You are on page 1of 34

COVER

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT DENGAN JUDUL


“ TB MILIER”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk


menyelesaikan KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT
PERIODE

Medan, September 2018

dr.

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya,


sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Tb Milier.” Referat ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik di Stase Ilmu
Penyakit Dalam RS Putri Hijau Medan
Dalam kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian referat
ini, terutama kepada dr. selaku pembimbing atas pengarahannya selama penulis
belajar baik dalam bentuk moril maupun dalam mencari referensi yang lebih baik.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, penulis sangat
terbuka dalam menerima kritik dan saran dalam perbaikan referat ini. Semoga
referat ini bisa bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Medan, September 2018

Silvia Amanda

ii
DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ........................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 2


2.1 Definisi TB .................................................................................. 2
2.2 Epidemiologi .............................................................................. 3
2.3 Etiologi ........................................................................................ 4
2.4 Patogenesis TB Milier ................................................................ 5
2.5 Klasifikasi TB ............................................................................ 8
2.6 Manifestasi Klinis ...................................................................... 10
2.7 Diagnosis TB Milier ................................................................... 12
2.7.1 Anamnesa terhadap Pasien dan Keluarga .......................... 12
2.7.2 Pemeriksaan Fisik .............................................................. 12
2.7.2 Pemeriksaan Penunjang ..................................................... 13
2.8 Tatalaksana TB Milier................................................................. 15
2.9 Komplikasi ................................................................................. 16
2.10 Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) ................ 16
2.11 International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) ............. 17
2.12 Prognosis .................................................................................. 26

BAB III KESIMPULAN ............................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 28

iii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1 TB Milier ....................................................................................... 2
Gambar 2 Prevealensi TB provinsi di Indonesia 2007 dan 2013 ................... 3
Gambar 3 Insidens TB di US pada tahun 2016 .............................................. 4
Gambar 4 Patogenesis TB .............................................................................. 6
Gambar 5 Patogenesis TB Milier ................................................................... 7
Gambar 6 Kalender Perjalanan Penyakit TB Primer ..................................... 7
Gambar 7 Gambaran funduskopi menunjukkan adanya tuberkel koroid....... 12
Gambar 8 TB Milier ....................................................................................... 14
Gambar 9 Alur Diagnosis TB Milier ............................................................. 15
Gambar 10 Tatalaksana TB Milier ................................................................... 16

iv
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1 Manifestasi Klinis TB .................................................................. 11

v
BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan dunia


terutama bagi negara-negara berkembang karena dapat mengancam kehidupan.
Penyakit ini disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penularan
penyakit TB dapat terjadi secara langsung dari orang ke orang melalui
percikan dahak yang mengandung kuman Mycobacterium tuberculosis, terisap
oleh orang sehat melalui jalan napas dan kemudian berkembangbiak di paru.
Berdasarkan cara penularan ini, TB paru dimasukkan dalam golongan airbone
disease. TB merupakan problem kesehatan dunia yang utama dan dianggap
penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis. Sekitar 75% TB adalah kelompok usia yang paling produktif
secara ekonomis (15-50 tahun), ditambah lagi dengan munculnya epidemi
HIV/AIDS di dunia yang dapat meningkatkan jumlah penderita TB di dunia.
Menyikapi hal tersebut pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai
kedaruratan dunia (global emergency).
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat.
Indonesia berada pada urutan ke-8 di dunia yang sebelumnya berada pada
urutan ke-3 setelah India dan China. TB di Indonesia adalah 285 per 100.000
penduduk dengan insidensi 189 per 100.000 penduduk. Salah satu upaya untuk
menanggulangi dan memberantas masalah TB adalah dengan strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Shortcourse) yakni suatu strategi yang lebih
menekankan pada pengawasan langsung terhadap penderita TB baik oleh
keluarga maupun petugas TB. Fokus utama Program Strategi DOTS adalah
penemuan dan penyembuhan pasien. Keberhasilan program penanggulangan
TB tidak lagi dilihat dari banyaknya penderita yang berhasil dijaring namun
telah bergeser kearah seberapa besar kasus penderita dapat diobati sampai
sembuh.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi TB
Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksius, disebabkan oleh
kuman mikobakterium tuberkulosa terutama menyerang parenkim paru. Nama
tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras yang
terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam
paru. Tb paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan
granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Tb paru dapat menular melalui
udara, waktu seseorang dengan Tb aktif pada paru batuk, bersin atau bicara.1
Beberapa bulan setelah terbentuknya komplek primer, basil tuberculosis menyebar
ke seluruh tubuh. Penyebaran ini jarang menimbulkan sakit. Pada TB milier sebagai
perkembangan penyakit, terjadi penyebaran hematogen ke seluruh tubuh.
Penyebaran ini menyebabkan orang menjadi sakit, umumnya TB milier terjadi
dalam waktu 1 tahun setelah infeksi primer.
TB milier adalah suatu bentuk tuberkulosa paru dengan terbentuknya
granuloma- granuloma yang merupakan perkembangan penyakit dengan ukuran
kurang lebih seperti biji “milet” (sejenis gandum), berdiameter 1-2 mm.
Tuberkulosis jenis ini dapat terjadi pada semua golongan umur, namun sebagian
besar penderita berumur kurang dari 5 tahun.2

