Professional Documents
Culture Documents
I. Pendahuluan
Bahan makanan, selain merupakan sumber gizi bagi manusia, juga merupakan
sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan
pangan dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan
pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya simpannya. Selain itu pertumbuham
mikroorganisme dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau
kimia yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikomsumsi.
Kejadian ini biasanya terjadi pada pembusukan bahan pangan.
Bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara atau substrat untuk pertumbuhan
mikroorganisme patogenik dan organisme lain penyebab penyakit. Penyakit menular
yang cukup berbahaya seperti tifus, kolera, disentri, atau TBC, mudah tersebar melalui
bahan makanan.
Gangguan-gangguan kesehatan, khususnya gangguan perut akibat makanan
disebabkan, antara lain oleh kebanyakan makan, alergi, kekurangan zat gizi, keracunan
langsung oleh bahan-bahan kimia, tanaman atau hewan beracun; toksintoksin yang
dihasilkan bakteri; mengkomsumsi pangan yan mengandung parasit-parasit hewan dan
mikroorganisme. Gangguan-gangguan ini sering dikelompokkan menjadi satu karena
memiliki gejala yang hampir sama atau sering tertukar dalam penentuan penyebabnya.
Secara umum, istilah keracunan makanan yang sering digunakan untuk menyebut
gangguan yang disebabkan oleh mikroorganisme., mencakup gangguan-gangguan yang
diakibatkan termakannya toksin yang dihasilkan organisme-organisme tertentu dan
gangguan-gangguan akibat terinfeksi organisme penghasil toksin. Toksin-toksin dapat
ditemukan secara alami pada beberapa tumbuhan dan hewan atau suatu produk
metabolit toksik yang dihasilkan suatu metabolisme.
Dengan demikian, intoksikasi pangan adalah gangguan akibat mengkonsumsi
toksin dari bakteri yang telah terbentuk dalam makanan, sedangkan infeksi pangan
disebabkan masuknya bakteri ke dalam tubuh melalui makanan yang telah
terkontaminasi dan sebagai akibat reaksi tubuh terhadap bakteri atau hasil-hasil
metabolismenya.
II. Mikrobiologi Susu Olahan
Susu merupakan minuman sumber protein yang diperoleh dari hasil pemerahan sapi
atau hewan menyusui lainnya, yang dapat langsung diminum atau dapat digunakan
sebagai bahan tambahan dalam pembuatan makanan yang aman dan sehat. Susu
merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroba sehingga apabila
penanganannya kurang baik dapat tercemar mikroba yang dapat menimbulkan penyakit
yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Susu yang baik apabila tidak mengandung
mikroba patogen (Hadiwiyoto, 1983).
Susu dapat tercemar mikroba karena beberapa faktor, antara lain (1) sapi telah
terinfeksi oleh Brucella, Micobacterium bovis, Coxiella burnetii, (2) sapi telah terinfeksi
oleh staphylococci baik secara langsung maupun tidak langsung dari manusia yang
memerah dan (3) susu dapat terkontaminasi oleh S. typhi, C. diphtheriae atau S.
pyogenes setelah diperah (Riemann dan Bryan, 1979).
Susu merupakan bahan pangan yang berasal dari sekresi kelenjar ambing pada
hewan mamalia seperti sapi, kambing, kerbau, dan kuda. Susu mengandung protein,
lemak, laktosa, mineral, vitamin, dan enzim-enzim (Lampert 1980). Susu sapi yang
berasal dari sapi yang sehat dapat tercemar mikroba nonpatogen yang khas segera
setelah diperah. Pencemaran juga dapat berasal dari sapi, peralatan pemerahan, ruang
penyimpanan yang kurang bersih, debu, udara, lalat dan penanganan oleh manusia (Volk
dan Wheeler 1990). Untuk dapat dikonsumsi, susu harus memenuhi persyaratan
keamanan pangan karena susu mudah terkontaminasi mikroba (bakteri, kapang, dan
khamir), baik patogen maupun nonpatogen dari lingkungan (peralatan pemerahan,
operator, dan ternak), residu pestisida, logam berat dan aflatoksin dari pakan serta residu
antibiotik saat pengobatan penyakit pada ternak. Kandungan mikroba yang tinggi
menyebabkan susu cepat rusak sehingga Industri Pengolahan Susu (IPS) kadangkadang
tidak dapat menerima atau membeli susu dari peternak. Akibatnya, sebagian besar IPS
menggunakan bahan dasar susu impor.
Pertumbuhan mikroba dalam susu dapat menurunkan mutu dan keamanan pangan
susu, yang ditandai oleh perubahan rasa, aroma, warna, konsistensi, dan penampakan.
Oleh karena itu, susu segar perlu mendapat penanganan dengan benar, antara lain
pemanasan dengan suhu dan waktu tertentu (pasteurisasi) untuk membunuh mikroba
yang ada. Apabila tidak tersedia pendingin, setelah diperah susu dapat diberi senyawa
thiosianat dan hidrogen peroksida untuk memaksimalkan kerja laktoperoksidase (enzim
dalam susu yang bersifat bakteriostatik). Namun, penggunaan senyawa tersebut masih
dikaji terutama efektivitas dan residunya (Thahir et al. 2005).
