You are on page 1of 43

MENGAPA SAYA BELUM HAMIL

STEP 1

 Urethritis gonorhoea : suatupenyakitinfeksimenularseksualygdisebabkanolehbakteri N. gonore


, ditandai dg kencingnanah yang nyeri, ditularkanmelaluieksudatataupunkontak sexual
 Toksoplasma : parasite yang dapatmenyebabkaninfertilitas, disebutsbgai TORCH
Cara penularannyalewatfesesdarihewan (kucing)
 Rubella : disebutsbgcampakjerman, ditandai dg ruamselama 3 hari,
disebarkanmelalui droplet darinasofaring, transplasenta
 Cytomegalovirus : virus yang ditularkanmelaui saliva, urun, cairantubuh , ciri2
adahepatospenomegali, faringitis, ikterik

STEP 2

1. Apadefinisiinfertilitas?
2. Apasajakahfaktor yang mempengaruhiinfertilitas?
3. Apahubunganantarasuamiperokokberatdengankeluhanbelumpunyaketurunan?
4. Apahubunganobesitasdengankeluhanbelumpunyaketurunan?
5. Apahubungansuamimengkonsumsi alcohol dengankeluhanbelumpunyaketurunan?
6. Apahubungankebiasaanberendam air panasdenganbelummemilikiketurunan?
7. Jelaskanhubunganriwayat KB denganInfertilitas?
8. apahubungansuamimemilikiriwayat UG 3 tahun yang laludenganinfertilitas?
9. Apainterpretasidanhubungandaripemeriksaanpenunjang( IgG + padatoksoplasma, rubella, CMV,
IgM + padatoksoplasma)?
10. Apakahpemeriksaanpenunjang yang lainnyauntukmengetahuiinfertilitaspadapriadanwanita?
11. Bagaimanacaramencegahinfertilitas?
12. Apakahupayapengobatan yang dilakukanolehdokter?
13.

STEP 3

1. Apadefinisiinfertilitas?

Pasangansuamiistri yang telahmenikahselama 1 tahundansudahmelakukan hub. Sexual


secarateraturtanpakontrasepsitetapibelummemilkianak

Disebut infertile delamjangkawaktu 1 tahun

Klasifikasi :

 Primer : belumpernahhamilselama 12 bulan, tidakmemakaikontrasepsidanpelindung


 Infertile Skunder : sudahpernahhamilsebelumnya,
 Subfertilitas : sulituntukhamiltapimasihadakemungkinanuntukhamil

Wanita yang usianyalebihdari 35 tahuntidakmendapatkankehamilan sekurang2nya 6 bulan

Kurangdari 35 tahuntidakmendapatkankehamilanselama 12 bulan


2. Apasajakahfaktor yang mempengaruhiinfertilitas?
 Usia : > 40thsulituntuktjdkonsepsi
Pria :semakintuakoitusnyasemakinturun (30th )
 Frekwensikoitus : kalo LDR makaakanmempengaruhikemungkinanhamil
 Masa koitus : kejadiankonsepsipadawanita masa suburmakalebihtinggi
 Penggunaan lubricant : banyakdicampur dg spermatisidspermanyaakanmati
 Penyakit : IMS ( peradanganinfertilitas) atau non IMS ( infeksipost partum, TBC genitalia)
 Pengaruh obat2an : menggangufungsi spermatogenesis danovarium , ex : obat2 anti cancer
 Radiasi : dptmenyebabkangangguanfugsi gonad

Penyebab :

 Kelainancairansperma( terlalukentaltidakdapatmelaluiproduksiwanita)
 Kelainansaluranreproduksi
 Kriptokismus / testis tidakturun
 Gangguanereksi
 Kelainanpada testis (kecil, keras)
 Kelainan hormonal  h. testosterone terganggu

Penyebabpadalaki2 :

 Saatberhubungansexssalahpadawaktu
 Impotenataukegagalanejakulasi
 Penggunaanobat2an,( sedative, alcohol, narkotik)
 Ejakulasi premature
 Retrograde ejakulasi : cairanbalikke bladder
 Ekstravaginalejakulasi
 Padakasus immunological (virus ataubakteri --
>menggangupengeluaranspermamengganguakrosom
 Iatrogenic : pembedahan ( diotakataupun di organ reproduksi, kalo di
otakmakamenggangupengeluaran hormone yang dibutuhkanuntuk proses reproduksi )
 Sistemik : DM, hipertensimenggangusistemsaraf

Penyebabpadawanita :

 Abnormalitaspadaorgannyasendri, cervic : kaloada cancer  dot mempengaruhijalandarisperma,


fibroid  intramural
 Endometritis
 Uterus malformasi
 Hiperprolaktintjdsaat stress atau cancer di hypothalamus,
padasaatmaumensataumenyusuimenurunkanfertilitaspadawanitadg caramengambathipotalamus
3. Apahubunganantarasuamiperokokberatdengankeluhanbelumpunyaketurunan?
Padakualitasdankuantitasspermadarikomponen gas reaktivitastinggimerusakmakro molekul2
karbo, protein, lipid as.NukleatROS tinggimerusakspermatubuhmemproduksiantioksidan
stressed oksidatifmenurunkanmotilitas, dllpadasperma

ROS peroksida lipid pada membrane plasma spermatozoa peningkatanpermeabilitas membrane


selsenyawa yang tidakdiinginkanmasukkerusakanpadaakrosompadaspermaabnormalitas
spermatozoa meningkatkankejadianinfertilitas

Padawanita :mempengaruhisikluspadamenstruasidanlendircervics

Merusakmitokondriasehinggaoositrusakdantidakdapatmengeluakan ovum

4. Apahubunganobesitasdengankeluhanbelumpunyaketurunan?

Obesitasmeningkatkan hormonal dalamtubuhestrogennyatinggimenekanovulasi

Pada laki2 lemakberlebihmenghasilkan estrogen  estrogen meningkatproduksi testosterone


menuruninfertile ,cirikelaminskundernyamenurun

5. Apahubungansuamimengkonsumsi alcohol dengankeluhanbelumpunyaketurunan?

Alcohol dapatberpengaruhkesistemsaraftepihilangnyahasratseksualdandapatimpotensikadar
testosterone menurundisfungsiereksi

Berpengaruhatrofi testis  sel2 spermahilangakibattoksisitasdari alcohol munurunkan LH dan FSH


selleydigmengalamikegagalanmemproduksisperma

Inhibitor 5 alfa reductase tdktjd spermatogenesis

6. Apahubungankebiasaanberendam air panasdenganbelummemilikiketurunan?

Produksispermasuhunyasendiri 34 derajat C

Kaloseringberendam air panasberpengaruhthdpembentukansperma

7. apahubungansuamimemilikiriwayat UG 3 tahun yang laludenganinfertilitas?

UG peradanganpada epididymis kerusakan testis atauobstruski ductus


sehinggaspermatidakdapatkeluarkrnaadanyasikatrikspada urethra

8. Jelaskanhubunganriwayat KB denganInfertilitas?

Tidakadapengaruhpadainfertilitaskaloudahberhentimenggunakan KB makaakanterjadikesuburan

Penggunaanpil KB meningkatkanresikoinfertilitaspadawanitaselama 1 tahunadanya hormone


sinteticterganggusikluspembentukan estrogen  ovum harusadaptasilagi

Interval kelahiranlebihpanjangpada orang yang sudahmenggunakanpil KB


9. Apainterpretasidanhubungandaripemeriksaanpenunjang( IgG + padatoksoplasma, rubella, CMV,
IgM + padatoksoplasma)?

IgG + kornisatausudahmengalamisakittokso, rubella, CMV ,titernyamasihada

IgG - 

IgG dan IgM + sedangmengalamiinfeksitoksoplasmasaatini, infeksi primer baru 12


bulanterinfeksitoksoplasma

IgG CMV kronis

IgG rubella + untukproteksi

IgM untukinfeksiakut

IgM dan IgG merupakan antibody padatubuh ,kalo IgG CMV +


ditransfertransplacentapadaibumelahirkan

Kalo infertile lebihmenyebabkanabnormalitaspadajanindankarenaadanyatoksoplasma

10. Apakahpemeriksaanpenunjang yang lainnyauntukmengetahuiinfertilitaspadapriadanwanita?

Pada laki2 pemeriksaansperma, pf DM, Obesitas, testosterone,tiroid , FSH LH, PF UG


untukmengetahuivarikokeldll

Padaperempuanpemeriksaanovulasi, pemeriksaan lender cervic, suhubasal , endometrium, pemeriksaan


hormone, urinalisa, HSG ( histerosalphingografi) , laparoskopiuntukmemeriksa ,
kromotubasimemasukkanpewarnamelaluicervicdiamatibersamaandenganlaparoskopi

Pemeriksaan hormone

11. Bagaimanacaramencegahinfertilitas?

Mengobatiinfeksipada organ reproduksi

Menghindari bahan2 berbahaya : alcohol, rokok, radiasi

Perilakuhidupsehat

12. Jenis – jenisradiasi yang dapatmenyebabkaninfertilitas


13. Apakahupayapengobatan yang dilakukanolehdokter?

Keberhasilanterapitergatungpadainfertilitas, kaloinfeksi UG, klamidiadiobati dg antibiotic


jumlah spermatozoa yang bermasalahIAH(inseminasiartifisial )

Kelainanpadaovulasi :terapimedikamentosaklomifensitratdimunumoadaharike 5 haid

Edukasipada lai2 tentanggayahidup

Padaistri IgG tidakmasalahkarena IgM masih positive


14. Bagaimanakahcarauntukmengontrolpadapasien? (rancanganintervensi)
15. Hukumhamiltidakdengan Rahim sendiri? ( bayitabung, dll)
16. Budayaapaajauntukmengatasiinfertilitas?
17. Edukasipadapasieninfertilitas
18. Pandanganislammengenaiinfertilitas
19. Mengapatoksoplasmamenyebabkaninfertilitasterutamapadawanita?

STEP 7

1. Apa definisi infertilitas?


Infertilitas primer  jika sebelumnya pasangan suami istri belum pernah mengalami kehamilan.
Infertilitas sekunder  jikq pasangan suami istri gagal untuk memperoleh kehamilan setelah satu
tahun pascapersalinan atau pasca abortus, tanpa menggunakan kontrasepsi apapun.
Perempuan berusia 35 tahun atau lebih tidak perlu menunggu 1 tahun untuk dikatakan infertil,
minimal 6 bulan sudah cukup untuk melakukan pemeriksaan dasar mengenai masalah infertilitas.
Prawirohardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Infertility is defined as the inability of a couple to conceive within 1 year. Sterility implies an
intrinsic inability to achieve pregnancy, whereas infertility implies a decrease in the ability to
conceive and is synonymous with subfertility. Primary infertility applies to those who have never
conceived, whereas secondary infertility designates those who have conceived at some time in the
past.
Fecundity is the probability of achieving a live birth in 1 menstrual cycle. Fecundability is
expressed as the likelihood of conception per month of exposure. Fertility, as well as infertility, of
a woman or couple is best perceived as fecundability, as few infertile patients are sterile. It also
allows for a direct comparison of treatment options over a more functional time frame.
Sumber : Decherney, alan .H. 2006. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology.
National Institutes of Health : USA

2. Apa sajakah faktor yang mempengaruhi infertilitas?


Perempuan

Infertility can be due to either partner, or both. Overall, an etiology for infertility can be found in
80% of cases with an even distribution of male and female factors, including couples with
multiple factors. A primary diagnosis of male factor is made in approximately 25% of cases.
Ovulatory dysfunction and tubal/peritoneal factors comprise the majority of female factor
infertility. In 15–20% of infertile couples, the etiology cannot be found and a diagnosis of
unexplained infertility is made.

The success rates of treatment for infertility depends on a variety of factors, including cause of
infertility, woman's age, duration of infertility, and treatment modality. Health insurance plans
vary a great deal in the amount and type of infertility treatments that are covered. For those
couples without infertility coverage, treatment choices are dictated by medical and financial
considerations. Not uncommonly, infertility treatment does not actually make the difference
between conceiving and not conceiving, but allows for conception in the more immediate future
rather than at a delayed point of time (increasing fecundability).

Causes of Infertility

Male Factor Peripheral defects

Endocrine disorders Gonadal dysgenesis

Hypothalamic dysfunction Premature ovarian


(Kallmann's syndrome) failure
Pituitary failure (tumor, Ovarian tumor
radiation, surgery)
Ovarian resistance
Hyperprolactinemia (drug,
tumor) Metabolic disease
Exogenous androgens
Thyroid disease
Thyroid disorders
Liver disease
Adrenal hyperplasia
Renal disease
Anatomic disorders
Obesity
Congenital absence of vas
deferens Androgen excess,
Obstruction of vas deferens adrenal or neoplastic

Congenital abnormalities Pelvic Factor


of ejaculatory system
Abnormal spermatogenesis Infection

Chromosomal Appendicitis
abnormalities
Mumps orchitis Pelvic inflammatory
disease
Cryptorchidism Uterine adhesions
(Asherman's syndrome)
Chemical or radiation Endometriosis
exposure
Abnormal motility Structural abnormalities
Absent cilia (Kartagener's Diethylstilbestrol (DES)
syndrome) exposure
Varicocele Failure of normal fusion
of the reproductive tract
Antibody formation Myoma
Sexual dysfunction
Cervical Factor
Retrograde ejaculation
Congenital
Impotence

Decreased libido DES exposure

Müllerian duct
Ovulatory Factor abnormality
Acquired
Central defects
Surgical treatment
Chronic
hyperandrogenemic Infection
anovulation
Hyperprolactinemia (drug,
tumor, empty selia)
Hypothalamic
insufficiency
Pituitary insufficiency
(trauma, tumor, congenital)
Sumber : Decherney, alan .H. 2006. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology.
National Institutes of Health : USA

