You are on page 1of 87

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.

N DENGAN DIAGNOSA MEDIS


MYASTHENIA GRAVIS DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT (ICU)
RSUD PASAR REBO JAKARTA TIMUR
(01 April – 5 April 2019)

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Laporan Kasus Kelompok
Keperawatan Gawat Darurat dan Keperawatan Kritis

Disusun Oleh :
Kelompok 1

Tri Ayu Laksana 1035181025


Panderamadon 1035181015
Lutfiah 1035181010
Devita Junishertia 1035181004

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS MH. THAMRIN
JAKARTA, 2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur yang sedalam-dalamnya kita curahkan kehadirat Allah


SWT yang telah senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, serta sholawat
dan salam kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah ini yang berjudul : Asuhan Keperawatan Pada
Ny. N Dengan Diagnosa Medis Myasthenia Gravis Di Ruang Intensive Care Unit
(Icu) RSUD Pasar Rebo Jakarta Timur (01 April – 5 April 2019). Adapun tujuan
dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi syarat salah satu laporan kasus
kelompok Keperawatan Gawat Darurat dan Keperawatan Kritis.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan rasa terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan
dan bimbingan baik berupa moral, spiritual maupun material sehingga makalah ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan makalah ini, saya selaku penulis menyadari dengan


sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna baik dari segi isi
maupun cara penulisan. Oleh karena itu dengan rendah hati dan terbuka, penulis
menerima saran dan kritik yang sifatnya membangun dan bermanfaat untuk lebih
baiknya karya ilmiah ini di kemudian hari.

Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak, memberikan informasi bagi teman-teman dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Jakarta, April 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...........................................................................................


KATA PENGANTAR .........................................................................................
DAFTAR ISI .......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................
1.2 Tujuan Penulisan ..........................................................................
1.2.1 Tujuan Khusus.....................................................................
1.2.2 Tujuan Umum .....................................................................
1.3 Manfaat Penulisan ........................................................................
1.3.1 Pelayanan dan Masyarakat ..................................................
1.3.2 Ilmu Keperawatan ...............................................................
1.3.3 Profesi..................................................................................
1.3.4 Institusi Pendidikan .............................................................
1.4 Sistematika Penulisan...................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi .........................................................................................
2.2 Etiologi .........................................................................................
2.3 Klasifikasi.....................................................................................
2.4 Manifestasi Klinis ........................................................................
2.5 Krisis pada myasthenia Gravis .....................................................
2.6 Patofisiologi .................................................................................
2.7 Komplikasi ...................................................................................
2.8 Diagnosa Myasthenia Gravis .......................................................
2.9 Penatalaksanaan ...........................................................................
2.10 Proses Keperawatan ...................................................................
BAB III TINJAUAN KASUS
3.1 Pengkajian Keperawatan ..............................................................
3.2 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan .........................................
3.5 Catatan Perkembangan Keperawatan (Implementasi dan
Evaluasi Keperawatan) .................................................................
BAB IV PEMBAHASAN
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ...................................................................................
5.2 Saran ..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Myasthenia Gravis mungkin masih asing di telinga bagi sebagian masyarakat
karena termasuk penyakit yang tidak sering dijumpai. Penyakit ini terjadi karena
terjadi kerusakan pada penghubung dari saraf ke otot (neuromuskular junction).
Pertama kali di temukan pada tahun 1895 oleh Friedrich Jolly, seorang ahli saraf
asal Jerman. Myasthenia Gravis merupakan suatu penyakit autoimun. Seperti yang
kita ketahui, di dalam tubuh manusia terdapat sistem pertahanan tubuh (imunitas)
yang berfungsi melindungi tubuh terhadap masuknya benda asing, seperti virus,
bakteri, jamur maupun benda asing lainnya. Pada penderita Myasthenia Gravis,
terdapat gangguan pengenalan benda asing, dimana bagian penghubung saraf dan
otot juga dianggap mirip benda asing sehingga ikut diserang oleh sistem
pertahanan tubuh dan akhirnya terjadi kerusakan (Depkes, 2019).

Myasthenia gravis merupakan gangguan transmisi neuromuskuler, yang


dihasilkan dari pengikatan antibodyterhadap kompenen sambungan
neuromuscular. Hasil temuan yang diungkapkan American Academy of Neurology
bahwa penyakit ini dapat ditemui ditengah masyarakat dengan nilai perbandingan
2 dari setiap 100.000 orang (Sanders dkk, 2016).

Penelitian yang dilakukan National Organization for Rare Disorder (nord)


menemukan penyakit yang menyerang autoimun ini banyak terjadi di beberapa
Negara maju, penyebabnya terjadi karena kebiasaan diet tidak sehat, paparan
polusi,habitat infeksi,dan beban stress yang tinggi. Paling signifikan
peningkatannya terjadi di Israel dengan peningkatan 12,9%, diposisi kedua
Belanda dengan peningkatan 10%, Amerika dengan peningkatan 8,8%, Swedia
8,4%, Inggris dengan peningkatan 7,8%. Finlandia dengan peningkatan 7,6%,
Kanada 7,3%, dan terakhir Denmark dengan 6,3% (Lerner dkk, 2015).
Data yang diperoleh Departemen Kesehatan RI pada 2019 di RSUD Kariadi
Semarang myasthenia gravis lebih sering ditemukan tergantung pada usia dan
jenis kelaminnya, usia pasien kurang dari 40 tahun berasal dari wanita dan pada
usia lebih dari 60 tahun dari pria, hal ini menunjukkan jenis kelamin dan umur
menjadi faktor yang mempengaruhi seseorang pasien menderita penyakit ini.

Hasil penemuan diatas sesuai dengan hasil penelitian di RSUP Dr M Djamil


Padang wanita mendominasi sebagai pasien myasthenia gravis, sebanyak 84,2%
pasien berasal dari wanita dan 16,8% dari pasien pria. Pasien yang dapat keadaan
kualitas hidup yang baik berada pada usia 20-49 tahun 86,2%, dan 13,8% pasien
dengan usia tidak mendapatkan kualitas hidup yang baik (Muhammad dkk, 2019).

1.2 Tujuan penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menerapkan proses asuhan keperawatan pada pasien dengan
masalah utama myasthenia gravis. Mengidentifikasi asuhan keperawatan pada Ny.
N dengan Myasthenia Gravis di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUD Pasar
Rebo tahun 2019.

1.2.2 Tujuan Khusus


1.2.2.1 Melakukan pengkajian pada Ny. N dengan Myasthenia Gravis di Ruang
Intensive Care Unit (ICU) RSUD Pasar Rebo tahun 2019.
1.2.2.2 Merumuskan diagnosa keperawatan yang muncul pada Ny. N dengan
Myasthenia Gravis di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUD Pasar Rebo
tahun 2019.
1.2.2.3 Merumuskan intervensi keperawatan pada Ny. N dengan Myasthenia
Gravis di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUD Pasar Rebo tahun 2019.
1.2.2.4 Melakukan atau melaksanakan tindakan keperawatan pada Ny. N dengan
Myasthenia Gravis di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUD Pasar Rebo
tahun 2019.
1.2.2.5 Melakukan evaluasi keperawatan pada Ny. N dengan Myasthenia Gravis
di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUD Pasar Rebo tahun 2019
1.2.2.6 Mengidentifikasi kesenjangan antar teori dan kasus pada Ny. N dengan
Myasthenia Gravis di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUD Pasar Rebo
tahun 2019.

1.3 Manfaat Penulisan


1.3.1 Bagi penulis
1.3.1.1 Penulis dapat memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan
Myasthenia Gravis.
1.3.1.2 Menambah wawasan dan pengetahuan dalam penyusunan karya tulis
ilmiah khususnya Myasthenia Gravis.
1.3.1.3 Mengembangkan pola pikir penulis dalam menerapkan teori dengan
praktek di lahan, khususnya Myasthenia Gravis.

13.2 Bagi Profesi


Makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada perawat khususnya
pada profesi perawat agar dapat lebih meningkatkan mutu pelaksanaan asuhan
keperawatan yang optimal khususnya pada klien dengan Myasthenia Gravis.

13.3 Institusi Pendidikan


Penulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan bacaan di perpustakaan
sehingga dapat dijadikan dokumentasi ilmiah untuk meningkatkan pengembangan
asuhan keperawatan dibidang keperawatan gawat darurat dan keperawatan kritis.

1.4 Sistematika Penulisan


Untuk mempermudah pemahaman terhadap isi, maka penulis membagi secara
sistematis ke dalam 5 bab dan secara garis besar dijelaskan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang, tujuan umum, tujuan
khusus, manfaat dan sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Teoritis, yang terdiri dari: definisi, etiologi, klasifikasi,
manifestasi klinis, krisis pada myasthenia gravis, patofisiologi, komplikasi,
diagnosa myasthenia gravis, penatalaksanaan dan proses keperawatan.
Bab III Tinjauan Kasus, yang terdiri dari: pengkajian, pemeriksaan fisik,
diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi keperawatan.
Bab IV Pembahasan, yang terdiri dari: kesenjangan antar teori dan kasus
pengkajian, diagnosa, rencana tindakan keperawatan, implementasi dan evaluasi.
Bab V Penutup, yang terdiri dari: kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Definisi
Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi trasmisi
neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang
(volunter). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh
fungsi saraf cranial (Smeltzer, S. C., & Bare, B. G, 2012).

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dandisertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit
ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular junction. Ketika pasien beristirahat, maka tidak lama kemudian
kekuatan otot akan pulih kembali (Arie W dkk, 2016).

2.2 Etiologi
Menurut Philips (2016), kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan
dengan gangguan transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung
antara unsur saraf dan unsur otot akibat reaksi autoimun. Pada ujung akson motor
neuron terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan
asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel
globuler pecah dan ACh dibebaskan yang dapat memindahkan gaya saraf yang
kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik.
Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan
masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi
otot. Kontraksi otot mengalami kerusakan menyebabkan kelemahan otot.

Kadang kelemahan otot terjadi setelah sembuh dari suatu penyakit dan seringkali
timbul karena penuaan (sarkopenia). Pada miastenia gravis, sistem kekebalan
membentuk antibodi yang menyerang reseptor yang terdapat di sisi otot dari
neuromuscular junction. Reseptor yang dirusak terutama adalah reseptror yang
menerima sinyal saraf dengan bantuan asetilkolin (bahan kimia yang
mengantarkan impuls saraf melalui junction atau disebut juga neurotransmiter).
Apa yang menjadi penyebab tubuh menyerang asetilkolinnya sendiri, tidak
diketahui. Tetapi faktor genetik pada kelainan kekebalan tampaknya memegang
peran yang penting.Antibodi ini ikut dalam sirkulasi darah dan seorang ibu hamil
yang menderita miastenia gravis bisa melalui plasenta dan sampai ke janin yang
dikandungnya. Pemindahan antibodi ini bisa menyebabkan miastenia neonatus,
dimana bayi memiliki kelemahan otot yang akan menghilang beberapa hari
sampai beberapa minggu setelah dilahirkan.

Gangguan tersebut kemungkinan dipicu oleh infeksi, operasi, atau penggunaan


obat-obatan tertentu, seperti nifedipine atau verapamil (digunakan untuk
mengobati tekanan darah tinggi), quinine (digunakan untuk mengobati malaria),
dan procainamide (digunakan untuk mengobati kelainan ritme jantung). Neonatal
myasthenia terjadi pada 12% bayi yang dilahirkan oleh wanita yang mengalami
myasthenia gravis. Antibodi melawan acetylcholine, yang beredar di dalam darah,
bisa lewat dari wanita hamil terus ke plasenta menuju janin. Pada beberapa kasus,
bayi men galami kelemahan otot yang hilang beberapa hari sampai beberapa
minggu setelah lahir. Sisa 88% bayi tidak terkena.

