You are on page 1of 12

Page 1 of 12

Pengantar Singkat Tentang Tasawwuf


oleh Abdul Hayyie al Kattani

Allah Swt berfirman: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu


mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)", atau agar kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan
sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang
(datang) sesudah mereka. Maka, apakah Engkau akan membinasakan
kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu" (QS. Al
A'raf: 172-173)

Ayat di atas dengan jelas mendeklarasikan, seluruh manusia


pernah melihat dan berjumpa dengan Allah Swt. Bahkan berbicara
kepada-Nya secara langsung. Pengalaman ini tertanam dalam sisi
terdalam jiwa manusia, fitrah. Semuanya telah terpatri (built
in) dalam bangunan diri setiap manusia, siapapun dia. Oleh
karena itu, jika manusia di dunia ditanyakan siapa yang telah
menciptakan langit dan bumi ini, secara spontan, sisi terdalam
jiwa mereka itu akan menjawab: "Allah".

Dalam Al Quran, Allah Swt berfirman: "Dan sesungguhnya jika


kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit
dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah" (QS. Luqman:
25). Keindahan kebersamaan dan perjumpaan itu menjadi sesuatu
yang terus mendorong mereka yang dianugerahkan berhati bersih,
atau mereka yang kemudian dibukakan hatinya, untuk menggapainya
kembali. Manusia, di dunia ini, berada dalam perpisahan
sementara dan amat singkat, untuk kemudian kembali menghadap
kepada-Nya. Atau dalam sabda Rasulullah Saw diungkapkan:
Manusia di dunia ini tertidur, dan jika mati mereka baru
terjaga. Tentang perjumpaan pada kesempatan pertama itu, Imam
Abul 'Azaim bersenandung:

Sejak jaman "alastu" kami tak pernah melupakan * percakapan dan


keindahan "Sang Indah" Gemerlapan. (Seperti dikutip oleh Syeikh
Muhammad Ali Salamah, Ayyamullah, Cet. Strand al Haditsah,
Cairo, 1985, hal. 17.)

Sumber : www.isnet.org www.sutrisno.net.tf


Page 2 of 12

Imam Ali k.w. pernah ditanya: Wahai amirul mu'minin, apakah


Anda mengingat hari alastu birabbikum? Ia menjawab: "Ya, aku
masih mengingatnya, dan aku mengingat siapa yang berada di
samping kanan dan samping kiriku"!.

Pada suatu halaqah yang diadakan Al Muhasiby, seseorang


bersenandung:

"Di negeri asing, ku tenggelam dalam tangisan


Seperti perantau yang kesepian
Dan kini ku menyadari
Sebaiknya, negeriku tak ku tinggalkan
Mengapa ku tinggalkan Tempat Sang Kekasih berada" (1)

Mendengar itu, Al Muhasiby segera berdiri dan terisak menangis,


merindukan kampung halamannya yang abadi, yang disaksikan pada
hari "alastu" itu.

Perjumpaan selanjutnya dengan Allah Swt akan terjadi dalam


bentuk yang amat lain. Yaitu akan diikuti dengan perhitungan
perbuatan selama perjalanan singkat di dunia ini. Apakah
seseorang tetap ingat terhadap janjinya, atau malah kemudian
dikalahkan sisi gelap dirinya: Nafsu yang melenakan dan
melupakan serta selalu mengajak kepada keburukan; "Nafsu
ammarah bissu".

Hanya orang-orang yang selamat dari godaan itu dan membersihkan


hatinya yang berhak kembali dengan selamat dan menikmati
keindahan dan kebahagiaan yang pernah dirasakan itu. Dan Allah
Swt akan menyambutkan dengan segala penyambutan: "Hai jiwa yang
tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,
dan masuklah ke dalam surga-Ku" (QS. Al Fajr: 28-30).

