Professional Documents
Culture Documents
ZALFINA CORA
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sinusitis maksila kronis adalah peradangan mukosa sinus maksila dengan
keluhan lebih dari 3 bulan. 1 . Sinus paranasal adalah rongga –rongga didalam tulang
kepala yang terletak disekitar rongga hidung dan mempunyai hubungan dengan
melalui muaranya. 2
Sampai saat ini sinusitis maksila kronis masih merupakan masalah dan
merupakan subjek yang selalu diperdebatkan, baik mengenai etiologi, keluhan,
diagnosis maupun tindakan selanjutnya. 3 Berbeda dengan sinusitis akut, sinusitis
kronis biasanya sukar disembuhkan dan hasil pengobatan sering mengecewakan,
baik untuk dokter dan terutama untuk penderita. 4 Penderita biasanya mempunyai
keluhan hidung tersumbat, sakit kepala, cairan mengalir dibelakang hidung, hidung
berbau dan penciuman berkurang.1,5,6
Berbagai etiologi dan faktor predisposisi berperan dalam timbulnya penyakit
ini, seperti deviasi septum, polip kavum nasi, tumor hidung dan nasofaring serta
alergi. 7,8 Menurut Lucas seperti yang dikutip Moh. Zaman , etiologi sinusitis adalah
sangat kompleks. Hanya 25% disebabkan oleh infeksi, selebihnya 75% disebabkan
oleh alergi dan ketidakseimbangan pada sistim saraf otonom yang menimbulkan
perubahan- perubahan pada mukosa sinus.3
Alergi adalah salah satu faktor prediposisi dalam patogenesis sinusitis
maksila kronis, yang mengakibatkan edema mukosa dan hipersekresi, keadaan ini
akan menimbulkan penyumbatan muara sinus mengakibatkan stasis sekret. Hal ini
sebagai medium infeksi yang akhirnya menyebabkan sinusitis kronis.1,7,8
Penyakit alergi adalah suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan
bahan asing yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan
pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun.9,10
Gangguan alergi pada hidung ternyata lebih sering dari perkiraan dokter
maupun orang awam, yaitu menyerang sekitar 10 % dari populasi umum. 8
Prevalensi rinitis alergi telah diketahui bervariasi antara 5 – 10 % panduduk
diberbagai kota di dunia.11 Insiden rinitis di Bandung 1,5 % , di Sub Bagian Alergi-
Imunologi Bagian THT FKUI/RSCM selama setahun 1992 adalah 1,14 %. 12 dan di
RSUP H. Adam Malik Medan tahun 1993-1994 sebesar 16,44%. 12
Sinusitis dibagi menjadi 1) sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai
beberapa minggu, 2) sinusitis sub akut, beberapa minggu sampai beberapa bulan, 3)
sinusitis kronis, beberapa bulan sampai beberapa tahun.1,14,15 Menurut Cauwenberge
(1983), disebut sinusitis kronis bila infeksi sudah lebih dari 3 bulan.14
Sinus maksila merupakan sinus yang paling sering terinfeksi, karena
merupakan sinus paranasal yang terbesar, letak muaranya lebih tinggi dari dasar
sinus, sehingga aliran sekret (dreanase) dari sinus maksila sangat tergantung dari
2. Masalah penelitian
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli bahwa salah satu
faktor predisposisi sinusitis maksila kronis adalah alergi, timbul keinginan peneliti
untuk mengetahui seberapa besar perkiraan alergi sebagai salah satu faktor
predisposisi timbulnya sinusitis maksila kronis di Bagian THT/FK USU/RSUP H. Adam
Malik Medan.
Dipilihnya sinus maksila sebagai objek yang diteliti mengingat sinus maksila lebih
sering mengalami peradangan dibandingkan dengan sinus paranasal yang lain.
Diharapkan setelah penelitian ini pemeriksaan alergi pada kasus sinusitis
maksila kronis dapat dikerjakan secara rutin sehingga pengobatan sinusitis maksila
kronis lebih akurat.
3. Hipotesis
Alergi merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada kejadian sinusitis
maksila kronis.
4. Tujuan penelitian
4.1. Umum
4.1.1. Menentukan seberapa besar peranan alergi sebagai faktor
presdisposisi sinusitis maksila kronis.
4.2. Khusus
4.2.1 Mengetahui seberapa besar hasil tes kulit cukit (positip) pada
penderita sinusitis maksila kronis.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
I. SINUS MAKSILA
1. Embriologi dan perkembangan
Pada bulan ketiga kehidupan embrio, sinus maksila terbentuk, dimulai dari
suatu invaginasi mukosa meatus media ke arah lateral dan ke arah korpus maksila
os maksila.7
Perubahan- perubahan progresif pada dinding hidung lateral dengan
pembentukan sinus paranasal terjadi secara simultan dengan perkembangan
palatum. Pada hari ke 40 dari fetus sewaktu perkembangan rongga hidung, maka
lekukan horizontal (horizontal groove) nampak pada dinding leteral, yang kemudian
akan membentuk meatus medius dan inferior. Profilerasi mesenchym maxillo
turbinate, menonjol kedalam lumen dan kemudian menjadi konka inferior. Konka
yang lebih atas berkembang dari lipatan etmoid turbinate yang tampak kemudian.
Perkembangan sinus terjadi ketika lipatan konka terbentuk. Ini merupakan proses
2. Anatomi
Sinus maksila atau antrum Highmore a dalah suatu rongga pneumatik
berbentuk piramid yang tak teratur dengan dasarnya menghadap ke fosanasalis dan
puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Sinus ini merupakan
sinus yang terbesar diantara sinus paranasal. Pengukuran volume sinus maksila
dapat di lakukan dengan dua cara, yaitu rontgenologik dan manometrik. Pada saat
lahir volume sinus maksila dan sekitarnya berukuran 6 – 8 ml dan penuh dengan
cairan, sedangkan volume sinus maksila orang dewasa kira - kira 15 ml. Tidak ada
perbedaan kapasitas antara laki- laki dan perempuan.
