You are on page 1of 25

MINI CEX

RHINOSINUSITIS AKUT

Oleh

Ayu Septia Damayanti 1718012039


Nurul Hasanah 1718012171

Preceptor:

Dr.dr. Fatah Satya W, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI .......................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1


1.1 Latar Belakang .................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 2
2.1 Definisi .................................................................................. 2
2.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi ........................................... 3
2.3 Patofisiologi .......................................................................... 5
2.4 Tatalaksana............................................................................ 7
2.5 Komplikasi ............................................................................ 11
BAB III STATUS PEMERIKSAAN PASIEN ...................................... 13
BAB IV ANALISIS KASUS .................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 23
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rinosinusitis akut maupun kronis merupakan penyakit infeksi yang sering terjadi pada
usia anak–anak dan dewasa. Rinosinusitis bakterial akut dan kronis mempunyai potensi
untuk menjadi serius karena komplikasinya. The American Academy of
Otolaryngology- Head and Neck Sugery (AAOHNS) membagi beberapa tipe
rinosinusitis berdasarkan gejala, akut bila onset terjadi dalam 4 minggu, sub akut onset
terjadi antara 4 minggu dan tidak lebih dari 12 minggu, rekuren akut onset terjadinya 4
atau lebih episode pertahun dengan pengobatan komplit antara episode dalam waktu
tidak lebih 7 hari dan kronik bila onset terjadi 12 minggu atau lebih. Rata–rata kejadian
sekitar 6-8 dengan episode awal infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) pertahun dan
diperkirakan 5-100% ISPA akan menimbulkan rinosinusitis (Hadley, 2007).

Rinosinusitis akut diawali dengan adanya infeksi virus biasanya sembuh dalam waktu
7-10 hari tanpa terapi spesifik. Hal ini berlanjut menjadi rinosinusitis akut karena
infeksi bakteri dengan gejala lebih dari 10 hari dan memburuknya kondisi setelah hari
ke 5-7 dengan perkembangan sekret yang makin purulen. Umumnya bakteri pada
rinosinusitis bakterial akut (RBA) adalah Streptococcus Pneumonia, Haemophilus
Influenza, Staphylococcus Aureus, dan Moraxella Catarrhalis.Tiga kriteria diagnosis
rinosinusitis akut yang diduga berasal dari bakteri berdasarkan panduan dari AAOHNS
dengan gejala lebih dari 10 hari - 28 hari,sekret hidung atau post nasal drip yang
purulen selama 3 atau 4 hari yang disertai demam yang tinggi dan gejala memburuk
dalam 10 hari pertama. Penatalaksanaan rinosinusitis akut berupa medikamentosa dan
operatif, bila terapi medikamentosa gagal atau terjadi komplikasi ke orbital atau
intracranial (Aring, 2011).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis.Menurut
American Academy of Otolaryngology – Head & Neck Surgery 1996 istilah sinusitis
diganti dengan rinosinusitis karena dianggap lebih tepat dengan alasan :
1) Secara embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan mukosa hidung
2) Rinosinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis
3) Gejala-gejala obstruksi nasi, rhinorrhea dan hiposmia dijumpai pada rinitis ataupun
rinosinusitis.

Sinusitis diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa
sinus disebut multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis disebut
pansinusitis. Disekitar rongga hidung terdapat empat sinus yaitu sinus maksilaris
(terletak di pipi), sinus etmoidalis (kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan
sinus sfenoidalis (terletak di belakang dahi). Rhinosinusitis yang paling sering
ditemukan ialah Rhinosinusitis maksila dan Rhinosinusitis etmoid, Rhinosinusitis
frontal dan sinusuitis sfenoid lebih jarang (Mangunkusumo, 2007).

Secara klinis rinosinusitis dapat dikategorikan sebagai rinosinusitis akut bila gejalanya
berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu, rinosinusitis subakut bila berlangsung
dari 4 minggu sampai 3 bulan dan rinosinusitis kronis bila berlangsung lebih dari 3
bulan.Berdasarkan kriteria EPOS 2012 rinosinusitis akut jika terdapat gejala ≤12
minggu dan rinosinusitis kronik jika gejala ≥12 minggu tanpa adanya resolusi komplit
dari simptom.
Gambar 1. Memperlihatkan anatomi beberapa sinus paranasal

2.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi


Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osteomeatal
(KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologi, diskinensia silia seperti pada
sindrom Kartagener, dan penyakit fibrosis kistik.

Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan
kering serta kebiasaan merokok, sebab keadaan lingkungan ini menyebabkan
perubahan mukosa dan merusak silia. Etiologi rinosinusitis kronis dapat berupa virus,
bakteri dan jamur dimana virus adalah penyebab utama infeksi saluran napas atas
seperti rinosinusitis, faringitis dan sinusitis akut (EPOS, 2012).
1. Virus
Virus rinosinusitis biasanya menyerang hidung, nasofaring dan juga meluas ke sinus
termasuk didalamnya adalah rinovirus, influenza virus dan parainfluenza virus.
Infeksi virus berulang merupakan faktor resiko yang menyebabkan terjadinya
rinosinusitis kronik.
2. Bakteri
Rinosinusitis kronis dapat disebabkan oleh bakteri yang sama seperti yang
menyebabkan rinosinusitis akut. Namun karena rinosinusitis kronik biasanya
berkaitan dengan drainase yang tidak adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang
terganggu maka agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik. Bakteri penyebab
rinosinusitis kronis banyak macamnya baik anaerob maupun yang aerob, proporsi
terbesar penyebabnya adalah bakteri anaerob dan bakteri gram negarif. Bakteri aerob
yang sering ditemukan antara lain staphylococcus aureus, streptococcus viridians,
haemophilus influenzae, neisseria flavus, staphylococcus epidermidis, streptococcus
pneumonia dan escherichia coli. Sedangkan bakteri anaerob antara lain
peptostreptococcus, corynebacterium, bacteroide, dan veillonella. Infeksi campuran
antara organisme aerob dan anaerob sering kali juga terjadi. Pada kasus rinosinusitis
kronik akut eksaserbasi bakteri penyebab yang terbanyak adalah bakteri anaerob.
Bakteri gram negatif dan bakteri aerob termasuk Pseudomonas Aeruginosa sering
diisolasi pada pasien yang sudah pernah melakukan operasi sinus.
3. Fungi
Infeksi jamur juga dapat menyebabkan rinosinusitis kronik walaupun jarang terjadi.
Jamur penyebab rinosinusitis kronik adalah Aspergillus, Cryptococcus neoformans,
Candida, Sporothrix Schhenckii, Alternaria, Misetoma. Sinusitis jamur invasif
kronik biasanya terjadi pada pasien dengan gangguan imunologik atau metabolik
seperti diabetes.

Penyebab sinusitis dibagi menjadi:


1) Rinogenik
Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan
sinusitis. Contohnya rinitis akut, rinitis alergi, polip, deviasi septum dan lain-lain.
Alergi juga merupakan predisposisi infeksi sinus karena terjadi edema mukosa dan
hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak menyebabkan infeksi lebih lanjut,
yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan siklus seterusnya berulang.

Etiologi terkait rhinosinusitis rinogenik adalah:


a. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat
menyebabkan obstruksi ostium yang memicu rhinosinusitis (Budiman, 2008).
b. Deviasi PU (Processus unsinatus, tonjolan pada dinding lateral kavum nasi)
dapat mengganggu fungsi mukosilier sehingga mengganggu ventilasi dan
drainase sinus maksila, sinus etmoid dan sinus sfenoid.
c. Rhinitis alergi
2) Dentogen
Merupakan penyebab paling sering terjadinya sinusitis kronik. Dasar sinus maksila
adalah prosessus alveolaris tempat akar gigi, bahkan kadang-kadang tulang tanpa
pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi gigi apikal akar gigi, atau inflamas
jaringan periondontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui
pembuluh darah dan limfe. Harus dicurigai adanya sinusitis dentogen pada sinusitis
maksila kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus yang purulen dan napas
berbau busuk. Bakteri penyebabnya adalah. Streptococcus pneumoniae, Hemophilus
influenza, Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus, Branchamella catarhalis
dan lain-lain.

Etiologi Rhinosinusitis dentogen adalah:


a. Penjalaran infeksi gigi, infeksi periapikal gigi maksila dari kaninus sampai gigi
molar tiga atas.
b. Prosedur ekstraksi gigi, misalnya terdorong gigi ataupun akar gigi sewaktu akan
diusahakan mencabutnya, atau terbukanya dasar sinus sewaktu dilakukan
pencabutan gigi.
c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu adanya penjalaran infeksi dari membran
periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus.
d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan sinus
maksila.
e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan tambalan
akibat pengisian saluran akar yang berlebihan.
f. Osteomielitis akut dan kronis pada maksila.
g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista radikuler
dan folikuler.

2.3 Patofisiologi
Infeksi saluran nafas atas menyebabkan terjadinya reaksi peradangan pada mukosa
hidung, mukosa sinus termasuk juga mukosa ostium sinus. Keadaan ini akan
mempersempit ostium sinus yang secara keseluruhan sudah sempit dan letaknya
tersembunyi atau bahkan menyebabkan obstruksi ostium . Oksigen yang ada dalam
rongga sinus akan diresorbsi oleh kapiler submukosa sehingga terjadi hipoksia dan
tekanan oksigen yang rendah didalam rongga sinus. Keadaan hipooksigen juga akan
menyebabkan vasodilatasi kapiler di submukosa, permeabilitas pembuluh darah
meningkat dan terjadilah proses transudasi.

