You are on page 1of 33

KOLERASI TES KULIT CUKIT DENGAN KEJADIAN SINUSITIS MAKSILA

KRONIS DI BAGIAN THT FK USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2001

ZALFINA CORA

Program Pendidikan Dokter Spesialis


Bidang Studi Ilmu Penyakit TH T-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Sinusitis maksila kronis adalah peradangan mukosa sinus maksila dengan
keluhan lebih dari 3 bulan. 1 . Sinus paranasal adalah rongga –rongga didalam tulang
kepala yang terletak disekitar rongga hidung dan mempunyai hubungan dengan
melalui muaranya. 2
Sampai saat ini sinusitis maksila kronis masih merupakan masalah dan
merupakan subjek yang selalu diperdebatkan, baik mengenai etiologi, keluhan,
diagnosis maupun tindakan selanjutnya. 3 Berbeda dengan sinusitis akut, sinusitis
kronis biasanya sukar disembuhkan dan hasil pengobatan sering mengecewakan,
baik untuk dokter dan terutama untuk penderita. 4 Penderita biasanya mempunyai
keluhan hidung tersumbat, sakit kepala, cairan mengalir dibelakang hidung, hidung
berbau dan penciuman berkurang.1,5,6
Berbagai etiologi dan faktor predisposisi berperan dalam timbulnya penyakit
ini, seperti deviasi septum, polip kavum nasi, tumor hidung dan nasofaring serta
alergi. 7,8 Menurut Lucas seperti yang dikutip Moh. Zaman , etiologi sinusitis adalah
sangat kompleks. Hanya 25% disebabkan oleh infeksi, selebihnya 75% disebabkan
oleh alergi dan ketidakseimbangan pada sistim saraf otonom yang menimbulkan
perubahan- perubahan pada mukosa sinus.3
Alergi adalah salah satu faktor prediposisi dalam patogenesis sinusitis
maksila kronis, yang mengakibatkan edema mukosa dan hipersekresi, keadaan ini
akan menimbulkan penyumbatan muara sinus mengakibatkan stasis sekret. Hal ini
sebagai medium infeksi yang akhirnya menyebabkan sinusitis kronis.1,7,8
Penyakit alergi adalah suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan
bahan asing yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan
pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun.9,10
Gangguan alergi pada hidung ternyata lebih sering dari perkiraan dokter
maupun orang awam, yaitu menyerang sekitar 10 % dari populasi umum. 8
Prevalensi rinitis alergi telah diketahui bervariasi antara 5 – 10 % panduduk
diberbagai kota di dunia.11 Insiden rinitis di Bandung 1,5 % , di Sub Bagian Alergi-
Imunologi Bagian THT FKUI/RSCM selama setahun 1992 adalah 1,14 %. 12 dan di
RSUP H. Adam Malik Medan tahun 1993-1994 sebesar 16,44%. 12
Sinusitis dibagi menjadi 1) sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai
beberapa minggu, 2) sinusitis sub akut, beberapa minggu sampai beberapa bulan, 3)
sinusitis kronis, beberapa bulan sampai beberapa tahun.1,14,15 Menurut Cauwenberge
(1983), disebut sinusitis kronis bila infeksi sudah lebih dari 3 bulan.14
Sinus maksila merupakan sinus yang paling sering terinfeksi, karena
merupakan sinus paranasal yang terbesar, letak muaranya lebih tinggi dari dasar
sinus, sehingga aliran sekret (dreanase) dari sinus maksila sangat tergantung dari

©2003 Digitized by USU digital library 1


gerakan silia. Dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus) sehingga infeks i
gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila. Muara sinus maksila terletak di meatus
medius, disekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat.14
Diagnosis sinusitis maksila kronis berdasarkan anamnenis yang cermat,
pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior, adanya sekret kental perulen,
pemeriksaan penunjang seperti transiluminasi, pemeriksaan radiolog, fungsi sinus
maksila dan sinoskopi. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi,
nasoendoskopi serta CT scan.1
Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau
lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal
, ingus encer lebih dari satu jam dan hidung tersumbat, maka dinyatakan positif.
Hampir 50 % diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan dari anamnesis saja. 16
Oleh karena faktor alergi merupakan salah satu penyebab timbulnya sinusitis
maksila kronis, maka perlu dilakukan tes kulit epidermal berupa tes kulit cukit (Prick
tes, tes tusuk). Tes ini cepat, simple, tidak menyakitkan, relatif aman dan jarang
menimbulkan reaksi anafilaktik.10,17,18,19
Untuk menjamin akurasinya, tes cukit harus dilaksanakan setelah terlampaui
masa ‘wash out’ obat anti alergi yang terakhir dikonsumsinya . Sebagai contoh ,
antihistamin sedatif 1 minggu, antihistamin non sedatif 2-4 hari, kortikosteroid 6- 8
minggu.11
Uji cukit merupakan pemeriksaan yang paling peka untuk reaksi-reaksi yang
diperantai oleh IgE dan dengan pemeriksaan ini alergen peyebab akan dapat
diketahui. 16,20
Dalam penelitian ini diagnosis sinusitis maksila kronis yang disebabkan oleh
alergi, ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan THT rutin, pemeriksaan foto
polos sinus paranasal dan tes kulit cukit.

2. Masalah penelitian
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli bahwa salah satu
faktor predisposisi sinusitis maksila kronis adalah alergi, timbul keinginan peneliti
untuk mengetahui seberapa besar perkiraan alergi sebagai salah satu faktor
predisposisi timbulnya sinusitis maksila kronis di Bagian THT/FK USU/RSUP H. Adam
Malik Medan.
Dipilihnya sinus maksila sebagai objek yang diteliti mengingat sinus maksila lebih
sering mengalami peradangan dibandingkan dengan sinus paranasal yang lain.
Diharapkan setelah penelitian ini pemeriksaan alergi pada kasus sinusitis
maksila kronis dapat dikerjakan secara rutin sehingga pengobatan sinusitis maksila
kronis lebih akurat.

3. Hipotesis
Alergi merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada kejadian sinusitis
maksila kronis.

4. Tujuan penelitian
4.1. Umum
4.1.1. Menentukan seberapa besar peranan alergi sebagai faktor
presdisposisi sinusitis maksila kronis.
4.2. Khusus
4.2.1 Mengetahui seberapa besar hasil tes kulit cukit (positip) pada
penderita sinusitis maksila kronis.

©2003 Digitized by USU digital library 2


5. Manfaat penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh nilai, berapa besar
peranan alergi yang dianggap sebagai faktor predisposisi sinusitis maksila kronis,
sehingga pengobatan lebih akurat.

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Suatu peradangan mukosa sinus paranasal disebut sinusitis. Penyakit ini


sering dijumpai di Bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Bila
mengenai sel beberapa sinus disebut multisinusitis sedang bila mengenai seluruh
sinus paranasal, disebut pansinusitis. Sinus maksila sering terkena, kemudian
berturut-turut sinus etmoid, sinus frontal dan sinus sphenoid.14,21 Penyakit ini berasal
dari perluasan infeksi hidung, gigi, faring, tonsil atau adenoid. Tetapi dapat juga
terjadi akibat trauma langsung, barotraumas, berenang atau menyelam. Ikut
berperan pula beberapa faktor predisposisi yang menyebabkan obstruksi muara
sinus maksila, sehingga mempermudah terjadinya sinusitis seperti deviasi septum,
hipertropi konka, massa di dalam rongga hidung dan alergi.7,8
Istilah alergi dikemukakan pertama kali oleh Von Pirquet pada tahun 1906
yang pada dasarnya mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan
seperti pada vaksinasi, maupun mekanisme yang merugikan dan menimbulkan
penyakit.
Secara umum penyakit alergi di bagi dalam 4 golongan yaitu alergi atopi,
alergi obat, penyakit serum dan dermatitis kontak. Manifestasi klinik alergi paling
sering tampak melalui 3 organ sasaran, yaitu saluran napas, saluran cerna, dan
kulit. Alergi atopi adalah reaksi hipersensitivitas tipe I pada individu secara genetik
menunjukkan kepekaan terhadap alergen. 7,8,22
Banyak penderita yang menunjukkan reaksi alergi terhadap alergen ekstrinsik
seperti debu, tungau, bulu binatang, tepung sari, berbagai jenis makanan dan zat
lain. 10-23 Dari tes kulit, alergen- alergen yang memberikan hasil positip bermakna
berturut terbanyak adalah tungau debu rumah (91,16 %), debu rumah (73,47%)
dan serpihan epitel/bulu binatang (63,95 %).13
Pemaparan terhadap alergen tersebut menyebabkan berbagai gejala seperti
rinitis, asma, urtikaria, diare, muntah- muntah dan lain- lain. Perlu diwaspadai bahwa
gejala yang sama dapat pula disebabkan oleh faktor- faktor non imunologik10,13,22

I. SINUS MAKSILA
1. Embriologi dan perkembangan
Pada bulan ketiga kehidupan embrio, sinus maksila terbentuk, dimulai dari
suatu invaginasi mukosa meatus media ke arah lateral dan ke arah korpus maksila
os maksila.7
Perubahan- perubahan progresif pada dinding hidung lateral dengan
pembentukan sinus paranasal terjadi secara simultan dengan perkembangan
palatum. Pada hari ke 40 dari fetus sewaktu perkembangan rongga hidung, maka
lekukan horizontal (horizontal groove) nampak pada dinding leteral, yang kemudian
akan membentuk meatus medius dan inferior. Profilerasi mesenchym maxillo
turbinate, menonjol kedalam lumen dan kemudian menjadi konka inferior. Konka
yang lebih atas berkembang dari lipatan etmoid turbinate yang tampak kemudian.
Perkembangan sinus terjadi ketika lipatan konka terbentuk. Ini merupakan proses

©2003 Digitized by USU digital library 3


lambat, yang berlanjut sampai terhentinya pertumbuhan tulang pada awal
kehidupan dewasa. Dari keempat sinus paranasal, hanya sinus maksila dan etmoid
yang ada waktu lahir. Sinus maksila tampak pertama kali seperti suatu depresi
ektodermal tepat diatas prosesus unsinatus pada konka inferior. 23,24
Pada saat lahir rongga sinus maksila berbentuk tabung dengan ukuan 7 x 4 x
4 mm, ukuran posterior lebih panjang daripada anterior, sedangkan ukuran tinggi
dan lebar hampir sama panjang. Dengan kecepatan pertumbuhan setiap tahunnya
sebesar 2- 3 mm ke arah vertikal dan kearah posterior, maka pada usia 8 tahun
rongga sinus maksila telah mencapai meatus inferior. 7,15,25
Pada usia 10 – 12 tahun dasar sinus maksila telah mencapai tinggi yang sama
dengan dasar kavum nasi.7
Di atas umur 12 tahun pertumbuhan sinus maksila ke arah inferior,
berhubungan erat dengan erupsi gigi permanen, sehingga ruang yang semula
ditempati oleh tugas- tugas gigi permanen akan mengalami pneumat isasi yang
mengakibatkan volume sinus maksila bertambah besar ke arah inferior. 15,25
Pada umur 18 – 19 tahun erupsi gigi permanen telah lengkap dan di
perkirakan pertumbuhan sinus maksila telah selesai.

2. Anatomi
Sinus maksila atau antrum Highmore a dalah suatu rongga pneumatik
berbentuk piramid yang tak teratur dengan dasarnya menghadap ke fosanasalis dan
puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Sinus ini merupakan
sinus yang terbesar diantara sinus paranasal. Pengukuran volume sinus maksila
dapat di lakukan dengan dua cara, yaitu rontgenologik dan manometrik. Pada saat
lahir volume sinus maksila dan sekitarnya berukuran 6 – 8 ml dan penuh dengan
cairan, sedangkan volume sinus maksila orang dewasa kira - kira 15 ml. Tidak ada
perbedaan kapasitas antara laki- laki dan perempuan.
Ukuran kedua sinus maksila kanan dan kiri tidak selalu sama, tetapi diantara
sinus paranasal yang lain, sinus maksila yang paling simetris antara kanan dan kiri
serta paling sedikit mengalami variasi dalam perkembangan. Besar kecilnya rongga
sinus maksila terutama tergantung pada tebal tipisnya dinding sinus.25,26,27 Ukuran
rata- rata pada bayi baru lahir 7- 8 x 4 – 6 mm dan untuk 15 tahun 31 – 32 x 18 –
20 x 19 – 20 mm serta pada orang dewasa diperoleh ukuran sumbu anteroposteror
34 mm, tinggi 33 mm dan lebar 23 mm. 15,26,31
Sinus mempunyai beberapa dinding, dinding anterior dibentuk oleh
permukaan maksila os maksila, yang disebut fosa kanina. Dinding posterior dibentuk
oleh permukaan infratemporal maksila. Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral
rongga hidung. Dinding superior dibentuk oleh dasar orbita dan dinding inferior oleh
prosesus alveolaris dan palatum.
Dasar sinus maksila berdekatan dengan tempat tumbuhnya gigi premolar ke
dua, gigi molar ke satu dan ke dua, bahkan kadang-kadang gigi tumbuh ke dalam
rongga sinus dan hanya tertutup oleh mukosa. Proses supuratif yang terjadi sekitar
gigi- gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe,
sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus
melalui fistel oroantral yang akan mengakibatkan sinusitis. Didalam sinus kadang-
kadang ada sekat - sekat yang membentuk ruang-ruang dibagian posterior, sehingga
dapat menjadi sumber infeksi terus- menerus.27

3. Pendarahan
Mukosa sinus maksila mendapat pendarahan dari a. karotis eksterna melalui
cabang-cabangnya, yaitu a. maksilaris interna, a. palatina desenden yang
merupakan cabang a. maksilaris interna a. alveolaris superior posterior dan anterior

©2003 Digitized by USU digital library 4


yang merupakan cabang a. infra orbitalis dan a. nasalis posterior lateral yang
merupakan cabang langsung a. maksilaris interna.7,25,27
Darah dari sinus maksila dialirkan ke v. infraobitalis, v.supraobitalis dan
pleksus venosus lakrimalis. Selain itu berhubungan dengan pleksus venosus
pterigoideus, vena sinus sphenoid. Aliran darah rata- rata pada mukosa sinus maksila
sebesar 125 ml/100 gr jaringan/menit yang lebih besar dari aliran darah pada organ
otot, otak dan ginjal. 7,25,27
Sistem pembuluh limfe pada sinus maksila menuju ke muara sinus sampai ke
meatus medius, kemudian menuju kearah pleksus limfatius disekitar muara tuba
Eustachius, selanjutnya bermuara pada kelenjar limfe retrofaring lateral.25,26,27

4. Persarafan
Persarafan sensorik sinus maksila oleh nn.alveolaris superior yang merupakan
cabang ke dua dari n.trigeminus.
Persarafan simpatik berasal dari pleksus nervosus karotikus melalui ganglion
sfenopaltina dan berakhir pada tunika propria sebagai jalinan serabut- serabut saraf
yang banyak. 7,25,27