Ukuran kedua sinus maksila kanan dan kiri tidak selalu sama, tetapi diantara
sinus paranasal yang lain, sinus maksila yang paling simetris antara kanan dan kiri
serta paling sedikit mengalami variasi dalam perkembangan. Besar kecilnya rongga
sinus maksila terutama tergantung pada tebal tipisnya dinding sinus.25,26,27 Ukuran
rata- rata pada bayi baru lahir 7- 8 x 4 – 6 mm dan untuk 15 tahun 31 – 32 x 18 –
20 x 19 – 20 mm serta pada orang dewasa diperoleh ukuran sumbu anteroposteror
34 mm, tinggi 33 mm dan lebar 23 mm. 15,26,31
Sinus mempunyai beberapa dinding, dinding anterior dibentuk oleh
permukaan maksila os maksila, yang disebut fosa kanina. Dinding posterior dibentuk
oleh permukaan infratemporal maksila. Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral
rongga hidung. Dinding superior dibentuk oleh dasar orbita dan dinding inferior oleh
prosesus alveolaris dan palatum.
Dasar sinus maksila berdekatan dengan tempat tumbuhnya gigi premolar ke
dua, gigi molar ke satu dan ke dua, bahkan kadang-kadang gigi tumbuh ke dalam
rongga sinus dan hanya tertutup oleh mukosa. Proses supuratif yang terjadi sekitar
gigi- gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe,
sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus
melalui fistel oroantral yang akan mengakibatkan sinusitis. Didalam sinus kadang-
kadang ada sekat - sekat yang membentuk ruang-ruang dibagian posterior, sehingga
dapat menjadi sumber infeksi terus- menerus.27
3. Pendarahan
Mukosa sinus maksila mendapat pendarahan dari a. karotis eksterna melalui
cabang-cabangnya, yaitu a. maksilaris interna, a. palatina desenden yang
merupakan cabang a. maksilaris interna a. alveolaris superior posterior dan anterior
4. Persarafan
Persarafan sensorik sinus maksila oleh nn.alveolaris superior yang merupakan
cabang ke dua dari n.trigeminus.
Persarafan simpatik berasal dari pleksus nervosus karotikus melalui ganglion
sfenopaltina dan berakhir pada tunika propria sebagai jalinan serabut- serabut saraf
yang banyak. 7,25,27
5.Ostium/muara
Membran muara sinus maksila dibentuk oleh gabungan mukosa sinus maksila
dan mukosa yang melapisi infundibulum hidung. Muara ini secara normal
tersembunyi dari pandangan oleh prosesus unsinatus. Biasanya ditemukan pada
pertemuan bagian antero superior dan postero inferior infundibulum. Berdasarkan
studi dari 163 sinus, Van Alyea menemukan kebanyakan tempat muara sinus
maksila pada 1/3 posterior celah infundibulum (72%), di 1/3 anterior hanya pada 6
% spesimen dan pada 12% spesimen muara terletak pada puncak posterior
infudibulum.6
Dari segi klinis, yang perlu diperhatikan dari anatomi muara sinus maksila
adalah letaknya lebih tinggi dari dasar sinus maksila, sehingga aliran (drainase)
sekret dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia. Juga karena lokasinya
di meatus medius, dan pada hiatus semilunaris yang sempit, sehingga akibat
berbagai keadaan akan mudah tersumbat.29
6.Sistem mukosiliar
Transport benda asing yang tertimbun dari udara inspirasi ke arah faring di
sebelah posterior akan ditelan atau dikeluarkan. Hal tersebut merupakan kerja dari
silia yang menggerakkan perut lendir (mucous blanket) dengan partikel yang
terperangkap. Aliran turbulen dalam hidung memungkinkan paparan yang luas
antara dua inspirasi dengan hidung dan parut lendirnya. Parut lendir berupa
selebung sekret kontinyu yang sangat kental, meluas ke seluruh ruang dan sudut
hidung, sinus, tuba eustachius faring dan seluruh cabang bronkus.26,27,30
Lapisan atas dari parut lendir ini amat tipis, kaya akan glicoprotein, lebih
kental, denga n kekauatan tegangan yang memungkinkan gerakan kaku silia ke
depan untuk mempertahankan gerakan lapisan ke arah posterior dalam aliran yang
tetap. Lapisan bawah lebih encer dan menimbulkan sedikit hambatan terhadap gerak
pemulihan silia (yang lentur). Palut lendir diganti oleh kelanjar submukosa 2 dan 3
kali dalam satu jam. 26
Transportasi mukus pada sinus maksila dimulai dari dasar sinus dengan
gerakan yang menyerupai bintang. Mukus kemudian dialirkan sepanjang dinding
depan medial, posterior, lateral, dan atap sinus dan semuanya bertemu di muara
sinus maksila. Aliran mukus selalu melalui muara sinus maksila, meskipun terdapat
muara tambahan atau lubang pasca pungsi dan antrostomi di meatus inferior. 4
7. Histologi
Mukosa sinus maksila merupakan lanjutan mukosa saluran napas bagian atas,
Mempunyai epitel torak bertingkat bersilia dengan sel- sel goblet diantaranya.
Dibandingkan dengan mukosa rongga hidung, mukosa sinus maksila lebih tipis,
epitelnya lebih kuboid, sel goblet dan pembuluh darah lebih sedikit, sehingga secara
mikroskopis warnanya tampak pucat. Silia tampak semakin banyak ke arah muara.29
Di bawah lapisan epitel terdapat stroma yang terdiri dari tiga lapisan yaitu :
1. Membran basalis yang sangat tipis, Jika terjadi penebalan akan tampak adanya
lapisan hialin yang berwarna kuning. Kadang – kadang di bawahnya terdapat
lapisan tipis serabut elastin.