Transudat yang terbentuk sebagian diresorbsi oleh submukosa sehingga akan


menambah edema submukosa dan sebagian lagi akan terperangkap didalam rongga
sinus. Tekanan oksigen yang rendah juga akan mengganggufungsi sinus dimana
kelumpuhan gerak silia ini akan menambah timbunan transudat didalam rongga sinus.
Transudat yang tertimbun, kadar oksigen yang terendah, gerak silia yang berkurang dan
sempitnya ostium merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan kuman.

Adanya bakteri dan lapisan mukosilia yang abnormal meningkatkan kemungkinan


terjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari virus. Konsumsi oksigen oleh bakteri akan
menyebabkan keadaan hipoksia di dalam sinus dan akan memberikan media yang
menguntungkan untuk berkembangnya bakteri anaerob. Penurunan jumlah oksigen juga
akan mempengaruhi pergerakan silia dan aktivitas leukosit. Sinusitis kronis dapat
disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia yang tidak adekuat, obstruksi sehingga
drainase sekret terganggu, dan terdapatnya beberapa bakteri patogen. Bila kondisi ini
menetap, sekret yang dikumpul dalam sinus merupakan media baik untuk pertumbuhan
dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen.

Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi
antibiotik.Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka sehingga drainase sekret
akan terganggu. Drainase sekret yang terganggu dapat menyebabkan silia rusak dan
seterusnya. Rinosinusitis terjadi bila edema di mukosa kompleks ostiomeatal yang
letaknya berhadapan akan saling bertemu sehingga sekretnya ini menebal dan bila
ditunggangi kontaminasi bakteri maka mukosanya akan mengandung purulen. Virus
juga memproduksi enzim neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan
mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia hal ini menyebabkan silianya menjadi
kurang aktif dan sekret yang dihasilkan mukosa sinus menjadi kental sehingga tidak
dapat dialirkan. Maka akan terjadi gangguan drenase dan ventilasi di dalam sinus. Bila
sumbatan ini berlangsung berulang atau terus-menerus yang akan menyebabkan
rinosinusitis kronis sehingga akan terjadi hipoksia dan retensi lender yang kemudian
timbul infeksi oleh bakteri aerob maupun anaerob.
2.4 Tatalaksana
Penatalaksanaan pasien dengan rinosinusitis kronis merupakan suatu tantangan bagi
dokter spesialis telinga hidung tenggorok, karena banyaknya faktor yang terlibat dalam
patofisiologi dari penyakit ini. Faktor lingkungantermasuk berbagai macam
mikroorganisme dan interaksi dengan pejamu bertanggung jawab terhadap gejala dari
rinosinusitis kronis(Dlugaszewska, et al., 2015).

Penatalaksanaan rinosinusitis tergantung dari jenis,derajat serta lama penyakit masing-


masing penderita. Pada RSA terapi medikamentosa merupakan terapi utama,sedang
pada RSK terapi bedah mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dari pada
medikamentosa. Terapi medikamentosa merupakan terapi yang penting karena lebih
sederhana, mudah dilaksanakan serta relatif lebih murah dari terapi pembedahan.

Penatalaksanaan standar rinosinusitis kronis pada orang dewasa saat ini yang
direkomendasikan oleh kelompok studi Rinologi PERHATI-KL meliputi pemberian
antibiotik, dekongestan oral, kortikosteroid dan mukolitik disertai terapi tambahan
irigasi hidung (Mangunkusumo, 2011).