Untuk melakukan perjalanan sementara itu, Allah Swt tidak


membiarkan manusia dalam kebutaan dan kegelapan, tanpa petunjuk
jalan dan orang yang menuntun mereka. Allah SWT mengutus para
Nabi dan Rasul untuk melakukan tugas itu. Memberikan tuntunan
kepada manusia agar dapat kembali dengan selamat, menuju
kampung halaman mereka. Hal itu berkali-kali telah diungkapkan
oleh Al Quran, dan oleh Rasulullah Saw; telah diutus sebelum
beliau nabi-nabi dan rasul-rasul untuk melakukan tugas itu (2),
meskipun dengan syari'ah yang berbeda (QS. Al Maidah: 48),
namun untuk tujuan yang sama (QS. An Nahl: 36). Para rasul
adalah cahaya yang memancar bagi orang-orang yang mendapat
hidayah dari Allah Swt (3,4). Mercu suar bagi manusia, sehingga

Sumber : www.isnet.org www.sutrisno.net.tf


Page 3 of 12

mereka tidak tersesat mengarungi lautan hidup ini. Dan


menerangi hati mereka, sehingga hati mereka bersih, suci dan
mencapai alam malakut. Melepaskan diri dari kebinatangan
mereka, untuk menuju sifat fithrah mereka yang mulia. Makhluk
yang mendapatkan percikan cahaya ruh dari Allah SWT (5).

Allah SWT berfirman tentang pengutusan Rasulullah Saw: "Sungguh


Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman
ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari
golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-
ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada
mereka Al Kitab, Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum
(kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam
kesesatan yang nyata" (QS. Ali 'Imran: 164)

Dalam ayat di atas, secara eksplisit diungkapkan, selain


menyampaikan ayat-ayat Allah, mengajarkan Al Kitab dan Al
Hikmah, beliau juga diutus untuk membersihkan jiwa manusia.
Mensucikan ruh mereka kembali dari debu kemusyrikan, kekerasan
hati, penyakit-penyakit ruhani dan sebagainya. Dengan sukses,
tugas itu beliau laksanakan, sehingga merubah orang-orang Arab
yang keras dan paganis, menjadi sahabat-sahabat beliau yang
Rabbani. Membentuk sebuah masyarakat yang --meminjam istilah
Akbar S. Ahmad --ideal. Mencetak tokoh-tokoh seperti Abu Bakar,
Umar, Utsman dan Ali k.w. Dengan ciri-ciri antara lain,
keadilan Umar yang tiada tara, sifat pemalu Utsman, kecerdasan
Ali yang demikian rupa, kezuhudan Abu Dzar yang tanpa tanding,
keluasan ilmu pengetahuan Mu'adz dan seterusnya(6). Malah,
lebih jauh lagi, mereka mampu mencapai derajat-derajat yang
telah dicapai oleh nabi-nabi dari Bani Israil, kecuali tidak
ada kenabian setelah Nabi Saw. Rasulullah Saw. bersabda:
"Sahabat-sahabatku seperti nabi-nabi Bani Israil"!. Hal ini,
dalam sebuah sya'ir diungkapkan:

"Dahulu kami hanyalah orang-orang bodoh nan hina-dina, dengan


bimbingan Thaha (Saw), kami menjadi tokoh-tokoh mulia" (7)

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. bersabda: "Kami para nabi-


nabi tidak mewariskan apa-apa"(8). Dan pada hadits yang lain,
Rasulullah Saw bersabda pula: "para ulama adalah pewaris nabi-
nabi" (Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah
dan Ibnu Hibban, dalam sahihnya dari hadits Abi Darda).
Menyaksikan dua hadits ini, seakan ada kontradiksi dalam dua
sabda beliau itu. Namun, jika kita teliti lebih mendalam, kita
temukan sebuah pengertian; para nabi tidak mewarisi harta
duniawi, tetapi mereka mewarisi risalah kenabian, dan para

Sumber : www.isnet.org www.sutrisno.net.tf


Page 4 of 12

ulama-lah para pewaris itu. Rasulullah Saw. telah mencetak


sahabat-sahabat beliau sebagai pemegang warisan risalah itu.
Sehingga, ketika beliau meninggalkan dunia ini, menuju kampung
halaman yang abadi di sisi Allah SWT, telah terbina sahabat-
sahabat yang handal, dan menguasai tugas sebagai penyambung
risalah itu, yaitu menyebarkan ilmu pengetahuan dan cahaya
Ilahiyah. Ciri pengetahuan mereka amat khas, yaitu penguasaan
literer dengan baik terhadap nash-nash yang ditinggalkan oleh
Rasulullah Saw. serta kehalusan ruhani yang tinggi pula.
Misalnya, tentang Abu Bakar r.a. Rasulullah Saw bersabda,
keutamaan Abu Bakar r.a. bukanlah karena banyaknya puasa yang
ia lakukan, juga bukan karena banyaknya salat, meriwayatkan
hadits, berfatwa atau berbicara, namun karena sesuatu yang
tertanam dalam hatinya (Hadits diriwayatkan oleh Tirmizi Al
Hakim dalam Nawadir dari perkataan Abi Bakar bin Abdillah al
Mazini. Tetapi Al Iraqi tidak mendapatkan redaksi ini sebagai
hadits marfu').