3. Apa hubungan antara suami perokok berat dengan keluhan belum punya keturunan?

ROKOK
Pengaruh rokok pada kesuburan wanita dipengaruhi oleh jumlah rokok yang dihisap per hari.
Menghisap rokok kurang dari 20 batang per hari akan menurunkan kesuburan hingga 25 %. Bila
lebih dari 20 batang per hari kesuburannya akan menurun hingga 50%.
Pada laki-laki, rokok dapat menurunkan kuantitas dan kualitas sperma, serta meningkatkan
jumlah sperma abnormal.
Parahnya bahaya akibat rokok tidak hanya mengintai perokok itu sendiri (perokok aktif) saja, tapi
juga orang lain yang ada disekitarnya (perokok pasif). Hal ini disebabkan oleh kandungan nikotin
pada asap rokok yang dihisap baik oleh perokok aktif maupun perokok pasif.
“Nikotin dapat meningkatkan amplitude gelombang uterotuba sehingga meningkatkan angka
kejadian kehamilan ektopik atau kehamilan diluar rahim,” jelas dr. Ratna.
Selain itu, nikotin juga meningkatkan prosentase kasus keguguran dan kelainan genetik,
seperti down syndrome.
Dalam seminar yang diadakan di Graha Amerta tersebut, juga menampilkan Dr. Hendy
Hendarto,dr.,Sp.OG, Dr. Budi Santoso,dr.,Sp.OG, Jimmy Yanuar Anas, dr.,Sp.OG, Hamdani
Lunardhi, dr.,SpAnd. Mkes, dan Relly Y. Primariawan, dr.,SpOG sebagai pembicara. Selain
membahas infertilitas, para pembicara tersebut juga membahas tentang penanganan infertilitas
dalam seminar kali ini. (kyn)

SUMBER : merokok tingkatkan risiko infertilitas, RSUD. Dr. Soetomo, diambil pada 6 mei
2013
http://rsudrsoetomo.jatimprov.go.id/id/index.php?option=com_content&view=article&id=3
58:merokok-tingkatkan-resiko-infertilitas&catid=55:artikel&Itemid=91

Asap rokok mengandung radikal bebas (karbonmonoksida, karbondioksida, oksida dari senyawa
nitrogen dan hidrokarbon). Radikal bebas adalah molekul yang mempunyai atom dengan elektron
yang tidak berpasangan. Radikal bebas tidak stabil dan mempunyai reaktivitas yang tinggi.
Reaktivitasnya dapat merusak seluruh tipe makromolekul seluler termasuk karbohidrat, protein,
lipid, dan asam nukleat
Kelebihan produksi radikal bebas atau oksigen yang reaktif (ROS, reactive oxygen species) dapat
merusak sperma, dan ROS telah diketahui sebagai salah satu penyebab infertilitas
Radikal bebas secaa fisiologis terdapat pada sperma manusia, dan timbulnya radikal bebas dalam
tubuh diimbangi dengan mekanisme pertahanan endogen, dengan memproduksi zat yang
mempunyai pengaruh sebagai anti radikal bebas yang disebut antioksidan, tetapi saat ROS
meningkat melebihi antioksidan tubuh, terjadilah stress oksidatif yang akan menyebabkan
kerusakan sel, jaringan, atau organ.
Pada kondisi stress oksidatif, radikal bebas dapat menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid
membran sel dan merusak organisasi membran sel. Stress oksidatif menyebabkan infertilitas
melalui efek negatifnya ke spermatozoa seperti hilangnya motilitas, peningkatan kerusakan
membran, penurunan morfologi, viabilitas, dan kemampuan spermatozoa.
Sebuah studi menyatakan bahwa merokok meningkatkan ROS dan menurunkan antioksidan di
cairan semen sehingga dapat menyebabkan kerusakan DNA dan apoptosis sel sperma. Radikal
bebas juga dapat menyebabkan terjadinya aglutinasi sperma sehingga terjadi penurunan motilitas
sperma. ROS dapat menyebabkan peroksida lipid pada membran plasma spermatozoa yang dapat
menimbulkan kegagalan fungsi spermatozoa yaitu hilangnya kemampuan untuk fertilisasi.
Membran plasma yang rusak menyebabkan meningkatnya permeabilitas membran sel pada
kepala spermatozoa sehingga banyak senyawa-senyawa yang tidak diinginkan dapat dengan
mudah masuk ke dalam sel. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan berupa pembengkakakn
dan perusakan bagian kepala spermatozoa sehingga menyebabkan kerusakan membran akrosom,
sehingga morfologi spermatozoa jadi abnormal
Pengaruh Merokok Terhadap Kualitas Sperma pada Pria dengan Masalah Infertilitas,
Universitas Indonesia

4. Apa hubungan obesitas dengan keluhan belum punya keturunan?


5. Apa hubungan suami mengkonsumsi alcohol dengan keluhan belum punya keturunan?

ALKOHOL
Sedangkan efek jangka panjang mengonsumsi alkohol bisa berdampak buruk bagi fungsi seksual
laki-laki, karena dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Hal ini
mengakibatkan hilangnya hasrat seksual, sulit mencapai orgasme dan bahkan berujung pada
impotensi.

Pria yang lama mengonsumi alkohol umumnya kurang mampu untuk mencari atau
mempertahankan pasangan seksualnya karena ia tidak bisa memberikan apa yang diinginkan
pasangan. Kondisi ini akan mempengaruhi kehidupan pribadi dan seksualnya.

Beberapa studi juga menunjukkan bahwa konsumsi alkohol dalam jangka waktu panjang bisa
membuat kadar hormon testosteron menurun. Selain itu enzim yang diproduksi oleh hati untuk
merusak alkohol juga diperlukan dalam produksi testosteron.

Jika seseorang mengonsumsi alkohol, maka enzim ini akan cenderung bertugas menghancurkan
alkohol daripada memproduksi testosteron. Kondisi ini membuat kadar testosteron menurun dan
menyebabkan gangguan dorongan seksual serta disfungsi ereksi.

SUMBER : merokok tingkatkan risiko infertilitas, RSUD. Dr. Soetomo, diambil pada 6 mei
2013
http://rsudrsoetomo.jatimprov.go.id/id/index.php?option=com_content&view=article&id=3
58:merokok-tingkatkan-resiko-infertilitas&catid=55:artikel&Itemid=91

Sistem reproduksi pria terdiri dari hipotalamus, kelenjar pituitari anterior, dan testis. Alkohol
dapat mengganggu fungsi dari masing-masing komponen. Dalam testis, alkohol dapat
mempengaruhi sel leydig, yang memproduksidan mengeluarkan hormon testosteron. Studi
menemukan bahwa hasil konsumsi alkohol berat kadar testosteron berkurang dalam darah.
Alkohol juga mengganggu fungsi sel sertoli yang memainkan peran penting dalam pematangan
sperma. Di kelenjar hipofisis, alkohol dapat menurunkan produksi, rilis, dan/atau kegiatan dua
hormon dengan fungsi reprodusi kritis, LH dan FSH. Akhirnya alkohol dapat mengganggu
produksi hormon di hipotalamus.
Pengaruh Merokok Terhadap Kualitas Sperma pada Pria dengan Masalah Infertilitas,
Universitas Indonesia

6. Apa hubungan kebiasaan berendam air panas dengan belum memiliki keturunan?
Suatu studi di Beijing, Cina menunjukkan bahwa kriptorkismus buatan atau pajanan panas lokal
testis dapat memicu oligospermia reversibel melalui apoptosis sel benih. Percobaan testis monyet
dengan pemanasan lokal pada 43 derajat Celcius air untuk 2 hari berturut-turut (30 menit per hari)
menunjukkan bahwa jumlah sperma dalam air mani menurun hingga 80% dan pada 28 hari
sepenuhnya reversibel. Temuan ini telah memberikan dasar teoritis yang penting bahwa pajanan
panasyang berlebihan pada testis dapat menurunkan kualitas spermatozoa pada manusia termasuk
penggunaan sauna atau bak mandi panas.
Pengaruh Merokok Terhadap Kualitas Sperma pada Pria dengan Masalah Infertilitas,
Universitas Indonesia

7. Apa hubungan suami memiliki riwayat UG 3 tahun yang lalu dengan infertilitas?
Infeksi genital pria dapat menyebabkan oklusi sistem kanalikuler saluran genital, dapat merusak
sel epitel yang terlibat dalam spermatogenesis dan dapat merangsang reaksi imund engan
menghasilkan antibodi antisperma.
Pengaruh Merokok Terhadap Kualitas Sperma pada Pria dengan Masalah Infertilitas,
Universitas Indonesia

8. Jelaskan hubungan riwayat KB dengan Infertilitas?

Menurut Ingerslev penyebab infertilitas ada lima kelompok yaitu faktor anatomi, endokrin,
suami, kombinasi, dan tidak diketahui (unexplained infertility).9 Sebanyak 40-50% infertilitas
sekunder disebabkan oleh faktor wanita (disfungsi ovulasi).10 Penelitian sejumlah spesialis
infertilitas Barat menemukan adanya faktor antibodi antisperma pada wanita bisa memicu
kegagalan kehamilanpada penyebab yang tidak diketahui. Diduga penggunaan kontrasepsi
hormonal dalam jangka waktu tertentu jadi penyebab meningkatnya antibody antisperma.11

Franklin dan Dukes menemukan kadar antibody antisperma yang tinggi dalam serum
wanita infertil. Antibody imobilisasi sperma baik dalam serum maupun dalam saluran reproduksi,
dibawakan oleh kelas IgG. Sel sperma difagosit oleh makrofag yang ada pada saluran reproduksi
wanita, kemudian diproses dan dibawa ke daerah kelenjar limfe untuk dipersentasikan kepada
limfosit T maupun B, sehingga terjadi antibody antispema baik dalam sirkulasi darah maupun
dalm getah serviks.12 Sperma akan teraglutinasi dalam berbagai corak/tipe, baik tipe head to head,
tail to tail maupun tail to head agglutination sehingga sperma tidak mampu melanjutkan
perjalanannya ke tuba Fallopii. Meskipun terkadang ada sperma yang lolos dan sampai tuba
Falopii namun tidak mampu menembus ovum karena disebabkan oleh akrosomnya terhalang
antibodi antisperma.12

Hasil penelitian M. Blum dan teman-teman di Netherlands (1989) pada 35 wanita muda
pengguna kontrasepsi oral (kelompok A) dan dua puluh empat non-pengguna (kelompok B)
dibandingkan usia dan latar belakang terhadap adanya antibodi antisperm serum, dimana terdapat
peningkatan frekuensi antibodi antisperma pada serum pengguna kontrasepsi oral.13
Pada pasangan yang menggunakan kontrasepsi hormonal terjadi pembentukan antibodi terhadap
sperma yang semakin lama kadarnya semakin tinggi dan pertahanannya semakin kuat. Diduga,
inilah pemicu utama kesulitan mendapatkan keturunan. Dengan kata lain, dalam tubuh si wanita
telanjur timbul “kontrasepsi alami”, atau tercipta antibodi kuat penolak kehadiran sperma yang
hendak membuahi sel telurnya. Kalaupun sampai terjadi pembuahan, bisa jadi, akan membentuk
efektor imun lebih dahsyat yang mampu menimbulkan peradangan terhadap janin dan plasenta
yang mulai berkembang dalam rahim sang ibu sehingga berujung pada keguguran.10 Pada
penelitian tentang hubungan lama penggunaan kontrasepsi oral berkaitan dengan kesuburan
ditemukan asosiasi terkuat setelah 3-5 tahun penggunaan. Hal ini sesuai dengan laporan Majalah
Health Journal memaparkan hal baru tentang kasus infertilitas, sebanyak 48% perempuan muda
yang menggunakan pil antihamil selama 2-4 tahun, mengalami sulit hamil saat menginginkan
anak pertama.
https://www.academia.edu/6512648/Artikel_dien_KONTRASEPSI_HORMONAL_DAN_I
NFERTILITAS_SEKUNDER_ok

9. Apa interpretasi dan hubungan dari pemeriksaan penunjang (IgG + pada toksoplasma,
rubella, CMV, IgM + pada toksoplasma)?

RESPONS IMUN terhadap infeksi CMV


Respons imun terhadap infeksi CMV sama seperti terhadap virus pada umumnya, bersifat
kompleks yang
meliputi baik faktor atau komponen yang berperan dalam respons imun seluler maupun humoral.
Kontrol yang cepat, segera pada infeksi akut dilakukan oleh sistem imun yang diperantarai sel
yaitu sel NK (natural killer), sel T CD8+ dan dengan bantuan sel T CD4+. Sel NK, anggota
limfosit nonT-nonB yang beredar dalam sirkulasi darah dan jaringan, merupakan komponen
nonspesifik dari sistem imun bawaan, akan mengenal sel inang yang terinfeksi virus, kemudian
menghancurkan sel tersebut dengan cara lisis proteolitik. Pada awal infeksi akut, dalam respons
imun spesifik, antigen virus diproses oleh makrofag antigen presenting cells (APC),
dipresentasikan ke sel limfosit T CD4+ (T helper) yang memproduksi sitokin dan memicu
proliferasi klon tunggal sel T sitotoksik atau sitolitik (CD8+) yang tersensitasi. Sel T CD8+ yang
teraktivasi kemudian secara spesifik akan menghancurkan sel inang yang mengekspresikan
antigen virus yang berikatan dengan major histocompatibility complex (MHC) atau human
leucocyte antigen (HLA) kelas I di permukaan sel.
MHC atau HLA kelas I dijumpai pada hampir semua sel berinti. Respons imun ini ditargetkan
terhadap bermacam antigen seperti protein IE1, IE2, gB dan pp65. Sel T-CD4+ spesifik juga
memegang peran penting di dalam mengontrol infeksi virus dengan cara melepaskan interferon γ
( IFN-γ ) yang kemudian mengaktifkan makrofag sebagai fagosit. Imunitas yang diperantarai sel
ini memegang peran utama untuk menekan aktivitas virus yang menetap secara laten.
Respons imun humoral terbentuk karena fragmen antigen yang berikatan dengan molekul MHC
kelas II dipresentasikan oleh APC kepada limfosit T-CD4+. Produksi sitokin terpacu untuk
mengaktifkan sel B, kemudian sel B berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang
menghasilkan antibodi atau imunoglobulin. IgM muncul pertama kali, setelah itu dengan mutasi
somatik yang terjadi pada limfosit B yang terstimulasi antigen, maka akan terjadi isotype
switching dan terbentuk isotype immunoglobulin yang lain seperti IgG, IgA., IgE, IgD. Antibodi
yang terbentuk pada awalnya memiliki kekuatan mengikat antigen yang masih lemah, selanjutnya
terjadi affinity maturation terhadap sebagian dari sel B, sehingga menghasilkan antibodi yang
mampu mengikat antigen dengan kuat. Kekuatan ikatan antibodi terhadap antigen ini disebut
high-affinity dan high avidity. Antibodi IgG adalah yang paling utama melakukan neutralisasi dan
eliminasi terhadap CMV yang beredar dalam sirkulasi. IgG tersebut adalah antibody anti-gB
(anti- glikoprotein B) yang merupakan antibodi terhadap antigen paling imunogenik dari envelope
CMV.
Suatu infeksi dinyatakan baru terjadi, bila serum antibodi IgM spesifik positif pada fase akut
penyakitatau terdapat peningkatan serum antibodi IgG spesifik sampai lebih dari atau sama
dengan 4 x antara periode akut dengan masa konvalesen. IgM dijumpai dalam minggu pertama
infeksi primer, dan menjadi tidak terdeteksi setelah 1-3 bulan. IgG spesifik muncul 1 sampai 2
minggu setelah infeksi primer, mencapai puncak 4 – 8 minggu, kemudian menurun, namun tetap
terdeteksi dalam kadar rendah sepanjang hidup.
Respons imun sekunder pada infeksi ulang, reaktivasi atau reinfeksi, memberi profil respons yang
berbeda, karena peran dari sel memori. IgM muncul kembali dengan titer yang lebih rendah dari
infeksi primer, sebaliknya IgG spesifik sudah dapat terdeteksi pada awal serangan penyakit
dengan kadar yang naik cepat, mencapai puncak yang lebih tinggi serta mempunyai kekuatan
mengikat antigen yang lebih baik dibandingkan infeksi primer.

