You are on page 1of 33

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Respiratory distress adalah suatu keadaan meningkatnya kerja pernapasan

yang ditandai dengan takipnea, retraksi dinding dada, napas cuping hidung,

merintih atau grunting, sianosis, apnu tau henti napas. Respiratory distress dapat

disebabkan oleh berbagai keadaan seperti penyakit membran hyalin (PMH),

Transient Tachypnea of Neonatus (TTN), pneumonia neonatal, maupun aspirasi

mekonium.

Air ketuban bercampur mekonium (AKK) dapat menyebabkan sindrom

aspirasi mekonium (SAM) yang mengakibatkan asfiksia neonatorum. SAM

adalah sindrom atau sekumpulan gejala klinis dan radiologis akibat janin atau

neonatus menghirup atau mengapirasi mekonium.1

Aspirasi mekonium merupakan penyebab terbanyak distres pernapasan

pada bayi cukup atau lebih bulan. Insiden air ketuban keruh terjadi pada 8-16%

dari seluruh persalinan, terjadi baik secara fisiologis ataupun patologis yang

menunjukkan gawat janin. Tidak semua neonatus yang mengalami AKK

berkembang menjadi SAM. Neonatus yang mempunyai AKK 11% berkembang

menjadi SAM dengan berbagai derajat. Keadaan AKK menempati posisi penting

sebagai faktor risiko SAM yang merupakan penyebab signifikan morbiditas dan

mortalitas janin.2

1.2 Batasan Penulisan

1
Penulisan case report ini dibatasi mengenai aspirasi mekonium mencakup

definisi, epidemiologi, etiologi dan faktor risiko, klasifikasi, manifestasi klinis,

diagnosis, tatalaksana, prognosis dan komplikasi.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan case report ini adalah membahas mengenai aspirasi

mekonium, mencakup definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko, klasifikasi,

manfestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, prognosis dan komplikasi.

1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan case report ini adalah berdasarkan tinjauan kepustakaan

dari berbagai literatur

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Respiratory distress adalah suatu keadaan meningkatnya kerja pernapasan

yang ditandai dengan takipnea, retraksi dinding dada, napas cuping hidung,

merintih atau grunting, sianosis, apnu tau henti napas. Respiratory distress dapat

disebabkan oleh berbagai keadaan seperti penyakit membran hyalin (PMH),

Transient Tachypnea of Neonatus (TTN), pneumonia neonatal, maupun aspirasi

mekonium.1

Sindrom Aspirasi Mokonium adalah sindrom atau sekumpulan gejala

klinis dan radiologis akibat janin atau neonatus menghirup atau mengaspirasi

mekonium. Sindrom aspirasi mekonium dapat terjadi sebelum, selama, atau

setelah proses persalinan. Pengeluaran mekonium ke dalam ketuban umumnya

merupakan akibat dari keadaan hipoksia intrauterin dan atau gawat janin. 1

2.2 Epidemiologi

Kejadian SAM merupakan masalah yang paling sering dihadapi spesialis

anak dan spesialis kebidanan. Di Amerika Serikat, diperikirakan 12% dari

kelahiran hidup dipersulit dengan AKK dan 35% berkembang menjadi SAM.

Sekitar 30% SAM akan memembutuhkan ventilasi mekanik, 10% berkembang

menjadi pneumothoraks, dan 4% meninggal.3

Penurunan insiden SAM dari 5,8% sampai 1,5% terjadi selama periode

1990 sampai 1997 yang yang mendukung penurunan insiden kematian 33% pada

bayi dengan umur kehamilan lebih 41 minggu.

3
2.3 Anatomi dan Fisiologi

Menurut Pusdiknakes (2003) perubahan fisiologis pada bayi baru lahir

adalah salah satunya sistem pernafasan. Selama dalam uterus, janin mendapatkan

oksigen dari pertukaran gas melalui plasenta. Setelah lahir, pertukaran gas harus

melalui paru-paru.9

2.3.1 Perkembangan Paru-Paru

Paru berasal dari pengembangan embryonic foregut dimulai dengan

perkembangan bronki utama pada usia 3 minggu kehamilan.pertumbuhan paru

kearah kaudal ke mesenkim sekitar dan pembuluh darah, otot halus, tulang rawan

dan komponen fibroblas berasal dari jaringan ini. Secara endodermal epitelium

mulai membentuk alveoli dan saluran pernapasan. Diluar periode embrionik ini,

ada 4 stadium perkembangan paru yang telah dikenal. Pada seluruh stadium ini,

perkembangan saluran pernapasan, pembluh darah dan proses diferensiasi

berlangsung secara bersamaan.7

a. Pseudoglandular (5-17 minggu)

Terjadi perkembangan percabangan bronkus dan tubulus asiner.

a. Kanalikuler (16-26 minggu)

Terjadi proliferasi kapiler dan penipisan mesenkim

Diferensiasi pneumosit alveolar tipe II sekitar 20 minggu

b. Sakuler (24-38 minggu)

Terjadi perkembangan dan ekspansi rongga udara

Awal pembentukan septum alveolar

c. Alveolar (36 minggu-lebih 2 tahun setelah lahir)

Penipisan septum alveolar dan pembentukan kapiler baru

4
2.3.2 Awal Adanya Nafas

Dua faktor yang berperan pada rangsangan pertama nafas bayi 9 :

 Hipoksia pada akhir persalinan dan rangsangan fisik lingkungan dua rahim

yang merangsang pusat pernafasan otak.

