You are on page 1of 38

REFERAT

Rhinitis Alergi

Oleh :

Dwi Rahma Mutiarani (2011730026)

Pembimbing:

dr. Eman Sulaiman, Sp.THT-KL

Kepaniteraan Klinik Ilmu THT

Rumah Sakit Umum Daerah Cianjur

Universitas Muhammadiyah Jakarta

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas referat dalam Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher di RSUD Sayang
Cianjur, mengenai rhinitis alergi. Dalam pembuatan karya tulis ini, penulis
mengambil referensi dari literatur dan jaringan internet.

Dan ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Eman Sulaiman, Sp.THT-
KL sebagai konsulen Ilmu Kesehatan THT-KL, orang tua kami yang telah
memberikan dukungan baik secara moral dan materil, tidak lupa juga kami ucapkan
terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu dan bekerjasama dalam
pembuatan referat ini.

Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca pada
umumnya. Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran diharapkan dari para pembaca.

Cianjur, Mei 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………. iv

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ………………………………………………. 1

1.2 Tujuan ………………………………………………………. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 3

2.1. Anatomi Hidung .................................................................... 3

2.2. Perdarahan Hidung ............................................................. 6

2.3. Persarafan Hidung ............................................................. 7

2.4. Mukosa Hidung ............................................................. 7

2.5. Fisiologi Hidung ............................................................. 9

2.5.1. Fungsi Respirasi ............................................................. 9

2.5.2. Fungsi Penghidu ............................................................. 10

2.5.3. Fungsi Fonetik ............................................................. 10

2.5.4. Refleks Nasal ............................................................. 10

BAB III RHINITIS ALERGI

3.1. Definisi ..................................................................................... 12

3.2. Etiologi ..................................................................................... 12

3.3. Epidemiologi ......................................................................... 12

ii
3.4. Morbiditas dan Mortalitas ................................................. 13

3.5. Patofisiologi ......................................................................... 13

3.6. Gambaran Histologik ............................................................. 16

3.7. Klasifikasi ......................................................................... 18

3.8. Diagnosis ......................................................................... 19

3.8.1. Anamnesis ............................................................. 19

3.8.2. Pemeriksaan Fisik ........................................................ 22

3.8.3. Pemeriksaan Penunjang ................................................ 24

3.9. Terapi ..................................................................................... 26

3.10. Komplikasi ......................................................................... 31

3.11. Prognosis ......................................................................... 31

BAB IV PENUTUP ..................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 33

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Hidung Bagian Luar ………………………………… 3

Gambar 2.2 Anatomi Kerangka Hidung ……………………………….… 4

Gambar 2.3 Anatomi Hidung Bagian Dalam …………………………………. 5

Gambar 2.4 Suplai Darah Pada Hidung ……………………………………….. 7

Gambar 2.5 Persarafan Hidung ……………………………………………...… 8

Gambar 3.1 Patofisiologi rinitis alergi (paparan pertama pada alergen) ……… 14

Gambar 3.2 Patofisiologi rinitis alergi ( early and late phase reaction ) ……… 16

Gambar 3.3 Proses tes invitro …………………………………………………. 26

Gambar 3.4 Pengelolaan lingkungan terhadap alergen …………………. 27

Gambar 3.5 Farmakoterapi untuk rinitis alergi …………………………. 30

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hidung sebagai salah satu organ syok yang menonjol pada penyakit alergi,
terganggu oleh manifestasi alergi primer, rinitis kronik dan sinusitis yang
menunggangi perubahan alergi, komplikasi pada obstruksi anatomis yang relatif
ringan karena edema, dan akhirnya, efek lanjut gangguan alergi kronik, seperti
hipertrofi mukosa dan poliposis. Aliran udara hidung dapat terganggu oleh kongesti
hidung dan rinore yang terjadi pada rinitis alergi, baik langsung maupun tidak
langsung. Bila berhadapan dengan penyakit hidung, klinisi perlu memiliki indeks
kecurigaan yang tinggi, serta kemampuan mendiagnosis dan mengobati gangguan
alergi.1

Alergi hidung dapat bersifat musiman, seperti demam jerami, atau menetap
jika disebabkan oleh debu rumah, bulu binatang, kain yang terlalu sering dipakai,
atau ingestan dalam diet sehari-hari. Hampir semua materi dalam udara atau yang
dapat ditelan terbukti memiliki sifat alergenik. Seringkali seorang pasien alergi
terhadap sejumlah agen dan daripada hanya satu inhalan saja.1

Rinitis alergika telah terbukti berkaitan dengan insiden asma dan ekzema
atopik. Suatu penelitian pada sekelompok mahasiswa dengan rinitis alergika
memperlihatkan bahwa 17 hingga 19 persen dari mereka juga menderita asma,
namun 56 sampai 74 persen pasien asmatik ternyata menderita rinitis alergika.
Tampaknya ada predisposisi herediter terhadap kondisi-kondisi ini.1

Alergi adalah respon jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau
alergen. Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi
paparan, polesan genetik dari individu tersebut, dan kepekaan relatif tubuh pejamu.1