2. Tunika propria merupakan lapisan tipis yang terdiri dari jaringan ikat longgar,
bentuknya seperti spons dan berisi cairan, sehingga mudah membengkak bila
mendapat rangsangan. Jaringan ini berfungsi sebagai jaringan penunjang, alat
nutrsi epitel diatasnya dan fagosit jika terjadi infeksi. Dinding medial sinus
maksila mempunyai lamina propria yang paling tebal diantaranya dinding mukosa
sinus maksila. Lapisan ini mengandung serabut kolagen dan fibril yang tipis dan
mudah mengalami ruptur, sehingga mudah terbentuk kista. Ditemukan pula
infiltrasi sel fibroblas dan histiosit yang bila terjadi peradangan akan berubah
menjadi makrofag. Kelenjar seromusinogen dan sel goblet yang memproduksi
mukus pada lapisan ini sangat jarang dan sedikit jumlahnya, serta hampir
semuanya terdapat di daerah muara sinus maksila.
3.
Lapisan periosteum tulang terdiri dari serat kolagen yang tebal dan serat elastin,
sehingga tahan terhadap infeksi.4,29
8.Fisiologi
Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti fungsi sinus paranasal dan
beberapa teori mengemukakan sebagai pengatur suhu dan kelembaban udara
pernafasan (air conditioning) seperti pada rongga hidung, Ternyata volume
pertukaran yang terjadi di dalam sinus kurang lebih seperseribu dari volume sinus
pada setiap siklus pernapasan, sehingga diperlukan waktu yang cukup lama untuk
pertukaran udara total dalam sinus. Selain itu, sinus paranasal hanya mampu
melembabkan 1,5 % dari seluruh udara pernapasan yang dilembabkan oleh saluran
napas bagian atas. Karena mukosa sinus yang tipis dan tidak mempunyai pembuluh
darah sebanyak yang terdapat di mukosa hidung. Fungsi sebagai resonansi suara,
tidak banyak mendapat dukungan, karena posisi sinus dan ostium tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator suara yang efektif. Selain itu tidak
ditemukan korelasi antara ukuran sinus dengan resonansi suara pada binatang
tingkat rendah. Sesuai dengan letaknya , sinus paranasal dapat dianggap sebagai
pelindung pengaruh panas udara rongga hidung terhadap organ-organ disekitar
sinus (thermal insilator), seperti mata dan otak. Akan tetapi kenyataannya sinus
= Organ
Bursa
Timus Limfoid
= Fabrisius
pusat
?(GALT)
?(BALT)
?(BM)
Lien,kel,limfe
Limfosit T Tonsil
Limfosit B
∗
(organ
∗ lymphoid
antigen perifer) antigen
∗ imunoblas
∗
Sel plasma
Sel
Limfosit T. ter
∗ ∗ ∗ ∗
(pembentukan
antibody)
Memori
sensitisasi
Imunitas
∗ ∗
Imunitas
seluler
humoral
Secara garis besar tubuh mempunyai dua sistem kekebalan spesifik yaitu
kekebalan seluler yang berperan ialah sel limfosit T (sel T) dan kekebalan humoral,
yang berperan ialah sel limfosit B (sel B). Sel T dan sel B berasal dari sel pokok
(stem – cell) yang sama pada sum- sum tulang, tet api berbeda dalam proses
maturasinya.
Sel T di pengaruhi oleh kelanjar timus, sedangakan sel B oleh GALT (gut associated
lympoid tissue) yang identik dengan bursa fabrisius pada golongan burung.16 Kedua
jenis sel (sel B dan sel T ) setelah keluar dari jaringan limfoid primer, maka sel- sel
itu akan beredar ke sirkulasi darah atau menetap di jaringan limfoid sekunder. Bila
suatu benda asing masuk ke dalam tubuh, sel-sel limfosit tersebut akan segera
mengalami diferensiasi lebih lanjut menjadi sel limfosit yang sanggup menunjukkan
aktivitas imunologik. 16,22
2. Reaksi hipersensitivitas
Hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan dan yang tidak
diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi tersebut
oleh Gell dan Coombs dibagi dalam 4 tipe reaksi menurut kecepatan dan mekanisme
imun yang terjadi.
Reaksi itu dapat terjadi sendiri- sendiri, tetapi dalam klinik, dua atau lebih jenis
reaksi tersebut sering terjadi bersamaan.
Empat tipe reaksi hipersensivitas terdiri dari :
Reaksi tipe I (reaksi anafiklasis / immediate hypersensitivity), dikenal sebagai
reaksi yang segera timbul sesudah alergen masuk ke dalam tubuh. Istilah reaksi
yang pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 diartikan sebagai reaksi
panjamu yang berubah bila terpapar dengan bahan yang sama untuk kedua kali atau
lebih. Alergen yang masuk tubuh akan menimbulkan respons imun dengan
dibentuknya IgE yang kemudian diikat oleh reseptor Fc pada permukaaan sel
mastosit, basofil. Bila tubuh yang sudah tersensitisasi ini terpapar oleh alergen yang
sama, alergen tersebut akan diikat IgE spesifik dan akan menimbulkan degranulasi
sel mastosit atau basofil. Degranulasi akan mengeluarkan mediator, anatara lain
histamin, slow reacting substance of anaphylactic (SRS-A) atau leukotrin,
prostaglandin, serotonin, bradikinin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic
(ECF - A), arginin esterase dan heparin yang terdapat dalam granul- granul sel.
Mediator- mediator ini akan menimbulkan gejala reaksi hipersensivititas tipe I. yang
dapat berupa penyakit - penyakit rinitis alergi, asma bronkial, urtikaria dan dermatisis
atopik.
Reaksi tipe II (reaksi sitotoksik/sitolitik), terjadi karena dibentuk antibodi
jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Anti bodi
tersebut dapat mensentisasikan sel K sebagai efektor anti body dependent cel
citotoxycity (ADCC) atau mengaktifkan komplemen dan menimbulkan lisis. Contoh
reaksi tipe II ialah destruksi sel darah merah akibat reaksi tranfusi, penyakit anemia
hemolitik, reaksi obat seperti penisilin, kinin dan sulfonamid serta kerusakan
jaringan pada penyakit autoimun seperti miastenia gravis.