Mikroba patogen yang umum mencemari susu adalah E. coli. Standar Nasional
Indonesia tahun 2000 mensyaratkan bakteri E. coli tidak terdapat dalam susu dan produk
olahannya. Bakteri E. coli dalam air susu maupun produk olahannya dapat menyebabkan
diare pada manusia bila dikonsumsi. Beberapa bakteri patogen yang umum mencemari
susu adalah Brucella sp., Bacillus cereus, Listeria monocytogenes, Campylobacter sp.,
Staphylococcus aureus, dan Salmonella sp. (Adams dan Motarjemi 1999). Menurut
Thahir et al. (2005), bahan dasar susu pasteurisasi pada beberapa produsen susu di Jawa
Barat mengandung total mikroba 104−106 CFU/g susu, namun proses pasteurisasi dapat
menurunkan kandungan mikroba hingga 0−103 CFU/g susu. Standar Nasional Indonesia
(SNI 01- 6366-2000) mensyaratkan ambang batas cemaran mikroba yang diperbolehkan
dalam susu adalah 3 x 104 CFU/g sehingga susu pasteurisasi yang dihasilkan oleh
produsen susu di Jawa Barat aman dikonsumsi. Proses pengolahan susu memungkinkan
terjadinya cemaran mikroba pada produk olahannya. Syarat mutu produk olahan susu
seperti keju dan susu bubuk ditetapkan dalam SNI 01-2980-1992 dan SNI 01-3775-
1995.
b. Escherichia coli
Escherechia coli
Bakteri ini secara normal (komensal) terdapat pada saluran usus besar/kecil
anak-anak dan orang dewasa sehat dan jumlahnya dapat mencapai 109 CFU/g.
Bakteri ini dikenal sebagai mikroba indikator kontaminasi fekal dan dibagi dalam dua
kelompok yaitu nonpatogenik dan patogenik. Ada empat kelompok patogenik
penyebab diare yaitu EPEC (Enteropatogenik Escherichia coli), ETEC
(Enterotoksigenik Escherichia coli), EIEC (Enteroinvasif Escherichia coli) dan E. coli
penghasil verotoksin (VTEC). Istilah lain juga digunakan untuk VTEC seperti E. coli
penghasil toksin mirip-Shiga (SLTEC) dan E. coli penghasil toksin Shiga (STEC).
Istilah enterohemoragik E. coli (EHEC) digunakan untuk galur-galur yang
menyebabkan diare berdarah. EHEC mempunyai faktor virulen disamping produksi
sitotoksin Vero, yang penting dalam menimbulkan penyakit yang berat pada manusia.
Enteropatogenik E. coli bersifat spesifik terhadap inang (host) dan menyebabkan
diare tanpa darah. Enterohemoragik E. coli (O157:H7) menyebabkan hemoragik dan
diare berdarah, enteroinvasif E.coli (EIEC) menyebabkan diare berdarah dengan
gejala mirip disentri (Shigella), sedangkan enterotoksigenik E. coli (ETEC)
menyebabkan diare pada bayi (infantile diarrhea) dan diare pada orang yang sedang
bepergian dengan gejala mirip kolera.
Penyakit yang disebabkan oleh grup EPEC adalah diare berair yang disertai
dengan muntah dan demam. Diare sering bersifat sembuh sendiri, tetapi EPEC dapat
menyebabkan enteritis kronis berkepanjangan yang mengganggu pertumbuhan. EPEC
umumnya dikaitkan dengan bayi dan anak-anak di bawah usia 3 tahun. Grup EIEC
menyebabkan diare yang secara klinis sering menyerupai diare basiler, yang
disebabkan oleh Shigella. Awalnya diare bersifat akut dan berair, disertai demam dan
kejang perut, berlanjut sampai fase kolon (usus besar) dengan tinja yang berdarah dan
mukoid. Tidak semua infeksi EIEC berlanjut sampai fase kolon, sehingga darah tidak
selalu terdeteksi dalam tinja. EIEC menyerang mukosa kolon dan berkembang biak di
dalam sel, menyebar ke sel-sel yang berdekatan setelah sel-sel yang terinfeksi
mengalami lisis.
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi ETEC merupakan diare berair dengan
kejang perut, demam, malaise dan muntah. Dalam bentuk yang sangat berat, infeksi
oleh galur ETEC dapat menghasilkan gambaran klinis yang menyerupai diare yang
disebabkan oleh Vibrio cholerae, yaitu tinja air beras. ETEC merupakan penyebab
utama diare pada bayi di negara kurang berkembang dan juga diare pada orang yang
sedang mengadakan perjalanan dari daerah beriklim musim dengan standar higiene
baik ke daerah-daerah tropis dengan standar higiene yang lebih rendah. VTEC
menyebabkan hemoragik colitis (HC) dan sindroma hemolitik uremik (HUS). Gejala
HC sering dimulai dengan sakit perut dan diare berair, diikuti dengan diare berdarah
umumnya tanpa demam. Diare baik berdarah atau tidak, diikuti oleh munculnya HUS.
HUS terjadi pada semua kelompok umur tetapi paling umum pada anak-anak
E. coli enteroagregatif dikaitkan dengan diare yang terjadi di negara
berkembang. Diare berlangsung selama 14 hari dan biasanya berair dengan gejala
muntah-muntah, dehidrasi, dan sakit perut. Diare berdarah dan demam timbul pada
anak-anak yang terinfeksi oleh EaggEC. Diare yang terkait dengan DAEC dicirikan
dengan kotoran yang berair dan mengandung mukus dengan demam dan muntah-
muntah.
Sumber EPEC, EIEC, dan ETEC adalah manusia. Kontaminasi makanan berasal
dari karyawan pengelola pangan atau dari kontak dengan air yang mengandung
buangan manusia. Infeksi orang dewasa sehat memerlukan dosis paling sedikit 108 sel
baik melalui pangan atau air yang tercemar. Sumber utama organisme VTEC terdapat
pada alat pencernaan dari usus sapi dan hewan lain.
Galur-galur VTEC telah diisolasi dari daging sapi dan olahannya seperti sosis,
beefburger dan daging giling, demikian pula pada daging unggas dan hasil laut. Di
Amerika Selatan, VTEC O157 ditemukan pada daging sapi, babi, domba dan unggas.
dan di Amerika dari daging (patties) hamburger dan daging sapi giling.
Susu tanpa pasteurisasi merupakan pembawa infeksi yang penting. Pada tahun
1994 di Skotlandia terjadi keracunan dari susu yang dipanaskan dari susu lokal.