Rinitis alergika terjadi bilamana suatu antigen terhadap seorang pasien telah
mengalami sensitisasi, merangsang satu dari enam reseptor neurokimia hidung,
yaitu : reseptor histamine H1, adrenoreseptor-alfa, adrenoreseptor-beta2,
kolinoreseptor, reseptor histamine H2, dan reseptor iritan. Dari semua ini, yang

1
terpenting adalah reseptor histamine H1, dimana bila terserang oleh histamine akan
meningkatkan tahanan jalan nafas hidung, menyebabkan bersin-bersin, gatal dan
rinore.1

1.2 Tujuan

Dengan penulisan referat ini, dokter muda berharap dapat:

1. Memahami dan mengetahui tentang dasar klinis diagnostik Rhinitis Alergi.


2. Mampu menganalisa, menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan yang
tepat untuk penyakit Rhinitis Alergi.
3. Penulisan referat ini bisa dijadikan sumber informasi ilmiah yang dapat
dipergunakan oleh sejawat lainnya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah: 2

a. pangkal hidung (bridge),


b. dorsum nasi,
c. puncak hidung,
d. ala nasi,
e. kolumela dan
f. lubang hidung (nares anterior).

Gambar 2.1 Anatomi Hidung Bagian Luar2

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 2

a. tulang hidung (os nasalis),


b. prosesus frontalis os maksila dan
c. prosesus nasalis os frontal

3
Gambar 2.2 Anatomi Kerangka Hidung2

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu: 2

2.1.sepasang kartilago nasalis lateralis superior,


2.2.sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),
2.3.beberapa pasang kartilago alar minor dan
2.4.tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan
kavum nasi dengan nasofaring.2

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrise. 2

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk
oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os

4
etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang
rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. 2

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium
pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian
depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat
konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. 2

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media,
lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema. Konka suprema disebut juga rudimenter. 2

Gambar 2.3 Anatomi Hidung Bagian Dalam2

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila


dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga
meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara

5
konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di
antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius
terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum
etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana
terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.2

Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding
inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. 2

2.2. Perdarahan
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal
dari a.karotis interna.2

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang


a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. 2

Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.


Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang
disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah
cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.
2

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan


dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak

6
memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. 2

Gambar 2.4 Suplai Darah Pada Hidung2

2.3. Persarafan
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris
dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. 2

Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga


memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media. 2

Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir

7
pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung. 2

Gambar 2.5 Persarafan Hidung2

2.4. Mukosa Hidung


Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa
olfaktorius). Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar
epithalium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. 2

Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan
kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan
normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut
lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh
kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. 2

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong

8
ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung. 2

Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul


dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat
disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-
obatan. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung
pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. 2

Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas.


Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun
secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman
kapiler perigalnduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini
membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh
jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai
sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena
yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung
menyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang dan
mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh
saraf otonom.2

9
2.5. Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi


fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 2

a. Fungsi respirasi
Untuk mengatur kondisi udara, humidikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanisme imunologik lokal.
b. Fungsi penghidu
Terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung
stimulus penghidu.
c. Fungsi fonetik
Yang berguna untuk resonanasi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
d. Fungsi statik dan mekanik
Untuk meringankan beban kepala.
e. Reflex nasal.

2.5.1. Fungsi Respirasi


Udara inpirasi masuk ke hidung menuju system respirasi melalui nares
anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke
arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. 2

Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan
udara inspirasi oleh palut lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya. 2

Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37º Celcius.
Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. 2

Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring dihidung oleh: 2

10
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lender

Debu dan bakteri akan melekat pada palu lender dan partikel-partikel yang
besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin.
2.5.2. Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi
dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. 2

Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan


rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis
strawberi, jeruk, pisang atau coklat.2

2.5.3. Fungsi Fonetik


Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). 2

2.5.4. Refleks Nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan


saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung menyebabkan
refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan
sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.2

11
BAB III
RINITIS ALERGI

3.1. Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
tersebut.

Definisi rhinitis alergi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2008 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh Ig E.3

3.2. Etiologi

Rinitis alergi dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini: 1. faktor herediter
(riwayat rinitis alergi dalam keluarga) 2. faktor lingkungan (pajanan debu dan
jamur) 3. pajanan alergen (serbuk sari, bulu hewan, dan makanan) 4. perokok pasif
(terutama dalam masa kanak-kanak) 5. polusi pabrik. Pada bayi dan balita, alergen
berupa makanan seperti susu, telur, kedelai serta debu dan alergen inhalan
merupakan penyebab utama dari rinitis alergi dan menjadi komorbid dari penyakit
dermatitis atopi, otitis media, dan astma. Pada anak yang lebih besar, serbuk sari
mejadi faktor penyebab rinitis alergi.4

3.3. Epidemiologi

Rhinitis alergi berdampak pada kurang lebih 40 juta penduduk Amerika Serikat.
Penelitian di Scandinavia menunjukan bahwa prevalensi kumulatif pada laki-laki
adalah sebesar 15% dan 14% pada wanita. Prevalensi dari penyakit ini bervariasi di
tiap negara , yang mungkin dipengaruhi oleh perbedaan letak geografis dan tipe
serta potensi alergen. Rinitis alergi dapat terjadi pada setiap individu dan muncul
pada tiap ras. Prevalensi penyakit ini sangat bervariasi antara populasi dan budaya

