Professional Documents
Culture Documents
STEP 1
STEP 2
1. Apadefinisiinfertilitas?
2. Apasajakahfaktor yang mempengaruhiinfertilitas?
3. Apahubunganantarasuamiperokokberatdengankeluhanbelumpunyaketurunan?
4. Apahubunganobesitasdengankeluhanbelumpunyaketurunan?
5. Apahubungansuamimengkonsumsi alcohol dengankeluhanbelumpunyaketurunan?
6. Apahubungankebiasaanberendam air panasdenganbelummemilikiketurunan?
7. Jelaskanhubunganriwayat KB denganInfertilitas?
8. apahubungansuamimemilikiriwayat UG 3 tahun yang laludenganinfertilitas?
9. Apainterpretasidanhubungandaripemeriksaanpenunjang( IgG + padatoksoplasma, rubella, CMV,
IgM + padatoksoplasma)?
10. Apakahpemeriksaanpenunjang yang lainnyauntukmengetahuiinfertilitaspadapriadanwanita?
11. Bagaimanacaramencegahinfertilitas?
12. Apakahupayapengobatan yang dilakukanolehdokter?
13.
STEP 3
1. Apadefinisiinfertilitas?
Klasifikasi :
Penyebab :
Kelainancairansperma( terlalukentaltidakdapatmelaluiproduksiwanita)
Kelainansaluranreproduksi
Kriptokismus / testis tidakturun
Gangguanereksi
Kelainanpada testis (kecil, keras)
Kelainan hormonal h. testosterone terganggu
Penyebabpadalaki2 :
Saatberhubungansexssalahpadawaktu
Impotenataukegagalanejakulasi
Penggunaanobat2an,( sedative, alcohol, narkotik)
Ejakulasi premature
Retrograde ejakulasi : cairanbalikke bladder
Ekstravaginalejakulasi
Padakasus immunological (virus ataubakteri --
>menggangupengeluaranspermamengganguakrosom
Iatrogenic : pembedahan ( diotakataupun di organ reproduksi, kalo di
otakmakamenggangupengeluaran hormone yang dibutuhkanuntuk proses reproduksi )
Sistemik : DM, hipertensimenggangusistemsaraf
Penyebabpadawanita :
Padawanita :mempengaruhisikluspadamenstruasidanlendircervics
Merusakmitokondriasehinggaoositrusakdantidakdapatmengeluakan ovum
4. Apahubunganobesitasdengankeluhanbelumpunyaketurunan?
Alcohol dapatberpengaruhkesistemsaraftepihilangnyahasratseksualdandapatimpotensikadar
testosterone menurundisfungsiereksi
Produksispermasuhunyasendiri 34 derajat C
8. Jelaskanhubunganriwayat KB denganInfertilitas?
Tidakadapengaruhpadainfertilitaskaloudahberhentimenggunakan KB makaakanterjadikesuburan
IgG -
IgM untukinfeksiakut
Pemeriksaan hormone
11. Bagaimanacaramencegahinfertilitas?
Perilakuhidupsehat
STEP 7
Infertility is defined as the inability of a couple to conceive within 1 year. Sterility implies an
intrinsic inability to achieve pregnancy, whereas infertility implies a decrease in the ability to
conceive and is synonymous with subfertility. Primary infertility applies to those who have never
conceived, whereas secondary infertility designates those who have conceived at some time in the
past.
Fecundity is the probability of achieving a live birth in 1 menstrual cycle. Fecundability is
expressed as the likelihood of conception per month of exposure. Fertility, as well as infertility, of
a woman or couple is best perceived as fecundability, as few infertile patients are sterile. It also
allows for a direct comparison of treatment options over a more functional time frame.
Sumber : Decherney, alan .H. 2006. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology.
National Institutes of Health : USA
Infertility can be due to either partner, or both. Overall, an etiology for infertility can be found in
80% of cases with an even distribution of male and female factors, including couples with
multiple factors. A primary diagnosis of male factor is made in approximately 25% of cases.
Ovulatory dysfunction and tubal/peritoneal factors comprise the majority of female factor
infertility. In 15–20% of infertile couples, the etiology cannot be found and a diagnosis of
unexplained infertility is made.
The success rates of treatment for infertility depends on a variety of factors, including cause of
infertility, woman's age, duration of infertility, and treatment modality. Health insurance plans
vary a great deal in the amount and type of infertility treatments that are covered. For those
couples without infertility coverage, treatment choices are dictated by medical and financial
considerations. Not uncommonly, infertility treatment does not actually make the difference
between conceiving and not conceiving, but allows for conception in the more immediate future
rather than at a delayed point of time (increasing fecundability).
Causes of Infertility
Chromosomal Appendicitis
abnormalities
Mumps orchitis Pelvic inflammatory
disease
Cryptorchidism Uterine adhesions
(Asherman's syndrome)
Chemical or radiation Endometriosis
exposure
Abnormal motility Structural abnormalities
Absent cilia (Kartagener's Diethylstilbestrol (DES)
syndrome) exposure
Varicocele Failure of normal fusion
of the reproductive tract
Antibody formation Myoma
Sexual dysfunction
Cervical Factor
Retrograde ejaculation
Congenital
Impotence
Müllerian duct
Ovulatory Factor abnormality
Acquired
Central defects
Surgical treatment
Chronic
hyperandrogenemic Infection
anovulation
Hyperprolactinemia (drug,
tumor, empty selia)
Hypothalamic
insufficiency
Pituitary insufficiency
(trauma, tumor, congenital)
Sumber : Decherney, alan .H. 2006. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology.
National Institutes of Health : USA
3. Apa hubungan antara suami perokok berat dengan keluhan belum punya keturunan?
ROKOK
Pengaruh rokok pada kesuburan wanita dipengaruhi oleh jumlah rokok yang dihisap per hari.
Menghisap rokok kurang dari 20 batang per hari akan menurunkan kesuburan hingga 25 %. Bila
lebih dari 20 batang per hari kesuburannya akan menurun hingga 50%.
Pada laki-laki, rokok dapat menurunkan kuantitas dan kualitas sperma, serta meningkatkan
jumlah sperma abnormal.
Parahnya bahaya akibat rokok tidak hanya mengintai perokok itu sendiri (perokok aktif) saja, tapi
juga orang lain yang ada disekitarnya (perokok pasif). Hal ini disebabkan oleh kandungan nikotin
pada asap rokok yang dihisap baik oleh perokok aktif maupun perokok pasif.