5.Ostium/muara
Membran muara sinus maksila dibentuk oleh gabungan mukosa sinus maksila
dan mukosa yang melapisi infundibulum hidung. Muara ini secara normal
tersembunyi dari pandangan oleh prosesus unsinatus. Biasanya ditemukan pada
pertemuan bagian antero superior dan postero inferior infundibulum. Berdasarkan
studi dari 163 sinus, Van Alyea menemukan kebanyakan tempat muara sinus
maksila pada 1/3 posterior celah infundibulum (72%), di 1/3 anterior hanya pada 6
% spesimen dan pada 12% spesimen muara terletak pada puncak posterior
infudibulum.6
Dari segi klinis, yang perlu diperhatikan dari anatomi muara sinus maksila
adalah letaknya lebih tinggi dari dasar sinus maksila, sehingga aliran (drainase)
sekret dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia. Juga karena lokasinya
di meatus medius, dan pada hiatus semilunaris yang sempit, sehingga akibat
berbagai keadaan akan mudah tersumbat.29

6.Sistem mukosiliar
Transport benda asing yang tertimbun dari udara inspirasi ke arah faring di
sebelah posterior akan ditelan atau dikeluarkan. Hal tersebut merupakan kerja dari
silia yang menggerakkan perut lendir (mucous blanket) dengan partikel yang
terperangkap. Aliran turbulen dalam hidung memungkinkan paparan yang luas
antara dua inspirasi dengan hidung dan parut lendirnya. Parut lendir berupa
selebung sekret kontinyu yang sangat kental, meluas ke seluruh ruang dan sudut
hidung, sinus, tuba eustachius faring dan seluruh cabang bronkus.26,27,30
Lapisan atas dari parut lendir ini amat tipis, kaya akan glicoprotein, lebih
kental, denga n kekauatan tegangan yang memungkinkan gerakan kaku silia ke
depan untuk mempertahankan gerakan lapisan ke arah posterior dalam aliran yang
tetap. Lapisan bawah lebih encer dan menimbulkan sedikit hambatan terhadap gerak
pemulihan silia (yang lentur). Palut lendir diganti oleh kelanjar submukosa 2 dan 3
kali dalam satu jam. 26
Transportasi mukus pada sinus maksila dimulai dari dasar sinus dengan
gerakan yang menyerupai bintang. Mukus kemudian dialirkan sepanjang dinding
depan medial, posterior, lateral, dan atap sinus dan semuanya bertemu di muara
sinus maksila. Aliran mukus selalu melalui muara sinus maksila, meskipun terdapat
muara tambahan atau lubang pasca pungsi dan antrostomi di meatus inferior. 4

©2003 Digitized by USU digital library 5


Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus ma ksila akan bergabung
dengan sekret dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid.
Kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba Eustachius mengalir ke arah
nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sphenoid akan
bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melaui posterosuperior orifisium tuba
Eustachius menuju ke nasofaring. Dari nasofaring mukus turun ke bawah, karena
gerakan menelan atau daya berat.
Gangguan sistem mukosiliar dapat berupa berkurangnya kelembaban udara
permukaan mukosa, menurunnya produksi mukus sehingga mukus akan menjadi
kental yang akan mengganggu gerakan silia, kerusakan permukaan mukosa dan
kelanjar, karena infeksi bakteri atau virus dan disfungsi atau malfungsi silia serta
mukosa seperti pada rinitis alergi, fibrosis kistis dan immotile cilia syndrome.4,29

7. Histologi
Mukosa sinus maksila merupakan lanjutan mukosa saluran napas bagian atas,
Mempunyai epitel torak bertingkat bersilia dengan sel- sel goblet diantaranya.
Dibandingkan dengan mukosa rongga hidung, mukosa sinus maksila lebih tipis,
epitelnya lebih kuboid, sel goblet dan pembuluh darah lebih sedikit, sehingga secara
mikroskopis warnanya tampak pucat. Silia tampak semakin banyak ke arah muara.29
Di bawah lapisan epitel terdapat stroma yang terdiri dari tiga lapisan yaitu :
1. Membran basalis yang sangat tipis, Jika terjadi penebalan akan tampak adanya
lapisan hialin yang berwarna kuning. Kadang – kadang di bawahnya terdapat
lapisan tipis serabut elastin.
2. Tunika propria merupakan lapisan tipis yang terdiri dari jaringan ikat longgar,
bentuknya seperti spons dan berisi cairan, sehingga mudah membengkak bila
mendapat rangsangan. Jaringan ini berfungsi sebagai jaringan penunjang, alat
nutrsi epitel diatasnya dan fagosit jika terjadi infeksi. Dinding medial sinus
maksila mempunyai lamina propria yang paling tebal diantaranya dinding mukosa
sinus maksila. Lapisan ini mengandung serabut kolagen dan fibril yang tipis dan
mudah mengalami ruptur, sehingga mudah terbentuk kista. Ditemukan pula
infiltrasi sel fibroblas dan histiosit yang bila terjadi peradangan akan berubah
menjadi makrofag. Kelenjar seromusinogen dan sel goblet yang memproduksi
mukus pada lapisan ini sangat jarang dan sedikit jumlahnya, serta hampir
semuanya terdapat di daerah muara sinus maksila.
3.
Lapisan periosteum tulang terdiri dari serat kolagen yang tebal dan serat elastin,
sehingga tahan terhadap infeksi.4,29

8.Fisiologi
Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti fungsi sinus paranasal dan
beberapa teori mengemukakan sebagai pengatur suhu dan kelembaban udara
pernafasan (air conditioning) seperti pada rongga hidung, Ternyata volume
pertukaran yang terjadi di dalam sinus kurang lebih seperseribu dari volume sinus
pada setiap siklus pernapasan, sehingga diperlukan waktu yang cukup lama untuk
pertukaran udara total dalam sinus. Selain itu, sinus paranasal hanya mampu
melembabkan 1,5 % dari seluruh udara pernapasan yang dilembabkan oleh saluran
napas bagian atas. Karena mukosa sinus yang tipis dan tidak mempunyai pembuluh
darah sebanyak yang terdapat di mukosa hidung. Fungsi sebagai resonansi suara,
tidak banyak mendapat dukungan, karena posisi sinus dan ostium tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator suara yang efektif. Selain itu tidak
ditemukan korelasi antara ukuran sinus dengan resonansi suara pada binatang
tingkat rendah. Sesuai dengan letaknya , sinus paranasal dapat dianggap sebagai
pelindung pengaruh panas udara rongga hidung terhadap organ-organ disekitar
sinus (thermal insilator), seperti mata dan otak. Akan tetapi kenyataannya sinus

©2003 Digitized by USU digital library 6


maksila sebagai sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan organ yang
dilindunginya. Fungsi membantu keseimbangan kepala, dimungkinkan karena
terbentuknya sinus akan mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara sinus
di ganti dengan tulang, pertambahan berat hanya 4 % dari berat kepala, sehingga
mungkin tidak banyak pengaruhnya terhadap keseimbangan kepala. Sebagai
pembantu alat penghirup, dilakukan oleh sinus paranasal dengan cara membagi rata
udara inspirasi ke regio olfaktorius. Fungsi lain sebagai pengatur keseimbangan
tekanan udara, peredam kejutan ( shock absorbent), protector suara antara organ
vokal dengan telinga, sebagai tambahan ruang rugi (dead space) dan penyesuaian
proporsi pertumbuhan kranium dan wajah.15,26,29

II. MEKANISME IMUNITAS


Sel-sel induk Sumsum tulang

= Organ
Bursa
Timus Limfoid
= Fabrisius
pusat
?(GALT)
?(BALT)
?(BM)

Lien,kel,limfe
Limfosit T Tonsil
Limfosit B


(organ
∗ lymphoid
antigen perifer) antigen
∗ imunoblas

Sel plasma
Sel

Limfosit T. ter
∗ ∗ ∗ ∗
(pembentukan
antibody)
Memori
sensitisasi

Imunitas
∗ ∗
Imunitas
seluler
humoral

Gambar 1 : Mekanisme imunitas. Dikutip dari kepustakaan 7

Secara garis besar tubuh mempunyai dua sistem kekebalan spesifik yaitu
kekebalan seluler yang berperan ialah sel limfosit T (sel T) dan kekebalan humoral,
yang berperan ialah sel limfosit B (sel B). Sel T dan sel B berasal dari sel pokok
(stem – cell) yang sama pada sum- sum tulang, tet api berbeda dalam proses
maturasinya.
Sel T di pengaruhi oleh kelanjar timus, sedangakan sel B oleh GALT (gut associated
lympoid tissue) yang identik dengan bursa fabrisius pada golongan burung.16 Kedua
jenis sel (sel B dan sel T ) setelah keluar dari jaringan limfoid primer, maka sel- sel
itu akan beredar ke sirkulasi darah atau menetap di jaringan limfoid sekunder. Bila
suatu benda asing masuk ke dalam tubuh, sel-sel limfosit tersebut akan segera
mengalami diferensiasi lebih lanjut menjadi sel limfosit yang sanggup menunjukkan
aktivitas imunologik. 16,22

©2003 Digitized by USU digital library 7


Sel B akan berkembang menjadi sel limfosit matang yang sanggup
menghasilkan suatu antibodi, sedangkan sel T akan berkembang menjadi sel
limfosit yang sensitive yang sanggup melepaskan mediator limfokin dengan segala
manifestasinya. Antara kedua jenis sel ini kadang- kadang terjadi suatu efek
potensiasi dan meningkatan sifat keantigenan suatu antigen serta menetukan pula
reaksi imunitas yang akan memegang peranan sebagai daya pertahanan tubuh. 32
Jenis reaksi kekebalan humoral merupakan dasar dari reaksi hipersensitivitas
jenis cepat, sedangkan jenis reaksi kekebalan seluler merupakan dasar dari reaksi
hipersensitivitas jenis lambat.16

III. IMUNOLOGI DASAR.


Komponen- komponen yang berperan dalam imunologi dasar ialah antibodi,
reaksi
Hipersensitivitas, antigen, dan sistem imun.22,23,32

1.Imunoglobin dan zat anti.


Sruktur dasar imunoglobin mempunyai 4 rangkai polipeptida yang terdiri dari
atas 2 rangkai ringan (light chain) yang identik dan dihubungkan satu dengan
lainnya oleh ikatan disulfida. Terdapat 2 jenis rangkai ringan yaitu rantai kappa dan
rantai lambeda yang terdiri dari 230 asam amino serta 5 jenis rantai berat yang
tergantung pada kelima jenis imunoglobin, yaitu Ig G, Ig M, Ig D, Ig A dan Ig E.
Rantai berat terdiri dari 450- 600 asam amino, sehingga berat dan panjang rantai15
berat tersebut adalah dua kali rantai ringan . 22,32
Dua fragmen imunoglobin yang identik disebut Fab (fragmen antigen
binding) yang merupakan bagian imunoglobin yang mengikat dan menetralkan
antigen. Fragmen ke 3 yang dapat di kristalkan dari larutan dan disebut Fc (fragmen
crystallisable) dan tidak dapat mengikat antigen. Fc menunjukkan fungsi biologis
sesudah antigen diikat oleh Fab. 32,33
Dewasa ini dikenal 5 kelas imunoglobin, yaitu : 1) imunoglobin G (IgG), 2)
imunoglobin A (IgA), 3) imunoglobin M (IgM), 4) imunoglobin D (IgD) dan 5)
imunoglobin E (IgE).22,32,33
Imunoglobin G (IgG) merupakan komponen utama imunoglobin serum,
dengan berat molekul 160.000. Kadarnya dalam serum sekitar 13 ug/ml dan
merupakan 75 % dari semua imunoglobin. Ig G ditemukan dalam berbagai cairan,
antara lain cairan saraf serebral (CSF) dan urin. Ig G dapat menembus plasenta dan
masuk fetus dan berperan pada imunitas bayi sampai umur 6-9 bulan. Pada proses
desentisasi penderita alergi, yang dirangsang adalah IgG yang bersifat sebagai
antibodi penghambat (blocking antibody), sehingga pada desentisasi sifat
alergenisitas dari alergen terhadap IgE menurun.33
Imunoglobin A (IgA) ditemukan dalam jumlah sedikit dalam serum, tetapi
kadarnya dalam cairan sekresi saluran nafas, saluran cerna, saluan kemih, air mata,
keringat, ludah dan air susu lebih tinggi dalam bentuk IgA sekretori (s IgA). Baik
IgA dalam serum maupun dalam sekresi dapat menetralisasi toksin atau virus dan
dapat mencegah kontak antara toksin atau virus dengan sel organ sasaran.
Imunoglobin M (IgM) mempunyai rumus bangun pantamer dan merupakan
imunoglobin terbesar. Molekulnya dikat oleh rantai Y pada fraksi Fc. Kebanyakan sel
B mempunyai IgM pada permukaannya sebagai reseptor antigen. IgM dibentuk
paling dahulu pada respon imun primer, tetapi tidak berlangsung lama, sehingga
kadar IgM yang tinggi merupakan tanda infeksi dini. Bayi yang baru dilahirkan
hanya mempunyai IgM 10% dari kadar IgM dewasa, karena IgM ibu tidak menembus
plasenta. Fetus umur 12 minggu sudah dapat membentuk IgM bila sel B nya
dirangsang oleh infeksi intrauterine seperti sifilis, rubella, toksoplasmosis dan virus
sitomegalo. Kadar IgM anak akan mencapai kadar IgM dewasa pada usia 1 tahun.