VTEC O157 berasal dari pipa yang membawa susu dari peralatan pasteurisasi dan
karet dari mesin pembotolan. VTEC O157 hidup baik dalam makanan yang
dibekukan dan disimpan beku. Dalam daging sapi (beef patties) beku pada suhu -80 oC
dan penyimpanan pada -20oC, terjadi sedikit perubahan dalam jumlah VTEC O157
setelah 9 bulan, dan 50% diantaranya hidup dalam daging ayam giling beku yang
disimpan pada –20oC selama 18 bulan. NaCl dan natrium laktat menurunkan
ketahanan hidup VTEC O157 selama pembekuan tetapi tidak menghilangkannya
setelah 18 bulan. Kadar NaCl 8% (b/v) atau lebih tinggi menghambat pertumbuhan.
Pertumbuhan VTEC O157 dalam makanan pada suhu 12oC dan 8oC pada saider apel
tetap terjadi sehingga dapat membahayakan konsumen.
VTEC serotipe O22:H8 diidentifikasi di Jerman pada pasien dengan HUS
(Hemolytic Uremic Syndrom) dan dalam susu dari rumah pasien dan susu yang
dipasok. Letusan gastroenteritis dan diare berdarah di Montana dihubungkan dengan
galur E. coli yang memproduksi VT2. Pada tahun 1994, salami yang dikiuring kering
merupakan sumber VTEC O157 dalam suatu letusan di Amerika. Pada saat yang
sama, sosis mettwurst yang tercemar dengan VTEC O111 juga menyebabkan letusan
di Australia. VTEC bertahan hidup selama fermentasi dan proses pengeringan.
Letusan infeksi E. coli diaregenik yang melibatkan keju sebagai pembawa infeksi
menunjukkan bahwa galur-galur ini tetap hidup selama fermentasi dan pembuatan
keju. Galur-galur E.coli dapat tumbuh di dalam miselia Penicillium camemberti
selama pemeraman keju pada suhu 10oC. Hal ini menunjukkan bahwa kontaminasi
silang permukaan keju dapat menyebabkan produk membahayakan kesehatan
konsumen.
VTEC O157 tidak mempunyai ketahanan panas khusus, nilai D pada 62,8 oC
adalah 24 detik. Susu yang tercemar setelah pasteurisasi dan mendapat pemanasan
ringan dapat mengandung VTEC O157 dalam jumlah yang cukup untuk
menyebabkan infeksi. Ketahanan panas ini lebih tinggi dalam daging giling berlemak
daripada tanpa lemak. Pada keju cottage, walaupun VTEC O157 tumbuh selama
proses pembuatan, bakteri akan mati bila curd dimasak pada suhu 57oC selama 90
menit. Dosis radiasi sebesar 2.5 kGy akan membunuh VTEC O157 sebanyak 108.1
per gram daging sapi giling.
Penghilangan VTEC dengan pemanasan merupakan salah satu titik kendali
utama dalam rantai makanan. Untuk menghancurkan VTEC O157 dalam burger
daging sapi disarankan untuk memasak dan mempertahankan suhu 70 oC selama 2
menit sampai jus tidak keluar dan tidak ada potongan yang berwarna merah muda di
dalamnya. Air yang tidak diklorinasi sebaiknya tidak digunakan untuk pembersihan
peralatan dan permukaan yang kontak dengan makanan atau untuk pembersihan atau
pendinginan unit-unit produksi pangan komersial.
c. Clostridium botulinum
Clostridium-botulinum
Sejak tahun 1793 telah dilaporkan penyebab penyakit dan kematian oleh
konsumsi sosis (“botulus”) dan penyakitnya disebut botulisme. Toksinnya bersifat
tidak tahan panas (80oC, 10’), tetapi sangat toksik (10-8 g mengakibatkan kematian).
Sifat-sifat mikrobanya adalah Gram positif, motil (flagela peritrichous), anaerobik
obligat, berbentuk batang (2 – m) dengan spora berbentuk oval. Botulisme pada
manusia disebabkan10 oleh tipe A, B, E. Pertumbuhan pada pH minimum adalah
4.7, penting untuk industri pengalengan.
Gejala dikelompokkan menjadi botulisme asal makanan (foodborne), botulisme
pada bayi dan botulisme yang menimbulkan luka. Gejala botulisme pada makanan
dapat muncul beberapa jam atau beberapa hari seperti lemas, fatig, vertigo, pandangan
buram, kesulitan berbicara dan menelan akibat sarafnya terserang dan gagal bernapas
yang dapat menimbulkan kematian. Pada botulisme tipe E, menimbulkan mual dan
muntah-muntah dan mortalitas rendah.
Botulisme pada bayi, menyerang bayi kurang dari 12 bulan akibat menelan
spora C. botulinum, bergerminasi, tumbuh dan memproduksi toksin sambil
mengkolonisasi alat pencernaan. Madu diduga merupakan sumber spora dan tidak
direkomendasikan untuk bayi kurang dari 9-12 bulan. Kasus botulisme bayi
disebabkan oleh galur C. barati penghasil BoNT tipe F dan C. butyricum penghasil
BoNT tipe E. Jumlah sel C. botulinum dalam tinja dapat meningkat 103 – 108/g
sebelum timbul gejala klinis. Mikroflora perut bayi tidak mampu mencegah kolonisasi
C. botulinum, bila telah dewasa hal ini jarang terjadi.
Spora dari semua tipe dan toksinnya toleran terhadap pembekuan. Grup I
(proteolitik) dan II (non-proteolitik, sakarolitik) paling penting dalam penyimpanan
makanan. Grup I mempunyai suhu pertumbuhan optimum antara 35 dan 40oC. Grup II
mempunyai suhu optimum pertumbuhan 28-30oC. Pertumbuhan dan produksi toksin
dilaporkan dapat berlangsung di bawah suhu penjualan makanan dingin.
Toksin dari semua tipe cepat inaktif pada suhu 75-80oC. Grup I mempunyai
ketahanan panas yang tinggi. Oleh karena itu perlu diterapkan botulinum cook atau
“proses 12D” untuk makanan kaleng berasam rendah. Spora-spora Grup II dikenal
kurang tahan panas dibandingkan galur Grup-I.