“Nikotin dapat meningkatkan amplitude gelombang uterotuba sehingga meningkatkan angka
kejadian kehamilan ektopik atau kehamilan diluar rahim,” jelas dr. Ratna.
Selain itu, nikotin juga meningkatkan prosentase kasus keguguran dan kelainan genetik,
seperti down syndrome.
Dalam seminar yang diadakan di Graha Amerta tersebut, juga menampilkan Dr. Hendy
Hendarto,dr.,Sp.OG, Dr. Budi Santoso,dr.,Sp.OG, Jimmy Yanuar Anas, dr.,Sp.OG, Hamdani
Lunardhi, dr.,SpAnd. Mkes, dan Relly Y. Primariawan, dr.,SpOG sebagai pembicara. Selain
membahas infertilitas, para pembicara tersebut juga membahas tentang penanganan infertilitas
dalam seminar kali ini. (kyn)
SUMBER : merokok tingkatkan risiko infertilitas, RSUD. Dr. Soetomo, diambil pada 6 mei
2013
http://rsudrsoetomo.jatimprov.go.id/id/index.php?option=com_content&view=article&id=3
58:merokok-tingkatkan-resiko-infertilitas&catid=55:artikel&Itemid=91
Asap rokok mengandung radikal bebas (karbonmonoksida, karbondioksida, oksida dari senyawa
nitrogen dan hidrokarbon). Radikal bebas adalah molekul yang mempunyai atom dengan elektron
yang tidak berpasangan. Radikal bebas tidak stabil dan mempunyai reaktivitas yang tinggi.
Reaktivitasnya dapat merusak seluruh tipe makromolekul seluler termasuk karbohidrat, protein,
lipid, dan asam nukleat
Kelebihan produksi radikal bebas atau oksigen yang reaktif (ROS, reactive oxygen species) dapat
merusak sperma, dan ROS telah diketahui sebagai salah satu penyebab infertilitas
Radikal bebas secaa fisiologis terdapat pada sperma manusia, dan timbulnya radikal bebas dalam
tubuh diimbangi dengan mekanisme pertahanan endogen, dengan memproduksi zat yang
mempunyai pengaruh sebagai anti radikal bebas yang disebut antioksidan, tetapi saat ROS
meningkat melebihi antioksidan tubuh, terjadilah stress oksidatif yang akan menyebabkan
kerusakan sel, jaringan, atau organ.
Pada kondisi stress oksidatif, radikal bebas dapat menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid
membran sel dan merusak organisasi membran sel. Stress oksidatif menyebabkan infertilitas
melalui efek negatifnya ke spermatozoa seperti hilangnya motilitas, peningkatan kerusakan
membran, penurunan morfologi, viabilitas, dan kemampuan spermatozoa.
Sebuah studi menyatakan bahwa merokok meningkatkan ROS dan menurunkan antioksidan di
cairan semen sehingga dapat menyebabkan kerusakan DNA dan apoptosis sel sperma. Radikal
bebas juga dapat menyebabkan terjadinya aglutinasi sperma sehingga terjadi penurunan motilitas
sperma. ROS dapat menyebabkan peroksida lipid pada membran plasma spermatozoa yang dapat
menimbulkan kegagalan fungsi spermatozoa yaitu hilangnya kemampuan untuk fertilisasi.
Membran plasma yang rusak menyebabkan meningkatnya permeabilitas membran sel pada
kepala spermatozoa sehingga banyak senyawa-senyawa yang tidak diinginkan dapat dengan
mudah masuk ke dalam sel. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan berupa pembengkakakn
dan perusakan bagian kepala spermatozoa sehingga menyebabkan kerusakan membran akrosom,
sehingga morfologi spermatozoa jadi abnormal
Pengaruh Merokok Terhadap Kualitas Sperma pada Pria dengan Masalah Infertilitas,
Universitas Indonesia
ALKOHOL
Sedangkan efek jangka panjang mengonsumsi alkohol bisa berdampak buruk bagi fungsi seksual
laki-laki, karena dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Hal ini
mengakibatkan hilangnya hasrat seksual, sulit mencapai orgasme dan bahkan berujung pada
impotensi.
Pria yang lama mengonsumi alkohol umumnya kurang mampu untuk mencari atau
mempertahankan pasangan seksualnya karena ia tidak bisa memberikan apa yang diinginkan
pasangan. Kondisi ini akan mempengaruhi kehidupan pribadi dan seksualnya.
Beberapa studi juga menunjukkan bahwa konsumsi alkohol dalam jangka waktu panjang bisa
membuat kadar hormon testosteron menurun. Selain itu enzim yang diproduksi oleh hati untuk
merusak alkohol juga diperlukan dalam produksi testosteron.
Jika seseorang mengonsumsi alkohol, maka enzim ini akan cenderung bertugas menghancurkan
alkohol daripada memproduksi testosteron. Kondisi ini membuat kadar testosteron menurun dan
menyebabkan gangguan dorongan seksual serta disfungsi ereksi.
SUMBER : merokok tingkatkan risiko infertilitas, RSUD. Dr. Soetomo, diambil pada 6 mei
2013
http://rsudrsoetomo.jatimprov.go.id/id/index.php?option=com_content&view=article&id=3
58:merokok-tingkatkan-resiko-infertilitas&catid=55:artikel&Itemid=91
Sistem reproduksi pria terdiri dari hipotalamus, kelenjar pituitari anterior, dan testis. Alkohol
dapat mengganggu fungsi dari masing-masing komponen. Dalam testis, alkohol dapat
mempengaruhi sel leydig, yang memproduksidan mengeluarkan hormon testosteron. Studi
menemukan bahwa hasil konsumsi alkohol berat kadar testosteron berkurang dalam darah.
Alkohol juga mengganggu fungsi sel sertoli yang memainkan peran penting dalam pematangan
sperma. Di kelenjar hipofisis, alkohol dapat menurunkan produksi, rilis, dan/atau kegiatan dua
hormon dengan fungsi reprodusi kritis, LH dan FSH. Akhirnya alkohol dapat mengganggu
produksi hormon di hipotalamus.
Pengaruh Merokok Terhadap Kualitas Sperma pada Pria dengan Masalah Infertilitas,
Universitas Indonesia
6. Apa hubungan kebiasaan berendam air panas dengan belum memiliki keturunan?
Suatu studi di Beijing, Cina menunjukkan bahwa kriptorkismus buatan atau pajanan panas lokal
testis dapat memicu oligospermia reversibel melalui apoptosis sel benih. Percobaan testis monyet
dengan pemanasan lokal pada 43 derajat Celcius air untuk 2 hari berturut-turut (30 menit per hari)
menunjukkan bahwa jumlah sperma dalam air mani menurun hingga 80% dan pada 28 hari
sepenuhnya reversibel. Temuan ini telah memberikan dasar teoritis yang penting bahwa pajanan
panasyang berlebihan pada testis dapat menurunkan kualitas spermatozoa pada manusia termasuk
penggunaan sauna atau bak mandi panas.