 Tekanan terhadap rongga dada, yang terjadi karena kompresi paru-paru

selama persalinan yang merangsang masuknya udara ke dalam paru-paru

secara mekanis.

Interaksi antara sistem pernafasan, kardiovaskuler dan susunan saraf pusat

menimbulkan pernafasan teratur dan berkesinambungan. Jadi sistem-sistem harus

berfungsi secara normal.9

2.3.3 Surfaktan dan Upaya Respirasi untuk Bernafas

Surfaktan dibentuk pada pneumositalveolar tipe II dan disekresi kedalam

rongga udara kecil sekitar usia kehamilan 22 minggu.komponen utama surfaktan

ini adalah fosfolipid, sebagian besar terdiri dari dipamitylphosphatidylcholine

(DPPC). Surfaktan disekresikan oleh eksositosis dari lamellar bodies pneumosit

alveolar tipe II dan mielin tubuler. Pembentukan mielin tubuler tergantung pada

ion kalisum dan protein surfaktan SP-A dan SP-B. Surfaktan lapisan tunggal

bersal dari mielin tubuler dan sebagian besar terdiri dari DPPC.7

Upaya pernafasan pertama seorang bayi berfungsi untuk mengeluarkan

cairan dalam paru-paru dan mengembangkan alveolus paru-paru untuk pertama

kali. Produksi surfaktan dimulai pada 20 minggu kehamilan dan jumlahnya akan

meningkat sampai paru-paru matang sekitar 30-40 minggu kehamilan. Surfaktan

ini berfungsi mengurangi tekanan permukaan paru-paru dan membantu

menstabilkan dinding alveolus sehingga tidak kolaps pada akhir pernafasan.

5
Tanpa surfaktan alveoli akan kolaps setiap saat setelah akhir setiap pernafasan

yang menyebabkan sulit bernafas.9

2.3.4 Dari Cairan menuju Udara

Bayi cukup bulan mempunyai cairan di dalam paru-parunya. Pada saat

bayi melalui jalan ahir selama persalinan, sekitar 1/3 cairan ini akan diperas

keluar paru-paru. Dengan beberapa kali tarikan nafas pertama, udara memenuhi

ruangan trakea dan bronkus bayi baru lahir. Dengan sisa cairan di dalam paru-

paru dikeluarkan dari paru-paru dan diserap oleh pembuluh limfe dan darah.9

2.3.5 Fungsi Pernafasan dalam Kaitannya Fungsi Kardiovaskuler

Oksigenasi sangat penting dalam mempertahankan kecukupan pertukaran

udara. Jika terdapat hipoksia, pembuluh darah paru-paru akan mengalami

vasokontriksi. Pengerutan pembuluh darah ini berarti tidak ada pembuluh darah

yang terbuka, guna menerima oksigen yang berada dalam alveoli, sehingga

penurunan oksigenasi jaringan akan memperburuk hipoksia. Peningkatan aliran

darah paru-paru akan memperlancar pertukaran gas dalam alveolus dan

menghilangkan cairan paru-paru akan mendorong terjadinya peningkatan sirkulasi

limfe dan membantu menghilangkan cairan paru-paru dan merangsang perubahan

sirkulasi janin menjadi sirkulasi luar rahim.9

6
2.4 Etiologi dan Faktor Risiko

Penyebab terbanyak dari distres respirasi dapat dibagi atas 6

1. Penyakit Membran Hialin (PMH)

Penyakit membran hialin merupakan gangguan pernapasan yang

disebabkan imaturitas paru dan defisiensi surfaktan , terutama pada neonatus usia

gestasi <34 minggu atau berat lahir <1500 gram.

2. Transient Tachypnea of Neonatus (TTN)

Disebut juga sebagai wet lung yang terutama terjadi pada bayi cukup bulan,

dan biasanya ringan serta dapat sembuh sendiri.

3. Pneumonia neonatal

Pneumonia disebabkan infeksi intrauterin atau selama persalinan dan

umumnya infeksi bakterialis dapat didukung dengan faktor seperti prematuritas,

ketuban pecah dini dan persalinan lama.

4. Aspirasi mekonium

Aspirasi mekonium merupakan penyebab terbanyak distres pernapasan

pada bayi cukup atau lebih bulan. Mekonium yang masuk ke dalam saluran napas

menyebabkan terjadinya obstruksi bronkial, air-trapping (akibat partikel

mekonium menyumbat bronkus kecil di perifer), dan pneumonitis kimiawi. Dapat

terjadi komplikasi pneumotoraks, pneumomediastinum, hipertensi pulmonal,

pirau kanan ke kiri serta kerusakan otak akibat anoksia.

Faktor risiko terjadinya distres respirasi 7, :

1. Bayi kurang bulan (BKB). Pada bayi kurang bulan, paru bayi secara

biokimiawi masih imatur dengan kekurangan surfaktan yang melapisi

rongga alveoli.

7
2. Kegawatan neonatal seperti kehilangan darah dalam periode perinatal,

aspirasi mekonium, pneumotoraks akibat tindakan resusitasi, dan

hipertensi pulmonal dengan pirau kanan ke kiri yang membawa darah

keluar dari paru.

3. Bayi dari ibu diabetes melitus. Pada bayi dari ibu dengan diabetes terjadi

keterlambatan pematangan paru sehingga terjadi distress respirasi.