Spora-spora dan toksin C. botulinum tahan terhadap radiasi ionisasi. Umumnya
Grup I tidak dapat tumbuh bila konsentrasi garam lebih dari 10% (aw 0.9353);
sedangkan Grup II tidak tumbuh bila lebih dari 5% (aw 0.9707). Semua galur tumbuh
dan memproduksi toksin pada pH 5.2 di bawah kondisi optimum. Grup I tumbuh
lambat pada pH serendah 4.6, dikenal sebagai titik batas pemisahan untuk makanan
asam atau yang diasamkan, sedangkan pada pH di bawah 4.6 tidak mampu tumbuh.
Galur Grup II tidak mampu tumbuh pada pH 5.0 atau di bawahnya. Kiuring daging
dengan penggaraman dapat mengendalikan pertumbuhan C. botulinum. Disarankan
untuk mengurangi natrium nitrit yang berfungsi sebagai pembentuk flavor dan warna,
serta antimikroba, karena dikhawatirkan membentuk senyawa nitrosamin. Sebagai
pengganti dapat digunakan sorbat, polifosfat, antioksidan, nisin, paraben dan natrium
laktat. Beberapa bakteri asam laktat yang memproduksi bakteriosin mampu
menghambat C. botulinum. Sumber kontaminasi utama C. botulinum pada makanan
adalah tanah terutama sayuran (tanaman akar). Keracunan tipe A (botulisme) terjadi
karena konsumsi salad kentang yang sudah dimasak, disimpan beberapa hari pada
suhu kamar dengan kondisi anaerobik.
Karakteristik C. botulinum.
C. botulinum termasuk bakteri yang bersifat mesophilic dengan suhu
optimum untuk tumbuh yaitu 370 C untuk strain jenis A dan B serta 300 C untuk
strain jenis E. Suhu terendah dari strain jenis A dan B adalah 12,50 C namun
pernah juga dilaporkan bahwa kuman dapat tumbuh pada suhu 100 C. Disisi lain
spora jenis E dikatakan mampu tumbuh dan menghasilkan toksin pada suhu 3,30
C, sementara jenis F dilaporkan tumbuh dan menghasilkan toksin pada suhu 40
C . Secara umum strain jenis E dan B bersifat non-proteolitik serta strain F suhu
minimum untuk tumbuhnya lebih kurang 100 C lebih rendah daripada strain A
dan B. Sedangkan suhu maksimum untuk tumbuhnya yaitu : jenis A dan B pada
suhu 500 C. Strain jenis E memiliki suhu maksimum 5 derajat lebih rendah dari
strain A dan B dengan suhu optimumnya yaitu 300 C (Cliver, 1990 ; Jay, 1978).
Produksi toksin dari C. botulinum tergantung dari kemampuan sel untuk tumbuh
di dalam makanan dan menjadi autolisis disana (Frazier dan Westhoff, 1988).
Lebih lanjut produksi toksin dipengaruhi oleh komposisi dari makanan atau
medium terutama glukosa atau maltosa yang diketahui sangat potensial terhadap
produksi toksin, kelembaban, pH, potensial redok, kadar garam, temperatur dan
waktu penyimpanan.
Berdasarkan atas pH, dilaporkan bahwa C. botulinum tidak mampu tumbuh pada
pH di bawah 4,5. Lebih jauh dilaporkan bahwa organisme akan tumbuh dengan
baik dan menghasilkan toksin pada pH 5,5-8,0 (Jay, 1978). Sedangkan Frazier dan
Westhoff (1988) menyatakan bahwa nilai pH minimal untuk pertumbuhan sel
vegetatif adalah 4,87 sedangkan untuk petumbuhan spora 5,01 di dalam cairan
kaldu. Nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan bersifat komplek, diperlukan
asam amino, vitamin B dan mineral.
C. botulinum jenis A dan B memerlukan kadar air aw 0,94 dan jenis E pada
0,97 Dilaporkan bahwa kadar garam 10% atau 50% sukrosa akan menghambat
pertumbuhan jenis A dan B. Tar dalam Jay (1978) menyatakan bahwa pada
konsentrasi 25-500 ppm dapat menghambat jenis A lebih dari sebulan pada suhu
optimum dengan pH 5,9-7,6. Di dalam penelitian pembentukan toksin jenis E dan
pertumbuhan sell didalam kalkun yang diinkubasikan pada suhu 300 C, Midura et
al., dalam Jay (1978) menemukan bahwa spora jenis E akan memperbanyak diri
dan menghasikan toksin dalam waktu 24 jam. Penampakan toksin bertepatan
dengan pertumbuhan sel selama 2 minggu setelah toksin berada di luar sel hidup.
Penemuan ini mengungkapkan bahwa kemungkinan ditemukannya toksin jenis E
di dalam makanan tanpa ditemukannya sel jenis E.
Makanan yang mengandung toksin umumnya tanpa jenis organisme yang lain, hal
ini disebabkan oleh perlakuan panas dan pengepakan vakum. Dilihat dari
kehadiran ragi, kuman dilaporkan dapat tumbuh dan menghasilkan toksin pada pH
rendah 4,0. Ragi dianggap menghasilkan faktor pertumbuhan yang diperlukan
oleh Clostridia untuk tumbuh pada pH rendah, sementara bakteri asam laktat
diasumsikan sebagai alat pertumbuhan dengan terjadinya penurunan potensial
redok. Sejumlah strain C. perfringens menghasilkan penghambat yang efektif
terhadap 11 strain tipe A, 7 B proteolitik, dan 1 non proteolitik, pada 5 strain E
dan 7 strain F. Kautter et al., dalam Jay (1978) menemukan bahwa strain jenis E
dihambat oleh organisme non toksik lainnya yang mempunyai ciri morfologi dan
uji biokimia yang sama dengan tipe E. Organisme yang menunjukkan efek
penghambatan ini menghasilkan substansi seperti bakteriocin yang dikenal dengan
nama “bioticin Eâ€. Laporan menunjukkan bahwa adanya kaitan antara C.
botulinum tipe F dalam sampel lumpur selama periode waktu tertentu dengan
kehadiran dari Bacillus licheniformis, dan kahadiran bakteri ini dianggap sebagai
pembawa faktor penghambat untuk pertumbuhan strain jenis F.