Pengaruh Merokok Terhadap Kualitas Sperma pada Pria dengan Masalah Infertilitas,
Universitas Indonesia
7. Apa hubungan suami memiliki riwayat UG 3 tahun yang lalu dengan infertilitas?
Infeksi genital pria dapat menyebabkan oklusi sistem kanalikuler saluran genital, dapat merusak
sel epitel yang terlibat dalam spermatogenesis dan dapat merangsang reaksi imund engan
menghasilkan antibodi antisperma.
Pengaruh Merokok Terhadap Kualitas Sperma pada Pria dengan Masalah Infertilitas,
Universitas Indonesia
Menurut Ingerslev penyebab infertilitas ada lima kelompok yaitu faktor anatomi, endokrin,
suami, kombinasi, dan tidak diketahui (unexplained infertility).9 Sebanyak 40-50% infertilitas
sekunder disebabkan oleh faktor wanita (disfungsi ovulasi).10 Penelitian sejumlah spesialis
infertilitas Barat menemukan adanya faktor antibodi antisperma pada wanita bisa memicu
kegagalan kehamilanpada penyebab yang tidak diketahui. Diduga penggunaan kontrasepsi
hormonal dalam jangka waktu tertentu jadi penyebab meningkatnya antibody antisperma.11
Franklin dan Dukes menemukan kadar antibody antisperma yang tinggi dalam serum
wanita infertil. Antibody imobilisasi sperma baik dalam serum maupun dalam saluran reproduksi,
dibawakan oleh kelas IgG. Sel sperma difagosit oleh makrofag yang ada pada saluran reproduksi
wanita, kemudian diproses dan dibawa ke daerah kelenjar limfe untuk dipersentasikan kepada
limfosit T maupun B, sehingga terjadi antibody antispema baik dalam sirkulasi darah maupun
dalm getah serviks.12 Sperma akan teraglutinasi dalam berbagai corak/tipe, baik tipe head to head,
tail to tail maupun tail to head agglutination sehingga sperma tidak mampu melanjutkan
perjalanannya ke tuba Fallopii. Meskipun terkadang ada sperma yang lolos dan sampai tuba
Falopii namun tidak mampu menembus ovum karena disebabkan oleh akrosomnya terhalang
antibodi antisperma.12
Hasil penelitian M. Blum dan teman-teman di Netherlands (1989) pada 35 wanita muda
pengguna kontrasepsi oral (kelompok A) dan dua puluh empat non-pengguna (kelompok B)
dibandingkan usia dan latar belakang terhadap adanya antibodi antisperm serum, dimana terdapat
peningkatan frekuensi antibodi antisperma pada serum pengguna kontrasepsi oral.13
Pada pasangan yang menggunakan kontrasepsi hormonal terjadi pembentukan antibodi terhadap
sperma yang semakin lama kadarnya semakin tinggi dan pertahanannya semakin kuat. Diduga,
inilah pemicu utama kesulitan mendapatkan keturunan. Dengan kata lain, dalam tubuh si wanita
telanjur timbul “kontrasepsi alami”, atau tercipta antibodi kuat penolak kehadiran sperma yang
hendak membuahi sel telurnya. Kalaupun sampai terjadi pembuahan, bisa jadi, akan membentuk
efektor imun lebih dahsyat yang mampu menimbulkan peradangan terhadap janin dan plasenta
yang mulai berkembang dalam rahim sang ibu sehingga berujung pada keguguran.10 Pada
penelitian tentang hubungan lama penggunaan kontrasepsi oral berkaitan dengan kesuburan
ditemukan asosiasi terkuat setelah 3-5 tahun penggunaan. Hal ini sesuai dengan laporan Majalah
Health Journal memaparkan hal baru tentang kasus infertilitas, sebanyak 48% perempuan muda
yang menggunakan pil antihamil selama 2-4 tahun, mengalami sulit hamil saat menginginkan
anak pertama.
https://www.academia.edu/6512648/Artikel_dien_KONTRASEPSI_HORMONAL_DAN_I
NFERTILITAS_SEKUNDER_ok
9. Apa interpretasi dan hubungan dari pemeriksaan penunjang (IgG + pada toksoplasma,
rubella, CMV, IgM + pada toksoplasma)?
Pemeriksaan pertama yang dilakukan untuk mendeteksi toksoplasmosis pada wanita hamil
adalah pemeriksaan IgG dan IgM.
Herpes simplek,
baik HSV 1 maupun HSV 2. Bila IgG negatif, perlu dilakukan pemeriksaan ulang pada akhir
kehamilan.
Jika hasil tetap negatif, berarti tidak ada infeksi. Tetapi, bila hasil menjadi positif
manunjukkan adanya serokonversi infeksi primer. Selain itu, bila hasil pemeriksaan pertama
negatif, perlu dilakukan pemeriksaan pada pasangannya. Jika pasangannya IgG positif maka
perlu diberi penyuluhan masalah cara penularan virus. Untuk pencegahan, dianjurkan
pemakaian kondom dan menghindari kontak urogenital2.
Pada wanita hamil dengan simptomatik herpes, perlu diperiksa IgG anti HSV 2. Jika hasil
negatif maka dilakukan pemeriksaan ulang dua minggu kemudian. Jika hasil menjadi positif,
menunjukkan adanya infeksi primer. Dari pemeriksaan pertama dengan hasil IgG positif,
menunjukkan adanya infeksi rekuren2.
Babil Stray-Pedersen. Infeksi TORCH pada kehamilan. Forum Diagnosticum. Oslo :
Department of obstetrics and Gynaecology,1997 : 1-7
10. Apakah pemeriksaan penunjang yang lainnya untuk mengetahui infertilitas pada pria dan
wanita?
Varicocele
A varicocele is an abnormal tortuosity and dilatation of the veins of the pampiniform plexus
within the spermatic cord. Approximately 20% to 40% of infertile males,
depending on the zeal of the search, have a varicocele, usually on the left side because of the
direct insertion of the spermatic vein into the renal vein. Varicoceles, in
all likelihood, exert their effects by raising testicular temperature, an effect mediated by increased
arterial blood flow. 86
Approximately 10–15% of males in a general population have a varicocele on physical
examination, but there is no evidence that males with normal semen
characteristics need treatment even if a varicocele is present. They should be checked
periodically, however, to be sure that there is no deterioration in their semen
characteristics.