©2003 Digitized by USU digital library 8


Kebanyakan antibodi alamiah seperti isoaglutinin, golongan darah AB dan antibodi
heterofil adalah IgM. IgM dapat menghambat gerakan mikroorganisme patogen,
memudahkan fagositosis dan merupakan aglutinator kuat terhadap butir antigen.
IgM juga merupakan antibodi yang dapat mengikat komplemen dengan kuat.22,32,33
Imunoglobin D ditemukan dengan kadar yng sangat rendah dalam darah. IgD
tidak mengikat komplemen, mempunyai aktivitas antibodi terhadap antigen berbagai
makanan dan autoantigen seperti komponen sel B sebagai reseptor antigen.
Imunoglobin E ditemukan dalam serum dalam jumlah yang sangat sedikit.
IgE mudah diikat dan leukosit basofil yang pada permukaannya memiliki reseptor
untuk fraksi Fc dari IgE. IgE dibentuk set empat oleh sel plasma dalam selaput lendir
saluran nafas dan cerna. Kadar IgE yang tinggi ditemukan pada alergi, infeksi
cacing, skistosomiasis diduga berperan pada imunitas parasit. IgE pada alergi
dikenal sebagai antibodi reagen. 22,23

2. Reaksi hipersensitivitas
Hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan dan yang tidak
diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi tersebut
oleh Gell dan Coombs dibagi dalam 4 tipe reaksi menurut kecepatan dan mekanisme
imun yang terjadi.
Reaksi itu dapat terjadi sendiri- sendiri, tetapi dalam klinik, dua atau lebih jenis
reaksi tersebut sering terjadi bersamaan.
Empat tipe reaksi hipersensivitas terdiri dari :
Reaksi tipe I (reaksi anafiklasis / immediate hypersensitivity), dikenal sebagai
reaksi yang segera timbul sesudah alergen masuk ke dalam tubuh. Istilah reaksi
yang pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 diartikan sebagai reaksi
panjamu yang berubah bila terpapar dengan bahan yang sama untuk kedua kali atau
lebih. Alergen yang masuk tubuh akan menimbulkan respons imun dengan
dibentuknya IgE yang kemudian diikat oleh reseptor Fc pada permukaaan sel
mastosit, basofil. Bila tubuh yang sudah tersensitisasi ini terpapar oleh alergen yang
sama, alergen tersebut akan diikat IgE spesifik dan akan menimbulkan degranulasi
sel mastosit atau basofil. Degranulasi akan mengeluarkan mediator, anatara lain
histamin, slow reacting substance of anaphylactic (SRS-A) atau leukotrin,
prostaglandin, serotonin, bradikinin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic
(ECF - A), arginin esterase dan heparin yang terdapat dalam granul- granul sel.
Mediator- mediator ini akan menimbulkan gejala reaksi hipersensivititas tipe I. yang
dapat berupa penyakit - penyakit rinitis alergi, asma bronkial, urtikaria dan dermatisis
atopik.
Reaksi tipe II (reaksi sitotoksik/sitolitik), terjadi karena dibentuk antibodi
jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Anti bodi
tersebut dapat mensentisasikan sel K sebagai efektor anti body dependent cel
citotoxycity (ADCC) atau mengaktifkan komplemen dan menimbulkan lisis. Contoh
reaksi tipe II ialah destruksi sel darah merah akibat reaksi tranfusi, penyakit anemia
hemolitik, reaksi obat seperti penisilin, kinin dan sulfonamid serta kerusakan
jaringan pada penyakit autoimun seperti miastenia gravis.
Reaksi tipe III (reaksi kompleks imun), terjadi karena penimbunan kompleks
anti gen – anti bodi dalam jaringan atau sirkulasi / dinding pembuluh darah dan
mengaktifkan komplemen. Anti bodi yang berperan disini biasanya jenis IgM atau
IgG. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan macrophage chemotactic
factor. Makrofag yang dikerahkan ketempat tersebut melepaskan enzim yang dapat
merusak jaringan sekitarnya. Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen
yang persisten (malaria), bahkan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan
alveolitis ekstrinsik alergi) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi

©2003 Digitized by USU digital library 9


dapat disertai dengan antigen dalam jumlah yang berlebihan tetapi tidak disertai
dengan respons antibodi yang efektif.
Reaksi tipe IV (reaksi tuberculin/delayed hypersensitivity), yang timbul lebih
dari 24 jam setelah tubuh terpapar oleh antigen tertentu. Dalam hal ini tidak ada
peranan antibodi. Akibat sensitisasi tersebut, sel T melepaskan limfokin, anatra lain
macrophage inhibition factor (MIF) dan macrophage activation factor (MAF).
Makrofag yang diaktifkan dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Antigen yang
dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat beruapa jaringan asing (reaksi alograft),
mikroorganisme intraseluler (virus mycobactery), protein atau bahan kimia yang
dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier.
Bila ada antigen menetap untuk jangka waktu yang lama, maka makrofag yang
diaktifkan terus menerus dapat membentuk jaringan granulomata. Ada 4 jenis reaksi
hipersensifitas tipe IV, yaitu rekasi Jones Mote, kontak,tipe tuberkulin dan
reaksigranulomata.

Manifestasi klinis keruasakan jaringan yang banyak di jumpai di bidang THT


adalah re aksi tipe I, yaitu rinitis alergi.

3.Antigen 22
Antigen atau imunogen adalah setiap bahan yang dapat menimbulkan
respons imun spesifik pada manusia dan hewan . Komponen antigen yang disebut
determinan antigen atau epitop adalah bagian antigen yang dapat mengikat
antibodi. Bahan ini biasanya terdiri dari protein dan karbohidrat dengan berat
molekul yang tinggi.
Alergen yang masuk kedalam tubuh dan menyebabkan terjadinya reaksi
alergi. Alergen dapat masuk ke dalam tubuh melalui berbagi jalan, yaitu saluran
napas, saluran cerna, suntikan dan diserap melalui kulit.
Alergen yang masuk dengan jalan dihirup dinamakan alergen hirupan atau
alergen inhalan, alergen ini biasanya berbentuk butir- butir kecil misalnya debu
rumah, tungau, jamur, serpihan kulit manusia dan binatang. Bulu binatang, kapuk,
tepung sari dan lain – lain. Bahan ini sering sebagi alergen spesifik penyebab
penyakit alergi THT, seperti rinitis alergi.
Alergen yang masuk melalui cerna dinamakan alergen ingestan misalnya
bahan makanan, bahan pemberi aroma, obat, mineral dan zat - zat organik yang
terdapat didalam air minum dan lain- lain.
Alergen yang masuk akibat kontak langsung dengan permukaan kulit
dinamakan alergen kontaktan, misalnya ulat bulu, obat - obatan , kosmetik, minyak,
tanaman dan lain- lain.
Selain itu , alergen yang masuk akibat suntikan (serum, vaksin), gigitan atau
sengatan serangga dinamakan alergen injektan.

4.Sistem imun 22,32,33


Keutuhan tubuh dipertahankan oleh sistem pertahanan yang terdiri dari
sistem imun non-spesifik dan spesifik.
Sistem imun non-spesifik merupakan pertahanan badan terdepan dalam
menghadapi berbagai serangan mikroorganisme dan dapat memberikan respons
langsung terhadap antigen. Komponen-komponen sistem imun non- spesifik terdiri
atas :

1) pertahanan fisik dan mekanis , 2) pertahanan biokimia 3) pertahanan humoral


dan 4) pertahanan seluler.

©2003 Digitized by USU digital library 10


Pertahanan fisik dan mekanis, yaitu kulit, selaput lendir, silia saluran napas,
batuk dan bersin yang dapat mencegah berbagai kuman patogen masuk kedalam
tubuh. Kulit yang rusak misalnya luka bakar dan selaput lendir yang rusak karena
asap rokok akan meningkatkan risiko infeksi.
Pertahanan biokimia yaitu bahan yang disekresi mukosa saluran napas,
kelenjar sebasea kulit, kelenjar kulit telinga dan spermin dalam semen merupakan
bahan yang berperan dalam pertahanan tubuh. Asam hidroklorida dalam lambung,
lisozim dalam keringat,ludah air mata dan air susu dapat melindungi tubuh terhadap
kuman gram positif dengan jalan menghancurkan dinding selnya. Air susu ibu
mengandung pula laktoferin dan asam neuraminik yang mempunyai sifat antibakteri
terhadap Escherichia coli dan staphylococcus. Lisozim yang dilepas oleh makrofag
dapat menghancurkan kuman gram negatif dengan bantuan komplemen. Laktoferin
dan transferin dalam serum dapat mengikat zat besi yang dibutuhkan untuk
kehidupan kuman pseudomonas.
Pertahanan humoral ialah berbagai bahan dalam sirkulasi berperan pada
pertahanan humoral, yaitu a) komplemen, b) interferon, c) C Reaktif Protein (CRP).
Komplemen dapat mengaktifkan fagosit dan membantu destruksi bakteri dan
parasit dengan jalan obsonisasi. Kejadian ini merupakan pengaruh fungsi imun non
spesifik, tetapi dapat pula terjadi atas pengaruh respon imun spesifik, Interferon
adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel tubuh manusia yang
mengandung nucleus dan dilepas sebagai respon terhadap infeksi virus. Interferon
mempunyai sifat anti virus dengan jalan menginduksi sel di sekitar sel yang telah
terserang infeksi virus, sehingga menjadi resisten terhadap virus. Selain itu
interferon dapat mengaktifkan natural killer cel (Cel NK). C reaktif protein (CRP),
dibentuk oleh badan pada saat infeksi. Peranannya adalah sebagai opsonin dan
dapat mengaktifkan komplemen.
Pertahanan seluler terdiri dari : a) Fagosit atau makrofag, b) Sel NK yang
berperan dalam sistem imun non spesifik seluler. Fagosit merupakan sel dalam
tubuh yang dapat melakukan fagositosis, tetapi sel utama yang berperan pada
pertahanan non spesifik adalah sel mononuclear (monosit dan makrofag) serta sel
polimorfoknulear seperti neutrofil. Kedua golongan sel tersebut berasal dari sel
hemopoetik. Fagositosis dini yang efektif pada invasi kuman akan dapat mencegah
timbulnya penyakit. Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa ting kat yaitu
kemotaksis (menangkap), fagositosis (memakan), membunuh dan mencerna .
Natural killer Cel (sel NK) adalah sel limfoid tanpa ciri- ciri sel limfoid sistem imun
spesifik yang ditemukan dalam sirkulasi sehingga disebut juga non B non- T atau sel
populasi ke tiga. Sel NK dapat menghancurkan sel yang mengandung virus atau sel
neoplasma,sedangkan interferon mempunyai pengaruh dalam mempercepat
pematangan dan efek sitolotik sel NK.
Sistem imun spesifik berbeda dengan sistem imun non spesifik. Sistem ini
mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing. Benda asing
yang pertama kali masuk ke dalam tubuh segera di kenal oleh sistem imun spesifik,
sehingga terjadi sensitisasi sel- sel imun tersebut. Bila sel sistem imun terpapar
kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing ini akan dikenal lebih
cepat dan dihancurkan. Oleh karena itu sistem tersebut spesifik. Sistem imun
spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya
bagi badan, tetapi pada umumnya terjalin kerja sama yang baik antara antibodi,
komplemen, fagosit imun yang terjadi sering disertai dengan inflamasi. Secara garis
besar tubuh mempunyai dua sistem imun spesifik, sebagai berikut : 1) sistem imun
spesifik humoral dan 2) sistem imun spesifik seluler.
Sistem imun spesifik humoral: dalam sistem ini yang berperan adalah limfosit
B atau sel B. Sel B berasal dari sel asal multipoten. Pada unggas, sel asal tersebut
berdiferensiasi menjadi sel B, di dalam organ yang disebut bursa fabrisius yang

©2003 Digitized by USU digital library 11


letaknya dekat kloaka. Bila sel B dirangsang oleh benda asing maka sel tersebut
akan berproliferasi dan berkembang manjadi sel plasma yang dapat membentuk
antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum. Fungsi utama
antibodi ialah mempertahankan tubuh terhadap infeksi bakteri, virus dan
menetralisasi toksin.
Sistem imun spesifik seluler: yang berperan dalam sistem ini adalah limfosit
T atau sel T. Sel tersebut juga berasal dari sel asal yang sama seperti sel B. Pada
orang dewasa sel T dibentuk didalam sumsum tulang, tetapi profilerasi dan
diferensiasinya terjadi didalam kelenjar timus. Fungsi umum sel T ialah membantu
sel B dalam memproduksi antibodi, mengenal dan menghancurkan sel yang
terinfeksi virus, mengaktifkan makrofag dalam fagositosis dan mengontrol ambang
serta kualitas sistem imun. Berbeda dengan sel B, sel T terdiri atas 4 sel subset,
yaitu: 1) sel Th (T helper), sel ini menolong sel B dalam memproduksi antibodi.
Untuk membentuk antibodi, kebanyakan antigen (T dependent antigen) harus
dikenal lebih dahulu baik oleh sel T maupun sel B. Sel Th berpengaruh atas sel Tc
dalam mengenal sel yang terkena infeksi virus dan jaringan cangkok alogenik.
Istilah sel T inducer dipakai untuk menunjukkan aktivitas sel Th yang mengaktifkan
makrofag dan sel- sel lain, 2) sel Ts (T supresor), sel ini menekan aktivitas sel T
yang lain dan sel B. Menurut fungsinya, sel Ts dapat terdiri Ts spesifik untuk antigen
tertentu dan sel Ts nonspesifik, 3) sel Tdh atau Td (delayed hypersensitivity) adalah
sel yang berperan pada pengerahan makrofag dan sel inflamasi lainnya ke tempat
terjadinya reaksi lambat. Sebenarnya fungsi sel Tdh menyerupai sel Th, 4) sel Tc (T
cytotoxic) mempunyai kemampuan untuk menghancurkan sel alogenik dan sel
sasaran yang mengandung virus.
Sel Th dan sel Ts disebut juga sel regulator sedang sel Tdh dan sel Tc disebut
sel efektor.

IV.SINUSITIS MAKSILA KRONIS


1. Defenisi
Sinusitis maksila kronis adalah peradangan kronis pada sebagian atau
seluruh mukosa sinus maksila.
Adams (1978) menyebutkan batas waktu sinusitis kronis beberapa bulan
sampai beberapa tahun Menurut Cauwenberge (1983) disebut sinusitis kronis,
apabila lebih dari tiga bulan.14
Sebenarnya klasifikasi yang tepat berdasarkan pada pemeriksaan
histopatologik, akan tetapi pemeriksaan ini tidak rutin dikerjakan.
Gambaran patologik sinusitis maksila kronis cukup kompleks dan ireversibel.
Mukosa umumya menebal, membentuk lipatan- lipatan atau pseudopolip. Epitel
permukaan mengalami deskuamasi, regenerasi, metaplasia , atau epitel normal
dalam jumlah yang bervariasi pada suatu irisan histologi yang sama. Pembentukan
mikroabses dalam jaringan granulasi dapat terjadi bersama–sama dengan
pembentukan jaringan parut. Secara menyeluruh terdapat infiltrat sel bundar dan
polimorfonuklear dalam lapisan submukosa. 26,34,35

2. Kekerapan
Secara umum sulit untuk menentukan kekerapan sinusitis maksila yang
disebabkan oleh faktor alergi saja. Oleh karena banyak faktor yang mempengaruhi
timbulnya gejala sinusitis maksila.
Rinitis alergi cenderung mulai timbul pada masa kanak-kanak menetap
sampai dewasa, kemudian menurun pada usia lanjut dengan prevalensi sebanyak
7,9 % pada kelompok umur lebih dari 70 tahun. 15,26

©2003 Digitized by USU digital library 12


Suwasono (1986) dalam penelitiannya pada 44 penderita sinusitis maksila
kronis mendapatkan 8 di antaranya (18,18%) memberikan tes kulit positip dan
kadar IgE total yang meninggi. Terbanyak pada kelompok umur 21- 30 tahun
dengan frekuensi antara laik- laki dan perempuan seimbang.
Hasil positip pada tes kulit yang terbanyak adalah debu rumah (87,75%).
tungau (62,50%) dan serpihan kulit manusia (50 %).36