2.4.1 Terapi Medikamentosa


Terapi medikamentosa memegang peranan penting dalam penanganan RS.
Tujuan terapi medikamentosa yang utama adalah untuk mengembalikan fungsi
drainase sinus. Pada dasarnya yang ingin dicapai oleh terapi medikamentosa
adalah kembalinya kondisi normal di dalam rongga hidung. Hal ini dapat
dilakukan dengan melakukan pelembaban (moisturizing,humidification) untuk
mengurangi/menghilangkan udem mukosa serta mengembalikan fungsi transpor
mukosiliar. Beberapa upaya diantaranya adalah : saline nasal
spray,humidification dan pemberian mukolitik. Irigasi dengan larutan garam
faal dapat membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret yang
kental,sedangkan humidification dapat mencegah kekeringan dan pembentukan
krusta.
1. Dekongestan
Obat dekongestan yang digunakan dalam pengobatan RS pada umumnya
adalah perangsang reseptor a-adrenergik,yang dapat menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh kapiler mukosa rongga hidung sehingga
mengurangi udem dan menghilangkan sumbatan hidung serta
mengembalikan patensi ostia sinus. Dekongestan dapat diberikan dalam
bentuk topikal maupun sistemik (oral). Dekongestan topikal dapat diberikan
dalam bentuk tetes maupun semprot hidung. Penggunaan dibatasi tidak lebih
dari 5 hari karena pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan timbulnya
rinitis medikamentosa. Pemberian dekongestan sistemik harus hati-hati dan
sebaiknya tidak digunakan pada Penderita dengan kelainan
kardiovaskular,hipertiroid atau hipertropi prostat.
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal (semprot hidung) dilaporkan bermanfaat pada
pengobatan RSA maupun RSK baik dengan atau tanpa latar belakang alergi.
Kortikosteroid topikal dapat mengurangi inflamasi dan mengurangi
sensitifitas reseptor kolinergik mukosa rongga hidung sehingga mengurangi
sekresi. Beberapa kortikosteroid yang tersedia dalam bentuk semprot hidung
diantaranya adalahbeklometason, flutikason, mometason. Kortikosteroid
sistemik banyak bermanfaat pada RSK dengan pembentukan polip atau pada
allergicfungal rhinosinusitis. Pada RSA mungkin bermanfaat untuk
menghilangkan udem dan mencegah inflamasi pada mukosa hidung dan
sinus. Pengobatan jangka pendek cukup efektif dan aman,namun untuk
jangka panjang penghentian pengobatan harus dilakukan secara bertahap
(tappering off).
3. Antihistamin
Pemberian antihistamin pada rinosinusitis akut masih kontroversial.
Antihistamin memang merupakan obat yang sangat efektif untuk mencegah
serangan alergi sehingga penggunaannya pada RS hanya bermanfaat pada
RSK dengan latar belakang alergi. Antihistamin klasik mempunyai efek anti
kolinergik yang mengurangi sekresi kelenjar.Dampak efek ini menyebabkan
mengentalnya mukus sehinggamengganggu drainase. Untuk menghindari
efek kolinergik dapatdigunakan antihistamin generasi II (loratadin, setirizin,
terfenadin) atau turunannya seperti desloratadin, levosetirizin maupun
feksofenadin.
4. Antibiotik
Antibiotik merupakan terapi penting pada RSAB disamping terapi
medikamentosa lainnya. Untuk memilih antibiotik yang tepat
perlupengetahuan tentang kuman penyebab serta kepekaannya
terhadapantibiotik yang tersedia.

Berdasarkan kuman penyebab maka pilihan pertama antibiotik pada RSA


adalah amoksisilin (first line drugs), karena obat ini efektif terhadap
Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae yangmerupakan dua
kuman terbanyak ditemukan sebagai penyebab RSAB. Di Amerika kuman
gram negatif penghasil enzim beta-laktamase sudah banyak ditemukan
sehingga antibiotik pilihan beralih pada kombinasi amoksisilin dan
klavulanat. Antibiotik harus diberikan 10-14 hari agar dapat dicapai hasil
pengobatan yang maksimal.

Meningkatnya kuman yang resisten terhadap berbagai antibiotik menjadi


perhatian serius para ahli sehingga berbagai uji coba antibiotik baru
dilakukan untuk mencari alternatif pilihan antibiotik. Pilihan antibiotik
lainnya bisa digunakan seperti golongan kuinolon, sefiksim, sefdinir,
sefprozil dan sefuroksim dengan efektifitas klinik yang tidak jauh berbeda
satu dengan yang lainnya. Pilihan lain adalah golongan makrolid baru yang
mempunyai potensi antibakterial yang tinggi seperti klaritromisin,
roksitromisin serta azitromisin terutama untuk penderita yang sensitif
terhadap golongan betalaktam.

Pilihan antibiotik lini pertama ditentukan bila RSA baru pertama kali
diderita dan tidak ada riwayat pemberian antibiotik sebelumnya. Apabila
penderita mengalami RSA berulang atau ada riwayat pemberian antibiotik
sebelumnya maka pilihan lini kedua perlu dipertimbangkan.

Terapi medikamentosa bukanlah terapi utama pada RSK. Eliminasi


penyebab RSK seperti kelainan pada daerah KOM harus diupayakan agar
tercapai hasil terapi yang memuaskan. Antibiotik bila digunakan harus
diberikan dalam jangka lebih lama yaitu 4-6 minggu,dan sebaiknya
dilakukan tes kepekaan kuman terlebih dahulu. Disamping itu perlu evaluasi
terhadap faktor penyebab lainnya seperti alergi dan penyakit sistemik
lainnya.

