kebutuhan dapat berupa
kebutuhan jasmani dan berupa kebutuhan ruhani maupun kebutuhan social. Bila
kebutuhan tidak terpenuhi, maka manusia akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan
kenyataan yang dihadapinya. Kemampuan untuk menyesuaikan diri ini akan
mengembalikan ke kondisi semula, hingga proses kehidupan berjalan lancar seperti apa
adanya. Dalam kondisi seperti itu akan pertentangan (konflik) dalam batin. Pertentangan
ini akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan ruhani, yang dalam
kesehatan mental disebut kekusutan ruhani. kekusutan ruhani seperti ini disebut
kekusutan fungsional.

1. 1. Pengertian Terapi

ialah usaha penaggulangan suatu penyakit atau gejalah yang ada dalam diri makhluk
hidup.

1. 2. Bentuk-Bentuk Terapi

terapi bermacam bentuk ada yang secara lisan yaitu dengan diberi norma-norma agama,
ada pula berbentuk seperti pijat, dan operasi.

Bentuk kakusutan fungsional ini bertingkat. yaitu psychopath, psychoneurose, dan


psikotis. Psychoneurose ditandai bahwa seorang tidak mengikuti tuntutan-tuntutan
masyarakat. pengidap psychoneurose menunjukkan perilaku menyimpang. Sedangkan,
penderita psikotis dinilai mengalami kekusutan mental yang berbahaya sehingga
memerlukan perawatan khusus.

Usaha penanggulangan kekusutan ruhani atau mental ini sebenarnya dapat dilakukan
sejak dini oleh yang bersangkutan. dengan mencari cara yang tepat untuk menyesuaikan
diri dengan memilih norma-norma moral, maka kakusutan mental akan terselesaikan.

Penyelesaian dengan memilih penyesuaian diri dengan norma-norma moral yang luhur
seperti bekerja dengan jujur, resignasi, sublimasi, kompensasi. dalam konteks ini terlihat
hubungan agama sebagai terapi kekusutan mental. Sebab, nilai-nilai luhur termuat dalam
ajaran agama bagaimanapun dapat digunakan untuk penyesuaian dan pengendalian diri,
hingga terhindar dari konflik batin.

Pendekatan terapi keagamaan ini dapat dirujuk dari informasi al-Qur’an sendiri sebagai
kitab suci. Diantara konsep terapi gangguan mental ini adalah pernyataan Allah: dalam
surat Yunus dan surat Isra’.

” 57:‫)يأيها الناس قد جاءتكم موعظة من ربكم وشفاء لما في الصدور وهدى ورحمة للعالمين ” )يونس‬.

” 82:‫)وننزل من القرءان ماهو شفاء ورحمة للمؤمنين ول يزيد الظالمين إل خسارا ” )السراء‬.

artinya:

Wahai manusia, sesungguhnya sudah datang dari Tuhanmu al-Qur’an yang mengandung
pengajaran, penawar bagi penyakit batin (jiwa), tuntunan serta rahmat bagi orang-orang
yang beriman. (QS Yunus: 57).

Dan kami turunkan al-Qur’an yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman. (QS Isra’: 82).
Kesehatan mental adalah suatu kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan
tenang, aman, dan tenteram. Upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat dilakukan
antara lain melalui penyesuaian diri secara resignasi (penyerahan diri sepenuhnya kepada
Tuhan). Dalam al-Qur’an petunjuk mengenai penyerahan diri cukup banyak.

1. B. Musibah

Musibah merupakan pengalaman yang dirasakan tidak menyenangkan karena dianggap


merugikan oleh korban yang terkena musibah. Berdasarkan asal katanya, musibah berarti
lemparan yang kamudian digunakan dalam makna bahaya, celaka, atau bencana dan bala.
menurut Al-Qurtubi, musibah adalah apa saja yang menyakiti dan menimpa pada diri
seorang, atau sesuatu yang berbahaya dan menyusahkan manusia, betapapun kacilnya.
Musibah dapat menimbulkan penderitaan maupun kesengsaraan bagi korbannya.
Terkadang berlangsung dalam waktu yang panjang, atau bahkan seumur hidup. Oleh
karena itu, setiap orang berusaha untuk menghindar diri dari kemungkinan tertimpa
musibah.

1. 1. Sebab terjadinya Musibah

Penyebab terjadinya musibah bermacam-macam. ada yang disebabkan oleh perbuatan


manusia secara langsung, ataupun penglolaan alam yang keliru, serta yang murni
disebabkan oleh alam.

1. 2. Macam-Macam Musibah

Dari pendekatan agama, musibah dapat dibagi menjadi dua macam.

