You are on page 1of 4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

PRURIGO NODULARIS

2.1 DEFINISI

Prurigo nodularis merupakan penyakit kronik, pada orang dewasa, ditandai oleh adanya nodus
kutan yang gatal, terutama di ekstremitas bagian ekstensor.1

2.2. ETIOLOGI

Penyebab dari prurigo nodularis belum diketahui.1,2 Tetapi serangan-serangan gatal timbul
bila terdapat atau mengalami ketegangan emosional. Belum pasti apakah menggaruk menjadi
penyebab timbulnya nodul, atau nodul muncul sebelum tergores. Penyebab terjadinya nodul,
peradangan dan peningkatan aktivitas saraf di kulit sedang diselidiki tetapi masih belum
diketahui.2 Sampai dengan 80% dari pasien memiliki riwayat pribadi atau keluarga dari dermatitis
atopik, asma atau demam (dibandingkan dengan sekitar 25% dari populasi normal).2 Prurigo
nodular dapat dimulai sebagai reaksi gigitan serangga atau bentuk lain dari dermatitis. Ini telah
dikaitkan dengan penyakit internal yang termasuk anemia defisiensi besi, gagal ginjal kronis,
gluten enteropati, infeksi HIV dan banyak kondisi yang beragam lainnya. 2

2.3. GEJALA KLINIS

Prurigo nodularis dapat terjadi di semua usia tetapi terutama pada usia 20 – 60 tahun. Baik pria
maupun wanita memiliki persentase yang sama. Pasien dengan dermatitis atopik yang sering
kambuh diketahui memiliki onset usia yang lebih dini (rata-rata 19 tahun) dibandingkan dengan
yang non atopik (rata-rata 48 tahun).2,3 Nodul prurigo memilki ukuran yang bervariasi mulai 0,5
cm sampai 3 cm dan teraba padat sampai keras. Permukaannya dapat berupa lesi hiperkeratotik
atau berbentuk kawah. Sering terjadi ekskoriasi di lapisan atasnya. Rasa gatal biasanya berat.
Tungkai merupakan tempat yang paling sering tekena, terutama area ekstensor. Wajah dan telapak
tangan jarang terkena, namun nodul dapat terjadi di tempat lain yang bisa terjangkau tangan pasien.
Jumlah lesi bervariasi dari hanya beberapa lesi saja sampai dapat lebih dari seratus lesi. Nodul
baru dapat muncul dari waktu ke waktu, pada nodul yang telah membaik terdapat gambaran
hiperpigmentasi atau hipopigmentasi pasca inflamasi dengan atau tanpa pembentukan jaringan
parut.2,3

Tabel 1. Pemeriksaan yang disarankan pada prurigo nodularis 6

2.4. HISTOPATOLOGI
Gambaran histologik akan memperlihatkan :1

1. Penebalan epidermis, sehingga tampak hyperkeratosis, hipergranulosis, akantosis


yang tak teratur atau disebut juga sebagai hiperplasi psoriasiformis yang tak teratur.
2. Penebalan stratum papilaris dermis, yang terdiri atas kumpulan serat kolagen kasar,
yang arahnya tegak lurus terhadap permukaan kulit (disebut sebagai collagen in
vertical streaks).
3. Sebukan sel-sel radang sekitar pembuluh darah yang melebar di dermis bagian atas.
Sel-sel tersebut terutama terdiri atas limfosit dan histiosit.

2.5. PENATALAKSANAAN

Pengobatan bertujuan untuk memutuskan siklus gatal-garukan. Siklus ini sulit dihentikan,
karna dapat dirangsang dengan gangguan psikologis dari penderita.5 Antipruritic aspesific topical
seperti 1% menthol dan phenol dalam krim dasar, direkomendasikan di masa lalu, sangat tidak
membantu. Glukokortikoid poten topical krim atau salep seperti betamethasone dipropionate atau
triamcinolonone acetonide seringkali berhasil.5,6 Inhibitor reuptake serotonin yang selektif ion
telah direkomendasikan untuk meredakan pruritus di siang hari atau pada pasien yang mengalami
gangguan obsesif-kompulsif. 5
Antihistamin sedasi seperti hydroxyzine dan promethazine pada waktu tidur juga penting
bagi kualitas hidup pasien. Chlorpeniramnie maleate 4 mg, satu atau dua tablet setiap malam pada
waktu tidur. Prurigo nodularis difus atau bentuk yang resisten dapat diberikan terapi ultraviolet
UVB (broadband dan narrowband) dan UVA; narrowband UVB terlihat lebih efekstif dan tidak
terlalu bahaya dibandingkan PUVA, yang bekerja lambat selama terapi. Prurigo nodularis yang
resisten dapat diberikan cyclosporine (terapi lini ketiga) untuk mengurangi derajat keparahan dari
pruritus dengan menghambat transkripsi limfokin dan aktivasi limfosit serta proliferasi. Dosis
yang diberikan tidak kurang dari 4 mg/kg/hari selama periode kurang dari 6 bulan.6
Thalidomide, sudah digunakan sejak tahun 1970 sebagai pengobatan prurigo nodularis,
merupakan terapi lini ketiga yang kuat yang diberikan untuk prurigo nodularis yang parah. Hal ini
melalui penekanan sistem saraf pusat dan penyumbatan stimulasi perifer. Thalidomide
mengurangi kemotaksis polimorfonuklear leukosit dan menghambat produksi selektif TNF-alfa
dengan menghancurkan mRNA TNF-alfa. Pada dosis 200 mg per hari, terjadi peningkatan
signifikan dari pruritus dan terjadi penyusutan nodul dengan tidak ada efek samping yang
signifikan telah didokumentasikan. Pada dosis di bawah 200 mg per hari, remisi prurigo nodularis
tidak tercapai. Dosis di atas 200 mg per hari dibatasi karena dapat terjadi neuropati sensoris, yang
bersifat irreversible.5 Penggunaan naltrekson juga telah menunjukkan efikasi pada beberapa
kasus.6
Saat ini, capsaicin topical sudah menunjukkan penurunan angka dan gejala dari prurido
nodul. Dosis yang disunakan 0.025% - 0.3% empat atau enam kali per hari selama 2 minggu hingga
10 bulan. 5,6
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiryadi, Benny. Prurigo. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke 5 cetakan ke 2,
Jakarta: Balai Pustaka Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007: 272-275.
2. Dermnet NZ.Nodular Prurigo. Available from: URL:
http://www.dermnetnz.org/dermatitis/prurigo-nodularis.html (diunduh pada tanggal 27
maret 2015)
3. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, KATZ SC, editors.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 6th ed. New york: McGraw_Hill;
2003.p.1336-1338.
4. Hogan D. Prurigo Nodularis. Emedicine.com. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1088032-overview (diunduh tanggal 27 maret 2015)
5. Vaidya Darshan, Schwartz Robert. A. Prurigo Nodularis: A Benign Dermatosis Derived
from a Persistent Pruritus. Dermatology & Pathology, New Jersey Medical School,
Newark, New Jersey, USA. 2008.
6. Lotti, T, Buggiani, G, Prignano, F. Prurigo nodularis and lichen simplex chronicus.
Dermatologic therapy volume 21. Blackwell publishing. Department of dermatological
sciences, University of Florence, Italy.2008.

You might also like