Menjadi cepat buruknya keadaan klien myasthenia gravis dapat disebabkan:


a. Pekerjaan fisik yang berlebihan
b. Emosi
c. Infeksi
d. Melahirkan anak
e. Progresif dari penyakit
f. Obat-obatan yang dapat menyebabkan neuro muskuler, misalnya streptomisin,
neomisisn, kurare, kloroform, eter, morfin sedative dan muscle relaxan
g. Penggunaan enema disebabkan oleh karena hilangnya kalium
2.3 Klasifikasi
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) (2011), Miastenia
gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Klasifikasi klinis miastenia gravis dapat dibagi menjadi
a. Kelompok I: Miastenia okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat
ringan, tidak ada kasus kematian
b. Kelompok IIA: Miastenia umum ringan
Awitan( onset) lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-
otot rangka dan bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap
terapi obat baik. Angka kematian rendah
c. Kelompok IIB: Miastenia umum sedang
Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut
semakin berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar.
Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan
miastenia gravis umum ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon
terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktifitas pasien terbatas, tetapi
angka kematian rendah
d. Kelompok III: Miastenia berat fulminan akut
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang
berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit
berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Respons terhadap obat buruk.
Insiden krisis miastenik, kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya
tinggi. Tingkat kematian tinggi
e. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut
Miastenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan
gejala-gejala kelompok I atau II. Miastenia gravis berkembang secara
perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Respons terhadap obat dan prognosis
buruk.
2. Bentuk varian miastenia gravis, antara lain:
a. Miastenia neonates
Jenis ini hanya bersifat sementara, biasanya kurang dari bulan. Jenis ini
terjadi pada bayi yang ibunya menderita miastenia gravis, dengan
kemungkinan 1:8, dan disebabkan oleh masuknya antibodi antireseptor
asetilkolin ke dalam melalui plasenta
b. Miastenia anak-anak (juvenile myasthenia)
Jenis ini mempunyai karakteristik yang sama dengan miastenia gravis pada
dewasa
c. Miastenia congenital
Biasanya muncul pada saat tidak lama setelah bayi lahir. Tidak ada kelainan
imunologik dan antibodi antireseptor asetilkolin tidak ditemukan. Jenis ini
biasanya tidak progresif
d. Miastenia familial
Sebenarnya, jenis ini merupakan kategori diagnostik yang tidak jelas. Biasa
terjadi pada miastenia kongenital dan jarang terjadi pada miastenia gravis
dewasa
e. Sindrom miastenik (Eaton-Lambert Syndrome)
Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan oleh terganggunya
pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf. Sering kali berkaitan dengan
karsinoma bronkus (small-cell carsinoma). Gambaran kliniknya berbeda
dengan miastenia gravis. Pada umumnya klien mengalami kelemahan otot-
otot proksimal tanpa disertai atrofi, gejala-gejala orofaringeal dan okular
tidak mencolok, dan refleks tendo menurun atau negatif. Seringkali klien
mengeluh mulutnya kering
f. Miastenia gravis antibodi-negatif
Kurang lebih ¼ daripada klien miastenia gravis tidak menunjukkan adanya
antibodi. Pada umumnya keadaan demikian terdapat pada pria dari golongan
I dan IIB. Tidak adanya antibodi menunjukkan bahwa klien tidak akan
memberi respons terhadap pemberian prednison, obat sitostatik,
plasmaferesis, atau timektomi
g. Miastenia gravis terinduksi penisilamin
D-penisilamin (D-P) digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid,
penyakit Wilson, dan sistinuria. Setelah klien menerima D-P beberapa
bulan, klien mengalami miastenia gravis yang secara perlahan-lahan akan
menghilang setelah D-P dihentikan
h. Botulisme
Botulisme merupakan akibat dari bakteri anaerob, Clostridium botulinum,
yang menghalangi pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf motorik.
Akibatnya adalah paralisis berat otot-otot skelet dalam waktu yang lama.
Dari 8 jenis toksin botulinum, tipe A dan B paling sering menimbulkan
kasus botulisme. Tipe E terdapat pada ikan laut (see food). Intoksikasi
biasanya terjadi setelah makan makanan dalam kaleng yang tidak
disterilisasi secara sempurna.

Mula-mula timbul mual dan muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin.
Kemudian muncul pandangan kabur, disfagia, dan disartri. Pupil dapat
dilatasi maksimal. Kelemahan terjadi pola desendens selama 4-5 hari,
kemudian mencapai tahap stabil (plateau). Paralisis otot pernapasan dapat
terjadi begitu cepat dan bersifat fatal. Pada kasus yang berat biasanya terjadi
kelemahan otot ocular dan lidah. Sebagian besar klien mengalami disfungsi
otonom (mulut kering, konstipasi, retensi urin).

2.4 Manifestasi Klinik


Menurut Romi, dkk (2015) pada 90% klien , gejala awal berupa gangguan otot-
otot okular yang menimbulkan kelopak mata turun (ptosis) dan diplopia (
penglihatan ganda ) ini karena otot mata lemah. Mula timbul dengan ptosis
unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu sampai bulan, ptosis dapat
dilengkapi dengan diplopia (paralysis ocular). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar
itu timbul setiap hari menjelang sore atau malam. Pada pagi hari orang sakit tidak
diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar
dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang
sakit tidak terbebas dari kesulitan penglihatan. Gejala ini biasanya intermitten, dan
dapat hilang untuk beberapa minggu kemudian terjadi kembali.

Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau bilateral, salah satu otot
okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil). Diagnosis dapat ditegakkan
dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot
levator palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih
bisa bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua
belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas
pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak
akan menyebabkan kematian.
1. Kesulitan berbicara (dysarthria) & kesulitan menelan (dsyphagia) miastenia
gravis menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring.Pada pemeriksaan dapat
ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral, kelemahan otot pengunyah,
paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-otot farings dan lidah.
Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi dan tersedak melalui hidung jika
pasien mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara
nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda
rahang yang menggantung
2. Suara parau ( disfonia ) dan otot leher yang lemah yang selalu membuat
kepala cenderung jatuh jatuh kedepan atau ke belakang miastenia gravis
menyerang otot-otot leher sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan.
Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi otot
ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih
memburuk lagi.
3. Kelemahan diafragma dan otot-otot interkosal progressif menyebabkan gawat
napas. Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang
lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu
lagi membersihkan lendir. Gejala berat berupa melemahnya otot pernapasan
(respiratory paralysis), yang biasanya menyerang bayi yang baru lahir
4. Kelemahan menyeluruh biasanya bermula pada batang tubuh, lengan, tungkai
dalam satu tahun pertama onset
5. Otot lengan biasanya yang paling parah. Kelemahan otot cenderung
memburuk setiap harinya, terutama setelah aktivitas. Gejala-gejala ringan
biasanya akan membaik setelah beristirahat, dengan memberikan obat
antikolinesterase. Tetapi bisa muncul kembali bila otot kembali beraktifitas
Penyakit miastenia gravis ini bisa disembuhkan tergantung kerusakan sistem
saraf yang dialami.

Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau mengalami pemburukan ( eksaserbasi) oleh


sebab:
a. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi
selama siklus haid atau gangguan fungsi tiroid.
b. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan
infeksi yang disertai diare dan demam
c. Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila
mereka berada dalam keadaan tegang
d. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin
untuk mempermudah terjadinya kelemahan otot

2.5 Krisis Pada Myatheania Gravis


Pada miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan,
membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada
dua jenis krisis, yaitu:
1. Krisis miastenik
Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih
banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara
cukup dan dapat dicetuskan oleh infeksi. Tindakan terhadap kasus demikian
adalah sebagai berikut:
a. Kontrol jalan napas
b. Pemberian antikolinesterase
c. Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis
Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan
(respirator), obat-obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu,
karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan
dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Setelah krisis terlampaui,
obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap, dan seringkali dosis dapat
diturunkan.

2. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat
antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah
minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena
terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas
terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit
sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial. Tindakan
terhadap kasus demikianadalah sebagai berikut:
a. Kontrol jalan napas
b. Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan
atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan
atropine, pasien harus diawasi secara ketat, karena secret saluran napas
dapat menjadi kental sehingga sulit dihisap atau mungkin gumpalan lendir
dapat menyumbat bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian
antikolinesterase dapat diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah
c. Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis.
d. Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5
mg intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis
miastenik, tetapi tidak akan memberikan perbaikan atau bahkan
memperberat gejala-gejala krisis kolinergik.
2.6 Patofisiologi
Dasar ketidak normalan pada mestenia grafis adalah adanya kerusakan pada
transmisi impuls saraf menuju sel-sel otak karena kehilangan kemampuanatau
hilangnya reseptor normal membran postsinaps pada sambungan neuro muscular.

Otot kerangka atau otot lurik di persarafi oleh saraf besar bermielin yang berasal
dari sel kornum anterior medula spinalis dan batang otak. Saraf-saraf ini
mengirimkan aksonnya dalam bentuk saraf-saraf spinal dan kranial menuju ke
perifer. Masing-masing saraf memiliki banyak sekali cabang dan mampu
merangsan sekitar 2.000 serabut otot rangka. Gabungan antara saraf motorik dan
serabut-serabut otot yang di persarafi disebut unit motorik. Meskipun setiap
neuron motorik mempersarafi banyak serbut otot, tetapi setiap serabut otot di
persarafi oleh hanya satu neuron motoric (Price dan Wilson, 2012).

Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik dan
serabut otot disebut sinaps neuromuskular dan hubungan neuromuskular.
Hubungan neuromuskukar merupakan suatu sinap kimia antara saraf dan otot
yang terdiri atas tiga komponen dasar, yaitu unsur prasinaps, elemen postsinaps,
dan celah sinaps yang mempunyai lebar sekitar 200 A. Unsur prasinaps terdiri atas
akson terminal dengan vesikel sinaps yang berisi asetilkolin yang merupakan
neurotransmiter.

Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal. Membran plasma akson
terminal diebut membran prasinaps. Unsur prosinaps terdiri dari membran
membran post sinaps ( post – functional membrane ) atu lempeng akhir motorik
serabut otot. Membran post sinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau
sarkolema yang dinamakan alur atau palung sinaps tempat akson terminal
menonjol masuk ke dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak lipatan ( celah-
celah subneular ) yang sangat menambah luas permukaan. Membran post sinaps
memiliki reseptor reseptor asetilkolin dan sanggup menghasilkan potensial
lempeng akhir yang selanjutny dapat mencetuskan potensial aksi otot. pada
membran post sinaps juga terdapat suatu enzim yang dapat menghancurkan
asetilkolin yaitu asetilkolinerase. Celah sinaps adalah ruang yang terdapat antara
membran pra sinaps dan post sinaps. Ruang tersebut terisi macam zat gelatin dan
melalui gelatin ini cairan ekstrasel dapat berdifusi.

Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular maka mebran akson


terminal prasinaps mengalami depolaisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan
dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung
dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini
menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium maupun kalium pada
membran postsinaps.

Infulks ion natrium dan pengeluaran ion kalium secara tiba-tiba menyebabkan
depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeg akhir (EPP). Jika
EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot
yang tidak berhubungan dengan sarf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema.
Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang melibatkan kontraksi serabut
otot. Setelah transmisi melewati hubungan neuromuskular terjadi, asetilkolin akan
dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.

Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari cukup
untuk menghasilkan potensial aksi. Pada miastenia gravis, konduksi
neuromuskular terganggu. Jumlah resiptor asekotilkolin berkurang, mungkin
akibat cidera autoimun. Antibodi terhadap protein reseptor asetilkolin banyak
ditemukan dalam serum klien miestenia gravis. Akibat dari kerusakan reseptor
primer atau sekunder oleh suatu agen primer yang belum di kenal merupakan
faktor yang penting nilainya dalam penentuan patogenesis yang tepat dari
miastenia gravis.

Pada klien miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak normal. Jika
ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak di pakai.secara mikroskopis
beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot rangka tidak dapat
ditemukan kelainan yang konsisten(Price dan Wilson, 2012).

Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular,
maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga
asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah
sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps.
Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium dan
kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai
potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk
potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang
akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian
reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati
hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim
asetilkolinesterase

Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam


penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran
presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena
kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar
sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate
dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat
ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih
kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung
lama.

Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis
kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar
timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda
cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan
neoplasma timus. Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo potensial
unit motorik apabila otot dipergunakan terus-menerus.

2.7 Komplikasi
a. Bisa timbul miastenia crisis atau cholinergic crisis akibat terapi yang tidak
diawasi
b. Pneumonia
c. Bullous death ( Chairunnisa, 2016)

2.8 Diagnosa
Menurut Romi, dkk (2015), diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya, yaitu
jika seseorang mengalami kelemahan umum, terutama jika melibatkan otot mata
atau wajah, atau kelemahan yang meningkat jika otot yang terkena digunakan atau
berkurang jika otot yang terkena diistirahatkan.