Pertama, musibah yang terjadi sebagai akibat dari ulah tangan manusia. Karena kesalahan
yang dilakukannya, manusia harus menanggung akibat buruk dari perbuatannya sendiri.
Musibah ini dikenal sebagai hukum karma, yakni sebagai “pembalasan”. Kemudian yang

Kedua, musibah sebagai ujian dari Tuhan. Musibah ini sama sekali tidak ada
hubungannya dengan perbuatan keliru manusia. Betapapun baik dan bermanfaatnya
aktivitas yang dilakukan manusia, serta taatnya mereka menjalankan perintah Tuhan,
musibah yang seperti ini bakal mereka alami juga. Oleh karena itu, musibah ini sering
dihubung-hubungkan dengan takdir (ketentuan Tuhan).

Erich Fromm, mencoba menganalisis melalui pendekatan psikologi. Menurutnya derita


yang dialami korban musibah disebabkan adanya rasa kedekatan. Seseorang yang merasa
dekat dengan sesuatu, akan merasa kehilangan bila berpisah dengan sesuatu atau orang
yang ia merasa dekat dengannya. rasa kedekatan yang mendalam, berubah menjadi rasa
cinta. Kesedihan dan derita yang dirasakan seseorang, sebanding dengan tingkat
kecintaannya kepada sesuatu. Semakin tinggi dan mendalam rasa cintanya, maka akan
semakin berat derita yang dialami, bila seseorang kahilangan yang ia cintai itu.

Sebaliknya, dalam pendekatan keagamaan, kesedihan yang ditimbulkan oleh musibah


terkait dengan rasa memiliki. Terkadang secara tak sadar, manusia menganggap, bahwa
segala yang ia miliki, sepenuhnya diperoleh dari hasil kerja kerasnya. Adakalanya pula
perasaan memiliki ini mencakup kawasan yang lebih luas. Tidak hanya sekadar
kepemilikan bendawi, tetapi juga pribadi-pribadi tertentu. Suami terhadap Istri dan
sebaliknya, atau orang tua terhadap anak dan anak juga terhadap orang tuanya. Saat
ditimpa musibah, manusia terpaksa harus kahilangan sebagian atau seluruh yang ia
miliki. Makin besar nilai kepemilikan yang hilang, akan semakin berat derita yang
dirasakannya. Musibah memang membawa derita bagi korbannya. Derita fisik maupun
batin. berdasarkan pendekatan psikosomatik, sebenarnya derita fisik dan derit batin tidak
dapat dipisahkan. Keduanya akan saling mempengaruhi. Namun dalam kenyataannya,
derita batin lebih mendominasi karena ia langsung berhubungan dengan perasaan.

Menurut pendekatan psikologi agama, sebenarnya derita yang dialami oleh korban
musibah terkait dengan tingkat keberagamaan. Bagi mereka yang memiliki keyakinan
yang mendalam terhadap nilai-nilai ajaran agama, bagaimanapun akan lebih mudah dan
cepat menguasai gejolak batinnya. Agama menjadi pilihan dan rujukan untuk mengatasi
konflik yang terjadi pada dirinya. Di kala musibah manimbulkan rasa kehilangan dari apa
yang dimilikinya selama ini, hatinya akan dibimbing oleh nilai-nilai yang terkandung
dalam ajaran agamanya. Manusia pada dasarnya memang bukan pemilik mutlak. Apa
saja yang ia miliki, termasuk tubuh dan nyawa, hakikatnya adalah kepunyaan Allah.
Sebagai pemilik mutlak, Tuhan menganugrahkan kepada manusia nikmat-Nya berupa
kehidupan ataupun kekayaan. Statusnya hanya sebagai titipan amanah. Dalam menjalani
kehidupannya manusia senantiasa berada dalam sebuah arena ujian yang sarat dengan
berbagai cobaan.

Salah satu fungsi agama dalam kehidupan manusia, menurut Elizabeth K. Nottingham,
adalah sebagai penyelamat. Dalam kondisi ketidakberdayaan, secara psikologis nilai-nilai
ajaran agama dapat membantu meneteramkan goncangan batin. Dengan kembali kepada
tuntunan agama, korban berusaha menyadarkan dirinya, bahwa musibah merupakan
resiko yang harus dihadapi dalam menjalani kehidupan lebih dari itu ia menjadi sadar
bahwa ia bukan pemilik mutlak dari segala yang menjadi miliknya. Keluarga, kerabat,
bahkan dirinya adalah milik sang pencipta. Semua miliknya hanyalah titipan yang
sewaktu-waktu akan diambil oleh sang pemilik mutlak.