3.Patogenesis
Pada paparan primer dengan alergen, dalam tubuh penderita akan terjadi
interaksi antara makrofag dan limfosit T untuk menghasilkan suatu mediator
(interleukin - 4/IL- 4) yang memacu limfosit B memproduksi IgE spesifik. Bagian Fc
Ig E akan menempel pada reseptor khusus permukaan sel mediator yang telah
terikat dengan IgE disebut sel mediator yang tersensitisasi. Selanjutnya bila terjadi
paparan ulang dengan alergen yang sejenis, maka alergen akan berikatan dengan
bagian Fab Ig E yang ada pada permukan sel mastosit atau basofil. Reaksi itu terjadi
dalam waktu 1- 5 menit sampai 30 menit, dengan puncak reaksi antara 10- 20 menit
dan disebut reaksi akut atau reaksi akut dini. Ikatan tersebut akan memberikan
tanda ke dalam sel yang akan mengaktifkan sistem nukleotida, siklik guanosin
monofosfat (cGMP), siklik adenosin monofosfat (c AMP) dan meningkatkan
perbandingan siklik guanosin monofosfat terhadap siklik adenosin monofosfat serta
aktivasi proesterase. Ikatan antigen IgE juga meningkatan influks Ca++ dari ruang
ekstraseluler, sehingga menaikkan kadar Ca++ di dalam sel. Kadar Ca++ yang
meningkat ini menyebabkan terjadinya degranulasi dan penglepasan mediator
preformed seperti histamin yang melalui sistem saraf otonom menimbulkan gejala
bersin, vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan rinore
dan edema serta kontraksi otot polos pada bronkus yang menimbulkan sesak napas,
Kinin menyebabkan vasodilatasi, sehingga menimbulkan edema. Triptase
menyebabkan proteolisis dan aktivasi C3a. Neutrophil chemotactic factor (NCF)
menyebabkan pengarahan netrofil ke organ target serta eosinophil chemotactic
factor (ECF) menyebabkan pengarahan eosinofil ke organ target.
Bila penderita rinitis alergi terpapar dengan alergen spesifik akan terjadi juga
realsi lambat dalam waktu 4- 12 jam sesudah reaksi akut dan dapat berlangsung
sampai 24 jam. Reaksi akut yang disusul oleh reaksi lambat disebut bifasis. Reaksi
lambat ini pada saat yang sama dengan proses degranulasi di dalam sel, yaitu
dimulai dari timbulnya aktivasi enzim fosfolipase yang memecah fosfolipid membran
sel menjadi asam arakidonat. Sel- sel yang melepas asam arakidonat adalah sel
mastosit, eosinofil, makrofag, trombosit dan endotel vaskuler. Selanjutnya asam
arakidonat dipecah menjadi prostaglandin, tromboksan, leukotrin dan platelet
activating factor (PAF). Oleh karena mediator- mediator tersebut dilepas setelah
histamin, maka disebut newly generated. Pada reaksi lambat ini terjadi reaksi
inflamasi yang menyebabkan sumbatan hidung akan berlangsung lama. 22,36,37,38
Menurut Stammberger yang dikutip oleh Rifki4 , lebih dari 90% peny ebab
kasus sinutis maksila dan frontal terletak di kompleks ostiomeatal yang terdiri dari
infundibulum etmoid, resesus frontal, sel- sel etmoid anterior beserta ostiumnya dan
ostium sinus maksila.
Pada rinitis alergi akan terjadi inflamasi, sehingga mukosa infundibulum
etmoid dan resesus frontal yang berhadapan akan saling berdekatan, sehingga
ventilasi terganggu. PH dalam sinus akan menurun dan akan menyebabkan gerakan
silia dalam sinus berkurang serta mukus tidak dapat dialirkan. Bila sumbatan terus
berlanjut akan terjadi hipoksia dan retensi mukus, yang merupakan kondisi yang
ideal untuk tumbuhnya kuman-kuman patogen. Infeksi dan toksin selanjutnya dapat
mengganggu fungsi mukosa dan menyebabkan terjadinya lingkaran setan (vicious
cycle). Kontak mukosa dapat juga terjadi pada celah antara prosesus unsinatus

©2003 Digitized by USU digital library 13


dengan konka media, bula etmoid dengan konka media dan sinus lateral yang
terletak di atas dan belakang bula etmoid.4,7,26.
Bukti lain juga menyokong bahwa kompleks ostiomeatal adalah tempat
primer terjadinya infeksi di sinus paranasal yaitu ujung depan konka media dan
meatus medius disebabkan daerah tersebut adalah tempat yang paling banyak
terkena udara inspirasi.
Udara dengan kecepatan tinggi setelah melewati katup hidung (nasal valve)
harus berubah arah manjadi horizontal sehingga partikel- partikel udara menempel di
daerah tersebut. Oleh karena itu tempat ini merupakan tempat primer deposit
bakteri dan partikel- partikel alergen yang timbulnya adenokarsinoma dan karsinoma
sel skuamosa.4

4.Etiologi
Alergi dapat juga merupakan salah satu faktor predisposisi infeksi disebabkan
edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang udem yang dapat menyumbat
muara sinus dan mengganggu drenase sehingga menyebabkan timbulnya infeksi,
selanjutnya menghancurkan epitel permukaan dan siklus seterusnya berulang yang
mengarah pada sinusitis kronis. 14,21,26,39,40
Pada keadaan kronis terdapat polip nasi dan polip antrokoanal yang timbul
pada rinitis alergi, memenuhi rongga hidung dan menyumbat ostium sinus. 27
Selain faktor alergi, faktor predisposisi lain dapat juga berupa lingkungan .
Faktor cuaca seperti udara dingin menyebabkan aktivitas silia mukosa hidung dan
sinus berkurang, sedangkan udara yang kering dapat menyebabkan terjadinya
perubahan mukosa, sehingga timbul sinusitis. Faktor lainnya adalah obstruksi
hidung yang dapat disebabkan kelainan anatomis, misalnya deviasi septum,
hipertropi konka, bula etmoid dan infeksi serta tumor. Biasanya tumor ganas hidung
dan nasofaring sering disert ai dengan penyumbatan muara sinus. 39,40
Etiologi infeksi sinus paranasal pada umumnya sama seperti etiologi rinitis,
yaitu virus dan bakteri. Virus penyebab sinusitis antara lain rinovirus, para influenza
tipe 1 dan 2 serta respiratory syncitial virus. Kebanyakan infeksi sinus disebabkan
oleh virus, tetapi kemudian akan diikuti oleh infeksi bakteri sekunder. Karena pada
infeksi virus dapat terjadi edema dan hilangnya fungsi silia yang normal, maka akan
terjadi suatu lingkungan ideal untuk perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini sering
kali melibatkan lebih dari satu bakteri. Organisme penyebab sinusitis akut mungkin
sama dengan penyebab otitis media. Yang sering ditemukan dalam frekuensi yang
makin menurun ialah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus Influenzae, bakteri
anaerob, Branhamella kataralis, Streptococcus alfa, Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pyogenes. Selama suatu fase akut, sinusitis kronis disebabkan oleh
bakteri yang sama yang menyebabkan sinusitis akut. Namun, karena sinusitis kronis
biasanya berkaitan dengan drenase yang tidak adekuat maupun fungsi mukosiliar
yang terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik, dimana
proporsi terbesar bakteri anaerob. Akibatnya, biakan rutin tidak memadai dan
diperlukan pengambilan sampel secara hati- hati untuk bakteri anaerob. Bakteri
aerob yang sering ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun, antara lain
Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans, Haebomophilis influenza, Neisseria
flavus, Staphylococcus epidermis, Streptcoccus pneumoniae dan Escherichia coli,
Bakteri anaerob termasuk Peptostreptococcus, Corynebacterium, Bakteriodaes dan
Vellonella. Infeksi campuran antara organisme aerob dan anaerob sering kali terjadi.
26,39,40

Sumber infeksi yang mungkin dapat menyebabkan peradangan pada sinus


paranasal, antara lain infeksi hidung yang umumnya menyebar kearah sinus melalui
muaranya. Infeksi hidung bisa disebabkan oleh mikroorganisme patogen atau dapat
pula oleh benda asing seperti yang sering terjadi pada anak- anak. Infeksi gigi, paling

©2003 Digitized by USU digital library 14


sering sebagai penyebab infeksi sinus maksila terutama infeksi dari rahang atas gigi
molar 1,2,3 serta premolar 1 dan 2. Penyebaran infeksi dari gigi ke antrum melalui
dua cara, yaitu melalui infeksi gigi kronis, yang mengakibatkan terbentuknya daerah
granulasi pada mukosa sinus yang menutupi daerah alveolaris, sehingga fungsi
mukosa didaerah tersebut berubah dan aktifitas silia terganggu. Dapat juga
perkontinuitatum, bakteri langsung menyebar dari granuloma kapital atau kantong
periodontal ke sinus maksila. Trauma muka dapat menimbulkan peradangan dengan
beberapa cara yaitu melaui fraktur terbuka, menyebabkan hubungan sinus dengan
dunia luar maupun rongga hidung kerusakan mukosa yang terjadi serta adanya
bekuan darah memudahkan timbulnya infeksi. Dapat pula melalui kontusio sinus,
dimana akibat pukulan yang keras pada pipi akan mengakibatkan kontusio mukosa
sinus yang kadang- kadang disertai ekstravasasi darah ke dalam antum. Keadaan
ini memudahkan terjadi infeksi yang berasal dari hidung. Suatu benda asing di dalam
sinus maupun hidung dapat meyebabkan sinusitis, misalnya pecahan tulang, gigi
peluru dan tampon hidung. Barotrauma dapat juga sebagai penyebab dan sering
terjadi pada penderita sumbatan hidung misalnya, deviasi septum, rinitis alergi
selama dalam penerbangan. Infeksi dari air sewaktu berenang dan menyelam dapat
merupakan faktor penyebab terjadinya sinusitis, sedangkan penyakit umum seperti
influenza, morbili dan pertusis dapat menyebabkan sinusitis pula. Peneumonia yang
disebabkan oleh Pneumococcus sering disertai oleh sinusitis dengan penyebab oleh
kuman yang sama.26,40
Hubungan sinusitis dengan penyakit atau kelainan paru, dikenal sebagai
sindrom sinobronkial dan kelainan paru yang bersamaan dengan sinusitis ialah
bronchitis kronis, asma bronkial dan bronkiektasis.26

5. Gejala klinis.
Gejala klinis sinusitis maksila kronis sangat bervariasi , dari ringan sampai
berat, dari :
1) Gejala hidung, a) Obstruksi hidung, keluhan ini se ring dirasakan oleh
penderita sebelum terjadi sinusitis, karena adanya rinitis alergi dan
polip yang timbul sebelumnya, b) Sekret hidung. Pada sinusitis
alergi maka cairan yang keluar bersifat serous kadang- kadang
mukoid yang berlebihan. Bila sekret berubah menjadi mukupurulen,
biasanya sudah terjadi proses paradangan dan bila sekret
bercampur darah, terutama unilateral dicurigai adanya keganasan,
c) Post nasap drip (ingus belakang hidung), merupakan gejala yang
paling sering ditemukan dan dirasakan sebagai perasaan kering
dari tenggorok, rasa panas di belakang hidung serta rasa tidak
nyaman di mulut, d) Epistaksis, disebabkan karena peradangan
dan vasodilatasi pembuluh darah pada mukosa hidung, e)
gangguan penghidu, ada keluhan kakosmia , penderita merasakan
bau busuk, bahkan bau dapat tercium oleh orang lain, biasanya
karena kelainan anatomi hidung. Pada sinusitis kronis dengan dasar
rinitis alergi biasanya keluhannya hiposmia sampai anosmia dan
kadang- kadang parosmia, f) Ekskoriasi sekitar lubang hidung,
seringkali ditemukan pada anak-anak dan dianggap sebagai tanda
sinusitis kronis, g) Allergic salute, yaitu gerakan punggung tangan
menggosok hidung karena gatal, keadaan ini sering tampak pada
anak-anak dan menimbulkan garis melintang di dorsum nasi bagian
sepertiga bawah, yang disebut allergic crease (linea nasalis).
2) Gejala faring. Rasa kering tenggorok yang disebabkan oleh
faringitis dan tonsillitis.

©2003 Digitized by USU digital library 15


3) Gejala telinga. Sinusitis kronis dapat menyebabkan nasofaringitis,
sehingga terjadi edema mukosa dan obstruksi tuba Eustachius dan
kadang- kadang dapat terjadi otitis media serosa kronis karena
alergi sebagi gangguan dasarnya. 26
4) Nyeri kepala. Mempunyai sifat khas yaitu nyeri pada pagi hari dan
akan berkurang atau hilang setelah siang hari. Hal ini diduga karena
penimbunan sekret dalam rongga hidung dan sinus serta adanya
stasi vena pada malam hari, sedangkan pada siang hari karena posis
tegak, drenase baik.
5) Gejala mata. Berupa keluhan mata gatal dan lakrimasi yang
disebabkan karena obstruksi dan infeksi duktus lakrimalis,
sehingga sering terjadi konjungtivitis. Pada anak terdapat
bayangan gelap di bawah mata yang terjadi karena statis vena
sekunder akibat obstruksi hidung, yang disebut allergic shiners
(black eyes of allergy). Dapat timbul Dennise line, yaitu adanya
lipatan (alur) di bawah palpebra inferior oleh karena kontraksi otot
polos dibawah palpebra inferior, gambaran ini tampak sejak bayi
dan berhubungan dengan rinitas alergi dan dermatitis atopi.
6) Gejala Saluran nafas. Batuk dan kadang- kadang terdapat
komplikasi di paru, berupa bronchitis atau bronkiektasis atau asma
bronkial, sehingga terjadi penyakit sinobronkitis.
7) Gejala Saluran Cerna. Mukopus yang tertelan dapat menimbulkan
gangguan pencernaan , nausea dan gastritis ringan.
8) Lidah geografik ( geographic tongue). Disebabkan adanya glositis
kronis.
9) Allergic or adenoid faces/sad looking faces. Bernafas melalui mulut,
mulut terbuka, allergic or shiners dan kemungkinan disertai
maloklusi gigi. Hal ini disebabkan alergi dan pembesaran tonsil
atau adenoid.
10) Gejala umum, kadang- kadang disertai rasa lesu dan demam yang
tidak begitu tinggi. 26,41

6. Diagnosis.
Dalam menegakkan diagnosis sinusitis maksila kronis, pemeriksan dimulai
dari anamnesis, gejala klinis, diikuti dengan pemeriksaan klinis rutin sampai
pemeriksaan khusus.
1) Anamnesis. Mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. Yang perlu
ditanyakan adanya keluhan alergi hidung, dengan gejala yang paling banyak adalah
bersin- bersin lebih dari 5 kali setiap serangan atau gatal hidung (89,80 %),rinore
encer lebih dari satu jam (87,07%) dan hidung tersumbat (76,19%). Biasanya gejala
timbul setelah ada riwayat kontak dengan alergen tertentu. Perkiraan alergen
penyebab, dari tes kulit alergen- alergen yang memberikan hasil positif bermakna
berturut-turut terbanyak adalah tungau debu rumah (91,19%).debu rumah
(73,47%), serpihan epitel atau bulu binatang (63,95%). 16,41,42
2) Gejala obyektif. Pada pemeriksaan klinis kronis tidak seberat
pemeriksaan sinusitis akut dan tidak terdapat pembengkakan muka. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior, mukosa hidung penderita rinitis alergi biasanya
basah , pucat atau livid serta konka tampak membengkak. Jika terdadap infeksi
penyerta, sekret dapat bervariasi dari encer dan mukoid hingga kental dan parulen,
sehingga mukosa menjadi merah dan meradang serta ditemukan sekret kental
(pus) pada meatus medius atau meatus superior. Kadang- kadang tampak polip pada
regio etmoid yang meluas ke meatus superior dan media. Pada pemeriksaan
rinoskopi posterior, tampak sekret purulen di nasofaring atau permukaaan atas