Gejala Botulismus
Tergantung dari penelanan toksin pada makanan, gejala botulismus dapat
berkembang dimana saja antara 12-72 jam kemudian (Jay, 1978). Menurut Cliver
(1990) masa inkubasi dari kuman berkisar antara 12-36 jam, sedangkan Hayes
(1992) menyatakan bahwa masa inkubasi kuman antara 18-36 jam. Gejalanya
diawali dengan kesakitan pada daerah gastrointestinal meliputi: mual, muntah,
diare dan diikuti konstipasi. Kelelahan dan kelemahan otot-otot adalah tanda awal
dari botulism. Segera diikuti dengan efek pada mata berupa berkunang-kunang,
penglihatan ganda, kekeringan pada mulut, kesulitan berbicara dan menelan, dan
akhirnya kegagalan respirasi dan mati (Cliver, 1990 ; Jay, 1978). Luka botulismus
dapat dikelirukan dengan kejadian tetanus, namun laporan terakhir menunjukkan
bahwa kuman C. botulinum dapat menginfeksi dinding usus sendiri terutama bila
dilakukan operasi bedah. Selanjutnya pada infant botulism yang umumnya
menyerang bayi antara umur 6-12 bulan agak sulit untuk didiagnosis mengingat
kesulitan komunikasi dari pasien, namun dengan memperhatikan gejala klinis
yaitu kesulitan bernafas dalam beberapa hari dapat mengarahkan diagnosis
terhadap kecurigaan terhadap botulismus (Cliver, 1990). Secara umum lama dari
kesakitan berkisar antara 1-10 hari tergantung pada kepekaan host dan faktor
lainnya dengan tingkat kematiannya berkisar antara 30-65%.
Epidemiologi
Sekalipun wabah keracunan makanan oleh C. botulinum dianggap umum
terutama akibat dari distribusi makanan yang diperdagangkan, namun dilaporkan
bahwa keracunan makanan botulismus relatif jarang. Seperti dilaporkan kejadian
kasus di Amerika Serikat, bahwa antara tahun 1960-1977 dilaporkan 186 kali
dengan rata-rata terjadi setiap tahunnya sebanyak 10 kali wabah dengan jumlah
kematian 82 orang. Dan antara tahun 1978-1983 terjadi 91 kali wabah dengan
jumlah kasus 201 dan tingkat kematian 26 orang. Dari rangkuman kejadian kasus
di Amerika terlihat bahwa antara tahun 1960-1977 sebanyak 119 wabah berasal
dari makanan yang dipersiapkan di rumah dan sebanyak 16 kasus berasal dari
makanan komersial. Hal ini menunjukkan bahwa kesuksesan dari jaminan
keamanan produk makanan komersial (Cliver, 1990).
Diawali pada tahun 1963, sebagian besar kasus botulismus di Amerika yang
diperantarai oleh makanan setelah diidentifikasi adalah berasal dari sayuran yang
dikalengkan dan disebabkan oleh strain A dan B. Sebesar 70% dari 640 kasus
yang dilaporkan selama periode 1899-1967, belum berhasil diidentifikasikan
makanan sebagai perantaranya secara lengkap. Dari penelitian di atas hanya
berhasil diisolasi sebesar 17,8% berasal dari sayuran, 4,1% dari buah, 3,6% ikan,
2,2% rempah-rempah, 1,4% daging dan unggas serta 1,1% sumber lainnya (Jay,
1978). Pada tahun 1976 di USA dilaporkan terjadi 29 kasus, sementara itu 4 bulan
pertama tahun 1977 dilaporkan terjadi 64 kasus. Wabah selanjutnya terjadi di
Michigan dimana 45 orang menderita botulismus setelah mengkonsumsi saos
panas yang dikalengkan (di rumah) dengan kertas jalapeno. Penderita memakan
hidangan restoran yang menggunakan kertas kaleng rumahan yang melanggar
hukum, dilaporkan bahwa pada kejadian ini tidak ada kematian dan setelah diteliti
disebabkan oleh toksin jenis B. Kejadian Botulismus di Jerman bersifat konstan
untuk beberapa tahun dengan jumlah 9-15 kasus dan 30-40 penderita. Botulismus
jarang dilaporkan di Perancis sebelum Perang Dunia II, tetapi selama perang
dilaporkan lebih dari 1000 kasus (Frazier dan Westhoff, 1988).
Dari 404 kasus oleh jenis E pada tahun 1963, sebesar 304 atau 75% terjadi
di Jepang. Pada bulan Mei tahun 1951 sampai Januari 1960, tercatat 166 kasus
dengan jumlah kematian sebanyak 58 orang dengan tingkat mortalitas 35%.
Sebagian besar wabah di Jepang berasal dari makanan yang dipersiapkan di rumah
yaitu “izushiâ€yang mana makanan ini terdiri dari ikan segar, sayuran, nasi
dan sedikit garam dan cuka. Persiapannya adalah dipak erat di dalam kotak kayu
yang dilengkapi dengan tutup dan dipertahankan selama 3 minggu atau lebih
untuk fermentasi asam laktat. Pada saat ini proses oksidasi-reduksi direndahkan
yang selanjutnya akan memberi kesempatan pertumbuhan dalam suasana anaerob
(Jay, 1978). Dari laporan kasus botulismus di Amerika pada makanan kaleng yang
diperdagangkan, dilaporkan dari tahun 1899-1973 terjadi sejumlah 62 wabah. Dari
62 kasus tersebut sebanyak 41 kasus terjadi sebelum tahun 1930. Pada beberapa
tahun terakhir, dilaporkan bahwa jamur yang dikalengkan dianggap sebagai
penyebab wabah botulismus. Kemampuan dari jamur (Agaricus bisporus) untuk
membantu pertumbuhan spora C. botulinum diteliti oleh Sugiyama dan Yang (Jay,
1978).