Reaksi tipe III (reaksi kompleks imun), terjadi karena penimbunan kompleks
anti gen – anti bodi dalam jaringan atau sirkulasi / dinding pembuluh darah dan
mengaktifkan komplemen. Anti bodi yang berperan disini biasanya jenis IgM atau
IgG. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan macrophage chemotactic
factor. Makrofag yang dikerahkan ketempat tersebut melepaskan enzim yang dapat
merusak jaringan sekitarnya. Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen
yang persisten (malaria), bahkan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan
alveolitis ekstrinsik alergi) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi
3.Antigen 22
Antigen atau imunogen adalah setiap bahan yang dapat menimbulkan
respons imun spesifik pada manusia dan hewan . Komponen antigen yang disebut
determinan antigen atau epitop adalah bagian antigen yang dapat mengikat
antibodi. Bahan ini biasanya terdiri dari protein dan karbohidrat dengan berat
molekul yang tinggi.
Alergen yang masuk kedalam tubuh dan menyebabkan terjadinya reaksi
alergi. Alergen dapat masuk ke dalam tubuh melalui berbagi jalan, yaitu saluran
napas, saluran cerna, suntikan dan diserap melalui kulit.
Alergen yang masuk dengan jalan dihirup dinamakan alergen hirupan atau
alergen inhalan, alergen ini biasanya berbentuk butir- butir kecil misalnya debu
rumah, tungau, jamur, serpihan kulit manusia dan binatang. Bulu binatang, kapuk,
tepung sari dan lain – lain. Bahan ini sering sebagi alergen spesifik penyebab
penyakit alergi THT, seperti rinitis alergi.
Alergen yang masuk melalui cerna dinamakan alergen ingestan misalnya
bahan makanan, bahan pemberi aroma, obat, mineral dan zat - zat organik yang
terdapat didalam air minum dan lain- lain.
Alergen yang masuk akibat kontak langsung dengan permukaan kulit
dinamakan alergen kontaktan, misalnya ulat bulu, obat - obatan , kosmetik, minyak,
tanaman dan lain- lain.
Selain itu , alergen yang masuk akibat suntikan (serum, vaksin), gigitan atau
sengatan serangga dinamakan alergen injektan.
2. Kekerapan
Secara umum sulit untuk menentukan kekerapan sinusitis maksila yang
disebabkan oleh faktor alergi saja. Oleh karena banyak faktor yang mempengaruhi
timbulnya gejala sinusitis maksila.
Rinitis alergi cenderung mulai timbul pada masa kanak-kanak menetap
sampai dewasa, kemudian menurun pada usia lanjut dengan prevalensi sebanyak
7,9 % pada kelompok umur lebih dari 70 tahun. 15,26
3.Patogenesis
Pada paparan primer dengan alergen, dalam tubuh penderita akan terjadi
interaksi antara makrofag dan limfosit T untuk menghasilkan suatu mediator
(interleukin - 4/IL- 4) yang memacu limfosit B memproduksi IgE spesifik. Bagian Fc
Ig E akan menempel pada reseptor khusus permukaan sel mediator yang telah
terikat dengan IgE disebut sel mediator yang tersensitisasi. Selanjutnya bila terjadi
paparan ulang dengan alergen yang sejenis, maka alergen akan berikatan dengan
bagian Fab Ig E yang ada pada permukan sel mastosit atau basofil. Reaksi itu terjadi
dalam waktu 1- 5 menit sampai 30 menit, dengan puncak reaksi antara 10- 20 menit
dan disebut reaksi akut atau reaksi akut dini. Ikatan tersebut akan memberikan
tanda ke dalam sel yang akan mengaktifkan sistem nukleotida, siklik guanosin
monofosfat (cGMP), siklik adenosin monofosfat (c AMP) dan meningkatkan
perbandingan siklik guanosin monofosfat terhadap siklik adenosin monofosfat serta
aktivasi proesterase. Ikatan antigen IgE juga meningkatan influks Ca++ dari ruang
ekstraseluler, sehingga menaikkan kadar Ca++ di dalam sel. Kadar Ca++ yang
meningkat ini menyebabkan terjadinya degranulasi dan penglepasan mediator
preformed seperti histamin yang melalui sistem saraf otonom menimbulkan gejala
bersin, vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan rinore
dan edema serta kontraksi otot polos pada bronkus yang menimbulkan sesak napas,
Kinin menyebabkan vasodilatasi, sehingga menimbulkan edema. Triptase
menyebabkan proteolisis dan aktivasi C3a. Neutrophil chemotactic factor (NCF)
menyebabkan pengarahan netrofil ke organ target serta eosinophil chemotactic
factor (ECF) menyebabkan pengarahan eosinofil ke organ target.
Bila penderita rinitis alergi terpapar dengan alergen spesifik akan terjadi juga
realsi lambat dalam waktu 4- 12 jam sesudah reaksi akut dan dapat berlangsung
sampai 24 jam. Reaksi akut yang disusul oleh reaksi lambat disebut bifasis. Reaksi
lambat ini pada saat yang sama dengan proses degranulasi di dalam sel, yaitu
dimulai dari timbulnya aktivasi enzim fosfolipase yang memecah fosfolipid membran
sel menjadi asam arakidonat. Sel- sel yang melepas asam arakidonat adalah sel
mastosit, eosinofil, makrofag, trombosit dan endotel vaskuler. Selanjutnya asam
arakidonat dipecah menjadi prostaglandin, tromboksan, leukotrin dan platelet
activating factor (PAF). Oleh karena mediator- mediator tersebut dilepas setelah
histamin, maka disebut newly generated. Pada reaksi lambat ini terjadi reaksi
inflamasi yang menyebabkan sumbatan hidung akan berlangsung lama. 22,36,37,38
Menurut Stammberger yang dikutip oleh Rifki4 , lebih dari 90% peny ebab
kasus sinutis maksila dan frontal terletak di kompleks ostiomeatal yang terdiri dari
infundibulum etmoid, resesus frontal, sel- sel etmoid anterior beserta ostiumnya dan
ostium sinus maksila.