Gambar 1. TB Milier

2
2.1 Epidemiologi
Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru oleh tenaga
kesehatan tahun 2013 adalah 0.4 persen, tidak berbeda dengan 2007. Lima provinsi
dengan TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%), DKI Jakarta
(0.6%), Gorontalo (0.5%), Banten (0.4%) dan Papua Barat (0.4%). Berdasarkan
karakteristik penduduk, prevalensi TB paru cenderung meningkat dengan
bertambahnya umur, pada pendidikan rendah, tidak bekerja. Prevalensi TB paru
terendah pada kuintil teratas. Dari seluruh penduduk yang didiagnosis TB paru oleh
tenaga kesehatan, hanya 44.4% diobati dengan obat program. Lima provinsi
terbanyak yang mengobati TB dengan obat program adalah DKI Jakarta (68.9%).
DI Yogyakarta (67,3%), Jawa Barat (56,2%), Sulawesi Barat (54,2%) dan Jawa
Tengah (50.4%) . 3

Gambar 2. Prevealensi TB provinsi di Indonesia 2007 dan 20133

Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke- 3 tertinggi di dunia


setelah China dan India. Pda tahun 1998 diperkirakan TB di China, India, dan
Indonesia berturut- turut 1.828.000, 1.414.000 dan 591.000 kasus. Perkiraan
kejadian BTA di sputum yang positif di Indonesia adalah 2666.000 tahun 1998.3
Darta dari CDC, menyebutkan seperempat dari populasi dunia terinfeksi
TB. Pada tahun 2016, 10,4 juta orang di seluruh dunia menjadi sakit karena penyakit
TB. Ada 1,7 juta kematian terkait TB di seluruh dunia. TB adalah pembunuh utama
orang yang terinfeksi HIV. Sebanyak 9.272 kasus TB (tingkat 2,9 kasus per 100.000
orang) dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 2016. Ini adalah penurunan dari

3
jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2015 dan sebagai jumlah kasus terendah
yang tercatat di Amerika Serikat. Terdapat penurunan 3,6% dari tahun 2015. CDC
memperkirakan bahwa sekitar 14% kasus TB AS dengan data genotip dikaitkan
dengan transmisi baru-baru ini.4

Gambar 3. Insidens TB di US pada tahun 20164

2.2 Etiologi
Penyakit Tb paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri. Mycobakterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat
tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA).
Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada waktu
batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada
suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut
terhirup ke dalam saluran pernafasan.Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam
tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar
dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran nafas,
atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari
seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular

4
penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman),
maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi tuberkuosis
ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut.5

2.4 Patogenesis TB Milier


Pada anak dan orang dewasa, TB milier terjadi bila fokus di paru pecah,
akibat penyebaran kuman M. tuberkulosis secara akut dan masif melalui aliran
darah sistemik. Umumnya hal ini terjadi pada penderita-penderita yang memiliki
kemampuan pertahanan tubuh yang tidak adekuat dalam menghadapi infeksi kuman
M. Tuberculosis. Penyebaran hematogen tersebut dapat melalui Kelenjar Getah
Bening (KGB) bila terjadi infeksi primer di tempat itu melalui aliran limfa menuju
duktus torasikus. Dapat juga merupakan hasil penempelan kuman M.tuberkulosis
pada dinding pembuluh darah sehingga menimbulkan vaskulitis kaseosa pada
lapisan intima sehingga memudahkan terjadinya pelepasan kuman ke dalam aliran
darah sistemik. Proses ini sering mengenai vena-vena besar, duktus torasikus,
sistem arteri dan aorta atau endokardium. Pernah pula dilaporkan penyebran secara
milier terjadi akibat tindakan bedah terhadap organ yang mengalami infeksi
tuberkulosis.6,7
Kuman penyebab penyakit kronis seperti tuberkulosa ini sering
menyebabkan berbagai macam reaksi imunologi, yang akibatnya bias lebih parah
daripada akibat erosive kuman. Dalam hal ini tuberculosis terbentuk granuloma-
granuloma yang berbatas tegas oleh sifat kronis penyakit tuberculosis dan reaksi
imunologi penderita. Apabila bakteri pyrogen memasuki pembuluh darah akan
terjadi septisemia. Maka reaksi antara septisemia dan reaksi imunologi ini
menentukan apakah nantinya tanda dan gejala penyakit akan menjadi ringan atau
berat. TB milier diduga dihasilkan sebagai akibat dari respon T-sel efektor yang
tidak adekuat dalam mengandung tuberkel bacillus. Dalam konteks
imunopatogenesis TB milier, aktivasi sel Th1, merupakan pusat kekebalan protektif
dan aktivasi sel Th2 menunjukkan gangguan imunitas. Bukti lain menunjukkan
bahwa chemokine selektif terhadap sel Th2 dapat memainkan peran penting dalam