©2003 Digitized by USU digital library 16


palatum, biasanya berasal dari sinus parasanal bagian anterior. Gejala khas
sinusitis bagian interior ialah adanya pus yang mengalir melalui ujung belakang
konka inferior dari meatus medius. Pada pemeriksaan faring, tampak pus mengalir
melalui dinding lateral faring, kadang- kadang tampak pembengkakan jaringan
mukosa di lateral faring pada sisi yang sama.26,41

7. Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang pada rinitis alergi meliputi :
1) Eosinofil sekret hidung. Sekret diambil dengan kapas lidi pada konka
media dan konka inferior atau dapat dengan kerokan mukosa bagian lateral hidung,
kemudian ditaruh di atas kaca dan difiksasi dengan alkohol 95% serta diwarnai
secara Hansel atau Giemsa. Mygind17 membuat penilaian sebagai berikut : tidak ada
eosinofil (- ) : bila jumlah < 5 %, eosinofilia ringan (±) : bila jumlahnya 5- 10%,
eosinofilia sedang (+) : bila jumlahnya 10- 50% dan eosinofil nya (++) : bila
jumlahnya > 50 %. Pada orang normal tidak terdapat eosinofil, bila hasilnya (±)
dianggap tidak bermakna dan perlu diulang sera hasil (+) dan (++) menyokong
diagnosis rinitis alergi dijumpai peninggian eosinofil sekret hidung > 10%.43
Madiadipoera pada penelitian sekret hidung mendapatkan eosinofil 95,3% dan
memperhatikan 91,7% tes kulit positif, 80,1 % IgE RAST positif dan tes provokasi
hidung 73,3% positif. 44

2) Jumlah eosinofil dalam darah tepi. Umumnya pada penyakit alergi jumlah
eosinofil dalam darah tepi meningkat di atas 300/ ul. Bahkan mungkin mencapai
1500- 2000/ul. Keadaan eosinofilia juga terdapat pada keadaan infestasi cacing,
penyakit Hodgkin dan sindrom Loffler. Menurut Mygind (1978)17 pada keadaan rinitis
alergi saja, jumlah eosinofil darah tidak begitu meningkat atau tidak ada perbedaan
berarti dengan kelompok normal, sedangkan pada rinitis alergi dengan asma,
peningkatannya cukup nyata.

3) Kadar Ig E total serum darah. Antibodi yang menimbulkan gejala alergi


adalah Ig E. Kadar Ig E dalam serum tergantung dari umur seseorang, pada bayi
baru lahir sangat rendah yaitu 21 IU/ml kemudian meningkat secara progresif sampi
umur 12 tahun, lalu menurun hingga mencapai kadar Ig E dewasa nonatopi, yaitu
rata- rata 90 IU/ml. Kadar Ig E pada penderita alergi pada saat pemaparan
umumnya lebih tinggi dibandingkan saat tidak terpapar (kadar basal), tetapi kadar
IgE basal ini umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan penderita nonatopi. Kadar
basal ini dipengaruhi oleh faktor genetik dan limfosit T yang memegang peran
penting pada sintesis IgE. Meskipun peningkatan IgE pada penderita alergi tidak
mutlak, pengukuran IgE pada satu keluarga terungkp bahwa makin tinggi kadar IgE
makin besar kemungkinan seseorang menderita alergi. Dengan demikian penentuan
kada r IgE total berguna untuk menentukan ada tidaknya alergi dan meramalkan
terjadinya alergi pada anak- anak.
Pengukuran kadar IgE total saja belum memastikan status alergi, karena gejala
alergi dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Kadar IgE total serum yang tinggi juga
ditemukan pada keadaan infetasi cacing, kista hidatit, aspergilosis bronkupulmoner,
dermatisis, pemphigoid bulosa dan infeksi virus. Selain itu kadarnya yang rendah
ditemukan pada hipogamaglobulinemia dan mieloma multiple Laboratorium di RSCM
memakai nilai normal kadar IgE total darah 100 IU/ml dan dianggap patologis bila
kadarnya 200 IU/ml.44
4) Tinja. Pemeriksaan untuk mengetahui adanya telur cacing atau infestasi
parasit lain yang juga dapat meningkatan kadar eosinofil dalam darah tepi dan IgE
total dalam darah. 43

©2003 Digitized by USU digital library 17


5) Kadar Ig E spesifik. Pada alergi penting untuk menetukan alergen mana
yang paling bermakna dalam menimbulkan gejala alergi. Alergen ini dapat
ditentukan dengan menetapkan IgE spesifik menggunakan metoda radio
allergosorbent test (RAST) atau modifikasinya. Kadar IgE spesifik tidak memberikan
korelasi yang baik pada uji provokasi hidung dibanding dengan uji kulit sehingga
dapat digunakan pada penderita dermatografisme, kelainan kulit yang luas,
penderita yang tidak kooperatif, rinitis alergi yang tidak dapat lepas dari obat
antihistamin dan bahaya reaksi anafilaksis tidak ada. Pemeriksaan ini dapat
memonitor imunoterapi dan cara pemeriksaannya lebih mudah. Kerugian dari
pemeriksaan ini ialah biaya mahal, hasil pembacaan cukup lama dan kurang sensitif
bila dibandingkan dengan tes kulit tusuk.45

6) Tes kulit. Dasar tes kulit adalah menguji reagen yang terikat pada
mastosit di jaringan organ lain. Dikenal dua macam tes kulit, yaitu tes epidermal dan
tes kulit intradermal. 17,43
Tes ku lit epidermal, terdiri dari tes kulit tusuk atau cukit (prick test) dan tes
kulit gores (scratch test).
Tes kulit tusuk atau cukit (prick test). Dilakukan mula- mula dengan
membersihkan volar dengan bawah dengan alkohol, ditunggu sampai kering Alergen
diteteskan berbaris dengan jarak 2 cm diatas kulit dan dengan jarum disposibel
nomor 26 yang selalu baru, dilakukan tusuk dangkal atau dicukit melalui masing-
masing ekstrak yang telah diteteskan. Tusukan dijaga jangan disampai
menimbulkan pendarahan. Tes dibaca setelah 15- 20 manit. Cara penilaian :
menurut Sheldom4 4 hasil tes negatif, didapatkan bial hasil tes sama dengan kontrol.
Positif 1 (+), bila didapatkan bentol berukuran 4- 6 mm. Posistif tiga (+++), bila
didapatkan bentol berukuran 6- 8 mm. Positif empat (++++), bila bentol berukuran
> 8 mm. Mygind 17 membandingkan bentol dengan larutan kontrol negatif dan
larutan positif histamin, yaitu (- ) reaksi yang terjadi sama dengan larutan kontrol
negatif. Hasil bentol (+) dan (++) yang terjadi antar (- ) dan (+++). Bentol (+++)
yang terjadi sama besar dengan larutan positif histamin. Bentol (++++) dengan
diameter lebih besar dari kontrol positif atau bentol dengan pseudopodi. Selain itu
terdapat korelasi dengan tes provokasi dan IgE RAST, sehingga ditamba h dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik maka diagnosis alergi dapat ditegakkan.
Kerugiannya adalah kurang sensitif dan bisa terjadi negatif palsu.

Tes kulit gores (scratch test), dilakukan dengan menggores memakai jarum
steril sepanjang 0,5 cm pada epidermis punggung atau volar lengan bawah yang
akan dites, kemudian diteteskan alergen atau sebaliknya di teteskan dulu alergen
kemudian digores dengan kedalaman yang sama. Pembacaan tes setelah 20 menit
dan tes ini positif bila timbul indurasi (wheal) dan diterima kemudian diukur
diameternya dalam millimeter. Sekarang tes ini tidak digunakan lagi karena sering
menimbulkan positif palsu oleh karena sulit membedakan iritasi kulit dengan reaksi
alergi. Selain itu tes ini kurang sensitif.
Tes kulit intrademal, dilakukan bila hasil tes gores atau tes cukit tidak pasti,
yaitu (-) atau (+). Dengan jarum ukuran 26 dan memakai skala millimeter, 0,01-
0,02 ml larutan dengan kosentrasi 1/1000- 1/10.000 dengan bahan pelarut air
disuntikkan intrademal pada lengan atas bagian luar sedistal mungkin sampai
terbentuk bentol pucat sebesar 2- 3 mm. Sebagai kontrol disuntikkan histamin dan
larutan buffer. Diusahakan tidak berdarah dan reaksi yang terjadi dibaca setelah
10-15 menit. Keuntungan tes ini adalah lebih sensitif dibandingkan dengan tes cukit
atau tes gores, sedangkan kerugiannya ialah menimbulkan rasa nyeri dan mudah
terjadi reaksi anafilaksis sistemis. Tes kulit Intradermal, terdiri dari: a) pengenceran
tunggal (single dilution). Tes kulit ini me makai konsentrasi yang bervariasi,

©2003 Digitized by USU digital library 18


biasanya 1:1000 w/v dan dilakukan jika respons alergen pada tes kulit cukit negatif
atau kurang sensitif, b) pengenceran berganda (multiple dilution), teknik ini disebut
juga skin end point titration (serial dilution). Masing- masing peneliti menggunakan
pengenceran yang berbeda –beda , yaitu 1:3, 1:5 dan 1:10.
Pada tes kulit larutan yang dipakai adalah larutan alergen dalam gliserin
1/10 - 1/50 dan sebagai tes kontrol dipakai larutan yang tidak mengandung
alergen dan histamin, yaitu larutan cocca (suatu larutan buffer poshphat) serta tes
kontrol pembanding digunakan larutan histamin 0,1 %. Ada beberapa obat-obatan
yang mempengaruhi tes kulit, diantara lain antihistamin, kortikosteroid dan
simpatomimetik, sehingga pemakai obat- obat ini harus dihentikan sebelum tes
dimulai. Berhubung metabolisme antihistamin banyak yang lambat dan berbeda –
beda satu dengan yang lain, maka beberapa pendapat mengharuskan bebas
antihistamin sedatif 1 minggu, non sedatif 2- 4 hari dan kortikorteroid selama 6
minggu sebelum tes kulit.

7) Tes provokasi hidung. Dilakukan dengan memberikan alergen langsung ke


mukosa hidung, kemudian dinilai reaksi organ sasaran tersebut. Biasanya dikerjakan
untuk mengevaluasi sensifitas mukosa hidung terhadap alergen. Okuda yang dikutip
oleh Madiapoera43 membuat tes provokasi dengan menggunakan cakram dengan
diameter 3 mm yang berisi ekstrak alergen 250 ug. Cakram ditempatkan pada
konka inferior dalam satu sisi hidung hasilnya ditunggu setelah 10 menit. Respons
positif yang terlihat yaitu bersin, adanya sekret hidung dan pembangkakan mukosa
hidung. Tingkat respons yang terjadi terdiri dari atas gradasi 1, ada 2 gejala diatas
yang terjadi, gradasi II, ada semua gejala dan jumlah bersin kurang atau sama
dengan 5 kali gradasi III, ada semua gejala dan jumlah bersin > 6 kali. Faktor yang
mempengaruhi tes provakasi hidung sama dengan tes kulit- kulit cukit dan tes ini
mempunyai korelasi baik dengan riwayat alergi, IgE spesifik dan efek dari
imunoterapi.

Pemeriksaan penunjang sinusitis maksila terdiri dari : 14,21,26,41


1) Transiluminasi. Dapat dipakai untuk pemeriksaan sinus maksila dan sinus
frontal. Pada sinus maksila tampak gambaran seminular infraorbital, sinar tentang
pada pipi dan pupil bercahaya. Pada sinus frontal yang normal menunjukkan sinar
terang pada sinus frontal dan tampak tegas batas antara rongga dan tulang. Sinus
tampak lebih gelap jika di dalamnya terdapat cairan pus, mukopus, penebalan
mukosa dan massa tumor. Jika sinus tampak lebih kecil dan gelap maka
kemungkinan oleh karena trauma, gangguan pertumbuhan, penebalan jaringan
lunak atau penebalan tulang. Transiluminasi tidak mempunyai arti penting untuk
menegakkan diagnosis dan kebenaran diagnosisnya dibandingkan dengan hasil
fungsi sinus hanya 50 % - 68 %. Selain itu jika dibandingkan dengan pemeriksaan
foto Rontgen hasilnya berbeda 15 %.
2) Pemeriksaan radiologik. Umunya ada tiga posis yang secara rutin
dilakukan . yaitu posisi oksipitomental (Watres), oksitofrontal (Caldwell) dan posisi
lateral.
Pemeriksaan radiologi khusus dilakukan jika pemeriksaan radiologi rutin
meragukan atau tidak jelas. Pemeriksaan ini terdiri atas : a) Pemeriksaan radiologi
dengan bahan kontras. Dengan pemeriksaan cara ini dapat diketahui keadaan
anatomi dan fungsi sinus maksila. b) Ultrasonografi (USG). Cukup baik untuk
pemeriksaan sinus karena mudah, murah dan tanpa radiasi. Tetapi beberapa ahli
berpendapat nilai diagnostiknya rendah. c) Computed tomography scanning (CT
scan) merupakan pilihan utama diagnostik penyakit-penyakit inflamasi atau
neoplasma sinus paranasal dan merupakan bagian penting sebagai pemeriksaan
penunjang. 45 CT scan yang digabung dengan pemeriksaan endoskopi hidung, akan

©2003 Digitized by USU digital library 19


memberikan hasil 90 % lebih akurat dibandingkan dengan pemeriksaan sendiri-
sendiri. d)Magnetic resonance imaging (MRI). Memberikan gambaran yang lebih
baik untuk membedakan karakteristik dari suatu lesi jaringan.
3) Fungsi sinus maksila . selain untuk membantu diagnosis dapat juga untuk
terapi. Trokar yang dimasukkan ke dalam antrum sinus maksila dapat melalui ostium
sinus di meatus medius, fosa kanina, dan meatus inferior. Pada sinusitis dengan
penebalan mukosa, biasanya cairan tidak dapat keluar karena ostium menjadi
sempit atau tersumbat total.46
4) Pemeriksaan sinoskopi atau antroskopi sinus maksila. Pertama kali
dikemukan oleh Hirschmann pada tahun 1901. Hasil sinoskopi lebih baik
dibandingkan dengan hasil radiologik, karena dapat mengetahui jenis dan perubahan
patologik, serta keadaan ostium sinus maksila.

