You are on page 1of 27

LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM SEDERHANA

Pembimbing :
dr. Ommy Ariansih, Sp.A(K)

Disusun Oleh :
Muhammad Hakam Al Hasby (201893007)

KEPANITERAAN KLINIK PEDIATRI


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah, karena dengan rahmat dan hidayah-

Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Laporan Kasus Kejang Demam Sederhana ini tepat

pada waktunya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua

pihak yang membaca, agar penulis dapat mengkoreksi dan dapat membuat laporan kasus yang

lebih baik kedepannya.

Demikianlah laporan kasus ini dibuat sebagai tugas dari kegiatan klinis di stase Pediatri

serta untuk menambah pengetahuan bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Jakarta, Januari 2019

Penulis

2
BAB I

STATUS PASIEN

1.1 Identitas Pasien


Nama : An. M.O.
Ruang Perawatan : Pav. Badar
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 09 Mei 2016
Umur : 2 tahun 7 bulan 25 hari
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Masuk RS : 3 Januari 2019
No. Kamar : 12
No. Rekam Medis : 00 97 ** **
1.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama
Kejang disertai demam sejak 4 hari SMRS..
b. Keluhan Tambahan
Batuk, pilek, mual, muntah, diare.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Os datang dengan keluhan kejang sebanyak 1 kali SMRS. Kejang didahului oleh
demam yang mendadak tinggi. Kejang berlangsung < 5 menit dan kejang nya pada
seluruh tubuh. Orangtua os mengatakan bahwa os baru pertama kali mengalami kejang.
Selain kejang, os mengalami demam mendadak tinggi sejak 4 hari yang lalu,
dan demam dirasakan naik turun, sudah diberi minum parasetamol, demam turun tapi
setelah beberapa jam demam kembali naik, selain keluhan demam os juga mengeluh
batuk dan pilek sejak 3 hari yang lalu, batuk yang dirasakan seperti berdahak, tetapi
pasien tidak bisa mengeluarkan dahaknya, pilek dengan lendir bening.
Selain itu, os juga mengalami diare. Bab lebih kurang sebanyak 6 kali dan berisi
ampas. Os juga merasakan mual dan muntah sebanyak 1 kali. Orangtua os juga
mengatakan bahwa nafsu makan os menurun.

3
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat diare (+) sejak 2018 (saat usia os 1 tahun), pernah di rawat 1x
dengan keluhan diare.

Riwayat alergi disangkal

e. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat kejang demam disangkal
Riwayat asma disangkal
f. Riwayat Pengobatan
Os sudah meminum obat penurun demam tetapi tidak ada perbaikan.
g. Riwayat Kehamilan
Ibu os rutin ANC di Dokter Kandungan, tidak pernah terkena infeksi dan sakit
selama hamil.
h. Riwayat Persalinan
 Melahirkan : SC
 BBL : 3000 gram
 PBL : 48 cm
 Keadaan : Sehat, menangis kuat, riwayat kuning (-)

i. Pola Makan
Kuantitas dan kualitas pola makan os menurun.
j. Riwayat Imunisasi
Kesan : Imunisasi dasar lengkap
k. Riwayat Perkembangan
Berdiri : 12 bulan
Duduk : 6 bulan
Berjalan : 18 bulan
Bicara : 8 bulan
Tengkurap : 5 bulan
Kesan : Perkembangan sesuai usia

4
l. Riwayat Psikososial
Pasien tinggal bersama ayah dan ibunya di rumah, lingkungan di sekitar rumah
bersih dan memiliki sumber air bersih.