5
pengembangan TB milier. Pada inang yang rentan, respon imun yang condong ke
respon pelindung silang Th2, seperti pembentukan granuloma dan kegagalan ini
dalam membatasi aktivitas penyakit di situs lokal yang mendukung diseminasi. TB
milier mungkin merupakan hasil dari respon sel Th2 yang terjadi pada jalur standar.
Data terbaru menunjukkan bahwa interleukin-4 (IL-4), dengan kemampuannya
untuk menurunkan regulasi pembentukan nitrit oksida (iNOS), toll-like receptor 2
(TLR2) dan aktivasi makrofag, dapat menentukan apakah infeksi Mycobacterium
tuberculosis menjadi laten atau progresif. Didalilkan bahwa M. Tuberkulosis gagal
untuk membangkitkan respon pelindung atau mendorong mekanisme proaktif dan
kemudian hal ini mengarah pada penyakit yang progresif. Mekanisme molekuler
dianggap bertanggung jawab untuk penyebaran penyakit dan pengembangan TB
milier. Ini termasuk gangguan ekspansi γ/sel- δT, yang berakibat kegagalan untuk
menghasilkan cell mediated immunity (CMI). 8

Gambar 4. Patogenesis TB7

6
Gambar 5. Patogenesis TB Milier7

Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan


sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender
terjadinya TB di berbagai organ.9

Gambar 6. Kalender Perjalanan Penyakit TB Primer9

7
2.5 Klasifikasi Tuberkulosis
A. Tuberkulosis Paru5
Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
1. Tuberkulosis Paru BTA (+)
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan
hasil BTA positif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan biakan positif
2. Tuberkulosis Paru BTA (-)
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan
tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian
antibiotik spektrum luas
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan M.tuberculosis positif
- Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum
diperiksa

Berdasar tipe penderita


Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu,
1. Kasus baru adalah penderita yang belum pernah mendapat
pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang
dari satu bulan (30 dosis harian)
2. Kasus kambuh (relaps) adalah penderita tuberkulosis yang
sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali
lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau

8
biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran
radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan
beberapa kemungkinan, seperti, infeksi sekunder, infeksi jamur, TB
paru kambuh
3. Kasus pindahan (Transfer In) adalah penderita yang sedang
mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah
berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus
membawa surat rujukan atau pindah
4. Kasus lalai berobat Adalah penderita yang sudah berobat paling
kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang
kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif
5. Kasus Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif
atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan
sebelum akhir pengobatan) atau penderita dengan hasil BTA negatif
gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan
ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya
perburukan
6. Kasus kronik adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2
dengan pengawasan yang baik
7. Kasus bekas TB jika hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan
jika ada fasilitas) negatif dan gambaran radiologik paru
menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik serial
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT
yang adekuat akan lebih mendukung, atau pada kasus dengan
gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun setelah
mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada
perubahan gambaran radiologik

9
B. Tuberkulosis Ekstra Paru5
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas
kultur spesimen positif, atau histologi, atau bukti klinis kuat konsisten dengan TB
ekstraparu aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan oleh klinisi untuk diberikan
obat anti tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru dibagi berdasarkan pada tingkat
keparahan penyakit, yaitu
1. TB di luar paru ringan
TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi, kelenjar adrenal
2. TB diluar paru berat
meningitis, millier, pericarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral,
TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.
Pada tahun 1974 American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang
diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarakat.10
• Kategori 0 : tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak
negatif, tes tuberkulin negatif
• Kategori I : terpajan tuberkulosis, tetapi tidak terbukti ada infeksi.
Disini riwayat kontak positif , tes tuberkulin negatif
• Kategori II : terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberkulin
positif, radiologis dan sputum negatif
• Kategori III : terinfeksi tuberkulosis dan sakit

2.6 Manifestasi Klinis TB


Gejala penyakit TB dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu
khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa
secara klinik.7

10
Tabel 1. Manifestasi Klinis TB

Gejala sistemik/umum Gejala khusus


Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu Tergantung dari organ tubuh mana yang
(dapat disertai dengan darah) terkena, bila terjadi sumbatan sebagian
bronkus (saluran yang menuju ke paru-
paru) akibat penekanan kelenjar getah
bening yang membesar, akan menimbulkan
suara “mengi”, suara nafas melemah yang
disertai sesak.
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung Kalau ada cairan dirongga pleura
lama, biasanya dirasakan malam hari disertai (pembungkus paru-paru), dapat disertai
keringat malam. Kadang-kadang serangan dengan keluhan sakit dada.
demam seperti influenza dan bersifat hilang
timbul
Penurunan nafsu makan dan berat badan Bila mengenai tulang, maka akan terjadi
gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu
saat dapat membentuk saluran dan
bermuara pada kulit di atasnya, pada muara
ini akan keluar cairan nanah
Perasaan tidak fenak (malaise), lemah Pada anak-anak dapat mengenai otak
(lapisan pembungkus otak) dan disebut
sebagai meningitis (radang selaput otak),
gejalanya adalah demam tinggi, adanya
penurunan kesadaran dan kejang-kejang

Gejala TB milier timbul perlahan-lahan dan sifatnya tidak spesifik. Gejala


bias berupa, febris, letargi, keringat malam, nafsu makan berkurang, dan berat
badan menurun. Febris yang bersifat turun naik sampai 40C dan berlangsung lama
adalah gejala yang paling sering dijumpai. Di negara berkembang TB milier harus
dicurigai, bila setelah mendapat campak, batuk rejan, atau infeksi interkuren

11
lainnya, anak sakit-sakitan dan berat badannya menurun. Walaupun terdapat febris,
penderita TB milier biasanya tidak tampak sakit berat. Batuk biasanya tidak ada
atau ringan saja. Sesak nafas dan sianosis mungkindapat dijumpai pada kasus yang
berat.8
Pada pemeriksaan paru sering tidak didapatkan kelainan. Krepitasi mungkin
terdengar bila anak disuruh bernafas dalam. Limpa biasanya membesar, sedang
hepar tidak selalu. Pemeriksaan funduskopi mata sering menunjukkan gejala
patognomonik pada sebagian besar kasus, yaitu ditemukannya tuberkel koroid. Dan
pada sebagian penderita dapat ditemukan tanda- tanda meningitis.8

Gambar 7. Gambaran funduskopi menunjukkan adanya tuberkel koroid (panah)8

2.7 Diagnosis TB Milier


Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TB, maka beberapa hal yang
perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah,11
2.7.1 Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya
Ada riwayat kontak dengan penderita TB dewasa dan aktif.