Pada rinitis alergi akan terjadi inflamasi, sehingga mukosa infundibulum
etmoid dan resesus frontal yang berhadapan akan saling berdekatan, sehingga
ventilasi terganggu. PH dalam sinus akan menurun dan akan menyebabkan gerakan
silia dalam sinus berkurang serta mukus tidak dapat dialirkan. Bila sumbatan terus
berlanjut akan terjadi hipoksia dan retensi mukus, yang merupakan kondisi yang
ideal untuk tumbuhnya kuman-kuman patogen. Infeksi dan toksin selanjutnya dapat
mengganggu fungsi mukosa dan menyebabkan terjadinya lingkaran setan (vicious
cycle). Kontak mukosa dapat juga terjadi pada celah antara prosesus unsinatus
4.Etiologi
Alergi dapat juga merupakan salah satu faktor predisposisi infeksi disebabkan
edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang udem yang dapat menyumbat
muara sinus dan mengganggu drenase sehingga menyebabkan timbulnya infeksi,
selanjutnya menghancurkan epitel permukaan dan siklus seterusnya berulang yang
mengarah pada sinusitis kronis. 14,21,26,39,40
Pada keadaan kronis terdapat polip nasi dan polip antrokoanal yang timbul
pada rinitis alergi, memenuhi rongga hidung dan menyumbat ostium sinus. 27
Selain faktor alergi, faktor predisposisi lain dapat juga berupa lingkungan .
Faktor cuaca seperti udara dingin menyebabkan aktivitas silia mukosa hidung dan
sinus berkurang, sedangkan udara yang kering dapat menyebabkan terjadinya
perubahan mukosa, sehingga timbul sinusitis. Faktor lainnya adalah obstruksi
hidung yang dapat disebabkan kelainan anatomis, misalnya deviasi septum,
hipertropi konka, bula etmoid dan infeksi serta tumor. Biasanya tumor ganas hidung
dan nasofaring sering disert ai dengan penyumbatan muara sinus. 39,40
Etiologi infeksi sinus paranasal pada umumnya sama seperti etiologi rinitis,
yaitu virus dan bakteri. Virus penyebab sinusitis antara lain rinovirus, para influenza
tipe 1 dan 2 serta respiratory syncitial virus. Kebanyakan infeksi sinus disebabkan
oleh virus, tetapi kemudian akan diikuti oleh infeksi bakteri sekunder. Karena pada
infeksi virus dapat terjadi edema dan hilangnya fungsi silia yang normal, maka akan
terjadi suatu lingkungan ideal untuk perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini sering
kali melibatkan lebih dari satu bakteri. Organisme penyebab sinusitis akut mungkin
sama dengan penyebab otitis media. Yang sering ditemukan dalam frekuensi yang
makin menurun ialah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus Influenzae, bakteri
anaerob, Branhamella kataralis, Streptococcus alfa, Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pyogenes. Selama suatu fase akut, sinusitis kronis disebabkan oleh
bakteri yang sama yang menyebabkan sinusitis akut. Namun, karena sinusitis kronis
biasanya berkaitan dengan drenase yang tidak adekuat maupun fungsi mukosiliar
yang terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik, dimana
proporsi terbesar bakteri anaerob. Akibatnya, biakan rutin tidak memadai dan
diperlukan pengambilan sampel secara hati- hati untuk bakteri anaerob. Bakteri
aerob yang sering ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun, antara lain
Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans, Haebomophilis influenza, Neisseria
flavus, Staphylococcus epidermis, Streptcoccus pneumoniae dan Escherichia coli,
Bakteri anaerob termasuk Peptostreptococcus, Corynebacterium, Bakteriodaes dan
Vellonella. Infeksi campuran antara organisme aerob dan anaerob sering kali terjadi.
26,39,40
5. Gejala klinis.
Gejala klinis sinusitis maksila kronis sangat bervariasi , dari ringan sampai
berat, dari :
1) Gejala hidung, a) Obstruksi hidung, keluhan ini se ring dirasakan oleh
penderita sebelum terjadi sinusitis, karena adanya rinitis alergi dan
polip yang timbul sebelumnya, b) Sekret hidung. Pada sinusitis
alergi maka cairan yang keluar bersifat serous kadang- kadang
mukoid yang berlebihan. Bila sekret berubah menjadi mukupurulen,
biasanya sudah terjadi proses paradangan dan bila sekret
bercampur darah, terutama unilateral dicurigai adanya keganasan,
c) Post nasap drip (ingus belakang hidung), merupakan gejala yang
paling sering ditemukan dan dirasakan sebagai perasaan kering
dari tenggorok, rasa panas di belakang hidung serta rasa tidak
nyaman di mulut, d) Epistaksis, disebabkan karena peradangan
dan vasodilatasi pembuluh darah pada mukosa hidung, e)
gangguan penghidu, ada keluhan kakosmia , penderita merasakan
bau busuk, bahkan bau dapat tercium oleh orang lain, biasanya
karena kelainan anatomi hidung. Pada sinusitis kronis dengan dasar
rinitis alergi biasanya keluhannya hiposmia sampai anosmia dan
kadang- kadang parosmia, f) Ekskoriasi sekitar lubang hidung,
seringkali ditemukan pada anak-anak dan dianggap sebagai tanda
sinusitis kronis, g) Allergic salute, yaitu gerakan punggung tangan
menggosok hidung karena gatal, keadaan ini sering tampak pada
anak-anak dan menimbulkan garis melintang di dorsum nasi bagian
sepertiga bawah, yang disebut allergic crease (linea nasalis).
2) Gejala faring. Rasa kering tenggorok yang disebabkan oleh
faringitis dan tonsillitis.
6. Diagnosis.
Dalam menegakkan diagnosis sinusitis maksila kronis, pemeriksan dimulai
dari anamnesis, gejala klinis, diikuti dengan pemeriksaan klinis rutin sampai
pemeriksaan khusus.
