You are on page 1of 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (M.tb). Tuberkulosis merupakan
penyebab kematian kedua tersering setelah acquired immuno defficiency
syndrome (AIDS). Penyakit ini menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia
dan menyebabkan kematian yang tinggi. Berdasarkan laporan World Health
Organization (WHO) tahun 2011 mengenai perkiraan kasus TB secara global
disebutkan bahwa pada tahun 2010 terdapat insiden TB sebanyak 8,5–9,2
juta kasus per tahun, sedangkan pada tahun 2009 terdapat 1,7 juta kematian
akibat TB. Sebagian besar dari kematian ini terjadi di negara berkembang. Di
Indonesia penyakit TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit
menular dan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan
penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia (WHO, 2011; Mood,
2014).
Pengendalian TB saat ini diperkirakan mulai mengalami kendala seiring
dengan peningkatan jumlah pasien diabetes melitus (DM) di dunia. Prevalensi
DM meningkat beberapa dekade terakhir seiring peningkatan angka obesitas
dan gangguan metabolik. Sejak permulaan abad ke 20, para klinisi telah
mengamati adanya hubungan antara DM dengan TB, meskipun masih sulit
untuk ditentukan apakah DM yang mendahului TB atau TB yang
menimbulkan manifestasi klinis DM. Hubungan antara TB dan DM telah
lama diketahui karena pada kondisi DM terdapat penekanan pada respon
imun penderita yang selanjutnya akan mempermudah terjadinya infeksi oleh
mikobakteri M.tb dan kemudian berkembang menjadi penyakit TB.
Peningkatan prevalensi dan penurunan imunitas seluler DM berpengaruh
terhadap respon terapi TB. Sebaliknya TB dapat menginduksi intoleransi
glukosa dan perburukan kontrol glikemik pada penderita DM. Berdasarkan
beberapa penelitian, DM dikenali sebagai salah satu faktor risiko utama untuk

1
TB. Sebuah penelitian menunjukan bahwa prevalensi DM meningkatkan
risiko TB hampir 2,5 kali lipat. Sebuah meta-analisis tahun 2008 menunjukan
bahwa pasien DM 3,11 kali lipat lebih mudah terkena TB dibandingkan
dengan populasi lainnya. Sehingga skrining TB pada pasien DM dan skrining
DM pada pasien TB perlu dilakukan (Sulaiman et al., 2011; Harries et al.,
2013; Mood, 2014)
B. Perumusan Masalah
Melihat cukup tingginya angka kejadian TB pada pasien DM di beberapa
penelitian maka perlu diteliti angka kejadian TB pada pasien DM di Rumah
Sakit Dr.Moewardi (RSDM) Surakarta.
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui angka kejadian TB paru pada pasien DM di RSDM
Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Angka kejadian TB pada pasien DM yang diperoleh dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan bagi tenaga medis untuk membuat pedoman
penatalaksanaan yang efektif terhadap pasien DM dan TB di RSDM
Surakarta, khususnya pada pasien DM dengan klinis mengarah TB. Dari
penelitian ini diharapkan penderita DM dapat mengontrol kadar gula darah
agar komplikasi TB dapat dicegah dan diharapkan klinisi lebih awal
mengenali gejala klinis serta memberikan terapi yang sesuai pada penderita
TB disertai DM.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
M.tb. Sebagian besar M.tb menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ
tubuh lainnya. Infeksi TB menular melalui percikan dahak (droplet nuclei)
yang dikeluarkan dengan cara batuk, bersin atau percikan ludah dari seorang
terinfeksi TB dengan basil tahan asam (BTA) positif atau TB aktif. Droplet
ini dapat bertahan di udara dalam waktu beberapa jam. Diameter droplet yang
sangat kecil (<5-10 µm) menyebabkan droplet tersebut dapat mencapai jalan
napas terminal jika terhirup dan membentuk sarang pneumonia, yang dikenal
sebagai sarang primer atau afek primer. Faktor yang mempengaruhi
seseorang terinfeksi TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya
pada pasien human immunodefficiency virus (HIV), DM dan malnutrisi.
Hubungan antara TB dan DM telah lama diketahui karena pada kondisi DM
terjadi penekanan pada respon imun penderita yang akan mempermudah
terjadinya infeksi oleh M.tb (PDPI, 2006; Djojodibroto, 2012; Kemkes RI,
2011).
A.1. Epidemilogi
Sepertiga penduduk dunia diperkirakan terinfeksi oleh M.tb.
Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia
terjadi pada negara-negara berkembang. Pada tahun 2013, diperkirakan
ada 9 juta pasien TB baru dan 56% berada di Asia Tenggara dan regional
pasifik barat. Tiga juta kematian akibat TB pada tahun 1995 diseluruh
dunia terjadi pada negara-negara berkembang. Sekitar 60% kasus TB dan
kematian akibat TB terjadi pada pria. Sekitar 75% pasien TB adalah
kelompok usia produktif yaitu 15-64 tahun (Cahyadi, 2011; Kemkes RI,
2011; WHO, 2014).
Insiden TB pada tahun 2010-2011 adalah 2,2%. Insiden TB pada
tahun 2011 mencapai 8,7 juta dan 990 ribu kematian akibat TB.

3
Indonesia pada tahun 2011 terdapat 0,38-0,54 juta kasus TB dan
menempati urutan kelima di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan
Nigeria (Kemkes RI, 2013).
Diabetes melitus berhubungan dengan peningkatan risiko kegagalan
dan kematian saat terapi TB. Kondisi sosial dan ekonomi berpengaruh
pada terapi DM yang disertai TB atau sebaliknya. Prevalensi TB
meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi DM. Frekuensi DM
pada pasien TB dilaporkan sekitar 10-15% dan prevalensi TB 2-5 kali
lebih tinggi pada pasien DM dibandingkan dengan yang non-DM. Studi
Dobler di Australia (2012) dan Leung di Hong Kong (2008) menemukan
penderita DM dengan kadar HbA1c >7% lebih banyak menderita TB
paru. Simpulan penelitian tersebut bahwa kondisi hiperglikemia berisiko
tinggi menderita TB paru. Studi Restrepo di Mexico dan Texas (2007)
serta Dobler di Australia (2012), menunjukkan angka kejadian TB paru
disertai DM lebih banyak ditemukan pada penderita dengan usia lebih
dari 40 tahun. Jenis kelamin tidak berkaitan dengan insiden TB paru-DM.
Alisjahbana menyatakan bahwa lebih dari 10% penderita TB paru di
dunia adalah penduduk Indonesia. Penelitiannya di Indonesia pada tahun
2001-2005, melaporkan 40% penderita TB paru memiliki riwayat DM.
Pada penderita DM, ditemukan 60 kasus TB paru diantara 454 penderita
(13.21%). Risiko penderita DM untuk mengalami TB paru sebesar 4,7
kali lipat. Berdasarkan penelitian Fatihe Kermansaravi di Pusat Diabetes
Ali Asghar Zahedan Iran dari 400 pasien dengan DM, 24 (6%) pasien
suspek TB dan 4 (1%) kasus TB paru apusan positif. Insiden TB pada
pasien DM menurut statistik global 140/100.000 orang (0.14 %)
(Alisjahbana et al., 2007; Young, 2009; Santos et al., 2013).