2.7.2 Pemeriksaan fisik


Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan

12
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang
lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada
penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru,
dan lain-lain.

2.7.3 Pemeriksaan penunjang11


Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak)
Tidak ada perubahan hematologi yang spesifik pada TB milier. Laju endap
darah tidak informatif. Anemia biasanya ringan, namun pada kasus lama dan berat
mungkin di jumpai anemia berat. Sering ditemukan leukopenia, kadang- kadang
leukositosis dan monositosis.
Dalam pemeriksaan sumsum tulang didapatkan tuberkel- tuberkel dan
gambaran darah tepi dapat menyerupai leukemia berupa leukositosis dan leukosit-
leukosit muda, anemia leukoeritroblastik berupa leukosit muda dan normoblas,
Kadang terdapat gambaran hematologic anemia aplastic berupa pansitopenia.
Pemeriksaan cairan serebrospinal pada TB milier sering disertai meningitis
yang kadang-kadang asimptomatik, oleh karenanya perlu dipertimbangkan punksi
lumbal untuk memeriksa cairan serebrospinal. Gambaran yang didapat adalah,
pleiositosis, kadar glukosa rendah dan atau kadar protei yang tinggi. Hasil biakan
positif hanya didapat pada 18,2% kasus.

Pemeriksaan bilasan lambung


Karena sulitnya mendapatkan sputum pada bayi dan anak, maka bias
dilakukan pemeriksaan bilasan lambung. Dalam hal ini ternyata hanya ditemukan
34,8- 56% yang positif.

Pemeriksaan radiologi (thorax photo)


Gambaran patologik pada pemeriksaan radiologi tidak selalu dijumpai pada
kasus TB milier. Oleh karenanya gambaran radiologi normal belum pasti
menyingkirkan diagnose TB milier. Gambaran normal radiologi mungkin
disebabkan oleh, focus diparu memecah ke cabang vena, yang menyebabkan tidak

13
terjadinya infiltrate di paru, ukuran infiltrate yang sangat kecil, atau karena
pemeriksaan dilakukan pada fase dini dari penyakit. Dalam hal demikian sebaiknya
pemeriksaan diulang setelah 1-4 minggu.
Gambaran klasik rontgen foto dari TB milier adalah gambaran badai salju.
Infiltrat- infiltrate yang halus berukuran beberapa mm, tersebar di kedua lapang
paru. Namun perlu diketahui bahwa gambaran badai salju juga bias ditemukan pada
kasus lain seperti, fugosis paru, sarcoidosis, hemosiderosis, dan histiosis X.
Gambaran radiologic juga bias berupa lesi paru yang lebih besar, yaitu berupa
infiltrate lober atau limfadenopati hilus. Disamping itu dapat ditemukan pula efusi
pleura, penebalan pleura dan kavitasi. Pada anak biasanya didapat gambar
campuran.

Uji tuberculin
Hasil tes tuberculin biasanya positif kuat. Pada sebagian penderita mungkin
positif lemah bahkan negative. Tetapi bila diulang satu buan kemudian setelah
mendapatkan pengobatan, praktis semua berubah menjadi positif.

Gambar 8. TB Milier11

14
Gambar 9. Alur Diagnosis TB Milier8

2.8 Tatalaksana TB Milier5


- Rawat inap
- Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
- Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik,
radiologik dan evaluasi pengobatan maka pengobatan lanjutan dapat
diperpanjang sampai dengan 7 bulan 2RHZE/ 7 RH
- Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan
Tanda / gejala meningitis, Sesak napas, Tanda / gejala toksik, Demam
tinggi
- Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg
setiap 5-7 hari, lama pemberian 4 - 6 minggu.

15
Gambar 10. Tatalaksana TB Milier8

2.9 Komplikasi5
- Paru: pneumothorax, bronkiektasis, abses paru
- Limfogen: limfadenitis TB
- Hematogen: TB kulit, meningitis TB, Spondilitis, TB ginjal,
peritonitis TB

2.10 Directly Observed Treatment Short-course (DOTS)12


Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO
dan IUATLD mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai
strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri
dari 5 komponen kunci, yaitu

1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan


Komitmen politik pemerintah dalam mendukung pengawasan tuberkulosis adalah
penting terhadap keempat unsur lainnya untuk dijalankan dengan baik. Komitmen
ini seyogyanya dimulai dengan keputusan pemerintah untuk menjadikan
tuberkulosis sebagai perioritas penting atau utama dalam program kesehatan.
2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin

16
mutunya
Pemeriksaan mikroskopis sputum adalah metode yang paling efektif untuk
penyaringan terhadap tersangka tuberkulosis paru.