4. Bayi lahir dengan operasi sesar. Bayi yang lahir dengan operasi sesar,

berapa pun usia gestasinya dapat mengakibatkan terlambatnya absorpsi

cairan paru (transient tachypnea of newborn).

5. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini dapat

terjadi pneumonia bakterialis atau sepsis.

6. Bayi dengan kulit berwarna seperti mekonium, mungkin mengalami

aspirasi mekonium.

2.5 Patofisiologi

2.5.1 Penyakit Membran Hialin (PMH)

Defisiensi substansi surfaktan yang ditemukan pada PMH menyebabkan

kemampuan paru untuk mempertahankan stabilitasnya terganggu, hal ini

mengakibatkan terganggunya fungsi paru bayi setelah lahir. Pada keadaan

defisiensi ini paru bayi akan gagal mempertahankan kestabilan alveolus pada

akhir ekspirasi, sehingga pada saat inspirasi berikutnya dibutuhkan tekanan yang

lebih besar untuk mengembangkan alveolus yang mengalami kolaps dan pada

setiap ekspirasi terjadinya atelektasis menjadi bertambah. Kolaps paru ini akan

menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi dan

asidosis. Hipoksia akan menimbulkan oksigeniasi jaringan menurun, sehingga

8
akan terjadi metabolisme anaerobik dengan penimbunan asam laktat dan asam

organik lainnya yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi.

Selanjutnya akan terjadi kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris

yang akan menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya

fibrin dan selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik

membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin yang menghambat

terjadinya difusi dan pada akhirnya akan memperparah gangguan napas pada

neonatus.10,12

2.5.2 Transient Tachypnea of Neonatus (TTN)

TTN adalah akibat adanya keterlambatan dalam pembersihan cairan paru

janin. Masalah pernapasan dianggap masalah kekurangan surfaktan tetapi

sekarang dicirikan oleh beban udara-cairan sekunder dan ketidakmampuan untuk

menyerap cairan paru janin tersebut. 10,12

Percobaan in vivo telah menunjukkan bahwa epitel paru-paru

mengeluarkan Cl- dan cairan selama kehamilan tetapi kemampuan untuk

menyerap kembali secara aktif Na+ hanya selama akhir kehamilan. Saat lahir,

paru-paru matur mengaktifkan sekresi Cl- (cairan) menjadi penyerapan aktif Na+

(cairan) akibat respon terhadap beredarnya katekolamin. Penelitian menunjukkan

bahwa glukokortikoid berperan dalam pengaktifan ini. Perubahan dalam tegangan

oksigen menambah kapasitas transpor epitel terhadap Na+ dan meningkatkan

ekspresi gen untuk epitel Na+ channel (ENaC). Paru-paru janin imatur tidak

mampu untuk beralih dari sekresi cairan menjadi penyerapan cairan, yang diatur

oleh glukokortikoid. Glukokortikoid mempengaruhi reabsorpsi Na+ paru-paru

kemungkinan besar melalui saluran EnaC pada akhir usia kehamilan janin. 10,12

9
Bayi matur yang memiliki transisi normal dari janin ke kehidupan

postnatal memiliki surfaktan dan sistem epitel yang matur. TTN terjadi pada bayi

baru lahir matur dengan jalur surfaktan matur dan kurang berkembangnya epitel

pernapasan transportasi Na+, sedangkan sindrom gawat nafas neonatus terjadi

pada bayi dengan kedua jalur surfaktan dini dan Na+ transportasi immatur. 10,12

Bayi lahir dengan kelahiran sesar berisiko memiliki cairan paru yang

berlebihan sebagai akibat tidak mengalami semua tahapan persalinan normal dan

kurangnya lonjakan katekolamin yang tepat, yang menyebabkan pelepasan yang

rendah dari pengaturan hormon pada saat persalinan. Hal ini membuat cairan

tertahan di alveoli yang akan menghambat terjadinya pertukaran gas. 10,12

2.5.3 Pneumonia Neonatal

Pada bayi baru lahir sering disebabkan oleh ketuban pecah dini. Pada saat

ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina berperan dalam infeksi

janin. Pada keadaan ini kuman dari vagina naik ke kavum uteri, melekat pada

desidua (menimbulkan desidualitis), lalu terjadi penyebaran infeksi keselaput

khorion dan amnion (menimbulkan khorioamnionitis) dan berkembang menjadi

khoriovaskulitis (infeksi pada pembuluh darah fetal) serta amnionitis. Bila cairan

amnion yang septik teraspirasi oleh janin maka akan menyebabkan pneumonia

kongenital, otitis, konjungtivis sampai bakteremia dan sepsis. Keadaan infeksi

pada bayi baru lahir akan meningkatkan kebutuhan metabolisme anaerob,

sehingga ada kemungkinan tidak dapat dipenuhi oleh aliran darah dari plasenta.

Hal ini menimbulkan aliran nutrisi dan O2 tidak cukup sehingg amenyebabkan

metabolisme janin menuju metabolisme anaerob dan terjadi penimbunan asam

laktat dan piruvat. Keadaan ini akan menimbulkan kegawatan janin (fetal distress)

10
intrauterin yang akan berlanjut menjadi asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir.