Dari penelitiannya diketahui bahwa toksin berhasil dideteksi setelah 3-4
hari setelah produk diinkubasikan pada suhu 20 oC. Diketahui bahwa strain jenis A
lebih aktif dibandingkan dengan strain jenis B walaupun demikian diketahui
bahwa strain jenis B lebih sering dijumpai pada produk makanan kaleng. Jadi
jelaslah bahwa bahaya terbesar dari botulismus berasal dari makanan yang
dipersiapkan di rumah dan makanan kaleng rumah sehingga diperlukan
penanganan yang cukup atau diberikan pemanasan yang cukup untuk merusak
spora botulinum (Jay, 1978).
C. botulinum pada Makanan
Dua hal yang mendasari terbentuknya toksin pada bahan makanan yakni:
Adanya sejumlah C. botulinum yang memperbanyak diri dan selanjutnya
dihasilkan toksin pada bahan makanan yang tercemar. Diketahui bahwa bentuk
sporanya adalah kontaminan yang sangat besar, yang mana akan bersifat toleran
terhadap berbagai situasi dan akan membunuh sel vegetatif yang selanjutnya
menyisakan sel yang dormant (terhenti) untuk periode yang lama sebelum
memperbanyak diri untuk menjadi sel vegetatif apabila kondisinya mendukung
(Cliver, 1990). Lebih jauh dinyatakan bahwa kontaminasi dapat terjadi selama
masa persiapan makanan atau selama penanganan selanjutnya, tetapi yang paling
sering adalah pada saat pemanenan suatu produk. Sehingga tidaklah
mengherankan bahwa kasus keracunan makanan oleh C. botulinum berasal dari
kontaminasi lingkungan dimana kuman C. botulinum sudah sering dijumpai
seperti adanya kontaminasi sayuran dan buah-buahan akibat kontaminasi kuman
jenis A yang berasal dari tanah, kontaminasi jenis E berasal dari lingkungan
perairan (Cliver, 1990).
Keberadaan C. botulinum pada bahan makanan sebenarnya tidak
membahayakan sepanjang kuman tidak menghasilkan toksin. Pertumbuhannya
tergantung pada kecukupan nutrisi yang diperlukannya untuk tumbuh serta
kondisi yang obligate anaerob. Kuman tidak dapat tumbuh pada permukaan suatu
produk yang terpapar oleh udara, tetapi dapat tumbuh di bawah permukaan produk
asalkan tersedianya unsur pokok untuk oksidasi-reduksi, contohnya pada daging
dan ikan. Potensial redok yang lambat pada makanan kaleng dengan kondisi
anaerob akan mengakibatkan toksigenesis yang selanjutnya mengakibatkan
terjadinya botulismus. Adanya kondisi anaerob dapat juga terjadi dengan cara lain
seperti pada saat pengepakan, contohnya pada kasus keracunan kentang dimana
kentang yang tercemar oleh C. botulinum dibungkus dengan aluminium foil untuk
beberapa hari (Cliver, 1990).
Perusakan Spora C. Botulinum Makanan tidak akan mengakibatkan
terjadinya botulismus jika spora dari C. botulinum dirusak sebelum dapat
memperbanyak diri di dalam media biakannya. Cara yang termudah adalah
dengan cara pemanasan produk-produk tertutup (di kaleng) di dalam kontainer
(Cliver, 1990; Pearson dan Dutson, 1986). Untuk menguji makanan terhadap
kehadiran spora tipe E, pemanasan 80oC cukup untuk merusak semua spora
demikian juga halnya dengan sel vegetatif. Peneliti menemukan bahawa
pemanasan 90oC selama 5 menit cukup membunuh spora tipe E. Kempe dalam Jay
(1978) menemukan bahwa pemanasan spora tipe E pada suhu 70-90 oC dapat
mengurangi jumlah mikroorganisme menjadi 0,01% dari populasi awalnya.
Pencegahan Toxigenesis
Keamanan bahan pangan dari botulismus dapat dipersiapkan tanpa pemanasan
yang berlebihan untuk pencegahan perkembangan dari C. botulinum.
Penghambatan disini pada dasarnya secara langsung untuk melawan spora sebagai
kontaminan yang sangat penting. Beberapa peneliti mencoba berbagai perlakuan
untuk menghambat pertumbuhan dan toksin dari kuman seperti dengan cara
memodifikasi atmosfir pada produk English-style Crumpets. Daifas et al., (1999a)
dari hasil penelitiannya diketahui bahwa waktu pembentukan toksin diperpanjang
pada hari ke 4-6 dibandingkan dengan kontrol yaitu rata-rata hari ke 3,4 bila
disimpan pada kondisi penyimpanan tanpa O2 (anaerob). Lebih lanjut Daifas et al.,
(1999b) juga mengamati adanya keterkaiatan antara pH dengan keberadaan CO 2,
dimana diketahui bahwa penghambatan pembentukan toksin terbesar pada pH 8,3.
Penelitian lainnya terkait dengan memodifikasi keberadaan CO 2 dilakukan oleh
Glass et al., (1999), yang menyatakan bahwa tingkat CO 2 yang rendah dapat
mengurangi bahaya kerusakan pada susu yang telah dipasteurisasi. pH asam
sering digunakan untuk mencegah toksigenesis di dalam bahan pangan.