12
yang disebabkan oleh perbedaan genetik, faktor geografi atau perbedaaan
lingkungan. Pada anak-anak, rinitis alergi lebih sering muncul pada laki-laki
dibanding perempuan. tetapi pada usia dewasa dapat terjadi dengan angka
prevalensi yang sama besar antara lelaki dan wanita. Onset sering terjadi pada masa
anak-anak, usia remaja dan dewasa muda, dengan usia onset rata-rata 8-11 tahun.
tetapi rinitis alergi dapat muncul pada usia berapa saja, dalam 80% rinitis alergi
terjadi pada usia 20 tahun. prevalensi dari penyakit ini telah dilaporan sebanyak
40% pada anak-anak, dan menurun sesuai dengan usia.4

3.4. Morbiditas dan Mortalitas

Walaupun rinitis alergi bukan merupakan penyakit yang mengancam nyawa,


(kecuali diikuti oleh astma berat atau anafilaksis) morbiditas dari kondisi ini dapat
signifikan. Rinitis alergi sering muncul bersama dengan asma dan dapat dikaitkan
dengan eksersebasi asma, otitis media, disfungsi tuba eustachius, sinusitis, polip
nasal, konjungtivitis alergi, dan dermatitis alergi. Dapat pula menyebabkan
kesulitan belajar, gangguan tidur, dan kelelahan. Rinitis alergi dapat menyebabkan
gangguan kehidupan sehari-hari sehingga terjadi penurunan kualitas hidup. Gejala
seperti kelelahan dan mengantuk akibat pengobatan menyebabkan gangguan pada
pekerjaan dan sekolah bahkan kecelakaan lalu lintas.4

3.5. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksialergi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu alergi fase cepat (rafs) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai
1 setelahnya dan late phase allergicreaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hipr-raktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.5

13
Gambar 3.1 Patofisiologi rinitis alergi (paparan pertama pada alergen)5

Gambar diatas menunjukkan paparan terhadap antigen. Pada kontak pertama


dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai
sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan
membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histo Compatibility Complex)
yang kemudian dipresentasikan pada sel Thelper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan
melepas sitokin seperti interleukin 1 (lL 1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk
berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti lL 3, lL 4, lL 5 dan lL 13. lL 4 dan lL 13 dapat diikat oleh reseptornya di
permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi Imunoglobulin E (lgE). lgE di sirkulasi darah akan masuk kejaringan
dan diikat oleh reseptor lg E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai lgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit
dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Preformed Mdiators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly
Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 9LT D4),
Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
sitokin. (lL3, lL4, lL6, lL6, (PAF) dan berbagai sitokin. (lL3, lL4, lL5, lL6, GM-

14
CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Fakor) dll. Inilah yang disebut
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).5

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga


menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar klukosa dan sel goblekmengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler
meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah gidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinosoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga
mengakibatkan rangsangan pada klukosa hidung sehingga teri pengeluaran Inter
Celluler Adhesion Molecule 1 (lCAM 1).5

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul komotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak
6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan
jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di
mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti seperti IL3, IL4, IL5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GMCSF) dan ICAM 1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperrresponsif hidung akibat
peranan eosinofil dan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosiniphilic
derived protein (EDP), Major Basic Protein (MPB) dan Eosinophilic peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain factor spesifik dapat memperberat gejala seperti asap
rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

15
Gambar 3.2 Patofisiologi rinitis alergi (early and late phase reaction)5

3.6. Gambaran histologik

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad)


dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran
ruang interseluler dan penebalan membrane basal, seta ditemukan infiltrasi sel-sel
eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.6

Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan


serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus
menerus/persisten sepanjanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan
yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hyperplasia mukosa,
sehingga tampak mukosa hidung menebal.6

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :

a. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara penapasan, misalnya


tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D.farinae, B.tropicalis), kecoa,

16
serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda
grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).
b. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepting dan kacang-kacangan.
c. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.
d. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan komestik, perhiasan.
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga
memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma
bronkial dan rinitis alergi.6

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari:

a. Respons Primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons sekunder.
b. Respons Sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan
ialah sistim imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan.
Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih
ada atau memang sudah ada defek dari sistim imunologik, maka berlanjut
menjadi respons tertier.
c. Respons Tertier
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi
ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi
Ag oleh tubuh.6

Gell dan coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau
reaksi anafilaksis (immediate hypersentitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik,
tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed

17
hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai
dibidang THT adalah tipe 1 yaitu rinitis alergi.6

3.7. Klasifikasi
Rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,
yaitu:

a. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di indonesia tidak


dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim.
Alergen penyebabnya spesifikm, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur.
Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinisis atau rino konjungtivitis karena
gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal
disertai lakrimasi).
b. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul
intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan
sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama
pada orang dewasa, dan alergen inhalan utama aladalah alergen diluar rumah
(outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan
biasanya disertai dengan gejala alerg yang lain, seperti urtikaria gangguan
pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan
dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka
komplikasinya lebih sering ditemukan.7

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2008, yaitu
berdsarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:3

a. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atatu


kurang dari 4 minggu.
b. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.