Dikutip dari Abbas.

Respons imun pada fetus dan. anak


Respons imun diperantarai sel terbentuk 1 minggu sebelum respons humoral, mencapai puncak
sama dengan respons humoral. Respons imun seluler mulai dapat terdeteksi dengan baik pada
umur fetus 22 minggu. Aktivasi dan diferensiasi sel T CD4+ dapat terjadi, meskipun kemampuan
untuk menghasilkan IFN-γ masih lemah. Hasil suatu studi menyatakan bahwa peran sel T CD4+
spesifik dengan frekuensi yang tinggi pada neonatus memungkinkan terjadi stimulasi terhadap
imunitas seluler, sehingga infeksi CMV kongenital bersifat asimtomatik.
Respons imun humoral dimulai pada 9 – 11 minggu kehamilan, namun kadar antibodi dalam
sirkulasi tetap rendah sampai pertengahan kehamilan, kecuali terdapat virus dalam titer tinggi dan
ada perkembangan reseptor antigen di permukaan sel. Pada keadaan ini, kadar antibodi meningkat
dengan predominan IgM. Pada infeksi kongenital, IgG maternal dapat menembus plasenta masuk
ke sirkulasi fetus, sedangkan IgM atau IgA yang terdeteksi pada darah tali pusat neonatus,
menunjukkan bahwa antibodi tersebut diproduksi oleh fetus atau bayi sendiri yang terinfeksi
secara vertikal dari ibu. Pada reaktivasi, antibodi anti-CMV terbentuk adekuat, sebaliknya terjadi
defek imunitas yang diperantarai sel dengan penurunan jumlah sel NK dan T CD8.+
KEWASPADAAN TERHADAP INFEKSI CYTOMEGALOVIRUS SERTA KEGUNAAN
DETEKSI SECARA LABORATORIK, M.A. Lisyani Budipradigdo Suromo

Pemeriksaan pertama yang dilakukan untuk mendeteksi toksoplasmosis pada wanita hamil
adalah pemeriksaan IgG dan IgM.

 IgG positif dan IgM negatif,  imunitas pada penderita.


 Bila hasil positif pada IgG dan IgM  terjadi infeksi primer atau infeksi lama dengan sisa
IgM. Keadaan ini perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan Aviditas IgG. Bila aviditas IgG
tinggi, menunjukkan infeksi didapat lebih dari empat bulan yang lalu. Bila tes dilakukan
pada paruh kedua kehamilan, perlu dilihat titer dari IgG. Bila titer IgG rendah,
menunnjukkan infeksi yang lama. Sedangkan bila titer IgG tinggi, kemungkinan ada infeksi.
Ini memerlukan tes konfirmasi, baik IgG maupun IgM. Setelah itu, baru diagnosis prenatal
ditentukan, dilakukan pengobatan, serta evaluasi pada ibu dan bayi. Hasil dengan aviditas
IgG yang rendah menunjukkan infeksi didapat kurang dari empat bulan.
Selanjutnyadilakukan tes konfirmasi pula2.
 IgG dan IgM negatif. Ini menunjukkan tidak adanya imunitas pada penderita sehingga perlu
dilakukan evaluasi terus sampai akhir kehamilan2.
 Bila IgG dan IgM positif, menunjukkan adanya infeksi primer di mana perlu dilakukan
pengobatan dan evaluasi pada ibu maupun bayinya.
 IgM positif dengan IgG negatif menunjukkan adanya infeksi baru, kemudian dilakukan
pemeriksaan lagi dua sampai tiga minggu kemudian. Jika hasil menjadi negatif,
menunjukkan bahwa IgM yang terdeteksi tidak spesifik2.
RUBELLA
Strategi pemeriksaan yang dilakukan untuk pencegahan rubella adalah melakukan
pemeriksaan IgG.
 Bila hasil positif, menunjukkan adanya imunitas pada penderita. Bila hasil negatif,
menunjukkan tidak adanya imunitas pada penderita dan perlu dilakukan pemeriksaan
lanjutan pada 17 sampai 20 minggu kehamilan .
 Bila IgG menjadi positif, perlu dilakukan pemeriksaan IgM. Bila IgM positif, menunjukkan
adanya infeksi primer. Bila IgM negatif, perlu dilakukan pemeriksaan ulang. Bila
pemeriksaan ulang IgG memberi hasil negatif, hal ini menunjukkan tidak adanya infeksi.
Infeksi primer yang terjadi pada kehamilan kurang dari 17 minggu akan menimbulkan risiko
pada janin sehingga dipertimbangkan dilakukan abortus medicinalis2.
Menurut Roussis dkk., seseorang yang kemungkinan ada kontak dengan rubella, apabila
didapatkan peningkatan yang signifikan dari IgM, menunjukkan adanya infeksi akut. Jika
kontak terjadi dalam satu minggu dengan IgM negatif, pemeriksaan perlu diulang dua
sampai tiga minggu. Jika hasilnya negatif, berarti tidak ada infeksi. Jika ada kontak dan
pemeriksaan pertama IgG negatif, maka dilakukan pemeriksaan ulangan dua sampai tiga
minggu lagi. Jika titer meningkat sampai empat kali, menunjukkan adanya infeksi akut. Jika
pada pemeriksaan pertama tersebut IgG positif dan terdapat peningkatan titer empat kali
pada pemeriksaan ulang jarak dua sampai tiga minggu, menunjukkan adanya infeksi akut
atau merupakan reinfeksi4.

Cytomegalovirus, dilakukan pemeriksaan terhadap IgG anti CMV.


 Bila hasil negatif, perlu dilakukan tindakan pencegahan. Yaitu, untuk wanita dengan risiko
tinggi perlu dilakukan pemeriksaan ulang IgG pada akhir kehamilan. Bila IgG tetap negatif
berarti tidak ada infeksi, tetapi bila positif perlu dilakukan tes konfirmasi dengan memeriksa
IgG, IgM, dan tes aviditas IgG.
 Bila IgG dan IgM positif dengan aviditas IgG yang rendah, hal ini menunjukkan adanya
infeksi primer. Pelu dipertimbangkan Sectio Caesar pada proses persalinannya2,4.

Herpes simplek,
baik HSV 1 maupun HSV 2. Bila IgG negatif, perlu dilakukan pemeriksaan ulang pada akhir
kehamilan.
 Jika hasil tetap negatif, berarti tidak ada infeksi. Tetapi, bila hasil menjadi positif
manunjukkan adanya serokonversi infeksi primer. Selain itu, bila hasil pemeriksaan pertama
negatif, perlu dilakukan pemeriksaan pada pasangannya. Jika pasangannya IgG positif maka
perlu diberi penyuluhan masalah cara penularan virus. Untuk pencegahan, dianjurkan
pemakaian kondom dan menghindari kontak urogenital2.
 Pada wanita hamil dengan simptomatik herpes, perlu diperiksa IgG anti HSV 2. Jika hasil
negatif maka dilakukan pemeriksaan ulang dua minggu kemudian. Jika hasil menjadi positif,
menunjukkan adanya infeksi primer. Dari pemeriksaan pertama dengan hasil IgG positif,
menunjukkan adanya infeksi rekuren2.
Babil Stray-Pedersen. Infeksi TORCH pada kehamilan. Forum Diagnosticum. Oslo :
Department of obstetrics and Gynaecology,1997 : 1-7

10. Apakah pemeriksaan penunjang yang lainnya untuk mengetahui infertilitas pada pria dan
wanita?

Investigation and Treatment of Male Infertility


If the semen analysis is abnormal, inquiry should be made concerning the presence of the
following factors, any of which can produce abnormal sperm quality and
quantity.
1. History of testicular injury, surgery, or mumps.
2. Exposure to excessive heat. A small rise in scrotal temperature can adversely affect
spermatogenesis, and a febrile illness can produce striking changes in
sperm count and motility. The effect of the illness can be seen in the sperm count and motility
even 2–3 months later. This reflects the 74 days required for a
spermatozoon to be generated from a primary germ cell. Environmental sources of heat, such as
the use of jockey shorts instead of boxer shorts, excessively
hot baths, hot tubs, or occupations that require long hours of sitting; e.g., long distance truck
driving, may all decrease fertility potential; however, none of these
factors has ever been substantiated by clinical study. 54
3. Severe allergic reactions.
4. Exposure to radiation or to industrial or environmental toxins Those who believe there is a
downward trend in sperm counts commonly place blame on
environmental pollutants or chemicals, including chemicals that mimic the effects of estrogen. A
study from Scandinavia did show lower sperm counts in males
from an urban area compared to males in rural areas, suggesting an effect of urban pollutants. 55
More direct evidence of a deleterious effect of environmental
hazards is difficult to obtain because there is a reluctance of workers to produce the serial semen
specimens that would be required for a thorough industrial
study. In any case, the clinician should determine if a male with an abnormal semen specimen has
had exposure to industrial or environmental toxins.
5. Heavy marijuana and alcohol use can depress sperm counts and testosterone levels. Marijuana
inhibits the secretion of GnRH and can suppress reproductive
function in both men and women, and cocaine use is known to reduce spermatogenesis.56, 57
There is no evidence to indicate that moderate alcohol intake
affects fertility.58 There is good evidence that fecundity is reduced in women who smoke, and
this is probably true for men as well, although not all studies
agree.59, 60 and 61 Studies have failed to confirm an adverse impact of caffeine on fertility,
although high levels of intake may be associated with a delay in
conception.62, 63
Certain drugs, including cimetidine, spironolactone, nitrofurans, sulfasalazine, erythromycin,
tetracyclines, anabolic steroids, and chemotherapeutic agents, can
depress sperm quantity and quality. Cephalosporins, penicillins, quinolones, and the combination
of sulfamethoxazole and trimethoprim are relatively safe to
use when there is concern about effects on sperm.64 Neurologic ejaculatory dysfunction can be
caused by a-blockers, phentolamine, methyldopa, guanethidine,
and reserpine. Resumption of spermatogenesis has been reported to occur within 2 years
following discontinuation of anabolic steroids; however, it is not known
whether all individuals will return to normal function. 65
6. Coital frequency. Counts at the lower levels of the normal range may be depressed to below
normal levels by ejaculations occurring daily or more frequently.
Conversely, abstinence for 10–14 days or more to save up sperm may be counterproductive
because the gain in numbers can be offset by the lower motility
produced by the increased proportion of older sperm. For most couples, coitus every 36 hours
around the time of ovulation will give the optimal chance for
pregnancy. However, studies in men with oligospermia fail to detect a decline in sperm numbers
with sequential ejaculations, suggesting that limitations on coital
frequency are not necessary. 66, 67
7. Exposure to diethylstilbestrol in utero has been suggested, but not proven, as a cause of male
infertility. 68 Indeed, in the largest follow-up of men born to the
women treated with diethylstilbestrol, no impairment of fertility or sexual function was detected.

Varicocele
A varicocele is an abnormal tortuosity and dilatation of the veins of the pampiniform plexus
within the spermatic cord. Approximately 20% to 40% of infertile males,
depending on the zeal of the search, have a varicocele, usually on the left side because of the
direct insertion of the spermatic vein into the renal vein. Varicoceles, in
all likelihood, exert their effects by raising testicular temperature, an effect mediated by increased
arterial blood flow. 86
Approximately 10–15% of males in a general population have a varicocele on physical
examination, but there is no evidence that males with normal semen
characteristics need treatment even if a varicocele is present. They should be checked
periodically, however, to be sure that there is no deterioration in their semen
characteristics.
It has been difficult to perform randomized studies of varicocele repair. A trial in Melbourne,
Australia, failed because of poor compliance. 87 Because the authors told
their patients that varicocele repair might not make a difference, only 283 of 651 men chose to
have it done. In those who had the repair, the only impact on the
semen analysis was an improvement in motility from 33.5% to 39.3%, the classically reported
finding. The same change, however, was noted in the nonoperated
group, and the pregnancy rates in both the operated and nonoperated groups were the same! A
small randomized trial in Germany observed a significant increase in
sperm concentration in the treated group, but the pregnancy rates were the same in both treated
and non-treated groups. 88 However, varicocele is more commonly
found in men with abnormal semen, and there is evidence that a varicocele may exert an
increasingly deleterious effect over time. 89
Ligation of varicoceles results in a 30–35% pregnancy rate. Although the beneficial effects of
treatment of varicocele have been disputed by some investigators who
found equal results without treatment, current clinical practice supports the utilization of
varicocele ligation in those males who have infertility and an impaired semen
specimen.86
Larger varicoceles exert a greater effect than small ones. Very small varicoceles, diagnosed only
by ultrasound, are not worth treating. Decreased size of the left
testicle together with a varicocele is associated with a worse prognosis with treatment compared
with cases in which the testicles are of normal size. Although surgical
interruption of the internal spermatic vein is the usual treatment for clinically apparent
varicoceles, there is also a nonsurgical approach that utilizes embolization to
occlude the vein.86
Reactive Oxygen Species
Increased levels of reactive oxygen species can cause damage to the sperm membrane.90
Substances such as peroxidase and hydrogen peroxide can be released by
abnormal sperm and by white blood cells, and when elevated levels of leukocytes are present in
the semen (with a negative culture), treatment with vitamin E and
glutathione is advocated. 91, 92

Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI)


ICSI, the direct injection of a single spermatozoon or spermatid into the cytoplasm of an oocyte
(described in Chapter 31), was first described in 1992.119 The results
have been nothing short of amazing, with pregnancy rates equal to or slightly surpassing the
normal fecundity rate. 120, 121 Pregnancy rates are independent of any
semen analysis parameter (number, motility, morphology). All that is required is the DNA
material, and this can be derived from a barely moving spermatozoon or in
men with no spermatozoa or spermatids in the semen analysis from a spermatid (or spermatocyte)
obtained by epididymal aspiration or from a biopsy of the
seminiferous tubules.122, 123 and 124
Although ICSI avoids the natural process of sperm selection, the chromosomal abnormality rates
in the offspring have been equal to the rate in the general
population, with the exception of a slight increase in minor sex chromosome abnormalities (that
could pass the male infertility problem to children), and, thus far,
growth and development of the children have been normal.