Obat yang dapat meningkatkan jumlah asetilkolin dipakai untuk melakukan


pengujian guna memperkuat diagnosis.Yang paling sering digunakan untuk
pengujian adalah edrofonium. Jika obat ini disuntikkan intravena, maka untuk
sementara waktu akan memperbaiki kekuatan otot pada klien miastenia
gravis.Orang diminta untuk melatih otot yang terkena sampai capai. Kemudian
mereka diberikan obat. Jika secara sementara dan cepat memperbaiki kekuatan
otot, didiagnosa myasthenia gravis adalah hal yang mungkin. Tes diagnosa
lainnya diperlukan untuk memastikan diagnosa adalah:
a. Electromyography
Penilaian fungsi otot dan saraf dengan cara perangsangan otot, kemudian
merekam kegiatan listrik mereka
b. Tes darah untuk mendeteksi antibodi terhadap acetylcholine receptor dan
kadangkala antibodi lain hadir pada orang dengan gangguan tersebut. Tes
darah juga dilakukan untuk memeriksa gangguan lain
c. Computed tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI) pada
dada dilakukan untuk menilai kelenjar thymus dan untuk memastikan apakah
thymoma ada.Beberapa klien memiliki tumor pada kelenjar timusnya
(timoma), yang mungkin merupakan penyebab dari kelainan fungsi sistem
kekebalannya.

Tes diagnostik lainnya :


a. Antibodi anti-reseptor asetilkolin
Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat berguna
untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% klien
miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% klien golongan I. Titer
antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.
b. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)
Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% klien dengan timoma dan lebih
kurang 30% klien miastenia gravis. Klien yang dalam serumnya tidak ada
antibodi ini dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka
kemungkinan adanya timoma adlah sangat kecil
c. Tes tensilon (edrofonium klorida)
Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat
apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan,
atau hasil pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga
adanya miastenia gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg
intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon.

Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas
(misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat
dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas
vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Jika diperoleh
hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia gravis
yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik.
Klien sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan
miastenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis
lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia
timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor pembeda yang penting. Klien
miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom miastenik biasanya lebih
tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya akan hilang kalau patologi yang
mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan
EMG (Elektromiografi).
d. Foto dada
Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk
melihat apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan
sken tomografik
e. Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg.
Klien diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang
kedua mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang
terkena menunjukkan ptosis.
f. Tes prostigmin
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan
intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala
menghilang dan tenaga membaik.
g. Test elektro fisiologis
Untuk menunjukan rangsangan saraf berulang penurunan respon.

2.9 Penatalaksanaan
Menurut Chairunnisa (2016), penatalaksanaan medis yang dilakukan pada pasien
dengan kasus miastenia gravis yaitu:
1. Penatalaksanaan umum
a. Pemenuhan kebutuhan nutrisi.
b. Aktivitas fisik dan pencegahan komplikasi
c. Pengunaan ventilator jika ada indikasi.
2. Pengobatan
a. Plasmaferesis: terapi penggantian plasma sebanyak 3-8 kali.
b. Antikolisterase seperti peridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam.
c. Steroid seperti prednison diberikan selang-seling sehari sekali untuk
menghindari efek samping.
d. Immunosupresan seperti azatioprin.
3.Pembedahan timektomi atau pengangkatan kelenjara thymus.

2.10 Proses Keperawatan


1. Pengkajian
a) Anamnesa
Identitas klien : Meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
Keluhan utama yang sering menyebabkan klien miastenia gravis minta
pertolongan kesehatan sesuai kondisi dari adanya penurunan atau kelemahan otot-
otot dengan manifestasi diplopia (penglihatan ganda), ptosis ( jatuhnya kelopak
mata, dapat gambar 8-4) merupakan keluhan utama dari 90% klien miestenia
gravis, disfonia (gangguan suara), masalah menelan, dan menguyah makanan.
Pada kondisi berat keluhan utama biasanya adalah ketidak mampuan menutup
rahang, ketidakmampuan batuk efektif, dan dispenia

b) Riwayat Penyakit Saat Ini


Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Keadaan ini
dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika klien mencoba menelan (otot-
otot palatum) menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal, dan klien tidak
mampu menutup mulut yang dinamakan sebagi tanda rahang menggantung.

Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah dan
akhirnya dapat berupa serangan dispenea dan klien tak lagi mampu membersihkan
lendir dari trakea dan cabang-cabangnya.Pada kasus lanjut, gelang bahu dan
panggul dapat terserang dan terjadi kelemahan semua otot-otot rangka. Biasanya
gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan
memberikan obat antikolinesterase

c) Riwayat Penyakit Dahulu


Kaji faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit yang memperberat kondisi
miastenia grafis seperti hipertensi dan diabetes militus.

d) Riwayat Penyakit Keluarga


Kaji kemungkinan dari generasi terdahulu yang mempunyai persamaan dengan
keluhan klien saat ini

e) Pengkajian Psiko Sosio Spiritual


Klien miastenia gravis sering mengalami gangguan emosi dan kelemahan otot
apabila mereka berada dalam keadan tegang. Adanya kelemahan pada kelopak
mata (ptosis), dilopia, dan kerusakan dalam komunikasi verbal menyebabkan
klien sering mengalami gangguan citra diri.

f) Pemeriksaan Fisik
Seperti telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga merupakan
gangguan autoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi
efisiensi hubungan neuromuskular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai
penyakit yang berkembang progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap
terlokalisasi pada sekelompok otot tertentu saja. Karena perjalanan penyakitnya
sangat berbeda pada masing-masisng klien, maka prognosisnya sulit ditentukan:
1. B1 (breathing)
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk efektif,
produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, Dispnea, resiko
terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut dan peningkatan frekuensi pernafasan
sering didapatkan pada klien yang disertai adanya kelemahan otot-otot
pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi dan stridor pada
klien menandakan adanya akumulasi sekret pada jalan napas dan penurunan
kemampuan otot-otot pernapasan

2. B2 (blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler terutama dilakukan untuk memantau
perkembangan status kardiovaskuler, terutama denyut nadi dan tekanan darah
yang secara progresif akan berubah sesuai dengan kondisi tidak membaikya status
pernapasan,Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi

3. B3(brain)
Pengkajian B3 (brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya. Kelemahan otot ektraokular yang
menyebabkan palsi ocular, jatuhnya kelopak mata atau dislopia intermien, bicara
klien mungkin disatrik

4. B4 (bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume
output urine,ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah
jantung ke ginjal. Pemeriksaan lainnya berhubungan dengan Menurunkan fungsi
kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.

5. B5 (bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien miastenia gravis menurun karena ketidakmampuan
menelan maknan sekunder dari kelemahan otot-otot menelan.pemeriksaan lainnya
berhubungan dengan kelemahan otot diafragma dan peristaltic usus turun.

6. B6 (bone)
Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada mobilitas dan
mengganggu aktifitas perawatan diri. Pemeriksaan lainnya berhubungan dengan
Gangguan aktifitas/ mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebihan.
Tingkat kesadaran
Biasanya pada kondisi awal kesadaran klien masih baik

Fungsi serebral
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara
dan observasi ekspresi wajah, aktifitas motorik yang mengalami perubhan seperti
adanya gangguan perilaku, alam perasaan, dan persepsi.

Pemeriksaan syaraf cranial


Saraf I : Biasanya pada klien epilepsi tidak ada kelainan dan fungsi penciuman
tidak ada kelainan
Saraf II : Penurunan pada tes ketajaman penglihatan, klien sering mengeluh
adanya penglihatan ganda
Saraf III, IV dan VI : Sering didaptkan adanya ptosis. Adanya oftalmoglegia
(dapat dilihat pada gambar 8-5), mimik dari pseudointernuklear oftalmoglegia
akibat gangguan motorik pada saraf VI
Saraf V : Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan pada
otot-otot wajah.
SarafVII : Persepsi pengecapan teganggu akibat adanya gangguan motorik
lidah/triple-furrowed lidah
Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
Saraf IX dan X : Ketidakmampuan dalam menelan
Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternoklidomastoideus dan trapezius
Saraf XII : Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat kelemahan
otot motorik pada lidah/triple-furrowed lidah

Sistem motorik
Karakteristik utama miastenia gravis adalah kelemahan dari sistem motorik.
Adanya kelemahan umum pada otot-otot rangka memberikan manifestasi pada
hambatan mobilitas dan intoleransi aktivitas klien.
Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periosteum derajat refleks pada respon normal.

Sistem sensorik
Pemeriksaan sensorik pada epilepsi biasanya didapatkan perasaan raba normal,
perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh.

2. Diagnosa Dan Intervensi Keperawatan


1) Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan.
Kriteria Hasil:
a. Pola napas normal
b. Pergerakan dada simetris
c. Bunyi napas normal
d. Analisa gas darah dalam rentang normal
e. Tidak terjadi sianosis
Intervensi:
a. Kaji jumlah pernapasan, irama, pola setiap 2 jam.
R/: Perubahan pola dan irama pernapasan kemungkinan tanda-tanda krisis.
b. Kaji penggunaan otot tambahan pernapasan setiap 2 jam.
R/: Pengunaan otot-otot tambahan indikasi kelemahan otot pernapasan.
c. Kaji bunyi napas setiap 2 jam.
R/: Abnormal bunyi napas indikasi tidak efektinya ventilasi.
d. Kaji warna kulit dan tingkat kesadaran setiap 2 jam.
R/: Sianosis dan penurunan kesadaran indikasi kekurangan oksigen.
e. Kaji vital capacity dan tidal volume.
R/: Mengetahui adanya kegagalan pernapasan.
f. Kaji AGO.
R/: Mengetahui adanya kegagalan pernapasan.
g. Berikan oksigen.
R/: Mempertahankan oksigenasi dan perfusi jaringan.
h. Lakukan suction jika perlu.
R/: Mempertahankan jalan napas.
i. Pertahankan posisi kepala 30-45o.
R/: Meningkatkan ekspansi paru.
j. Ajarkan napas dalam dan batuk efektif.
R/: Mencegah penumpukan sekret.
k. Catat adanya peningkatan kelemahan, kesulitan bernapas, peningkatan
PaCO2, penurunan PaOa, meneurunnya kapasitas vital dan meningkatnya
kesulitan mengunyah dan bicara.
R/: Mungkin adanya krisis miastenia atau kolinergik.
l. Kolaborasi dalam pemberian obat antikolinesterase.
R/: Meningkatkan jumlah asetikoline dalam neuromuskular junction.
m. Cek keadaan pernapasan, kapasitas vital dan tidal volume sebelum dan
sesudah pemberian obat.
R/: Mengetahui efek pemberian pengobatan.

2) Tidak efektifnya bersihan jalan napas berhubungan dengan kelemahan otot,


kehilangan refleks batuk dan menelan.
Kriteria Hasil:
a. Pola napas normal
b. Jalan napas paten
c. Pergerakan dada simetris
d. Bunyi napas normal
e. Analisa gas darah dalam rentang normal
f. Tidak terjadi sianosis
Intervensi:
a. Kaji frekuensi pernapasan dan pola, kepatenan jalan nafas, batuk dan gag
reflek, keadaan sekret setiap 2 jam.
R/: Mengetahui adanya kelemahan otot pernapasan, menelan dan batuk.
b. Lakukan kebersihan mulut dan suction jika perlu.
R/: Menjaga kepatenan jalan napas.
c. Ajarkan batuk efektif.
R/: Mengurangi statis sekret.
d. Lakukan fisioterapi dada.
R/: Mengurangi statis sekret.

3) Aktivitas intoleran berhubungan dengan kelemahan otot.


Kriteria Hasil:
a. Kekuatan otot penuh
b. Atropi tidak terjadi
c. Tonus otot baik
d. Pasien dapat melakukan aktivitas secara bertahap
e. Tidak terjadi kelemahan otot.
Intervensi:
a. Kaji kekuatan otot, ptosis, diplopia, pergerakan bola mata, kemampuan
mengunyah, menelan, refleks batuk, bicara.
R/: Tingkat kelemahan otot mungkin berbeda pada bagian tubuh yang
lainnya.
b. Kaji kekuatan otot sebelum dan sesudah pemberian anti kolinesterase.
R/: Mengetahui efek pemberian obat.
c. Lakukan jadwal istirahat, jaga lingkungan yang tenang.
R/: Periode setelah istirahat, kekuatan otot meningkat.
d. Menganjurkan berpartisipasi dalam perawatan.
R/: Melatih aktivitas secara bertahap.

4) Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


kelemahan otot mengunyah dan menelan.
Kriteria Hasil:
a. Berat badan stabil
b. Tidak ada tanda-tanda anemia
c. Intake makanan adekuat
Intervensi:
a. Kaji status nutrisi pasien.
R/: Informasi dasar status nutrisi.
b. Kaji kemampuan mengunyah dan menelan.
R/: Mencegah aspirasi.
c. Beriakan diet lunak.
R/: Memudahkan mengunyah dan menelan.
d. Berikan diet tinggi protein tinggi kalori.
R/: Pemenuhan kebutuhan nutrisi.
e. Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan.
R/: Meningkatkan nafsu makan pasien.
f. Berikan makanan melalui NGT sesuai program.
R/: Pemenuhan kebutuhan nutrisi.
g. Timbang berat badan setiap 3 hari.
R/: Berat badan indikasi perubahan kebutuhan nutrisi.
h. Auskultasi bising usus dan kaji adanya konstipasi dan diare.
R/: Mengetahui adanya peristaltik dan adekuatnya pencernaan.
i. Anjurkan pasien untuk minum cukup 1500-2000 cc jika tidak ada
kontraondikasi.
R/: Pemenuhan kebutuhan cairan dan mengurangi konstipasi.
j. Monitor hasil laboratorium, BUN, glukosa, elektrolit, serum albumin.
R/: Data indikasi status nutrisi.
k. Kolaborasi dengan tim gizi untuk menentukan diet yang tepat.
R/: Menentukan diet yang tepat.

5) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kelemahan otot.


Kriteria Hasil:
Pasien mengekspresikan diri secara verbal atau non verbal.
Intervensi:
a. Kaji kemampuan pasien dalam bicara dengan pemeriksaan saraf kranial V,
VII, IX, X, XII.
R/: Mengatahui kemampuan bicara pasien.
b. Ajukan pertanyaan tertutup, ya atau tidak atau gerakan tubuh.
R/: Memudahkan pasien mudah menjawab.
c. Lakukan bicara dengan gerakan yang pelan.
R/: Dapat melihat gerakan bibir lawan bicara.
d. Gunakan gambar, kertas atau sarana lainnya.
R/: Menggunakan media memudahkan pasien mengekspresikan
keinginannya.
e. Informasikan kepada staf atau keluarga tentang keterbatasan pasien dalam
komunikasi.
R/: Pola komunikasi yang salah akan menambah frustasi pasien.
NANDA. (2015) dan Bulechek, G.(2013)
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Pengkajian
Klien masuk RSUD Pasar Rebo, tanggal 16 februari 2019 melalui IGD klien
berjenis kelamin perempuan datang dengan alasan kelopak mata turun, dan
mengalami kelemahan dari leher sampai ke punggung. Lalu dilakukan perawatan
di rawat inap selama 40 hari hari, klien memiliki riwayat apneu dan dilakukan
pemasangan intubasi dan direncanakan operasi cito tindakan trakeostomi,
kemudian alih rawat ke ruang ICU.

Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 1 April 2019 klien terlihat tenang,
kesadaran compos mentis dan orientasi baik. Saat dilakukan pemeriksaan fisik
pada sistem pernafasan pada jalan nafas klien mengalami sumbatan berupa
sputum berwarna putih kental, dengan RR 13x/menit, terpasang trakheostomi
dengan ventilator mode SIMV, TV: 500 RR: 13, I:E: 1:2, FiO2 30%, suara nafas
ronchi. Pada sistem kardiovaskuler, tekanan darah klien 141/73mmHg, nadi
86x/menit kuat teratur, akral dingin, warna kulit pucat. Pada sistem saraf,
kesadaran klien compos mentis dengan GCS 15, E: 4 V: 5 M: 6, kekuatan otot
ektremitas atas 4444│4444, ektetremitas bawah 3333│3333. Pada sistem
gastrointestinal tidak terdapat distensi, peristaltik 5x/menit defekasi 1 hari sekali.
Pada sisitem urinaria, klien tertasang kateter no 16 warna urin kuning jernih
sebanyak 200cc. Klien tidak dalam keadaan hamil, tidak ada perdarahan, turgor
kulit elasitis, klien terpasang NGT dan IV line no 22 dengan cairan Ringer
Asering/8jam. Status psikologis klien menerima akan penyakitnya hubungan
dengan keluarga baik, orang terdekat adalah anak. kegiatan spiritual yang
dilakukan adalah sholat, klien berrsedia untuk dikunjungi terutama keluarga.
Status fungsional klien ketergantungan total.

Tindakan yang diberikan selama perawatan: IVFD Asering 500/8jam, suction,


terapi obat yang diberikan mestinon 3x60mg, methylprednisolone 125mg,
omeprazole 2 x 40mg tab, cefixime 2x 200mg tab, N-Ace (Acetylcysteine) 3x
200mg tab, smecta 2x1 dan diet cair memalui NGT. Dan pemeriksaan diganostik
yang menunjang: Hb 11 g/dl; Ht 32%; eritrosit 3,6 jt/ul; leukosit; 9,4 103/ul;
trombosit: 287 ribu/ul. Test postigmin: (1,5mg + SA 0,1 mg) hasil: tidak ada
respon, myestenia gravis (+).

a. Data Penunjang
Jenis Pemeriksaan
Dignostik Lab Radiologi Hasil Rujukan
24-03-2019
Hemoglobin 11 g/dL 13,2 – 17,3 g/dL
Hematokrit 32% 40 - 52 %
Eritrosit 3,6 jt/uL 4,4 – 5,9 jt/uL
Leukosit 9,4 10³/uL 3,8 – 10,6 10³/uL
Trombosit 287 rb/uL 150 – 440 rb/uL
Ureum darah 20 mg/dl 20-40 mg/dl
Kreatinin darah 0,73 mg/dl 0,35-0,93 mg/dl
Natrium 138 mmol/L 135-147 mmol/L
Kalium 2,9 mmol/L 3,5-5,0 mmol/L
Klorida 86 mmol/L 98-108 mmol/L
Tanggal 18-03-2019
Test prostigmin (1,5 mg + SA 0,1 mg): tidak ada respon, myestenia gravis (+)

b. Skrining Nyeri
Skala Nyeri – VAS ( Visua Analouge Scale )
Seberapa Nyerikah anda ?
0____1___2___3___4___5___6___7___8___9___10
Keterangan :
(√) Tidak ada nyeri (0)
( ) Nyeri Ringan ( 1-3)
( ) Nyeri Sedang (4-6)
( ) Nyeri berat (7-9)
( ) Nyeri sangat berat (10)
Adakah rasa nyeri : (√) Tidak ( ) Ya : Skala ( ) Lokasi

c. Status Fungsional

Penilain Resiko Jatuh Pasien Lansia (Ontario)

Keterangan
Parameter Skrining Jawaban Skor
Nilai
Apakah pasien datang ke 0
Ya / Tidak
rumah sakit karena jatuh? Salah satu
Riwayat Jatuh Jika tidak, apakah pasien jawaban ya
mengalami jatuh dalam 2 Ya / Tidak =6
bulan terakhir ini?
Apakah pasien delirium? Ya / Tidak 14
(tidak dapat membuat
keputusan, pola pikir tidak
terorganisir, gangguan
daya ingat)
Salah satu
Apakah pasien Ya / Tidak
Status Mental jawaban ya
disorientasi? (salah
= 14
menyebutkan waktu,
tempat atau orang)
Apakah pasien mengalami Ya / Tidak
agitasi? (ketakutan, gelisah
dan cemas)
Apakah pasien memakai Ya / Tidak 1
kacamata? Salah satu
Penglihatan Apakah pasien mengeluh Ya / Tidak jawaban ya
ada penglihatan buram? =1
Apakah pasien mempunyai Ya / Tidak
glaukoma, katarak atau
degenerasi makula?
Apakah terdapat perubahan Ya / Tidak 2
Kebiasaan perilaku berkemih?
Ya = 2
berkemih (frekuensi, urgensi,
inkontinensia, nokturia)
Mandiri (boleh 0 7
menggunakan alat bantu
jalan)
Transfer (dari Memerlukan sedikit 1
Jumlahkan
tempat tidur bantuan (1 orang) atau
nilai transfer
ke kursi dan dalam pengawasan
dan
kembali ke Memerlukan bantuan yang 2
mobilitas.
tempat tidur) nyata (2 orang)
Jika nilai
Tidak dapat duduk dengan 3
total 0 – 3,
seimbang, perlu bantuan
maka skor =
total
0. Jika nilai
Mandiri (boleh 0
total 4 – 6,
menggunakan alat bantu
maka skor =
jalan)
7.
Mobilitas Berjalan dengan bantuan 1 1
orang (verbal / fisik)
Menggunakan kursi roda 2
Immobilisasi 3
Total Skor 23

Keterangan :

Skor Risiko
0–5 Rendah
6 – 16 Sedang
17 – 30 Tinggi
d. Skrining Gizi
Skrining Gizi- MST ( Malnutrion Screening Tool )
No Parameter Skor Nilai Skor
1 Apakah klien mengalami
penurunan berat badan yang tidak 0
diinginkan dalam 6 bulan terakhir
a. Tidak ada penurunan berat 2 2
badan
b. Tidak yakin/ tidak tahu /
terasa baju lebih longgar
C. Jika ya , berapa peaurunan
berat badan tersebut ?
- 1-5 kg 1 1
- 6-10 kg 2
- 11-15 kg 3
- . 15 kg 4
2 Apakah asupan makanan berkurang
karena tidak napsu makan ?
a. Tidak 0 0
b. Ya 1

Total skor 3

e. Barthel Index

No. Item yang Skor Nilai


dinilai
1. Makan 0 = Tidak mampu
(Feeding) 1 = Butuh bantuan memotong, mengoles
mentega dll.
2 = Mandiri 0
2. Mandi 0 = Tergantung orang lain
(Bathing) 1 = Mandiri 0
3. Perawatan diri 0 = Membutuhkan bantuan orang lain
(Grooming) 1 = Mandiri dalam perawatan muka, rambut,
gigi, dan bercukur 0
4. Berpakaian 0 = Tergantung orang lain
(Dressing) 1 = Sebagian dibantu (misal mengancing baju)
2 = Mandiri 0
5. Buang air kecil 0 = Inkontinensia atau pakai kateter dan tidak
(Bowel) terkontrol 0
1 = Kadang Inkontinensia (maks, 1x24 jam)
2 = Kontinensia (teratur untuk lebih dari 7
hari)
6. Buang air besar 0 = Inkontinensia (tidak teratur atau perlu
(Bladder) enema)
2
1 = Kadang Inkontensia (sekali seminggu)
2 = Kontinensia (teratur)
7. Penggunaan 0 = Tergantung bantuan orang lain
toilet 1 = Membutuhkan bantuan, tapi dapat
0
melakukan beberapa hal sendiri
2 = Mandiri
8. Transfer 0 = Tidak mampu
1 = Butuh bantuan untuk bisa duduk (2 orang)
0
2 = Bantuan kecil (1 orang)
3 = Mandiri
9. Mobilitas 0 = Immobile (tidak mampu)
1 = Menggunakan kursi roda
2 = Berjalan dengan bantuan satu orang 0
3 = Mandiri (meskipun menggunakan alat
bantu seperti, tongkat)
10. Naik turun 0 = Tidak mampu
tangga 1 = Membutuhkan bantuan (alat bantu) 0
2 = Mandiri
Jumlah 2

Interpretasi hasil :
20 : Mandiri
12-19 : Ketergantungan Ringan
9-11 : Ketergantungan Sedang
5-8 : Ketergantungan Berat
0-4 : Ketergantungan Total

f. Pengkajian Sistem Syaraf


Syaraf kranial Pengkajian Hasil temuan
I. Olfactory - Penciuman Normal, tidak ada gangguan
- Identifikasi bau Normal, tidak ada gangguan
II. Optic - Ketajaman Penurunan lapang pandang
penglihatan
- Lapang pandang
III. Oculomotor - Mengangkat kelopak Klien tidak mampu menggakat
mata kelopak mata, pergerakan mata
- Pergerakan mata simetris
ekstra ocular
IV. Trochlear - Pergerakan mata turun Normal, tidak ada gangguan
naik
V. Trigeminal - Mengunyah Kehilangan kemampuan
- Merapatkan gigi mengunyah, tidak mampu
- Sensasi di dahi merapatkan gigi dengan kuat
Sensasi didahi tidak ada
gangguan
VI. Abducens - Pergerakan mata ke Normal tidak ada gangguan
samping
VII. Facial - Rasa: 2/3 lidah Tidak dapat dikaji
anterior Normal, tidak ada gangguan
- Sekresi air mata dan
saliva
VIII. Acoustic - Pendengaran Normal, tidak ada gangguan
- Keseimbangan Tidak dapat dikaji
IX. Glossopharyngeal - Menelan Kehilangan kemampuan
- Reflek menelan menelan
- Rasa: 1/3 lidah Tidak dapat dikaji
posterior Tidak dapat dikaji
- Sekresi air mata dan Normal, tidak ada gangguan
saliva
X. Vagus - Phonasi suara Tidak ada, klien terpasang
trakeostomi
- Menelan Kehilangan kemapuan menelan
- Sensasi di belakang Normal, tidak ada gangguan
telinga
- Reflek menelan Kehilangan kemampuan
menelan
XI. Spinal accesory - Menolehkan kepala Mengalami kelemahan
- Mengangkat bahu Mengalami kelemahan
XII. Hypoglossal - Pergerakan lidah Normal, tidak ada gangguan
DATA FOKUS