18
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi
dua:

a. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,


bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
b. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

3.8. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan :
3.8.1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seirng kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
Anamnesis saja. Anamnesis secara detail perlu dilakukan untuk
mengevaluasi rhinitis alergi terutama mengenai sifat, durasi, dan waktu dari
gejala; kemungkinan pencetus atau trigger , respon dari obat-obatan, gejala
penyerta; riwayat keluarga tentang penyakit alergi; paparan dari lingkungan,
tempat kerja; serta efek terhadap kualitas hidup pasien. Anamnesis secara
menyeluruh dapat menolong dalam mengidentifikasi pencetus yang spesifik
dari rhinitis.4
Gejala yang berhubungan dengan rhinitis alergi antaralain bersin
berulang, sumbatan hidung, rasa gatal (pada hidung, mata, telinga, langit-
langit mulut), rinorea (hidung berair), gangguan penciuman, sakit kepala,
nyeri pada telinga, mata berair, mata merah, bengkak pada mata, rasa lelah
atau lemas, tidak enak badan serta mengantuk. Menentukan umur saat onset
gejala dan apakah gejala tersebut berlangsung terus menerus sejak onset
tersebut perlu dilakukan dimana onset dari rinitis alergi dapat juga terjadi
pada masa dewasa, dan gejala sebagian besar pasien terjadi pada umur 20
tahun.4
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin
berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada
hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self

19
cleaning prosess) bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan
kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin.7
Tentukan pola waktu dari gejala dan apakah gejala tersebut terjadi
secara konsisten dalam waktu tahunan (seperti rinitis perennial), hanya
terjadi pada saat waktu atau musim tertentu (rhinitis musiman), atau
kombinasi dari keduanya. Selama periode eksaserbasi, tentukan apakah
gejala tersebut terjadi secara harian atau secara episodic. Tentuka juga
apakah gejala berlangsung sepanjang hari atau hanya di waktu tertentu
dalam satu hari. Informasi ini dapat menolong dalam menegakan diagnosis
dan mentukan kemungkinan pencetus.4
Tentukan juga sistem organ yang dipengaruhi serta gejala spesifiknya.
Beberapa pasien mempunyai keterlibatan pada hidung, dan sebagian yang
lain mempunyai keterlibatan dari berbagai organ. Beberapa pasien
umumnya mempunyai keluhan bersin-bersin, gatal, mata berair, dan hidung
berair , dan yang lain mungkin hanya mengeluh hidung tersumbat. Keluhan
hidung tersumbat yang signifikan, khususnya bila unilateral, kemungkinan
mengarah ke obstruksi struktural seperti polip, benda asing, atau deviasi
septum.4
Tentukan apakah gejala berhubungan degnan faktor pencetus tertentu
yang spesifik seperti terpapar serbuk bunga di ruang terbuka, spora jamur
saat melakuanpekerjaan taman, binatang tertentu, atau debu sewatu
membersihkan rumah. Pencetus iritan seperti asap, polusi, dan bau yang
kuat dapat memperburuk gejala pasien dengan rhinitis alergi. Hal tersebut
juga merupakan pencetus dari rhinitis vasomotor. Banyak pasien
mempunyai kedua rhinitis alergi dan rinitis vasomotor. Pasien lain mengkin
menggambarkan gejala sepanjang tahun yang tidak terlihat berhubungan
dengan pencetus spesifik. Hal tersebut dapat saja rhinitis nonalergi, tetapi
alergen yang sepanjang tahun, seperti debu tungau atau pajanan binatang
harus dianggap pencetus pada situasi ini.4
Pasien dengan rhinitis alergi mungkin mempunyai kondisi atopi lain
seperti asma atau dermatitis atopi. Pasien dengan riwayat dermatitis atomi
mempunyai 70% peluang untuk mempunyai rhinitis alergi, asma, atau