8. Diagnosis banding
Rinitis alergi perlu dibedakan dengan rinitis vasomotor, rinitis idiopatik, rinitis
infeksiosa, rinitis sekunder dari obat- obatan, baik lokal maupun sistematik, rinitis
sekunder dari faktor mekanis, tumor hidung, polip hidung, rinore serebrospinal,
iritasi oleh kimia, faktor psikologis dan mastositosis hidung. 4,21
Di samping alergi, penderita polip hidung perlu dinilai terhadap sinusitis
infeksiosa, dan fibrosis kistik pada anak. Sinusitis dengan etiologi nonalergi,
misalnya trauma, zat kimia, imunodefisiensi, fibrosis kistik, sindrom Kartagener,
penyakit granulomatosa dan infeksi. 21,29

9. Pengobatan 21,40,47
Pengobatan yang diberikan ditujukan untuk infeksi dan faktor- faktor
penyebab infeksi secara bersama-sama. Di samping pemberian antibiotik dan
dekongestan, juga perlu diperhatikan predisposisi kelainan obstruksi yang
disebabkan karena rinitis alergi. Pengobatan untuk rinitis alergi terdiri atas 5 bagian
utama , yaitu : 1) menghindari alergen penyebab. Dapat dilakukan dengan
mengisolasi penderita dari alergen, menempati suatu sawar antara penderita dan
alergen atau menjauhkan dari penderita alergen.Untuk pencegahan ini, diperlukan
identifikasi alergen dan menghindari aleregn penyebab (avoidance). Dalam
pengelolaan penderita alergi inhalan, menganjurkan penderita untuk menghindari
alergen penyebab tidaklah mudah, sehingga poliklinik THT RSUD Dr. Soetomo
telah mengadakan kegiatan penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit
(PKMRS) mengenai debu rumah kepada penderita dan keluarganya.42,55
2) Pengobatan simptomatis. Diberikan bila pencegahan terhadap alergen
penyebab tidak memberikan hasil yang memuaskan. Ada 4 golongan obat yang
dapat di berikan, yaitu golongan antihistamin, simpatomimetik, kortikosteroid dan
stabilisator mastosit. Antihistamin, merupakan senyawa kimia yang dapat melawan
kerja histamin dengan mekanisme inhibisi kompetitif pada lokasi reseptor histamin.
Ada dua macam antihistamin, yaitu antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1)
dan antihistamin penghamb at reseptor H2 (AH2).48
Antihistamin H1 sampai saat ini dikenal 2 macam, yaitu antihistamin klasik
dan antihistamin generasi kedua atau baru.
Golongan antihistamin H1 klasik yang sering digunakan adalah etanolamin,
etilendiamin, alkelamin, fenotiazin, siproheptadin, hidroksizin, pirezin. Efek
antihistamin klasik, yaitu antihistaminik, yaitu menghilangkan gejala- gejala alergi
dan antikolinergik, yaitu mengurangi sekresi kelenjar eksorin, sekresi saliva sehingga
dapat mengurangi gejala rinore, tetapi dapat juga menyebabkan keringnya mukosa
mulut dan tenggorok serta sedatif, yaitu merupakan efek samping yang paling sering
terjadi. 42,48

©2003 Digitized by USU digital library 20


Golongan antihistamin generasi baru yang beredar di pasaran , yaitu
terfenadin, loratidin, astemizol, oxatomide, mequitazine dan cetirizine. Golongan ini
tidak mempunyai hubungan kimia yang langsung dengan histamin, hanya
mempunyai suatu struktur nitrogen aromatik yang sama dalam bentuk piperidin,
piperazin atau piridin. Efek antihistamin baru, yaitu sebagai antihistaminic long
action, dimana waktu paruhnya lama, sehingga cukup diberika 1 x sehari. Hal ini
karena ikatannya dengan reseptor H1 lebih sukar lepas, sehingga efek terapinya
lebih lama, selain dari itu efek antikolinergiknya lebih ringan dari non sedatif karena
tidak menembus sawar otak serta stabiliator sel mastosit, sehingga dapat mencegah
terjadinya degranulasi atau penglepasan mediator amine-vasoaktif dengan
mencegah influk ion Ca kedalam sel mastosit. Dengan demikian antihistamin
generasi kedua ini dapat mencegah gejala- gejala yang ditimbulkan, baik oleh
mediator yang sudah terbentuk (preformed ) maupun yang belum terbentuuk (newly
generated).21,48
Antihistamin H2 seperti simetidin dan ranitidin dapat berguna bila diberikan
bersama antihistamin H1 sumbatan hidung, tetapi untuk pengobatan polip hidung
tidak memberikan hasil. 21,48,55
Golongan simpatomimetik (dekongestan). Penggunaan obat ini mengurangi
edema mukosa hidung melalui rangsangan reseptor alfa dan menghambat
penglepasan histamin dari mastosit melalui rangsangan reseptor beta. Obat - obat
dekongestan dapat dibedakan menjadi dekongestan sistemik, biasanya peroral,
misalnya fenil propanolamin, efedrin HCI dan pseudeoefedrin HCI, dan dekongestan
lokal yang terdiri dari derivat imidazolin (oxymetazoline, xylometazoline), derivat
simpatomimetik (fenilefrin, fenil propanolamine, efedrin HCI). Suatu dekongestan
dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi dengan antihistamin H1 lokal atau
peroral pada pengobatan rinitis alergi. Pemakain lama antihistamin lo kal dan
dekongestan tidak dianjurkan, karena antihoistamin lokal dapat menimbulkan
sensitisasi dan dekongestan lokal dapat menimbulkan iritasi dan “rebound
phenomenon” seperti pada rinitis medikamentosa, sehingga pemakaian obat ini di
batasi 3 – 4 hari. Pada obstruksi hidung yang berat dapat diberikan obet tetes
efedrin 0,5-1%, maka sumbatan akan hilang setelah 10 menit selama 2 sampai 4
jam. Obat dekongestan yang paling sedikit efek sampingnya yaitu oxymetazoline.48
Ipatropium bromide, adalah obat selain mempunyai efek parasimpatolitik
juga mempunyai efek anti kolinergik dan efek topikal yang tinggi serta memiliki
atropine like effect. Semula obat ini dipakai sebagai bronkodilator dengan nama
dagang atrovent dan dapat mengurangi rinore pada penderita rinitis alergi, rinitis
vasomotor dan common cold.48,60
Kortikosteroid. Bila hasil pengobatan antihistamin dan dekongestan belum
berhasil maka dapat diberikan kortikosteroid secara sistemik maupun intranasal.
Pengobatan lokal dengan beklometason atau flunisolid lebih disukai, karena kerjanya
langsung dan efek sampingnya yang rendah. Untuk pemberian yang efektif biasanya
memerlukan beberapa hari sampai beberapa minggu. Efek kortikosteroid ialah
menghambat aktifitas histamin dan zat kinin vasoaktif, menstabilkan membran
sehingga penglepasan zat mediator dihambat, tetapi tidak menghambat interaksi
antar antigen dan antibodi. Di laporkan pemberian kortikosteroid dapat mengurangi
besarnya polip hidung. 48
Stabilisator mastosit, yang termasuk dalam golongan ini adalah natrium
kromolin dan ketotifen. Efek natrium kromolin (sodium kromoglikat) ialah
menurunkan pengelepasan zat mediator, sehingga dianggap sebagai pengobtan
pencegahan dan diberikan sebelum terjadi kontak dengan alergen. Efek sampingnya
minimal, terutama berupa iritasi lokal. Pemakaian pada polip hidung belum dapat
dibuktikan keberhasilannya. Ketotifen, sebagai stabilisator sel mastosit, diserap
dalam saluran cerna dan dalam bentuk utuh keluar lewat urine dan tinja. Efek

©2003 Digitized by USU digital library 21


sampingnya sama seperti antihistamin H1. Trombosit secara reversibel, sehingga
penggunaan kombinasi kedua obat tersebut sebaiknya dihindari. 48,55,60

3)
Imunoterapi (desensitisasi, hiposensitisasi). Pemberian imunoterapi
dapat dipertimbangkan bila cara- cara konservatif tidak berhasil. Dasar dari
imunoterapi adalah menyuntikkan alergen penyebab secara bertahap dengan dosis
kecil yang makin meningkat untuk menginduksi toleransi pada penderita alergi.
Suatu dosis imunoterapi yang efektif (optimal) akan menimbulkan perubahan-
perubahan klinis dan imunologik sebagai berikut: 1) Kenaikan pada Ig D khususnya
antibody penghambat Ig G1 dan Ig G4 yang tetap akan tinggi selama imunoterapi
diberikan. Peran Ig G1 dan Ig G4 diduga untuk menetralkan alergen sebelum
mencapai Ig E yang terikat di sel mastosit. Besarnya kenaikan Ig G yang terbentuk
dipengaruhi oleh dosis alergen yang diberikan . 2) kenaikan kadar Ig E pada
imunoterapi, kemudian turun perlahan- lahan sampai lebih rendah dari kadar
sebelum imunoterapi dalam waktu 18-24 bulan, kemudian dapat naik lagi dalam
waktu 1- 2 tahun setelah imunoterapi dihentikan. 3) kenaikan kadar Ig A dan Ig G
dalam sekret hidung. 4) Berkurangnya responsivitas limfosit secara invitro, 5)
meningkatkan nilai ambang dosis alergen yang digunakan pada tes provaksi
hidung. 6) Supresi reaksi lambat pada tes kulit intradermal terhadap alergen
spesifik. 7) berkurangnya penglepasan histamin oleh basofil. 42,44,46

Dari berbagai penelitian menunjukkan sekitar 60- 90 % kasus memberikan


respons dengan imunoterapi konvensional. Secara umum hasil imunoterapi dapat
digolongkan ke dalam 3 kelompok, yaitu : 1) Penderita mengalami perbaikan klinik
sampai imunoterapi dihentikan. 2) Penderita mengalami perbaikan klinik selama
imunoterapi, tetapi kadang- kadang timbul gejala yang dapat diatasi dengan terapi
medikamentosa. 3) Hilangnya keluhan selama imunoterapi tidak berbeda dengan
keadaan sebelumnya. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan kegagalan
imunoterapi, yaitu tindakan menghindari alergen yang kurang adekuat, pemilihan
jenis alergen yang tidak tepat, dosis yang diberikan kurang cukup dan diagnosis
yang salah. 42
Meskipun imunoterapi efektif untuk pengobatan rinitis alergi, namun
efektivitasnya belum dapat dipastikan pada pengobatan polip hidung. Kontra
indikasi pemberian desensitisasi ialah golongan penyakit kolagen dan
glomerulonefritis karena dapat menyebabkan penyakit bertambah aktif. Pada
kehamilan pemberian imunoterapi harus lebih hati- hati. Beberapa penulis
menyatakan sebaiknya tidak diberikan, karena dapat menyebabkan malformasi
pada bayi yang dilahirkan. Sebaliknya ada yang menyatakan bahwa antigen yang
diberikan tidak dapat melalui sawar (barier) plasenta.42
4) Penatalaksanaan komplikasi atau faktor- faktor yang memperburuk.
Kelemahan, stress emosi, perubahan suhu yang mendadak, infeksi yang menyertai,
deviasi septum dan paparan terhadap polutan udara lainnya yang dapat
mencetuskan, memperhebat dan mempertahankan gejala - gejala yang menyertai
rinitis alergi, polip hidung dan sinusitis. Penanganan faktor- faktor ini sama
pentingnya dengan pengobatan yang ditujukan terhadap alerginya.
5) Terapi bedah . Pengobatan operatif baru dilakukan bila pengobatan
medikamantosa gagal. Pembedahan disini untuk mengurangi gejala alergi seperti
sinusitis dan polip nasi. Tindakan ini memungkinkan ventilasi dan drenase hidung
serta mengupayakan aliran hidung dan sinus yang memadai. 4,26

Pengobatan pada sinusitis maksila kronis, pada prinsipnya memperbaiki


drenase dan menormalkan kembali atau membuang lapisan mukosa yang telah

©2003 Digitized by USU digital library 22


mengalami kerusakan. Perubahan pada mukosa sinus dapat bersifat reversibel dan
ireversibel sehingga, pengobatan sinusitis maksila, terdiri atas :21,40,48
1) Pengobatan konservatif. Secara klinis untuk mengetahui keadaan mukosa
yang reversibel sangat sulit, jika pengobatan secara konservatif tidak berhasil.
Pengobatan ini meliputi obat antialergi dan dekongestan, obat mukolitik untuk
mengencerkan sekret ;obat analgetik, untuk mengurangi rasa nyeri, obat antibiotik,
sebaiknya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan mkirobilogik dan kultur resistensi
kuman. Biasanya diberikan antibiotik yang mempunyai spektrum luas selama 10- 14
hari. Termasuk pula pengobatan diatermi, dengan sinar gelombang pendek (ultra
short wave diathermi). Dengan pengobatan ini maka temperatur sinus akan naik
antara 1,7 sampai 2,2 C, sehingga akan memperbaiki vaskularisasi sinus maksila.
Diatermi dapat diberikan selama 10 hari dan tidak boleh digunakan dalam keadaan
akut. Memperbaiki lingkungan yang jelek sekitar penderita, lingkungan udara yang
bersih, terutama pada anak- anak dapat membantu mempercepat
kesembuhan. 35,36,40
Pungsi dan irigasi sinus maksila termasuk pengobatan konservatif,
diperlukan untuk mengeluarkan sekret dari rongga sinus maksila yang dapat
dilakukan melalui ostium sinus maksila di meatus medius, meatus inferior dan fosa
kanina. Dilakukan maksimal enam kali setiap 2 – 3 hari sekali. Jika terdapat nanah
(pus), berarti pengobatan konservatif tidak berhasil dan dipertimbangkan
pengobatan secara operatif. Kontraindikasi pungsi sinus maksila ialah tidak boleh
dilakukan pada saat ada infeksi akut karena dapat mengakibatkan oesteomielitis dan
trauma pada maksila.
Antrostomi intranasal, yaitu tindakan membuat lubang pada meatus inferior yang
menghubungkan rongga hidung dan sinus maksila, untuk drainase sekret dan
ventilasi sinus maksila. Biasanya dilakukan pada penderita yang memerlukan irigasi
berulang kali dan tidak dapat dilakukan pungsi sinus dengan anestesi lokal.
Antrostomi yang cukup baik ialah yang diameternya cukup lebar, pemanen dan
letaknya serendah mungkin pada dasar hidung. Bersama antrostomi dapat dilakuakn
operasi lain yang bertujuan untuk reseksi septum dan konkotomi. 14,35,36
2) Pengobatan operatif radikal. Dengan operasi Calddwell- Luc bila
kerusakan mukosa sudah ireversibel dan gagal dengan pengobatan konservatif.
Operasi ini dilakukan dengan membuat sayatan sublabial kurang lebih dari 2 cm
diatas sulkus ginggivobukalis dari insisivus 2 samapi molar 1. Sayatan dilanjutkan
sampai periosteum, kemudian periosteum dilepaskan dan mukosa pipi tarik ke
atas. Selanjutnya dibuat lubang pada fosa kanina dan melalui lubang tersebut
mukosa yang inversibel dibersihkan.14,35,36
3) Bedah sinus endoskopik fungsional. Tindakan ini ditujukan untuk
membersihkan kelainan di kompleks ostiomeatal dengan mempergunakan endoskop
(teleskop). Hal ini dilakukan pada sinusitis maksila kronis yang disebabkan oleh
penyebaran infeksi dari fokus infeksi di sinus etmoid anterior, terutama dari
infundibulum etmoid dan resesus frontal. Ventilasi dan drenase sinus maksila akan
terbentuk kembali melalui jalan alamiah, sehingga setelah beberapa waktu sinus
akan kembali normal, sehingga pembedahan radikal tidak diperlukan lagi.14,35,36,50

10. Komplikasi
Sejak ditemukan antibiotik, komplikasi sinusitis maksila telah menurun
secara drastis. Komplikasi sinusitis maksila kronis yang dapat terjadi ialah :
14,21,26,35,36,44

1) Oesteomielitis dan abses subperiostal.