4
Gambar : 1. Proyeksi prevalensi DM dan insiden TB dunia. Perkiraan angka
dan persentase penderita DM 2010 dibandingkan dengan tahun 2030, serta
insiden TB per 100 ribu penduduk tahun 2007 (Dooley, 2010).

A.2. Patogenesis tuberkulosis paru


Bakteri yang terhirup

Bakteri mencapai paru, masuk ke makrofag

Bakteri berkembang dalam makrofag

Mulai terbentuk lesi (caseous necrosis)

Bakteri berhenti tumbuh Lesi mencair Bakteri keluar


Lesi mengeras lewat sputum
Imunitas menurun

Reaktivasi Menyebar ke darah & organ lain

Kematian
Gambar 2. Proses patogenesis tuberkulosis paru (Handayani, 2002).

Tuberkulosis primer terjadi pada individu yang terpapar M.tb pertama


kali, sedangkan TB paru kronik adalah hasil reaktivasi infeksi TB pada
suatu fokus dorman yang terjadi beberapa tahun sebelumnya atau infeksi
TB paska primer. Mycobacterium tuberculosis yang terhirup dan masuk ke

5
paru akan ditangkap oleh makrofag alveolar dan membentuk afek primer,
selanjutnya makrofag akan melakukan tiga fungsi penting yaitu
(Handayani, 2002; Joosten, 2013; Paus et al., 2013; Yuan et al., 2013) :
1.Menghasilkan enzim proteolitik yang mempunyai efek mikobakterisidal.
2. Menghasilkan sitokin sebagai respon terhadap M.tb berupa interleukin
(IL)-1, IL-6, tumor necrosis factor alfa (TNFα), transforming growth
factor beta (TGF ß).
3. Memproses dan mempresentasikan antigen mikobakteri pada limfosit T.
Sitokin yang dihasilkan makrofag mempunyai potensi menekan efek
imunoregulator dan menyebabkan manifestasi klinis terhadap TB. Sitokin
IL-1 merupakan pirogen endogen penyebab demam sebagai karakteristik
TB. Sitokin IL-6 meningkatkan produksi imunoglobulin (Ig) oleh sel B
yang teraktivasi, menyebabkan hiperglobulinemia yang banyak dijumpai
pada penderita TB. Interferon gamma (IFN γ) meningkatkan produksi
metabolit nitrit oksida (NO), membunuh bakteri serta membentuk
granuloma untuk mengatasi infeksi mikobakteri. Tumor necrosis factor
alfa menyebabkan efek patogenesis seperti demam, penurunan berat badan
dan nekrosis jaringan yang merupakan ciri khas TB. Dari sarang primer
terjadi peradangan saluran getah bening (limfangitis lokal) yang diikuti
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek
primer bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional
membentuk lesi kompleks primer. Selanjutnya M.tb dapat berhenti
tumbuh, lesi mengeras (fibrotik atau kalsifikasi), lesi mencair lalu
menyebar secara perkontinuitatum, bronkogen, limfogen, maupun
hematogen ke organ lain yang akhirnya dapat menyebabkan kematian atau
M.tb keluar lewat sputum. Kejadian tersebut merupakan perjalanan TB
primer. Apabila imunitas menurun, M.tb dapat reaktivasi kembali dan
berkembang dalam makrofag (Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2006).
Tuberkulosis paska primer terjadi bertahun-tahun setelah TB primer.
Bentuk TB ini menjadi masalah kesehatan karena dapat menjadi sumber
penularan. Tuberkulosis paska primer diawali dengan pembentukkan

6
sarang dini (sarang pneumonia), umumnya di segmen apikal lobus superior
atau inferior. Sarang pneumonia tersebut dapat diresorbsi dan sembuh
tanpa cacat, meluas dan menyembuh dengan fibrotik dan perkapuran, atau
meluas dan mengalami nekrosis kaseosa membentuk kavitas. Kavitas
tersebut dapat meluas dan membentuk sarang pneumonia baru,
membentuk tuberkuloma, atau sembuh (PDPI, 2006).

Gambar 3. Respon imun terhadap mikobakteria


Keterangan: CD8+: cluster of differentiation 8; Th1 CD4+: T helper 1 cluster of
differrentiation 4; IL2: interleukin 2; INF γ: interferon gamma; IL12:
interleukin 12 (Joosten, 2013).

Bukti penelitian menunjukkan bahwa pertahanan anti mikobakteri


adalah makrofag dan limfosit T. Sel fagosit mononuklear atau makrofag
berperan sebagai efektor utama sedangkan limfosit T sebagai pendukung
proteksi atau kekebalan. Koordinasi antara fagosit mononuklear dan
limfosit T diperlukan untuk perlindungan optimal. Aktivitas anti
mikobakterial dikontrol oleh limfosit T melalui mediator terlarut yang
dikenal sebagai sitokin. Netrofil dan natural killer cell (sel NK) dapat
menunjukkan efek mikobakteriostatik secara in vitro, sedangkan sel
eosinofil dapat memakan M.tb ( Handayani, 2002; Joosten, 2013).
Tumor necrosis factor alfa berperan meningkatkan kerentanan sel T
melakukan apoptosis pada penderita TB baik secara spontan maupun
oleh stimulasi M.tb secara in vitro. Sitokin IL-10 menghambat produksi
sitokin oleh monosit dan limfosit. Tumor growth factor β (TGF β)
menekan proliferasi sel T dan menghambat fungsi efektor makrofag.
Karbohidrat dan komponen glikolipid pada dinding sel M.tb memiliki
fungsi yang sama dengan protein yang disekresikan yaitu meningkatkan

7
efek imunosupresi makrofag penderita TB (Handayani, 2002; Wulandari,
2013).
Populasi sel T seperti cluster of differentiation (CD) 4 α/ß (CD4 α/ß),
CD8 α/ß dan sel γ/∂ berperan dalam proteksi. Limfosit T terdiri atas dua
jenis sel T killer dan sel T helper. Sel T killer mengaktifkan ko-reseptor
CD bersirkulasi di seluruh tubuh untuk membunuh bakteri dengan
melepaskan sitotoksin. Sel T helper mengaktifkan ko-reseptor CD4
kemudian memicu aktivasi sitokin IL2, IL12, IFNγ dan sel NK untuk
membunuh M.tb (Handayani, 2002; Joosten, 2013; Franke et al., 2013).
B. Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan suatu penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia kronis yang terjadi karena kelainan defek sekresi insulin, kerja
insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik berkorelasi dengan
kerusakan organ-organ penting (Persatuan endokrin indonesia, 2011; American
Diabetes Association, 2015).
Diabetes melitus terdiri dari:
1. Diabetes melitus tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 berjumlah <10% dari total kasus, mengenai
anak atau usia muda, dan terjadi karena kerusakan sel ß pankreas. Penderita
DM tipe 1 memerlukan insulin eksogen secara terus menerus.
2. Diabetes melitus tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 berjumlah >90% dari total kasus mengenai usia
dewasa, ditandai resistensi insulin, defisiensi insulin relatif dan obesitas.
3. Diabetes mellitus gestasional : pada wanita hamil yang tidak memiliki
riwayat DM sebelumnya.