1) Anamnesis. Mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. Yang perlu
ditanyakan adanya keluhan alergi hidung, dengan gejala yang paling banyak adalah
bersin- bersin lebih dari 5 kali setiap serangan atau gatal hidung (89,80 %),rinore
encer lebih dari satu jam (87,07%) dan hidung tersumbat (76,19%). Biasanya gejala
timbul setelah ada riwayat kontak dengan alergen tertentu. Perkiraan alergen
penyebab, dari tes kulit alergen- alergen yang memberikan hasil positif bermakna
berturut-turut terbanyak adalah tungau debu rumah (91,19%).debu rumah
(73,47%), serpihan epitel atau bulu binatang (63,95%). 16,41,42
2) Gejala obyektif. Pada pemeriksaan klinis kronis tidak seberat
pemeriksaan sinusitis akut dan tidak terdapat pembengkakan muka. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior, mukosa hidung penderita rinitis alergi biasanya
basah , pucat atau livid serta konka tampak membengkak. Jika terdadap infeksi
penyerta, sekret dapat bervariasi dari encer dan mukoid hingga kental dan parulen,
sehingga mukosa menjadi merah dan meradang serta ditemukan sekret kental
(pus) pada meatus medius atau meatus superior. Kadang- kadang tampak polip pada
regio etmoid yang meluas ke meatus superior dan media. Pada pemeriksaan
rinoskopi posterior, tampak sekret purulen di nasofaring atau permukaaan atas
7. Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang pada rinitis alergi meliputi :
1) Eosinofil sekret hidung. Sekret diambil dengan kapas lidi pada konka
media dan konka inferior atau dapat dengan kerokan mukosa bagian lateral hidung,
kemudian ditaruh di atas kaca dan difiksasi dengan alkohol 95% serta diwarnai
secara Hansel atau Giemsa. Mygind17 membuat penilaian sebagai berikut : tidak ada
eosinofil (- ) : bila jumlah < 5 %, eosinofilia ringan (±) : bila jumlahnya 5- 10%,
eosinofilia sedang (+) : bila jumlahnya 10- 50% dan eosinofil nya (++) : bila
jumlahnya > 50 %. Pada orang normal tidak terdapat eosinofil, bila hasilnya (±)
dianggap tidak bermakna dan perlu diulang sera hasil (+) dan (++) menyokong
diagnosis rinitis alergi dijumpai peninggian eosinofil sekret hidung > 10%.43
Madiadipoera pada penelitian sekret hidung mendapatkan eosinofil 95,3% dan
memperhatikan 91,7% tes kulit positif, 80,1 % IgE RAST positif dan tes provokasi
hidung 73,3% positif. 44
2) Jumlah eosinofil dalam darah tepi. Umumnya pada penyakit alergi jumlah
eosinofil dalam darah tepi meningkat di atas 300/ ul. Bahkan mungkin mencapai
1500- 2000/ul. Keadaan eosinofilia juga terdapat pada keadaan infestasi cacing,
penyakit Hodgkin dan sindrom Loffler. Menurut Mygind (1978)17 pada keadaan rinitis
alergi saja, jumlah eosinofil darah tidak begitu meningkat atau tidak ada perbedaan
berarti dengan kelompok normal, sedangkan pada rinitis alergi dengan asma,
peningkatannya cukup nyata.
6) Tes kulit. Dasar tes kulit adalah menguji reagen yang terikat pada
mastosit di jaringan organ lain. Dikenal dua macam tes kulit, yaitu tes epidermal dan
tes kulit intradermal. 17,43
Tes ku lit epidermal, terdiri dari tes kulit tusuk atau cukit (prick test) dan tes
kulit gores (scratch test).
Tes kulit tusuk atau cukit (prick test). Dilakukan mula- mula dengan
membersihkan volar dengan bawah dengan alkohol, ditunggu sampai kering Alergen
diteteskan berbaris dengan jarak 2 cm diatas kulit dan dengan jarum disposibel
nomor 26 yang selalu baru, dilakukan tusuk dangkal atau dicukit melalui masing-
masing ekstrak yang telah diteteskan. Tusukan dijaga jangan disampai
menimbulkan pendarahan. Tes dibaca setelah 15- 20 manit. Cara penilaian :
menurut Sheldom4 4 hasil tes negatif, didapatkan bial hasil tes sama dengan kontrol.
Positif 1 (+), bila didapatkan bentol berukuran 4- 6 mm. Posistif tiga (+++), bila
didapatkan bentol berukuran 6- 8 mm. Positif empat (++++), bila bentol berukuran
> 8 mm. Mygind 17 membandingkan bentol dengan larutan kontrol negatif dan
larutan positif histamin, yaitu (- ) reaksi yang terjadi sama dengan larutan kontrol
negatif. Hasil bentol (+) dan (++) yang terjadi antar (- ) dan (+++). Bentol (+++)
yang terjadi sama besar dengan larutan positif histamin. Bentol (++++) dengan
diameter lebih besar dari kontrol positif atau bentol dengan pseudopodi. Selain itu
terdapat korelasi dengan tes provokasi dan IgE RAST, sehingga ditamba h dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik maka diagnosis alergi dapat ditegakkan.
Kerugiannya adalah kurang sensitif dan bisa terjadi negatif palsu.
Tes kulit gores (scratch test), dilakukan dengan menggores memakai jarum
steril sepanjang 0,5 cm pada epidermis punggung atau volar lengan bawah yang
akan dites, kemudian diteteskan alergen atau sebaliknya di teteskan dulu alergen
kemudian digores dengan kedalaman yang sama. Pembacaan tes setelah 20 menit
dan tes ini positif bila timbul indurasi (wheal) dan diterima kemudian diukur
diameternya dalam millimeter. Sekarang tes ini tidak digunakan lagi karena sering
menimbulkan positif palsu oleh karena sulit membedakan iritasi kulit dengan reaksi
alergi. Selain itu tes ini kurang sensitif.