It has been difficult to perform randomized studies of varicocele repair. A trial in Melbourne,
Australia, failed because of poor compliance. 87 Because the authors told
their patients that varicocele repair might not make a difference, only 283 of 651 men chose to
have it done. In those who had the repair, the only impact on the
semen analysis was an improvement in motility from 33.5% to 39.3%, the classically reported
finding. The same change, however, was noted in the nonoperated
group, and the pregnancy rates in both the operated and nonoperated groups were the same! A
small randomized trial in Germany observed a significant increase in
sperm concentration in the treated group, but the pregnancy rates were the same in both treated
and non-treated groups. 88 However, varicocele is more commonly
found in men with abnormal semen, and there is evidence that a varicocele may exert an
increasingly deleterious effect over time. 89
Ligation of varicoceles results in a 30–35% pregnancy rate. Although the beneficial effects of
treatment of varicocele have been disputed by some investigators who
found equal results without treatment, current clinical practice supports the utilization of
varicocele ligation in those males who have infertility and an impaired semen
specimen.86
Larger varicoceles exert a greater effect than small ones. Very small varicoceles, diagnosed only
by ultrasound, are not worth treating. Decreased size of the left
testicle together with a varicocele is associated with a worse prognosis with treatment compared
with cases in which the testicles are of normal size. Although surgical
interruption of the internal spermatic vein is the usual treatment for clinically apparent
varicoceles, there is also a nonsurgical approach that utilizes embolization to
occlude the vein.86
Reactive Oxygen Species
Increased levels of reactive oxygen species can cause damage to the sperm membrane.90
Substances such as peroxidase and hydrogen peroxide can be released by
abnormal sperm and by white blood cells, and when elevated levels of leukocytes are present in
the semen (with a negative culture), treatment with vitamin E and
glutathione is advocated. 91, 92
Female
Hysterosalpingography
A history of pelvic inflammatory disease, septic abortion, ruptured appendix, tubal surgery, or
ectopic pregnancy alerts the physician to the possibility of tubal damage.
Pelvic inflammatory disease is unquestionably the major contributor to tubal infertility and
ectopic pregnancies. Westrom's classic studies with laparoscopically
confirmed pelvic inflammatory disease indicated that the incidence of subsequent tubal infertility
is approximately 12% after one episode of pelvic infection, 23% after
two episodes, and 54% after three episodes. 87 The risk of ectopic pregnancy is increased 6–7-
fold after pelvic infection. Almost one-half of patients who are
eventually found to have tubal damage and/or pelvic adhesions, however, have no history of
antecedent disease. Many of these women will have elevated
anti-Chlamydia antibodies, suggestive of prior infection. There have been a few reports of
damaged tubes showing histologic evidence of viral infection which could
explain the absence of traditional causes of tubal damage.
Tubal disease is diagnosed by the hysterosalpingogram (HSG) and by laparoscopy. The HSG is
performed 2 to 5 days after cessation of a menstrual flow. If there is a
history suggestive of pelvic inflammatory disease, a sedimentation rate is obtained prior to the
HSG and, if elevated, antibiotic therapy is given. The procedure is than
postponed for a month when a repeat sedimentation rate is obtained. Only if this is normal is the
HSG scheduled. If masses or tenderness are revealed by the pelvic
examination at any time, the HSG should be bypassed and the pelvis evaluated by laparoscopy. If
there is a documented history of pelvic inflammatory disease, the
risk of a serious reinfection following HSG is too high, and it should be replaced by laparoscopy.
If an HSG is performed in a patient who is at questionable risk for
infection, a water-soluble rather than an oil dye should be used because of the faster absorption.
The overall risk of infection with HSG is probably less than 1%,
although in a high-risk population serious infection can occur in approximately 3% of cases. 88
Clinically apparent infections were not present in 398 women who had
nondilated tubes on HSG; however, 11% of those with dilated tubes developed pelvic
inflammatory disease following an HSG. 89 Doxycycline, 200 mg after the
procedure, can be administered if the tubes are dilated, followed by 100 mg bid for 5 days. Many
clinicians routinely administer prophylactic antibiotics (doxycycline,
100 mg bid for 5 days, beginning 2 days before the procedure).
HSG should be performed under image intensification fluoroscopy, and a minimal number of
films taken. Too often, multiple oblique views are taken to delineate small
filling defects in the uterus that are of no clinical significance. In our experience, the oblique films
are of little help even in diagnosing tubal patency. Only 3 films are
usually required — a preliminary before dye is injected, a film showing spill of dye from one or
both tubes, and a delayed film to show spread of dye through the
peritoneal cavity. The dye can be injected either using a classic Jarcho cannula with a single-tooth
tenaculum, or its more modern variants through a cannula
contained within a suction apparatus that attaches to the cervix, or by using a pediatric Foley
catheter threaded through the cervix into the uterus. Use of a
prostaglandin synthesis inhibitor 30 minutes prior to the procedure can decrease the pain many
women experience with HSG.
The dye should be injected slowly so that abnormalities of the uterine cavity are not missed. This
is of special importance in diethylstilbestrol-exposed women, many
of whom have abnormalities of uterine contour. Usually no more than 3 to 6 mL of dye are
required to fill the uterus and tubes. If the patient complains of cramping,
the injection of dye should be stopped for a few minutes and fluoroscopy temporarily
discontinued. Spasm is rare with Ethiodol, an oil dye that is our preferred
medium; if it does occur, slow injection with pauses is helpful. If the tubes fill but dye droplets do
not spill from the ends of the tubes, the uterus should be pushed up
in the abdomen by means of the tenaculum or suction cup. This puts the tubes on stretch and may
help to release dye from the fimbriated ends. The droplets seen
coming from the tube are the result of mixing of the oil dye and peritoneal fluid. On occasion,
injection of dye into a hydrosalpinx will produce a similar pattern, and a
delayed film to show loculation of dye is crucial in differentiating this condition from normal spill
where the dye is distributed throughout the pelvis.
Hysteroscopy
Hysteroscopy is a technique that complements hysterosalpingography. Direct visualization of the
uterine cavity with a hysteroscope is good for differentiating between
endometrial polyps and submucous leiomyomas, establishing the definitive diagnosis and
treatment of intrauterine adhesions, and for the diagnosis and treatment of
intrauterine congenital anomalies. One can argue from a cost-effective point of view that
hysterosalpingography and sonohysterography are more useful screening
procedures. The hysteroscope should be reserved to pursue abnormalities identified by other
techniques, especially when operative intervention is planned.