Oesteomielitis maksila jarang terjadi , tersering adalah osteomielitis frontal dan
biasanya ditemukan pada anak. Oesteomielitis sinus maksila dapat menyebabkan
timbulnya fistula oroantal yaitu fistula yang menggabungkan rongga mulut dan

©2003 Digitized by USU digital library 23


sinus maksila. Penyebab terjadinya fistula ini selain karena komplikasi sinusitis
maksila ke dalam juga karena tindakan ekstraksi gigi molar atas, kista gigi, tumor
palatum dan sinus maksila serta trauma pada operasi gigi atau sinus maksila.
gejala klinis berupa keluarnya cairan yang berbau busuk dari sinus maksila ke
dalam mulut. Pada pemeriksaan , bila lubangnya besar akan terlihat lubang yang
menghubungkan rongga mulut dan sinus maksila tetapi bila lubangnya kecil dapat
diperiksa dengan memasukkan udara yang melewati fistula. Fistula yang baru dan
kecil dapat menutup dengan sendirinya. Bila fistula cukup besar dan kronis perlu
tindakan operasi plastik selain pengobatan sinusitisnya.
2) Kelainan orbita.
Paling sering berasal dari sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila .
penyebaran infeksinya melalui tromboflebilitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang
dapat ditimbulkan ialah edema palpebra selulitis orbita, abses subperiostal, abses
orbita dan trombosis sinus kavernosus. Edema palpebra, biasanya dari sinusitis
etmoid dan ditemukan pada anak- anak. Selulitis orbita, edemanya bersifat difus,
belum terbentuk nanah (pus) dan isi orbita telah diinvasi bakteri. Pada abses
subperiostal, pus telah terbentuk di antara periorbita dan dinding tulang orbita, serta
menyebabkan proptosis dan kemosis. Abses orbita, pus telah menembus periosteum
dan bercampur dengan isi orbita. Tampak gejala neuritis optikus, kebutaan dan
bercampur unilateral, keterbatasan gerak otot ekstraokuler mata yang terserang.
Proptosis makin bertambah dengan tanda khas adanya kemosis konjungtiva.
Trombosis sinus kavernosus, komplikasi ini merupakan akibat penyebaran bakteri
melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus, sehingga terbentuk suatu
tromboflebitis septik. Tampak gejala – gejala oftalmoplegia, komosis, konjungtiva,
gangguan penglihatan yang berat, kelemahan dan tanda- tanda meningitis karena
letak sinus berdekatan dengan saraf cranial II,III,IV,VI dan otak. Penderita edema
palpebra dapat berobat jalan dengan pemberian antibiotik serta tetes hidung.
Penderita tahap selulitis orbita dan komplikasi yang lebih berat harus dirawat di
rumah sakit dan diberi antibiotik intravena dosis tinggi serta dilakukan tindakan
membebaskan pus dari rongga abses. Prognosis pada komplikasi ini, angka kematian
sebesar 60- 80%. Gejala sisa trombosis kavernosus seringkali berupa atrofi optikus.

3) Mukokel suatu kista yang mengandung mukus yang timbul di dalam sinus
Kista ini paling sering pada sinus maksila dan tersering berupa kista retensi mukus
dan biasanya tidak berbahaya. Mukokel yang terinfeksi dan berisi pus disebut piokel.
Patogenesisnya dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu obstruksi dan peradangan.
Gambaran klinis sesuai dengan sinusitis maksila kronis. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan radiologik, sinoskopi dan ditemukan pada operasi
Caldwell- Luc. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan histoptologik.
Pengobatan dengan eksplorasi sinus untuk mengangkat semua mukosa yang
terinfeksi, sehingga drenase sekret dan ventilasi sinus maksila menjadi baik.
4) Kelainan intrakranial :
Meningitis, abses ekstradural, abses subdural, abses otak dan tromboss
sinus cavernosus.
5) Kelainan paru :
Bronkitis kronis, bronkiektasis dan asma bronchial.
Adanya kelainan sinus paranasal yang disertai dengan kelainan paru
disebut sindrom sinobronkitis.

©2003 Digitized by USU digital library 24


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Disain penelitian


Penelitian ini bersifat deskriptif. Pengambilan data dilakukan secara cross
sectional

3.2 Tempat Penelitian


Pengambilan data dilakukan di Poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan

3.3 Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2000 – Februari 2001

3.4 Sampel Penelitian


Penelitian dilakukan pada setiap penderita yang didiagnosis sinusitis maksila
kronis yang berobat ke poliklinik THT RSUP H.Adam Malik Medan

3.5 Pemilihan Sampel


Sampel dipilih dari semua penderita sinusitis maksila kronis yang memenuhi
kriteria inklusi.

3.5.1 Kriteria Inklusi


a. Setiap penderita sinusitis maksila kronis dengan keluhan lebih 3
bulan
b. Berusia ≥ 15 thun
c . Foto polos sinus maksila menunjukkan hasil sinusitis maksila
d. Bebas obat anti histamin selama 1 minggu dan obat steroid selama
6 minggu
e. Bersedia diikut sertakan dalam penelitian ini

3.5.2 Kriteria eksklusi


a. Ibu hamil
b. Mempunyai kerusakan gigi rahang atas

3.6 Alat yang dipakai


1. Jarum suntik no. 26,5 G/Terumo
2. Alkohol 70 %
3. Kapas
4. Kassa

3.7 Bahan yang dipakai


Ekstrak alergen Dr. Indra Jana, lembaga alergen pertama Indonesia (LAPI)
Bandung

3.8 Cara Kerja


Terhadap setiap penderita yang memenuhi kriteria inklusi, dilakukan
1. Anammesis yang berhubungan dengan keluhan pasien
2. Pemeriksaan THT rutin
3. Foto polos sinus paranasal
4. Tes kulit epidermal dengan cara tes kulit cukit :
- lengan bawah bagian volar dibersihkan dengan alkohol 70 %
kemudian dibiarkan kering sendiri
- Lalu tetesan zat- zat alergen, larutan histamin dan buffer

©2003 Digitized by USU digital library 25


- Melalui tetesan tersebut kulit dicukit dengan jarum suntik sterill
nomor 26,5 G dengan sudut 45 derajat sedalam epidermis dan
diangkat sedikit ke permukaan dan jangan sampai

mengeluarkan darah, setiap jarum hanya dipakai satu kali untuk


sat u jenis alergen
- Setelah 15’ dilakukan penilaian
- Bagi setiap alergi, pada daerah yang dicukit akan timbul reaksi
bintul (wheal) dan kemerahan (flare). Sebagai kontrol positif
adalah larutan histamin yang pada semua individu akan timbul
reaksi “wheal dan flare”. Sebagai kontrol negatif adalah larutan
buffer yang umumnya tidak menimbulkan reaksi. Pembacaan hasil
menurut Sheldom ditulis gradasi (- ) sampai 4 (+)

Skor Reaksi yang timbul


4 (+) ……………………. Reaksi kulit lebih besar dari kontrol histamin
3 (+) ……………………. Reaksi kulit sama dengan kontrol histamin
2 (+) ……………………. Reaksi kulit lebih kecil dari kontrol histamin
1 (+) ……………………. Reaksi kulit besar dari kontrol baffer
(- ) …………………….. Reaksi kulit sama dengan kontrol buffer

Bila hasil pembacaan tes kulit cukit dengan skor ≥ 2 (+) hasil tes berarti
positif.

BAB IV
HASIL PENELITIAN

Jumlah penderita yang diambil sebagai sampel sebanyak 41 orang.


Data yang dikumpulkan dibuat dalam diagram.

Diagram 4.1. Distribusi kelompok umur dan jenis kelamin penderita sinusitis maksila
kronis.

45
41
40
35
15-24
30
25-34
25
22 35-44
20 19
45-54
15 14
11 10 >55
10 9
6 5 7 5 5 Total
5 3 32
1 0 1
0
laki-laki perempuan Jumlah
Pada diagram diatas dapat terlihat kelompok umur terbanyak penderita
sinusitis maksila kronis pada umur 25 – 34 tahun sebanyak 14 orang (34,15%) dan
penderita laki- laki sebanyak 22 orang serta perempuan sebanyak 19 orang dengan
perbandingan 1,2 : 1.

©2003 Digitized by USU digital library 26


Diagram 4.2. Distribusi penderita sinusitis maksila kronis berdasarkan gejala klinis
Hidung tersumbat
40
36 Bersin
35 34

31
30 Sakit kepala
30
27
26
25 25 Hidung gatal

20 Cairan mengalir di
belakang gatal
15 Hidung Berbau

10 Gamgguan tenggorokan
5 2 Ingus kental
0 Penciumanberkurang
Keluhan Utama
Hidung berdarah
Dari diagram 4.2. didapatkan keluhan utama penderit a terbanyak adalah
hidung tersumbat sebanyak 36 kasus (87,80 %), dikuti bersin 34 kasus (82,9 %)
dan sakit kepala 31 kasus (76,61 %)

Diagram 4.3. Distribusi foto polos sinus maksila

39.02% Perselubungan (22)


Air-fluid level (3)
53.66%
Penebalan mukosa
7.32%

Dari diagram 4.3. terlihat gambar foto polos yang paling banyak adalah
perselubungan sebanyak 22 sinus (53,66%)

Diagram 4.4. Distribusi hasil tes kulit cukit pada penderita sinusitis maksila kronis

25 24

20 (-)
17 1 (+)
15 15 2 (+)
13
3 (+)
10 9
4 (+)
5 Negatif
2 2 Positif
0
Negatif Positif Jumlah

HASIL TES KULIT CUKIT

©2003 Digitized by USU digital library 27


Dari diagram 4.4. hasil tes kulit cukit yang positif [ ≥ 2(+) ] sebanyak 24
orang ( 58,5 %).

Diagram 4.5. Distribusi jenis alergen pada tes kulit cukit

60% 56% Debu rumah (23)


50% 49%
Tungau (20)
40% 37%
BULU Binatang (15)
30% 0.2683
20% 22%
0.2195
20% Jamur (11)
10% Kecoa (9)
0% Serbuk (9)
Jenis Alergen Makanan laut (8)

Dari diagram 4.5. jenis alergen yang terbanyak adalah debu rumah 23 kasus
(56,09%) diikuti Tungau 20 kasus ( 48,78%) dan bulu binatang 15 kasus ( 36,58%)

BAB V
PEMBAHASAN

Penderita yang dimasukkan dalam penelitian ini dimulai dan umur 15 tahun
untuk memudahkan pemeriksaan. Data yang diperoleh dari diagram 4.1 terlihat
bahwa umur terbanyak adalah 25- 34 tahun sebanyak 14 orang (34,15%). Pada
penelitian sebelumnya Massudi(semarang, 1991)51 mendapatkan umur terbanyak
21-25 tahun (38,16 %), NW Nizar (Jakarta,1994)52 umur terbanyak 26- 30 tahun
(47,21%), Moerseto (jakrta,1995)53 umur terbanyak 21- 30 tahun (38,95%). Di RS
H. Adam Malik Medan, Rizal A. Lubis (1998)54 umur terbanyak 18- 27 tahun (60%),
Alfian Taher (1999)46 umur terbanyak 15- 24 tahun (36,85%) dan Elfahmi
(2001)55 mendapatkan umur terbanyak adalah 35-44 tahun (30%). Jumlah penderita
laki- laki 22 orang dan perempuan 19 orang (1,2 : 1). Keadaan ini tidak berbeda jauh
dengan yang didapat peneliti lainnya, Massudi (semarang, 1991)53 mendapatkan
laki- laki 48,5% dan perempuan 51,5%. Bennnger MS (1996)6 dari 100 penderita
sinusitis maksila kronis didapat laki-laki 45 orang dan perempuan 55 orang. Pramono
(Semarang, 1999)56 mendapatkan 34 laki- laki dan 37 perempuan, sedangkan
Elfahmi (Medan, 2001) 52 dari 40 penderita sinusitis maksila kronis didapat laki- laki
21 orang (52,5%) dan perempuan 19 orang (47,5%).
Dari diagram 4.2 terlihat keluhan utama penderita sinusitis maksila kronis
adalah hidung tersumbat sebanyak 36 kasus (87,80%), diikuti dengan keluhan
bersin 34 kasus (82,93%) dan sakit kepala 31 kasus (75,61%). Keadaan ini sesuai
dengan kepustakaan bahwa penderita sinusitis maksila kronis umumnya menderita
keluhan gangguan pada hidung, gangguan pada faring dan sakit kepala.3 Benninger
(1996)6 juga mendapatkan keluhan utama terbanyak penderita sinusitis maksila
kronis berupa hidung tersumbat. Hal yang sama juga didapatkan Massudi (Semarang
1991)53 dimana keluhan utama penderita adalah hidung tersumbat 42,4% dan sakit
kepala 15,1%. Hidung tersumbat biasanya akibat edema selaput lendir konka yang
disebabkan oleh alergi serta sekret yang mengental karena infeksi sekunder sebelum
terjadi sinusitis.