Female

The Postcoital Test


The postcoital test provides information regarding both the receptivity of cervical mucus and the
ability of sperm to reach and survive in the mucus. Estrogen levels
peak just prior to ovulation, and this provides maximal stimulation of the cervical glands. An
outpouring of clear, watery mucus is fostered, which may be of sufficient
quantity to be noted by the woman. Earlier in the cycle, when estrogen output is lower, and
starting 2 to 3 days after ovulation when progesterone levels increase and
counteract the estrogen, the mucus is thick, viscid, and opaque.
The postcoital test is performed around the time of the expected luteinizing hormone (LH) surge
as determined by a previous basal body temperature chart or by the
length of prior cycles. Timing also can be obtained with ultrasonography and LH monitoring, but
this usually is not necessary. Between 2 and 8 hours after coitus,
cervical mucus is removed with a nasal polyp forceps or tuberculin syringe and examined for
macroscopic and microscopic characteristics. Attempts to refine the
postcoital test by studying individual fractions from different levels in the cervical canal, with
emphasis on the sample from the internal os, have not produced
convincing evidence of value. Sperm distribution is uniform throughout the cervical canal, and
selective sampling at the level of the internal os is not necessary. less than 2-hour interval
between coitus and examination has been recommended as giving maximal information, but this
early evaluation may be deceptive because
complement dependent reactions in mucus, which can immobilize sperm may not be apparent for
a few hours. Others have suggested that a 16- to 24-hour interval
provides a better assessment of sperm longevity, and a study has indicated that there is no drop in
the number of sperm at any time during the first 24 hours. 77 There
are other indications, however, that the number of sperm does decrease after 8 hours, and this is
more in keeping with our experience. Therefore, we suggest that the
couple have coitus in the morning or late at night, and that the test be performed 2 to 8 hours later.
It is also suggested that the couple abstain from intercourse for 48
hours prior to the postcoital test.
The need for scheduling the postcoital test at precise times in the cycle may produce problems for
the couple who cannot have sex on demand. This may further
burden a couple already troubled by the need to cope with their infertility and the loss of control
involved in the infertility investigation. A physician must be
sympathetic to this problem, and on occasion, precise timing must be sacrificed and the woman
told to come to the office following unscheduled intercourse.
The stretchability (spinnbarkeit) of the mucus at midcycle should be 8–10 cm or more. This
characteristic can be assessed as the mucus is pulled from the cervix, or
alternatively, by placing the mucus on a slide, covering it with a coverslip and then lifting the
coverslip. At midcycle the mucus contains 95–98% water and should be
watery, thin, clear, acellular, and abundant. When dried on a slide, it should form a distinct fern
pattern.
If the mucus is thick rather than thin, opaque instead of clear, the proximity of the test to
ovulation should be determined by the onset of the next period (or by the
temperature chart if one is being taken during that cycle). The best time for the postcoital test is
the day prior to the first temperature elevation. If poor mucus quality is
related to inaccurate timing, the test should be repeated in a subsequent cycle with scheduling
based on urinary LH testing. Poor mucus at midcycle can be a physical
barrier that decreases sperm penetration. In one study 54% of women with good mucus became
pregnant, compared to 37% with poor mucus, a statistically
significant difference.78 In all likelihood some of these poor tests were reflections of inaccurate
timing, and pregnancies do occur even with poor mucus at ovulation
time.79 It remains our impression, however, that poor mucus is associated with a decreased
chance for fertility.
Treatment of poor mucus has been attempted by giving 0.625 mg of conjugated estrogens daily
for the 8 or 9 days preceding the expected time of ovulation. In a
28-day cycle that would be between days 5 and 13. There is no advantage to continuing the
hormone treatment through the luteal phase of the cycle. If the initial
treatment with estrogen fails to produce a change in the mucus, the dose is increased to 1.25
mg/day. In refractory cases, 5 mg of conjugated estrogens can be given
starting a few days prior to expected ovulation. However, evidence for the value of estrogen
therapy is lacking, and it has no demonstrable benefit for the poor mucus
which is, on occasion, associated with the use of clomiphene citrate. 80 If there is evidence of
chronic cervicitis with thick yellowish mucus, culture for chlamydia is
important, and, where appropriate, systemic antibiotics should be used. On rare occasions, the
cervix is treated with electrocautery or cryosurgery.
The most logical approach to overcome the barrier of thick cervical mucus is the method we
prefer, the use of intrauterine insemination (IUI) of washed sperm
(discussed below and in Chapter 29). If poor mucus is the sole problem, IUI for 3–4 cycles is
associated with a cumulative pregnancy rate of 40–50%. 81
In addition to providing an evaluation of mucus, the postcoital test also gives information
concerning the male. Absence of sperm requires a review of the couple's
coital technique. Repeated cancellations of appointments for the postcoital test may be a clue that
there are sexual problems that have not been uncovered by the
interview. However, most often the stress of performance for the scheduled postcoital test is
responsible for the failure to achieve coitus. Most importantly, absence of
sperm necessitates a detailed review of the semen specimen.
One of the most difficult problems in infertility is the postcoital test that repeatedly shows no
sperm or only dead sperm despite good mucus. The patient should be
cautioned that lubricants, such as K-Y Jelly and Surgilube, have a spermicidal effect in vitro and
should not be used by infertile couples. If lubrication is necessary,
vegetable oil can be used without interfering with sperm movement. As noted earlier, re-
examination of the semen to check sperm count and motility is a necessity if
the postcoital test is poor.
If the semen is normal, the pH of the cervical mucus at midcycle should be determined. Good
results have been reported using a precoital douche of 1 tablespoon of
sodium bicarbonate in 1 quart of water when a poor postcoital test was associated with a pH
below 7. 82 Cervical cultures should be obtained for chlamydia if the
mucus is yellowish, and sperm antibody testing should be performed in cases where there are no
sperm or mostly nonmotile sperm. In addition, sperm antibody
testing (Chapter 29) is mandatory when, in a postcoital test with good mucus, the sperm are found
shaking in place but not moving progressively. This shaking
movement is a common finding in immunologic infertility.
In vitro cross testing, utilizing donor or bovine mucus and donor sperm, can help to determine
whether the poor postcoital test is due to factors in the mucus or to
defects in the sperm. However, in clinical practice this type of testing has little value because the
next step is treatment with IUI regardless of results with cross
testing.
A postcoital test cannot be considered a substitute for a semen analysis. While 21 or more
sperm/high power field (HPF) is almost always associated with a sperm
count above 20 million/mL, the postcoital test gives little information concerning the morphology
of sperm in the ejaculate. There are considerably fewer abnormal
forms in the cervical mucus compared to the ejaculate. This may represent a filtering effect of the
cervical mucus or may indicate that abnormal forms do not have the
motility to penetrate the cervical mucus.

Hysterosalpingography
A history of pelvic inflammatory disease, septic abortion, ruptured appendix, tubal surgery, or
ectopic pregnancy alerts the physician to the possibility of tubal damage.
Pelvic inflammatory disease is unquestionably the major contributor to tubal infertility and
ectopic pregnancies. Westrom's classic studies with laparoscopically
confirmed pelvic inflammatory disease indicated that the incidence of subsequent tubal infertility
is approximately 12% after one episode of pelvic infection, 23% after
two episodes, and 54% after three episodes. 87 The risk of ectopic pregnancy is increased 6–7-
fold after pelvic infection. Almost one-half of patients who are
eventually found to have tubal damage and/or pelvic adhesions, however, have no history of
antecedent disease. Many of these women will have elevated
anti-Chlamydia antibodies, suggestive of prior infection. There have been a few reports of
damaged tubes showing histologic evidence of viral infection which could
explain the absence of traditional causes of tubal damage.
Tubal disease is diagnosed by the hysterosalpingogram (HSG) and by laparoscopy. The HSG is
performed 2 to 5 days after cessation of a menstrual flow. If there is a
history suggestive of pelvic inflammatory disease, a sedimentation rate is obtained prior to the
HSG and, if elevated, antibiotic therapy is given. The procedure is than
postponed for a month when a repeat sedimentation rate is obtained. Only if this is normal is the
HSG scheduled. If masses or tenderness are revealed by the pelvic
examination at any time, the HSG should be bypassed and the pelvis evaluated by laparoscopy. If
there is a documented history of pelvic inflammatory disease, the
risk of a serious reinfection following HSG is too high, and it should be replaced by laparoscopy.
If an HSG is performed in a patient who is at questionable risk for
infection, a water-soluble rather than an oil dye should be used because of the faster absorption.
The overall risk of infection with HSG is probably less than 1%,
although in a high-risk population serious infection can occur in approximately 3% of cases. 88
Clinically apparent infections were not present in 398 women who had
nondilated tubes on HSG; however, 11% of those with dilated tubes developed pelvic
inflammatory disease following an HSG. 89 Doxycycline, 200 mg after the
procedure, can be administered if the tubes are dilated, followed by 100 mg bid for 5 days. Many
clinicians routinely administer prophylactic antibiotics (doxycycline,
100 mg bid for 5 days, beginning 2 days before the procedure).
HSG should be performed under image intensification fluoroscopy, and a minimal number of
films taken. Too often, multiple oblique views are taken to delineate small
filling defects in the uterus that are of no clinical significance. In our experience, the oblique films
are of little help even in diagnosing tubal patency. Only 3 films are
usually required — a preliminary before dye is injected, a film showing spill of dye from one or
both tubes, and a delayed film to show spread of dye through the
peritoneal cavity. The dye can be injected either using a classic Jarcho cannula with a single-tooth
tenaculum, or its more modern variants through a cannula
contained within a suction apparatus that attaches to the cervix, or by using a pediatric Foley
catheter threaded through the cervix into the uterus. Use of a
prostaglandin synthesis inhibitor 30 minutes prior to the procedure can decrease the pain many
women experience with HSG.
The dye should be injected slowly so that abnormalities of the uterine cavity are not missed. This
is of special importance in diethylstilbestrol-exposed women, many
of whom have abnormalities of uterine contour. Usually no more than 3 to 6 mL of dye are
required to fill the uterus and tubes. If the patient complains of cramping,
the injection of dye should be stopped for a few minutes and fluoroscopy temporarily
discontinued. Spasm is rare with Ethiodol, an oil dye that is our preferred
medium; if it does occur, slow injection with pauses is helpful. If the tubes fill but dye droplets do
not spill from the ends of the tubes, the uterus should be pushed up
in the abdomen by means of the tenaculum or suction cup. This puts the tubes on stretch and may
help to release dye from the fimbriated ends. The droplets seen
coming from the tube are the result of mixing of the oil dye and peritoneal fluid. On occasion,
injection of dye into a hydrosalpinx will produce a similar pattern, and a
delayed film to show loculation of dye is crucial in differentiating this condition from normal spill
where the dye is distributed throughout the pelvis.

Hysteroscopy
Hysteroscopy is a technique that complements hysterosalpingography. Direct visualization of the
uterine cavity with a hysteroscope is good for differentiating between
endometrial polyps and submucous leiomyomas, establishing the definitive diagnosis and
treatment of intrauterine adhesions, and for the diagnosis and treatment of
intrauterine congenital anomalies. One can argue from a cost-effective point of view that
hysterosalpingography and sonohysterography are more useful screening
procedures. The hysteroscope should be reserved to pursue abnormalities identified by other
techniques, especially when operative intervention is planned.
Falloposcopy
Because of its narrow and tortuous character, it has been difficult to pass probes via the uterine
cavity into the fallopian tube. This problem was overcome by the
development of self-seeking guidewires and the adaptation of techniques used for coronary
angioplasty. Hysteroscopic directed falloposcopy can be utilized to
transvaginally examine the entire length of the tubal lumen. 103 This technique requires
considerable expertise, but it has verified that the tubal ostium can undergo
spasm, and intraluminal debris is present that can be a cause of tubal obstruction. The latter can
be cleared by cannulation or balloon tuboplasty, or even be by
hysterosalpingography. Visualization of the inner aspect of the tube can also be accomplished
from the distal end of the tube at the time of laparoscopy.
Falloposcopy, originating at either end of the tube, can provide a good assessment of the tubal
lining, indicating the prospect of success with tubal surgery.
Outpatient Canalization of the Tube
Proximal tubal obstruction can be treated by outpatient tubal cannulation or balloon tuboplasty.
Transcervical tuboplasty can be performed by either a fluoroscopic or
hysteroscopic approach, although most of the experience thus far is with the fluoroscopic
technique. 104, 105 and 106 Discomfort can be minimized with intravenous
sedation and a paracervical block. Cannulation and balloon tuboplasty success is achieved in at
least one tube in 80–90% of attempts. Approximately 30% of patients
will become pregnant in the 3–6 months following the procedure. The advantage of these
accomplishments is the avoidance of expensive surgery or assisted
reproductive technology.
Disorders of Ovulation
Disorders of ovulation account for approximately 20% of all infertility problems in couples.
These can be anovulation or severe oligoovulation. In the latter cases, even
though ovulation does occur, its relative infrequency decreases the woman's chances for
pregnancy. If periods occur only every 3 or 4 months, for practical purposes
it matters little whether these are ovulatory or anovulatory. Anovulatory or oligoovulatory women
should be promptly treated with clomiphene citrate to increase the
frequency of, or to initiate, ovulation (see Chapter 30), and the drug can be started immediately,
even before other areas have been investigated. If anovulation is the
only infertility factor, most couples will become pregnant within 3 months of ovulation induction.