Pembelahan spora grup H dapat dihambat pada pH 5,0 tetapi biasanya baru
dihambat pada pH < 4,6. Umumnya penggunaan dari asam berbeda-beda dalam
keefektipannya. Dalam medium protein dari yang tinggi sampai yang kurang daya
hambatnya berturut-turut yaitu : asam asetat, asam laktat, asam sitrat dan asam
hidroklorik. Produk pangan dengan pH < 4,6 dinamakan sebagai produk pangan
asam tinggi yang dibedakan dengan produk pangan asam rendah dengan pH yang
lebih tinggi. Pada makanan kaleng dengan produk asam rendah akan memerlukan
pemanasan yang lebih tinggi terhadap C. botulinum dibandingkan bahan makanan
dengan produk asam tinggi. Dari beberapa penelitian terlihat bahwa terbentuknya
toksin dapat berasal dari makanan yang diasamkan namun dengan ukuran bagian
yang cukup besar. Hal yang paling penting dari proses toksigenesis pada makanan
dengan asam tinggi adalah adanya proses metabiosis, yakni pertumbuhan dari
organisme sekunder yang akan membentuk kondisi optimal untuk berlangsungnya
proses toksigenesis, seperti pertumbuhan dari jamur atau bakteri lain yang
menghasilkan produk metabolit yang akan meningkatkan pH. Disamping itu untuk
menghambat pertumbuhan organisme dapat dilakukan dengan penurunan aw
seperti penggunaan garam >10% untuk menghambat strain grup I dan garam > 5%
untuk strain grup II. Disamping itu dapat pula digunakan konsentrasi gula yang
tinggi yaitu sukrose 30%. Pertumbuhan C. botulinum yang baik terjadi pada suhu
20-45oC sehingga untuk menghambat pertumbuhannya dapat dilakukan dengan
memperhatikan suhu penyimpanan yaitu 10oC untuk grup I dan 4-6oC untuk grup
II (Cliver, 1990). Beberapa penelitian mengenai pengaruh suhu terhadap
pembentukan spora dan toksin dari kuman seperti yang dilakukan Franciosa et al.,
(1999) yang menemukan bahwa toksin C. botulinum pada produk keju dan produk
susu dengan suhu inkubasi 28oC terbentuk pada hari ke 3 dan ke 4.
Penambahan sulfit dengan modifikasi atmosfir untuk menghambat pertumbuhan
dan toksin dari C. botulinum, dilakukan oleh Solomon et al., (1998). Sedangkan
Heinitz dan Johnson (1998) menemukan bahwa pengasapan cukup efektif untuk
menurunkan jumlah kuman, dimana tidak ada C. botulinum yang ditemukan pada
produk ikan yang diasapkan selama 5 tahun penelitiannya. Disebutkan bahwa
tidak ditemukannya pertumbuhan dan produksi toksin C. botulinum karena adanya
penghambatan yang diakibatkan oleh hasil dari kombinasi garam, garam dan
nitrat, asap serta suhu penyimpanan yang rendah (3,3oC).
Alamiah Toksin Botulinal
Adanya toksin botulismus di dalam makanan dapat ditentukan dari
penyuntikan makanan terinfeksi ke dalam mencit secara intraperotonial. Hewan
percobaan (mencit) yang peka biasanya akan mati dalam 12 hari setelah injeksi
tergantung kepada dosis. Toksin botulinal dapat juga dideteksi dengan
menggunakan microcapillary agar-gel diffusion, hemagglutination-inhibition dan
metode elektroimmunodiffusion.
Toksin C. botulinum dibentuk di dalam organisme dan pelepasannya
tergantung pada proses autolisis. Toksin dihasilkan oleh sell yang tumbuh pada
kondisi yang optimal serta sel pada fase istirahat juga pernah dilaporkan. Toksin
botulinal adalah merupakan substansi yang sangat toksik. Hayes (1992)
menyatakan bahwa toksin sangat potensial pada jumlah 1 x 108 atau dalam jumlah
1 gram dapat membunuh 100 juta orang. Dengan pemurnian diketahui bahwa pada
toksin jenis A mengandung 30.000.000 tikus LD 50/mg, dan jika ditumbuhkan
pada kertas kaca (cellophane) disuspensikan pada media pertumbuhan ditemukan
jumlah yang lebih tinggi yaitu 200.000.000 tikus LD 50/mg. Toksin botulinal
yang pertama kali dimurnikan adalah toksin jenis A, disusul oleh jenis E dan F.
Molekul toksin pada dasarnya dihasilkan oleh biakan toksigenik yang dianggap
sebagai toksin progenitor. Lammana dan Sakaguchi dalam Jay (1978) menyatakan
bahwa toksin progenitor adalah turunan toksin yang segera terbentuk dari toksin
asalnya. Toksin progenitor terdiri dari komponen toksik disertai dengan
komponen atoksik. Kemampuan dari toksin progenitor akan ditingkatkan oleh
pelenyapan komponen atoksik. Berdasarkan atas beberapa pendapat diketahui
bahwa adanya enzym proteolitik yang dihasilkan organisme mengakibatkan
timbulnya sifat toksisitas. Selama organisme bersifat non-proteolitik, toksin
progenitor tidak akan menampakkan aktivitas toksik dan sifat toksik itu akan aktif
ketika organisme menghasilkan enzym tripsin yang oleh DasGupta dan Sugiyama
dalam Jay (1978) dinamakan sebagai struktur protein. Enzym tripsin tidak
memiliki pengaruh terhadap jenis A (biakan proteolitik) tetapi bersifat
meningkatkan biakan non-proteolitik dari jenis B, E, dan F. Menurut laporan
bahwa toksin jenis A memiliki sifat letal yang lebih tinggi dibandingkan dengan
toksin jenis B atau E. Seperti ditunjukkan oleh Sterne dan Van Heyningen dalam
Jay (1978) yang berhasil menenemukan bahwa toksin jenis B memiliki mortalitas
yang lebih rendah dibandingkan jenis A. Hal ini terjadi jika sejumlah besar toksin
ditemukan dalam darah. Cara kerja toksin botulinal pertama kali digambarkan
oleh Dikson and Shevky dalam Jay (1978), yang memperlihatkan adanya
kesamaan tempat aksi dari toksin dengan acetylcholine. Toksin mencegah
pelepasan acetylcholine pada pertemuan myoneural, dimana mekanisme
pelepasannya tidak merusak dirinya sendiri serta tidak memblok perjalanan Ca ke
saraf tepi. Toksin juga mempengaruhi otot polos, pembuluh darah namun
mekanismenya belum diketahui secara pasti. Gejala botulismus sudah nampak
hanya oleh masuknya 1 mg toksin secara parenteral ataupun peroral. Toksin dapat
diserap ke dalam aliran darah, seterusnya ke membran mukosa saluran pernafasan,
demikian juga halnya dengan seluruh dinding perut dan usus. Toksin disini tidak
sepenuhnya diinaktivasi oleh enzym proteolitik perut yang selanjutnya akan
bersifat mengaktivasi toksin non-proteolitik B dan F. Setelah diabsorpsi oleh
saluran pencernaan, toksin dapat ditemukan dalam darah untuk selanjutnya
diserap oleh sistem saraf tepi. Tidak sama halnya dengan enterotoksin dari
Staphylococcus, toksin botulinal bersifat sensitif terhadap panas, dimana dimana
toksin dapat dirusak dengan suhu 80o C selama 10 menit.