Ulama atau fuqaha, pada masa kaum salaf, menurut Al Ghazali,


adalah mereka yang menguasai ilmu-ilmu syari'ah secara literer,
juga mereka yang menguasai ilmu akhirat atau ruhani(9). Ketika
Sa'd bin Ibrahim ditanya: Siapa penduduk Madinah yang paling
faqih? beliau menjawab: "Orang yang paling bertakwa kepada
Allah Swt". Jawaban tersebut --menurut Al Ghazali--menunjukkan,
kefaqihan seseorang ditentukan oleh pengetahuannya akan ilmu-
ilmu akhirat dan rahasia kedalaman hati, apa yang merusak amal
perbuatan, pengetahuan akan hinanya dunia, keinginan yang
menggebu untuk mencapai akhirat dan mempunyai ketakutan yang
tinggi kepada Allah Swt di dalam hatinya.

Dan hal itu tampak terwujudkan dalam diri fuqaha Islam generasi
pertama, para sahabat, tabi'in dan imam-imam mazhab. Namun,
menurut Al Ghazali, pada masa-masa selanjutnya, istilah ini
berubah menjadi bentuk yang lain. Hingga hanya terbatas pada
masalah-masalah hukum, fatwa dan kemampuan menghapal pendapat-
pendapat tentang suatu masalah hukum.

Pada perkembangan selanjutnya, terutama ketika fiqih telah


dikodifikasikan dan tidak ada tempat bagi ilmu ruhani tersebut
dalam bab-bab fiqih itu, demikian juga hadits, tafsir dan ilmu-
ilmu lainnya, dan masing-masing ilmu tersebut telah membentuk
suatu konsep keilmuan tersendiri, maka para ulama yang
mempunyai tanggungjawab terhadap warisan ruhaniah dari
Rasulullah Saw tersebut, juga mengambil kebijaksaan yang sama:
membentuk suatu konsep tersendiri tentang ilmu mereka.

Sumber : www.isnet.org www.sutrisno.net.tf


Page 5 of 12

Di kemudian hari, ilmu itu mereka namakan tasawwuf.

Catatan:

1. "Di negeri asing, ku tenggelam dalam tangisan Seperti


perantau yang kesepian Dan kini ku menyadari Sebaiknya,
negeriku tak ku tinggalkan Mengapa ku tinggalkan Tempat Sang
Kekasih berada." Lihat Abi Abdirrahman As-Sulami, Thabaqat
Shufiyah, Mathabi' Sya'b, tahun 1380 H., halaman: 17, dan Abu
Al Mawahib Abdul Wahhab bin Ahmad bin Aly Al Anshary Asy-
Syafi'i al Mashry, (Asy-Sya'rani), Thabaqat al Kubra, Darul
Jail, Bairut, 1408 H/1988M, Juz I, hal. 75.

2. Lihat: QS. Al Baqarah: 87, 253; Ali Imran: 144, 183, 184; An
Nisa: 165 dst.

3. Lihat: QS. Al Maidah: 15, dan ayat-ayat sejenisnya..

4. Tentang hal ini, dapat dibaca lebih lanjut pada: Syeikh


Muhammad Madli Abul Aza'im, Islam dinullah wa fithratuhu 'l
lati fathara 'n nasa 'alaiha, Dar Madinah Munawwarah, cet.II,
1401 H/1980 M, hal. 79 dst.

5. Lihat: QS. Al Hajar: 29, dan ayat-ayat sejenisnya.

6. Lihat: Syekh Fauzi Muhammad Abu Zaid, Nafahat Min Nur Al


Quran, Juz 1, Strand Al Haditsah, 1994, Cairo, hal:30.