2.4.2 Terapi Bedah


Pada umumnya RSA tidak memerlukan tindakan bedah, kecuali beberapa kasus
yang mengalami komplikasi atau tidak memberikan respon dengan terapi medis
yang tepat. Tindakan bedah bisa berupa irigasi sinus (antral lavage), nasal
antrostomy,operasi Caldwell-Luc dan Functional Endoscopic Sinus Surgery
(FESS).
1. Irigasi Sinus (Antral lavage)
Kegagalan sinus maksilaris untuk membersihkan sekret atau produk infeksi
dengan terapi medis yang adekuat mengakibatkan rusaknya mucociliary
blanket atau obstruksi pada ostium sinus. Hal ini mengakibatkan retensi
mukopus dan produk infeksi lain di dalam antrum. Pada kondisi ini irigasi
sinus maksilaris akan membuang produk-produk infeksi seperti jaringan
nekrotik,kuman-kuman penyakit dan debris yang terjadi. Juga dapat
dilakukan pemeriksaan kultur dan sitologi. Tindakan irigasi ini akan
membantu ventilasi dn oksigenasi sinus. Tindakan irigasi sinus dapat
dilakukan melalui meatus inferior dengan menggunakan trokar bengkok
atau lurus.
2. Nasal Antrostomy
Indikasi tindakan ini adalah infeksi kronis,infeksi yang rekuren dan adanya
oklusi ostium sinus. Adanya lubang yang cukup lapang pada antrostomy
memungkinkan drainase secara gravitasi,sehingga akan mengurangi
infeksi,adanya akses untuk antral lavage, serta dapat melakukan visualisasi
ke dalam sinus yang memungkinkan mengeluarkan jaringan nekrotik atau
benda asing. Tindakan ini biasanya dilakukan melalui meatus
inferior,prosedur ini juga dikenal dengan naso antral window dan dapat
dilakukan secara lokal maupun general anestesi.
3. Operasi Caldwell-Luc
Prinsip dari operasi ini yaitu membuka dinding depan sinus maksila pada
daerah fosa kanina transbuccal antrostomy),dan membuat nasoantral
window melalui meatus inferior. Dengan cara ini memungkinkan visualisasi
yang lebih baik ke dalam sinus maksila,sehingga penilaian penyakit di
antrum dapat lebih baik.
4. Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS)
Konsep endoskopi untuk diagnosis dan terapi operatif dari sinusitis rekuren
didasarkan atasp enemuan Messerklinger, bahwa hampir semua infeksi pada
sinus maksila dan frontal adalah rinogen dan merupakan infeksi sekunder
dari fokus yang terdapat pada selulae etmoidalis anterior,khusus di daerah
infundibulum etmoidalis dan resesus frontalis yang dikenal sebagai
ostiomeatal unit,yang kemudian menyebar ke dalam sinus-sinus besar
tersebut. Indikasi tindakan FESS ini meliputi :
 Sinusitis akut rekuren atau kronis pada semua sinus paranasalis
 Poliposis nasi
 Mukokel pada sinus paranasalis
 Mikosis pada semua sinus paranasalis
 Benda asing
 Osteoma yang kecil
 Fistula liquorserebrospinalis dan meningoensefalokel

2.5 Komplikasi
Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan seringkali
membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya teknologi diagnostik
dan antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari. Komplikasi rinosinusitis dibedakan
menjadi komplikasi orbita, oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya.

Komplikasi orbita :
a) Selulitis periorbita
b) Selulitis orbita
c) Abses subperiosteal
d) Abses orbita

Komplikasi oseus/tulang : Osteomielitis (maksila dan frontal)

Komplikasi endokranial:
a) Abses epidural / subdural
b) Abses otak
c) Meningitis
d) Serebritis
e) Trombosis sinus kavernosus

Komplikasi lain yang sangat jarang terjadi : abses glandula lakrimalis, perforasi septum
nasi, hilangnya lapangan pandang, mukokel/mukopiokel, septikemia.
BAB III
STATUS PEMERIKSAAN PASIEN

Nama / Umur :Tn. D / 23 tahun


Jenis Kelamin :Laki – Laki
Pendidikan : S1
Suku Bangsa :Jawa
Alamat :Metro
Pekerjaan :Belum bekerja

ANAMNESIS (autoanamnesis)
Keluhan Utama
Keluar cairan berbau dari hidung kiri sejak 10 hari yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poli THT-KL RSAY Metrodengan keluhan keluar cairan berbau dari
hidung kiri sejak 10 hari yang lalu. Pasien mengatakan baru pertama kali merasakan
keluhan seperti ini. Keluhan dirasakan hilang timbul yang tidak tergantung oleh waktu.
Keluhan disertai nyeri pipi kiri, demam, kemampuan menghidu berkurang, sakit gigi
graham atas sebelah kiri, dan terkadang pasien merasa ada ingus yang mengalir di
tenggorokan.