Cairan amnion berfungsi sebagai sawar proteksi terhadap infeksi asenden vagina,

memungkinkan pergerakan bebas janin, tempat mengapungnya tali pusat sehingga

tidak terjadi kompresitali pusat yang menyebabkan terhambatnya aliran darah

yang mengandung O2 dari ibu ke janin.12.13

Gambar 1. Hubungan ketuban pecah dan pneumonia

2.5.4 Aspirasi Mekonium

Pada aspirasi mekonium, terhisapnya cairan mekonium saat intrauterine

ataupun persalinan yang nantinya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas

11
sehingga terjadi gangguan napas pada bayi.12,13 Alur patofisiologi dapat di lihat

pada gambar berikut

Gambar 2. Patofisologi aspirasi mekonium

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala klinis yang timbul yaitu 7 :

1. Sesak napas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai

dengan takipnea (> 60 x/menit).

2. Retraksi : cekungan atau tarikan antara iga (intercostal) dan atau

dibawah sternum (substernal) selama inspirasi.

3. Napas cuping hidung : kembang kempis lubang hidung selama inspirasi.

12
4. Merintih atau grunting terdengar merintih atau menangis saat inspirasi.

5. Sianosis sentral : warna kebiruan pada bibir (berbeda dengan biru

lebam atau warna membran mukosa)

6. Apnea atau henti napas

7. Dalam jam pertama sesudah lahir, empat gejala distres respirasi (takipnea,

retraksi, napas cuping hidung dan grunting) kadang juga dijumpai pada

BBL normal tetapi tidak berlangsung lama. Gejala ini disebabkan karena

perubahan fisiologis akibat reabsorbsi cairan dalam paru bayi dan masa

transisi dari sirkulasi fetal ke sirkulasi neonatal.

8. Bila takipnea, retraksi, napas cuping hidung dang grunting menetap pada

beberapa jam setelah lahir, ini merupakan indikasi adanya gangguan napas

atau distress respirassi yang harus dilakukan indakan segera.

Derajat beratnya distress nafas dapat dinilai dengan menggunakan skor

Downes. Skor Downes merupakan sistem skoring yang lebih komprehensif dan

dapat digunakan pada semua usia kehamilan.

Tabel 1. Evaluasi Gawat Napas dengan skor Downes

Pemeriksaan Skor

0 1 2

Frekuensi napas < 60 /menit 60-80 /menit > 80/menit

Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat

Sianosis Tidak ada Sianosis hilang Sianosis menetap

sianosis dengan 02 walaupun diberi

O2

Air entry Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara

13
udara masuk masuk

Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar

dengan stetoskop tanpa alat bantu

Keterangan:

0-4: Distress nafas ringan; membutuhkan O2 nasal atau headbox

4-7: Distress nafas sedang; membutuhkan nasal CPAP

>7 : Distress nafas berat; ancaman gagal nafas; membutuhkan intubasi.

2.7 Diagnosis

2.7.1 Anamnesis

Anamnesis tentang riwayat keluarga, maternal, prental dan intrapartum

sangat diperlukan antara lain 7 :

 Prematuritas, sindrom gangguan napas, sindrom aspirasi mekonium,

infeksi : pneumonia, displasia pulmonal, trauma persalinan sungsang,

kongesti nasal, depresi susunan saraf pusat, perdarahan susunan saraf pusat,

paralisis nerfus frenikus, takikardia atau bradikardia pada janin, depresi

neonatal, tali pusat menumbung, bayi lebih bulan, demam atau suhu yang

tidak stabil (pada peumonia).

 Gangguan SSP : tangis melengking, hipertoni, flasiditas, atonia, trauma,

miastenia.

 Kelainan kongenital : arteri umbilikalis tunggal, anomali kongenital lain ;

anomali kardiopulmonal, abdomen cekung pada hernia difragmatika,

paralisis erb (paralisis nervus frenikus, atresia koana, kongesti nasal

14
obstruksi,meningkatnya diameter anterior posterior paru, hipoplasia

paru,trakeoesofageal fistula).

 Diabetes pada ibu, perdarahan antepartum pada persalinan kurang bulan,

partus lama, kulit ketuban pecah dini, oligohidramnion, penggunaan obat

yang berlebihan.

2.7.2 Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai gejala klinik gangguan

napas, berupa beberapa tanda dibawah ini 7 :

 Merintih atau grunting tetapi warna kulit masih kemerahan,merupakan

gejala yang menonjol

 Sianosis

 Retraksi

 Tanda obstruksi saluran napas mulai dari hidung : atresia koana, ditandai

dengan kesulitan memasukkan pipa nasogastrik melalui hidung.

 Air ketuban bercampur mekonium atau pewarnaan hijau-kekuningan pada

tali pusat

 Abdomen mengempis (scaphoid abdomen)

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

a. Penyakit membran hialin

- Gambaran foto thoraks : retikulogranular uniform dengan air

bronchogram.

15
- Laboratorium darah : Hb, Ht, dan gambaran darah tepi tidak

menunjukan tanda infeksi, kultur streptokokus (-), dan analisis gas

darah didapatkan hipoksemia dan asidemia.

b. Transient Tachypnea of Neonatus (TTN)

 Laboratorium :

- Analisis gas darah biasanya akan memperlihatkan hipoksia ringan-

sedang dengan asidosis respiratorik yang menghilang dalam 8-24 jam.

Hipokarbia biasanya didapatkan. Jika ada, hipokarbia biasanya ringan

(PCO2 >55 mm Hg). Extreme hypercarbia sangat jarang, namun jika

terjadi, merupakan indikasi untuk mencari penyebab lain.