8
Tabel 1. Kriteria diagnosis DM menurut ADA 2010
1. Haemoglobin A1c (HbA1c) ≥ 6.5%. Tes harus dilakukan di laboratorium
menggunakan metode tersertifikasi NGSP
ATAU
2. GDP ≥ 126 mg/dl (7.0 mmol/l). Puasa didefinisikan sebagai ketiadaan intake
kalori sekurangnya 8 jam
ATAU
3. Gula darah plasma ≥ 200 mg/dl (11.1mmol/l) saat Tes toleransi Glukosa Oral
(TTGO). Tes harus dilakukan sesuai standar WHO, menggunakan beban
glukosa ekuivalen 75 g yang dilarutkan dalam air
ATAU
4. Penderita dengan gejala hiperglikemia klasik atau krisis hiperglikemia, kadar
gula darah acak ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/l)
Keterangan: GDP: gula darah puasa; TTGO: tes toleransi glukosa oral; NGSP:
national glycohaemoglobin standardization program (ADA, 2010).

B.1. Epidemiologi DM
Peningkatan industrialisasi dan urbanisasi memicu peningkatan angka
obesitas dan DM. Pengendalian TB saat ini diperkirakan mulai mengalami
kendala seiring dengan peningkatan jumlah pasien DM di dunia, yaitu
terdapat sekitar 285 juta pasien DM dan akan bertambah menjadi 438 juta di
tahun 2030 dengan 75% penderita berada di negara berpenghasilan rendah.
Prevalensi DM tertinggi yaitu di regio utara dengan persentase 27,9%,
diikuti oleh regio timur dengan persentase 24,7%, regio sentral yaitu sebesar
23,7%, dan regio selatan dengan prevalensi terendah yaitu 18,2% (Dooley,
2010; Santos et al., 2013).
B.2. Patogenesis DM
Diabetes melitus tipe 1 disebabkan oleh penyakit autoimun atau idiopatik
yang melibatkan destruksi sel ß pankreas yang memproduksi insulin pada sel
Langerhans. Faktor yang berperan terjadinya DM tipe I antara lain kelainan
genetik, pengaruh lingkungan dan infeksi. Kelainan genetik DM tipe 1 berdasar
pada interaksi respon imun bawaan dan dapat memicu T-cell mediated
immunity (CMI) untuk merusak sel ß pankreas. Mutasi alel gen kromosom 12
dan 7p berhubungan dengan DM tipe 1. Diabetes melitus tipe 2 lebih banyak
disebabkan resistensi insulin akibat obesitas dan kurang aktivitas fisik.

9
Resistensi insulin memicu sindroma metabolik dan meyebabkan kerusakan
jaringan atau organ (ADA, 2010; Faurholt-Jepsen et al., 2013).
C. Hubungan TB dengan DM
C.1. Patogenesis TB dengan DM
Diabetes melitus tidak terkontrol menyebabkan komplikasi multipel
yaitu gangguan pembuluh darah (angiopati), saraf (neuropati) dan
kerentanan terhadap infeksi. Diabetes melitus meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi TB melalui berbagai mekanisme. Mekanisme langsung
kerentanan penderita DM terhadap infeksi TB berkaitan dengan
hiperglikemia dan insulinopenia, yang memicu mekanisme penurunan
fungsi makrofag dan limfosit sehingga menurunkan kemampuan melawan
organisme patogen. Infeksi paru pada penderita DM akibat kegagalan
sistem pertahanan tubuh (Schuetz, 2011; Gomez, 2012; Wulandari, 2013;
Eloriaga, 2014).
Sel paling penting untuk melawan M.tb adalah fagosit makrofag
alveolar dan monosit. Diabetes melitus menurunkan kemampuan
kemotaksis, fagositosis, aktivasi dan presentasi antigen M.tb. Diabetes
melitus berhubungan dengan penurunan imunitas seluler. Jumlah limfosit
T, netrofil, sitokin T-helper (Th)-1, TNF-α, IL-1 dan IL-6 pada penderita
DM menurun dibandingkan orang sehat. Sel Th-1 diperlukan untuk
mengontrol dan menghambat M.tb. Penurunan limfosit T berhubungan
dengan kerentanan penderita DM terhadap infeksi TB. Fungsi makrofag
penderita DM menurun ditandai dengan produksi reactive oxygen species
(ROS) dan kemampuan kemotaktik dan fagositik yang rendah. Sitokin
yang dihasilkan sistem imun bawaan dan didapat berperan dalam
pertahanan tubuh terhadap M.tb dengan menginduksi imunitas seluler tipe
1, yang merupakan respon utama tubuh melawan M.tb (Niazi, 2012; Chen
et al., 2013; Franke et al., 2013; Li, 2013).

10
Gambar 4. Patogenesis TB dengan DM
Keterangan: 1: reseptor komplemen; 2: reseptor manosa; 3: reseptor scavenger; 4:
fagosom; 5: toll like receptor (TLR); IL-8: interleukin 8; IL-12: interleukin 12; IL-4:
interleukin 4; IFN γ: interferron gamma; IL-10: interleukin 10; PMNs: sel
polimorfonuklear; T cell: sel T; CD8: cluster of differentiation 8; CD4: cluster of
differentiation 4; Th1: T helper 1; NK cell: natural killer cell; LTBI: latent
tuberculosis infection (Eloriaga, 2014).