Falloposcopy
Because of its narrow and tortuous character, it has been difficult to pass probes via the uterine
cavity into the fallopian tube. This problem was overcome by the
development of self-seeking guidewires and the adaptation of techniques used for coronary
angioplasty. Hysteroscopic directed falloposcopy can be utilized to
transvaginally examine the entire length of the tubal lumen. 103 This technique requires
considerable expertise, but it has verified that the tubal ostium can undergo
spasm, and intraluminal debris is present that can be a cause of tubal obstruction. The latter can
be cleared by cannulation or balloon tuboplasty, or even be by
hysterosalpingography. Visualization of the inner aspect of the tube can also be accomplished
from the distal end of the tube at the time of laparoscopy.
Falloposcopy, originating at either end of the tube, can provide a good assessment of the tubal
lining, indicating the prospect of success with tubal surgery.
Outpatient Canalization of the Tube
Proximal tubal obstruction can be treated by outpatient tubal cannulation or balloon tuboplasty.
Transcervical tuboplasty can be performed by either a fluoroscopic or
hysteroscopic approach, although most of the experience thus far is with the fluoroscopic
technique. 104, 105 and 106 Discomfort can be minimized with intravenous
sedation and a paracervical block. Cannulation and balloon tuboplasty success is achieved in at
least one tube in 80–90% of attempts. Approximately 30% of patients
will become pregnant in the 3–6 months following the procedure. The advantage of these
accomplishments is the avoidance of expensive surgery or assisted
reproductive technology.
Disorders of Ovulation
Disorders of ovulation account for approximately 20% of all infertility problems in couples.
These can be anovulation or severe oligoovulation. In the latter cases, even
though ovulation does occur, its relative infrequency decreases the woman's chances for
pregnancy. If periods occur only every 3 or 4 months, for practical purposes
it matters little whether these are ovulatory or anovulatory. Anovulatory or oligoovulatory women
should be promptly treated with clomiphene citrate to increase the
frequency of, or to initiate, ovulation (see Chapter 30), and the drug can be started immediately,
even before other areas have been investigated. If anovulation is the
only infertility factor, most couples will become pregnant within 3 months of ovulation induction.
Endometrial Biopsy
A reliable assessment of ovulation can be obtained by endometrial biopsy. Endometrial biopsy is
performed 2 to 3 days prior to the expected period, although a
biopsy performed in the midluteal phase is superior for diagnosing luteal phase defects. 113 The
histology is read by the criteria outlined by Noyes, Hertig, and Rock, 114
Although premenstrual biopsy could interrupt a pregnancy if performed in a conception cycle, the
danger is not great. 115 We recommend the use of the plastic
endometrial suction curette. It is easy to use, requires cervical dilation only occasionally, and is
usually painless.
Progesterone Measurements
A serum progesterone level of less than 3 ng/mL is consistent with follicular phase levels. 116 To
confirm ovulation, values at the midluteal phase, just at the midpoint
between ovulation and the onset of the subsequent menstrual period, should be at least 6.5 ng/mL
and preferably 10 ng/mL or more. The consensus of opinion is that
a single midluteal phase progesterone level is insufficient evidence upon which to judge the
adequacy of the luteal phase. 117, 118, 119, 120, 121 and 122 The progesterone level
is subject to the variation associated with pulsatile secretion, but more importantly, there is often
poor correlation with the histologic state of the endometrium.
Clinical gynecologic endocrinology and infertility
PENCEGAHAN INFERTILITAS
a. Berbagai macam infeksi diketahui menyebabkan infertilitas terutama infeksi prostate, buah zakar, maupun
saluran sperma. Karena itu, setiap infeksi didaerah tersebut harus ditangani serius (Steven RB,1985).
b. Beberapa zat dapat meracuni sperma. Banyak penelitihan menunjukan pengaruh buruk rokok terhadap jumlah
dan kualitas sperma (Steven RB,1985).
c. Alcohol dalam jumlah banyak dihubungkan dengan rendahnya kadar hormone testosterone yang tentunya akan
menganggu pertumbuhan sperma (Steven RB,1985).
d. Berperilaku sehat (Dewhurst,1997).
12. Jenis – jenis radiasi yang dapat menyebabkan infertilitas?
13. Apakah upaya pengobatan yang dilakukan oleh dokter?
14. Bagaimanakah cara untuk mengontrol pada pasien? (rancangan intervensi)
15. Hukum hamil tidak dengan rahim sendiri? ( bayi tabung, dll)
6. Ulama di Malaysia
Ulama di Malaysia yang tergabung dalam Jabatan Kemajuan Islam Malaysia
memberi fatwa tentang bayi tabung yang menghasilkan keputusan sebagai berikut:
Keputusan 1
a. . Bayi Tabung Uji dari benih suami isteri yang dicantumkan secara “terhormat” adalah sah
di sisi Islam. Sebaliknya benih yang diambil dari bukan suami isteri yang sah bayi tabung itu
adalah tidak sah.
b. Bayi yang dilahirkan melalui tabung uji itu boleh menjadi wali dan berhak menerima harta
pesaka dari keluarga yang berhak.
c. .Sekiranya benih dari suami atau isteri yang dikeluarkan dengan cara yang tidak
bertentangan dengan Islam, maka ianya dikira sebagai cara terhormat.
Keputusan 2
a. Bayi Tabung Uji dari benih suami isteri yang dicantumkan secara “terhormat” adalah sah
di sisi Islam. Sebaliknya benih yang diambil dari bukan suami isteri yang sah bayi tabung itu
adalah tidak sah.
b. .Bayi yang dilahirkan melalui tabung uji itu boleh menjadi wali dan berhak menerima
harta pesaka dari keluarga yang berhak.
c. .Sekiranya benih dari suami atau isteri yang dikeluarkan dengan cara yang tidak
bertentangan dengan Islam, maka ianya dikira sebagai cara terhormat.