1.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital
Nadi : 110 kali/menit, regular, isi cukup, kuat angkat
RR : 23 kali/menit
Suhu : 37,2ºC (Bangsal), 38.4ºC (IGD)
Antropometri (Kurva WHO)
BB : 11 kg TB : 88,5 cm LK : 50 cm
Status Gizi (Interpretasi menggunakan Kurva WHO)
BB/U : Z Score diantara 0 sampai -2  Berat Badan Cukup
TB/U : Z Score diantara 0 sampai -2  Normal
BB/TB : Z Score tepat dititik -1  Gizi Baik
Kesan : Gizi Baik

Status Generalis
- Kepala : Normocephal, ubun-ubun sudah tertutup.
- Wajah : Simetris, tidak terdapat tanda-tanda peradangan, pucat (+)
- Rambut : Hitam, distribusi merata, tidah mudah dicabut (tidak rontok).
- Mata : Cekung (-/-), Edema palpebra (-/-), Konjungtiva anemis (-/-),
Sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+).
- Hidung : Pernapasan cuping hidung (-/-), darah (-/-), septum deviasi (-),
sekret (-/-), konka hiperemis (-/-)
- Telinga : Normotia, serumen (-/-), nyeri tekan (-)
- Mulut : Bibir pucat (+), bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor dan
tremor (-), stomatitis (-)
- Tenggorokan : Faring hiperemis (-), Tonsil (T0/T0), permukaan licin.
- Leher : Pembesaran KGB (-/-)
Pembesaran kelenjar tiroid (-/-).

5
- Thorax
Pulmo
Inspeksi : Normochest, Pergerakan dinding dada simetris, retraksi
dinding dada (-).
Palpasi : Vocal fremitus sama pada kedua lapang paru.
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru, batas paru-hepar pada ICS VI
dextra.
Auskultasi : Vesikuler di kedua lapang paru, wheezing (-/-), rhonki (-/-)

Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS IV linea midklavikula sinistra
Perkusi : Batas Atas : ICS II Linea Parasternalis Dextra
Batas Kanan : ICS IV Linea Parasternalis Dextra
Batas Kiri : ICS V Linea Midclavicula Sinistra
Auskultasi : BJ I dan II reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen:
Inspeksi : Datar, distensi (-), massa (-)
Auskultasi : Bising usus normal
Palpasi : Soepel, Turgor kembali cepat, Nyeri tekan (-),
Hepatosplenomegali (-).
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen

Hepar : Hepatomegali (-), konsistensi lunak, permukaan datar dan (-)


nyeri tekan

Ekstremitas Atas Bawah


Sianosis : -/- -/-
Akral : hangat hangat
Edema : -/- -/-
CRT : <2s <2s
6
- Kelenjar inguinal : Tidak terdapat adanya pembesaran kelenjar.
- Anus dan Rectum : Tidak terdapat tanda-tanda peradangan dan tidak terdapat
adanya perdarahan.
- Genitalia : Phimosis (+)
- Kulit : Tidak pucat, tidak sianosis, turgor kembali cepat.

Status Neurologis : GCS : 15


Reflek Fisiologis : Biceps +/+ Triceps +/+
Patella +/+ Achilles +/+
Reflek Patologis : (-)
Rangsang Meningeal : Kaku Kuduk (-) Kernig Sign (-)
Lasegue sign (-) Brudzinski 1 (-)
Brudzinski 2 (-)

1.4 Pemeriksaan Penunjang


(03 Januari 2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

10.7 (L) g/dL 10.8-12.8


Hemoglobin
10.35 103/mL 6.00-17.00
Leukosit
31 (L) % 35-43
Hematokrit
259 103/mL 229-553
Trombosit
4.27 106/uL 3.60-5.20
Eritrosit
72 (L) fl 73-101
MCV
25 pg 23-31
MCH
35 (H) % 26-34
MCHC

7
1.5 Resume

Os datang dengan keluhan kejang sebanyak 1 kali SMRS. Kejang didahului oleh
demam yang mendadak tinggi. Kejang berlangsung < 5 menit dan kejangnya pada seluruh
tubuh dan Os tidak mengalami penurunan kesadaran. Ibu os mengatakan bahwa os baru
pertama kali mengalami kejang.

Selain kejang, os mengalami demam mendadak tinggi sejak 4 hari yang lalu, dan
demam dirasakan naik turun, sudah diberi minum parasetamol, demam turun tapi setelah
beberapa jam demam kembali naik, selain keluhan demam os juga mengeluh batuk dan pilek
sejak 3 hari yang lalu, batuk yang dirasakan seperti berdahak, tetapi pasien tidak bisa
mengeluarkan dahaknya, pilek dengan lendir bening.

Selain itu, os juga mengalami diare. Bab lebih kurang sebanyak 6 kali dan berisi ampas.
Os juga merasakan mual dan muntah sebanyak 1 kali. Orangtua os juga mengatakan nafsu
makan os menurun.

Pemeriksaan Fisik: Nadi (110 kali/menit, regular, isi cukup, kuat angkat), RR: 23
kali/menit, Suhu : 37.2ºC (Bangsal), 38.4ºC (IGD). Wajah pucat, hidung terdapat sekret (-/-)

Pada pemeriksaan neurologis didapatkan GCS 15, refleks fisiologis (+), tanda rangsang
meningeal (-), refleks patologis (-)
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb, Ht dan MCV rendah,
sedangkan MCHC meningkat.

1.6 Diagnosis Banding


- ISPA
- Otitis Media
1.7 Diagnosis
- Diagnosis Klinis : Kejang Demam Sederhana
- Diagnosis Gizi : Gizi Baik
- Diagnosis Imunisasi : Imunisasi dasar lengkap sesuai usia
- Diagnosis Perkembangan : Sesuai usia
- Diagnosis Pertumbuhan : Sesuai usia

8
1.8 Terapi
- IVFD Ringer Laktat 10 tpm
- Puyer panas 3 x 1sach
Diazepam 1 mg
- Puyer batuk 3x1sach
- Lacto b
- H2O2 3X1 + Kloramphenicol 3X1

1.9 Follow Up

Tgl S O A P

 Kejang (-) S : 36,7ºC - Kejang Demam


05/01/2019 P.panas
 Demam masih naik HR: 90x/menit Sederhana
3x1+diazepam
turun RR: 20x/menit - ISPA
 Batuk (+), pilek (+) Pemeriksaan - OMSK P.batuk 3x1
 Nafsu makan dan neurologis Normal
Keluar cairan di Lacto B 1x1
minum membaik
 Diare (-) telinga (+)
H2O2 3x1+
 Muntah (-) Klorampenikol
3x1

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kejang Demam


DEFINISI

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan
sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38 0C, dengan
metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.
Keterangan :
1. Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan elektrolit atau
metabolik lainnya
2. Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang
demam
3. Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang
sekali. National Institute of Health (1980) menggunakan batasan lebih dari 3 bulan,
sedangkan Nelson dan Ellenburg (1978), serta International League of Epilepsy
(1993) menggunakan batasan usia lebih dari 1 bulan. Bila anak berumur kurang dari
6 bulan mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama
infeksi susunan saraf pusat.

ETIOLOGI
Kejang disertai demam dapat disebabkan oleh infeksi susunan saraf (meningitis,
ensefalitis, atau abses otak), epilepsi yang belum terdiagnosis yang dicetuskan oleh
demam, atau kejang demam sederhana. Yang disebutkan terakhir merupakan
predisposisi genetik terhadap kejang dicetuskan oleh demam yang sering didapatkan
pada anak berusia 6 bulan sampai 6 tahun. Keadaan ini terjadi pada 2% sampai 4%
anak; sebagian besar antara usia 1 sampai 2 tahun (usia rata-rata 22 bulan).

10
Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan
demam dapat menyebabkan kejang demam, misalnya tonsilitis (peradangan pada
amandel), infeksi pada telinga, dan infeksi saluran pernafasan lainnya. Penyakit yang
paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernapasan akut, otitis
media akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran kemih.

KLASIFIKASI
Kejang demam dibagi atas :
 Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang bersifat umum (bangkitan kejang tonik – klonik),
tanpa gerakan fokal, berlangsung singkat (< 15 menit), dan hanya sekali / tidak
berulang dalam 24 jam. Sebanyak 80 – 90% diantara seluruh kejang demam
merupakan kejang demam sederhana.
 Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
Kejang demam fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial, berlangsung lama (> 15 menit),dan kejang berulang dalam 24 jam.
Anak biasanya berusia antara 6 bulan sampai 3 tahun dan tersering pada usia 18
bulan. Bila kejang demam berlangsung terus sampai usia di atas 6 tahun atau
pernah mengalami kejang tanpa demam baik tonik klonik, mioklonik, absens atau
atonik, maka diklasifikasikan sebagai Generalized epilepsy with seizure plus
(GEFS+).

FAKTOR RISIKO
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Selain itu,
terdapat faktor-faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, dan kadar natrium rendah.
Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi
atau lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih. Risiko
rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam
timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan
riwayat keluarga epilepsi.
Faktor risiko berulangnya kejang demam, adalah (1) riwayat kejang demam
dalam keluarga; (2) temperatur tubuh saat kejang, makin rendah temperatur saat kejang
11
makin sering berulang; dan (3) lamanya demam. Anak dengan kejang demam kompleks
hanya memiliki risiko 7% untuk mengalami kejang demam kompleks kembali. Adapun
faktor risiko terjadinya epilepsy di kemudian hari adalah (1) adanya gangguan
perkembangan neurologis; (2) kejang demam kompleks; (3) riwayat epilepsy dalam
keluarga. Peluang terjadinya epilepsi 2% jika terdapat satu faktor risiko dan 10% jika
terdapat dua atau tiga faktor risiko.
Status epileptikus merupakan kegawat-daruratan neurologis dan didefinisikan
sebagai aktivitas kejang terus menerus selama lebih dari 20 menit atau kejang berulang
tanpa pulihnya kesadaran dalam waktu lebih dari 30 menit. Status epileptikus dapat
menyebabkan hipoksemia dan penurunan perfusi korteks, dengan akibat kerusakan otak
menetap. Pada 50% anak yang datang dengan status epileptikus, tidak ada etiologi yang
dapat ditemukan, namun pada 50% anak dalam kelompok ini, status dicetuskan oleh
demam. Sekitar 25% memiliki kerusakan otak akut, misalnya meningitis aseptic atau
purulenta, ensefalitis, gangguan elektrolit, atau anoksia akut. Dua puluh persen
memiliki riwayat kerusakan otak atau malformasi kongenital. Penghentian
antikonvulsan secara mendadak merupakan penyebab lain yang sering. Secara
keseluruhan angka kematian status epileptikus kurang dari 10% dan berhubungan
dengan etiologi pola kejang.

PATOFISIOLOGI
Mekanisme 1
Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan
otak. Pada keadaan metabolisme di siklus Creb normal, satu molekul glukosa akan
menghasilkan 38 ATP. Sedangkan pada keadaan hipoksi jaringan metabolisme
berjalan anaerob, satu molukul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga
pada keadaan hipoksi akan kekurangan energi dan mengganggu fungsi normal pompa
Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel g1ia. Kedua hal tersebut mengakibatkan
masuknya Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel.
Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas
membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkan ion Na+ masuk ke
dalam sel. Ion Na+ ke dalam sel dipermudah pada keadaan demam, sebab demam
akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membran sel. 6
Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan
12
perubahan potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan
depolarisasi. Disamping itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga
fungsi inhibisi terganggu.5
Mekanisme 2
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu
energi, yang di dapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang
terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan
dengan perantara fungsi paru – paru dan diteruskan ke otak melalui sistem
kardiovaskular. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi
dipecah menjadi CO2 dan air.
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah
limpoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron
dapat dilalui dengan mudah oleh kalium ( K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium
( Na+) dan elektrolit lainnya. Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel, maka terdapat
perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na– K –
ATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya:
1. Perubahan ion diruang ekstraseluler
2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1o C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10% - 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam
waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui
membran tadi, dengan akibat terjadi lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel
tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotrasmitter dan terjadilah kejang.
13
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi
rendahnya ambang kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu
tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu
38°C sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi
pada suhu 40°C atau lebih. Dari kenyataan inilah dapatlah disimpulkan bahwa
terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah
sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa
penderita kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan
tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari
15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan
energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia,
asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai
denyut jantung dan suhu tubuh yang tidak teratur, makin meningkatnya aktifitas otot
dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di
atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama
berlangsungnya kejang lama.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan
hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus
temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi
“matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi
kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak
hingga terjadi epilepsi.

MANIFESTASI KLINIS
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik
atau tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri.Setelah kejang berhenti
anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau
menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang demam diikuti
hemiparesis sementara (Hemeparesis Tood) yang berlangsung beberapa jam sampai
hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap.
14
Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang
pertama. Kejang berulang dalam 24 jam ditemukan pada 16% paisen.
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya berkembang
bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39°C atau lebih. Kejang khas yang menyeluruh,
tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk
singkat pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15 menit
menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik yang memerlukan
pengamatan menyeluruh.

DIAGNOSIS
Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis kejang
demam antara lain :
Anamnesis
 Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, frekuensi dalam 24 jam,
interval, keadaan anak pasca kejang.
 Suhu sebelum dan saat kejang
 Lama timbulnya dari demam ke kejang
 Penyebab demam di luar infeksi SSP ( gejala infeksi saluran napas akut/ ISPA,
infeksi saluran kemih/ ISK, otitis media akut/ OMA, dll.)
 Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga
 Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/ muntah yang
mengakibatkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia,
asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia)
Gambaran Klinis, yang dapat dijumpai pada os kejang demam adalah:
 Suhu tubuh mencapai 39°C.
 Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang.
 Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan lengan mulai
kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala kejang tergantung pada
jenis kejang.
 Kulit pucat dan mungkin menjadi biru.
 Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar.

15
Pemeriksaan Fisik
 Kesadaran: Apakah terdapat penurunan kesadaran, suhu tubuh : apakah terdapat
demam.
 Tanda rangsang meningeal: Kaku kuduk, Bruzinski I dan II, Kernique, Laseque.
 Pemeriksaan nervus kranialis
 Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun–ubun besar (UUB) memnonjol, papil
edema.
 Tanda infeksi di luar SSP : ISPA, OMA, ISK, dll.
 Pemeriksaan neurologis : tonus, motorik, reflex fisiologis, reflex patologis.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab demam atau kejang.
Pemeriksaan dapat meliputi darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit, urinalisis
dan biakan darah, urin atau feses.
b. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan/menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Jika
yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal. Indikasi
pungsi lumbal :
 Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
 Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis
 Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya
telah mendapat antibiotik dan antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda
dan gejala meningitis.

c. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)

16
Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali apabila bangkitan
bersifat fokal untuk menentukan adanya fokus kejang di otak yang membutuhkan
evaluasi lebih lanjut.
d. Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala)
Dilakukan hanya jika ada indikasi, misalnya:
 Kelainan neurologis fokal yang menetap (hemiparesis) atau kemungkinan
adanya lesi struktural di otak (mikrosefali, spastisitas) atau paresis nervus
kranialis
 Terdapat tanda peningkatan tekanan intra kranial (kesadaran menurun,
muntah berulang, UUB membonjol, paresis nervus VI, edema papil.

PENATALAKSANAAN
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu os datang kejang
sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam
intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 12 mg/menit atau dalam
waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua atau di rumah adalah
diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg
untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari
12 kg.Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke
rumah sakit, lanjut tata laksana status epileptikus. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam
intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.
Bila kejang tetap belum berhenti, berikan fenitoin secara intravena dengan dosis
awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit.
Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 48 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis
awal.
Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti, maka os harus dirawat di ruang rawat
intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis
kejang demam, apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.

17
Pemberian obat pada saat demam
Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadi
kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat
diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 – 15 mg/kg/kali diberikan 4 kali
sehari dan tidak lebih dari 5 kali.Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.

Antikonvulsan (pengobatan intermiten)


Antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat
demam. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor
risiko di bawah ini :
 Kelainan neurologis berat,misalnya palsi serebral
 Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
 Usia <6bulan
 Bila kejang terjadi pada suhu tubuh <390C
 Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan
cepat.
Obat yang diberikan adalah diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB/kali per oral atau rektal
0,5 mg/kgBB/kali (5mg untuk BB <12kg dan 10mg untuk BB ≥12kg, sebanyak 3 kali
sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali, Diazepam intermiten diberikan
selama 48 jam pertama demam (IDAI, 2016). Pemberian fenobarbital, karbamazepin,
fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.

Antikonvulsan rumat
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan
penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka
pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dalam jangka pendek.
Indikasi pengobatan rumat :
1. Kejang fokal

18
2. Kejang lama > 15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang. Namun, pemakaian fenobarbital setiap hari
dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat
pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus terutama yang berumur
kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis
asam valproat adalah 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan dilakukan selama 1
tahun, penghentian pengobatan rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan
tapering off, namun dilakukan pada saat anak sedang tidak demam.

19
Gambar Algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus

20
EDUKASI PADA ORANGTUA
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orangtua. Pada saat
kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan
ini harus dikurangi dengan cara:
1. Cegah demam pada anak dan informasikan untuk memberikan diazepam oral saat
anak demam
2. Meyakinkan bahwa kejang demam pada umumnya mempunyai prognosis yang baik
3. Memberitahukan cara penanganan kejang
4. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
5. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya
efek samping obat.

Beberapa hal yang harus dilakukan bila kembali kejang


1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
3. Posisikan kepala anak lebih rendah dari badannya
4. Bila tidak sadar, miringkan badan anak ke arah kanan untuk mencegah muntah
5. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan
lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
6. Ukur suhu, observasi, dan catat lama dan bentuk kejang
7. Tetap bersama os selama kejang
8. Berikan diazepam rektal dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti
9. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih

PROGNOSIS
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak
menyebabkan kematian. Frekuensi berulangnya kejang berkisar antara 25-50%, umumnya
terjadi pada 6 bulan pertama. Risiko untuk mendapatkan epilepsi rendah.

21
2.2. Otitis Media

2.2.1. Definisi dan Klasifikasi


Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media akut (OMA) adalah
peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat.
Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik
berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi
membran timpani.

Gambar 2.2.1.1. Skema Pembagian Otitis Media

22
Gambar 2.2.1.2. Skema Pembagian Otitis Media Berdasarkan Gejala

2.2.2. Fisiologi dan Patogenesis

2.2.2.1 Tuba Eustachius


Fungsi abnormal tuba Eustachius merupakan faktor yang penting pada otitis media. Tuba
Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring,
yang terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga ke arah nasofaring dan sepertiganya terdiri atas
tulang (Djaafar, 2007). Tuba Eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan baru
terbuka apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan
dan menguap. Pembukaan tuba dibantu oleh kontraksi muskulus tensor veli palatini apabila
terjadi perbedaan tekanan telinga tengah dan tekanan udara luar antara 20 sampai dengan 40
mmHg. Tuba Eustachius mempunyai tiga fungsi penting, yaitu ventilasi, proteksi, dan drainase
sekret. Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan udara dalam telinga tengah selalu sama
dengan tekanan udara luar. Proteksi, yaitu melindung telinga tengah dari tekanan suara, dan
menghalangi masuknya sekret atau cairan dari nasofaring ke telinga tengah. Drainase bertujuan

23
untuk mengalirkan hasil sekret cairan telinga tengah ke nasofaring (Djaafar, 2007; Kerschner,
2007).

2.2.2.2. Patogenesis OMA


Patogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran pernapasan
atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran napas atas,
termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi sempit, sehingga terjadi
sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung lama akan
menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah
melalui tuba Eustachius. Selanjutnya, mukosa telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius
untuk mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan
akibat obstruksi tuba, tuba Eustachius akan mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi
efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA dan otitis
media dengan efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase telinga tengah terganggu,
mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi
mikroba patogen pada sekret. Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan
mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius.
Virus respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga
menganggu pertahanan imun pasien terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah
banyak dari proses inflamasi lokal, perndengaran dapat terganggu karena membran timpani
dan tulangtulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan
yang terlalu banyak akhirnya dapat merobek membran timpani akibat tekanannya yang
meninggi (Kerschner, 2007). Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan
ekstraluminal. Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi,
lalu timbul edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu,
sebagian besar pasien dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal dari
tuba Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal seperti
tumor, dan hipertrofi adenoid (Kerschner, 2007).

24
2.3 Inflamasi
Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau
kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung
(sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland, 2002).
Penyebab inflamasi antara lain mikkroorganisme, trauma mekanis, zat-zat kimia dan
pengaruh fisika. Tujuan akhir dari respon inflamasi adalah menarik protein plasma dan fagosit
ke tempat yang mengalami cedera atau terinvasi agar dapat mengisolasi, menghancurkan, atau
menginaktifkan agen yang masuk, membersihkan debris dan mempersiapkan jaringan untuk
proses penyembuhan.
Respon antiinflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler
dan migrasi leukositke jaringan radang. Gejala proses inflamasi itu sendiri adalah:
1. Kemerahan (rubor)
Terjadinya warna kemerahan ini terjadi karena arteri yang mengedarkan darah
ke daerah tersebut berdilatasi sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke tempat
cedera.
2. Rasa panas (kalor)
Rasa panas dan kemerahan terjadi secara bersamaan. Dimana rasa panas
disebabkan karena jumlah darah lebih banyak di tempat radang daripada di daerah
lain disekitar radang. Selain itu rasa panas juga bisa disebabkan oleh pirogen yaitu
substansi yang menimbulkan demam, yang mengganggu pusat pengaturan panas
pada hipotalamus.
3. Rasa sakit (dolor)
Rasa sakit akibat radang bias disebabkan oleh:
1. Adanya peregangan jaringan akibat adanya edema sehingga terjadi
peningkatan tekanan local yang dapat menimbulkan rasa nyeri.
2. Adanya pengeluaran zat-zat kimia atau mediator nyeri seperti
prostaglandin, histamine, bradikinin yang dapat merangsang saraf-
saraf perifer di sekitar radang sehingga dirasakan nyeri.
4. Pembengkakan (tumor)
Pembengkakan disebabkan oleh terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler,
adanya peningkatan aliran darah, dan cairan ke jaringan yang mengalami cedera
sehingga protein plasma dapat keluar dari pembuluh darah ke ruang interstitium.

25
5. Fungsiolaesa
Fungsiolaesa merupakan gangguan fungsi dari jaringan yang terkena inflamasi
dan sekitarnya akibat proses inflamasi.

2.3.1 Hubungan Otitis Media dengan Kejang Demam

Infeksi
pada
telinga Kolor
Inflamasi Demam Kejang
tengah (panas)
(Membran
timpani)

Infeksi pada telinga tengah dapat menimbulkan inflamasi atau peradangan. Dan gejala
inflamasi yang dapat mempengaruhi timbulnya demam yaitu kolor (panas). Kolor (panas)
dapat disebabkan oleh pirogen yaitu substansi yang menimbulkan demam, yang
mengganggu pusat pengaturan panas pada hipotalamus. Setelah timbul demam hingga
mencapai >38oC maka itu akan memicu timbulnya kejang pada kejang demam.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Robert M, Kliegman, 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Bagian 2. Ed 15


Jakarta : EGC.
2. Ismael, Sofyan, dkk. 2016. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus. Jakarta:
UKK Neurologi PP-IDAI.
3. Ismael, Sofyan, dkk. 2016. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta:
UKK Neurologi PP-IDAI.
4. Johnston MV. 2011. Seizures in childhood. Dalam: Kliegman RM, Stanton BM, Geme
J, Schor N. Behrman RE, Penyunting,.Nelson’s textbook of pediatrics. Edisi ke-19.
Philadelphia: Elsevier Saunders.
5. Marcdante, J Karen, dkk. 2014. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Singapore:
Elsevier.
6. Pudjiadi AH, Hegar B, Hardyastuti S, Idris NS, Gandaputra EP. Harmoniati ED,
Penyunting, 2011.Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI),
Jakarta: IDAI
7. Sastroasmoro, sudigdo, dkk. 2015. Panduan Praktik Klinis Departemen Ilmu Kesehatan
Anak RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta: RSCM.

27

You might also like