Defisiensi insulin menyebabkan penurunan ikatan reseptor makrofag


dengan antigen pada antigen presenting cells (APC) sehingga produksi IL 2
dan proliferasi sel T menurun disertai kemampuan adherence dan fagositosis
rendah. Hiperglikemia pada DM mempengaruhi produksi IFN γ oleh sel T,
menghambat pertumbuhan, proliferasi serta fungsi sel T. Interferon γ
berfungsi untuk potensiasi intraseluler killing bergantung pada NO makrofag.
Proliferasi limfosit penderita DM tak terkontrol juga menurun. Angka infeksi
TB laten pada penderita DM tinggi dibuktikan dengan tes tuberkulin positif.
Penelitian di Hongkong tahun 2010 menyebutkan kadar HbA1c >7%
penderita DM memiliki risiko TB aktif tiga kali lebih tinggi dibanding
dengan kadar HbA1c <7% (Chen et al., 2013).
Diabetes melitus menurunkan imunitas penderita TB ditunjukkan dengan
pemanjangan waktu konversi sputum sehingga memungkinkan terjadinya
relaps. Angka kegagalan pengobatan dan kematian lebih tinggi pada penderita
TB dengan DM dibandingkan resistensi obat dan kurangnya kepatuhan.
Angka resistensi obat penderita TB dengan DM adalah rendah dengan
kepatuhan berobat yang tinggi. Infeksi TB pada penderita DM akan

11
memperburuk kontrol gula darah. Kontrol gula darah yang buruk akan
memperberat infeksi TB. Infeksi TB memicu kejadian DM pada penderita
yang sebelumnya tidak memiliki riwayat DM dengan nilai intoleransi glukosa
tinggi pada penderita TB (Alisjahbana et al., 2007; Jeon, 2008; Dooley, 2010;
Faurholt-Jepsen et al., 2013 Harries et al., 2013).
D. Kerangka Teori

DM Hiperglikemia

Aldose Reduktase ↑ ROS ↑ Stress Oksidatif ↑


NO ↓

NADPH makrofag ↓ Apoptosis ↑

PMN ↓ Limfosit ↓
MN ↓

Th1 ↓
Fagositosis ↓ IFN γ ↓
Th2 ↓

Infeksi TB Pankreatitis

Gambar 5. Kerangka teori


Catatan : -------- = yang tidak diperiksa
= yang diperiksa
E. Tatalaksana TB paru dengan DM
Tatalaksana TB paru berdasarkan pedoman directly observed treatment
short course (DOTS) dengan obat anti tuberkulosis (OAT). Kontrol
hiperglikemia pada DM menggunakan obat oral maupun injeksi insulin.
Tatalaksana TB paru dengan DM mempertimbangkan karakteristik serta
interaksi penyakit. International standards for tuberculosis care (ISTC)
standar 17 mewajibkan seluruh penyelenggara kesehatan melakukan penilaian

12
menyeluruh terhadap komorbid yang mempengaruhi respon atau hasil
pengobatan TB. Diabetes melitus sebagai komorbid TB perlu dikelola cermat
untuk menghindari gagal terapi TB (Kemkes RI, 2013).
E.1. Tatalaksana farmakologis TB paru
Tatalaksana farmakologis merupakan terapi utama untuk TB. Obat
anti TB dikelompokkan lima golongan yang ditunjukkan pada tabel dua.
Tabel 2. Pengelompokan golongan OAT (Kemkes RI, 2013).
GOLONGAN JENIS OBAT
Golongan 1 Obat lini pertama Isoniazid (H); Rifampisin (R);
Etambutol (E); Pyrazinamid (Z);
Streptomisin (S)
Golongan 2 Obat suntik lini kedua Kanamisin (Km); Amikasin (Am);
Capreomisin (Cm)
Golongan 3 Golongan Levofloxacin (Lfx); Moxifloxacin
Floroquinolon (Mfx); Ofloxacin (Ofx)
Golongan 4 Obat bakteriostatik lini Etionamid (Eto); Protionamid (Pto);
kedua Cyloserin (Cs); Terizidon(Trd)
Golongan 5 Obat yang belum Clofazimin (Cfz); Linezolid (Lzd);
terbukti efikasinya Claritromicin (Clr); Imipenem (Ipm)

Terapi OAT penderita TB diberikan sesuai berat badan penderita.


Panduan standar OAT penderita TB kasus baru dengan DM sekurangnya 6
bulan dan dapat diperpanjang sesuai klinis dan laboratoris penderita
(Kemkes RI, 2012; Marais et al., 2013; Santos et al., 2013).
Panduan standar OAT penderita kasus baru TB dan TB-DM
dijelaskan pada tabel tiga (Kemkes RI, 2013).
Tabel 3. Panduan obat standar penderita TB kasus baru dan TB-DM
Fase Intensif Fase Lanjutan Fase Lanjutan alternatif
2RHZE RH 4 bulan (4RH) 4R3H3
2RHZ(E-S) 4RH 7RH (DM tidak terkontrol)
Keterangan: R: rifampisin; H: isoniazid; Z: pyrazinamid; E: etambutol; S:
streptomisin (Kemkes RI, 2013).

13
E.2. Tatalaksana TB paru dengan DM.
Penatalaksanaan TB dengan DM mempertimbangkan karakteristik
kedua penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Integrasi program
penanggulangan TB dan DM yaitu dengan (PERKENI, 2011) :
1. Mendiagnosis TB pada kasus DM.
2. Mendiagnosis DM pada kasus TB.
3. Mengobati TB pada kasus DM.
4. Manajemen DM saat pengobatan TB
Pedoman penatalaksanaan TB dengan DM belum baku dan berbeda tiap
negara. Standar penatalaksanaan TB dan DM salah satunya oleh United
States and Pacific Island (USAPI) Standards for the Management of
Tuberculosis & Diabetes Mellitus terlihat pada tabel empat (USAPI, 2010).

Tabel 4. Pedoman penatalaksanaan TB dengan DM (USAPI, 2010)


Skrining DM Pada Penderita TB aktif
Standar 1 Tiap orang dengan TB berusia lebih 18 tahun harus dilakukan
skrining DM
Pedoman 1.1 Diagnosis DM ditegakkan dengan kriteria sebagai berikut : kadar
glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl; kadar plasma glukosa acak ≥
200 mg/dl; hemoglobin A1C ≥ 6.5 %
Pedoman 1.2 Kadar glukosa abnormal penderita tanpa gejala DM harus
diverifikasi dengan tes ulang
Pedoman 1.3 Rifampisin meningkatkan kadar glukosa darah penderita TB. Tes
kadar glukosa darah harus diulang setelah 2-4 minggu saat
pengobatan TB atau saat timbul gejala ketika pengobatan TB.
Catatan : TB = tuberkulosis; DM = diabetes Melitus

Skrining TB pada Penderita DM


Standar 2. Penderita DM yang memiliki risiko TB harus dilakukan skrining
latent tuberculosis infection (LTBI)
Pedoman 2.1. Tuberkulin skin test (TST) atau interferron gamma releasing assay
(IGRA) untuk TB harus dilakukan saat penegakkan diagnosis DM
Pedoman 2.2 Skrining harus diulang sesuai ukuran TB epidemiologi setempat
Catatan : DM = diabetes melitus; TB = tuberkulosis; LTBI = laten tuberculosis infection;
TST = tuberkulin skin test; IGRA = interferron gamma releasing assay