Pendapat lain pertama mengatakan hukumnya boleh (ja’iz) menurut syara’. Sebab
upaya tersebut adalah upaya untuk mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu
kelahiran dan berbanyak anak, yang merupakan salah satu tujuan dasar dari suatu
pernikahan. Diriwayatkan dari Anas RA bahwa Nabi SAW telah bersabda :
“Menikahlah kalian dengan perempuan yang penyayang dan subur (peranak), sebab
sesungguhnya aku akan berbangga di hadapan para nabi dengan banyaknya jumlah kalian
pada Hari Kiamat nanti.” (HR. Ahmad)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA bahwa Rasulullah saw telah bersabda :
“Menikahlah kalian dengan wanita-wanita yang subur (peranak) karena sesungguhnya aku
akan membanggakan (banyaknya) kalian pada Hari Kiamat nanti.”(HR. Ahmad)
Dengan demikian jika upaya pengobatan untuk mengusahakan pembuahan dan
kelahiran alami telah dilakukan dan ternyata tidak berhasil, maka dimungkinkan untuk
mengusahakan terjadinya pembuahan di luar tenpatnya yang alami. Kemudian sel telur yang
telah terbuahi oleh sel sperma suami dikembalikan ke tempatnya yang alami di dalam rahim
isteri agar terjadi kehamilan alami. Proses ini dibolehkan oleh Islam, sebab berobat
hukumnya sunnah (mandub) dan di samping itu proses tersebut akan dapat mewujudkan apa
yang disunnahkan oleh Islam, yaitu terjadinya kelahiran dan berbanyak anak.
Pada dasarnya, upaya untuk mengusahakan terjadinya pembuahan yang tidak alami
tersebut hendaknya tidak ditempuh, kecuali setelah tidak mungkin lagi mengusahakan terja-
dinya pembuahan alami dalam rahim isteri, antara sel sperma suami dengan sel telur
isterinya. Dalam proses pembuahan buatan dalam cawan untuk menghasilkan kelahiran
tersebut, disyaratkan sel sperma harus milik suami dan sel telur harus milik isteri. Dan sel
telur isteri yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dalam cawan, harus diletakkan pada
rahim isteri. Hukumnya haram bila sel telur isteri yang telah terbuahi diletakkan dalam rahim
perempuan lain yang bukan isteri, atau apa yang disebut sebagai “ibu pengganti” (surrogate
mother). Begitu pula haram hukumnya bila proses dalam pembuahan buatan tersebut terjadi
antara sel sperma suami dengan sel telur bukan isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi
nantinya diletakkan dalam rahim isteri. Demikian pula haram hukumnya bila proses
pembuahan tersebut terjadi antara sel sperma bukan suami dengan sel telur isteri, meskipun
sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri.
Ketiga bentuk proses di atas tidak dibenarkan oleh hukum Islam, sebab akan
menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab, yang telah diharamkan oleh ajaran
Islam. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa dia telah mendengar Rasulullah SAW
bersabda ketika turun ayat li’an :
“Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang
bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apa pun dari Allah dan Allah
tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang
mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan tertutup
darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu di hadapan orang-orang yang
terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat nanti).” (HR. Ad Darimi)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah
bersabda :
“Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang
budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari
Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.” (HR. Ibnu Majah)
Ketiga bentuk proses di atas mirip dengan kehamilan dan kelahiran melalui
perzinaan, hanya saja di dalam prosesnya tidak terjadi penetrasi penis ke dalam vagina. Oleh
karena itu laki-laki dan perempuan yang menjalani proses tersebut tidak dijatuhi sanksi bagi
pezina (hadduz zina), akan tetapi dijatuhi sanksi berupa ta’zir, yang besarnya diserahkan
kepada kebijaksaan hakim (qadli).
G. Dalil tentang Program Bayi Tabung
Ajaran syariat Islam mengajarkan kita untuk tidak boleh berputus asa dan
menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar (usaha) dalam menggapai karunia Allah SWT.
Demikian halnya di ntara pancamaslahat yang diayomi oleh maqashid asy-syari’ah (tujuan
filosofis syariah Islam) adalah hifdz an-nasl (memelihara fungsi dan kesucian reproduksi)
bagi kelangsungan dan kesinambungan generasi umat manusia. Allah telah menjanjikan
setiap kesulitan ada solusi (QS.Al-Insyirah:5-6) termasuk kesulitan reproduksi manusia
dengan adanya kemajuan teknologi kedokteran dan ilmu biologi modern yang Allah
karuniakan kepada umat manusia agar mereka bersyukur dengan menggunakannya sesuai
kaedah ajaran-Nya.
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan Islam termasuk masalah
kontemporer ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya seara spesifik di dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah bahkan dalam kajian fiqih klasik sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini
hendak dikaji menurut Hukum Islam, maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad
yang lazimnya dipakai oleh para ahli ijtihad (mujtahidin), agar dapat ditemukan hukumnya
yang sesuai dengan prinsip dan jiwa Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan sumber
pokok hukum Islam. Namun, kajian masalah inseminasi buatan ini seyogyanya
menggunakan pendekatan multi disipliner oleh para ulama dan cendikiawan muslim dari
berbagai disiplin ilmu yang relevan, agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang benar-
benar proporsional dan mendasar. Misalnya ahli kedokteran, peternakan, biologi, hukum,
agama dan etika.
Bayi tabung pada manusia harus diklasifikasikan persoalannya secara jelas. Bila
dilakukan dengan sperma atau ovum suami isteri sendiri, baik dengan cara mengambil
sperma suami kemudian disuntikkan ke dalam vagina, tuba palupi atau uterus isteri, maupun
dengan cara pembuahannya di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di
dalam rahim istri; maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami isteri tersebut benar-benar
memerlukan inseminasi buatan untuk membantu pasangan suami isteri tersebut memperoleh
keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al hajatu tanzilu manzilah al dharurat’ (hajat atau
kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti keadaan darurat).
Bank Sperma
ً س ِّب
يل َ سا ٰٓ َء َ ٱلزن َٰ َٰٓى ۖ ِّإنَّ ۥهُ َكانَ َٰفَ ِّح
َ شةً َو ۟ َُو ََل ت َ ْق َرب
ِّ وا
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
Dan suatu jalan yang buruk.