©2003 Digitized by USU digital library 28


Menurut Kennedy DW, hidung tumpat dihubungkan dengan pembengkakan dalam
celah hidung dan sinus yang menyebabkan gangguan ventilasi dan drainase sinus.56
Dari diagram 4.3 terlihat gambaran rontgen foto sinus (53,66%) sedangkan
penebalan mukosa sebanyak 16 sinus (39,02%) dan air fluid level sebanyak
perselubungan sebanyak 87,04%, air fluid level 9,26 % mendapatkan mukosa
gambaran kista 1,85%. Elfahmi (Medan,2001)55 mendapatkan gambaran
perselubungan sebanyak 57,50%, sedangkan penebalan mukosa sebanyak 35% dan
air fluid level sebanyak 7,50%. Menurut Cody DT, penebalan membran sebanyak
sinus biasanya terjadi pada rinitis alergi dan reaksi vasomotor. Bila terjadi infeksi
bakteri maka perubahan patologi akan menyebabkan peningkatan atau penebalan
membran sinus sehingga tampak pada foto rontgen. Batas cairan udara dapat
ditemukan karena transudasi cairan dalam sub mukosa akibat respon peradangan
dan akan mengisi sebagian ruangan sinus.52 Pada penelitian kami kemungkinan
gambaran penebalan mukosa sebanyak 39,02% disebabkan oleh faktor alergi.
Roland57 mengatakan penebalan mukosa terjadi pada 30 % individu, sedangkan
gambaran perselubungan dan air fluid level mungkin suatu infeksi.
Dari diagram 4.4 terlihat bahwa hasil tes kulit cukit pada penderita sinusitis
maksila kronis adalah sebanyak 24 orang (58,54%). M. Taufik (Semarang,1986)58
dari 44 orang penderita sinusitis maksila kronis yang diteliti didapat hasil tes cukit
positif sebanyak 8 orang (18,18%). Moerseto dkk (Jakarta 1995)55 dari 60 orang
penderita sinusitis maksila kronis didapat tes cukit positif sebanyak 41 orang
(68,3%). Pramono dkk, (Semarang 1999) 56 dari 25 orang penderita sinusitis maksila
kronis didapat tes cukit positif sebanyak 11 orang (44%). Dari hasil tes kulit cukit
positif sebanyak 58,54% pada penelitian ini kemungkinan alergi sebagai penyebab
pada penderita sinusitis maksila kronis bertambah jelas.
Dari diagram 4.5 didapat jenis alergen pada tes kulit cukit terbanyak adalah
debu rumah sebanyak 23 kasus (56,09%), tungau 20 kasus (48,78%) dan bulu
binatang sebanyak 15 kasus (36,58%). Sedangkan makanan laut (udang, kepiting,
kakap, bandeng ) dan jenis makanan lainnya hanya beberapa kasus yang
menunjukkan hasil tes cukit positif. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
Moerseto dkk (Semarang 1999) 56 menemukan alergen hirupan terbanyak adalah
debu rumah 92,02%, bulu binatang 76 % dan kecoa 46%. Hal yang sama juga
dilaporkan oleh peneliti terdahulu seperti Mygind (1978)59 , Nikmah Roesmono,1 3 Teti
Madiadipoera60 dan Iwan SA dkk61 menemukan jenis alergen terbanyak penyebab
rinitis alergi berturut-turut adalah debu rumah, tungau dan bulu binatang. Dari hasil
penelitian ini dan sesuai dengan kepustakaan, penyebab yang tersering pada
penderita alergi adalah alergen hirupan terutama debu rumah dan tungau yang
merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya sinusitis maksila kronis.44,56

©2003 Digitized by USU digital library 29


BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 KESIMPULAN

Tes kulit cukit sangat berperan dalam menegakkan diagnosis sinusitis


maksila yang disebabkan oleh alergi

6.2 SARAN
1. Perlu dilakukan pemeriksaan tes kulit cukit pada setiap penderita
sinusitis maksila kronis yang dicurigai alergi sebagai faktor
predisposisi.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya sebagai pembanding
terhadap tes kulit cukit seperti pemeriksaan IgE spesifik, IgE total,
eosinofil sekret hidung, tes provaksi dll sehingga diagnosis pasti
dapat ditegakkan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Michael A. Kaliner MD. Recurent Sinusitis Examine Medical Treatment Options.


American Journal of Rhinologi. Vol II No. 2 March April 1997 123-30.
2. Endang Mangunkusumo. Sinusitis dalam Kumpulan makalah Simposium sinusitis,
Jakarta 1999, 1 – 6.
3. M. Taufik . Kusno . Suprihati. Faktor Alergi Pada Sinusitis Kronis. Lab /UPF THT
/ FK UNDIP. RS Kariadi Semarang Dalam Kumpulan Naskah Ilmiah Konas VIII
Perhati Ujung Pandang, Juli 1986, 927 – 31.
4. Rifk Nusjirwan . Sinusitis Kronis dan Sinusitis Akut Berulang. Konsep Patofisiologi
Saat ini dn Penetalaksanaanya. Dalam Pendidikan Dokter Berkelanjutan PKB Uji
Diri, yayasan Penerbit IDI, Mei 1995, 1 – 12.
5. Hall dan Collman,s Sinusitis. Disease of The Nose, Throat and Ear. Head and
Neck Surgery. Fourtheenth ed, 1993, 49 – 53.
6. Michael Beniger MD. Nasal endosccopy. It’s Role in Office Diagnosis. American
Journal of Rhinology Vol. II, No. 2 March – April 1977 , 172 – 8.
7. Ballenger JJ. The Clinical Anatomy and Phisiology of The Nose and Accessory
Sinuses. Ballenger JJ (Eds). Diseases of the nose, throat, ear,head and neck.
13th ed. Philadelphia 1985, 1 – 25.
8. Blumenthal MN. Alergic Conditions in Otolaryngology Patients. Adam GL, Boies
LR Jr. Hilger P. (Eds). Boies Fundametal of Otolaryngology, 6th ed. Philadelphia :
1989, 195 – 205.
9. Priyanto. Manfaat Antihistamin pada Terapi Rinitis Alergi. Lab / UPF THT FK
UNAIR RSUD Dr. Sutomo Surabaya. Dalam Kumpulan Naskah Konas Perhati XI
Yogyakarta, Oktober 1995, 13 – 18.
10. Teti Moediadipoera . Diagnosis Rinitis Alergi. Bag / SMF THT FDK UNPAD
RSUD Hasan sadikin Bandung. Dalam Kumpulan Naskah Konas Perhati XII,
Malang, 78 – 9.
11. Irwin sumarman . Patofisiologi dan Prosedur Diagnostik Rinitis alergi symposium
: Current and Approach in The Treatment of Allergic Rhinitis. Jakarta 2001, 1 –
22.
12. Yuritna Haryono. Rinitis Alergi. Dalam makalh Simposium UP Date in Ig E
Mediated Allergic Reaction. Medan, 1994 ; 1 – 26.

©2003 Digitized by USU digital library 30


13. Nikmah Roesmono . Epidemiologi dan Insiden Penyakit alergi di bidang THT
Dalam Naskah Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhati. Bukittinggi. 1993, 1 – 5.
14. Pandi P. S. Rifki N. Sinusitis. Dalam Iskandar N. dkk (Eds). Buku ajar Ilmu
Penyakit THT , Balai Penerbit FK UI, jakrta 1990, 122 – 9.
15. Hilger PA. Disease of Nose. In Adom GL. Boies. LR. JR. Hilger. P.
Fundamental of Otalaryngology 6th ed. Philadelphia Sounders Company 1989 ;
206 - 48.
16. Nikmah roesmono . Kasekayan. E. Alergi Hidung dalam Iskandar N. dkk (Eds)
Buku Ajar Ilmu Penyakit Tht, Balai Penerbit FK UI, Jakarta 1990 ; 109 – 6.
17. Mygind Robert N. Alergic Diagnosis. Allergic dan Non Allergic Rinitis Frankland
AW. Editor. Nasal allergy 2 nd ed. Blackwell Scientific Publication Oxford
London Edinbergh, Melbourne 1978 ; 182 - 98.
18. M. Robert N. , R.S. Durham N. Mygind, Allergy Diagnosis, Rhinitis
Mechanisme and Managemen, Lung Biology in Health and Deseases, Vol.
123, Marcel Dekker, America USA, 1999, Page 155 – 156
19. Durham S. R. Mechanism and Treatment of allergy, Scott - Brown’s
Otolaryngology, Sixth Edition, Vol. 4 Rhinology, Butterworth Heinemann,
1977, 4 / 6 / 1- 14
20. Sten Dreborg. Allergic Diagnosis. Allergic and Non Allergic Rhinitis Clinical
Aspec. Edited Niels Mygind. Munksttraad 1978 , 82-93
21. Himal Bajraccharya, Sinusitis Chronis. Sinusitis Chronic from Medicine and
Sugery Infection Disease 1- 8. http://www.emedicine.com/med/topic 2556.htm
22. KG baratawijaya. Imunologi dasr. Fakultas kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 1991 ; 1 – 79
23. Edward W Chang. Nose Anotomy . Nose Anotomy from Otolaryngology and
Facial Plastic Surgery?Anatomy; 1- 7 http://www.emedicine.com/ent/topic 6 .
Htm
24. V.J Lund. Anatomy of the nose and Parasanal Sinuses. Scoot Brown
Otolaryngology. Sixth ed, Butterworth heinemen Ed, 1997, 1/5/1 1-29
25. Suetjipto D. Hidung dan Sinus Parasanal Anatomy Hidung dan sinus
Parasanal. Dalam Iskandar N. ddl (Eds) Buku ajar Ilmu penyakit THT. Balai
Penerbit FK UI, Jakarta, 1990 ; 75 – 84
26. Hilger PD. Disease of Parasanal Sinuses. Adam GL Boies LRJK Hilger
Fundametal of Oyolaryngology,6th ed. Philadelphia ; Sounders Company,
1989 ; 249 – 270
27. Hilger PA. Applied Anotomy and Phisiology of the Nose. Adam GL Boies.
Fundametal of Otolaryngology,6th ed. Philadelphia, Souders Cumpany, 177- 95
28. Paparella. MJ. Otolaryngology. Vol I. Basic Sciences and Related Principle.
Third edition WB Sounders Company 1991 ; 102-4
29. E.Mangunkusumo . Fisiologi Hidung dan Parasanal Dalam Iskandar N. dkk
(Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Balai Penerbit FK UI Jakarta 1990 ;
85- 87
30. Evans KL. Diagnosis and managemen of Sinusitis. Glacester Royal Hospital,
BMI 1994, 1- 20. File://A:/bmj - com Evans 309 (6966) 1415.htm
31. Hollinshead WH. Anatomy for Surgeons. Vol I. A. Hoeber – Harper
International Edition 1996 ; 270 - 76.
32. Baury TR. Imunology Simplifield Second Edition Oxford University Bess,
1986 ; 1 – 24.
33. Roitt I. M. Pokok – Pokok Ilmu Kekebalan, Penerbit PT. Gramedia Utama
Jakarta, 1990.
34. Wright D. Chronic sinusitis In Ballantyne J. and Groves J. (Eds) Scott Brown’s
Disease of the ear Nose and Throat 6th Edition 1997, section Rhinology
London, Butterworths 1997.

©2003 Digitized by USU digital library 31


35. V.J Lund . Surgucal management of sinusitis. In Alan G. Kear. Ian S.
Mackey T. R. Bull (Eds). Scott Brown’s Otolaryngology 7th ed.
Rhinology,London, Butterwouths 1997; 4/12/1- 26.
36. Puruckherr M, at all. The Diagnosis and management of Chronic
Rhinosinusitis. East Tennessee State University, 2002 ; 1- 7 http://
www.priory.com/med/rhinitis.htm
37. KG Bratwijaya. Allergic Inflamation. Proceeding Symposium onn Update
Allergy dan Clinical Immunology. Current Treatment in daily Practice,
Bogor 2001, 31 – 39
38. Edi D. Peran Sitokin dan molekul adesi Pada Rinitis alergi. The Modern
Approach of Allergic Rhinitis in the new Millenium, semarang 199, 1- 9
39. Becker W. at all. Inflamation of Sinuses. Clinical Aspects of Desease of the
Nose and Throat Desease. A Pocket Reference, second Edition. Thieme New
York 1994, page 224- 37
40. Girish Sharma. Sinusitis. From Pediatrics Otolaryngology, Rush University
America. Medicine Journal Vol. 2 No. 8 August 2001 ; 1- 10.
http://www.emedicine.com/ped/topic2108.htm
41. E. Mangunkusumo , N. Roesmono, Baratawidjaya KG. Tungau Dalam Debu
Rumah sebagai alergen pada Rhinitis alergi. Dalam: Roezin A dan Nizar NW,
eds. Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS VI PERHATI, Medan 1980 ; 135- 138
42. N.Roesmono, Mangunkusuma E, KG Baratawidjaja . Terapi Desensitisasi pada
Rinitis alergi. Dalam : Roezin A dan Nizar NW, eds. Kumpulan naskah Ilmiah
KONAS VI PERHATI< Medan 1980 ; 141-145
43. T. Sofia H. Hubungan Rinitis alerg i dengan jumlah eosinofil sekret hidung. Tesis
Bagian THT FK USU 1989 : 70- 86
44. Teti Madiapoera . Diagnosis invivo dan invitro. Kumpulan Karya Ilmiah PIT
PERHATI Bukittinggi, 1993 ; 21-6
45. Diagnostic Techniques. Spplement International Consensus Report on the
Diagnosis and Management of Rhinitis. Vol. 49 No. 19 Munksgard, Copen
hagen, 1999 ; 13-8
46. Kantz BR. Sinus infection from AAEM Emergency Medial and Family health
Guide / ear, Nose and throat. Medicine Consumer Journal, Vol. 3 No. 1,
NewJersey 2002 ; 1- 8 http;//www.emedicine.com/aaem/topic400.htm
47. Alfian Taher . Uji Banding Antara Hasil Foto Polos Sinus Parasanal dan Fungsi
sinus Maksila untuk Ketepatan Diagnosis adanya Pus pada Sinusitis Maksila
Kronis Unilteral. Tesis bagian THT FK-USU.2000; 1-65
48. Tedjo Oedono. Pengololaan Rinitis Alergi The Modern Approach of Allergic
Rhinitis in the New Millenium, Semarang 1999; 9- 18
49. Y.Istiantoro Farmakologi klinik Obat- obat dalam Penanggulangan Sinusitis.
Kumpulan Makalah Simposium Sinusitis Jakarta. 1999; 9- 12
50. Kennedy DW. Endoscopic Sinus Surgery Otolaryngology. WB. Saunders
Company Third Edition Vol. 3 1991 ; 1861- 70
51. Massudi . Pola Kuman aerob dan kepekaan in Vitro pada Sinusitis Maksila Kronis
Di RS. Dr. Karidi semarang, Kumpulan naskah PIT Perhati, batu malng,
1996;766- 70
52. NW.Nizar . Soetjipto D. Temuan Sinuskopi pada Pasien Sinusitis Maksila Kronis,
Kumpulan Konas XI Perhati Yogyakarta, 1995; 179-88
53. Moerseto dkk. Aspek Alergi pada Sinusitis Maksila Kronis, Kimpulan Naskah
Ilmiah Konas XII, Semarang. 1999;461 – 7
54. Rizal A. Lubis. Uji banding Irigasi Sinus Maksila Melalui miatus nasi Inferior
dengan Fossa Kanina Tesis bagian THT FK USU, 1998; 54 – 55
55. Elfahmi. Gambaran klinis Ostio Meatal pada Sinusitis maksila kronis dengan
peme riksaan nasoendoskopi. Tesis bagian THT USU, 2001; 63- 6

©2003 Digitized by USU digital library 32


56. Pramono dkk. Rinitis Alergi Perenial Sebagai salah satu faktor resiko Sinusitis
maksila Kronnis. Kumpulan Naskah karya Ilmiah Konas perhati XII, Semarang
1999; 693 – 703
57. Roland NJ. Key Topiec. Otolaryngology. Toppan Bios scientific Publisher, 1995
; 48
58. M. Taufik dkk. Faktor Alergi pada Sinusitis Maksila Kronis. Kumpulan naskah
karya Ilmiah Konas Perhati, Ujung Pandang, 1986 ; 927 – 32
59. Mygynd N. Perenial Rhinitis In Frankland A.W. Editor Nasal Alergy, 2 nd Black
Weel Scientific Publication, Oxford London Melbourne, 1978 ; 224 - 32
60. Teti Madiadipoera. Dampak Rinitis Alergi pada Kualitas hidup. The Modern
Approach of allergic Rhinitis in the New Millenuim, Semarang. 1999 ; 1 – 2
61. Iwan Setiawan A, dkk. Pengamatan jenis alergen hasil tes kulit intrakutan di
RSUP dr. Sardjito Yogyakarta Kumpulan karya Ilmiah Konas Perhati Yogyakarta,
1995 ; 695- 703

©2003 Digitized by USU digital library 33

You might also like