20
keduanya. Pasien dengan riwayat asma juga mempunyai insidensi yang
tinggi untuk memiliki rhinitis alergi. Pada 20 % pasien rhinitis alergi juga
mempunyai gejala asma dan rinitis alergi yang tidak terkontrol akan
memperburuk asma atau bahkan dermatitis alergi. Dicari juga kondisi yang
mungkin terjadi akibat dari komplikasi rinitis alergi. Sinusitis terjadi cukup
sering. Kemungkinan komplikasi yang lain termasuk otitis media, gangguan
tidur atau sleep apnea, masalah gigi, dan abnormalitas langi-langit mulut.
Rencana pengobatan mungkin dibedakan bila satu dari komplikasi tersebut
terjadi. Polip nasi dapat terjadi berhubungan dengan rhinitis alergi,
walaupun apakah rhinitis alergi secara nyata penyebab dari polip nasi masih
belum jelas. Polip mungkin tidak respon terhadap pengoobatan medis dan
mungkin juga predisposisi terhadap sinusitis atau gangguan tidur (karena
sumbatannya).5
Oleh karena rhinitis alergi mempunyasi komponen genetik yang
signifikan, riwayat atopi dalam keluarga yang positif membuat diagnosis
lebih mungkin. Faktanya, semakin besar nya resiko rhinitis alergi dapat
terjadi bila kedua orang tua mempunyai atopi dibandingkan salah seorang
dari orang tua. Bila seorang anak mempunyai seorang dari orangtuanya
yang memiliki alergi, peluang untuk mendapatkan rhinitis alergi sekitar
30%. Hal ini meningkat sampai 50-70% bila kedua orangtuanya mempunyai
alergi atau asma. Bagaimanapun, penyebab rhinitis alergi merupakan
multifaktorial, dan seorang yang tidak mempunyai riwayat rhinitis alergi
dalam keluarga, dapat mempunyai rhinitis alergi.5
Riwayat lengkap dari lingkungan pasien sangat penting dan dapat
menolong dalam mengidentifikasi pencetus spesifik alergi. Hal ini termasuk
investigasi faktor resiko untuk menunjukan alergen tahunan seperti tungau,
spora, hewan peliharaan. Faktor beresiko pada tungau umumnya ada pada
karpet berbulu, area suhu panas, dan lembab, serta tempat tidur yang tidak
memiliki pelindung terhadap tungau. Kelembaban yang kronis pada rumah
merupakan pembentukan dari munculnya faktor resiko munculnya spora
jamur. Riwayat hobi dan aktivitas rekreasi membantu kita untuk
memnentukan resiko dan pola waktu paparan dari serbuk sari. Selain itu

21
tanyakan mengenai lingkungan kerja dan sekolah termasuk paparan
terhadap alergen tahunan (tungau, spora, bulu hewan) allergen dalam
pekerjaan yang khusus seperti hewan laboratorium, produk hewani, serbuk
kayu,material organic, karet, ataupun enzim/ bahan kimia).6
Respon terhadap pengobatan seperti antihistamin mendukung diagnosis
rinitis alergi, walaupun bersin-bersin, rasa gatal, dan rinorea berhubungan
dengan rhinitis nonalergi yang juga membaik dengan antihistamin. Respon
terhadap kortikosteroid intranasal mendukung rhinitis alergi, walau
beberapa kasus rhinitis non alergi juga (khususnya rhinitis nonalergi dengan
sindrom eusinofil [NARES] membaik dengan steroid hidung.7

3.8.2. Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan menyeluruh dilakukan untuk menemukan penyakit lain
yang mungkin ada seperti asma, eksim, dan cystic fibrosis, yang seringkali
muncul sehubungan dengan rhinitis alergi. Evaluasi melingkupi kepala,
mata, telinga, hidung dan kerongkongan. Pada saat pemeriksaan, perhatikan
gejala-gejala berikut :

a. Kepala
Allergic shiners adalah lingkaran hitam, bengkak sekitar mata
(kelopak bawah mata) dan dihubungkan dengan vasodilatasi atau
kongesti hidung.“Nasal Crease” yaitu lipatan horizontal atau garis
melintang yang melewati dari dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang
disebabkan oleh garukan berulang kea rah atas pada puncak hidung
dengan menggunakan punggung tangan “Allergic salute”. Morgan-
Dennie lines, garis dibawah kelopak mata, mungkin dapat terlihat.4

b. Mata
Tentukan apakah ada eritema dan edema pada konjungtiva palpebra
dan hipertrofi papil dari konjungtiva tarsal. Kemosis pada konjungtiva
mungkin terjadi. Pasien biasanya mengalami mata berair. Katarak dapat
terjadi akibat menggaruk mata yang gatal.4

22
c. Telinga
Membran timpani harus diperiksa untuk menilai adanya infeksi
kronis atau efusi telinga tengah. Peran dari allergic rhinitis dalam media
otitis kronis tidak jelas, tetapi penurunan jumlah infeksi telah dicatat
pada anak-anak dengan rhinitis alergi yang mengikuti terapi.4

d. Hidung
Pemeriksaan hidung sering menolong dalam menegakan diagnosis.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala
persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi pemeriksaan
nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Lakukan
penilaian terhadap karakter dan banyaknya lendir hidung. Ingus
biasanya cair bening atau putih dan sedikit, jarang bewarna kuning atau
hijau. Bila didapati ingus yang berwarna, kental, dan banyak, diagnosis
infeksi virus atau sinusitis dipertimbangkan. Darah kering umumnya
ditemukan sebagai trauma sekunder akibat dari menggosok hidung.
Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi septum atau perforasi
septum yang mungkin dapat disebabkan oleh rhinitis kronik, penyakit
granulamatosis, pecandu kokain, penggunaobat dekongestan berlebih,
akibat operasi sebelumnya. Periksa rongga hidung untuk melihat
adanya masa seperti polip dan tumor. Polip jarang ditemukan pada
anak-anak.4

e. Rongga mulut
Pemeriksaan pada pertumbuhan gigi dapat informatif. Perubahan
warna pada gigi seri dan lengkungan pada langit-langit mulut tinggi
berhubungan dengan pernafasan mulut yang lama. Serta maloklusi
sering berhubungan dengan pernafasan melalui mulut yang kronis.
Permukaan berbenjol-benjol atau granuler dan edema (cobblestone
appearance), pada faring posterior juga merupakan tanda dari hipertrofi