(QS: Al-Israa' Ayat: 32)
َع ْشرا ً أ َ ْش ُهر أ َ ْربَعَةَ بِّأَنف ُ ِّس ِّه َّن يَت ََربَّصْنَ أ َ ْز َواجا ً َويَذ َ ُرونَ مِّ نكُ ْم يُت ََوفَّ ْونَ َوالَّذِّين
َ ح فَلَ أ َ َجلَ ُه َّن بَلَ ْغنَ فَإِّذَا َو َ علَ ْيكُ ْم ُجنَاَ فِّي فَعَ ْلنَ فِّي َما
َخبِّير ت َ ْع َملُونَ بِّ َما َوللا ُ بِّ ْال َم ْع ُروفِّ أَنف ُ ِّس ِّه َّن
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian
apabila telah habis masa ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu(para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat. (QS. 2:234)
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia
memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-
anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki
dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang
Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa” (QS. Asy Syura: 49-50).
surat Al-Insyirah Ayat 5-6 : karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. kedua ayat tersebut hendak menegaskan
bahwa setiap masalah selalu dilengkapi dengan pemecahannya. Solusi atau rasa lega tidak hadir
setelah kesulitan,tetapi sudah tersedia saat masalah itu muncul, yang artinya bahwa kita bisa
menemukan jalan keluar itu jika kita mau mencarinya.
"Berobatlah kalian, sesungguhnya Allah tidak meletakkan penyakit kecuali meletakkan pula
obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu kematian" (HR.Abu Dawud, At-tirmidzy, dan Ibnu Majah,
dan dishahihkan Syeikh Al-Albany)
19. Mengapa toksoplasma menyebabkan infertilitas terutama pada wanita?
A. Pengertian
TORCH adalah sebuah istilah untuk menggambarkan gabungan dari empat jenis
penyakit infeksi yang menyebabkan kelainan bawaan, yaitu Toxoplasma, Rubella,
Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis penyakit infeksi ini sama-sama berbahaya bagi
janin bila infeksi diderita oleh ibu hamil.
Prinsip dari pemeriksaan ini adalah deteksi adanya zat anti (antibodi) yang spesifik
taerhadap kuman penyebab infeksi tersebut sebagai respon tubuh terhadap adanya benda
asing (kuman. Antibodi yang terburuk dapat berupa Imunoglobulin M (IgM) dan
Imunoglobulin G (IgG).
Penyakit TORCH ini dikenal karena menyebabkan kelainan dan berbagai keluhan yang
bisa menyerang siapa saja, mulai anak-anak sampai orang dewasa, baik pria maupun wanita.
Bagi ibu yang terinfeksi saat hamil dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan pada bayinya,
yaitu cacat fisik dan mental yang beraneka ragam.
1. Toxoplasma
Toxoplasmosis penyakit zoonosis yaitu
penyakit pada hewan yang dapat ditularkan ke
manusia. Penyakit ini disebabkan oleh
sporozoa yang dikenal dengan nama
Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii yaitu
suatu parasit intraselluler yang menginfeksi
pada manusia dan hewan. Tboxoplasma gondii
termasuk spesies dari kelas sporozoa
(Cocidia), pertama kali ditemukan pada binatang pengerat Ctenodactylus gundi di Afrika
Utara (Tunisia) oleh Nicolle dan Manceaux tahun 1908. Tahun 1928 Toxoplasma gondii
ditemukan pada manusia pertama kali oleh Castellani.
2. Rubella
Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella
yang termasuk famili Togaviridae dan genus
Rubivirus, infeksi virus ini terjadi karena
adanya kontak dengan sekret orang yang
terinfeksi; pada wanita hamil penularan ke janin
secara intrauterin. Masa inkubasinya rata-rata
16-18 hari. Periode prodromal dapattanpa gejala
(asimtomatis), dapat juga badan terasa
lemah,demam ringan, nyeri kepala, dan iritasi
konjungtiva. Penyakit ini agak berbeda dari toksoplasmosis karena rubela hanya mengancam
janin.
Penyakit yang juga disebabkan oleh virus yang menimbulkan demam ringan dengan
ruam yang menyebar dan kadang-kadang mirip dengan campak. Rubella menjadi penting
karena penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan pada janin. Sindroma rubella congenital
terjadi pada 90% bayi yang dilahirkan oleh wanita yang terinfeksi rubella selama trimester
pertama kehamilan, resiko kecacatan ini menurun hinggga kira-kira 10-20% pada minggu ke
16 dan lebih jarang terjadi bila ibu terkena infeksi pada usia kehamilan 20 minggu.
3. Cyto Megalo Virus (CMV)
Penyakit ini disebabkan oleh Human
cytomegalovirus, subfamili betaherpesvirus, famili
herpesviridae. Penularannya lewat paparan jaringan,
sekresi maupun ekskresi tubuh yangterinfeksi (urine,
ludah, air susu ibu, cairan vagina, dan lainlain). Masa
inkubasi penyakit ini antara 3-8 minggu. Pada kehamilan
infeksi pada janin terjadi secara intrauterin. Pada bayi,
infeksi yang didapat saat kelahiran akan menampakkan
gejalanya pada minggu ke tiga hingga ke dua belas; jika didapat pada masa perinatal akan
mengakibatkan gejala yang berat.
Infeksi virus ini dapat ditemukan secara luas di masyarakat; sebagian besar wanita telah
terinfeksi virus ini selama masa anak-anak dan tidak mengakibatkan gejala yang berarti.
Tetapi bila seorang wanita baru terinfeksi pada masa kehamilan maka infeksi primer ini akan
menyebabkan manifestasi gejala klinik infeksi janin bawaan sebagai berikut:
hepatosplenomegali, ikterus, petekie, meningoensefalitis, khorioretinitis dan optic atrophy,
mikrosefali, letargia, kejang, hepatitis dan jaundice, infiltrasi pulmonal dengan berbagai
tingkatan, dan kalsifikasi intrakranial. Jika bayi dapat bertahan hidup akan disertai retardasi
psikomotor maupun kehilangan pendengaran.
4. Herpes Simplek
Penyakit ini disebabkan infeksi Herpes simplex
virus (HSV); ada 2 tipe HSV yaitu tipe 1 dan 2.
Tipe 1 biasanya mempunyai gejala ringan dan
hanya terjadi pada bayi karena adanya kontak
dengan lesi genital yang infektif; sedangkan HSV
tipe 2 merupakan herpes genitalis yang menular
lewat hubungan seksual. HSV tipe 1 dan 2 dapat
dibedakan secara imunologi. Masa inkubasi antara
2 hingga 12 hari.
Infeksi herpes superfisial biasanya mudah dikenali misalnya pada kulit dan membran
mukosa juga pada mata.
Penyakit infeksi virus yang ditandai dengan lesi primer terlokalisir, laten dan adanya
kecenderungan untuk kambuh kembali. Ada 2 jenis virus yaitu virus herpes simpleks (HSV)
tipe 1 dan 2 pada umumnya menimbulkan gejala klinis yang berbeda, tergantung pada jalan
masuknya. Dapat menyerang alat-alat genital atau mukosa mulut.