Tes kulit intrademal, dilakukan bila hasil tes gores atau tes cukit tidak pasti,
yaitu (-) atau (+). Dengan jarum ukuran 26 dan memakai skala millimeter, 0,01-
0,02 ml larutan dengan kosentrasi 1/1000- 1/10.000 dengan bahan pelarut air
disuntikkan intrademal pada lengan atas bagian luar sedistal mungkin sampai
terbentuk bentol pucat sebesar 2- 3 mm. Sebagai kontrol disuntikkan histamin dan
larutan buffer. Diusahakan tidak berdarah dan reaksi yang terjadi dibaca setelah
10-15 menit. Keuntungan tes ini adalah lebih sensitif dibandingkan dengan tes cukit
atau tes gores, sedangkan kerugiannya ialah menimbulkan rasa nyeri dan mudah
terjadi reaksi anafilaksis sistemis. Tes kulit Intradermal, terdiri dari: a) pengenceran
tunggal (single dilution). Tes kulit ini me makai konsentrasi yang bervariasi,
8. Diagnosis banding
Rinitis alergi perlu dibedakan dengan rinitis vasomotor, rinitis idiopatik, rinitis
infeksiosa, rinitis sekunder dari obat- obatan, baik lokal maupun sistematik, rinitis
sekunder dari faktor mekanis, tumor hidung, polip hidung, rinore serebrospinal,
iritasi oleh kimia, faktor psikologis dan mastositosis hidung. 4,21
Di samping alergi, penderita polip hidung perlu dinilai terhadap sinusitis
infeksiosa, dan fibrosis kistik pada anak. Sinusitis dengan etiologi nonalergi,
misalnya trauma, zat kimia, imunodefisiensi, fibrosis kistik, sindrom Kartagener,
penyakit granulomatosa dan infeksi. 21,29
9. Pengobatan 21,40,47
Pengobatan yang diberikan ditujukan untuk infeksi dan faktor- faktor
penyebab infeksi secara bersama-sama. Di samping pemberian antibiotik dan
dekongestan, juga perlu diperhatikan predisposisi kelainan obstruksi yang
disebabkan karena rinitis alergi. Pengobatan untuk rinitis alergi terdiri atas 5 bagian
utama , yaitu : 1) menghindari alergen penyebab. Dapat dilakukan dengan
mengisolasi penderita dari alergen, menempati suatu sawar antara penderita dan
alergen atau menjauhkan dari penderita alergen.Untuk pencegahan ini, diperlukan
identifikasi alergen dan menghindari aleregn penyebab (avoidance). Dalam
pengelolaan penderita alergi inhalan, menganjurkan penderita untuk menghindari
alergen penyebab tidaklah mudah, sehingga poliklinik THT RSUD Dr. Soetomo
telah mengadakan kegiatan penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit
(PKMRS) mengenai debu rumah kepada penderita dan keluarganya.42,55
2) Pengobatan simptomatis. Diberikan bila pencegahan terhadap alergen
penyebab tidak memberikan hasil yang memuaskan. Ada 4 golongan obat yang
dapat di berikan, yaitu golongan antihistamin, simpatomimetik, kortikosteroid dan
stabilisator mastosit. Antihistamin, merupakan senyawa kimia yang dapat melawan
kerja histamin dengan mekanisme inhibisi kompetitif pada lokasi reseptor histamin.
Ada dua macam antihistamin, yaitu antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1)
dan antihistamin penghamb at reseptor H2 (AH2).48
Antihistamin H1 sampai saat ini dikenal 2 macam, yaitu antihistamin klasik
dan antihistamin generasi kedua atau baru.
Golongan antihistamin H1 klasik yang sering digunakan adalah etanolamin,
etilendiamin, alkelamin, fenotiazin, siproheptadin, hidroksizin, pirezin. Efek
antihistamin klasik, yaitu antihistaminik, yaitu menghilangkan gejala- gejala alergi
dan antikolinergik, yaitu mengurangi sekresi kelenjar eksorin, sekresi saliva sehingga
dapat mengurangi gejala rinore, tetapi dapat juga menyebabkan keringnya mukosa
mulut dan tenggorok serta sedatif, yaitu merupakan efek samping yang paling sering
terjadi. 42,48
3)
Imunoterapi (desensitisasi, hiposensitisasi). Pemberian imunoterapi
dapat dipertimbangkan bila cara- cara konservatif tidak berhasil. Dasar dari
imunoterapi adalah menyuntikkan alergen penyebab secara bertahap dengan dosis
kecil yang makin meningkat untuk menginduksi toleransi pada penderita alergi.
Suatu dosis imunoterapi yang efektif (optimal) akan menimbulkan perubahan-
perubahan klinis dan imunologik sebagai berikut: 1) Kenaikan pada Ig D khususnya
antibody penghambat Ig G1 dan Ig G4 yang tetap akan tinggi selama imunoterapi
diberikan. Peran Ig G1 dan Ig G4 diduga untuk menetralkan alergen sebelum
mencapai Ig E yang terikat di sel mastosit. Besarnya kenaikan Ig G yang terbentuk
dipengaruhi oleh dosis alergen yang diberikan . 2) kenaikan kadar Ig E pada
imunoterapi, kemudian turun perlahan- lahan sampai lebih rendah dari kadar
sebelum imunoterapi dalam waktu 18-24 bulan, kemudian dapat naik lagi dalam
waktu 1- 2 tahun setelah imunoterapi dihentikan. 3) kenaikan kadar Ig A dan Ig G
dalam sekret hidung. 4) Berkurangnya responsivitas limfosit secara invitro, 5)
meningkatkan nilai ambang dosis alergen yang digunakan pada tes provaksi
hidung. 6) Supresi reaksi lambat pada tes kulit intradermal terhadap alergen
spesifik. 7) berkurangnya penglepasan histamin oleh basofil. 42,44,46
10. Komplikasi
Sejak ditemukan antibiotik, komplikasi sinusitis maksila telah menurun
secara drastis. Komplikasi sinusitis maksila kronis yang dapat terjadi ialah :
14,21,26,35,36,44
3) Mukokel suatu kista yang mengandung mukus yang timbul di dalam sinus
Kista ini paling sering pada sinus maksila dan tersering berupa kista retensi mukus
dan biasanya tidak berbahaya. Mukokel yang terinfeksi dan berisi pus disebut piokel.