- Differential count adalah normal pada TTN, tapi sebaiknya dilakukan

untuk menentukan apakah terdapat proses infeksi. Nilai hematokrit

akan menyingkirkan polisitemia.

 Foto toraks :

- Hiperekspansi paru, khas pada TTN.

- Garis prominen di perihiler.

- Pembesaran jantung ringan hingga sedang.

- Diafragma datar, dapat dilihat dari lateral.

- Gambaran opak di fisura interlobaris karena terapat cairan dan perlahan

akan terdapat di ruang pleura.

- Prominent pulmonary vascular markings.

c. Pneumonia neonatal

- Laboratorium : darah kultur (+)

- Foto toraks : tampak densitas homogen dan difus ataupun infiltrat luas

16
d. Aspirasi mekonium

- Darah : analisis gas darah diapatkan asidosis metabolik, asidosis

respiratorik, hipokesmia dan hiperkapnia

- Foto toraks : hiperinflasi, atelektasis, dll

2.8 Penatalaksanaan

2.8.1 Tindakan Umum

Tindakan umum terutama dilakukan pada penderita ringan atau sebagai

tindakan penunjang pada penderita berat. Tindakan umum yang perlu dikerjakan

ialah 12,13 :

a. Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu

diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5 C-37 C) dengan

meletakan bayi dalam inkubator.

b. Makan peroral sebaiknya tidak diberikan dan bayi diberi cairan

intravena yang disesuaikan dengan kebutuhan kalorinya. Adapun

pemberian cairan ini bertujuan untuk memberikan kalori yang cukup,

menjaga agar bayi tidak mengalami dehidrasi, mempertahankan

pengeluaran cairan melalui ginjal dan mempertahankan keseimbangan

asam basa tubuh. Dalam 48 jam pertama biasanya cairan yang

diberikan terdiri dari glukosa/dekstrose 10% dalam jumlah 100

ml/KgBB/hari.

17
2.8.2 Tindakan Khusus

a. Pemberian O2

Setiap penderita hampir selalu membutuhkan O2 tambahan. Pemberian O2

sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan tekanan O2 arterial (PaO2) secara teratur.

Konsentrasi O2 yang diberikan harus dijaga agar cukup untuk mempertahankan

PaO2 antara 80-100 mgHg. Bila fasilitas untuk pemeriksaan tekanan gas arterial

tidak ada,O2 dapat diberikan sampai gejala sianosis hilang. Untuk mencapai

tekanan, O2 ini kadang-kadang diperlukan konsentrasi O2 sampai 100 %.

Konsentrasi demikian biasanya hanya dapat dicapai apabila O2 diberikan dengan

sungkup dan tidak mungkin dicapai dengan cara pemberian O2 melalui kateter

hidung biasa. Pada penderita yang sangat berat kadang-kadang diperlukan

ventilasi mekanis dimana O2 diberikan dengan respirator. Tindakan ini dilakukan

apabila bayi yang telah mendapatkan O2 dengan konsentrasi 100% masih

memperlihatkan PaO2 kurang dari 40 mmHg, PCO2 > 70 mmHg, PH darah < 7,2

atau masih adanya serangan apneu berulang. Dasar ventilasi mekanis adalah

mengusahakan agar O2 yang diberikan dapat memperbaiki pertukaran gas tubuh.

Beberapa cara pemberian ventilasi mekanis ini adalah 12 :

 Pemberian O2 dengan secara tekanan positif yang konstan (Constant positive

airway pressure = CPAP). Cara ini dapat dicapai dengan memberikan tekanan

positif terhadap udara yang masuk atau mengadakan tekanan negatif yang

konstans terhadap dinding toraks. Pemberian secara ini akan mengurangi

terjadinya atelektasis alveolus disertai perbaikan PaO2 darah.

18
 Pemberian O2 dengan ventilasi tekanan positif yang intermiten (Intermittent

Positive Pressure Ventilation = IPPV). Dengan cara ini keseimbangan

pertukaran gas tubuh dapat diatur.

 Pemberian O2 dengan ventilasi aktif ini dapat dilakukan pula dengan

bermacam cara, misalnya pemberian O2 secara hiperbasik, intermittent

negative pressure ventilation, dan lain-lain.

b. Pemberian Antibiotika

Setiap penderita PMH perlu mendapat antibiotika untuk menegah

terjadinya infeksi sekunder yang dapat memperberat penyakit. Antibiotik

diberikan selama bayi mendapat cairan intravena sampai gejala gangguan nafas

tidak ditemukan lagi. Sebaiknya antibiotik yang dipilih adalah yang mempunyai

spektrum luas. Antibiotik yang biasa diberikan adalah penisilin (50.000 U-

100.000 U/KgBB/hr) atau ampicillin sulbactam (50 mg/KgBB/hr) dengan

gentamicin (3-5 mg/KgBB/hr). Bila pemeriksaan kultur tidak memungkinkan,

antibiotik dapat diberikan 5-7 hari.7

c. Pemberian Surfaktan Buatan

Surfaktan artifisial yang dibuat dari dipalmitoil fosfatidilkolin dan

fosfatidil gliserol dengan perbandingan 7 : 3 telah dapat mengobati penderita

dengan PMH . Bayi diberi surfaktan artifisial sebanyak 25 mg dosis tunggal

dengan menyemprotkan ke dalam trakea penderita.7

19
2.9. Prognosis

Prognosis tergantung pada latar belakang etiologi gangguan napas.