7. "Dahulu kami hanyalah orang-orang bodoh nan hina-dina,


dengan bimbingan Thaha (Saw), kami menjadi tokoh-tokoh mulia".
Lihat catatan di atas.

8. Berdasarkan hadits ini, maka Abu Bakar r.a. tidak memberikan


tanah Fadak kepada Fathimah r.a., karena dengan demikian
berarti, secara otomatis harta Rasulullah Saw menjadi milik
umat.

9. Lihat, Imam Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 1,


Darul Hadits, Cairo,1992, hal. 57

Sumber : www.isnet.org www.sutrisno.net.tf


Page 6 of 12

Menurut Syeikh Abdul Halim Mahmud, terdapat banyak pendapat


tentang dari mana akar kata tasawwuf diambil(1). Namun,
menurutnya, pendapat yang paling kuat adalah pendapat mayoritas
pakar tasawwuf, seperti Mushthafa Aburraziq, Dr. Zaki Mubarak,
Orientalis Margoliouth, Louis Massignon dan lainnya. Yaitu,
akar kata itu diambil dari kata "shuf"-bulu domba. Bahkan
Mushtafa Abdurraziq dan Louis Massignon dengan tegas
mengatakan, sebaiknya pendapat yang mengatakan bahwa akar kata
tasawwuf bukan diambil dari kata itu, ditolak(2).

Namun, menurut Syekh Abdul Halim Mahmud, kata tasawwuf ini,


pada perkembangan awalnya bukan digunakan untuk pengertian
tasawwuf seperti yang kita ketahui sekarang. Tetapi, pada
awalnya, digunakan untuk menunjukkan orang-orang yang berpaling
dari dunia. Yaitu para zahid dan ahli ibadah(3).

Dalam mendefinisikan tasawwuf secara terminologis, menurut


Abdul Halim Mahmud lagi, juga terdapat banyak pendapat. Masing-
masing orang mendefinisikannya sesuai dengan kecenderungan dan
maqam yang dia telah capai. Basyar Al Hafi (w.227 H.)
mengatakan, sufi adalah: Orang yang bersih hatinya (pembersihan
jiwa), Abu Hafsh al Haddad (w. 265 H) mengatakan, tasawwuf
adalah: Sempurnanya budi pekerti (metodologi Akhlaq), Abu Sa'id
al Kharraz (w. 297 H) mengatakan: Sufi adalah orang yang
hatinya disucikan oleh Rabb-nya, maka hatinya dipenuhi cahaya,
dan orang yang menemukan kelezatan dalam berzikir kepada Allah.
Sedangkan Al Junaid (w.297H) berkata, tasawwuf adalah: Orang
yang dirinya dibersihkan oleh Allah, maka orang yang telah
terbebaskan dari segala sesuatu selain Allah, ia adalah sufi.
Dan banyak lagi definisi lainnya. Al Junaidi sendiri memberikan
lebih dari sepuluh definisi bagi tasawwuf (4).

Namun, setelah melihat satu-persatu definisi tersebut, Syeikh


Abdul Halim Mahmud berkesimpulan, definisi yang diberikan oleh
Abu Bakar al Kattani (w. 322 H), adalah definisi yang paling
tepat. Karena definisi itu menyatukan antara wasilah dan
tujuan: Wasilahnya adalah penyucian diri, shafa; dan tujuannya
adalah penyaksian, musyahadah.

Abu Bakar al Kattani mengatakan, tasawwuf adalah: Ash-Shafa wa


'l musyahadah --kesucian diri dan penyaksian". Dari definisi
tersebut, dapat dikatakan dengan yakin, tasawwuf adalah
pengejawantahan secara utuh firman Allah Swt.: "Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu ".(5)

Sumber : www.isnet.org www.sutrisno.net.tf


Page 7 of 12

Pensucian diri itu adalah sebuah metoda untuk kemudian mencapai


kondisi seperti yang difirmankan oleh Allah Swt: "Katakanlah:
"Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tema menyerahkan diri (kepada) Allah" (6).

Dan tujuannya adalah menuju pencapaian seperti yang difirmankan


oleh Allah SWT: "Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan.
Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan
yang demikian itu)". (7) Dengan demikian, tujuan tasawwuf
adalah menuju penyaksian: Asy-hadu an la ilaha Illa Allah -
'Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah'" (8).