14
Standar 3 Penderita yang teridentifikasi dengan suspek atau terkonfirmasi TB
aktif harus dirujuk ke program TB setempat untuk mendapatkan
manajemen TB.
Standar 4 Penderita DM yang teridentifikasi LTBI harus mendapat terapi
preventif isoniazid selama 9 bulan
Pedoman 4.1 Penderita DM memiliki risiko neuropati perifer yang tinggi
sehingga mereka harus mendapat vitamin B6 (10-25 mg/hari) untuk
mencegah neuropati yang diinduksi oleh isoniazid.
Pedoman 4.2 Penderita LTBI harus diberikan edukasi akan efek samping
potensial terapi isoniazid. Monitoring ketaatan dan efek samping
bulanan sangat disarankan.
Catatan : TB = tuberkulosis; DM = diabetes melitus; LTBI = laten tuberculosis infection;

Mengobati TB pada penderita dengan DM


Standar 5 Pengobatan penderita TB dengan DM dipastikan harus sesuai dan
cukup
Pedoman 5.1 Dosis obat TB harus dipastikan
5.1.1 Cek kreatinin untuk nefropati diabetikum, dan apabila ada
sesuaikan frekuensi pirazinamid (Z) dan etambutol (E).
5.1.2 Berikan B6 (10-25 mg/hari) untuk mencegah neuropati yang
diinduksi oleh isoniazid
Pedoman 5.2 Observasi ketat kegagalan terapi TB pada penderita dengan DM
5.2.1 Waspada rendahnya absorbsi pada beberapa obat TB dengan DM
5.2.2 Atur berbagai interaksi antara obat TB dengan DM
5.2.3 Waspada kemungkinan sedikit peningkatan resistensi obat TB pada
penderita DM dengan TB aktif
Pedoman 5.3 Menjamin pengobatan TB dengan DM
5.3.1 Pertimbangan perpanjangan pengobatan TB sampai 9 bulan pada
penderita DM, terutama penderita dengan kavitas atau kesulitan
sputum clearance. Penderita DM memiliki kondisi supresi imun
relatif dan menyebabkan kompleksitas TB.
5.3.2 Saat menyelesaikan terapi, lakukan pemeriksaan sputum BTA dan
kultur BTA.
5.3.3 Evaluasi penderita tiap 6 bulan dan 1 tahun setelah pengobatan
untuk mencegah relaps
Catatan : TB = tuberkulosis; DM = diabetes melitus; Z = pirazinamid; E = etambutol;
BTA = basil tahan asam

15
Mengendalikan DM pada penderita TB aktif
Standar 6 Tes Glukosa darah harus dilakukan berulang di klinik TB saat
pengobatan TB.
Pedoman 6.1 Penderita TB dengan DM harus dicek gula darah paling sedikit
setiap minggu pada 4 minggu pertama pengobatan, dan lebih jarang
pada minggu berikutnya apabila gula darahnya terkontrol
(pemeriksaan kadar gula darah bulanan saat pengobatan TB sangat
disarankan).
Standar 7 Sering melakukan kontak dengan penderita di klinik TB untuk
membantu mengatasi DM.
Pedoman 7.1 Glukometer harus ada pada setiap klinik TB untuk memonitor
kadar gula darah.
Pedoman 7.2 Seluruh staf klinik harus mendorong perubahan gaya hidup
penderita setiap kunjungan penderita ke klinik.
Pedoman 7.3 Rujuk penderita ke klinik diabetes apabila tersedia, untuk
penanganan DM jangka panjang. Pastikan klinisi DM waspada dan
paham akan diagnosis dan pengobatan TB.
Standar 8 Gunakan kontak directly observe treatment (DOT) dengan
penderita TB untuk menangani DM.
Pedoman 8.1 Petugas DOT harus memberi semangat untuk perubahan gaya
hidup penderita tiap kali pertemuan.
8.1.1 Perubahan diet dan aktivitas fisik adalah usaha paling penting
8.1.2 Petugas DOT harus menggunakan materi edukasi DM yang
terstruktur sesuai budaya setempat.
Pedoman 8.2 Pertimbangkan pemberian obat DM dengan TB melalui DOT untuk
penderita dengan kontrol DM buruk yang memiliki kepatuhan
rendah pada pengobatan DM
Catatan : TB = tuberkulosis; DM = diabetes melitus; DOT = directly observe treatment

Tatalaksana TB dengan DM berfokus pada diagnosis awal,


pengendalian kadar gula darah serta monitoring ketat klinis dan pengobatan.
Skrining TB secara teratur pada penderita DM diperlukan apabila
menunjukan gejala yang spesifik. Pedoman nasional tatalaksana TB
Indonesia merekomendasikan penanganan TB dengan DM sebagai berikut
(Kemkes RI, 2013) :
1. Prinsip panduan OAT penderita TB dengan DM sama dengan TB tanpa
DM, dengan syarat kadar gula darah terkontrol.
2. Lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan apabila kadar gula
darah tidak terkontrol.

16
3. Hati-hati penggunaan etambutol karena efek samping etambutol pada
mata, sedangkan pada penderita DM sering mengalami komplikasi
kelainan pada mata.
4. Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena mengurangi efektivitas
obat oral antidiabetes (OAD) sulfonilurea sehingga dosis perlu
ditingkatkan.
5. Perlu pengawasan sesudah pengobatan TB selesai, untuk mendeteksi dini
bila terjadi kekambuhan TB.
Oral anti diabetes (OHO) kontra indikasi diberikan pada penderita TB
berat dan dapat di gunakan lagi apabila kondisi penderita telah stabil atau
membaik. Insulin memiliki efek baik untuk mengatasi hiperglikemia. Dosis
insulin rata-rata penderita DM dengan TB adalah 1,0 international unit
(IU)/kg berat badan (BB)/hari terbagi atas 60% bolus dan 40% insulin basal
pada awal terapi OAD, kemudian menurun menjadi 0,5 IU/kgBB/hari
apabila gula darah sudah terkontrol. Dasar penggunaan insulin pada
penderita DM dengan TB yaitu untuk (Niazi dan Kalra, 2012) :
1. Infeksi TB berat.
2. Rusaknya jaringan dan fungsi pankreas oleh karena defisiensi endokrin
pankreas atau pakreatitis TB.
3. Kebutuhan kalori dan protein tinggi serta efek anabolik.
4. Interaksi OAT dan OAD.
5. Penyakit hati yang berhubungan dengan OAT dan OAD.
F. Interaksi pengobatan TB dengan DM
Rekomendasi khusus pengobatan DM pada penderita TB belum baku,
dapat menggunakan insulin atau OAD. Tujuan pengobatan DM adalah kendali
glukosa darah. American Diabetes Association sejak tahun 2004 menekankan
pada pencapaian target kendali glukosa darah pada level tertentu. American
Diabetes Association tahun 2011 memberikan rekomendasi target HbA1C <7%
atau setara dengan gula darah <154 mg/dl (Kemkes RI, 2013; ADA, 2015)
Rifampisin memicu timbulnya hiperglikemia langsung maupun tidak
melalui interaksi dengan OAD. Rifampisin induktor kuat enzim sitokrom P 450