Prognosis baik bila gangguan napas akut dan tidak berhubungan dengan keadaan

hipoksemia lama.7

20
BAB 3

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : By. Ny. Tiara Amerinta

MR : 520767

Umur : 1 bulan 5 hari (13-05-2019)

Jenis Kelamin : Perempuan

Ayah/ Ibu : Tn. NH / Ny TA

Anak ke :2

Suku Bangsa : Indonesia

Alamat :

Tanggal Masuk : 18 Juni 2019

Keluarga

Ibu Ayah

Umur 27 th 31 th

Pendidikan S1 Keperawatan SMA

Pekerjaan IRT Dagang

Perkawinan ke 1 1

21
Anamnesis

Keluhan Utama

Bayi tampak biru dan tidak aktif sejak sekitar 3 jam sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang:

- Bayi teraba dingin sekitar sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit (tadi

malam). Namun langsung di kangguru oleh ibu pasien, sampai suhunya

37C.

- Pasien menyusu (susu formula) sekitar 6 jam sebelum masuk rumah sakit,

lalu terdengar seperti tersedak. Namun tidak disertai sesak nafas maupun

muntah. Kemudian pasien tidur

- Sekitar 4 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien diberi susu formula

perdot, dan setelah itu ibu mulai menyadari pasien tampak kebiruan di

telapak kaki dan bibir, dan mulai tidak aktif.

- Lalu pasien dibawa ke rumah sakit, mendapat rangsangan lalu pasien

muntah keluar cairan berwarna putih susu, sekitar 3 sdm.

- Pasien apnea dengan SaO2 66%, kemudian diberi bantuan nafas dengan

PEEP 5 mmH2O.

- Batuk disertai pilek sejak 3 hari yang lalu, sekret bening.

- Demam sekitar 3 hari yang lalu, tidak tinggi, tidak menggigil, tidak

disertai kejang.

- Sekitar 3 hari yang lalu, pasien control ke poli anak RSAM, dengan

demam dan batuk pilek.

- Pasien pernah dirawat di ruang NICU RSAM selama 2 minggu, sekitar 1

bulan yang lalu dengan diagnosis NKB-BBLR 1600gram PB 42 cm gravid

22
preterm 28-29 minggu, lahir SC a.i KPD lebih dari 12 jam + letak

sungsang.

Riwayat Kehamilan Sekarang : G3P3A1H2

HPHT :-

Taksiran Persalinan :-

Penyakit Selama Hamil : Tidak ada

Komplikasi Kehamilan : Tidak ada

Kebiasaan Ibu Waktu Hamil

Kualitas dan kuantitas makan cukup, tidak ada minum alkohol, merokok dan

narkoba.

Riwayat Persalinan

Ditolong oleh dokter di RSAM, Sectio Caesaria a.i KPD lebih dari 12 jam + letak

sungsang, kondisi ketuban jernih, jumlah lebih kurang 300 ml. Saat lahir anak

merintih, berat badan 1600 gram, panjang badan 42 cm.

Apgar Score : tidak diketahui, partus luar.

Kondisi Bayi Saat Lahir:

Lahir tanggal : 13 Mei 2019

Jenis kelamin : Perempuan

Kondisi saat lahir : Hidup

Pemeriksaan Fisik:

23
A. Sebelum Resusitasi:

Keadaan Umum : tidak aktif

Kesadaran : apatis

Frekuensi jantung : 145 kali per menit

Frekuensi nafas : tidak tampak usaha nafas

Suhu : 34,90 C

Saturasi : 66%

Kulit : teraba dingin, pucat, sianosis (telapat tangan dan

kaki, bibir), tidak ikterik

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,

mata tidak cekung.

Hidung : nafas cuping hidung tidak ada, tidak tampak

usaha nafas

Mulut : sianosis sirkum oral ada

Ekstremitas : akral dingin, sianosis, CRT sulit dinilai

B. Setelah Resusitasi:

Kesan Umum

Keadaan : kurang aktif

Berat badan : 2240 gram

Panjang badan : 47 cm

Frekuensi jantung : 140 kali per menit

Frekuensi nafas : 51 kali per menit

Saturasi : 96%

24
Sianosis : tidak ada

Ikterus : tidak ada

Suhu : 360 C

Kulit : teraba hangat, tidak pucat, tidak sianosis, tidak ikterik

Kepala : bulat, simetris, normocephal LK= 32 cm, ubun-ubun besar 1,5x1,5

cm, ubun-ubun kecil 0,5 x 0,5 cm, jejas persalinan tidak ada

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, mata tidak cekung.

Telinga : tidak ada kelainan

Hidung : nafas cuping hidung tidak ada

Mulut : sianosis sirkum oral tidak ada, tonsil dan faring sulit dinilai

Leher : tidak ada kelainan

Thoraks : normochest, rongga dada simetris, retraksi minimal

Paru

Inspeksi : normochest, pengembangan paru simetris

Palpasi : tidak dilakukan

Perkusi : tidak dilakukan

Auskustasi : SN bronkovesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada

Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba

Perkusi : tidak dilakukan

Auskultasi : S1S2 reguler, bising tidak ada, gallop tidak ada.

25
Abdomen

Inspeksi : distensi tidak ada

Palpasi : supel, hepar teraba 1/4 -1/4 permukaan licin dan rata, pinggir tajam,

lien tidak teraba.