Awalnya, cairan yang keluar berwarna kehijauan, kental, berbau tidak sedap, tidak
disertai darah, dan terasa sulit keluar. Ketika pasien menundukkan kepala atau posisi
sujud, pasien merasa cairan seperti mengalir dan nyeri pipi kiri terasa semakin
memberat. Pasien mengatakan telah meminum antibiotic amoxicillin 3 kali sehari
selama seminggu, yang dibeli sendiri di apotek tanpa resep dokter. Kemudian pasien
merasa cairan menjadi lebih mudah keluar dan demam sudah tidak lagi dirasakan.
Keluhan lain seperti nyeri telinga, pendengaran menurun, nyeri menelan,hidung gatal,
dan bersin-bersin di pagi hari disangkal

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat alergi terhadap makanan, debu, perubahan cuaca, dan obat disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluhan serupa pada keluarga disangkal. Riwayat alergi, asma disangkal.

Riwayat Pribadi (Sosial)


Kebiasaan merokok disangkal.

PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis
Kesadaran :Compos Mentis
Tanda Vital
TD : 120/70 mmHg
Nadi :88 x/menit
RR :18x/menit
Suhu : 36,9 oC

Sistem kardiovaskuler : Kesan dalam batas normal


Sistem Respirasi : Kesan dalam batas normal
Kulit : Kesan dalam batas normal
Ekstremitas : Kesan dalam batas normal

PEMERIKSAAN TELINGA

Kanan Kiri
Daun Telinga
- Bentuk Normotia Normotia
- Warna kulit Sama dengan sekitarnya Sama dengan sekitarnya
- Nyeri tarik Negatif Negatif
- Tumor Negatif Negatif
Pre-aurikular
- Kulit Sama dengan sekitarnya Sama dengan sekitarnya
- Nyeri tekan Negatif Negatif
- Fistel, secret Negatif Negatif
- Tumor Negatif Negatif
Post-aurikular
- Kulit Sama dengan sekitarnya Sama dengan sekitarnya
- Nyeri tekan Negatif Negatif
- Fistel, sekret Negatif Negatif
Liang Telinga
- Lapang/ sempit Lapang Lapang
- Kulit Merah muda Murah muda
- Radang, edem Negatif Negatif
- Serumen Negatif Negatif
- Sekret Negatif Negatif
- Tumor Negatif Negatif
Membran Timpani
- Warna Putih Putih
- Bulging/ retraksi Negatif Negatif
- Refleks cahaya Positif (arah jam 5) Positif (arah jam 7)
- Gerakan Normal Normal
- Perforasi (letak) Negatif Negatif
- Mukosa antrum Inflamasi (-) Inflamasi (-)

PEMERIKSAAN HIDUNG kanan kiri


Hidung Luar
- Kulit Sama dengan sekitarnya Sama dengan sekitarnya
- Dorsum nasi Simetris, deviasi (-) Simetris deviasi (-)
- Nyeri tekan, krepitasi Negatif Negatif
- Ala nasi Normal Normal
- Nyeri tekan frontal Negatif Negatif
- Nyeri tekan maksila Negatif Positif
- Nares anterior Normal Normal
- Tumor, fistel Negatif Negatif
Rhinoskopi Anterior
- Vestibulum Hiperemi (-) Hiperemi (-)
- Mukosa cavum nasi Merah muda Hiperemi (+)
- Septum Deviasi (-) Deviasi (-)
- Mukosa septum Merah muda Hiperemi (+)
- Sekret Negatif Positif
- Tumor Negatif Negatif
- Konka inferior
- Warna Merah muda Hiperemi (+)
- Edem Negatif Positif
- Sekret Negatif Positif (mukopurulen)
- Hipertrofi Negatif Negatif
Rhinoskopi Posterior
- Mukosa Merah muda Hiperemi (+)
- Nares posterior Sedang Sedang
- Septum Deviasi (-) Deviasi (-)
- Konka superior
- Warna Merah muda Hiperemi (+)
- Edem Negatif Positif
- Sekret Negatif Positif
- Hipertrofi Negatif Negatif
- Atap nasofaring -
- Fossa Rosenmuler -
- Torus tubarius -
- Sekret Post nasal drip (+) Post nasal drip (+)
- Tumor Negatif Negatif

PEMERIKSAAN CAVUM ORIS


- Mukosa Normal
- Ginggiva Normal
- Gigi Caries dentis M2
- Lidah Normal
- Palatum durum Normal
- Palatum molle Normal
- Uvula Normal
- Sekret Negatif
- Tumor Negatif