Data Subyektif Data Obyektif


 Anak klien mengatakan ibunya lebih  Keadaan Umum: Sakit Sedang
kurus  Kesadaran: Compos mentis
 GCS : 15, E:4 V: 5 M: 6
 Klien terpasang trakeostomi
 Klien kehilangan kemampuan
untuk batuk dan menelan
 Klien bernafas dibantu
ventilator dengan mode SIMV-
VC, TV: 500, RR 13x/menit,
Fio2: 30%
 CRT < 3detik
 TTV :
TD : 141/73 mmHg,
N : 86 x/menit
RR : 13x/menit
S: 36
 SPO2 : 98%
 Suara nafas ronchi
 Warna kulit: pucat
 Akral dingin
 Terpasang NGT
 Terpasang kateter urin no 16
jumlah 200cc/ 3jam
 Sputum putih kental
 Membran mukosa lembab
 Bising usus 5x/menit
Data Subyektif Data Obyektif
Data Nutrisi
Skrining gizi MST: 3
 A: BB: 38 kg TB: 150 cm IMT:
16,8
 B: Hemoglobin: 11 g/dl,
Eritrosit 3,6 juta/ul, kalium 2,9
mmol/l
 C: Klien menglami gangguan
mengunyah dan menelan,
membram mukosa lembab,
bising usus 5x/menit, terpasang
NGT.
TD : 141/73 mmHg, N : 86
x/menit RR : 13x/menit, S: 36
 D: tidak ada alergi, diet bubur
saring rendah serat 1500 kalori

ANALISA DATA

No Data Masalah
1. Ds : Pola nafas tidak efektif
Do:
- Kesadaran : compos mentis
- TTV : TD : 141/73 mmHg, N : 86
x/menit RR : 13x/menit, S: 36
- Klien terpasang trakeostomi
- Klien bernafas dibantu ventilator dengan
mode SIMV-VC, TV: 500, RR
13x/menit, Fio2: 30%
- Bunyi nafas ronchi
- SpO2 : 86-98%
- Warna kulit: pucat

2. Ds: Bersihan jalan nafas tidak


Do: efektif
- Klien kehilangan kemampuan untuk
batuk dan menelan
- Terdapat sputum berawna putih kental
- Bunyi nafas ronchi
- Terpasang trakeostomi
- Klien bernafas dibantu ventilator dengan
mode SIMV-VC, TV: 500, RR
13x/menit, Fio2: 30%
- SpO2 : 86-98%
- TTV : TD : 141/73 mmHg, N : 86
x/menit RR : 13x/menit, S: 36

3. Ds: Defisit nutrisi


- Anak klien mengatakan ibunya terlihat
lebih kurus
Do:
- A: BB: 38 kg TB: 150 cm IMT: 16,8
- B: Hemoglobin: 11 g/dl, Eritrosit 3,6
juta/ul, kalium 2,9 mmol/l
- C: Klien menglami gangguan
mengunyah dan menelan, membram
mukosa lembab, bising usus 5x/menit,
terpasang NGT.
TD : 141/73 mmHg, N : 86 x/menit
RR : 13x/menit, S: 36
- D: tidak ada alergi, diet bubur saring
rendah serat 1500 kalori
Skrining gizi MST: 3

4. Ds: Gangguan penyapihan


Do: ventilator
- TTV : TD : 141/73 mmHg, N : 86
x/menit RR : 13x/menit, S: 36
- Klien bernafas dibantu ventilator dengan
mode SIMV-VC, TV: 500, RR
13x/menit, Fio2: 30%
- SpO2 : 86-98%
- Kesadaran: compos mentis

3.2 Diagnosa Dan Intervensi Keperawatan


Berdasarkan hasil pengkajian dan pemeriksaan yang telah dilakukan, maka dapat
ditegakkan diagnosa keperawatan sesuai prioritas yaitu sebagai berikut Pola nafas
tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas (kelemahan otot
pernafasan), Bersihan jalan nafas tidak efektif behubungan dengan adanya
sumbatan jalan nafas dan jalan nafas buatan, defisit nutrisi berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan makanan, gangguan penyapihan ventilator
berhubungan dengan hambata upaya nafas (kelemahan otot pernafasan).
RENCANA KEPERAWATAN
Tgl No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Rencana Tindakan Rasional
(PES) Hasil
01-04- I. Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan 1. Kaji pola nafas, 1. Perubahan pola dan
2019 berhubungan dengan hambatan tindakan keperawatan irama, dan irama pernafasan
upaya pernafasan (kelemahan diharapkan pola nafas frekunsi nafas per memungkinkan
oto pernafasan) yang ditandai klien eektif dengan jam adanya tanda krisis
dengan: kriteria hasil: 2. Kaji penggunaan 2. Penggunaan otot
Ds : - Pola nafas otot tambahan dan bantu pernafasan
Do: normal/mendekati bunyi nafas indikasi kelemahan
- Kesadaran : compos mentis normal 3. Kaji vital capacity otot dan bunyi nafas
- TTV : TD : 141/73 mmHg, - Bunyi nafas normal dan tidal volume yang abnormal
N : 86 x/menit RR : 4. Lakukan suction indikasi
13x/menit, S: 36 bila perlu ketidakefektifnya
- Klien terpasang trakeostomi 5. Berikan O2 nasal ventilasi
- Klien bernafas dibantu kanul 3lpm 3. Mengetahui adanya
ventilator dengan mode gagal nafas
SIMV-VC, TV: 500, RR 4. Mempertahankan
13x/menit, Fio2: 30% jalan nafas
Tgl No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Rencana Tindakan Rasional
(PES) Hasil
- Bunyi nafas ronchi 5. Mempertahankan
- SpO2 : 86-98% oksigenasi dan
- Warna kulit: pucat perfusi jaringan

II Bersihan jalan nafas tidak efektif Setelah dilakukan 1. Kaji kepatenan 1. Mengetahui
berhubungan dengan sumbatan tindakan keperawatan jalan nafas dan adanya
jalan nafas, adanya jalan nafas diharapkan jalan nafas keadaan sekret kelemahan otot
buatan, dutandai dengan: klien efekif dengan per 2 jam pernafasan
Ds: kriteria hasil: 2. Lakukan oral 2. Menjaga
Do: - Pola nafas normal hygiene dan kepatenan jalan
- Klien kehilangan - Jalan nafas paten suction nafas
kemampuan untuk batuk dan - Bunyi nafas normal 3. Kolaborasi 3. Agen mukolitik
menelan - Sputum berkurang pemberian N.Ace yang berfungsi
- Terdapat sputum berawna - Tidak terjadi dianosis 3x1 IV mengencerkan
putih kental sputum
- Bunyi nafas ronchi
Tgl No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Rencana Tindakan Rasional
(PES) Hasil
- Terpasang trakeostomi
- Klien bernafas dibantu
ventilator dengan mode
SIMV-VC, TV: 500, RR
13x/menit, Fio2: 30%
- SpO2 : 86-98%
- TTV : TD : 141/73 mmHg,
N : 86 x/menit RR :
13x/menit, S: 36

III Defisit nutrisi berhubungan Setelah dilakukan 1. Lakukan 1. Meningkatkan


dengan ketidakmampuan tindakan keperawatan perawatan mulut nafsu makan
menelan makanan yang ditandai diharapkan nutrisi klien 2. Berikan makanan klien
dengan terpenuhi dengan kriteria melalui NGT 2. Memenuhi
Ds: hasil: sesuai program kebutuhan nutrisi
- Anak klien mengatakan - Intake makanan yang 3. Auskultasi bising 3. Mengetahui
ibunya terlihat lebih kurus adekuat usus dan kaji adekuatnya
Tgl No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Rencana Tindakan Rasional
(PES) Hasil
Do: - Skrining gizi MST < adanya sisitem
- A: BB: 38 kg TB: 150 cm dari 2 konstipasi/diare pencernaan
IMT: 16,8 - Status nutrisi ABCD 4. Monitor hasil 4. Data indikasi
- B: Hemoglobin: 11 g/dl, dalam rentang normal laboratorium, status nutrisi
Eritrosit 3,6 juta/ul, kalium - Klien tidak terpasang BUN, glukosa, 5. Obat yang
2,9 mmol/l NGT lagi elektrolit, sserum mampu
- C: Klien menglami gangguan albumin menurunkan
mengunyah dan menelan, 5. Kolaborasi kadar asam yang
membram mukosa lembab, pemberian diproduksi
bising usus 5x/menit, omeprazole 3x 1 lambung
terpasang NGT. IV
TD : 141/73 mmHg, N :
86 x/menit RR :
13x/menit, S: 36
- D: tidak ada alergi, diet
bubur saring rendah serat
1500 kalori
Tgl No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Rencana Tindakan Rasional
(PES) Hasil
Skrining gizi MST: 3
IV Gangguan penyapihan ventilator Setelah dilakukan 1. Monitor tanda- 1. Mengetahui
berhubungan dengan hambatan tindakan keperawatan tanda vital per perkembangan
upaya nafas (kelemahan otot diharapkan klien mampu jam dan respon dari
pernafasan) yang ditandai menunjukan respon 2. Awali weaning penyapihan
dengan: penyapihan ventilator dengan tahap 2. Mengetahui
DS: yang adekuat dengan mencoba dengan respon klien
Do: kriteria hasil: melakukannya terhadap
- TTV : TD : 141/73 mmHg, - Secara aktif setelah klien weaning
N : 86 x/menit RR : berpartisipasi dalam istirahat 3. Mempertahankan
13x/menit, S: 36 proses penyapihan 3. Lalkukan suction jalan nafas
- Klien bernafas dibantu - Menunjukan toleransi bila perlu
ventilator dengan mode untuk aktivitas sesuai
SIMV-VC, TV: 500, RR kemampuan
13x/menit, Fio2: 30% - Tidak ada dispnea
- SpO2 : 86-98%
Kesadaran: composmetis
CATATAN PERKEMBANGAN KEPERAWATAN
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
01-04-19 Pola nafas tidak efektif 1. Mengkaji pola nafas, irama dan (20.00 WIB)
berhubungan dengan upaya frekuensi nafas/ 2 jam S: -
pernafasan (kelemahan otot H: O:
pernfasan) yang ditandai dengan: (14.00 WIB)  Pola nafas klien bradipneu
Ds:- Pola nafas: abnormal (bradipneu) dan  Irama teratur, RR: 11 x/menit
Do: irama teratur dan RR: 12x/menit  Klien bernafas dibantu ventilasi
- Kesadaran : compos mentis (16.00 WIB) mekanik mode SIMV-VC
- TTV : TD : 141/73 mmHg, N Pola nafas bradipneu, irama teratur,  Bunyi nafas ronchi
: 86 x/menit RR : 13x/menit, RR: 14 x/menit  Tidal Volume 450 ml
S: 36 (18.00 WIB)  Terdapat sputum dari jalan nafas
- Klien terpasang trakeostomi Pola nafas bradipneu, irama tertaur, RR berwarna putih kental
- Klien bernafas dibantu 14 x/menit A: Masalah pola nafas tidak efektif
ventilator dengan mode (20.00 WIB) belum teratasi
SIMV-VC, TV: 500, RR Pola nafas bradipneu, irama teratur, RR P: Intervensi dilanjutkan
13x/menit, Fio2: 30% 11 x/menit
- Bunyi nafas ronchi
- SpO2 : 86-98%
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
- Warna kulit: pucat 2. Mengkaji penggunaan alat bantu nafas
dan bunyi nafas
H:
(14.00 WIB)
alat bantu nafas yaitu ventilasi mekanik
mode SIMV VC dan bunyi nafas yaitu
ronchi
(16.00 WIB)
Penggunaan ventilasi mekanik mode
SIMV VC, bunyi nafas ronchi
(18.00 WIB)
Klien bernafas spontan melalui
trakeostomi tube, bunyi nafas ronchi
(20.00 WIB)
Penggunaan ventilasi mekanik mode
SIMV VC, bunyi nafas ronchi
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
3. Mengkaji vital capity dan tidal volume
(15.00WIB)
H:
TV: 350 ml

4. Mengobservasi tindakan suction


melalui trakeo tube dan oral
( 18.00 WIB)
H: lendir putih kental dan tidak ada
darah
01-04-19 Bersihan jalan nafas berhubungan 1. Mengkaji kepatenan jalan napas dan (20.00 WIB)
dengan adanya jalan buatan yang keadaan sekret /2 jam S:-
ditandai dengan: H: O:
Ds:- (14.00 WIB)  Klien bernafas dibantu ventilator
Do: Klien bernafas melalui trakeostomi tube mekanik
- Klien kehilangan kemampuan dibantu ventilator, sekret masih ada  Terdapat sekret berwarna putih
untuk batuk dan menelan (16.00 WIB) kental
- Terdapat sputum berawna Klien bernafas melalui trakeostomi
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
putih kental tube,sekret masih ada, SPO2 86%  Suara nafas ronchi
- Bunyi nafas ronchi (18.00 WIB)  Sianosis tidak ada
- Terpasang trakeostomi Klien bernafas melalui trakeostomi tube  Tekanan darah: 98/56 mmHg
- Klien bernafas dibantu dibantu ventilator, sekret masih ada Nadi: 81 x/menit
ventilator dengan mode (20.00 WIB) Pernafasan: 11x/menit
SIMV-VC, TV: 500, RR Klien bernafas melalui trakeostomi tube Suhu: 36,3oC
13x/menit, Fio2: 30% dibantu ventilator, sekret masih ada A: Masalah bersihan jalan nafas belum
- SpO2 : 86-98% teratasi
- TTV : TD : 141/73 mmHg, N 2. Melakukan oral hygiene dan P: Intervensi dilanjutkan
: 86 x/menit RR : 13x/menit, mengobservasi suction
S: 36 (18.00 WIB)
H: oral hygiene telah dilakukan, lendir
berwarna putih kental, darah tidak ada

3. Memberikan obat oral


(17.00 WIB)
H: N-Ace (Fluimucil) 200mg via NGT
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
01-04-19 Defisit Nutrisi berhubungan 1. Melakukan oral hygiene (20.00 WIB)
dengan ketidakmampuan menelan (18.00 WIB) S: -
makanan yang ditandai dengan: H: oral hygiene telah dilakukan O:
Ds:  Mulut klien bersih, muntah tidak
- Anak klien mengatakan 2. Memberikan makanan melalui NGT ada, tidak ada tersedak, konstipasi
ibunya terlihat lebih kurus (17.00WIB) tidak ada, diare tidak ada dan bising
Do: H: bubur saring telah diberikan usus 5x/menit
- A: BB: 38 kg TB: 150 cm sebanyak 200ml, air putih 50ml dan  Terpasang NGT, intake 250 ml
IMT: 16,8 tidak muntah A: Masalah defisit nutrisi belum teratasi
- B: Hemoglobin: 11 g/dl, P: Intervensi dilanjutkan
Eritrosit 3,6 juta/ul, kalium 2,9 3. Mengauskultasi bising usus dan
mmol/l mengkaji adanya konstipasi/diare
- C: Klien menglami gangguan (19.00 WIB)
mengunyah dan menelan, H: bising usus 5x/menit, BAB lunak
membram mukosa lembab,
bising usus 5x/menit, 4. Memberikan obat oral
terpasang NGT. (21.00)
TD : 141/73 mmHg, N : H: Omeprazole 40mg via NGT
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
86 x/menit RR :
13x/menit, S: 36
- D: tidak ada alergi, diet bubur
saring rendah serat 1500
kalori
Skrining gizi MST: 3

01-04-19 Gangguan penyepihan ventilator 1. Memonitor TTV/2 jam (20.00 WIB)


berhubungan dengan hambatan H: S:-
upaya napas (kelemahan otot (14.00 WIB) O:
pernafasan) yang ditandai dengan: Tekanan darah: 112/84 mmHg  Klien belum mampu bernafas
Ds:- Nadi: 98x/menit normal tanpa bantuan ventilator
Do: Pernafasan: 12x/menit mekanik
- TTV : TD : 141/73 mmHg, N Suhu: 36oc  Terdapat sputum berwarna putih
: 86 x/menit RR : 13x/menit, (16.00 WIB) kental dan tidak sesak nafas
S: 36 Tekanan darah: 98/64 mmHg  Klien bernafs dibantu ventilator
- Klien bernafas dibantu Nadi: 68x/menit mekanik mode SIMV VC, Tidal
ventilator dengan mode Pernafasan: 14x/menit
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
SIMV-VC, TV: 500, RR Suhu: 36oc volume 350 ml dan pernafasan
13x/menit, Fio2: 30% (18.00 WIB) 13x/menit
- SpO2 : 86-98% Tekanan darah: 110/58 mmHg
- Kesadaran: compos mentis Nadi: 78x/menit
Pernafasan: 14x/menit
Suhu: 36,1oc
(20.00 WIB)
Tekanan darah: 98/56 mmHg
Nadi: 81x/menit
Pernafasan: 11x/menit
Suhu: 36,3oc

2. Mengawali Weaning
(14.30 WIB)
H: Klien bernapas spontan melalui
trakeostomi tube dan O2 nasal kanul 3
l/menit, SPO2 86%
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
3. Mengobservasi suction
(18.00 WIB)
H: tindakan suction telah dilakukan
melalui trakeostomi tube dan oral,
lendir putih kental
CATATAN PERKEMBANGAN KEPERAWATAN
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
02-04-19 Pola nafas tidak efektif 1. Mengkaji pola nafas, irama dan (20.00 WIB)
berhubungan dengan upaya frekuensi nafas/ 2 jam S: -
pernafasan (kelemahan otot H: O:
pernfasan) yang ditandai dengan: (14.00 WIB)  Pola nafas klien bradipneu
Ds:- Pola nafas bradipneu dan irama teratur  Irama teratur, RR: 14 x/menit
Do: dan RR: 15x/menit  Klien bernafas dibantu ventilasi
- Kesadaran : compos mentis (16.00 WIB) mekanik mode SIMV-VC
- TTV : TD : 141/73 mmHg, N Pola nafas bradipneu, irama teratur,  Bunyi nafas ronchi
: 86 x/menit RR : 13x/menit, RR: 14 x/menit  Tidal Volume 350 ml
S: 36 (18.00 WIB)  Terdapat sputum dari jalan nafas
- Klien terpasang trakeostomi Pola nafas bradipneu, irama tertaur, RR berwarna putih kental
- Klien bernafas dibantu 13x/menit A: Masalah pola nafas tidak efektif
ventilator dengan mode (20.00 WIB) belum teratasi
SIMV-VC, TV: 500, RR Pola nafas bradipneu, irama teratur, RR P: Intervensi dilanjutkan
13x/menit, Fio2: 30% 14 x/menit
- Bunyi nafas ronchi
- SpO2 : 86-98%
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
- Warna kulit: pucat 2. Mengkaji penggunaan alat bantu nafas
dan bunyi nafas
H:
(14.00 WIB)
alat bantu nafas yaitu ventilasi mekanik
mode SIMV VC dan bunyi nafas yaitu
ronchi
(16.00 WIB)
Penggunaan ventilasi mekanik mode
SIMV VC, bunyi nafas ronchi
(18.00 WIB)
Penggunaan ventilasi mekanik mode
SIMV VC, bunyi nafas ronchi
(20.00 WIB)
Penggunaan ventilasi mekanik mode
SIMV VC, bunyi nafas ronchi

3. Mengkaji vital capity dan tidal volume


Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
(20.00 WIB)
H:
TV: 350 ml

4. Mengobservasi tindakan suction


melalui trakeo tube dan oral
(18.00 WIB)
H: lendir putih kental dan tidak ada
darah
02-04-19 Bersihan jalan nafas berhubungan 1. Mengkaji kepatenan jalan napas dan (20.00 WIB)
dengan adanya jalan buatan yang keadaan sekret /2 jam S:-
ditandai dengan: H: O:
Ds:- (14.00 WIB)  Klien bernafas dibantu ventilator
Do: Klien bernafas melalui trakeostomi tube mekanik
- Klien kehilangan kemampuan dibantu ventilator, sekret masih ada  Terdapat sekret berwarna putih
untuk batuk dan menelan (16.00 WIB) kental
- Terdapat sputum berawna Klien bernafas melalui trakeostomi  Suara nafas ronchi
putih kental tube,sekret masih ada,
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
- Bunyi nafas ronchi (18.00 WIB)  Sianosis tidak ada
- Terpasang trakeostomi Klien bernafas melalui trakeostomi tube  Tekanan darah: 110/65 mmHg
- Klien bernafas dibantu dibantu ventilator, sekret masih ada, Nadi: 76 x/menit
ventilator dengan mode SPO2 89% Pernafasan: 14x/menit
SIMV-VC, TV: 500, RR (20.00 WIB) Suhu: 36,1oC
13x/menit, Fio2: 30% Klien bernafas melalui trakeostomi tube A: Masalah bersihan jalan nafas belum
- SpO2 : 86-98% dibantu ventilator, sekret masih ada teratasi
- TTV : TD : 141/73 mmHg, N P: Intervensi dilanjutkan
: 86 x/menit RR : 13x/menit, 2. Melakukan oral hygiene dan
S: 36 mengobservasi suction
(18.00 WIB)
H: oral hygiene telah dilakukan, lendir
berwarna putih kental

3. Melakukan kolaborasi dalam


pemberian terapi obat
(17.00)
H: N-Ace (Fluimucil) 200mg via NGT
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf

02-04-19 Defisit Nutrisi berhubungan 1. Melakukan oral hygiene (20.00 WIB)


dengan ketidakmampuan menelan (18.00 WIB) S: -
makanan yang ditandai dengan: H: oral hygiene telah dilakukan O:
Ds: menggunakan larutan minosep  Mulut klien bersih, muntah tidak
- Anak klien mengatakan ada, tidak ada tersedak, BAB klien
ibunya terlihat lebih kurus 2. Memberikan makanan melalui NGT cair berwarna kuning dan bising
Do: ( 17.00 WIB) usus 8x/menit
- A: BB: 38 kg TB: 150 cm H: bubur saring 200 ml dan minum 50  Terpasang NGT, intake 250 ml
IMT: 16,8 ml telah diberikan dan tidak muntah A: Masalah defisit nutrisi belum teratasi
- B: Hemoglobin: 11 g/dl, P: Intervensi dilanjutkan
Eritrosit 3,6 juta/ul, kalium 2,9 3. Mengauskultasi bising usus dan
mmol/l mengkaji adanya konstipasi/diare
- C: Klien menglami gangguan ( 19.00 WIB)
mengunyah dan menelan, H: bising usus 5x/menit, BAB cair
membram mukosa lembab, warna kuning
bising usus 5x/menit, 4. Memberikan obat oral
terpasang NGT. (21.00 WIB)
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
TD : 141/73 mmHg, N : H: Omeprazole 40mg via NGT
86 x/menit RR :
13x/menit, S: 36
- D: tidak ada alergi, diet bubur
saring rendah serat 1500
kalori
Skrining gizi MST: 3

02-04-19 Gangguan penyepihan ventilator 1. Memonitor TTV/2 jam (20.00 WIB)


berhubungan dengan hambatan H: S:-
upaya napas (kelemahan otot (14.00 WIB) O:
pernafasan) yang ditandai dengan: Tekanan darah: 110/78 mmHg  Klien bernafas dibantu ventilator
Ds: Nadi: 86x/menit mekanik mode SIMV VC, tidal
- TTV : TD : 141/73 mmHg, N Pernafasan: 15x/menit volume 350 ml, RR: 13 x/menit
: 86 x/menit RR : 13x/menit, Suhu: 36,7oc  Terdapat sekret berwarna putih
S: 36 (16.00 WIB) kental
- Klien bernafas dibantu Tekanan darah: 115/81 mmHg  Suara nafas ronchi dan dispneu
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
ventilator dengan mode Nadi: 76x/menit tidak ada
SIMV-VC, TV: 500, RR Pernafasan: 14x/menit  Klien belum bisa bernapas normal
13x/menit, Fio2: 30% Suhu: 36,5oc tanpa bantuan ventilator mekanik
- SpO2 : 86-98% (18.00 WIB) A: Masalah bersihan jalan nafas belum
- Kesadaran: compos mentis Tekanan darah: 99/65 mmHg teratasi
Nadi: 67x/menit P: Intervensi dilanjutkan
Pernafasan: 14x/menit
Suhu: 36oc
(20.00 WIB)
Tekanan darah: 110/65 mmHg
Nadi: 76x/menit
Pernafasan: 14x/menit
Suhu: 36,1oc

2. Mengobservasi suction
(18.00 WIB)
H: tindakan suction telah dilakukan
melalui trakeostomi tube dan oral,
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
lendir berwarna putih kental
CATATAN PERKEMBANGAN KEPERAWATAN
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
03-04-19 Pola nafas tidak efektif 1. Mengkaji pola nafas, irama dan (20.00 WIB)
berhubungan dengan upaya frekuensi nafas/ 2 jam S: -
pernafasan (kelemahan otot H: O:
pernfasan) yang ditandai dengan: (14.00 WIB)  Pola nafas klien bradipneu
Ds:- Pola nafas bradipneu dan irama teratur  Irama teratur, RR: 13 x/menit
Do: dan RR: 14x/menit  Klien bernafas dibantu ventilasi
- Kesadaran : compos mentis (16.00 WIB) mekanik mode SIMV-VC
- TTV : TD : 141/73 mmHg, N Pola nafas bradipneu, irama teratur,  Bunyi nafas ronchi
: 86 x/menit RR : 13x/menit, RR: 12 x/menit  Tidal Volume 350 ml
S: 36 (18.00 WIB)  Terdapat sputum dari jalan nafas
- Klien terpasang trakeostomi Pola nafas bradipneu, irama tertaur, RR berwarna putih kental
- Klien bernafas dibantu 15x/menit A: Masalah pola nafas tidak efektif
ventilator dengan mode (20.00 WIB) belum teratasi
SIMV-VC, TV: 500, RR Pola nafas bradipneu, irama teratur, RR P: Intervensi dilanjutkan
13x/menit, Fio2: 30% 13 x/menit
- Bunyi nafas ronchi
- SpO2 : 86-98% 2. Mengkaji penggunaan alat bantu nafas
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
- Warna kulit: pucat dan bunyi nafas
H:
(14.00 WIB)
alat bantu nafas yaitu ventilasi mekanik
mode SIMV VC dan bunyi nafas yaitu
ronchi
(16.00 WIB)
Penggunaan ventilasi mekanik mode
CPAP, bunyi nafas ronchi
(18.00 WIB)
Klien bernafas dibantu ventilasi
mekanik SIMV VC, bunyi nafas ronchi
(20.00 WIB)
Penggunaan ventilasi mekanik mode
SIMV VC, bunyi nafas ronchi

3. Mengkaji tidal volume


( 20.00 WIB)
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
H: TV: 350 ml
TVex: 365 ml

4. Mengobservasi tindakan suction


( 18.00 WIB)
H: lendir putih kental dan tidak ada
darah
03-04-19 Bersihan jalan nafas berhubungan 1. Mengkaji kepatenan jalan napas dan (20.00 WIB)
dengan adanya jalan buatan yang keadaan sekret /2 jam S:-
ditandai dengan: H: O:
Ds:- (14.00 WIB)  Klien bernafas dibantu ventilator
Do: Klien bernafas melalui trakeostomi tube mekanik
- Klien kehilangan kemampuan dibantu ventilator, sekret masih ada  Terdapat sekret berwarna putih
untuk batuk dan menelan (16.00 WIB)  Suara nafas ronchi
- Terdapat sputum berawna Klien bernafas melalui trakeostomi  Sianosis tidak ada
putih kental tube,sekret masih ada,  Tekanan darah: 98/54 mmHg
- Bunyi nafas ronchi (18.00 WIB) Nadi: 70x/menit
- Terpasang trakeostomi Klien bernafas melalui trakeostomi tube
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
- Klien bernafas dibantu dibantu ventilator, sekret masih ada Pernafasan: 12x/menit
ventilator dengan mode (20.00 WIB) Suhu: 36oC
SIMV-VC, TV: 500, RR Klien bernafas melalui trakeostomi tube A: Masalah bersihan jalan nafas belum
13x/menit, Fio2: 30% dibantu ventilator, sekret masih ada teratasi
- SpO2 : 86-98% P: Intervensi dilanjutkan
- TTV : TD : 141/73 mmHg, N 2. Melakukan oral hygiene dan
: 86 x/menit RR : 13x/menit, mengobservasi suction
S: 36 ( 18.00 WIB)
H: oral hygiene telah dilakukan, lendir
berwarna putih kental

3. Memberikan obat oral


(17.00)
H: N-Ace (Fluimucil) 200mg via NGT
03-04-19 Defisit Nutrisi berhubungan 1. Melakukan oral hygiene (20.00 WIB)
dengan ketidakmampuan menelan ( 18.00 WIB) S: -
makanan yang ditandai dengan: H: oral hygiene telah dilakukan O:
Ds: menggunakan larutan minosep  Mulut klien bersih, muntah tidak
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
- Anak klien mengatakan ada, tidak ada tersedak, BAB lunak
ibunya terlihat lebih kurus 2. Memberikan makanan melalui NGT dan bising usus 8x/menit
Do: ( 17.00 WIB)  Terpasang NGT, intake 250 ml
- A: BB: 38 kg TB: 150 cm H: bubur saring 200 ml dan minum 50 A: Masalah defisit nutrisi belum teratasi
IMT: 16,8 ml telah diberikan dan tidak muntah P: Intervensi dilanjutkan
- B: Hemoglobin: 11 g/dl,
Eritrosit 3,6 juta/ul, kalium 2,9 3. Mengauskultasi bising usus dan
mmol/l mengkaji adanya konstipasi/diare
- C: Klien menglami gangguan ( 19.00 WIB)
mengunyah dan menelan, H: bising usus 5x/menit, BAB lunak
membram mukosa lembab,
bising usus 5x/menit, 4. Memberikan obat oral
terpasang NGT. (21.00)
TD : 141/73 mmHg, N : H: Omeprazole 40mg via NGT
86 x/menit RR :
13x/menit, S: 36
- D: tidak ada alergi, diet bubur
saring rendah serat 1500
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
kalori
Skrining gizi MST: 3

03-04-19 Gangguan penyepihan ventilator 1. Memonitor TTV/2 jam (20.00 WIB)


berhubungan dengan hambatan H: S:-
upaya napas (kelemahan otot (14.00 WIB) O:
pernafasan) yang ditandai dengan: Tekanan darah: 98/54 mmHg  Klien bernafas dibantu ventilator
Ds:- Nadi: 78x/menit mekanik mode CPAP, tidal volume
Do: Pernafasan: 14x/menit 350 ml, RR: 8 x/menit
- TTV : TD : 141/73 mmHg, N Suhu: 36oc  Terdapat sekret berwarna putih
: 86 x/menit RR : 13x/menit, (16.00 WIB) kental
S: 36 Tekanan darah: 101/64 mmHg  Suara nafas ronchi dan dispneu
- Klien bernafas dibantu Nadi: 65 x/menit tidak ada
ventilator dengan mode Pernafasan: 12 x/menit  Klien belum bisa bernapas normal
SIMV-VC, TV: 500, RR Suhu: 36oc tanpa bantuan ventilator mekanik
13x/menit, Fio2: 30% (18.00 WIB) A: Masalah bersihan jalan nafas belum
- SpO2 : 86-98% Tekanan darah: 98/70 mmHg
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
- Kesadaran: compos mentis Nadi: 71x/menit teratasi
Pernafasan: 15x/menit P: Intervensi dilanjutkan
Suhu: 36,1oc
(20.00 WIB)
Tekanan darah: 112/64 mmHg
Nadi: 86x/menit
Pernafasan: 13x/menit
Suhu: 36,3oc
2. Mengawali weaning
( 15.00 WIB)
H: Klien bernafas dibantu ventilator
mekanik mode CPAP
3. Mengobservasi suction
( 18.00 WIB)
H: tindakan suction telah dilakukan
melalui trakeostomi tube dan oral,
lendir berwarna putih kental
CATATAN PERKEMBANGAN KEPERAWATAN
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
05-04-19 Pola nafas tidak efektif 1. Mengkaji pola nafas, irama dan (14.00 WIB)
berhubungan dengan upaya frekuensi nafas/ 2 jam S: -
pernafasan (kelemahan otot H: O:
pernfasan) yang ditandai dengan: (08.00 WIB)  Pola nafas klien bradipneu
Ds:- Pola nafas bradipneu dan irama teratur  Irama teratur, RR: 12 x/menit
Do: dan RR: 14x/menit  Klien bernafas dibantu ventilasi
- Kesadaran : compos mentis (10.00 WIB) mekanik mode SIMV-VC
- TTV : TD : 141/73 mmHg, N Pola nafas bradipneu, irama teratur,  Bunyi nafas ronchi
: 86 x/menit RR : 13x/menit, RR: 13 x/menit  Tidal Volume 350 ml
S: 36 (12.00 WIB)  Terdapat sputum dari jalan nafas
- Klien terpasang trakeostomi Pola nafas bradipneu, irama tertaur, RR berwarna putih kental
- Klien bernafas dibantu 14x/menit A: Masalah pola nafas tidak efektif
ventilator dengan mode (14.00 WIB) belum teratasi
SIMV-VC, TV: 500, RR Pola nafas bradipneu, irama teratur, RR P: Intervensi dilanjutkan
13x/menit, Fio2: 30% 12 x/menit
- Bunyi nafas ronchi
- SpO2 : 86-98% 2. Mengkaji penggunaan alat bantu nafas
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
- Warna kulit: pucat dan bunyi nafas
H:
(08.00 WIB)
alat bantu nafas yaitu ventilasi mekanik
mode SIMV VC dan bunyi nafas yaitu
ronchi
(10.00 WIB)
Penggunaan ventilasi mekanik mode
simv VC, bunyi nafas ronchi
(12.00 WIB)
Klien bernafas dibantu ventilator
mekanik mode CPAP, bunyi nafas
ronchi
(14.00 WIB)
Penggunaan ventilasi mekanik mode
SIMV VC, bunyi nafas ronchi

3. Mengkaji tidal volume


Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
(14.00 WIB)
H: TV: 350 ml
TVex: 346 ml

4. Mengobservasi tindakan suction


(13.00 WIB)
H: lendir putih kental dan tidak ada
darah
05-04-19 Bersihan jalan nafas berhubungan 1. Mengkaji kepatenan jalan napas dan (14.00 WIB)
dengan adanya jalan buatan yang keadaan sekret /2 jam S:-
ditandai dengan: H: O:
Ds:- (08.00 WIB)  Klien bernafas dibantu ventilator
Do: Klien bernafas dibantu ventilator mekanik
- Klien kehilangan kemampuan mekanik, sekret masih ada  Terdapat sekret berwarna putih
untuk batuk dan menelan (10.00 WIB)  Suara nafas ronchi
- Terdapat sputum berawna Klien bernafas dibantu ventilator  Sianosis tidak ada
putih kental mekanik,sekret masih ada,  Tekanan darah: 112/70 mmHg
- Bunyi nafas ronchi (12.00 WIB)
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
- Terpasang trakeostomi Klien bernafas dibantu ventilator Nadi: 71 x/menit
- Klien bernafas dibantu mekanik, sekret masih ada Pernafasan: 13 x/menit
ventilator dengan mode (14.00 WIB) Suhu: 36,3 oC
SIMV-VC, TV: 500, RR Klien bernafas dibantu ventilator A: Masalah bersihan jalan nafas belum
13x/menit, Fio2: 30% mekanik, sekret masih ada teratasi
- SpO2 : 86-98% P: Intervensi dilanjutkan
- TTV : TD : 141/73 mmHg, N 2. Melakukan oral hygiene dan
: 86 x/menit RR : 13x/menit, mengobservasi suction
S: 36 (13.00 WIB)
H: oral hygiene telah dilakukan, lendir
berwarna putih kental