3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien


Pasien diawasi secara langsung ketika menelan obatnya, dimana obat yang
diberikan harus sesuai standard.

4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif


Jaminan tersedianya obat secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu, sangat
diperlukan guna keteraturan pengobatan.

5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan


penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program
Setiap pasien tuberkulosis yang diobati harus mempunyai kartu identitas penderita
yang telah tercatat di catatan tuberkulosis yang ada di kabupaten. Kemanapun
pasien ini pergi, dia harus menggunakan kartu yang sama sehingga dapat
melanjutkan pengobatannya dan tidak sampai tercatat dua kali.
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam
pengendalian TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai
salah satu intervensi kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (cost-effective).
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas
diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai
penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat.
Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya
pencegahan penularan TB.

2.11 International Standard for Tuberculosis Care (ISTC)13


Pada tahun 2006 berbagai organisasi dunia yang terlibat dalam upaya
penganggulangan TB seperti: World Health Organization (WHO), Dutch
Tuberculosis Foundation (KNCV), American Thoracic Society (ATS),

17
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease, US Centers for
disease control & prevention, Stop TB Partnership, Indian Medical Association
menyusun suatu standard untuk pengobatan TB, yaitu International Standards for
Tuberculosis Care (ISTC). Di Indonesia, ISTC sudah diterima dan didukung oleh
IDI dan berbagai organisasi profesi (PDPI, PAPDI, IDAI, POGI, PAMKI, PDS
PATKLIN) dan sudah selesai disosialisasikan berkoordinasi dengan Depkes dan
IDI.
International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar
yang melengkapi guideline program penanggulangan tuberkulosis nasional yang
konsisten dengan rekomendasi WHO. ISTC edisi pertama pada tahun 2006 dan
pada tahun 2009 direvisi. Terdapat penambahan standar dari 17 standar menjadi 21
standar yang terdiri dari:
• Standar diagnosis (standar 1-6)
• Standar pengobatan (standar 7-13)
• Standar penanganan TB dengan infeksi HIV dan kondisi komorbid lain
(standar 14-17)
• Standar kesehatan masyarakat (standar 18-21)

Prinsip dasar ISTC tidak berubah. Penemuan kasus dan pengobatan tetap
menjadi hal utama. Selain itu juga tanggungjawab penyedia pelayanan kesehatan
untuk menjamin pengobatan sampai selesai dan sembuh. Seperti halnya pada edisi
sebelumnya, edisi 2009 ini tetap konsisten berdasarkan rekomendasi internasional
dan dimaksudkan untuk melengkapi bukan untuk menggantikan rekomendasi lokal
atau nasional.
ISTC tidak hanya mencakup panduan penatalaksanaan kasus TB
nonresisten, namun juga mencakup panduan untuk pencegahan TB MDR. Panduan
pencegahan TB MDR ini telah dijelaskan dalam standard 14, di mana pada semua
pasien seharusnya dilakukan penilaian kemungkinan resistensi obat berdasarkan
riwayat pengobatan terdahulu, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten, dan
prevalensi resistensi obat dalam masyarakat. Pasien gagal pengobatan dan kasus
kronik juga harus selalu dipantau kemungkinan resistensi obatnya. Untuk pasien

18
dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitiviti obat terhadap
isoniazid, rifampisin, dan etambutol seharusnya dilaksanakan segera.
Jika penanganan TB dilakukan dengan benar sesuai dengan standard ISTC dan
memakai strategi DOTS maka kemungkinan untuk terjadi MDR akan sangat kecil.

• STANDARD UNTUK DIAGNOSIS


Standard 1
Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih, yang tidak jelas
penyebabnya, harus dievaluasi untuk tuberkulosis. *) Lihat addendum

Standard 2
Semua pasien (dewasa, remaja dan anak yang dapat mengeluarkan dahak) yang
diduga menderita tuberkulosis paru harus menjalani pemeriksaan dahak
mikroskopik minimal 2 dan sebaiknya 3 kali. Jika mungkin paling tidak satu
spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.

Standard 3
Pada semua pasien (dewasa, remaja dan anak) yang diduga menderita tuberkulosis
ekstraparu, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya diambil untuk
pemeriksaan mikroskopik dan jika tersedia fasiliti dan sumber daya, dilakukan
pemeriksaan biakan dan histopatologi. *) Lihat addendum

Standard 4
Semua orang dengan temuan foto toraks diduga tuberculosis seharusnya menjalani
pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.

Standard 5
Diagnosis tuberkulosis paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan kriteria
berikut : minimal pemeriksaan dahak mikroskopik 3 kali negatif (termasuk minimal
1 kali dahak pagi hari); temuan foto toraks sesuai tuberkulosis dan tidak ada respons
terhadap antibiotika spektrum luas (Catatan : fluorokuinolon harus dihindari karena

19
aktif terhadap M.tuberculosis complex sehingga dapat menyebabkan perbaikan
sesaat pada penderita tuberkulosis). Untuk pasien ini, jika tersedia fasiliti, biakan
dahak seharusnya dilakukan. Pada pasien yang diduga terinfeksi HIV evaluasi
diagnostik harus disegerakan.

Standard 6
Diagnosis tuberkulosis intratoraks (yakni, paru, pleura dan kelenjar getah bening
hilus atau mediastinum) pada anak dengan gejala namun sediaan apus dahak negatif
seharusnya didasarkan atas kelainan radiografi toraks sesuai tuberkulosis dan
pajanan kepada kasus tuberkulosis yang menular atau bukti infeksi tuberkulosis (uji
kulit tuberkulin positif atau interferron gamma release assay). Untuk pasien seperti
ini, bila tersedia fasiliti, bahan dahak seharusnya diambil untuk biakan (dengan cara
batuk, kumbah lambung atau induksi dahak). *) Lihat addendum

• STANDARD UNTUK PENGOBATAN


Standard 7
Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung jawab
kesehatan masyarakat yang penting. Untuk memenuhi tanggung jawab ini praktisi
tidak hanya wajib memberikan paduan obat yang memadai tapi juga harus mampu
menilai kepatuhan pasien kepada pengobatan serta dapat menangani
ketidakpatuhan bila terjadi. Dengan melakukan hal itu, penyelenggara kesehatan
akan mampu meyakinkan kepatuhan kepada paduan sampai pengobatan selesai.

Standard 8
Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati
harus diberi paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional
menggunakan obat yang biovalibilitinya telah diketahui. Fase awal seharusnya
terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Etambutol boleh
dihilangkan pada fase inisial pengobatan untuk orang dewasa dan anak dengan
sediaan hapus dahak negatif, tidak menderita tuberkulosis paru yang luas atau
penyakit ekstraparu yang berat, serta telah diketahui HIV negatif. Fase lanjutan

20
yang dianjurkan terdiri dari isoniazid dan rifampisin diberikan selama 4 bulan.
Isoniazid dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif pada fase
lanjutan yang dapat dipakai jika kepatuhan pasien tidak dapat dinilai, akan tetapi
hal ini berisiko tinggi untuk gagal dan kambuh , terutama untuk pasien yang
terinfeksi HIV. Dosis obat antituberkulosis yang digunakan harus sesuai dengan
rekomendasi internasional. Kombinasi dosis tetap yang terdiri kombinasi 2 obat
(isoniazid dan rifampisin), 3 obat (isoniazid, rifampisin dan pirazinamid), dan 4
obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol) sangat direkomendasikan
terutama jika menelan obat tidak diawasi. *) Lihat addendum

Standar 9
Untuk membina dan menilai kepatuhan (adherence) kepada pengobatan, suatu
pendekatan pemberian obat yang berpihak kepada pasien, berdasarkan kebutuhan
pasien dan rasa saling menghormati antara pasien dan penyelenggara kesehatan,
seharusnya dikembangkan untuk semua pasien.
Pengawasan dan dukungan seharusnya sensitif terhadap jenis kelamin dan spesifik
untuk berbagai usia dan harus memanfaatkan bermacam-macam intervensi yang
direkomendasikan serta layanan pendukung yang tersedia, termasuk konseling dan
penyuluhan pasien. Elemen utama dalam strategi yang berpihak kepada pasien
adalah penggunaan cara-cara menilai dan mengutamakan kepatuhan terhadap
paduan obat dan menangani ketidakpatuhan, bila terjadi. Cara-cara ini seharusnya
dibuat sesuai keadaan pasien dan dapat diterima oleh kedua belah pihak, yaitu
pasien dan penyelenggara pelayanan. Cara-cara ini dapat mencakup pengawasan
langsung menelan obat (directly observed therapy - DOT) oleh pengawas menelan
obat yang dapat diterima dan dipercaya oleh pasien dan sistem kesehatan.

Standard 10
Semua pasien harus dimonitor responsnya terhadap terapi; penilaian terbaik pada
pasien tuberkulosis ialah pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (dua spesimen)
paling tidak pada waktu fase awal pengobatan selesai (dua bulan), pada lima bulan,
dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan sediaan apus dahak positif pada

21
pengobatan bulan kelima harus dianggap gagal pengobatan dan pengobatan harus
dimodifikasi secara tepat (lihat standard 14 dan 15). Pada pasien tuberkulosis
ekstraparu dan pada anak, respons pengobatan terbaik dinilai secara klinis.
Pemeriksaan foto toraks umumnya tidak diperlukan dan dapat menyesatkan. *)
Lihat addendum

Standard 11
Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis dan
efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien.

Standard 12
Di daerah dengan prevalensi HIV tinggi pada populasi umum dan daerah dengan
kemungkinan tuberkulosis dan infeksi HIV muncul bersamaan, konseling dan uji
HIV diindikasikan bagi semua pasien tuberkulosis sebagai bagian penatalaksanaan
rutin. Di daerah dengan prevalensi HIV yang lebih rendah, konseling dan uji HIV
diindikasikan bagi pasien tuberkulosis dengan gejala dan/atau tanda kondisi yang
berhubungan dengan HIV dan pada pasien tuberkulosis yang mempunyai riwayat
risiko tinggi terpajan HIV.

Standard 13
Semua pasien dengan tuberkulosis dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk
menentukan perlu/tidaknya pengobatan antiretroviral diberikan selama masa
pengobatan tuberkulosis. Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat
antiretroviral seharusnya dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi. Mengingat
kompleksnya penggunaan serentak obat antituberkulosis dan antiretroviral,
konsultasi dengan dokter ahli di bidang ini sangat direkomendasikan sebelum mulai
pengobatan serentak untuk infeksi HIV dan tuberkulosis, tanpa memperhatikan
mana yang muncul lebih dahulu. Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan
tuberkulosis tidak boleh ditunda. Pasien tuberkulosis dan infeksi HIV juga
seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya.

22
• STANDAR UNTUK PENANGANAN TB DENGAN INFEKSI HIV
DAN KONDISI KOMORBID LAIN
Standar 14
Uji HIV dan konseling harus direkomendasikan pada semua pasien yang menderita
atau yang diduga menderita tuberkulosis. Pemeriksaan ini merupakan bagian
penting dari manajemen rutin bagi semua pasien di daerah dengan prevalensi
infeksi HIV yang tinggi dalam populasi umum, pasien dengan gejala dan/atau tanda
kondisi yang berhubungan HIV, dan pasien dengan riwayat risiko tinggi terpajan
HIV. Mengingat terdapat hubungan yang erat antara tuberkulosis dan infeksi HIV,
pada daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi pendekatan yang terintegrasi
direkomendasikan untuk pencegahan dan penatalaksanaan kedua infeksi.

Standar 15
Semua pasien dengan tuberkulosis dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk
menentukan perlu/tidaknya pengobatan anti retroviral diberikan selama masa
pengobatan tuberkulosis. Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat anti
retroviral seharusnya dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi. Bagaimanapun
juga pelaksanaan pengobatan tuberkulosis tidak boleh ditunda. Pasien tuberkulosis
dan infeksi HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi
lainnya.

Standar 16
Pasien dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan seksama, tidak
menderita tuberkulosis aktif seharusnya diobati sebagai infeksi tuberkulosis laten
dengan isoniazid selama 6-9 bulan.

Standar 17
Semua penyelenggara kesehatan harus melakukan penilaian yang menyeluruh
terhadap kondisi komorbid yang dapat mempengaruhi respons atau hasil
pengobatan tuberkulosis. Saat rencana pengobatan mulai diterapkan,
penyelenggara kesehatan harus mengidentifikasi layanan-layanan tambahan yang

23
dapat mendukung hasil yang optimal bagi semua pasien dan menambahkan
layanan-layanan ini pada rencana penatalaksanaan. Rencana ini harus mencakup
penilaian dan perujukan pengobatan untuk penatalaksanaan penyakit lain dengan
perhatian khusus pada penyakit-penyakit yang mempengaruhi hasil pengobatan,
seperti diabetes mellitus, program penanganan kecanduan alkohol dan obat-obatan
terlarang, program berhenti merokok, dan layanan pendukung psikososial lain, atau
layanan-layanan seperti perawatan selama masa kehamilan, setelah melahirkan dan
perawatan bayi.

- STANDAR UNTUK KESEHATAN MASYARAKAT


Standar 18
Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien tuberkulosis seharusnya memastikan
bahwa semua orang yang mempunyai kontak erat dengan pasien tuberkulosis
menular seharusnya dievaluasi dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi
internasional. Penentuan prioritas evaluasi kontak didasarkan pada kecenderungan
bahwa kontak: menderita tuberkulosis yang tidak terdiagnosis, berisiko tinggi
menderita tuberkulosis jika terinfeksi, berisiko menderita tuberkulosis berat jika
penyakit berkembang, dan berisiko tinggi terinfeksi oleh pasien. Prioritas tertinggi
evaluasi kontak adalah:
Orang dengan gejala yang mendukung ke arah tuberkulosis.
• Anak berusia <5 tahun.
• Kontak yang menderita atau diduga menderita imunokompromais, khususnya
infeksi HIV.
• Kontak dengan pasien MDR/XDR TB, kontak erat lainnya merupakan
kelompok prioritas yang lebih rendah.

Standar 19
Anak berusia <5 tahun dan individu semua usia dengan infeksi HIV yang memiliki
kontak erat dengan pasien tuberkulosis dan setelah dievaluasi dengan seksama,
tidak menderita tuberkulosis aktif, harus diobati sebagai infeksi laten tuberkulosis
dengan isoniazid.

24
Standar 20
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menangani pasien yang menderita atau
diduga menderita tuberkulosis harus mengembangkan dan menjalankan rencana
pengendalian infeksi tuberkulosis yang memadai.

Standar 21
Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus melaporkan kasus tuberkulosis
baru maupun kasus pengobatan ulang serta hasil pengobatannya ke kantor dinas
kesehatan setempat sesuai dengan peraturan hukum dan kebijakan yang berlaku.

ADDENDUM
Standar 1
Untuk pasien anak, selain gejala batuk, entry untuk evaluasi adalah berat badan
yang sulit naik dalam waktu kurang lebih 2 bulan terakhir atau gizi buruk.

Standar 2
Bila hasil pemeriksaan BTA 1 negatif, maka dilakukan pemeriksaan sputum kedua
pagi hari. Satu spesimen harus berasal dari pagi hari.

Standar 3
Sebaiknya dilakukan juga pemeriksaan foto toraks untuk mengetahui ada tidaknya
TB paru dan TB milier. Pemeriksaan dahak juga dilakukan, bila mungkin, pada
anak.

Standar 6
Untuk penatalaksanaan di Indonesia, diagnosis didasarkan atas pajanan dari kasus
tuberkulosis yang menular , bukti infeksi tuberkulosis (uji kulit tuberkulin positif
atau interferon gamma release assay) dan kelainan radiografi toraks sesuai TB.

25
Standar 8
Secara umum terapi TB diberikan selama 6 bulan, namun pada TB Ekstraparu
(meningitis TB, TB tulang, TB milier, TB Kulit, dan lain-lain) terapi TB dapat
diberikan lebih lama sesuai evaluasi medis.Khusus untuk anak, rejimen yang
diberikan terdiri atas RHZ. E ditambahkan bila penyakitnya berat.

Standar 10
Respons pengobatan pada pasien TB milier dan efusi pleura atau TB paru BTA
negatif dapat dinilai dengan foto toraks.

Standar 18
Apabila menangani TB anak dan TB Kulit maka cari sumber penularnya

Standar 19
Pemberian Isoniazid untuk profilaksis sedang dalam proses persiapan menjadi
program nasional

Standar 21
Pelaksanaan pelaporan akan difasilitasi dan dikoordinasikan oleh dinas kesehatan
setempat, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.

2.12 Prognosis
Prognosis kesembuhan TB milier, setelah ditemukannya obat anti TB
mengalami perbaikan yang signifikan, kecuali bila ada komplikasi meningitis, serta
keterlambatan dan tidak teratur dalam berobat.14

26
BAB III
KESIMPULAN

Tuberkulosis milier merupakan kelainan patologis berupa granuloma


berukuran 1-2 mm, yang disebabkan penyebaran Mycobacterium tuberculosis
secara hematogen dan limfogen di organ paru atau ekstraparu. Tuberkulosis milier
menurut WHO diklasifikasikan ke dalam TB paru karena didapatkan lesi di paru.
Organ tubuh yang paling sering tejadi penyebaran TB milier adalah organ yang
mempunyai banyak sel fagosit di dinding sinusoid. Faktor risiko TB milier antara
lain keganasan, transplantasi organ, penyakit HIV, malnutrisi, diabetes, silikosis,
penyakit ginjal endstage, bedah mayor, alkoholisme, kehamilan, dan obat
imunosupresi. Tuberkulosis milier dapat terjadi pada saat infeksi TB primer, atau
reaktivasi TB laten. Reaktivasi dan penyebaran TB milier terjadi karena adanya
defek pada sel makrofag, sel natural killer (NK), sel limfosit T γ/δ, serta adanya
gangguan ekspansi sel limfosit Tγ/δ. TB milier banyak ditemukan pada pasien HIV
karena terjadi penurunan sel limfosit T CD4+ menyebabkan penurunan produksi
IFN-γ dan IL-2 sehingga terjadi penyebaran TB secara milier. Gejala TB milier
umumnya tidak spesifik dan didominasi keluhan sistemik disertai gejala lain
tergantung pada organ yang terinfeksi TB. Kriteria diagnosis TB milier berdasarkan
gambaran klinis TB, rontgen toraks menunjukkan pola milier, lesi retikulonoduler
bilateral difus pada rontgen toraks ataupun HRCT scan toraks, dan dibuktikan
dengan pemeriksaan mikrobiologi dan histopatologi TB. Terapi TB milier
diberikan OAT dengan regimen 2RHZE/4RH, pada meningitis TB dan TB tulang
terapi OAT diberikan 9-12 bulan. Kortikosteroid dapat diberikan pada meningitis
TB.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit


dalam. Edisi 5. Jilid 3. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2009.P.863
2. Sharma S, Mohan A. Miliary Tuberculosis, p 415-435. In Schlossberg D
(ed), Tuberculosis and Nontuberculous Mycobacterial Infections, Sixth
Edition. ASM Press, Washington, DC.2011. doi:
10.1128/9781555817138.ch27
3. Departemen Kesehatan RI. Pedoman penanggulangan tuberkulosis. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2010
4. CDC. Data and statistics of tuberculosis. Acessed on 03 September 2018
5. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006
6. Crofton J and Douglas A. Miliary tuberculosis. In: Respiratory disease. 3 rd
ed. Blackwell Scientific Publication. New York. 1983. 257 – 63.
7. http://staff.ui.ac.id/system/files/users/retno.asti/material/patodiagklas.pdf.
Accessed on 03 September 2018
8. Sharma S, Mohan A. Miliary Tuberculosis: A new look at an old foe.
Elsevier Ltd. New Delhi. 2016
9. Miller EF. Tuberculosis in Children: Evolution, epidemiology, treatment,
prevention. New York: Churchill Livingstone. 1982. Doi: 10.1016/0007-
0971(83)90032-3
10. American Thoracic Society. Diagnostic Standards and Classification of
Tuberculosis in Adults and Children. Am J Respir Crit Care Med Vol 161.
pp 1376–1395, 2000
11. Bastos HN, Nuno S, Osrio, Gagneux S, Comas I, Saraiva M. The Troika
Host Pathogen Extrinsic Factors in Tuberculosis: Modulating inflammation
and clinical outcomes. In Front Immunol. 2018. Doi:
10.3389/fimmu.2017.01948
12. Tjandra A. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Edisi 2.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.P.30-7
13. International standards for tubeculosis care, diagnosis, treatment, and public
health. http://www.who.int/tb/publications. Accessed on 03 September
2018
14. Munt, PW. Miliary Tuberculosis in the Chemotherapy Era: With a clinical
Review in 69 American Adult. Medicine, 1972; 51:139

28

You might also like