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus positif normal

Umbilikal : tidak hiperemis

Punggung : tidak ada kelainan

Alat kelamin: ruam popok (+)

Anus : anus ada

Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik

Diagnosis Kerja

Respiratory Distress ec susp Aspirasi Penumonia

Diagnosis Banding

Bronkopneumonia

Tatalaksana Gawat Darurat

- Evaluasi dan evakuasi jalan nafas

- Diberikan rangsangan taktil

- Resusitasi dengan VTP 5 mmH2O

Tatalaksana

- Pasang CPAP FiO2 25% PEEP 5


26
- IVFD Aminofuschin 40 cc/24 jam

- Injeksi Ampicilin 2 x 110 (i.v)

- Injeksi Gentamicin 1 x 11 mg (i.v)

Rencana

Cek Darah Lengkap

Cek IT Ratio (Immature Granulocyte Ratio)

Cek elektrolit (Natrium, Kalium, Calcium)

Rontgen thorax

Hasil Pemeriksaan

GDR : 87 mg/dL

Hb : 10,5 gr/dL

Leukosit : 11.230 /mm3

Diff. Count : 0,7/0,3/39,8/42,6/16,6

Trombosit :269.000/mm3

Ht : 31,5%

Natrium : 136,6 mmol/l

Kalium :5,62 mmol/l

Klorida : 110,4 mmol/l


27
Kalsium : 9,4 mg/dL

Follow-up

Hari/Tanggal Follow-Up
18/6/19 S/
 Sianosis tidak ada
Rawatan ke-1  Akral hangat
 Pasien menangis kuat
O/
KU Kesadaran Nadi Nafas Suhu SaO2
S.Sdg CM 140x/menit 51x/menit 360 C 96%
Thoraks: pengembangan dinding dada simetris, retraksi
intercostal tidak ada.
Abdomen: datar, retraksi epigastrium minimal
Ext: akral hangat, CRT< 2 detik
GDR: 87 mg/dL
A/ Distres nafas ec pneumonia aspirasi
DD/ Bronkopneumonia
P/
 Pasien dirawat di incubator
 Rencana pasang CPAP FiO2 25% PEEP 5mmHg -> jika
masih belum bisa dilepas, rencana transfusi PRC 25 ml
 IVFD Aminofuschin 40 cc/24 jam
 Injeksi Ampicilin 2 x 110 (i.v)
 Injeksi Gentamicin 1 x 11 mg (i.v)
 Pantau tanda-tanda vital (terutama suhu, saturasi oksigen)

19/6/19 S/
 Bayi dirawat dalam incubator
Rawatan ke-2  Sesak tidak ada
 Sianosis tidak ada
 Akral hangat
 Muntah tidak ada
 Demam tidak ada

28
 Post transfusi PRC 25ml
O/
KU Kesadaran Nadi Nafas Suhu SaO2
S.Sdg CM 137x/menit 47x/menit 370 C 90%
Thoraks: pengembangan dinding dada simetris, retraksi
intercostal tidak ada.
Abdomen: datar, retraksi epigastrium minimal
Ext: akral hangat, CRT< 2 detik

A/ Distres nafas ec pneumonia aspirasi


DD/ Bronkopneumonia
P/
 CPAP FiO2 25% PEEP 5mmHg
 IVFD Cocktail tanpa KCl 5ml/jam
 IVFD Aminofuschin 40 cc/24 jam (1,6 ml/jam)
 Injeksi Ampicilin 2 x 110 (i.v)
 Injeksi Gentamicin 1 x 11 mg (i.v)
 Intake: ASI 8x9ml/OGT
 Pantau tanda-tanda vital (terutama suhu, saturasi oksigen)

29
BAB 4

PEMBAHASAN

Telah dirawat seorang pasien perempuan berumur 1 bulan 5 hari di


Perinatologi Anak RS. Ahmad Muchtar Bukittinggi sejak tanggal 18 Juni 2019
dengan diagnosa Respiratory Distress et causa suspect aspirasi pneumonia.

Dari anamnesis didapatkan bahwa bayi tampak biru dan tidak aktif sejak
sekitar 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan riwayat penyakit sekarang,
pasien pernah dirawat di ruang NICU RSAM selama 2 minggu, sekitar 1 bulan
yang lalu dengan diagnosis NKB-BBLR 1600gram PB 46 cm gravid preterm 28-
29 minggu, lahir SC a.i KPD lebih dari 12 jam + letak sungsang. Bayi teraba
dingin sekitar sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien menyusu (susu
formula) sekitar 6 jam sebelum masuk rumah sakit, lalu terdengar seperti
tersedak. Namun tidak disertai sesak nafas maupun muntah. Kemudian sekitar 4
jam sebelum masuk rumah sakit, pasien diberi susu formula perdot, dan setelah
itu ibu mulai menyadari pasien tampak kebiruan di telapak kaki dan bibir, dan
mulai tidak aktif. Pada pasien, dicurigai terjadi aspirasi yang menyebabkan
terjadinya distres nafas.

Aspirasi pneumonia sesuai dengan pengertiannya adalah infeksi paru-paru yang


disebabkan oleh terhirupnya bahan- bahan ke dalam saluran pernafasan, biasanya
partikel kecil dari mulut sering masuk ke dalam saluran pernafasan, tetapi
biasanya sebelum masuk ke dalam paru-paru akan dikeluarkan oleh mekanisme
pertahanan normal atau menyebabkan peradangan maupun infeksi. Jika partikel
tersebut tidak dapat dikeluarkan, bisa menyebabkan pneumonia. Aspirasi benda
asing merupakan kegawatdaruratan paru dan pada beberapa kasus merupakan
faktor predisposisi pneumonia bakterial. Dalam keadaan sehat tidak terjadi
pertumbuhan mikroorganisme di paru, keadaan ini disebabkan mekanisme
pertahanan paru.