B. Penyebab TORCH
Penyebab utama dari virus dan parasit TORCH (Toxoplasma, Rubella, CMV, dan
Herpes) adalah hewan yang ada di sekitar kita, seperti ayam, kucing, burung, tikus, merpati,
kambing, sapi, anjing, babi dan lainnya. Meskipun tidak secara langsung sebagai penyebab
terjangkitnya penyakit yang berasal dari virus ini adalah hewan, namun juga bisa disebabkan
oleh karena perantara (tidak langsung) seperti memakan sayuran, daging setengah matang
dan lainnya.
1. Toxoplasma Gondii
Infeksi Toxoplasma disebabkan oleh parasit yang disebut Toxoplasma gondi. Pada
umumnya infeksi Toxoplasma terjadi tanpa disertai gejala yang spesifik. Kira-kira hanya 10-
20% kasus infeksi Toxoplasma yang disertai gejala ringan, mirip gejala influenza, bisa
timbul rasa lelah, malaise, demam, dan umumnya tidak menimbulkan masalah.
2. Rubella
Infeksi Rubella ditandai dengan demam akut, ruam pada kulit dan pembesaran kelenjar
getah bening. Infeksi ini disebabkan oleh virus Rubella, dapat menyerang anak-anak dan
dewasa muda.
3. Cyto Megalo Virus (CMV)
Infeksi CMV disebabkan oleh virus Cytomegalo, dan virus ini temasuk golongan virus
keluarga Herpes. Seperti halnya keluarga herpes lainnya, virus CMV dapat tinggal secara
laten dalam tubuh dan CMV merupakan salah satu penyebab infeksi yang berbahaya bagi
janin bila infeksi yang berbahaya bagi janin bila infeksi terjadi saat ibu sedang hamil.
4. Herpes Simplek
Infeksi herpes pada alat genital (kelamin) disebabkan oleh Virus Herpes Simpleks tipe II
(HSV II). Virus ini dapat berada dalam bentuk laten, menjalar melalui serabut syaraf
sensorik dan berdiam diganglion sistem syaraf otonom.
C. Etiologi TORCH
1. Toxoplasma Gondii
Infeksi Toxoplasma berbahaya bila terjadi saat ibu sedang hamil atau pada orang dengan
sistem kekebalan tubuh terganggu (misalnya penderita AIDS, pasien transpalasi organ yang
mendapatkan obat penekan respon imun).
Jika wanita hamil terinfeksi Toxoplasma maka akibat yang dapat terjadi adalah abortus
spontan atau keguguran (4%), lahir mati (3%) atau bayi menderita Toxoplasmosis bawaan.
pada Toxoplasmosis bawaan, gejala dapat muncul setelah dewasa, misalnya kelinan mata
dan telinga, retardasi mental, kejang-kejang dn ensefalitis.
2. Rubella
Infeksi Rubella berbahaya bila tejadi pada wanita hamil muda, karena dapat
menyebabkan kelainan pada bayinya. Jika infeksi terjadi pada bulan pertama kehamilan
maka risiko terjadinya kelainan adalah 50%, sedangkan jika infeksi tejadi trimester pertama
maka risikonya menjadi 25% (menurut America College of Obstatrician and Gynecologists,
1981).
3. Cyto Megalo Virus (CMV)
Jika ibu hamil terinfeksi. maka janin yang dikandung mempunyai risiko tertular sehingga
mengalami gangguan misalnya pembesaran hati, kuning, pekapuran otak, ketulian, retardasi
mental, dan lain-lain.
4. Herpes Simplek
Infeksi TORCH yang terjadi pada ibu hamil dapt membahayakan janin yang
dikandungnya. Pada infeksi TORCH, gejala klinis yang ada searing sulit dibedakan dari
penyakit lain karena gejalanya tidak spesifik. Walaupun ada yang memberi gejala ini tidak
muncul sehingga menyulitkan dokter untuk melakukan diagnosis. Oleh karena itu,
pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan untuk membantu mengetahui infeksi TORCH
agar dokter dapat memberikan penanganan atau terapi yang tepat.
2. Rubella
Kematian pada post natal rubella biasanya disebabkan oleh enchepalitis. Pada infeksi
awal, virus akan masuk melalui traktus respiratorius yang kemudian akan menyebar ke
kelenjar limfe sekitar dan mengalami multiplikasi serta mengawali terjadinya viremia dalam
waktu 7 hari. Janin dapat terinfeksi selama terjadinya viremia maternal. Saat ini, telah
diketahui bahwa infeksi plasenta terjadi pada 80% kasus dan risiko kerusakan jantung, mata,
atau telinga janin sangat tinggi pada trisemester pertama. Jika infeksi maternal terjadi
sebelum usia kehamilan 12 minggu, 60% bayi akan terinfeksi. Kemudian, risiko akan
menurun menjadi 17% pada minggu ke-14 dan selanjutnya menjadi 6% setelah usia
kehamilan 20 minggu. Akan tetapi, plasenta biasanya terinfeksi dan virus dapat menjadi
laten pada bayi yang terinfeksi kongenital selama bertahun-tahun.
3. Cytomegalovirus (CMV)
Penyakit yang disebabkan oleh Cytomegalovirus dapat terjadi secara kongenital saat
bayi atau infeksi pada usia anak. Kadang-kadang, CMV juga dapat menyebabkan infeksi
primer pada dewasa, tetapi sebagian besar infeksi pada usia dewasa disebabkan reaktivasi
virus yang telah didapat sebelumnya. Infeksi kongenital biasanya disebabkan oleh reaktivasi
CMV selama kehamilan. Di negara berkembang, jarang terjadi infeksi primer selama
kehamilan, karena sebagian besar orang telah terinfeksi dengan virus ini sebelumnya. Bila
infeksi primer terjadi pada ibu, maka bayi akan dapat lahir dengan kerusakan otak, ikterus
dengan pembesaran hepar dan lien, trombositopenia, serta dapat menyebabkan retardasi
mental. Bayi juga dapat terinfeksi selama proses kelahiran karena terdapatnya CMV yang
banyak dalam serviks. Penderita dengan infeksi CMV aktif dapat mengekskresikan virus
dalam urin, sekret traktus respiratorius, saliva, semen, dan serviks. Virus juga didapatkan
pada leukosit dan dapat menular melalui tranfusi.
https://www.academia.edu/8959448/TORCH_Toxoplasma_Gondii_Rubella_Cyto_Megalo_
Virus_Herpes_Simplex_Virus_?login