Patogenesisnya dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu obstruksi dan peradangan.
Gambaran klinis sesuai dengan sinusitis maksila kronis. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan radiologik, sinoskopi dan ditemukan pada operasi
Caldwell- Luc. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan histoptologik.
Pengobatan dengan eksplorasi sinus untuk mengangkat semua mukosa yang
terinfeksi, sehingga drenase sekret dan ventilasi sinus maksila menjadi baik.
4) Kelainan intrakranial :
Meningitis, abses ekstradural, abses subdural, abses otak dan tromboss
sinus cavernosus.
5) Kelainan paru :
Bronkitis kronis, bronkiektasis dan asma bronchial.
Adanya kelainan sinus paranasal yang disertai dengan kelainan paru
disebut sindrom sinobronkitis.
Bila hasil pembacaan tes kulit cukit dengan skor ≥ 2 (+) hasil tes berarti
positif.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Diagram 4.1. Distribusi kelompok umur dan jenis kelamin penderita sinusitis maksila
kronis.
45
41
40
35
15-24
30
25-34
25
22 35-44
20 19
45-54
15 14
11 10 >55
10 9
6 5 7 5 5 Total
5 3 32
1 0 1
0
laki-laki perempuan Jumlah
Pada diagram diatas dapat terlihat kelompok umur terbanyak penderita
sinusitis maksila kronis pada umur 25 – 34 tahun sebanyak 14 orang (34,15%) dan
penderita laki- laki sebanyak 22 orang serta perempuan sebanyak 19 orang dengan
perbandingan 1,2 : 1.
31
30 Sakit kepala
30
27
26
25 25 Hidung gatal
20 Cairan mengalir di
belakang gatal
15 Hidung Berbau
10 Gamgguan tenggorokan
5 2 Ingus kental
0 Penciumanberkurang
Keluhan Utama
Hidung berdarah
Dari diagram 4.2. didapatkan keluhan utama penderit a terbanyak adalah
hidung tersumbat sebanyak 36 kasus (87,80 %), dikuti bersin 34 kasus (82,9 %)
dan sakit kepala 31 kasus (76,61 %)
Dari diagram 4.3. terlihat gambar foto polos yang paling banyak adalah
perselubungan sebanyak 22 sinus (53,66%)
Diagram 4.4. Distribusi hasil tes kulit cukit pada penderita sinusitis maksila kronis
25 24
20 (-)
17 1 (+)
15 15 2 (+)
13
3 (+)
10 9
4 (+)
5 Negatif
2 2 Positif
0
Negatif Positif Jumlah
Dari diagram 4.5. jenis alergen yang terbanyak adalah debu rumah 23 kasus
(56,09%) diikuti Tungau 20 kasus ( 48,78%) dan bulu binatang 15 kasus ( 36,58%)
BAB V
PEMBAHASAN
Penderita yang dimasukkan dalam penelitian ini dimulai dan umur 15 tahun
untuk memudahkan pemeriksaan. Data yang diperoleh dari diagram 4.1 terlihat
bahwa umur terbanyak adalah 25- 34 tahun sebanyak 14 orang (34,15%). Pada
penelitian sebelumnya Massudi(semarang, 1991)51 mendapatkan umur terbanyak
21-25 tahun (38,16 %), NW Nizar (Jakarta,1994)52 umur terbanyak 26- 30 tahun
(47,21%), Moerseto (jakrta,1995)53 umur terbanyak 21- 30 tahun (38,95%). Di RS
H. Adam Malik Medan, Rizal A. Lubis (1998)54 umur terbanyak 18- 27 tahun (60%),
Alfian Taher (1999)46 umur terbanyak 15- 24 tahun (36,85%) dan Elfahmi
(2001)55 mendapatkan umur terbanyak adalah 35-44 tahun (30%). Jumlah penderita
laki- laki 22 orang dan perempuan 19 orang (1,2 : 1). Keadaan ini tidak berbeda jauh
dengan yang didapat peneliti lainnya, Massudi (semarang, 1991)53 mendapatkan
laki- laki 48,5% dan perempuan 51,5%. Bennnger MS (1996)6 dari 100 penderita
sinusitis maksila kronis didapat laki-laki 45 orang dan perempuan 55 orang. Pramono
(Semarang, 1999)56 mendapatkan 34 laki- laki dan 37 perempuan, sedangkan
Elfahmi (Medan, 2001) 52 dari 40 penderita sinusitis maksila kronis didapat laki- laki
21 orang (52,5%) dan perempuan 19 orang (47,5%).
Dari diagram 4.2 terlihat keluhan utama penderita sinusitis maksila kronis
adalah hidung tersumbat sebanyak 36 kasus (87,80%), diikuti dengan keluhan
bersin 34 kasus (82,93%) dan sakit kepala 31 kasus (75,61%). Keadaan ini sesuai
dengan kepustakaan bahwa penderita sinusitis maksila kronis umumnya menderita
keluhan gangguan pada hidung, gangguan pada faring dan sakit kepala.3 Benninger
(1996)6 juga mendapatkan keluhan utama terbanyak penderita sinusitis maksila
kronis berupa hidung tersumbat. Hal yang sama juga didapatkan Massudi (Semarang
1991)53 dimana keluhan utama penderita adalah hidung tersumbat 42,4% dan sakit
kepala 15,1%. Hidung tersumbat biasanya akibat edema selaput lendir konka yang
disebabkan oleh alergi serta sekret yang mengental karena infeksi sekunder sebelum
terjadi sinusitis.
6.1 KESIMPULAN
6.2 SARAN
1. Perlu dilakukan pemeriksaan tes kulit cukit pada setiap penderita
sinusitis maksila kronis yang dicurigai alergi sebagai faktor
predisposisi.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya sebagai pembanding
terhadap tes kulit cukit seperti pemeriksaan IgE spesifik, IgE total,
eosinofil sekret hidung, tes provaksi dll sehingga diagnosis pasti
dapat ditegakkan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN