Professional Documents
Culture Documents
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Laporan Kasus Kelompok
Keperawatan Gawat Darurat dan Keperawatan Kritis
Disusun Oleh :
Kelompok 1
Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan rasa terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan
dan bimbingan baik berupa moral, spiritual maupun material sehingga makalah ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak, memberikan informasi bagi teman-teman dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
2.1 Definisi
Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi trasmisi
neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang
(volunter). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh
fungsi saraf cranial (Smeltzer, S. C., & Bare, B. G, 2012).
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dandisertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit
ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular junction. Ketika pasien beristirahat, maka tidak lama kemudian
kekuatan otot akan pulih kembali (Arie W dkk, 2016).
2.2 Etiologi
Menurut Philips (2016), kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan
dengan gangguan transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung
antara unsur saraf dan unsur otot akibat reaksi autoimun. Pada ujung akson motor
neuron terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan
asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel
globuler pecah dan ACh dibebaskan yang dapat memindahkan gaya saraf yang
kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik.
Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan
masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi
otot. Kontraksi otot mengalami kerusakan menyebabkan kelemahan otot.
Kadang kelemahan otot terjadi setelah sembuh dari suatu penyakit dan seringkali
timbul karena penuaan (sarkopenia). Pada miastenia gravis, sistem kekebalan
membentuk antibodi yang menyerang reseptor yang terdapat di sisi otot dari
neuromuscular junction. Reseptor yang dirusak terutama adalah reseptror yang
menerima sinyal saraf dengan bantuan asetilkolin (bahan kimia yang
mengantarkan impuls saraf melalui junction atau disebut juga neurotransmiter).
Apa yang menjadi penyebab tubuh menyerang asetilkolinnya sendiri, tidak
diketahui. Tetapi faktor genetik pada kelainan kekebalan tampaknya memegang
peran yang penting.Antibodi ini ikut dalam sirkulasi darah dan seorang ibu hamil
yang menderita miastenia gravis bisa melalui plasenta dan sampai ke janin yang
dikandungnya. Pemindahan antibodi ini bisa menyebabkan miastenia neonatus,
dimana bayi memiliki kelemahan otot yang akan menghilang beberapa hari
sampai beberapa minggu setelah dilahirkan.
Mula-mula timbul mual dan muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin.
Kemudian muncul pandangan kabur, disfagia, dan disartri. Pupil dapat
dilatasi maksimal. Kelemahan terjadi pola desendens selama 4-5 hari,
kemudian mencapai tahap stabil (plateau). Paralisis otot pernapasan dapat
terjadi begitu cepat dan bersifat fatal. Pada kasus yang berat biasanya terjadi
kelemahan otot ocular dan lidah. Sebagian besar klien mengalami disfungsi
otonom (mulut kering, konstipasi, retensi urin).
Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau bilateral, salah satu otot
okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil). Diagnosis dapat ditegakkan
dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot
levator palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih
bisa bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua
belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas
pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak
akan menyebabkan kematian.
1. Kesulitan berbicara (dysarthria) & kesulitan menelan (dsyphagia) miastenia
gravis menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring.Pada pemeriksaan dapat
ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral, kelemahan otot pengunyah,
paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-otot farings dan lidah.
Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi dan tersedak melalui hidung jika
pasien mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara
nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda
rahang yang menggantung
2. Suara parau ( disfonia ) dan otot leher yang lemah yang selalu membuat
kepala cenderung jatuh jatuh kedepan atau ke belakang miastenia gravis
menyerang otot-otot leher sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan.
Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi otot
ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih
memburuk lagi.
3. Kelemahan diafragma dan otot-otot interkosal progressif menyebabkan gawat
napas. Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang
lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu
lagi membersihkan lendir. Gejala berat berupa melemahnya otot pernapasan
(respiratory paralysis), yang biasanya menyerang bayi yang baru lahir
4. Kelemahan menyeluruh biasanya bermula pada batang tubuh, lengan, tungkai
dalam satu tahun pertama onset
5. Otot lengan biasanya yang paling parah. Kelemahan otot cenderung
memburuk setiap harinya, terutama setelah aktivitas. Gejala-gejala ringan
biasanya akan membaik setelah beristirahat, dengan memberikan obat
antikolinesterase. Tetapi bisa muncul kembali bila otot kembali beraktifitas
Penyakit miastenia gravis ini bisa disembuhkan tergantung kerusakan sistem
saraf yang dialami.
2. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat
antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah
minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena
terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas
terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit
sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial. Tindakan
terhadap kasus demikianadalah sebagai berikut:
a. Kontrol jalan napas
b. Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan
atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan
atropine, pasien harus diawasi secara ketat, karena secret saluran napas
dapat menjadi kental sehingga sulit dihisap atau mungkin gumpalan lendir
dapat menyumbat bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian
antikolinesterase dapat diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah
c. Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis.
d. Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5
mg intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis
miastenik, tetapi tidak akan memberikan perbaikan atau bahkan
memperberat gejala-gejala krisis kolinergik.
2.6 Patofisiologi
Dasar ketidak normalan pada mestenia grafis adalah adanya kerusakan pada
transmisi impuls saraf menuju sel-sel otak karena kehilangan kemampuanatau
hilangnya reseptor normal membran postsinaps pada sambungan neuro muscular.
Otot kerangka atau otot lurik di persarafi oleh saraf besar bermielin yang berasal
dari sel kornum anterior medula spinalis dan batang otak. Saraf-saraf ini
mengirimkan aksonnya dalam bentuk saraf-saraf spinal dan kranial menuju ke
perifer. Masing-masing saraf memiliki banyak sekali cabang dan mampu
merangsan sekitar 2.000 serabut otot rangka. Gabungan antara saraf motorik dan
serabut-serabut otot yang di persarafi disebut unit motorik. Meskipun setiap
neuron motorik mempersarafi banyak serbut otot, tetapi setiap serabut otot di
persarafi oleh hanya satu neuron motoric (Price dan Wilson, 2012).
Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik dan
serabut otot disebut sinaps neuromuskular dan hubungan neuromuskular.
Hubungan neuromuskukar merupakan suatu sinap kimia antara saraf dan otot
yang terdiri atas tiga komponen dasar, yaitu unsur prasinaps, elemen postsinaps,
dan celah sinaps yang mempunyai lebar sekitar 200 A. Unsur prasinaps terdiri atas
akson terminal dengan vesikel sinaps yang berisi asetilkolin yang merupakan
neurotransmiter.
Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal. Membran plasma akson
terminal diebut membran prasinaps. Unsur prosinaps terdiri dari membran
membran post sinaps ( post – functional membrane ) atu lempeng akhir motorik
serabut otot. Membran post sinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau
sarkolema yang dinamakan alur atau palung sinaps tempat akson terminal
menonjol masuk ke dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak lipatan ( celah-
celah subneular ) yang sangat menambah luas permukaan. Membran post sinaps
memiliki reseptor reseptor asetilkolin dan sanggup menghasilkan potensial
lempeng akhir yang selanjutny dapat mencetuskan potensial aksi otot. pada
membran post sinaps juga terdapat suatu enzim yang dapat menghancurkan
asetilkolin yaitu asetilkolinerase. Celah sinaps adalah ruang yang terdapat antara
membran pra sinaps dan post sinaps. Ruang tersebut terisi macam zat gelatin dan
melalui gelatin ini cairan ekstrasel dapat berdifusi.
Infulks ion natrium dan pengeluaran ion kalium secara tiba-tiba menyebabkan
depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeg akhir (EPP). Jika
EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot
yang tidak berhubungan dengan sarf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema.
Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang melibatkan kontraksi serabut
otot. Setelah transmisi melewati hubungan neuromuskular terjadi, asetilkolin akan
dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.
Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari cukup
untuk menghasilkan potensial aksi. Pada miastenia gravis, konduksi
neuromuskular terganggu. Jumlah resiptor asekotilkolin berkurang, mungkin
akibat cidera autoimun. Antibodi terhadap protein reseptor asetilkolin banyak
ditemukan dalam serum klien miestenia gravis. Akibat dari kerusakan reseptor
primer atau sekunder oleh suatu agen primer yang belum di kenal merupakan
faktor yang penting nilainya dalam penentuan patogenesis yang tepat dari
miastenia gravis.
Pada klien miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak normal. Jika
ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak di pakai.secara mikroskopis
beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot rangka tidak dapat
ditemukan kelainan yang konsisten(Price dan Wilson, 2012).
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular,
maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga
asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah
sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps.
Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium dan
kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai
potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk
potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang
akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian
reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati
hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim
asetilkolinesterase
Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis
kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar
timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda
cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan
neoplasma timus. Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo potensial
unit motorik apabila otot dipergunakan terus-menerus.
2.7 Komplikasi
a. Bisa timbul miastenia crisis atau cholinergic crisis akibat terapi yang tidak
diawasi
b. Pneumonia
c. Bullous death ( Chairunnisa, 2016)
2.8 Diagnosa
Menurut Romi, dkk (2015), diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya, yaitu
jika seseorang mengalami kelemahan umum, terutama jika melibatkan otot mata
atau wajah, atau kelemahan yang meningkat jika otot yang terkena digunakan atau
berkurang jika otot yang terkena diistirahatkan.
Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas
(misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat
dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas
vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Jika diperoleh
hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia gravis
yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik.
Klien sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan
miastenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis
lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia
timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor pembeda yang penting. Klien
miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom miastenik biasanya lebih
tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya akan hilang kalau patologi yang
mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan
EMG (Elektromiografi).
d. Foto dada
Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk
melihat apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan
sken tomografik
e. Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg.
Klien diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang
kedua mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang
terkena menunjukkan ptosis.
f. Tes prostigmin
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan
intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala
menghilang dan tenaga membaik.
g. Test elektro fisiologis
Untuk menunjukan rangsangan saraf berulang penurunan respon.
2.9 Penatalaksanaan
Menurut Chairunnisa (2016), penatalaksanaan medis yang dilakukan pada pasien
dengan kasus miastenia gravis yaitu:
1. Penatalaksanaan umum
a. Pemenuhan kebutuhan nutrisi.
b. Aktivitas fisik dan pencegahan komplikasi
c. Pengunaan ventilator jika ada indikasi.
2. Pengobatan
a. Plasmaferesis: terapi penggantian plasma sebanyak 3-8 kali.
b. Antikolisterase seperti peridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam.
c. Steroid seperti prednison diberikan selang-seling sehari sekali untuk
menghindari efek samping.
d. Immunosupresan seperti azatioprin.
3.Pembedahan timektomi atau pengangkatan kelenjara thymus.
Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah dan
akhirnya dapat berupa serangan dispenea dan klien tak lagi mampu membersihkan
lendir dari trakea dan cabang-cabangnya.Pada kasus lanjut, gelang bahu dan
panggul dapat terserang dan terjadi kelemahan semua otot-otot rangka. Biasanya
gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan
memberikan obat antikolinesterase
f) Pemeriksaan Fisik
Seperti telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga merupakan
gangguan autoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi
efisiensi hubungan neuromuskular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai
penyakit yang berkembang progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap
terlokalisasi pada sekelompok otot tertentu saja. Karena perjalanan penyakitnya
sangat berbeda pada masing-masisng klien, maka prognosisnya sulit ditentukan:
1. B1 (breathing)
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk efektif,
produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, Dispnea, resiko
terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut dan peningkatan frekuensi pernafasan
sering didapatkan pada klien yang disertai adanya kelemahan otot-otot
pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi dan stridor pada
klien menandakan adanya akumulasi sekret pada jalan napas dan penurunan
kemampuan otot-otot pernapasan
2. B2 (blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler terutama dilakukan untuk memantau
perkembangan status kardiovaskuler, terutama denyut nadi dan tekanan darah
yang secara progresif akan berubah sesuai dengan kondisi tidak membaikya status
pernapasan,Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi
3. B3(brain)
Pengkajian B3 (brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya. Kelemahan otot ektraokular yang
menyebabkan palsi ocular, jatuhnya kelopak mata atau dislopia intermien, bicara
klien mungkin disatrik
4. B4 (bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume
output urine,ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah
jantung ke ginjal. Pemeriksaan lainnya berhubungan dengan Menurunkan fungsi
kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
5. B5 (bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien miastenia gravis menurun karena ketidakmampuan
menelan maknan sekunder dari kelemahan otot-otot menelan.pemeriksaan lainnya
berhubungan dengan kelemahan otot diafragma dan peristaltic usus turun.
6. B6 (bone)
Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada mobilitas dan
mengganggu aktifitas perawatan diri. Pemeriksaan lainnya berhubungan dengan
Gangguan aktifitas/ mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebihan.
Tingkat kesadaran
Biasanya pada kondisi awal kesadaran klien masih baik
Fungsi serebral
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara
dan observasi ekspresi wajah, aktifitas motorik yang mengalami perubhan seperti
adanya gangguan perilaku, alam perasaan, dan persepsi.
Sistem motorik
Karakteristik utama miastenia gravis adalah kelemahan dari sistem motorik.
Adanya kelemahan umum pada otot-otot rangka memberikan manifestasi pada
hambatan mobilitas dan intoleransi aktivitas klien.
Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periosteum derajat refleks pada respon normal.
Sistem sensorik
Pemeriksaan sensorik pada epilepsi biasanya didapatkan perasaan raba normal,
perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh.
3.1 Pengkajian
Klien masuk RSUD Pasar Rebo, tanggal 16 februari 2019 melalui IGD klien
berjenis kelamin perempuan datang dengan alasan kelopak mata turun, dan
mengalami kelemahan dari leher sampai ke punggung. Lalu dilakukan perawatan
di rawat inap selama 40 hari hari, klien memiliki riwayat apneu dan dilakukan
pemasangan intubasi dan direncanakan operasi cito tindakan trakeostomi,
kemudian alih rawat ke ruang ICU.
Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 1 April 2019 klien terlihat tenang,
kesadaran compos mentis dan orientasi baik. Saat dilakukan pemeriksaan fisik
pada sistem pernafasan pada jalan nafas klien mengalami sumbatan berupa
sputum berwarna putih kental, dengan RR 13x/menit, terpasang trakheostomi
dengan ventilator mode SIMV, TV: 500 RR: 13, I:E: 1:2, FiO2 30%, suara nafas
ronchi. Pada sistem kardiovaskuler, tekanan darah klien 141/73mmHg, nadi
86x/menit kuat teratur, akral dingin, warna kulit pucat. Pada sistem saraf,
kesadaran klien compos mentis dengan GCS 15, E: 4 V: 5 M: 6, kekuatan otot
ektremitas atas 4444│4444, ektetremitas bawah 3333│3333. Pada sistem
gastrointestinal tidak terdapat distensi, peristaltik 5x/menit defekasi 1 hari sekali.
Pada sisitem urinaria, klien tertasang kateter no 16 warna urin kuning jernih
sebanyak 200cc. Klien tidak dalam keadaan hamil, tidak ada perdarahan, turgor
kulit elasitis, klien terpasang NGT dan IV line no 22 dengan cairan Ringer
Asering/8jam. Status psikologis klien menerima akan penyakitnya hubungan
dengan keluarga baik, orang terdekat adalah anak. kegiatan spiritual yang
dilakukan adalah sholat, klien berrsedia untuk dikunjungi terutama keluarga.
Status fungsional klien ketergantungan total.
a. Data Penunjang
Jenis Pemeriksaan
Dignostik Lab Radiologi Hasil Rujukan
24-03-2019
Hemoglobin 11 g/dL 13,2 – 17,3 g/dL
Hematokrit 32% 40 - 52 %
Eritrosit 3,6 jt/uL 4,4 – 5,9 jt/uL
Leukosit 9,4 10³/uL 3,8 – 10,6 10³/uL
Trombosit 287 rb/uL 150 – 440 rb/uL
Ureum darah 20 mg/dl 20-40 mg/dl
Kreatinin darah 0,73 mg/dl 0,35-0,93 mg/dl
Natrium 138 mmol/L 135-147 mmol/L
Kalium 2,9 mmol/L 3,5-5,0 mmol/L
Klorida 86 mmol/L 98-108 mmol/L
Tanggal 18-03-2019
Test prostigmin (1,5 mg + SA 0,1 mg): tidak ada respon, myestenia gravis (+)
b. Skrining Nyeri
Skala Nyeri – VAS ( Visua Analouge Scale )
Seberapa Nyerikah anda ?
0____1___2___3___4___5___6___7___8___9___10
Keterangan :
(√) Tidak ada nyeri (0)
( ) Nyeri Ringan ( 1-3)
( ) Nyeri Sedang (4-6)
( ) Nyeri berat (7-9)
( ) Nyeri sangat berat (10)
Adakah rasa nyeri : (√) Tidak ( ) Ya : Skala ( ) Lokasi
c. Status Fungsional
Keterangan
Parameter Skrining Jawaban Skor
Nilai
Apakah pasien datang ke 0
Ya / Tidak
rumah sakit karena jatuh? Salah satu
Riwayat Jatuh Jika tidak, apakah pasien jawaban ya
mengalami jatuh dalam 2 Ya / Tidak =6
bulan terakhir ini?
Apakah pasien delirium? Ya / Tidak 14
(tidak dapat membuat
keputusan, pola pikir tidak
terorganisir, gangguan
daya ingat)
Salah satu
Apakah pasien Ya / Tidak
Status Mental jawaban ya
disorientasi? (salah
= 14
menyebutkan waktu,
tempat atau orang)
Apakah pasien mengalami Ya / Tidak
agitasi? (ketakutan, gelisah
dan cemas)
Apakah pasien memakai Ya / Tidak 1
kacamata? Salah satu
Penglihatan Apakah pasien mengeluh Ya / Tidak jawaban ya
ada penglihatan buram? =1
Apakah pasien mempunyai Ya / Tidak
glaukoma, katarak atau
degenerasi makula?
Apakah terdapat perubahan Ya / Tidak 2
Kebiasaan perilaku berkemih?
Ya = 2
berkemih (frekuensi, urgensi,
inkontinensia, nokturia)
Mandiri (boleh 0 7
menggunakan alat bantu
jalan)
Transfer (dari Memerlukan sedikit 1
Jumlahkan
tempat tidur bantuan (1 orang) atau
nilai transfer
ke kursi dan dalam pengawasan
dan
kembali ke Memerlukan bantuan yang 2
mobilitas.
tempat tidur) nyata (2 orang)
Jika nilai
Tidak dapat duduk dengan 3
total 0 – 3,
seimbang, perlu bantuan
maka skor =
total
0. Jika nilai
Mandiri (boleh 0
total 4 – 6,
menggunakan alat bantu
maka skor =
jalan)
7.
Mobilitas Berjalan dengan bantuan 1 1
orang (verbal / fisik)
Menggunakan kursi roda 2
Immobilisasi 3
Total Skor 23
Keterangan :
Skor Risiko
0–5 Rendah
6 – 16 Sedang
17 – 30 Tinggi
d. Skrining Gizi
Skrining Gizi- MST ( Malnutrion Screening Tool )
No Parameter Skor Nilai Skor
1 Apakah klien mengalami
penurunan berat badan yang tidak 0
diinginkan dalam 6 bulan terakhir
a. Tidak ada penurunan berat 2 2
badan
b. Tidak yakin/ tidak tahu /
terasa baju lebih longgar
C. Jika ya , berapa peaurunan
berat badan tersebut ?
- 1-5 kg 1 1
- 6-10 kg 2
- 11-15 kg 3
- . 15 kg 4
2 Apakah asupan makanan berkurang
karena tidak napsu makan ?
a. Tidak 0 0
b. Ya 1
Total skor 3
e. Barthel Index
Interpretasi hasil :
20 : Mandiri
12-19 : Ketergantungan Ringan
9-11 : Ketergantungan Sedang
5-8 : Ketergantungan Berat
0-4 : Ketergantungan Total
ANALISA DATA
No Data Masalah
1. Ds : Pola nafas tidak efektif
Do:
- Kesadaran : compos mentis
- TTV : TD : 141/73 mmHg, N : 86
x/menit RR : 13x/menit, S: 36
- Klien terpasang trakeostomi
- Klien bernafas dibantu ventilator dengan
mode SIMV-VC, TV: 500, RR
13x/menit, Fio2: 30%
- Bunyi nafas ronchi
- SpO2 : 86-98%
- Warna kulit: pucat
II Bersihan jalan nafas tidak efektif Setelah dilakukan 1. Kaji kepatenan 1. Mengetahui
berhubungan dengan sumbatan tindakan keperawatan jalan nafas dan adanya
jalan nafas, adanya jalan nafas diharapkan jalan nafas keadaan sekret kelemahan otot
buatan, dutandai dengan: klien efekif dengan per 2 jam pernafasan
Ds: kriteria hasil: 2. Lakukan oral 2. Menjaga
Do: - Pola nafas normal hygiene dan kepatenan jalan
- Klien kehilangan - Jalan nafas paten suction nafas
kemampuan untuk batuk dan - Bunyi nafas normal 3. Kolaborasi 3. Agen mukolitik
menelan - Sputum berkurang pemberian N.Ace yang berfungsi
- Terdapat sputum berawna - Tidak terjadi dianosis 3x1 IV mengencerkan
putih kental sputum
- Bunyi nafas ronchi
Tgl No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Rencana Tindakan Rasional
(PES) Hasil
- Terpasang trakeostomi
- Klien bernafas dibantu
ventilator dengan mode
SIMV-VC, TV: 500, RR
13x/menit, Fio2: 30%
- SpO2 : 86-98%
- TTV : TD : 141/73 mmHg,
N : 86 x/menit RR :
13x/menit, S: 36
2. Mengawali Weaning
(14.30 WIB)
H: Klien bernapas spontan melalui
trakeostomi tube dan O2 nasal kanul 3
l/menit, SPO2 86%
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
3. Mengobservasi suction
(18.00 WIB)
H: tindakan suction telah dilakukan
melalui trakeostomi tube dan oral,
lendir putih kental
CATATAN PERKEMBANGAN KEPERAWATAN
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
02-04-19 Pola nafas tidak efektif 1. Mengkaji pola nafas, irama dan (20.00 WIB)
berhubungan dengan upaya frekuensi nafas/ 2 jam S: -
pernafasan (kelemahan otot H: O:
pernfasan) yang ditandai dengan: (14.00 WIB) Pola nafas klien bradipneu
Ds:- Pola nafas bradipneu dan irama teratur Irama teratur, RR: 14 x/menit
Do: dan RR: 15x/menit Klien bernafas dibantu ventilasi
- Kesadaran : compos mentis (16.00 WIB) mekanik mode SIMV-VC
- TTV : TD : 141/73 mmHg, N Pola nafas bradipneu, irama teratur, Bunyi nafas ronchi
: 86 x/menit RR : 13x/menit, RR: 14 x/menit Tidal Volume 350 ml
S: 36 (18.00 WIB) Terdapat sputum dari jalan nafas
- Klien terpasang trakeostomi Pola nafas bradipneu, irama tertaur, RR berwarna putih kental
- Klien bernafas dibantu 13x/menit A: Masalah pola nafas tidak efektif
ventilator dengan mode (20.00 WIB) belum teratasi
SIMV-VC, TV: 500, RR Pola nafas bradipneu, irama teratur, RR P: Intervensi dilanjutkan
13x/menit, Fio2: 30% 14 x/menit
- Bunyi nafas ronchi
- SpO2 : 86-98%
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
- Warna kulit: pucat 2. Mengkaji penggunaan alat bantu nafas
dan bunyi nafas
H:
(14.00 WIB)
alat bantu nafas yaitu ventilasi mekanik
mode SIMV VC dan bunyi nafas yaitu
ronchi
(16.00 WIB)
Penggunaan ventilasi mekanik mode
SIMV VC, bunyi nafas ronchi
(18.00 WIB)
Penggunaan ventilasi mekanik mode
SIMV VC, bunyi nafas ronchi
(20.00 WIB)
Penggunaan ventilasi mekanik mode
SIMV VC, bunyi nafas ronchi
2. Mengobservasi suction
(18.00 WIB)
H: tindakan suction telah dilakukan
melalui trakeostomi tube dan oral,
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
lendir berwarna putih kental
CATATAN PERKEMBANGAN KEPERAWATAN
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
03-04-19 Pola nafas tidak efektif 1. Mengkaji pola nafas, irama dan (20.00 WIB)
berhubungan dengan upaya frekuensi nafas/ 2 jam S: -
pernafasan (kelemahan otot H: O:
pernfasan) yang ditandai dengan: (14.00 WIB) Pola nafas klien bradipneu
Ds:- Pola nafas bradipneu dan irama teratur Irama teratur, RR: 13 x/menit
Do: dan RR: 14x/menit Klien bernafas dibantu ventilasi
- Kesadaran : compos mentis (16.00 WIB) mekanik mode SIMV-VC
- TTV : TD : 141/73 mmHg, N Pola nafas bradipneu, irama teratur, Bunyi nafas ronchi
: 86 x/menit RR : 13x/menit, RR: 12 x/menit Tidal Volume 350 ml
S: 36 (18.00 WIB) Terdapat sputum dari jalan nafas
- Klien terpasang trakeostomi Pola nafas bradipneu, irama tertaur, RR berwarna putih kental
- Klien bernafas dibantu 15x/menit A: Masalah pola nafas tidak efektif
ventilator dengan mode (20.00 WIB) belum teratasi
SIMV-VC, TV: 500, RR Pola nafas bradipneu, irama teratur, RR P: Intervensi dilanjutkan
13x/menit, Fio2: 30% 13 x/menit
- Bunyi nafas ronchi
- SpO2 : 86-98% 2. Mengkaji penggunaan alat bantu nafas
Tgl Diagnosa Keperawatan (PES) Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
- Warna kulit: pucat dan bunyi nafas
H:
(14.00 WIB)
alat bantu nafas yaitu ventilasi mekanik
mode SIMV VC dan bunyi nafas yaitu
ronchi
(16.00 WIB)
Penggunaan ventilasi mekanik mode
CPAP, bunyi nafas ronchi
(18.00 WIB)
Klien bernafas dibantu ventilasi
mekanik SIMV VC, bunyi nafas ronchi
(20.00 WIB)
Penggunaan ventilasi mekanik mode
SIMV VC, bunyi nafas ronchi
Menurut Peeler, et all (2015) gejala klinis Myasthenia gravis antara lain: (1)
Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu
gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, sering menjadi keluhan utama klien
miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas
lumpuh, namun ada kalanya otot-otot tersebut masih bergerak normal. Tetapi pada
tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis pada
Myasthenia gravis. (2) Kelemahan otot klien semakin lama akan semakin
memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot okular, otot wajah,
otot leher, hingga ke otot ekstremitas.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada klien ini menunjukkan adanya ptosis pada
palpebra kanan klien yang tidak menghilang setelah klien beristirahat. Hal ini
sesuai dengan teori dimana pada Myasthenia gravis keluhan yang paling sering
terjadi adalah keluhan pada wajah 95% dari klien . Keluhan ptosis juga kadang
disertai adanya gangguan otot okular. Kelemahan wajah dapat terjadi pada
Myasthenia gravis tanpa keterlibatan otot mata, tetapi biasanya kedua gejala
terjadi bersama-sama. Namun, terjadinya kedua kelemahan otot mata dan wajah
sangat memperlihatkan gejala Myasthenia gravis. Pada pemeriksaan fisik klien
ini juga ditemukan adanya kelemahan otot-otot wajah termasuk otot untuk
menelan dimana klien mengeluhkan sulit menelan makanan dan sulit bicara,
penyebab lain dari hal tesebut adalah klien terpasang Tracheostomy Tube.
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut
klien sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring,
lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan
berbicara. Selain itu bila klien minum air, mungkin air itu dapat keluar dari
hidungnya (Romi, 2009). Pada klien tersebut ditemukan ketidakmampuan
menelan karena kelemahan otot-otot tersebut dan klien terpasang Tracheostomy
Tube. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan nutrisi klien, pada klien terpasang
NGT.
Gejala yang paling serius dari Myasthenia gravis adalah kesulitan bernafas. Klien
myasthenic dengan insufisiensi pernapasan atau ketidakmampuan untuk
mempertahankan jalan napas paten dikatakan krisis. Kelumpuhan vokal dapat
menghambat jalan napas, tetapi lebih umum saluran udara terhambat oleh sekresi
klien yang tidak dapat dikeluarkan karena batuk terlalu lemah. Karena batuk
membutuhkan bantuan otot-otot ekspirasi. Terlebih pada klien tersebut terpasang
Tracheostomy Tube.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada Ny. N di ruang ICU
RSUD Pasar Rebo. Berdasarkan tinjauan teori, tinjauan kasus, dan pembahasan
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari hasil pengkajian Ny.N didapatkan data yang menunjang untuk mengarah
pada diagnosa medis myasthenia gravis dengan data diperoleh dari pengkajian
dilakukan dengan pasien maupun keluarga pasien, pengamatan langsung,
membaca catatan medik dan catatan keperawatan serta kerjasama dengan tim
kesehatan lain yang bersangkutan dalam pengelolaan.
2. Dalam literatur tidak semua diagnosa keperawatan ditemukan dalam kasus
nyata, hanya lima tiga diagnosa keperawatan yang muncul. Hal ini disesuaikan
dengan kondisi pasien saat pengkajian.
3. Intervensi yang muncul tidak sepenuhnya dijadikan intervensi oleh penulis
pada pengelolaan klien karena situasi dan kondisi klien serta situasi dan
kondisi kebijakan dari instansi rumah sakit.
4. Terdapat beberapa implemetasi yang belum bisa penulis lakukan secara
langsung pada pasien. Dalam melakukan implementasi keperawatan penulis
bekerjasama dengan melibatkan keluarga dan perawat ruang ICU.
5. Dalam evaluasi asuhan keperawatan didapatkan lima masalah keperawatan
masih belum teratasi sehingga membutuhkan perawatan lebih lanjut, dan belum
ada masalah keperawatan yang sudah teratasi, sehingga memerlukan tindakan
keperawatan yang lebih lanjut.
5.2 Saran
Berdasarkan asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada Ny. N di ruang ICU
RSUD Pasar Rebo dan kesimpulan yang telah penulis susun seperti diatas, maka
penulis memberikan saran sebagai berikut :
1. Dalam pemberian asuhan keperawatan perlu adanya keikutsertaan keluarga
karena keluarga merupakan orang terdekat pasien yang tahu akan
perkembangan dan kebiasaan pasien.
2. Dalam memberikan implementasi tidak harus sesuai dengan apa yang
terdapat pada teori, akan tetapi harus disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan pasien serta menyesuaikan dengan kebijakan dari rumah sakit.
3. Perawat sebagai tim kesehatan yang paling sering berhubungan dengan pasien
sangat perlu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan agar mampu
merawat pasien secara komprehensif dan optimal. Dan perawat juga harus
bekerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter, ahli gizi, psikiatri dan
pekerja).
4. Sosial dalam melakukan perawatan atau penanganan pasien dengan
myasthenia gravis .
DAFTAR PUSTAKA
Arie W, A.A Gde Agung Anom., Made, Oka Adnyana.,I Putu, Eka Widyadharma.
(2016). Diagnosis Dan Tata Laksana Miastenia Gravis. Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. Diambil pada 5 Mei 2019, dari
https://www.researchgate.net/publication/292931538_DIAGNOSIS_DAN_
TATA_LAKSANA_MIASTENIA_GRAVIS.
Peeler CE, De Lott LB, Nagia L, Lemos J, Eggenberger ER, Cornblath WT.
(2015). Clinical utility of achetylcholine receptor antibody testing in ocular
myasthenia gravis. JAMA Neurol.
Phillips WD, Vincent A. (2016). Pathogenesis of myasthenia gravis: update on
disease types, models, and mechanisms. F1000 Research.
Shah AK, Goldenberg WD. (2016). Myasthenia gravis . New York: MedScape.
Diakses melalui : http://emedicine.medscape.com/article/1 171206-overview
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Editor Suzane. C. S.. Brenda. G. B.. Edisi 8. Jakarta :
EGC.