23
folikular dari mukosa jaringan limfoid akibat dari kongesti hidung yang
kronik. Dinding leteral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran
peta (geographic tongue). Tentukan ukuran tonsil, yang mungkin dapat
meberikan petunjuk ukuran dari adenoid. Adenoid yang besar dapat
menimbulkan gejala dan tanda rhinitis alergi. Sumbatan hidung yang
kronis akibat hipertrofi adenoid sering ditemukan pada anak-anak
dengan otitis media dan sinusitis berulang.4

f. Leher
Tentukan apakah terdapat pembesaran kelenjar getah bening atau
pembesaran tiroid.4

g. Paru – paru
Dicari apakah terdapat tanda-tanda dari asma.4

h. Kulit
Dievaluasi apakah terdapat tanda dermatitis atopi.4

3.8.3. Pemeriksaan penunjang


Tes Alergi
Tes ini dilakukan untuk menegakkan bukti secara objektif akan adanya
penyakit atopi. Ia juga dapat menentukan agen penyebab reaksi alergi
tersebut, yang akan dapat membantu dalam penanganan secara spesifik.
Terdapat dua tipe pemeriksaan yang sering digunakan bagi menilai secara
kausatif maupun kuantitatif sensitifitas suatu alergen: tes kulit dan esai
serum in vitro (in vitro serum assay).5

1. Tes Kulit
dapat dilakukan secara epikutan, intradermal atau kombinasi keduanya.
a. Tes cukit kulit merupakan tes kulit secara epikutan yang paling
sering digunakan. Secara umumnya tes ini tergolong cepat,
spesifik, aman dan ekonomis. Dengan adanya sistem tes multipel

24
yang tersedia, tes ini mudah dilaksanakan dan prosedurnya selalu
tidak pernah berubah. Namun bila hasil tes ini diragukan,
selanjutnya dilakukan tes secara intradermal.5
b. Tes cukit kulit secara intradermal menggunakan pengenceran
berseri yang kuantitatif 1:5 merupakan tes pilihan bagi kebanyakan
ahli spesialis THT setelah dilakukan tes cukit kulit secara epikutan.
Tipe tes yang dikenal sebagai intradermal dilutional testing (IDT),
dulunya dikenal sebagai serial endpoint titration (SET) ini sangat
berguna dalam menentukan tahap sensitifitas alergen, dan dalam
rangka itu, amat bermanfaat dalam penentuan terapi imunal yang
tepat dan aman bagi penderita rhinitis alergi.5

2. Tes in vitro:
Tes ini melibatkan IgE serum yang spesifik dengan alergen dan
merupakan teknik yang mudah dikerjakan serta akurat dalam mendeteksi
adanya pengaruh atopi pada pasien dengan rhinitis alergi. Teknologi in vitro
juga sudah sangat dikembangkan sedemikian rupa sehingga efektifitasnya
sudah kurang lebih sama dengan tes cukit kulit. Tes ini aman, murah dan
cukup spesifik sehingga penderita tidak perlu bebas dari pengaruh
antihistamin atau obat-obat lain pada saat pada saat pemeriksaan dijalankan,
yang kalau pada tes cukit kulit, dapat mengganggu penilaian. Tes ini juga
sangat mudah dan cepat dikerjakan sehingga menjadi pilihan dalam
menangani pasien anak-anak maupun dewasa yang disertai gangguan
anxietas. Walaupun tes in vitro yang pertama yaitu radioallergosorbent test
(RAST) sudah tidak dikerjakan lagi, terminologi RAST ini masih digunakan
secara umum dalam menjelaskan pemeriksaan IgE spesifik darah. Saat ini,
sudah banyak tipe esai in vitro yang ditinggalkan, karena peralihan ke tipe
baru yang lebih cepat, dapat diandalkan dan lebih efisien contohnya
ImmunoCap. Dengan tidak menggunakan tes yang dapat diandalkan, dapat
berakibat buruk kepada diagnosis atopi yang seterusnya membawa kepada
penanganan yang tidak adekuat. Dibawah merupakan bagan pelaksanaan tes
in vitro:5

25
Gambar 2.6 Proses tes invitro5

3.9. Terapi
Dalam menangani rinitis alergi perlu dipertimbangkan gejala utama, derajat
penyakitnya, kualitas hidup penderita, perbelanjaan yang digunakan selama terapi
serta alergen yang terlibat agar tiap terapi yang dipilih bertepatan dengan tiap
individu yang menderita rinitis alergi.

Secara umumnya yang dipilih sebagai terapi terbagi kepada tiga kategori besar
yaitu menghindari kontak dengan alergen dan pengelolaan lingkungan,
farmakoterapi dan imunoterapi.

a. Pengelolaan Lingkungan
Mengurangi semaksimalnya kontak dengan alergen dapat menurunkan kadar
kambuhnya gejala rinitis alergi secara signifikan. Bagi penderita yang alergi
terhadap tepungsari (pollen), dapat dianjurkan mengurangi kegiatan di luar rumah
selama musim yang bersangkutan, menutup celah yang membolehkan udara luar
masuk ke dalam rumah atau mobil serta menggunakan pendingin udara.
Pengendalian debu rumah, jamur dan bulu binatang, yang berikut dapat dilakukan:
(1) mengurangi tahap kelembapan rumah sehingga dibawah paras 50%; (2)
mencuci pakaian terutama alas kasur dengan air hangat; (3) jauhkan karpet dan
binatang piaraan dari ruang yang sering digunakan penderita; (4) menggunakan

26
bahan yang hipoalergenik; dan (5) bagi penderita yang tinggal di daerah padat dan
kotor, sedapatnya membasmi kecoa.

Gambar 2.7 Pengelolaan lingkungan terhadap alergen5

b. Farmakoterapi
Saat memilih terapi yang cocok bagi rinitis alergi, beberapa hal yang menjadi
pertimbangan adalah keadaan penyakit penderita saat itu, gejala yang paling
dominan, umur, gejala saluran pernafasan lain yang ada di penderita serta riwayat
pengobatan yang sebelumnya.

a) Antihistamin
Antihistamin banyak dipilih sebagai terapi lini pertama dan banyak
dari tipe antihistamin bisa dibeli tanpa resep dokter. Obat ini memblokir
reseptor H1 justru menghalangi terjadinya reaksi histamin seperti
mencegah peningkatan permeabilitas vaskuler, mencegah kontraksi
otot polos, meningkatkan produksi mukus dan mencegah pruritus. Oleh
karena obat ini menghilangkan gejala reaksi histamin di kulit, penderita
tidak dianjurkan untuk mengkonsumsinya beberapa hari sebelum
dilakukan tes cukit kulit karena hasilnya dapat menjadi negatif. Pada
tes in vitro, mengkonsumsi antihistamin tidak akan berpengaruh pada
hasil tes.6
Antihistamin sangat efektif pada reaksi alergi fase cepat (RAFC)
sehingga dapat mencegah gejala bersin, rinore dan pruritus namun

27
kurang berpengaruh pada reaksi alergi fase lambat (RAFL) contohnya
sumbatan hidung (nasal congestion/blockers). Antihistamin generasi
pertama yang banyak bisa dibeli tanpa resep mempunyai efek sedasi
sehingga berpengaruh terhadap penurunan prestasi dan tumpuan
penderita, kadang dapat mengakibatkan kecelakaan saat menyetir atau
di tempat kerja. Efek samping yang lain adalah efek antikolinergik yang
dapat mengakibatkan mulut kering contohnnya difenhidramin,
hidroksizin, klorfeniramin dan bromfeniramin. Dua obat terakhir yang
disebutkan sebelumnya banyak ditemukan dalam preparat obat flu di
warung.6
Generasi kedua sangat kecil sekali kemungkinan mengikat reseptor
H1 sentral, sehingga mengurangi efek sedasi serta tidak berefek
antikolinergik. Golongan ini diabsorpsi secara baik, kerja cepat dan
menghilangkan gejala dalam waktu sejam. Pemakaiannya cukup sekali
sehari dan tidak menimbulkan efek penggunaan jangka panjang
contohnya loratadin dan levosetirisin.6

b) Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal mungkin adalah terapi yang paling efektif
bagi tiap tingkat gejala rinitis alergi. Keberkesanan maksimal timbul
pada minggu pertama sampai kedua dari hari pertama penggunaan.
Efektifitasnya tergantung pemakaian yang sering dan keadaan hidung
yang adekuat untuk inhalasi obat. Obat ini turut bekerja pada RAFL
sehingga mencegah terjadinya peningkatan sel inflamasi yang
mendadak. Formulasi mutakhir seperti triamsinolon, budesonid dan
flutikason mempunyai ciri absorpsi sistemik yang minimal dengan
hampir tiada efek samping sistemik sehingga aman pada tiap golongan
umur termasuk anak-anak. Efek samping lokal seperti hidung kering
dan epistaksis dapat diregulasi dengan instruksi pemakaian yang
benar.6

28
c) Kortikosteroid sistemik
Preparat ini sesuai bagi gejala sangat berat yang menetap.
Pemberiannya adalah melalui intramuskuler atau per oral. Jika lewat
oral, penurunan dosis secara tapering off diberikan dalam tiga sampai
tujuh hari. Obat ini bertindak terhadap inflamasi justru menurunkan
gejala rinitis alergi secara signifikan. Namun pada penggunaan jangka
panjang dapat timbul efek samping yang serius seperti penekaan aksis
HPA dan efek samping kortikosteroid sistemik lain yang lazim
ditemukan.6