17
(CYP 450) dan enzim fase II pada host. Induksi CYP 450 menyebabkan
peningkatan kecepatan metabolisme OAD seperti sulfonilurea dalam terapi
DM. Penurunan konsentrasi serum sulfonilurea sebesar 39% dan 22% saat
diberikan bersama dengan rifampisin dibanding kontrol. Oral antidiabetes
golongan thiazolidinedione dimetabolisme enzim CYP450. Penderita DM
tergantung insulin menunjukkan peningkatan kebutuhan insulin bila bersama
rifampisin. Rifampisin berhubungan dengan fase awal hiperglikemia dan
hiperinsulinemia penderita non-DM. Monitoring ketat dan penyesuaian dosis
OAD penting pada penderita TB dengan DM. Diabetes melitus mengubah
farmakokinetik OAT. Diabetes menurunkan absorbsi oral, menurunkan ikatan
protein obat dan insufisiensi renal serta fatty liver melalui gangguan kliren obat
(Alisjahbana et al., 2007; Dooley, 2010; Ruslami et al., 2010; Burhan et al.,
2013; Kemkes RI, 2013; Santos et al., 2013Wulandari, 2013).
Oral antidiabetes golongan sulfonilurea dan thiazolodinedione
dimetabolisme di hati oleh enzim CYP 450. Kadar sulfonilurea dan
thiazolodinedione menurun jika diberikan bersama rifampisin. Isoniazid
menghambat enzim CYP 450, sehingga mengurangi efek rifampisin, namun
demikian pemberian isoniazid dan rifampisin secara bersamaan tetap
menunjukkan peningkatan enzim hati oleh rifampisin. Obat TB lini pertama
lain seperti pirazinamid dan etambutol tidak mempengaruhi kadar OAD di
dalam darah. Monitor interaksi obat OAD dengan rifampisin satu minggu
pertama pengobatan. Metformin tidak dipengaruhi rifampisin, sehingga bisa
menjadi obat alternatif yang baik. Metformin murah dan menjadi pilihan utama
penderita DM tipe 2. Infeksi TB dapat menyebabkan intoleransi glukosa dan
predisposisi DM (Handayani, 2002; Jeon et al., 2010; Wulandari, 2013; ADA,
2015).

18
BAB III
METODE DAN CARA PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini dilakukan secara retrospektif dan dianalisis
secara deskriptif.

B. Tempat Dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di RSDM Surakarta periode Juli 2015 sampai
dengan Desember 2015.

C. Populasi Penelitian dan Teknik Sampling


Populasi target pada penelitian ini adalah semua pasien DM yang berobat
jalan dan rawat inap di RSDM Surakarta.
Kriteria inklusi meliputi:
1. Semua pasien DM
2. Semua usia
Kriteria eksklusi meliputi:
1. Identitas pasien tidak sesuai
2. Data tidak lengkap
Data-data diperoleh dari rekam medik. Pengambilan sampel dilakukan
melalui data sekunder dan memenuhi semua kriteria inklusi dan eksklusi.

19
D. Skema Alur Penelitian

Pasien DM yang berobat rawat inap dan rawat jalan ke RSDM

Kriteria Inklusi : Kriteria Eksklusi :


Semua pasien DM - Identitas pasien
Semua usia tidak sesuai
- Data tidak lengkap
Subyek penelitian

Data sekunder

HbA1C, GDS, GDP, G2PP BTA sputum Kultur sputum

Analisis deskriptif

Gambar 6. Skema alur penelitian

Catatan : GDP = Gula Darah Puasa


G2PP = Gula 2 jam Post Prandial

E. Analisis Statistik
Merupakan penelitian retrospektif dengan menggunakan desain analisis
deskriptif, yang mana pengukuran variabel dilakukan melalui penggunaan
rekam medik RSDM Surakarta sebagai data penelitian.

20
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
A.1. Diabetes Melitus
Pada penelitian ini terdapat 341 pasien DM yang berobat ke RSDM Surakarta
pada periode Juli 2015-Desember 2015. Berdasarkan tipe diabetes, 2 pasien
(0,59%) adalah DM tipe 1 dan 339 (99,41%) adalah DM tipe 2. Rentang usia 12-
73 tahun dengan usia termuda 12 tahun dan tertua 73 tahun. Pasien DM
berdasarkan jenis pekerjaan yang terbanyak adalah sebagai ibu rumah tangga
sebanyak 91 pasien (26,69%) dan paling sedikit adalah pelajar sebanyak 4 pasien
(1,17%).
Tabel 5. Distribusi pasien DM, Umur dan Jenis Kelamin
Umur Jenis Kelamin
Non Produktif
Produktif (0-14 tahun &
(15-64 tahun) ≥ 65 tahun) Laki-laki Perempuan
270 pasien 71 pasien 174 pasien 167 pasien
TB aktif (79,18%) (20,82%) (51,03%) (48,97%)

Pada tabel 5 hasil distribusi dari 341 pasien DM berdasarkan umur didapatkan
yang terbanyak adalah usia produktif 270 (79,18%) dan terendah usia non
produktif 71 (20,82%).
Pada tabel 5 hasil distribusi dari 341 pasien DM berdasarkan jenis kelamin
didapatkan yang terbanyak adalah laki-laki 174 (51,03%) dan perempuan 167
(48,97%).

Tabel 6. Distribusi pasien DM dan Status Gizi (BMI)


Status Gizi (BMI)
Berisiko
Gizi kurang Normal Obesitas Obesitas I Obesitas II
(<18,5) (18,5-22,9) (23-24,9) (25-29,9) (≥30)
14 pasien 142 pasien 80 pasien 104 pasien 1 pasien
TB aktif (4,11%) (41,64%) (23,46%) (30,50%) (0,29%)

21
Pada tabel 6 hasil distribusi dari 341 pasien DM berdasarkan status gizi
(BMI) pasien didapatkan yang terbanyak adalah gizi normal 142 pasien (41,64%)
dan terendah obesitas II sebanyak 1 pasien (0,29%).

Tabel 7. Distribusi pasien DM dan Pendidikan


Pendidikan

SD SMP SMA Akademi S1


101 pasien 56 pasien 111 pasien 33 pasien 40 pasien
TB aktif (29,62%) (16,42%) (32,55%) (9,68%) (11,73%)

Pada tabel 7 hasil distribusi dari 341 pasien DM berdasarkan pendidikan


pasien didapatkan yang terbanyak adalah SMA 111 (32,55%) dan akademi 33
(9,68%).

Tabel 8. Distribusi pasien DM dan Pekerjaan


Pekerjaan
Karyawan
IRT swasta Buruh PNS Wiraswasta
91 pasien 69 pasien 65 pasien 28 pasien 26
TB aktif (26,69%) (20,24%) (19,06%) (8,21%) (7,62%)

Pada tabel 8 hasil distribusi dari 341 pasien DM berdasarkan pekerjaan


didapatkan yang terbanyak adalah ibu rumah tangga 91 pasien (26,69%).