Basal Body Temperature


Women who have menstrual periods at monthly intervals marked by premenstrual symptoms and
dysmenorrhea are almost always ovulatory, but not always; 5% are
anovulatory. Indirect confirmatory evidence of ovulation can be obtained by use of basal body
temperature (BBT) charts. The temperature can be taken orally with a
regular thermometer or with special instruments (unnecessarily expensive however) that show a
range of only a few degrees and thus are easier to read. The
temperature is best taken immediately upon awakening and before any activity. The woman may
be surprised to find that the basal temperatures are substantially
lower than the usual 98.6º F (37º C). Days when intercourse takes place should be noted on the
chart, and this may give the physician an indication that coital
frequency is a problem.
Use of the BBT chart has been criticized because a small percentage of women who ovulate have
monophasic graphs, and there is often disagreement concerning
interpretation of individual charts. Moreover, the time of ovulation predicted by the BBT does not
always correlate well with measurements of the LH surge or with
perceptions of maximal cervical mucus production. There is a relationship between a nadir in the
BBT and the LH surge, but the BBT is reliable in predicting the day
of the LH surge only within 2–3 days. 107 Although the nadir is believed to represent the
beginning of the LH surge, the occurrence of a nadir is variable and often is
not detected. To be used prospectively to predict ovulation, nearly absolute cycle regularity is
required, and this occurs infrequently.
Nevertheless, we still find the BBT helpful as a preliminary indicator of ovulation and as a tool
for advising patients about the timing of intercourse. Patients should not
become fixated on taking their temperatures, and usually several months of charts are sufficient.
A significant increase in temperature is not noted until 2 days after the LH peak, coinciding with a
rise in peripheral levels of progesterone to greater than 4 ng/mL. 108
Physical release of the ovum probably occurs on the day prior to the first temperature elevation.
The temperature elevation should be sustained for 11 to 16 days,
falling at the time of the subsequent menstrual period. If an approximate time of ovulation can be
determined by temperature charts, a sensible schedule for coitus is every 36 to 48 hours in a
period encompassed by 3 to 4
days prior to and 2 days after expected ovulation. It is unwise, however, to demand rigid
adherence to a schedule. This may produce psychologic stress sufficient to
inhibit sexual relations.
In discussing coital timing, the patients frequently want to know the fertilizable life of the sperm
and the egg. The fertilizable life of the human oocyte is unknown, but
most estimates range between 12 and 24 hours. However, immature human eggs recovered for in
vitro fertilization can be fertilized even after 36 hours of incubation.
Equally uncertain is knowledge of the fertilizable lifespan of human sperm. The most common
estimate is 48–72 hours, although motility can be maintained after the
sperm have lost the ability to fertilize. The extreme intervals that have achieved pregnancy
documented after a single act of coitus are 6 days prior to and 3 days after
ovulation.109 The great majority of pregnancies occur when coitus takes place within the 3-day
interval just prior to ovulation.

Endometrial Biopsy
A reliable assessment of ovulation can be obtained by endometrial biopsy. Endometrial biopsy is
performed 2 to 3 days prior to the expected period, although a
biopsy performed in the midluteal phase is superior for diagnosing luteal phase defects. 113 The
histology is read by the criteria outlined by Noyes, Hertig, and Rock, 114
Although premenstrual biopsy could interrupt a pregnancy if performed in a conception cycle, the
danger is not great. 115 We recommend the use of the plastic
endometrial suction curette. It is easy to use, requires cervical dilation only occasionally, and is
usually painless.
Progesterone Measurements
A serum progesterone level of less than 3 ng/mL is consistent with follicular phase levels. 116 To
confirm ovulation, values at the midluteal phase, just at the midpoint
between ovulation and the onset of the subsequent menstrual period, should be at least 6.5 ng/mL
and preferably 10 ng/mL or more. The consensus of opinion is that
a single midluteal phase progesterone level is insufficient evidence upon which to judge the
adequacy of the luteal phase. 117, 118, 119, 120, 121 and 122 The progesterone level
is subject to the variation associated with pulsatile secretion, but more importantly, there is often
poor correlation with the histologic state of the endometrium.
Clinical gynecologic endocrinology and infertility

11. Bagaimana cara mencegah infertilitas?

PENCEGAHAN INFERTILITAS
a. Berbagai macam infeksi diketahui menyebabkan infertilitas terutama infeksi prostate, buah zakar, maupun
saluran sperma. Karena itu, setiap infeksi didaerah tersebut harus ditangani serius (Steven RB,1985).
b. Beberapa zat dapat meracuni sperma. Banyak penelitihan menunjukan pengaruh buruk rokok terhadap jumlah
dan kualitas sperma (Steven RB,1985).
c. Alcohol dalam jumlah banyak dihubungkan dengan rendahnya kadar hormone testosterone yang tentunya akan
menganggu pertumbuhan sperma (Steven RB,1985).
d. Berperilaku sehat (Dewhurst,1997).
12. Jenis – jenis radiasi yang dapat menyebabkan infertilitas?
13. Apakah upaya pengobatan yang dilakukan oleh dokter?
14. Bagaimanakah cara untuk mengontrol pada pasien? (rancangan intervensi)
15. Hukum hamil tidak dengan rahim sendiri? ( bayi tabung, dll)

Bayi Tabung Pendapat Para Ulama


1. Menurut MUI
Menurut Fatwa MUI (hasil komisi fatwa tanggal 13 Juni 1979), Dewan Pimpinan
Majelis Ulama Indonesia memfatwakan sebagai berikut :
a. Bayi tabung dengan sperma clan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya
mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhiar berdasarkan kaidahkaidah agama.
b. Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari
isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-
zari’ah ( ), sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan
masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum
dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
c. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia
hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd a z-zari’ah ( ), sebab hal ini akan menimbulkan
masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya
dengan hal kewarisan.
d. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangna suami isteri yang sah
hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di
luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah ( ), yaitu untuk
menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.

2. Nahdlatul Ulama (NU)


Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah ini dalam forum
Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada 1981. Ada tiga keputusan yang
ditetapkan ulama NU terkait masalah bayi tabung:
a. Pertama, apabila mani yang ditabung dan dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut
ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram. Hal itu
didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda,
“Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan Allah SWT,
dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya (berzina) di dalam rahim
perempuan yang tidak halal baginya.”
b. Kedua, apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara
mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. “Mani muhtaram adalah
mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara’,” papar ulama NU
dalam fatwa itu. Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU mengutip
dasar hukum dari Kifayatul Akhyar II/113. “Seandainya seorang lelaki berusaha
mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan tangan istrinya, maka hal tersebut
diperbolehkan, karena istri memang tempat atau wahana yang diperbolehkan untuk
bersenang-senang.”
c. Ketiga, apabila mani yang ditabung itu mani suami-istri dan cara mengeluarkannya
termasuk muhtaram, serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri, maka hukum bayi tabung
menjadi mubah (boleh).

3. Ulama Saudi Arabia


Menurut salah satu putusan Fatwa Ulama Saudi Arabia, disebutkan bahwa Alim
ulama di lembaga riset pembahasan ilmiyah, fatwa, dakwah dan bimbingan Islam di
Kerajaan Saudi Arabia telah mengeluarkan fatwa pelarangan praktek bayi tabung. Karena
praktek tersebut akan menyebabkan terbukanya aurat, tersentuhnya kemaluan dan
terjamahnya rahim. Kendatipun mani yang disuntikkan ke rahim wanita tersebut adalah mani
suaminya. Menurut pendapat saya, hendaknya seseorang ridha dengan keputusan Allah
Ta’ala, sebab Dia-lah yang berfirman dalam kitab-Nya:
Dia menjadikan mandul siapa yang Dia dikehendaki. (QS. 42:50)
4. Majelis Mujamma’ Fiqih Islami
Majelis Mujamma’ Fiqih Islami ini menetapkan sebagai berikut:
Lima perkara berikut ini diharamkan dan terlarang sama sekali, karena dapat
mengakibatkan percampuran nasab dan hilangnya hak orang tua serta perkara-perkara lain
yang dikecam oleh syariat.
a. Sperma yang diambil dari pihak lelaki disemaikan kepada indung telur pihak wanita yang
bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
b. Indung telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma yang diambil dari
pihak lelaki yang bukan suaminya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si wanita.
c. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari sepasang suami istri,
kemudian dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain yang bersedia mengandung persemaian
benih mereka tersebut.
d. Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita lain kemudian
dicangkokkan ke dalam rahim si istri.
e. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang suami dan istrinya,
kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang lain.
Dua perkara berikut ini boleh dilakukan jika memang sangat dibutuhkan dan
setelah memastikan keamanan dan keselamatan yang harus dilakukan, sebagai berikut:
a. Sperma tersebut diambil dari si suami dan indung telurnya diambil dari istrinya kemudian
disemaikan dan dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
b. Sperma si suami diambil kemudian di suntikkan ke dalam saluran rahim istrinya atau
langsung ke dalam rahim istrinya untuk disemaikan.
Secara umum beberapa perkara yang sangat perlu diperhatikan dalam masalah ini
adalah aurat vital si wanita harus tetap terjaga (tertutup) demikian juga kemungkinan
kegagalan proses operasi persemaian sperma dan indung telur itu sangat perlu
diperhitungkan. Demikian pula perlu diantisipasi kemungkinan terjadinya pelanggaran
amanah dari orang-orang yang lemah iman di rumah-rumah sakit yang dengan sengaja
mengganti sperma ataupun indung telur supaya operasi tersebut berhasil demi mendapatkan
materi dunia. Oleh sebab itu dalam melakukannya perlu kewaspadaan yang ekstra ketat.

5. Syaikh Nashiruddin Al-Albani


Syaikh Nashiruddin Al-Albani sebagai tokoh ahli sunnah wal jamaah berpendapat
lain, beliau berpendapat sebagai berikut : “Tidak boleh, karena proses pengambilan mani (sel
telur wanita) tersebut berkonsekuensi minimalnya sang dokter (laki-laki) akan melihat aurat
wanita lain. Dan melihat aurat wanita lain (bukan istri sendiri) hukumnya adalah haram
menurut pandangan syariat, sehingga tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.
Sementara tidak terbayangkan sama sekali keadaan darurat yang mengharuskan seorang
lelaki memindahkan maninya ke istrinya dengan cara yang haram ini. Bahkan terkadang
berkonsekuensi sang dokter melihat aurat suami wanita tersebut, dan ini pun tidak boleh.
Lebih dari itu, menempuh cara ini merupakan sikap taklid terhadap peradaban orang-orang
Barat (kaum kuffar) dalam perkara yang mereka minati atau (sebaliknya) mereka hindari.
Seseorang yang menempuh cara ini untuk mendapatkan keturunan dikarenakan tidak diberi
rizki oleh Allah berupa anak dengan cara alami (yang dianjurkan syariat), berarti dia tidak
ridha dengan takdir dan ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya. Jikalau saja
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan membimbing kaum muslimin
untuk mencari rizki berupa usaha dan harta dengan cara yang halal, maka lebih-lebih lagi
tentunya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan membimbing mereka
untuk menempuh cara yang sesuai dengan syariat (halal) dalam mendapatkan anak.” (Fatawa
Al-Mar`ah Al-Muslimah hal. 288).

6. Ulama di Malaysia
Ulama di Malaysia yang tergabung dalam Jabatan Kemajuan Islam Malaysia
memberi fatwa tentang bayi tabung yang menghasilkan keputusan sebagai berikut:
Keputusan 1
a. . Bayi Tabung Uji dari benih suami isteri yang dicantumkan secara “terhormat” adalah sah
di sisi Islam. Sebaliknya benih yang diambil dari bukan suami isteri yang sah bayi tabung itu
adalah tidak sah.
b. Bayi yang dilahirkan melalui tabung uji itu boleh menjadi wali dan berhak menerima harta
pesaka dari keluarga yang berhak.
c. .Sekiranya benih dari suami atau isteri yang dikeluarkan dengan cara yang tidak
bertentangan dengan Islam, maka ianya dikira sebagai cara terhormat.
Keputusan 2
a. Bayi Tabung Uji dari benih suami isteri yang dicantumkan secara “terhormat” adalah sah
di sisi Islam. Sebaliknya benih yang diambil dari bukan suami isteri yang sah bayi tabung itu
adalah tidak sah.
b. .Bayi yang dilahirkan melalui tabung uji itu boleh menjadi wali dan berhak menerima
harta pesaka dari keluarga yang berhak.
c. .Sekiranya benih dari suami atau isteri yang dikeluarkan dengan cara yang tidak
bertentangan dengan Islam, maka ianya dikira sebagai cara terhormat.