Saat pasien dibawa ke rumah sakit, pasien tambak sianosis dan tidak terlihat
adanya usaha nafas. Pasien diberikan rangsangan taktil, lalu pasien muntah dan
keluar cairan berwarna putih susu, sekitar 3 sdm.

- Pasien apnea dengan SaO2 66%, kemudian diberi bantuan nafas dengan
PEEP 5 mmH2O.
- Batuk disertai pilek sejak 3 hari yang lalu, sekret bening.
- Demam sekitar 3 hari yang lalu, tidak tinggi, tidak menggigil, tidak
disertai kejang.

30
- Sekitar 3 hari yang lalu, pasien control ke poli anak RSAM, dengan
demam dan batuk pilek.

Dari pemeriksaan fisik saat pasien datang, didapatkan keadaan umum

tidak aktif, apatis, frekuensi jantung 145 kali per menit, tidak tampak usaha

nafas, suhu 34,90 C, saturasi 66%. Dimana pada distress nafas ec suspect

pneumonia aspirasi, dapat ditemukan klinis pasien yang sesak

Kulit : teraba dingin, pucat, sianosis (telapat tangan dan

kaki, bibir), tidak ikterik

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,

mata tidak cekung.

Hidung : nafas cuping hidung tidak ada, tidak tampak

usaha nafas

Mulut : sianosis sirkum oral ada

Ekstremitas : akral dingin, sianosis, CRT sulit dinilai

Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik diatas maka dapat ditegakan


diagnosa respiratory distress ec aspirasi pneumonia Pada pasien untuk
menegakan diagnosa pasti dianjurkan untuk pemeriksaan darah rutin dan analisis
gas darah, dapat ditemukan asidosis metabolik, asidosis respiratorik, hipoksemia
dan hiperkapnia, rontgen foto thorak dan abdomen .

Pada pasien diberikan tatalaksana CPAP PEEP 5 FiO2 21 % untuk

mengatasi respiratory distress karena pada pasein ditemukan retrasi dinding dada.

Neonatus diberikan cairan intravena yang disesuaikan dengan kebutuhan

kalorinya. Tujuan pemberian cairan ini untuk memenuhi kebutuhan kalori,

31
menjaga bayi agar tidak mengalami dehidrasi, mempertahahankan pengeluaran

cairan ginjal serta menjaga kesembangan asam basa tubuh. Menurut teori, dalam

48 jam pertama diberikan cairan dekstrose 10% dalam jumlah 100 ml/kgBB/hari.

Pada pasien ini diberikan IVFD Dextrose 10% dalam jumlah 80 ml/kgBB/hari dan

juga diberikan IVFD NaCl 3% ml/ kgBB/ hari, Ca glukonas dan KCl. Pasien

diberikan antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder yang dapat

memperberat penyakit. Antibiotik diberikan selama bayi mendapat cairan

intravena sampai gejala gangguan nafas tidak ditemukan lagi. Antibiotik yang

diberikan adalah antibiotik yang mempunyai spektrum luas. Pada pasien ini

diberikan terapi medikmentosa berupa ampicilin 2 x 160 mg diberikan secara IV,

cefotaxim 2 x 160 mg IV, injeksi sibitol 2 x 7,5 mg untuk mengatasi kejang pada

pasien .

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Khosim, MS. Infeksi Neonatal Akibat Air Ketuban Keruh. Sari


pediatri.2009;11(3):212-217
2. Homeier BP, Spear ML. Meconium aspiration. Di dapat dari :
http://kidshealths.org/parent/medical/lungs/meconium/html
3. Thakre R. Meconium stained amnioticfluid delivery. To intubate or not. Di
dapat dari : http://www.neolinic.net/artcl/msaf/htm
4. Behrman, Kliegman, Jenson. Nelson’s Textbook of Pediatrics 17th ed.
Saunders. Philadelphia, Pennsylvania; 2004.
5. Khosim, M.S, Buku Ajar Neonatologi edisi 1 Ikatan Dokter Anak Indonesia.
IDAI. Jakarta. 2008.
6. Pujdiadi A.H., et all Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Edisi Kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2011
7. Garna, Herry. Et all., Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Bandung . 2005.
8. Pritasari, kirana. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial.
Pedoman Teknis Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: kemenkes RI. 2010
9. Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI, Jakarta, 1991, hal. 303-306.
10. Herry Garna, Pedoman Diagnosis dan Terapi, Ilmu Kesehatan Anak edisi 3.
Fakultas Kedokteran UNPAD, RS. Dr. Hasan Sadikin. Bandung: 2005
11. Waldo E Nelson, MD et al. 2000. Ilmu Kesehatan Anak edisi 15. Jakarta:
EGC.
12. Abdul L et al. 2003. Diagnosis Fisis Pada Anak. Edisi ke-2. Jakarta : CV
Sagung Seto.
13. Tricia Lacy Gomella, MD et al. 2004. Neonatology: Management,
Procedures, On-call Problems, Disease, and Drugs. 5th Edition. USA: Lange
Medical Books/McGraw-Hill

33

You might also like