3. Memberikan obat oral


(09.00 WIB)
H: N-Ace (Fluimucil) 200mg via NGT

05-04-19 Defisit Nutrisi berhubungan 1. Melakukan oral hygiene (14.00 WIB)


dengan ketidakmampuan menelan ( WIB) S: -
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
makanan yang ditandai dengan: H: oral hygiene telah dilakukan O:
Ds: menggunakan larutan minosep  Mulut klien bersih, muntah tidak
- Anak klien mengatakan ada, tidak ada tersedak, BAB lunak
ibunya terlihat lebih kurus 2. Memberikan makanan melalui NGT dan bising usus 7x/menit
Do: ( WIB)  Terpasang NGT, intake 250 ml
- A: BB: 38 kg TB: 150 cm H: bubur saring 200 ml dan minum 50 A: Masalah defisit nutrisi belum teratasi
IMT: 16,8 ml telah diberikan dan tidak muntah P: Intervensi dilanjutkan
- B: Hemoglobin: 11 g/dl,
Eritrosit 3,6 juta/ul, kalium 2,9 3. Mengauskultasi bising usus dan
mmol/l mengkaji adanya konstipasi/diare
- C: Klien menglami gangguan (08.30 WIB)
mengunyah dan menelan, H: bising usus 7x/menit, BAB lunak
membram mukosa lembab,
bising usus 5x/menit, 4. Melakukan kolaborasi dalam pemberian
terpasang NGT. terapi obat omeprazole
TD : 141/73 mmHg, N : H: terapi obat sdah diberikan melalui NGT
86 x/menit RR :
13x/menit, S: 36
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
- D: tidak ada alergi, diet bubur
saring rendah serat 1500
kalori
Skrining gizi MST: 3
05-04-19 Gangguan penyepihan ventilator 1. Memonitor TTV/2 jam (14.00 WIB)
berhubungan dengan hambatan H: S:-
upaya napas (kelemahan otot (08.00 WIB) O:
pernafasan) yang ditandai dengan: Tekanan darah: 101/64 mmHg  Klien bernafas dibantu ventilator
Ds:- Nadi: 56x/menit mekanik mode CPAP, tidal volume
- TTV : TD : 141/73 mmHg, N Pernafasan: 14x/menit 350 ml, RR: 12 x/menit
: 86 x/menit RR : 13x/menit, Suhu: 36,1oc  Terdapat sekret berwarna putih
S: 36 (10.00 WIB) kental
- Klien bernafas dibantu Tekanan darah: 98/70 mmHg  Suara nafas ronchi dan dispneu
ventilator dengan mode Nadi: 54 x/menit tidak ada
SIMV-VC, TV: 500, RR Pernafasan: 13 x/menit  Klien belum bisa bernapas normal
13x/menit, Fio2: 30% Suhu: 36oc tanpa bantuan ventilator mekanik
- SpO2 : 86-98% (12.00 WIB) A: Masalah bersihan jalan nafas belum
- Kesadaran: compos mentis Tekanan darah: 111/71 mmHg
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
Nadi: 68 x/menit teratasi
Pernafasan: 14 x/menit P: Intervensi dilanjutkan
Suhu: 36,3oc
(14.00 WIB)
Tekanan darah: 98/54 mmHg
Nadi: 70 x/menit
Pernafasan: 12x/menit
Suhu: 36oc
2. Mengawali meaning
(09.00 WIB)
H: klien bernafas dibantu ventilator
mekanik CPAP
3. Mengobservasi suction
(13.00 WIB)
H: tindakan suction telah dilakukan
melalui trakeostomi tube dan oral,
lendir berwarna putih kental
BAB IV
PEMBAHASAN

Myasthenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan pada otot rangka


dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas (Peeler, et aal,
2015). Klien akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan
ini akan berkurang apabila klien beristirahat (Romi, 2009). Pada klien ini dari
hasil pengkajian ditemukan bahwa awalnya klien merasakan keluhan kelopak
mata sebelah kanan yang turun tiba-tiba saat klien sedang beraktivitas. Akan
tetapi keluhan tersebut menghilang setelah klien beristirahat dan kelopak mata
kembali normal. Hal ini sesuai dengan teori Myasthenia gravis dimana keluhan
biasanya terjadi pada siang atau sore hari pada saat klien sudah beraktivitas dan
membaik setelah klien beristirahat.

Menurut Peeler, et all (2015) gejala klinis Myasthenia gravis antara lain: (1)
Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu
gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, sering menjadi keluhan utama klien
miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas
lumpuh, namun ada kalanya otot-otot tersebut masih bergerak normal. Tetapi pada
tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis pada
Myasthenia gravis. (2) Kelemahan otot klien semakin lama akan semakin
memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot okular, otot wajah,
otot leher, hingga ke otot ekstremitas.

Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada klien ini menunjukkan adanya ptosis pada
palpebra kanan klien yang tidak menghilang setelah klien beristirahat. Hal ini
sesuai dengan teori dimana pada Myasthenia gravis keluhan yang paling sering
terjadi adalah keluhan pada wajah 95% dari klien . Keluhan ptosis juga kadang
disertai adanya gangguan otot okular. Kelemahan wajah dapat terjadi pada
Myasthenia gravis tanpa keterlibatan otot mata, tetapi biasanya kedua gejala
terjadi bersama-sama. Namun, terjadinya kedua kelemahan otot mata dan wajah
sangat memperlihatkan gejala Myasthenia gravis. Pada pemeriksaan fisik klien
ini juga ditemukan adanya kelemahan otot-otot wajah termasuk otot untuk
menelan dimana klien mengeluhkan sulit menelan makanan dan sulit bicara,
penyebab lain dari hal tesebut adalah klien terpasang Tracheostomy Tube.

Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut
klien sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring,
lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan
berbicara. Selain itu bila klien minum air, mungkin air itu dapat keluar dari
hidungnya (Romi, 2009). Pada klien tersebut ditemukan ketidakmampuan
menelan karena kelemahan otot-otot tersebut dan klien terpasang Tracheostomy
Tube. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan nutrisi klien, pada klien terpasang
NGT.

Gejala yang paling serius dari Myasthenia gravis adalah kesulitan bernafas. Klien
myasthenic dengan insufisiensi pernapasan atau ketidakmampuan untuk
mempertahankan jalan napas paten dikatakan krisis. Kelumpuhan vokal dapat
menghambat jalan napas, tetapi lebih umum saluran udara terhambat oleh sekresi
klien yang tidak dapat dikeluarkan karena batuk terlalu lemah. Karena batuk
membutuhkan bantuan otot-otot ekspirasi. Terlebih pada klien tersebut terpasang
Tracheostomy Tube.

Klien tersebut bernapas dibantu dengan respirasi mekanis. Karena kurangnya


ekspresi wajah klien , klien Myasthenia gravis dalam masa krisis tidak mungkin
terlihat tertekan namun akan gelisah dengan nafas dangkal dan cepat. Meskipun
menurut teori kelemahan pada otot-otot pernapasan hanya terjadi pada 10% kasus
Myasthenia gravis, namun keluhan tersebut ditemukan pada klien ini dan
merupakan suatu keluhan utama klien datang untuk berobat (Shah AK, 2016) .
Hal ini menunjukkan bahwa klien ini dapat digolongkan menjadi klien
Myasthenia gravis krisis dimana keluhan telah mencapai otot-otot pernapasan
sehingga menimbulkan sesak napas yang dapat mengancam jiwa. Dan pada klien
tersebut telah ditemukan kelemahan otot pernapasan, hal ini terbukti klien
tepasang Tracheostomy Tube dan klien pernah memiliki riwayat gagal napas.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal
ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat
diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan
retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi
(Drachmahn, 2012).

Pada pasien yang diberikan asetilkolinesterase inhibitor sebagai medikamentosa


yaitu mestinon 3x60 mg di ruang ICU. Hal ini sesuai dengan teori, dimana dalam
pemberian antikolinesterase yaitu mestinon yang bekerja pada otot polos, sistem
saraf pusat (SSP) dan kelenjar sekretori dengan memblok AChE. Efek samping
yang mungkin terjadi dalam pemberian antikolinesterase disebabkan oleh
stimulasi parasimpatis, termasuk kontriksi pupil, kolik, diare, salivasi berlebihan,
berkeringat, lakrimasi dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping
gastrointestinal (efek samping muskarinik) dapat berupa kram dan diare. Untuk
meminimalkan efek samping pada pasien diberikan smecta 2x3 g (Peeler et al
(2015) dalam Chairunnisa dkk (2016).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada Ny. N di ruang ICU
RSUD Pasar Rebo. Berdasarkan tinjauan teori, tinjauan kasus, dan pembahasan
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari hasil pengkajian Ny.N didapatkan data yang menunjang untuk mengarah
pada diagnosa medis myasthenia gravis dengan data diperoleh dari pengkajian
dilakukan dengan pasien maupun keluarga pasien, pengamatan langsung,
membaca catatan medik dan catatan keperawatan serta kerjasama dengan tim
kesehatan lain yang bersangkutan dalam pengelolaan.
2. Dalam literatur tidak semua diagnosa keperawatan ditemukan dalam kasus
nyata, hanya lima tiga diagnosa keperawatan yang muncul. Hal ini disesuaikan
dengan kondisi pasien saat pengkajian.
3. Intervensi yang muncul tidak sepenuhnya dijadikan intervensi oleh penulis
pada pengelolaan klien karena situasi dan kondisi klien serta situasi dan
kondisi kebijakan dari instansi rumah sakit.
4. Terdapat beberapa implemetasi yang belum bisa penulis lakukan secara
langsung pada pasien. Dalam melakukan implementasi keperawatan penulis
bekerjasama dengan melibatkan keluarga dan perawat ruang ICU.
5. Dalam evaluasi asuhan keperawatan didapatkan lima masalah keperawatan
masih belum teratasi sehingga membutuhkan perawatan lebih lanjut, dan belum
ada masalah keperawatan yang sudah teratasi, sehingga memerlukan tindakan
keperawatan yang lebih lanjut.
5.2 Saran
Berdasarkan asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada Ny. N di ruang ICU
RSUD Pasar Rebo dan kesimpulan yang telah penulis susun seperti diatas, maka
penulis memberikan saran sebagai berikut :
1. Dalam pemberian asuhan keperawatan perlu adanya keikutsertaan keluarga
karena keluarga merupakan orang terdekat pasien yang tahu akan
perkembangan dan kebiasaan pasien.
2. Dalam memberikan implementasi tidak harus sesuai dengan apa yang
terdapat pada teori, akan tetapi harus disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan pasien serta menyesuaikan dengan kebijakan dari rumah sakit.
3. Perawat sebagai tim kesehatan yang paling sering berhubungan dengan pasien
sangat perlu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan agar mampu
merawat pasien secara komprehensif dan optimal. Dan perawat juga harus
bekerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter, ahli gizi, psikiatri dan
pekerja).
4. Sosial dalam melakukan perawatan atau penanganan pasien dengan
myasthenia gravis .
DAFTAR PUSTAKA

Arie W, A.A Gde Agung Anom., Made, Oka Adnyana.,I Putu, Eka Widyadharma.
(2016). Diagnosis Dan Tata Laksana Miastenia Gravis. Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. Diambil pada 5 Mei 2019, dari
https://www.researchgate.net/publication/292931538_DIAGNOSIS_DAN_
TATA_LAKSANA_MIASTENIA_GRAVIS.

Ardhini, Rahmi. (2019). Mengenal Myasthenia Gravis.


Diunduh dari: http://yankes.depkes.go.id/read-mengenal-myasthenia-
gravis-6916.html

Bulechek, G.(2013). Nursing Intervention Classification (NIC).6 th. Edition.


Missouri:Elseiver Mosby

Chairunnisa, Nurul Hidayah, Zam Zanariah, Oktadoni Saputra, Karyanto. (2016).


Jurnal Kedokteran Myasthenia gravis pada Pasien Laki-laki 39 Tahun
dengan Sesak Napas. FK Universitas Lampung

Drachmahn DB. (2012). Myasthenia Gravis and Other Diseases of The


Neuromuscular Junction. Dalam: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser
SL, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison’s Principle of Internal
Medicine. Edisi ke-18. New York: McGraw Hill

Lerner, Aaron.dkk 2015. The World Incidence and Prevalence of Autoimmune


Diseases is Increasing. Diunduh dari:
https://pdfs.semanticscholar.org/cd58/9f0ec792ddc4e1191c64f7f0e5226957
4a09.pdf

Moorhead, S. (2013).Nursing Outcomes Classification (NOC): Measurement of


Health Outcomes.5th Edition. Missouri: Elsevier Saunder

Muhammad, Fadel.dkk. 2019. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Miastenia Gravis


Di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Diunduh dari:
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/969/845

NANDA. (2015). Panduan diagnosa keperawatan. Nanda 2014-2015. Editor


Budi Santoso. Jakarta : Prima Medika.

Peeler CE, De Lott LB, Nagia L, Lemos J, Eggenberger ER, Cornblath WT.
(2015). Clinical utility of achetylcholine receptor antibody testing in ocular
myasthenia gravis. JAMA Neurol.
Phillips WD, Vincent A. (2016). Pathogenesis of myasthenia gravis: update on
disease types, models, and mechanisms. F1000 Research.

Price, Sylvia A. (2012). Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit .


EGC: Jakarta.

Romi, Gilhus, Aarli. (2009). Myasthenia gravis: clinical, immunological, and


therapeutic advances. Acta Neurol Scand.

Ropper AH, Brown, Robert H. ,. Adam And Victor's. (2011). Principles of


Neurology. In: Myasthenia Gravis And Related Disorders Of The
Neuromuscular Junction 8 th ed. United State of America: McGraw-Hill
Medical Publishing Division

Sanders dkk. 2016. International consensus guidance formanagement of


myasthenia gravis. Diunduh dari:
https://n.neurology.org/content/neurology/87/4/419.full.pdf

Shah AK, Goldenberg WD. (2016). Myasthenia gravis . New York: MedScape.
Diakses melalui : http://emedicine.medscape.com/article/1 171206-overview

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Editor Suzane. C. S.. Brenda. G. B.. Edisi 8. Jakarta :
EGC.

You might also like