Pendapat lain pertama mengatakan hukumnya boleh (ja’iz) menurut syara’. Sebab
upaya tersebut adalah upaya untuk mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu
kelahiran dan berbanyak anak, yang merupakan salah satu tujuan dasar dari suatu
pernikahan. Diriwayatkan dari Anas RA bahwa Nabi SAW telah bersabda :
“Menikahlah kalian dengan perempuan yang penyayang dan subur (peranak), sebab
sesungguhnya aku akan berbangga di hadapan para nabi dengan banyaknya jumlah kalian
pada Hari Kiamat nanti.” (HR. Ahmad)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA bahwa Rasulullah saw telah bersabda :
“Menikahlah kalian dengan wanita-wanita yang subur (peranak) karena sesungguhnya aku
akan membanggakan (banyaknya) kalian pada Hari Kiamat nanti.”(HR. Ahmad)
Dengan demikian jika upaya pengobatan untuk mengusahakan pembuahan dan
kelahiran alami telah dilakukan dan ternyata tidak berhasil, maka dimungkinkan untuk
mengusahakan terjadinya pembuahan di luar tenpatnya yang alami. Kemudian sel telur yang
telah terbuahi oleh sel sperma suami dikembalikan ke tempatnya yang alami di dalam rahim
isteri agar terjadi kehamilan alami. Proses ini dibolehkan oleh Islam, sebab berobat
hukumnya sunnah (mandub) dan di samping itu proses tersebut akan dapat mewujudkan apa
yang disunnahkan oleh Islam, yaitu terjadinya kelahiran dan berbanyak anak.
Pada dasarnya, upaya untuk mengusahakan terjadinya pembuahan yang tidak alami
tersebut hendaknya tidak ditempuh, kecuali setelah tidak mungkin lagi mengusahakan terja-
dinya pembuahan alami dalam rahim isteri, antara sel sperma suami dengan sel telur
isterinya. Dalam proses pembuahan buatan dalam cawan untuk menghasilkan kelahiran
tersebut, disyaratkan sel sperma harus milik suami dan sel telur harus milik isteri. Dan sel
telur isteri yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dalam cawan, harus diletakkan pada
rahim isteri. Hukumnya haram bila sel telur isteri yang telah terbuahi diletakkan dalam rahim
perempuan lain yang bukan isteri, atau apa yang disebut sebagai “ibu pengganti” (surrogate
mother). Begitu pula haram hukumnya bila proses dalam pembuahan buatan tersebut terjadi
antara sel sperma suami dengan sel telur bukan isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi
nantinya diletakkan dalam rahim isteri. Demikian pula haram hukumnya bila proses
pembuahan tersebut terjadi antara sel sperma bukan suami dengan sel telur isteri, meskipun
sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri.
Ketiga bentuk proses di atas tidak dibenarkan oleh hukum Islam, sebab akan
menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab, yang telah diharamkan oleh ajaran
Islam. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa dia telah mendengar Rasulullah SAW
bersabda ketika turun ayat li’an :
“Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang
bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apa pun dari Allah dan Allah
tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang
mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan tertutup
darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu di hadapan orang-orang yang
terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat nanti).” (HR. Ad Darimi)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah
bersabda :
“Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang
budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari
Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.” (HR. Ibnu Majah)
Ketiga bentuk proses di atas mirip dengan kehamilan dan kelahiran melalui
perzinaan, hanya saja di dalam prosesnya tidak terjadi penetrasi penis ke dalam vagina. Oleh
karena itu laki-laki dan perempuan yang menjalani proses tersebut tidak dijatuhi sanksi bagi
pezina (hadduz zina), akan tetapi dijatuhi sanksi berupa ta’zir, yang besarnya diserahkan
kepada kebijaksaan hakim (qadli).
G. Dalil tentang Program Bayi Tabung
Ajaran syariat Islam mengajarkan kita untuk tidak boleh berputus asa dan
menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar (usaha) dalam menggapai karunia Allah SWT.
Demikian halnya di ntara pancamaslahat yang diayomi oleh maqashid asy-syari’ah (tujuan
filosofis syariah Islam) adalah hifdz an-nasl (memelihara fungsi dan kesucian reproduksi)
bagi kelangsungan dan kesinambungan generasi umat manusia. Allah telah menjanjikan
setiap kesulitan ada solusi (QS.Al-Insyirah:5-6) termasuk kesulitan reproduksi manusia
dengan adanya kemajuan teknologi kedokteran dan ilmu biologi modern yang Allah
karuniakan kepada umat manusia agar mereka bersyukur dengan menggunakannya sesuai
kaedah ajaran-Nya.
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan Islam termasuk masalah
kontemporer ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya seara spesifik di dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah bahkan dalam kajian fiqih klasik sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini
hendak dikaji menurut Hukum Islam, maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad
yang lazimnya dipakai oleh para ahli ijtihad (mujtahidin), agar dapat ditemukan hukumnya
yang sesuai dengan prinsip dan jiwa Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan sumber
pokok hukum Islam. Namun, kajian masalah inseminasi buatan ini seyogyanya
menggunakan pendekatan multi disipliner oleh para ulama dan cendikiawan muslim dari
berbagai disiplin ilmu yang relevan, agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang benar-
benar proporsional dan mendasar. Misalnya ahli kedokteran, peternakan, biologi, hukum,
agama dan etika.
Bayi tabung pada manusia harus diklasifikasikan persoalannya secara jelas. Bila
dilakukan dengan sperma atau ovum suami isteri sendiri, baik dengan cara mengambil
sperma suami kemudian disuntikkan ke dalam vagina, tuba palupi atau uterus isteri, maupun
dengan cara pembuahannya di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di
dalam rahim istri; maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami isteri tersebut benar-benar
memerlukan inseminasi buatan untuk membantu pasangan suami isteri tersebut memperoleh
keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al hajatu tanzilu manzilah al dharurat’ (hajat atau
kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti keadaan darurat).

Bank Sperma

ً ‫س ِّب‬
‫يل‬ َ ‫سا ٰٓ َء‬ َ ‫ٱلزن َٰ َٰٓى ۖ ِّإنَّ ۥهُ َكانَ َٰفَ ِّح‬
َ ‫شةً َو‬ ۟ ُ‫َو ََل ت َ ْق َرب‬
ِّ ‫وا‬
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
Dan suatu jalan yang buruk.
(QS: Al-Israa' Ayat: 32)

Post Mortem Fertilization

َ‫ع ْشرا ً أ َ ْش ُهر أ َ ْربَعَةَ بِّأَنف ُ ِّس ِّه َّن يَت ََربَّصْنَ أ َ ْز َواجا ً َويَذ َ ُرونَ مِّ نكُ ْم يُت ََوفَّ ْونَ َوالَّذِّين‬
َ ‫ح فَلَ أ َ َجلَ ُه َّن بَلَ ْغنَ فَإِّذَا َو‬ َ ‫علَ ْيكُ ْم ُجنَا‬َ ‫فِّي فَعَ ْلنَ فِّي َما‬
‫َخبِّير ت َ ْع َملُونَ بِّ َما َوللا ُ بِّ ْال َم ْع ُروفِّ أَنف ُ ِّس ِّه َّن‬
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian
apabila telah habis masa ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu(para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat. (QS. 2:234)

PGD (Preimplantation Genetic Diagnosis)

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia
memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-
anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki
dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang
Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa” (QS. Asy Syura: 49-50).

16. Budaya apa aja untuk mengatasi infertilitas?


17. Edukasi pada pasien infertilitas
18. Pandangan islam mengenai infertilitas

surat Al-Insyirah Ayat 5-6 : karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. kedua ayat tersebut hendak menegaskan
bahwa setiap masalah selalu dilengkapi dengan pemecahannya. Solusi atau rasa lega tidak hadir
setelah kesulitan,tetapi sudah tersedia saat masalah itu muncul, yang artinya bahwa kita bisa
menemukan jalan keluar itu jika kita mau mencarinya.

"Berobatlah kalian, sesungguhnya Allah tidak meletakkan penyakit kecuali meletakkan pula
obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu kematian" (HR.Abu Dawud, At-tirmidzy, dan Ibnu Majah,
dan dishahihkan Syeikh Al-Albany)
19. Mengapa toksoplasma menyebabkan infertilitas terutama pada wanita?

A. Pengertian
TORCH adalah sebuah istilah untuk menggambarkan gabungan dari empat jenis
penyakit infeksi yang menyebabkan kelainan bawaan, yaitu Toxoplasma, Rubella,
Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis penyakit infeksi ini sama-sama berbahaya bagi
janin bila infeksi diderita oleh ibu hamil.
Prinsip dari pemeriksaan ini adalah deteksi adanya zat anti (antibodi) yang spesifik
taerhadap kuman penyebab infeksi tersebut sebagai respon tubuh terhadap adanya benda
asing (kuman. Antibodi yang terburuk dapat berupa Imunoglobulin M (IgM) dan
Imunoglobulin G (IgG).
Penyakit TORCH ini dikenal karena menyebabkan kelainan dan berbagai keluhan yang
bisa menyerang siapa saja, mulai anak-anak sampai orang dewasa, baik pria maupun wanita.
Bagi ibu yang terinfeksi saat hamil dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan pada bayinya,
yaitu cacat fisik dan mental yang beraneka ragam.
1. Toxoplasma
Toxoplasmosis penyakit zoonosis yaitu
penyakit pada hewan yang dapat ditularkan ke
manusia. Penyakit ini disebabkan oleh
sporozoa yang dikenal dengan nama
Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii yaitu
suatu parasit intraselluler yang menginfeksi
pada manusia dan hewan. Tboxoplasma gondii
termasuk spesies dari kelas sporozoa
(Cocidia), pertama kali ditemukan pada binatang pengerat Ctenodactylus gundi di Afrika
Utara (Tunisia) oleh Nicolle dan Manceaux tahun 1908. Tahun 1928 Toxoplasma gondii
ditemukan pada manusia pertama kali oleh Castellani.

2. Rubella
Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella
yang termasuk famili Togaviridae dan genus
Rubivirus, infeksi virus ini terjadi karena
adanya kontak dengan sekret orang yang
terinfeksi; pada wanita hamil penularan ke janin
secara intrauterin. Masa inkubasinya rata-rata
16-18 hari. Periode prodromal dapattanpa gejala
(asimtomatis), dapat juga badan terasa
lemah,demam ringan, nyeri kepala, dan iritasi
konjungtiva. Penyakit ini agak berbeda dari toksoplasmosis karena rubela hanya mengancam
janin.
Penyakit yang juga disebabkan oleh virus yang menimbulkan demam ringan dengan
ruam yang menyebar dan kadang-kadang mirip dengan campak. Rubella menjadi penting
karena penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan pada janin. Sindroma rubella congenital
terjadi pada 90% bayi yang dilahirkan oleh wanita yang terinfeksi rubella selama trimester
pertama kehamilan, resiko kecacatan ini menurun hinggga kira-kira 10-20% pada minggu ke
16 dan lebih jarang terjadi bila ibu terkena infeksi pada usia kehamilan 20 minggu.
3. Cyto Megalo Virus (CMV)
Penyakit ini disebabkan oleh Human
cytomegalovirus, subfamili betaherpesvirus, famili
herpesviridae. Penularannya lewat paparan jaringan,
sekresi maupun ekskresi tubuh yangterinfeksi (urine,
ludah, air susu ibu, cairan vagina, dan lainlain). Masa
inkubasi penyakit ini antara 3-8 minggu. Pada kehamilan
infeksi pada janin terjadi secara intrauterin. Pada bayi,
infeksi yang didapat saat kelahiran akan menampakkan
gejalanya pada minggu ke tiga hingga ke dua belas; jika didapat pada masa perinatal akan
mengakibatkan gejala yang berat.
Infeksi virus ini dapat ditemukan secara luas di masyarakat; sebagian besar wanita telah
terinfeksi virus ini selama masa anak-anak dan tidak mengakibatkan gejala yang berarti.
Tetapi bila seorang wanita baru terinfeksi pada masa kehamilan maka infeksi primer ini akan
menyebabkan manifestasi gejala klinik infeksi janin bawaan sebagai berikut:
hepatosplenomegali, ikterus, petekie, meningoensefalitis, khorioretinitis dan optic atrophy,
mikrosefali, letargia, kejang, hepatitis dan jaundice, infiltrasi pulmonal dengan berbagai
tingkatan, dan kalsifikasi intrakranial. Jika bayi dapat bertahan hidup akan disertai retardasi
psikomotor maupun kehilangan pendengaran.
4. Herpes Simplek
Penyakit ini disebabkan infeksi Herpes simplex
virus (HSV); ada 2 tipe HSV yaitu tipe 1 dan 2.
Tipe 1 biasanya mempunyai gejala ringan dan
hanya terjadi pada bayi karena adanya kontak
dengan lesi genital yang infektif; sedangkan HSV
tipe 2 merupakan herpes genitalis yang menular
lewat hubungan seksual. HSV tipe 1 dan 2 dapat
dibedakan secara imunologi. Masa inkubasi antara
2 hingga 12 hari.
Infeksi herpes superfisial biasanya mudah dikenali misalnya pada kulit dan membran
mukosa juga pada mata.
Penyakit infeksi virus yang ditandai dengan lesi primer terlokalisir, laten dan adanya
kecenderungan untuk kambuh kembali. Ada 2 jenis virus yaitu virus herpes simpleks (HSV)
tipe 1 dan 2 pada umumnya menimbulkan gejala klinis yang berbeda, tergantung pada jalan
masuknya. Dapat menyerang alat-alat genital atau mukosa mulut.

B. Penyebab TORCH
Penyebab utama dari virus dan parasit TORCH (Toxoplasma, Rubella, CMV, dan
Herpes) adalah hewan yang ada di sekitar kita, seperti ayam, kucing, burung, tikus, merpati,
kambing, sapi, anjing, babi dan lainnya. Meskipun tidak secara langsung sebagai penyebab
terjangkitnya penyakit yang berasal dari virus ini adalah hewan, namun juga bisa disebabkan
oleh karena perantara (tidak langsung) seperti memakan sayuran, daging setengah matang
dan lainnya.
1. Toxoplasma Gondii
Infeksi Toxoplasma disebabkan oleh parasit yang disebut Toxoplasma gondi. Pada
umumnya infeksi Toxoplasma terjadi tanpa disertai gejala yang spesifik. Kira-kira hanya 10-
20% kasus infeksi Toxoplasma yang disertai gejala ringan, mirip gejala influenza, bisa
timbul rasa lelah, malaise, demam, dan umumnya tidak menimbulkan masalah.
2. Rubella
Infeksi Rubella ditandai dengan demam akut, ruam pada kulit dan pembesaran kelenjar
getah bening. Infeksi ini disebabkan oleh virus Rubella, dapat menyerang anak-anak dan
dewasa muda.
3. Cyto Megalo Virus (CMV)
Infeksi CMV disebabkan oleh virus Cytomegalo, dan virus ini temasuk golongan virus
keluarga Herpes. Seperti halnya keluarga herpes lainnya, virus CMV dapat tinggal secara
laten dalam tubuh dan CMV merupakan salah satu penyebab infeksi yang berbahaya bagi
janin bila infeksi yang berbahaya bagi janin bila infeksi terjadi saat ibu sedang hamil.
4. Herpes Simplek
Infeksi herpes pada alat genital (kelamin) disebabkan oleh Virus Herpes Simpleks tipe II
(HSV II). Virus ini dapat berada dalam bentuk laten, menjalar melalui serabut syaraf
sensorik dan berdiam diganglion sistem syaraf otonom.
C. Etiologi TORCH
1. Toxoplasma Gondii
Infeksi Toxoplasma berbahaya bila terjadi saat ibu sedang hamil atau pada orang dengan
sistem kekebalan tubuh terganggu (misalnya penderita AIDS, pasien transpalasi organ yang
mendapatkan obat penekan respon imun).
Jika wanita hamil terinfeksi Toxoplasma maka akibat yang dapat terjadi adalah abortus
spontan atau keguguran (4%), lahir mati (3%) atau bayi menderita Toxoplasmosis bawaan.
pada Toxoplasmosis bawaan, gejala dapat muncul setelah dewasa, misalnya kelinan mata
dan telinga, retardasi mental, kejang-kejang dn ensefalitis.
2. Rubella
Infeksi Rubella berbahaya bila tejadi pada wanita hamil muda, karena dapat
menyebabkan kelainan pada bayinya. Jika infeksi terjadi pada bulan pertama kehamilan
maka risiko terjadinya kelainan adalah 50%, sedangkan jika infeksi tejadi trimester pertama
maka risikonya menjadi 25% (menurut America College of Obstatrician and Gynecologists,
1981).
3. Cyto Megalo Virus (CMV)
Jika ibu hamil terinfeksi. maka janin yang dikandung mempunyai risiko tertular sehingga
mengalami gangguan misalnya pembesaran hati, kuning, pekapuran otak, ketulian, retardasi
mental, dan lain-lain.
4. Herpes Simplek
Infeksi TORCH yang terjadi pada ibu hamil dapt membahayakan janin yang
dikandungnya. Pada infeksi TORCH, gejala klinis yang ada searing sulit dibedakan dari
penyakit lain karena gejalanya tidak spesifik. Walaupun ada yang memberi gejala ini tidak
muncul sehingga menyulitkan dokter untuk melakukan diagnosis. Oleh karena itu,
pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan untuk membantu mengetahui infeksi TORCH
agar dokter dapat memberikan penanganan atau terapi yang tepat.