Pencegahan
Bertitik tolak dari permasalahan di atas maka pencegahan bahaya botulismus
disarankan untuk : memanaskan makanan dengan temperatur yang tinggi
(makanan kaleng) dengan tujuan untuk mematikan spora, mendinginkan makanan
yang tidak dimasak (suhu lebih rendah dari 3,3 oC) dan segera mengkonsumsi
makanan yang telah dimasak karena apabila dibiarkan terlalu lama (suhu makanan
20-45oC) adalah suhu optimal untuk pertumbuhan C. botulinum.
d. Staphylococcus aureus
Staphilococcus aureus
e. Listeria monocytogenes
Listeria monocytogenes
Bakteri ini termasuk kelompok Gram positif, batang pendek, tidak membentuk
spora, katalase positif, dan fakultatif anaerobik. Kadang-kadang berbentuk bulat,
panjang 10m. Motil pada suhu 25oC, non-motil pada 35oC. Koloni mempunyai
penampakan abu-abu kebiruan. Terdapat 8 spesies, spesies terpenting penyebab
infeksi manusia adalah Listeria monocytogenes. Sepertiga infeksi manusia adalah
perinatal, melibatkan wanita hamil, bayi dalam kandungan atau baru lahir. Duapertiga
infeksi terjadi pada orang dewasa tidak hamil. Kebanyakan infeksi listeriosis terjadi
pada orang yang daya tahannya menurun karena umur, kondisi seperti kanker,
transplantasi organ, pemakai kortikosteroid, atau AIDS (Acquired Immunity
Deficiency Syndrome). Gejala hanya demam ringan tanpa atau dengan gastroenteritis
atau gejala mirip-flu, tetapi akibatnya pada janin atau bayi baru lahir dapat fatal.
Gejala paling umum adalah septikemia, kadang-kadang disertai meningitis, juga
terlihat luka pada kulit. Kebanyakan listeriosis disebabkan karena infeksi melalui
makanan; tetapi luka pada kulit dapat sebagai penyebar mikroba.
Batas tumbuh bakteri adalah pada aw 0.92 – 0.93. Tahan hidup 40 hari
penyimpanan pada suhu 25oC dalam hasil laut dengan kadar air rendah (2.0 – 2.35%).
Kisaran pH pertumbuhan bakteri cukup luas yaitu 9.2 (maks) dan terendah 4.6 – 5.0.
Desinfektan yang efektif menghilangkan L. monocytogenes adalah natrium hipoklorit,
yodium, peroksida, amonium kuaterner. Dekontaminasi pada sayuran minimum pada
konsentrasi klorin 200 ppm.
Bakteri dapat hidup baik beberapa minggu pada suhu –18oC dalam berbagai
ragam makanan. Penyimpanan beku (-18 sampai –198oC) selama 1 bulan tidak
banyak mematikan bakteri. Pada ikan dan udang yang dikemas vakum dalam es
selama 21 hari, jumlah bakteri tidak meningkat dan pada –20oC jumlahnya menurun
10 x dalam 3 bulan. Bakteri dapat bertahan hidup dan tumbuh pada suhu –1 – 50oC.
Pemanasan microwave daging ayam sampai 70oC dan pemasakan daging sapi sampai
“medium” cukup mematikan L. monocytogenes. Bakteri tahan terhadap iradiasi
gamma seperti bakteri Gram positif lain dengan nilai D beragam dari 0.34 – 0.5 kGy
dalam broth sampai 0.51 – 1.0 kGy dalam daging cincang. Dosis 3 kGy tidak cukup
menghilangkan bakteri dari daging kemas vakum.
f. Clostridium perfringens
Clostridium-perfringens
Campilobacter-jejuni
h. Yersinia enterocolitica
Yersinia enterocolitica
IV. Penutup
Makanan yang aman dan sehat saat ini sudah merupakan kebutuhan umat
manusia. Seiring dengan meningkatnya kesejahteraan, pendapatan dan pendidikan
masyarakat, maka keamanan pangan merupakan suatu tuntutan yang perlu
mendapatkan perhatian. Keamanan pangan diperlukan untuk memperoleh pangan
yang aman, sehat, utuh, halal dan bergizi. Kasus pencemaran makanan akhir-akhir ini
ramai diberitakan di media massa. Banyak industri-industri jasa boga maupun
industri-industri makanan lainnya yang belum memperhatikan penanganan bahan
baku maupun pengolahan pangan yang baik dan benar.
Hal ini terbukti dengan masih ditemukannya cemaran mikroba patogen pada
bahan baku yang maupun produk olahan yang dihasilkan. Adanya cemaran mikroba
patogen seperti S. aureus, Enterobacter sakazakii dan E. coli dalam makanan yang
berasal dari ternak, antara dijumpai pada beberapa produk olahan susu dan unggas.
Tingkat cemaran mikroba tersebut dapat didekontaminasi pada saat melakukan
tahapan proses pengolahan yang tepat. Cara-cara penanganan bahan baku dan
pengolahan yang baik dan benar merupakan kunci pokok agar pangan yang dihasilkan
dapat aman, sehat, utuh dan halal.
DAFTAR PUSTAKA