Ditengah-tengah kegoncangan batin korban dapat pula menelusuri hikmah atau nilai-nilai
positif yang terkandung didalamnya. Apakah musibah yang dialaminya sebagai balasan
(I’tibar) ataukah ujian (ikhtibar). Bila derita yang dialaminya merupakan balasan dari
perbuatan yang pernah dilakukannya, maka musibah akan menyadarkannya akan
kesalahan masa lalu. Tak diragukan lagi, sebagian besar musibah dan bencana itu terjadi
akibat ulah manusia sendiri. Al-Qur’an menyatakan: “Dan apa saja yang usibah yang
menimpa kamu maka adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri.” (Mubsin Qiraati,
2001:93) Tuntunan ini, setidaknya akan membawanya kepada kesadaran untuk
memperbaiki diri.

Sebaliknya bila deritanya dianggapnya sebagai ujian, maka ia akan berusaha untuk
bersabar. Menerima dengan sabar dan tulus,hingga derita yang berat akan terasa ringan.
Perasaan batinnya diredakan oleh keyakinan, bahwa musibah yang dialaminya
merupakan bagian dari ketentuan dan takdir dari Tuhan. Keyakinan ini akan
menghilangkan beban batin yang menghempit perasaan di kala mengalami musibah.
Dalam suasana perasaaan seperti itu, agama berfungsi sebagai sublimatif. Derita dan
musibah yang dialami disublimasikan ke nilai-nilai luhur yang sejalan dengan ajaran
agama. Sublimasi akan menghilangkan prasangka negatif ka sikap positif. Mengalihkan
ungkapan batin: “ Wahai Tuhan, jika Engkau adalah Dzat Yang Maha Adil, lalu mengapa
musibah dan bencana ini menimpa kami?’ menjadi: “Wahai Tuhan, semua yang terjadi
adalah karena takdir-Mu.”

Secara etimologis, takdir berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran. Allah telah
memberikan kadar/ukuran/batas tertantu dalam diri, sifat atau kemampuan maksimal
makhluk-Nya. Harun Yahya menyatakan, bahwa takdir merupakan pengetahuan
sempurna Allah tentang peristiwa masa lalu dan masa yang akan datang. Allah tidak
dibatasi oleh waktu ataupun ruang, karena Dia yang menciptakan semua itu. Masa lalu,
masa depan, dan masa kini, semuanya adalah sama saja bagi Allah; bagi-Nya segala
sesuatu telah terjadi dan berakhir. Takdir adalah ketentuan Allah, dan pasti terjadi.

Dalam menghadapi musibah, orang-orang memiliki keyakinan agama terlihat lebih tabah.
Mereka lebih mudah menetralisasi kegoncangan dan konflik yang terjadi dalam batinnya.
Keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan dijadikan sebagai pilihan tempat berlindung
atau penyalur derita yang dirasakan. dalam keadaan yang demikian, Tuhan dianggap
sebagai satu-satunya “penolong” atau “juru selamat” yang mampu meredam penderitaan
yang mereka alami.

Sebaliknya orang-orang yang memiliki tingkat keyakinan agama yang kurang, ataupun
tidak memiliki keyakinan agama sama sekali, terkesan sulit menetralisasi kegoncangan
jiwanya. Sulit menemukan jalan keluar, mudah gelap mata, dan akhirnya mengambil
jalan pintas. Tak jarang korban yang merasa begitu terhempit oleh derita itu mangakhiri
hidupnya dengan bunuh diri. Kemampuan menahan derita dalam menghadapi masalah
musibah, tampaknya tidak ada hubungan dengan latar belakang pendidikan.

Keyakinan terhadap tuhan, akan memberikan rasa damai dalam batin. Kedamaian dalam
keselamatan merupakan bagian dari insting mempertahankan diri yang ada dalam diri
manusia. Oleh karena itu kembali kepada Tuhan dengan memohon perlindungan,
merupakan saluran yang sejalan dengan dorongan instingtif manusia. Kecenderungan
terhadap pertolongan ini tersirat dalam do’a. Menurut William James, seluruh do’a dalam
agama memuat kalimat yang berisi permohonan perlindungan kepada Tuhan. Demikian
pula mantera-mantera yang ditemui di lingkungan masyarakat primitif, juga tak lepas dari
kecenderungan serupa, yakni kepada sesuatu yang dianggap sebagai “ penguasa alam”,
atau yang menentukan nasib manusia.
Daftar Pustaka

Jalaluddin, Prof, Dr, H, Psikologi Agama, Bandung, Rajawali.

Ibnu Sina, Qanun At-Thib, Beirut, Dar Al-Fikr. 1988

You might also like