D. Tanda dan Gejala


1. Toxoplasma
Gejala yang diderita biasanya dengan mirip gejala influenza, bisa timbul rasa lelah,
malaise, demam disertai hepatomegali, dan umumnya tidak menimbulkan masalah,
2. Herpes Simpleks
Penderita biasanya mengalami demam, salivasi, mudah terangsang dan menolak untuk
makan,. Dengan dilakukan pemeriksaan menunjukan adanya ulkus dangkal multiple yang
nyeri pada mukusa lidah, gusi, dan bukal denganvesikel pada bibir dan sekitarnya.
3. Cyto Megalo Virus (CMV)
a. Demam,
b. Penurunan jumlah sel darah putih (leukopenia)
c. Letih
d. Lesu
e. Kulit berwarna kuning,
f. Pembesaran hati dan limpa,
g. Kerusakan atau hambatan pembentukan organ tubuh seperti mata, otak, gangguan mental,
dan lain-lain tergantung organ janin mana yang diserang
h. Umumnya janin yang terinfeksi cmv lahir prematur dan berat badan lahir rendah
4. Rubella
Tanda dan gejala yang muncul biasanya bertahan dalam dua hingga tiga hari dan
mungkin melibatkan:
a. Demam ringan 38,9 derajat Celcius atau lebih rendah
b. Sakit kepala
c. Hidung tersumbat atau pilek
d. Peradangan, mata merah
e. Pembesaran, pelunakan kelenjar getah bening di dasar tengkorak, leher bagian belakang dan
di belakang telinga
f. Muncul ruam warna merah muda/pink di wajah dan dengan cepat menyebar ke pundak,
lengan, kaki sebelum menghilang di sekuens yang sama.
g. Nyeri pada persendian, khususnya pada perempuan muda.
E. Patofisiologi TORCH
1. Toxoplasma
Toxoplasma gondii adalah parasit protozoa yang merupakan salah satu penyebab
kelainan kongenital yang cukup dominan dibandingkan penyebab lainnya yang tergolong
dalam TORCH. Hospes primernya adalah kucing. Kucing ini telah mempunyai imunitas,
tetapi pada saat reinfeksi mereka dapat menyebarkan kembali sejumlah kecil ookista.
Ookista ini dapat menginfeksi manusia dengan cara memakan daging, buah-buahan, atau
sayuran yang terkontaminasi atau karena kontak dengan faeces kucing. Dalam sel–sel
jaringan tubuh manusia, akan terjadi proliferasi trophozoit sehingga sel–sel tersebut akan
membesar. Trophozoit akan berkembang dan terbentuk satu kista dalam sel, yang di
dalamnya terdapat merozoit. Kista biasanya didapatkan di jaringan otak, retina, hati, dan
lain-lain yang dapat menyebabkan kelainan pada organ-organ tersebut, seperti microcephali,
cerebral kalsifikasi, chorioretinitis, dll. Kista toksoplasma ditemukan dalam daging babi atau
daging kambing. Sementara itu, sangat jarang pada daging sapi atau daging ayam. Kista
toksoplasma yang berada dalam daging dapat dihancurkan dengan pembekuan atau dimasak
sampai dagingnya berubah warna. Buah atau sayuran yang tidak dicuci juga dapat
menstranmisikan parasit yang dapat dihancurkan dengan pembekuan atau pendidihan.
Infeksi T.gondii biasanya tanpa gejala dan berlalu begitu saja. Setelah masa inkubasi selama
lebih kurang 9 hari, muncul gejala flu seperti lelah, sakit kepala, dan demam yang dapat
muncul hampir bersamaan dengan limpadenopati, terutama di daerah serviks posterior.

2. Rubella
Kematian pada post natal rubella biasanya disebabkan oleh enchepalitis. Pada infeksi
awal, virus akan masuk melalui traktus respiratorius yang kemudian akan menyebar ke
kelenjar limfe sekitar dan mengalami multiplikasi serta mengawali terjadinya viremia dalam
waktu 7 hari. Janin dapat terinfeksi selama terjadinya viremia maternal. Saat ini, telah
diketahui bahwa infeksi plasenta terjadi pada 80% kasus dan risiko kerusakan jantung, mata,
atau telinga janin sangat tinggi pada trisemester pertama. Jika infeksi maternal terjadi
sebelum usia kehamilan 12 minggu, 60% bayi akan terinfeksi. Kemudian, risiko akan
menurun menjadi 17% pada minggu ke-14 dan selanjutnya menjadi 6% setelah usia
kehamilan 20 minggu. Akan tetapi, plasenta biasanya terinfeksi dan virus dapat menjadi
laten pada bayi yang terinfeksi kongenital selama bertahun-tahun.
3. Cytomegalovirus (CMV)
Penyakit yang disebabkan oleh Cytomegalovirus dapat terjadi secara kongenital saat
bayi atau infeksi pada usia anak. Kadang-kadang, CMV juga dapat menyebabkan infeksi
primer pada dewasa, tetapi sebagian besar infeksi pada usia dewasa disebabkan reaktivasi
virus yang telah didapat sebelumnya. Infeksi kongenital biasanya disebabkan oleh reaktivasi
CMV selama kehamilan. Di negara berkembang, jarang terjadi infeksi primer selama
kehamilan, karena sebagian besar orang telah terinfeksi dengan virus ini sebelumnya. Bila
infeksi primer terjadi pada ibu, maka bayi akan dapat lahir dengan kerusakan otak, ikterus
dengan pembesaran hepar dan lien, trombositopenia, serta dapat menyebabkan retardasi
mental. Bayi juga dapat terinfeksi selama proses kelahiran karena terdapatnya CMV yang
banyak dalam serviks. Penderita dengan infeksi CMV aktif dapat mengekskresikan virus
dalam urin, sekret traktus respiratorius, saliva, semen, dan serviks. Virus juga didapatkan
pada leukosit dan dapat menular melalui tranfusi.