Lebih jauh, Dalam kitab Ash-Shafa wa 'l Ashfia, Syeikh Fauzi


Muhammad Abu Zaid berkata: "Tasawwuf adalah Islam itu sendiri.
Dengan pengertian, Islam adalah kumpulan dari syari'ah, hukum
dan perintah-perintah Allah Swt untuk seluruh umat manusia.
Syari'ah dan hukum-hukum ini, Tidak akan bermanfaat bagi
manusia kecuali jika ia melakukannya dengan ikhlas semata untuk
Allah SWT. Sedangkan orang yang hanya mengatakan bahwa ia
muslim, kemudian tidak menjalankan syari'at dan aturan-aturan
Islam, maka ia tidak bisa dikatakan sebagai muslim secara utuh.
Rasulullah Saw bersabda: "Keimanan bukanlah sekadar angan-
angan, namun ia adalah apa yang tertanam dalam hati, dan
dibuktikan oleh amal perbuaan. Ada orang yang tertipu oleh
angan-angannya dan merekapun tertipu dalam menghadapi Allah,
sehingga mereka berkata: 'kami berbaik sangka kepada Allah'
[Maksudnya: kami berbaik sangka kepada Allah, bahwa dengan
keimanan kami kepada-Nya --tanpa dibuktikan amal kami-- Allah
akan menyelamatkan kami dan memasukkan kami ke surga, pen].

Pada dasarnya mereka telah berdusta, karena jika mereka berbaik


sangka kepada Allah, niscaya mereka akan beramal dengan baik
pula". Dan sufi adalah orang yang menjalankan syari'at Islam
dengan sempurna. Maka orang yang menjalankan syari'at Islam
dengan sempurna adalah sufi. Karena tasawwuf adalah usaha untuk
menjalankan segala kewajiban dari Allah SWT tersebut dengan
segala keikhlasan hati serta bersih dari ria dan bangga diri
untuk mencapai derajat shafa (kesucian diri)". (9)

Sumber : www.isnet.org www.sutrisno.net.tf


Page 8 of 12

Catatan:

1. Tentang hal ini, lihat: Abdul Halim Mahmud, Qadliyat


tasawwuf: Al Munqizh min-a 'dl Dlalal, Darul Ma'arif, Cario,
cet. II, hal. 34 dst. -- Ibnu Taimiyyah, As-Shufiyyah wa al
Fuqara, Darul Fath, cet. I, Cairo, 1984, hal. 5 dst. --Louis
Massignon & Dr. Mushthafa Abdurraziq, Al Islam wa Tasawwuf, Dar
Sya'b, Cairo, 1399 H/1979M, hal. 14 dst. --Abu Bakar Muhammad
al Kalabady, At-Ta'arruf Li Mazhab Ahli Tasawwuf, Maktabah
Azhariyyah li Turats, cet. III, 1412 H/1992 M, hal. 26 dst.

2. Lihat, Al Islam wa Tasawwuf, sca.

3. Lihat, Qhadiyat Tasawwuf, scn. 21, hal. 35.

4. Lihat: Abdul Halim Mahmud, Qadliyat Tasawwuf: Madrasah Asy-


Syaziliyyah, Darul Ma'arif, Cairo, cet.II, hal. 436.

5. QS. Asy-Syams: 9

6. QS. Al An'am: 162

7. QS. Ali 'Imran: 18

8. Scn. 24, hal. 438.

9. Lihat: Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid, Ash-Shafa wa 'l


Ashfia, Darul Iman Wa'l Hayat, Cairo, 1996, hal. 51-52.

Sumber : www.isnet.org www.sutrisno.net.tf


Page 9 of 12

Proses pencarian dan pencapaian dalam tasawwuf, seperti


didefinisikan oleh Abu Bakar al Kattani itu, secara aplikatif
telah dilalui oleh Imam Al Muhasiby dan imam Al Ghazali. Dalam
kitabnya Al Munqiz Min-a 'dl-Dlalal imam Al Ghazali menulis:

"Semenjak mudaku, sebelum aku menginjak usia dua puluh hingga


saat ini, ketika aku telah menginjak usia lima puluh tahun, aku
selalu mengarungi lautan yang dalam ini. Dengan segala
keberanian, menelusuri seluruh segi, dan mempelajari akidah
semua firqah, kemudian berusaha membuka rahasia mazhab semuah
firqah itu. Agar aku dapat membedakan antara yang benar dengan
yang salah, serta antara yang mengikuti sunnah dengan yang
membuat bid'ah. Aku tidak memasuki kebatinan kecuali untuk
mengetahui kebatinannya, tidak kaum zhahiri (literalis) kecuali
agar aku mengetahui hasil kezhahirihannya, juga tidak filsafat
kecuali aku hendak mengetahui hakikat filsafatnya, dan tidak
kaum mutakallimin kecuali untuk mengetahui hasil akhir kalam
dan debat mereka, tidak juga kaum sufi kecuali aku ingin
mengetahui rahasia kesufiannya, dan tidak kaum ahli ibadah
kecuali aku ingin mengetahui hasil dari ibadahnya, juga tidak
kaum zindiq yang tidak mengikuti syari'at kecuali untuk
menyelidiki mengapa mereka demikian berani berbuat seperti itu"
(1).

Setelah mengkaji sedemikian rupa seluruh firqah dan


kecenderungan pemikiran tersebut, akhirnya Al Ghazali
berkesimpulan: "Kemudian aku mengetahui dengan yakin, kaum sufi
adalah mereka yang benar-benar menuju kepada Allah Swt.
Perjalanan hidup mereka adalah yang paling baik. Metode mereka
adalah yang paling lurus. Dan akhlak mereka adalah akhlak yang
paling bersih. Bahkan, jika digabungkan intelektualitas kaum
intelek, kebijaksanaan para bijak-bestari serta pengetahuan
ahli tentang rahasia-rahasia syari'ah untuk merubah sedikit
saja perjalanan hidup dan akhlak mereka, serta kemudian
mengajukkan gantinya yang lebih baik, niscaya mereka tidak akan
mampu" (2), (3).

Dengan pembelaan Al Ghazali itu, terutama usahanya menyatukan


antara tasawwuf dengan fiqih, dalam kitabnya "Ihya Ulumuddin",
maka tasawwuf mendapatkan penerimaan yang demikian luas. Untuk
kasus Indonesia, misalnya, mayoritas para kiyai yang mempunyai
pondok besar dan mempunyai pengetahuan fiqih yang luas, juga
menguasai tasawwuf. Walaupun pada sebagian orang hanya untuk
dirinya sendiri. Tasawwuf kemudian menjadi salah satu rahasia
kekuatan Islam. Baik dalam menyebarkan ajaran Islam secara
damai, tanpa menimbulkan disharmoni di tengah masyarakat.

Sumber : www.isnet.org www.sutrisno.net.tf


Page 10 of 12

Seperti yang dilakukan oleh Wali Songo di Indonesia (4). Juga


dalam mempertahankan ajaran Islam itu.

Dalam buku From Samarkand to Stornoway : Living Islam, Akbar S.


Ahmad melukiskan, betapa dengan kekuatan tasawwuf itu, Islam
mampu bertahan di negara-negara yang dianeksasi oleh Rusia yang
komunis itu. Di bawah tekanan yang demikian hebat, antara lain
orang yang ketahuan membaca Al Quran maupun melakukan shalat
langsung masuk penjara, namun, dengan semangat dan ajaran
tasawwuf, Islam mampu bertahan dalam tahun-tahun yang penuh
penderitaan itu. Maka ketika negara-negara di Asia Tengah itu
menemukan kemerdekaannya, wajah Islam segera menyembul
kepermukaan. Seperti cendawan di musim hujan (5).

Dalam perjuangan mempertahankan Islam dengan kekuatan senjata,


secara jelas peran itu terlihat pada tokoh-tokoh puncak kaum
sufi. Mereka terlibat dalam banyak peperangan dan ikut serta di
tengah kecamuk peperangan itu. Seperti Syaqiq al Balkhi, Hatim
Al Asham, Abu Hasan Asy-Syazili yang turut serta dalam
peperangan melawan tentara salib di Manshurah, walaupun matanya
saat itu telah buta, juga Abdul Qadir al Jazairi serta Imam
Muhammad Madli Abul Azaim, yang disebut terakhir turut berjuang
untuk mengembalikan khilafah Islamiyyah paska dihapusnya
kekhilafahan di Turki (6).