PEMERIKSAAN FARING
- Mukosa Hiperemis (-)
- Sekret Negatif
- Granula Negatif
- Arkus anterior Normal
- Arkus posterior Normal
- Tonsil T1 T1

PEMERIKSAAN LARING
- Mukosa
- Secret
- Basis lidah
- Epiglottis
- Pl. Ariepiglotika
- Valekula
- Sinus piriformis
- Aritenoid
- Pl. Ventrikularis
- Plika vokalis
- Rima glottis
- Trakea

PEMERIKSAAN NERVI KRANIALIS


- N. Olfactorius
- N. Opthicus
- N. Occulomotorius
- N. Trochlearis
- N. Trigeminus
- N. Abduscen
- N. Facialis
- N. Statoacusticus
- N. Glossofaringeus
- N. Vagus
- N. Accesorius
- N. Hypoglossus

PEMERIKSAAN LEHER
- Klenjar parotis Pembesaran (-), Hiperemi (-)
- Kelenjar submandibularis Pembesaran (-), Hiperemi (-)
- Kelenjar sublingualis Pembesaran (-), Hiperemi (-)
- Kelenjar tiroid Pembesaran (-), Hiperemi (-)
- Trigonum anterior Pembesaran (-), Hiperemi (-)
- Trigonum posterior Pembesaran (-), Hiperemi (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Test Pendengaran
- Test bisik Tidak dilakukan
- Tes Rinne Tidak dilakukan
- Test Weber Tidak dilakukan
- Test Scwabach Tidak dilakukan
- Audiometri Tidak dilakukan

Transiluminasi
- Sinus maksilaris Sinar positif/negatif
- Sinus frontalis Sinar positif/posotif

Laboratorium
- Tidak dilakukan

Radiologi
- Tidak dilakukan
Pemeriksaan Lain
- Tidak dilakukan

DIAGNOSA KERJA
Rhinosinusitis Akut

DIAGNOSIS BANDING

USULAN PEMERIKSAAN
1. Foto Polos Posisi Waters
2. CT Scan Sinus
PENATALAKSANAAN / TERAPI
1. Edukasi
a. Jaga kebersihan gigi
b. Cabut gigi yang menimbulkan masalah
2. Antibiotik: Cefadroxille 2 x 500 mg selama 10 hari
3. NSAID: Natrium Diclofenac 2 x 50 mg sampai nyeri hilang
4. Pencucian rongga hidung dengan larutan NaCL 0,9%

PROGNOSIS :
- Quo ad vitam : ad Bonam
- Quo ad fuctionam : Dubia ad Bonam
- Quo ad sanationam : Dubia ad Bonam
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pada pasien ini, dalam anamnesis didapatkan adanya keluar sekret dari hidung sebelah kiri
yang berbau, nyeri pada pipi kiri dan penurunan fungsi penciuman. Keluhan ini baru
dirasakan sejak 10 hari yang lalu. Gejala pada pasien ini memenuhi kriteria rhinosinusitis
berdasarkan EPOS 2012, dimana adanya pengeluaran sekret dari hidung, nyeri pada wajah
dan penurunan fungsi penciuman. Namun pada pasien ini sudah tidak mengalami hidung
tersumbat karena pasien mengaku bahwa hidung tersumbat hanya terjadi saat keluhan
pertama muncul. Sesuai juga dengan apa yang ditulis dalam EPOS bahwa sumbatan pada
hidung dapat ada ataupun tidak ada. Gejala lainnya berupa adanya sekret berwarna kehijauan,
kental, dan berbau tidak sedap, disertai dengan demam, hal ini menunjukkan bahwa penyebab
rinosinusitis dapat berupa infeksi bakterial, dimana fokus infeksi bisa berasal dari gangguan
pada gigi geraham atas sebelah kiri yang dibuktikan dengan pemeriksaan fisik. Selain gejala-
gejala yang dialami, dapat dilihat juga pada durasi terjadinya gejala. Gejala-gejala yang
dirasakan oleh pasien ini baru pertama kali dirasakan dan terjadi 10 hari, dimana sesuai
dengan durasi gejala rinosinusitis akut yaitu < 12 minggu.