A.2. Diabetes Melitus dengan TB


Pada penelitian ini mengungkap dari 341 kasus dengan DM, ditemukan 16
(4,69%) pasien disuspek memiliki TB paru dan 13 (3,81%) pasien DM yang
disertai TB dengan BTA positif (TB aktif). Semua pasien DM dengan TB adalah
DM tipe 2. Rentang usia pasien DM dengan TB adalah 36-71 tahun dengan usia
termuda 36 tahun dan tertua 71 tahun. Semua pasien DM dengan TB memiliki
HbA1c > 7 (7,1-13,6)

22
Tabel 9. Distribusi pasien DM dengan TB aktif , Umur dan Jenis Kelamin
Umur Jenis Kelamin
Produktif Non Produktif
(15-64) (0-14 & ≥ 65) Wanita Laki
11 pasien 2 pasien 5 pasien 8 pasien
TB aktif (84,62%) (15,38%) (38,46%) (61,54%)

Pada tabel 9 hasil distribusi dari 13 pasien DM dengan TB aktif berdasarkan


umur didapatkan yang terbanyak adalah usia produktif 15-64 tahun (84,62%) dan
terendah usia non produktif 0-14 tahun dan ≥ 65 tahun (15,38%).
Pada tabel 9 hasil distribusi dari 13 pasien DM dengan TB aktif berdasarkan
jenis kelamin didapatkan yang terbanyak adalah laki-laki 61,54% dan wanita
38,46%.

Tabel 10. Distribusi pasien DM dengan TB aktif dan Status Gizi (BMI)
Status Gizi (BMI)
Berisiko
Gizi kurang Normal Obesitas Obesitas I Obesitas II
(<18,5) (18,5-22,9) (23-24,9) (25-29,9) (≥30)
3 pasien 5 pasien 4 pasien 1 pasien 0 pasien
TB aktif (23,08%) (38,46%) (30,77%) (7,69%) (0%)

Pada tabel 10 hasil distribusi dari 13 pasien DM dengan TB aktif berdasarkan


status gizi (BMI) pasien didapatkan yang terbanyak adalah gizi normal 5 pasien
(38,46%) dan terendah obesitas I 1 pasien (7,69%).

Tabel 11. Distribusi pasien DM dengan TB aktif dan Pendidikan


Pendidikan
SD SMP SMA S1
6 pasien 1 pasien 5 pasien 1 pasien
TB aktif (46,15%) (7,69%) (38,47%) (7,69%)

Pada tabel 11 hasil distribusi dari 13 pasien DM dengan TB aktif berdasarkan


pendidikan pasien didapatkan yang terbanyak adalah SD (46,15%) dan terendah
SMP dan S1 dengan masing-masing 1 pasien (7,69%).

23
Tabel 12. Distribusi pasien DM dengan TB aktif dan Pekerjaan
Pekerjaan
Karyawan
Buruh IRT Swasta Wiraswasta
8 pasien 2 pasien 2 pasien 1 pasien
TB aktif 61,55% (15,38%) (15,38%) (7,69%)

Pada tabel 12 hasil distribusi dari 13 pasien DM dengan TB aktif berdasarkan


pekerjaan didapatkan yang terbanyak adalah buruh 8 pasien (61,55%) dan
terendah wiraswasta 1 pasien (7,69%).

Tabel 13. Distribusi pasien DM dengan TB aktif dan Riwayat Kontak


Riwayat Kontak
Teman Kerja Orang Tua Tetangga
8 pasien 3 pasien 2 pasien
TB aktif (61,54%) (23,08%) (15,38%)

Pada tabel 13 hasil distribusi dari 13 pasien DM dengan TB aktif berdasarkan


riwayat kontak dengan penderita TB didapatkan yang terbanyak adalah teman
kerja 8 pasien (61,54%) dan terendah tetangga 2 pasien (15,38%).

Tabel 14. Distribusi pasien DM dengan TB aktif , HbA1C dan BTA


HbA1C BTA

< 6,5% ≥ 6,5% Positif Negatif


0 pasien 13 pasien 13 pasien 0 pasien
TB aktif (0%) (100%) (100%) (0%)

Pada tabel 14 hasil distribusi dari 13 pasien DM dengan TB aktif berdasarkan


HbA1C didapatkan semua pasien memiliki HbA1C ≥ 6,5%.
Pada tabel 14 hasil distribusi dari 13 pasien DM dengan TB aktif berdasarkan
BTA didapatkan semua pasien memiliki BTA positif.

24
B. Pembahasan
Hasil penelitian ini mengungkap dari 341 kasus dengan DM, kami
menemukan 16 (4,69%) pasien suspek TB paru, hal ini hampir sama dengan
penelitian Fatihe Kermansaravi (2010-2011) dari 400 pasien DM didapatkan
24 (6%) pasien suspek TB. Hasil penelitian ini juga mengungkap dari 341
kasus DM ditemukan 13 (3,81%) kasus TB paru aktif, kajian tersebut lebih
rendah dibandingkan dengan penelitian Alisjahbana (2001-2005) di Indonesia
yang mana dari 454 pasien DM didapatkan 60 (13,21%) kasus TB paru aktif
namun lebih tinggi dari penelitian Fatihe Kermansaravi (2010-2011) di
Teheran Iran yang mana dari 400 pasien DM didapatkan 4 (1%) kasus TB
aktif. Pada penderita DM ditemukan 13 (3,81%) pasien TB dengan BTA positif
(TB aktif), hal ini mengindikaskan tingginya prevalensi TB dengan BTA
positif (TB aktif) pada pasien DM. Rentang usia pasien DM dengan TB adalah
36-71 tahun (usia produktif), hal ini serupa dengan studi Restrepo di Mexico
dan Texas (2007) serta Dobler di Australia (2012) yang mana pada pasien DM
dengan TB lebih banyak didapatkan pada usia diatas 40 tahun. Semua pasien
DM dengan TB memiliki HbA1c > 7 (7,1-13,6), hal ini sesuai dengan studi
Dobler di Australia (2012) dan Leung di Hongkong (2008).

25
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Hasil penelitian ini mengungkap dari 341 kasus dengan DM, ditemukan 16
(4,69%) pasien suspek TB paru dan 13 (3,81%) diantaranya pasien DM yang
disertai TB dengan BTA positif (TB aktif). Hal ini mengindikaskan tingginya
prevalensi TB dengan BTA positif (TB aktif) pada pasien dengan DM. Semua
pasien DM dengan TB adalah DM tipe 2. Rentang usia pasien DM dengan TB
adalah 36-71 tahun (usia produktif). Semua pasien DM dengan TB memiliki
HbA1c > 7 (7,1-13,6). Pasien DM dengan TB aktif berdasarkan umur pasien
didapatkan terbanyak pada laki-laki usia produktif, status gizi normal,
pendidikan rendah (SD), pekerjaan buruh, dan riwayat kontak TB dengan
teman kerja.