Dan bagi dunia modern sekarang ini, seperti diakui oleh Martin
Van Bruninessen(7) dalam wawancaranya dengan majalah Amanah,
kans tasawwuf untuk mengajukan dirinya kepada masyarakat modern
amat besar. Bahkan ia dengan tegas mengatakan, tasawwuf akan
mampu menembus dan menundukkan Barat. Dalam wawancara dengan
majalah Tempo, Seyyed Hossein Nasr mengatakan, tasawwuf adalah
inti kekuatan Islam. Ia adalah jantungnya Islam. Tasawwuflah
yang dengan menjanjikkan dapat memberikan alternatif kepada
masyarakat modern di Barat. Dan Rene Guenon, seorang sarjana
Prancis yang kemudian mengganti namanya menjadi Syeikh Abdul
Wahid Yahya, telah menggunakan kekuatan tasawwuf itu untuk
menyebarkan Islam di seluruh penjuru dunia. Hingga gereja harus
mengeluarkan keputusannya untuk melarang masyarakat membaca
buku-bukunya. Tentu saja itu dilakukan gereja karena melihat
pengaruh yang begitu besar dari buku-bukunya itu (8).

Tokh, dunia telah mengenalnya dan menikmati buku-bukunya, dan


itu telah menggetarkan hati banyak orang Barat yang sedang
mencari kebenaran. Pada tahun 1977, misalnya, di Oxford telah
didirikan sebuah organisasi pengagum pemikiran Ibnu Arabi, The
Muhyiddin Ibnu Arabi Society. Sejak 1982 organisasi ini telah

Sumber : www.isnet.org www.sutrisno.net.tf


Page 11 of 12

menerbitkan sebuah jurnal, yang diberi nama Journal of the


Muhyiddin Ibn 'Arabi Society. Organisasi ini secara berkala
mengadakan Pertemuan Umum Tahunan dan Simposium Tahunan di
tempat-tempat berbeda (9).

Kini Anda telah hadir di dunia ini. Anda juga telah mengenal
wajah tasawwuf dalam arti yang sebenar-benarnya. Tujuan
kehadiran Anda di dunia adalah menjalani titian rintangan,
cobaan, dan karunia dan bahagia yang ada menuju tahapan demi
tahapan ke sisi haribaan-Nya. Hanya Dia-lah yang kita tuju.
Hanya kepada-Nya-lah hidup kita berserah. Hanya Dia-lah sumber
cinta segala cinta kita.

Selamat mempelajari Tasawwuf!

Catatan:

1. Lihat:Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, Al Munqiz


Min 'dl-Dlalal, dalam majmu'at rasail Imam Al Ghazali,Darul
Kutub al Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1409 H/1988 M, hal. 24-25.

2. Sca. hal. 62

3. Untuk contoh kontemporer proses seperti ini, dapat dibaca


pada, Syekh Fauzi Muhammad Abu Zaid, Muhammad Ali Salamah Sirah
wa Sarirah, Darul Iman wal Hayat, pengantar.

4. Lihat: Abdul Hayyie al Kattani, Ummat Islam Indonesia


Sejarah Politik dan Peranannya 600-an --1945, MA Attaqwa, 1411
H/1991 M, hal 12-14

5. Lihat; Akbar S. Ahmad, From Samarkand to Stornoway: Living


Islam, BBC Books Limited London, 1993, edisi Bahasa Indonesia,
hal. 265-267.

6. Lihat: Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid, Imam Al Azaim Al


Mujaddid ash-Shufi, Darul Iman wal Hayat, Cairo, 1412 H/1992M,
hal. 49-52.

7. Seorang peneliti Belanda, telah melakukan penelitian tentang


tarikat Naqshabandi ke Asia tengah dan Indonesia. Salah bukunya
tentang tasawwuf di Indonesia telah diterbitkan. Dan, setelah
mempelajari Islam, terutama tasawwuf, ia dengan yakin
mengucapkan syahadat.

Sumber : www.isnet.org www.sutrisno.net.tf


Page 12 of 12

8. Lihat: Al Madrasah Syaziliyyah, scn. 24, hal. 281 dst.

9. Lihat: Kautsar Azhari Noer, Ibn Al Arabi Wahdat al Wujud


dalam Perdebatan, Paramadina, cet. I, 1995, hal. xiv

Sumber : www.isnet.org www.sutrisno.net.tf

You might also like