4. Herpes Simpleks (HSV)


HSV merupakan virus DNA yang dapat diklasifikasikan ke dalam HSV 1 dan 2. HSV 1
biasanya menyebabkan lesi di wajah, bibir, dan mata, sedangkan HSV 2 dapat menyebabkan
lesi genital. Virus ditransmisikan dengan cara berhubungan seksual atau kontak fisik lainnya.
Melalui inokulasi pada kulit dan membran mukosa, HSV akan mengadakan replikasi pada
sel epitel, dengan waktu inkubasi 4 sampai 6 hari. Replikasi akan berlangsung terus sehingga
sel akan menjadi lisis serta terjadi inflamasi lokal. Selanjutnya, akan terjadi viremia di mana
virus akan menyebar ke saraf sensoris perifer. Di sini virus akan mengadakan replikasi yang
diikuti penyebarannya ke daerah mukosa dan kulit yang lain.
Dalam tahun-tahun terakhir ini, herpes genital telah mengalami peningkatan. Akan
tetapi, untungnya herpes neonatal agak jarang terjadi, bervariasi dari 1 dalam 2.000 sampai 1
dalam 60.000 bayi baru lahir. Tranmisi terjadi dari kontak langsung dengan HSV pada saat
melahirkan. Risiko infeksi perinatal adalah 35--40% jika ibu yang melahirkan terinfeksi
herpes genital primer pada akhir kehamilannya.
F. Cara Penularan TORCH
Penularan TORCH pada manusia dapat melalui 2 (dua) cara. Pertama, secara aktif
(didapat) dan yang kedua, secara pasif (bawaan). Penularan secara aktif disebabkan antara
lain sebagai berikut :
1. Makan daging setengah matang yang berasal dari hewan yang terinfeksi (mengandung sista),
misalnya daging sapi, kambing, domba, kerbau, babi, ayam, kelinci dan lainnya.
Kemungkinan terbesar penularan TORCH ke manusia adalah melalui jalur ini, yaitu melalui
masakan sati yang setengah matang atau masakan lain yang dagingnya diamsak tidak
semnpurna, termasuk otak, hati dan lainnya.
2. Makan makanan yang tercemar oosista dari feses (kotoran) kucing yang menderita TORCH.
Feses kucing yang mengandung oosista akan mencemari tanah (lingkungan) dan dapat
menjadi sumber penularan baik pada manusia maupun hewan. Tingginya resiko infeksi
TORCH melalui tanah yang tercemar, disebabkan karena oosista bisa bertahan di tanah
sampai beberapa bulan ( Howard, 1987).
3. Transfusi darah (trofozoid), transplantasi organ atau cangkok jaringan (trozoid, sista),
kecelakaan di laboratorium yang menyebabkan TORCH masuk ke dalam tubuh atau tanpa
sengaja masuk melalui luka (Remington dan McLeod 1981, dan Levine 1987).
4. Hubungan seksual antara pria dan wanita juga bisa menyebabkan menularnya TORCH.
Misalnya seorang pria terkena salah satu penyakit TORCH kemudian melakukan hubungan
seksual dengan seorang wanita (padahal sang wanita sebelumnya belum terjangkit) maka ada
kemungkinan wanita tersebut nantinya akan terkena penyakit TORCH sebagaimana yang
pernah diderita oleh lawan jenisnya.
5. Ibu hamil yang kebetulan terkena salah satu penyakit TORCH ketika mengandung maka ada
kemungkinan juga anak yang dikandungnya terkena penyakit TORCH melalui plasenta.
6. Air Susu Ibu (ASI) juga bisa sebagai penyebab menularnya penyakit TORCH. Hal ini bisa
terjadi seandainya sang ibu yang menyusui kebetulan terjangkit salah satu penyakit TORCH
maka ketika menyusui penyakit tersebut bisa menular kepada sang bayi yang sedang
disusuinya.
7. Keringat yang menempel pada baju atau pun yang masih menempel di kulit juga bisa
menjadi penyebab menularnya penyakit TORCH. Hal ini bisa terjadi apabila seorang yang
kebetulan kulitnya menmpel atau pun lewat baju yang baru saja dipakai si penderita penyakit
TORCH.
8. Faktor lain yang dapat mengakibatkan terjadinya penularan pada manusia, antara lain adalah
kebiasaan makan sayuran mentah dan buah - buahan segar yang dicuci kurang bersih, makan
tanpa mencuci tangan terlebih dahulu, mengkonsumsi makanan dan minuman yang disajikan
tanpa ditutup, sehingga kemungkinan terkontaminasi oosista lebih besar.
9. Air liur juga bisa sebagai penyebab menularnya penyakit TORCH. Cara penularannya juga
hampir sama dengan penularan pada hubungan seksual.
Berdasarkan kenyataan di atas, penyakit TORCH ini sifatnya menular. Oleh karena itu
dalam satu keluarga biasanya kalau salah satu anggota keluarga terkena penyakit tersebut
maka yang lainnya pun juga bisa terkena. Malah ada beberapa kasus dalam satu keluarga
seluruh anggota keluarganya mulai dari kakek - nenek, kakak - adik, bapak - ibu, anak - anak
semuanya terkena penyakit TORCH.
G. Cara Menghindari TORCH
Untuk menghindari sedini mungkin penyakit TORCH yang sangat membahayakan ini,
ada beberapa hal sebagai solusi awal yang bisa dilakukan antara lain sebagai berikut :
1. Bila mengkonsumsi daging seperti daging ayam, sapi, kambing, kelinci, babi dan lainnya
terlebih dahulu dimasak dengan matang hingga suhu mencapai 66 derajat Celcius, agar
oosista - oosista yang mungkin terbawa di dalam daging tersebut bisa mati.
2. Kucing peliharaan di rumah hendaknya diberi daging matang untuk mencegah infeksi yang
masuk ke dalam tubuh kucing. Tempat makan, minum dan alas tidur harus selalu dicuci /
dibersihkan.
3. Hindari kontak dengan hewan - hewan mamalia liar, seperti rodensia liar (tikus, bajing,
musang dan lain - lain) serta reptilia kecil seperti cecak, kadal, dan bengkarung yang
kemungkinan dapat sebagai hewan perantara TORCH.
4. Penanganan kotoran kucing sebaiknya dilakukan melalui sarung tangan yang disposable
(dibuang setelah dipakai).
5. Bagi wanita yang sedang hamil, terutama yang dinyatakan secara serologis sudah negatif,
jangan memelihara atau menangani kucing kecuali dengan sarung tangan.
6. Bila sedang memegang daging, bekerja di tempat atau perusahaan daging atau organ yang
masih mentah, hindari untuk tidak menyentuh mata, mulut, dan hidung dan peralatan dapur
setelah selesai sebaiknya dicuci dengan sabun.
7. Bagi yang senang berkebun atau bekerja di kebun, sebaiknya menggunakan sarung tangan,
mencuci sayuran atau buah sebelum dimakan.
8. Darah penderita seropositif tidak boleh ditransfusikan pada penderita yang menderita
imunosupresif, demikian pula transplantasi organ pada penderita seronegatif harus dari orang
dengan seronegatif TORCH.
9. Pemberantasan terhadap lalat dan kecoa sebagai pembawa oosista perlau dilakukan.
10. Penggunaan desinfektan komersial yang ada di toko - toko dapat berguna untuk membasmi
oosista.
11. Memeriksakan hewan peliharaan secara kontinyu ke dokter hewan atau poliklinik hewan
agar supaya hewan keanyangan selalu dalam keadaan sehat.
H. Cara Pencegahan TORCH
Mengingat bahaya dari TORCH untuk ibu hamil, bagi Anda yang sedang merencanakan
kehamilan atau yang saat ini sedang hamil, dapat mempertimbangkan saran-saran berikut
agar bayi Anda dapat terlahir dengan baik dan sempurna.
1. Makan makanan bergizi
Saat hamil, sebaiknya Anda mengkonsumsi banyak makanan bergizi. Selain baik untuk
perkembangan janin, gizi yang cukup juga akan membuat tubuh tetap sehat dan kuat. Bila
tubuh sehat, maka tubuh dapat melawan berbagai penyakit termasuk TORCH sehingga tidak
akan menginfeksi tubuh.
2. Lakukan pemeriksaan sebelum kehamilan
Ada baiknya, Anda memeriksakan tubuh sebelum merencanakan kehamilan. Anda dapat
memeriksa apakah dalam tubuh terdapat virus atau bakteri yang dapat menyebabkan infeksi
TORCH. Jika Anda sudah terinfeksi, ikuti saran dokter untuk mengobatinya dan tunda
kehamilan hingga benar-benar sembuh.
3. Melakukan vaksinasi
Vaksinasi bertujuan untuk mencegah masuknya parasit penyebab TORCH. Seperti
vaksin rubela dapat dilakukan sebelum kehamilan. Hanya saja, Anda tidak boleh hamil
dahulu sampai 2 bulan kemudian.
4. Makan makanan yang matang
Hindari memakan makanan tidak matang atau setengah matang. Virus atau parasit
penyebab TORCH bisa terdapat pada makanan dan tidak akan mati apabila makanan tidak
dimasak sampai matang. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, selalu konsumsi makanan
matang dalam keseharian Anda.
5. Periksa kandungan secara terartur
Selama masa kehamilan, pastikan juga agar Anda memeriksakan kandungan secara rutin
dan teratur. Maksudnya adalah agar dapat dilakukan tindakan secepatnya apabila di dalam
tubuh Anda ternyata terinfeksi TORCH. Penanganan yang cepat dapat membantu agar
kondisi bayi tidak menjadi buruk.
6. Jaga kebersihan tubuh
Jaga higiene tubuh Anda. Prosedur higiene dasar, seperti mencuci tangan, sangatlah
penting.
7. Hindari kontak dengan penderita penyakit
Seorang wanita hamil harus menghindari kontak dengan siapa pun yang menderita
infeksi virus, seperti rubela, yang juga disebut campak Jerman.
Dengan mencari lebih banyak informasi tentang kehamilan serta merawat dirinya
sebelum dan selama masa kehamilan maupun dengan memikirkan masak-masak jauh di
muka tentang berbagai aspek melahirkan, seorang wanita akan melakukan sebisa-bisanya
untuk memastikan kehamilan yang lebih aman. Maka, bagi seorang wanita hamil, cobalah
untuk selalu waspada terhadap berbagai penyakit seperti TORCH agar bayi Anda terlahir
sehat.
I. Pengobatan TORCH
Adanya infeksi-infeksi ini dapat dideteksi dari pemeriksaan darah. Biasanya ada 2
petanda yang diperiksa untuk tiap infeksi yaitu Imunoglobulin G (IgG) dan Imunoglobulin M
(IgM). Normalnya keduanya negatif.
Jika IgG positif dan IgMnya negatif,artinya infeksi terjadi dimasa lampau dan tubuh
sudah membentuk antibodi. Pada keadaan ini tidak perlu diobati. Namun, jika IgG negatif
dan Ig M positif, artinya infeksi baru terjadi dan harus diobati. Selama pengobatan tidak
dianjurkan untuk hamil karena ada kemungkinan infeksi ditularkan ke janin. Kehamilan
ditunda sampai 1 bulan setelah pengobatan selesai (umumnya pengobatan memerlukan
waktu 1 bulan). Jika IgG positif dan IgM juga positif,maka perlu pemeriksaan lanjutan yaitu
IgG Aviditas. Jika hasilnya tinggi,maka tidak perlu pengobatan, namun jika hasilnya rendah
maka perlu pengobatan seperti di atas dan tunda kehamilan. Pada infeksi Toksoplasma,jika
dalam pengobatan terjadi kehamilan, teruskan kehamilan dan lanjutkan terapi sampai
melahirkan.Untuk Rubella dan CMV, jika terjadi kehamilan saat terapi, pertimbangkan
untuk menghentikan kehamilan dengan konsultasi kondisi kehamilan bersama dokter
kandungan anda.
Pengobatan TORCH secara medis diyakini bisa dengan menggunakan obat-obatan
seperti isoprinocin, repomicine, valtrex, spiromicine, spiradan, acyclovir, azithromisin,
klindamisin, alancicovir, dan lainnya. Namun tentu pengobatannya membutuhkan biaya yang
sangat mahal dan waktu yang cukup lama. Selain itu, terdapat pula cara pengobatan alternatif
yang mampu menyembuhkan penyakit TORCH ini, dengan tingkat kesembuhan mencapai
90 %.
Pengobatan TORCH secara medis pada wanita hamil dengan obat spiramisin
(spiromicine), azithromisin dan klindamisin misalnya bertujuan untuk menurunkan dampak
(resiko) infeksi yang timbul pada janin. Namun sayangnya obat-obatan tersebut seringkali
menimbulkan efek mual, muntah dan nyeri perut. Sehingga perlu disiasati dengan meminum
obat-obatan tersebut sesudah atau pada waktu makan.
Berkaitan dengan pengobatan TORCH ini (terutama pengobatan TORCH untuk menunjang
kehamilan), menurut medis apabila IgG nya saja yang positif sementara IgM negative, maka
tidak perlu diobati. Sebaliknya apabila IgM nya positif (IgG bisa positif atau negative), maka
pasien baru perlu mendapatkan pengobatan.
J. Diagnosa TORCH
Proses diagnosa medis merupakan langkah pertama untuk menangani suatu penyakit.
Tetapi diagnosa berdasarkan pengamatan gejala klinis sering sukar dilaksanakan, maka
dilakukan diagnosa laboratorik dengan memeriksa serum darah, untuk mengukur titer-titer
antibodi IgM atau IgG-nya.
Penderita TORCH kadang tidak menunjukkan gejala klinis yang spesifik, bahkan bisa
jadi sama sekali tidak merasakan sakit. Secara umum keluhan yang dirasakan adalah mudah
pingsan, pusing, vertigo, migran, penglihatan kabur, pendengaran terganggu, radang
tenggorokan, radang sendi, nyeri lambung, lemah lesu, kesemutan, sulit tidur, epilepsi, dan
keluhan lainnya.
Untuk kasus kehamilan: sulit hamil, keguguran, organ tubuh bayi tidak lengkap, cacat
fisik maupun mental, autis, keterlambatan tumbuh kembang anak, dan ketidaksempurnaan
lainnya.
Namun begitu, gejala diatas tentu belum membuktikan adanya penyakit TORCH
sebelum dibuktikan dengan uji laboratorik.
K. Pemeriksaan TORCH
1. Cara Pemeriksaannya
a. Toxoplasma
Tes ini mempergunakan antigen Toxoplasma yang diletakkan pada penyangga padat,
mula-mula di inkubasi dengan serum penderita kemudian dengan antibodi berlabel enzim.
Kadar antibodi dalam serum penderita sebanding dengan intertitas warna yang timbul setelah
ikatan antigen antibodi dicampur dengan substrat. Uji aviditas pada ELISA bermanfaat untuk
determinasi prediktif kapan seseorang atau individu tersebut diperkirakan terinfeksi Aviditas
ELISA juga dapat digunakan untuk menentukan status infeksi serta kekuatan ikatan intrinsik
antara antibodi dengan antigen. Apabila ikatan intrinsiknya lemah maka daya proteksinya
juga lemah meskipun titernya cukup tinggi. Sebaliknya apabila ikatan intrinsik antigen-
antibodinya cukup tinggi maka daya proteksinya cukup baik meskipun titernya tidak terlalu
tinggi. Cara Kerja :
1) Lokasi Pengambilan Sampel
a) Vena mediana cubiti ( dewasa )
b) Vena jugularis superficialis ( bayi )
2) Cara kerja pengambilan sampel :
a) Bersihkan daerah vena mediana cubiti dengan alcohol 70% dan biarkan menjadi kering
kembali
b) Pasang ikatan pembendung/torniquit diatas fossa cubiti.
c) Mintakan pasien yang akan diambil darahnya untuk mengepal dan membuka tangannya
beberapa kali agar vena jelas terlihat. Pembendungan vena tidak boleh terlalu kuat.
d) Tegangkan kulit diatas vena dengan jari tangan kiri agar vena tidak bergerak.
e) Tusuk kulit diatas vena dengan jarum/nald dengan tangan kanan sampai menembus lumen
vena.
f) Lepaskan pembendungan dan ambillah darah sesuai yang dibutuhkan.
g) Taruh kapas diatas jarum/nald dan cabut perlahan.
h) Mintakan agar pasien menekan bekas tusukan dengan kapas tadi.
i) Alirkan darah dari syringe kedalam tabung melaluji dinding tabung.
j) Berikan label berisi tanggal pemeriksaan,nama pasien dan jenis specimen.
k) Sampel dapat di simpan pada suhu 2 - 8 ° C bertahan sampai 7 hari atau dibekukan sampai 6
bulan.
l) Hindari pembekuan berulang jika untuk pemeriksaan.

3) Cara kerja Toxolisa IgG dan IgM


a) Siapkan pengenceran 1:40 test sampel, negatif control, positif control dan calibrator dengan
jalan menambahkan masing-masing 5 ul bahan dengan 100 ul sampel diluents, goyang
hingga homagen.
b) Ambil 100 ul masing-masing hasil pengenceran, masukkan ke dalam wells goyang agar
tercampur rata, inkubasi selama 30 menit pada suhu 37oC. Cuci 4× dengan diluents Wash
Buffer (1×) dilanjutkan cuci 1× dengan aquabidest Wash buffer (1×) = encerkan volume
Wash Buffer (20×) dengan 19 volume aquabidest contoh : larutkan 50ml Wash Buffer (20×)
kedalam aquabidest untuk membuat 1000ml Wash Buffer (1×).
c) Masukan 100 ul Enzyme Conjugate ke masing-masing well, inkubasi 30 menit pada suhu
37oC.
d) Cuci 4× dengan diluents Wash Buffer (1×) dilanjutkan cuci dengan aquabidest.
e) Masukan 100 ul TMB ke masing-masing well, goyang hingga merata.
f) Inkubasi 15 menit pada suhu 37oC.
g) Tambahkan 100 ul Stop Solution (1N HCl) ke masing-masing well.
h) Goyang 30 detik agar merata.
i) Baca pada Elisa Reader dengan λ 450nm.
b. Rubella
Dengan tes ELISA, HAI,Pasif HAatau tes LA, atau dengan adanya IgM spesifik rubella
yang mengindikasikan infeksi rubella telah terjadi.
Pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan Anti-Rubella IgG dana
IgM. Pemeriksaan Anti-rubella IgG dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kekebalan
pada saat sebelum hamil. Jika ternyata belum memiliki kekebalan, dianjurkan untuk
divaksinasi. Pemeriksaan Anti-rubella IgG dan IgM terutama sangat berguna untuk diagnosis
infeksi akut pada kehamilan < 18 minggu dan risiko infeksi rubella bawaan.
c. Cyto Megalo Virus
Pemeriksaan laboratorium sangat bermanfaat untuk mengetahui infeksi akut atau infeski
berulang, dimana infeksi akut mempunyai risiko yang lebih tinggi. Pemeriksaan
laboratorium yang silakukan meliputi Anti CMV IgG dan IgM, serta Aviditas Anti-CMV
IgG.
d. Herpes Simpleks
Pemeriksaan laboratorium, yaitu Anti-HSV II IgG dan Igm sangat penting untuk
mendeteksi secara dini terhadap kemungkinan terjadinya infeksi oleh HSV II dan mencaegah
bahaya lebih lanjut pada bayi bila infeksi terjadi pada saat kehamilan
2. Dan cara untuk membaca hasilnya adalah sebagai berikut :
a. Periksalah serum untuk mencari ada tidaknya IgG spesifik untuk parasit/virus TORCH. Bila
hasilnya Negatif, berarti Anda tidak pernah terinfeksi TORCH. Bila Positif, berarti pernah
terinfeksi. Note: [periksa Anti-Toxoplasma IgG, Anti-Rubella IgG, Anti-CMV IgG, Anti-
HSV2 IgG]. Tes IgG itu untuk meriksa apakah pada masa lalu si pasien pernah kena infeksi.
b. Bila IgG Positif, maka untuk menentukan kapan infeksi tersebut, Anda harus melakukan
pemeriksaan serum untuk mencari ada tidaknya IgM parasit/virus TORCH. Tes IgM ini
fungsinya untuk memeriksa apakah saat ini si pasien terinfeksi TORCH.
c. Bila IgG Positif dan IgM Negatif : Anda telah terinfeksi lebih dari setahun yang lalu. Saat ini
anda mungkin telah mengembangkan kekebalan terhadap parasit itu. Anda tidak perlu
khawatir untuk hamil.
d. Bila IgG Positif dan IgM juga Positif: Anda tengah mengalami infeksi dalam 2 tahun
terakhir, [mungkin pula ada false pada hasil IgM]. Anda harus catat berapa angka IgM
tersebut.
e. Selanjutnya Anda harus melakukan lagi pemeriksaan IgM [kalau perlu sekalian IgG] setelah
2 minggu dari pemeriksaan pertama. Bila IgM tetap Positif atau malah naik angkanya, berarti
anda sedang terinfeksi TORCH. Sebaiknya anda sembuhkan dulu infeksi ini baru kemudian
mulai hamil.
3. Siapa & kapan perlu melakukan pemeriksaan TORCH yaitu
a. Wanita yang akan hamil atau merencanakan segera hamil
b. Wanita yang baru/sedang hamil bila hasil sebelumnya negatif atau belum diperiksa, idealnya
dipantau setiap 3 bulan sekali
c. Bayi baru lahir yang ibunya terinfeksi pada saat hamil

https://www.academia.edu/8959448/TORCH_Toxoplasma_Gondii_Rubella_Cyto_Megalo_
Virus_Herpes_Simplex_Virus_?login

You might also like