Alasan berikut yang menjadi dasar pasien ini didiagnosa dengan rinosinusitis akut terlihat
pada pemeriksaan fisik. Pasien ini merasa nyeri pada sinus maksilaris kiri ketika dipalpasi.
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior ditemukan mukosa cavum nasi sinistra tampak
hiperemis, konka inferior tampak hiperemis, edema dan sekret didapatkan mukopurulen.
Pemeriksaan rhinoskopi anterior pada sisi dekstra dalam batas normal. Penemuan tersebut
sesuai dengan EPOS bahwa dikatakan pada pemeriksaan fisik rhinoskopi anterior dapat
ditemukan gejala berupa tanda-tanda inflamasi, edema mukosa, dan sekret purulen, bahkan
dapat ditemukan adanya polip atau kelainan anatomis lain. Pada pemeriksaan rhinoskopi
posterior didapatkan post nasal drip (+). Hasil pemeriksaan ini sesuai dengan hasil
pemeriksaan pada rinosinusitis akut. Pasien mengatakan bahwa terdapat riwayat demam,
pada EPOS 2012, demam dengan suhu >38oC berhubungan dengan temuan kultur bakteri
yang positif, biasanya berupa infeksi S.pneumoniaedan H.influenzae, yang dapat diapat pada
aspirasi cairan sinus, namun pada pemeriksaan pasien didapatkan suhu 36oC, hal ini mungkin
dikarenakan pasien sebelumnya sudah minum obat yang telah dibeli sendiri. Pemeriksaan
pada cavum oris, ditemukan adanya caries dentis pada gigi geraham atas kiri, temuan ini
dapat merupakan tempat masuknya infeksi ke sinus maksila sinistra. Pemeriksaan lainnya
dalam batas normal.

Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan penunjang, sesuai pada EPOS 2012 bahwa
pemeriksaan penunjang bukan merupakan hal yang rutin dilakukan untuk menegakkan
diagnosis rhinosinusitis akut. Namun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa
cek laboratorium darah rutin, pemeriksaan C-reactive protein, pemeriksaan endoskopi nasal,
dan pemeriksaan radiologis. Pada pasien ini, dianjurkan pemeriksaan radiologis foto polos
posisi Waters dan CT scan sinus untuk mengkonfirmasi kelainan anatomis dan luasnya
patologis pada rhinosinusitis akut.

Penatalaksanaan pasien berupa tatalaksana non-medikamentosa dan medikamentosa. Pasien


diberi edukasi berupa menjaga kebersihan gigi dan dianjurkan untuk memeriksakan gigi yang
bermasalah ke dokter gigi, jika perlu untuk dilakukan pencabutan gigi. Hal ini bertujuan
untuk menghilangkan pintu masuknya infeksi agar mencegah terjadinya rhinosinusitis
rekuren. Pada tatalaksana medikamentosa, pasien diberikan obat antibiotik cefadroksil 2x500
mg selama 10 hari dan NSAID natrium diclofenac 2x50 mg sampai nyeri hilang. Pemberian
antibiotik bertujuan untuk menatalaksana penyebab terjadinya rhinosinusitis akut yang dalam
hal ini berupa infeksi bakteri. Pada EPOS 2012 dikatakan bahwa pemberian antibiotik pada
rhinosinusitis akut ringan, sedang, atau tanpa komplikasi terbukti tidak memberikan manfaat
yang besar pada sebagian besar penelitian, dan juga tidak direkomendasikan pada sebagian
besar guideline. Penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat menyebabkan resistensi pada
pasien, maka perlu dipertimbangkan penggunaannya terutama pada kasus rhinosinusitis akut.
Pada kasus ini, pemilihan pemberian antibiotik melihat dari gejala dan tanda yang ditemukan
pada pasien yang mengarah pada infeksi bakterial. Pemberian terapi NSAID bertujuan untuk
mengurangi simptom pada pasien, yaitu efek analgesik untuk meredakan nyeri pada pasien
dengan efek samping yang minimal. Pasien juga dapat diberikan terapi kortikosteroid, namun
pemberian kortikosteroid memiliki efek samping jangka panjang yang lebih berat, sehingga
lebih dipilih NSAID untuk terapi simptomatis pada pasien kasus ini. Selain itu, pasien juga
diberi terapi pencucian rongga hidung dengan NaCl 0,9%, hal ini bertujuan untuk
meningkatkan klirens mukosiliar pada hidung untuk mengurangi simptom pada pasien. Pada
EPOS 2012 dikatakan bahwa irigasi nasal dengan cairan saline memiliki efek yang terbatas
pada orang dewasa, sedangkan pada anak-anak memiliki efek yang signifikan dan dapat
mencegah rekurensi infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E & Soetjipto D. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung,
tenggorok, kepala dan leher. Edisi keenam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007
2. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis and nasal
polyps (EPOS 2012). Rhinology, 2012
3. Budiman BJ, Azani. Rinosinusitis kronik dengan Variasi Anatomi Cavum Nasi. Bagian
THT-KL Universitas Andalas. 2008. Padang: Universitas Andalas

You might also like