B. Saran

Perlunya dilakukan skrining TB pada pasien DM direkomendasikan untuk


mengontroL dan kesuksesan penatalaksanaan kedua penyakit tersebut.

26
DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana B. Et al. 2007. The effect of type 2 diabetes mellitus on the presentation and
treatment response of pulmonary tuberculosis. Clin Infect Dis. ;45:428-35.
(Diunduh http://cid.oxfordjournals.org/content/45/4/428.long)
American Diabetes Association. 2010. Diagnosis and classification of diabetes mellitus.
Diabetes Care.;33:62-98. (Diunduh
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2797383/)
American Diabetes Association. 2015. Standards of medical care in diabetes. 2015.
Diabetes Care.;35-60. (Diunduh
https://www.google.co.id/?gws_rd=cr,ssl&ei=2l6rVvuME8iguQTN7aPICw#q=Sta
ndards+of+medical+care+in+diabetes+)
Burhan E. Et al. 2013. Isoniazid, rifampin, and pyrazinamid plasma concentrations in
relation to treatment response in Indonesian pulmonary tuberculosis patients.
Antimicrob Agents Chemotherapy. ;57:3614-9. (Diunduh
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3719785/)
Cahyadi A., Venty. 2011. Tuberkulosis Paru Pada Pasien Diabetes Melitus. J Indon Med
Assoc, Volum:61, Nomor: 4, April 2011.
Chen W. Et al. 2013. Pulmonary tuberculosis incidence and risk factors
in rural areas of China: a Cohort study. PLoS One. ;8:1-7. (Diunduh
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3595232/)
Dooley K.E., Chaisson R. 2010. Tuberculosis and diabetes mellitus: convergence of two
epidemics. Lancet Infect Dis.;9:737-46.
Djojodibroto R. 2012. Tuberkulosis. In: Djojodibroto, editor. Respiratory medicine.
Jakarta: EGC; p. 151-69.
Eloriaga G.G., Pineda D. 2014. Type 2 diabetes mellitus as a risk factor for tuberculosis.
J Mycobact Dis. 2014;4:2-7. (Diunduh http//dx.doi.org/10.4172/2161-
1068.1000144)
Franke M.F. et al. 2013. Aggressive regimens for multidrugresistant Tuberculosis reduce
recurrence. Clin Infect Dis. ;56:770-6. (Diunduh
http://cid.oxfordjournals.org/content/56/6/770.full.pdf+html)
Gomez D.I., Twahirwa M., Schlesinger L.S., Restrepo B.I. 2012. Reduced
mycobacterium tuberculosis association with monocytes from diabetes patients that
have poor glucose control. Tuberculosis.;30:1-6. (Diunduh
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3580120/)
Handayani S. 2002. Respon Imunitas Seluler Pada Infeksi Tuberkulosis Paru. Cermin
Dunia Kedokteran. ;137:34-7
Harries A.D et al. 2013. Epidemiology and interaction of diabetes mellitus and
tuberculosis and challenges for care: a review. Public Health Action. Hal:53-59.
(Diunduh http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4463136/)
Jiménez-corona M.E et al. 2013. Association of diabetes and tuberculosis: impact on
treatment and post-treatment outcomes. Thorax. BMJ.;68:214-20. 30. Joosten S.A,
Fletcher H.A, Ottenhoff T.H.M. 2013. A helicopter perspective on TB biomarkers:
pathway and process based analysis of gene expression data provides new insight
into TB pathogenesis. PLoS One.;8:1-14. (Diunduh
http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0073230)
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:
Kemenkes RI; p. 1-92.

27
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Panduan tatalaksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan
strategi DOTS untuk praktik dokter swasta (DPS). Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI. p. 24-36.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Pedoman nasional pelayanan kedokteran tatalaksana
tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; p. 1-100.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Petunjuk teknis manajemen terpadu pengendalian
tuberkulosis resistan obat. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2013. p. 1135
Li G.Y., Ji D.F., Zhong S. Lin T.B., Qiang Z., Hu G.Y., Wang X. 2013. 1-
deoxynojirimycin inhibits glucose absorption and accelerates glucose metabolism
in streptozotocin-induced diabetic mice.Sciencetific Report J. ;3:1-13. (Diunduh
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3610135/)
Mood B.S, Metanat M, Kermansaravi F,. 2014. Evaluation of Active Pulmonary
Tuberculosis Among Patients with Diabetes.
Niazi A.K., Kalra S. 2012. Diabetes and tuberculosis: a review of the role of optimal
glycemic control. Journal of Diabetes & Metabolic Disorders. ;11:13-9. (Diunduh
http://jdmdonline.biomedcentral.com/articles/10.1186/2251-6581-11-28)
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Palomino J.C., Leão S.C., Ritacco V. Tuberculosis 2007: From basic science to patient
care 1st ed. Argentina. Bouciller Kamps. 2007. P.26-52.
PERKENI. 2011. Konsensus pengendalian dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. Jakarta: PERKENI. p. 1-66.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus pengelolaan dan pencegahan
diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB PERKENI.
Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. Dalam: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al. penyunting. Harrison’s Principles of
Internal Medicine. Edisi ke-17. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.;
2008.h.100620.
Restrepo B.I. 2007. Convergence of the tuberculosis and diabetes epidemics: renewal of
old acquaintances. Clin Infect Dis. ;45:436-8. (Diunduh
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2900315/)
Santos R.B. et al. 2013. The impact of diabetes on tuberculosis treatment outcomes: a
systematic review. BMC Med. (Diunduh
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21722362).
World Health Organization. 2011. Collaborative framework for care and control of
tuberculosis and diabetes. Geneva: WHO. p. 1-35. (Diunduh
http://www.who.int/diabetes/publications/tb_diabetes2011/en/)
Wulandari D.R., Sugiri Y.J. 2013. Diabetes melitus dan permasalahannya pada infeksi
tuberkulosis. J Respirologi Indonesia. ;33:126-34. (Diunduh
www.jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/.../jri-2013-33-2-126-34.pdf).
Young F., Critchley J.A., Johnstone L.K, Unwin N.C. 2009. A review of co-morbidity
between infectious and chronic disease in sub Saharan Africa: TB and diabetes
mellitus, HIV and metabolic syndrome, and the impact of globalization. Global
Health. (Diunduh
http://globalizationandhealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/1744-8603-5-9)
Yuan X. Et al. 2013. Genotyping and clinical characteristics of multidrug and extensively
drug-resistant tuberculosis in a tertiary care tuberculosis hospital in China. BMC
Infect. Dis. ;13:11-8. (Diunduh
http://bmcinfectdis.biomedcentral.com/articles/10.1186/1471-2334-13-315).

28
29

You might also like