d) Dekongestan
Dekongestan bekerja pada reseptor α-adrenergik di hidung,
menimbulkan efek vasokonstriksi sehingga kongesti nasal dikurangi.
Kongesti rongga hidung berkurang namun obat ini tidak mengatasi
gejala lainnya seperti rinore, bersin dan pruritus. Obat ini banyak
ditemukan dalam preparat flu yang bisa dibeli tanpa resep namun
pemakaian pada penderita dengan kelainan jantung dan hipertensi harus
dengan berhati-hati. Dekongestan intranasal seperti oksimetazolin
dapat menimbulkan kekambuhan kongesti nasal serta menimbulkan
ketergantungan pada pemakaian lebih dari tiga hari (rinitis
medikamentosa).6

e) Antikolinergik intranasal
Obat ini berpengaruh dalam mengurangi gejala rinore namun tidak
gejala lainnya. Contohnya adalah ipatrium bromida dan obat ini dapat
digunakan dengan obat alergi lainnya terutama bagi penderita dengan
rinitis alergi tipe sepanjang tahun (perennial).6

f) Kromolin intranasal
Preparat ini harus digunakan sebelum munculnya gejala untuk
menjadi efektif. Penggunaannya harus sepanjang paparan terhadap

29
alergen dengan dosis sehingga empat kali sehari dan cukup aman bagi
penderita.6

g) Inhibitor leukotrien
Obat ini mengatasi kelebihan plasebo dalam menangani rinitis
alergi namun masih jauh ketinggalan efeknya berbanding antihistamin
dan kortikosteroid intranasal.6

Gambar 2.8 Farmakoterapi untuk rinitis alergi6

c. Imunoterapi
Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan ambang batas (threshold)
sebelum munculnya gejala pada penderita yang terpapar pada alergen.
Mekanisme kerja terapi imun ini masih belum jelas dimengerti. Teori yang
bersangkutan adalah wujudnya blok antibody (blocking antibody) dan regulasi
kaskade imun yang memacu terjadinya reaksi alergi.6
Indikasi imunoterapi adalah penggunaan farmakoterapi jangka panjang,
terapi farmakologi yang tidak adekuat dan tidak dapat ditoleransi oleh
penderita serta sensitifitas signifikan terhadap alergen. Sebelum memulai
imunoterapi, harus ditentukan alergen yang tepat pada penderita. Di Amerika
Serikat yang biasa dilakukan adalah penyuntikan alergen secara subkutan yang
gradual sehingga timbul reaksi sistemik yang ringan atau reaksi lokal yang
berat. Teknik lain adalah pemberian secara sublingual yang terutama dianuti di

30
Eropa. Teknik ini lebih aman dan mudah dilakukan sendiri oleh penderita di
rumah.6
Masih belum ada penelitian yang adekuat mengenai lama pelaksanaan
imunoterapi ini namun pada kebanyakan penderita, cukup hanya dua hingga
tiga tahun sebelum ambang batas terhadap alergen dapat ditingkatkan.6

3.10. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:

1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu
faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.

2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.


3. Sinusitis paranasal.4

2.16. Prognosis
Sebagian besar pasien dapat hidup normal. Hanya pasien yang mendapat
imunoterapi untuk alergen spesifik yang dapat sembuh dari penyakitnya dan banyak
juga pasien yang melakukan pengobatan simtomatik saja secara intermiten dengan
baik. Rinitis alergi mungkin dapat timbul kembali dalam 2-3 tahun setelah
pemberhentian imunoterapi. Gejala rinitis alergi akan menurun pada pasien bila
mencapai umur 4 dekade.4

31
BAB IV
PENUTUP

Berdasarkan teori – teori di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa rinitis alergi
terjadi akibat alergen yang masuk ke dalam tubuh manusia dan alergen tersebut
menimbulkan reaksi antigen – antibodi. Beberapa alergen yang sering ditemukan
adalah debu rumah tangga, bulu hewan, dsb. Untuk mendiagnosis rinitis alergi,
harus dilakukan anamnesis secara tepat terhadap gejala – gejala yang ada pada
rinitis alergi, serta dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Rinitis alergi disebabkan oleh alergen yang masuk ke dalam tubuh manusia,
sehingga peran lingkungan pada kejadian rhinitis alergi adalah sangat penting,
ditinjau dari faktor alergen yang mensensitisasi terjadinya penyakit ini. Pengobatan
paling efektif dari rinitis alergi adalah menghindari faktor penyebab yang dicurigai
(avoidance), dimana apabila tidak dapat dihindari dapat dibantu dengan terapi
medikamentosanya untuk menghilangkan gejala dari rinitis alergi saja.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Hilger PA. Penyakit Hidung. In: Highler, AB. BOIES Buku Ajar Penyakit THT.
6th ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2015.
2. Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC
3. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, et al.
Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2008 update (in
collaboration with the World Health Organization, GA(2)LEN and AllerGen).
Allergy. 2008;63
4. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke
Tujuh. 2016. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
5. Frank E. Lucente. Ilmu THT Esensial Edisi 5. 2011. Penerbit Buku Kedokteran
EGC
6. Ballenger, Jacob John. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher. Jilid 2.Edisi 22.Jakarta: Binarupa Aksara.2010.
7. Ludman, Harold, Bradley, Patrick. ABC Telinga Hidung dan Tenggorok. Edisi
V. Jakarta: EGC. 2012.

33

You might also like