Professional Documents
Culture Documents
Dipresentasikan pada :
Hari/tanggal :
Jam : WITA
Oleh:
Christina Putri Wijaya
Pembimbing:
Dr. dr. AAGP Wiraguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
DAFTAR ISI
2.3.10
Sidofovir..................................................................................................... 18
2.3.11 Interferon................................................................................ ......... 19
2.3.12 5-Fluorourasil......................................................................... ......... 19
2.4 Tantangan dalam terapi infeksi HPV Genital pada pasien
imunokompromais.................................................................................. ......... 19
2.5 Terapi Kombinasi............................................................................ .......... 20
BAB III RINGKASAN ............................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 24
4
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR SINGKATAN
5-FU : 5-Fluorourasil
AIDS : Acquired immunodeficiency syndrome
BLT : Buschke-Lowenstein Tumor
bp : basepair
CD4 : Cluster of differentiation 4
CDK : Cyclin Dependent Kinase
DNA : Deoxyribonucleic Acid
E : Early
E1 : Early 1
E2 : Early 2
E3 : Early 3
E4 : Early 4
E5 : Early 5
E6 : Early 6
E7 : Early 7
E8 : Early 8
FDA : Food and Drug Administration
HAART : Highly active antiretroviral therapy
HIV : Human immunodeficiency virus
HPV : Human Papilloma Virus
HR : High risk
IFN : Interferon
IMS : Infeksi Menular Seksual
KA : Kondiloma Akuminata
kb : kilobytes
KOH : Kalium Hidroksida
L : Late
L1 : Late 1
L2 : Late 2
LCR : Long control region
LSL : Laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki
NCR : Non coding region
NIA : Neoplasia Intraepitelial Anal
NIP : Neoplasia Intraepitelial Penis
NIS : Neoplasia Intraepitelial Serviks
NIV : Neoplasia Intraepitelial Vulva
ORF : Open Reading Frame
p53 : Protein 53
PCR : Polymerase chain reaction
pRb : Protein Retinoblastoma
TCA : Trichloroacetic acid
Th1 : T helper 1
URR : Upstream regulatory region
WHO : World Health Organization
6
BAB I
PENDAHULUAN
infeksi HPV genital, yang secara garis besar dibedakan menjadi 2, yaitu terapi
yang diaplikasikan oleh pasien dan terapi yang diaplikasikan oleh tenaga
kesehatan. Terapi konvensional seringkali kurang efektif pada pasien
imunokompromais, sehingga dibutuhkan terapi kombinasi untuk meningkatkan
efektivitas terapi jangka pendek serta jangka panjang.1,4 Tujuan dari dibuatnya
tinjauan pustaka ini adalah untuk meningkatkan pemahaman mengenai
perkembangan terkini serta tantangan yang dihadapi dalam terapi infeksi HPV
genital pada pasien imunokompromais.
8
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Protein kapsid L1
Histon
Genom DNA
Protein kapsid L2
Human papilloma virus dibagi menjadi 2 yaitu virus tipe low-risk (risiko rendah)
dan high-risk (risiko tinggi) yang dihubungkan dengan risiko keganasan. Human
papilloma virus tipe risiko rendah cenderung untuk menyebabkan tumor jinak
sedangkan HPV tipe risiko tinggi cenderung menyebabkan tumor ganas. Lebih
dari 30 tipe HPV diklasifikasikan sebagai onkogenik atau risiko tinggi (high- risk)
oleh karena hubungannya dengan kanker serviks, yaitu tipe 16, 18, 31, 33, 34, 35,
1,11,12
39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 66, 68 dan 82. Tipe low-risk yaitu tipe 6, 11, 42,
43, 44, 54, 61, 70, 72, dan 81, biasanya menyebabkan tumor jinak meskipun
kadangkala dapat menyebabkan kanker anogenital. HPV tipe 16 merupakan tipe
yang paling sering dijumpai dan pada sekitar 50% kanker serviks invasif dijumpai
1,11
HPV tipe 18, 31, 33, 45, 52 dan 58. Sifat onkogenik HPV dikaitkan dengan
protein virus E6 dan E7 yang menyebabkan peningkatan proliferasi sel sehingga
6
terjadi lesi pre kanker yang kemudian dapat berkembang menjadi kanker.
2.1.2 EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan sebesar 75%-80% wanita mengalami setidaknya satu jenis infeksi
HPV selama hidupnya. Sebuah meta analisis melaporkan prevalensi infeksi HPV
tertinggi pada wanita usia muda.11,13 Infeksi HPV genital juga sering mengenai
11
2.1.3. PATOGENESIS
Human papilloma virus menginfeksi sel basal melalui mikroabrasi pada kulit.
Mekanisme masuknya virus belum diketahui dengan pasti, perlekatan
kemungkinan dimediasi oleh heparin sulfat proteoglikan. Masuknya virus ke
dalam sel kemungkinan melalui endositosis yang dimediasi oleh chlatrin. Genom
virus kemudian ditranslokasikan ke nukleus, setelah itu gen E1 dan E2
diekspresikan untuk mempertahankan salinan genom dalam jumlah yang
rendah.2,12 Protein ini berikatan dengan daerah asal replikasi virus dan menarik
DNA polimerase seluler serta protein lain yang dibutuhkan untuk replikasi DNA.
Pada lapisan suprabasal, ekspresi gen E1, E2, E5, E6 dan E7 berkontribusi untuk
mempertahankan genom virus dan menginduksi proliferasi sel, meningkatkan
jumlah sel terinfeksi HPV pada epitel, menghasilkan sel dalam jumlah besar yang
pada akhirnya memproduksi virion infeksius. Pada sel yang lebih berdiferensiasi
terjadi aktivasi promotor diferensiasi dan mempertahankan ekspresi gen E1, E2,
E6 dan E7. Selanjutnya, terjadi aktivasi gen E4, yang produknya akan
menginduksi amplifikasi replikasi genom virus, meningkatkan jumlah salinan
virus per sel dalam jumlah besar, dan dalam waktu bersamaan juga terjadi
ekspresi gen L1 dan L2. Produksi gen L1 dan L2 yaitu protein kapsid mayor dan
12
minor, bergabung untuk pembentukan kapsid virus dan pembentukan virion pada
lapisan granular, yang kemudian mencapai lapisan tanduk
dan dilepaskan bersama dengan deskuamasi sel epitel.2,13
Pelepasan virus
Stratum
Perakitan korneum
virus
(L1.L2) Stratum
granulosum
Amplifikasi
genom
(E1,E2,E4,E6,E7) Lapisan
epidermis
Proliferasi sel
(E1,E2,E5,E6,E7)
Pemeliharaan
genom
(E1,E2)
9
Gambar 3. Siklus hidup virus HPV.
31, -33, -35, -39, -41 hingga -45, -56, dan -59.1 Kondiloma akuminata merupakan
manifestasi klinis tersering dari infeksi HPV pada semua pasien, termasuk pada
pasien imunokompromais.1,16
Kondiloma akuminata memiliki gambaran klinis yang bervariasi, tetapi
paling sering mengenai area mukosa anogenital yang rentan terhadap mikrotrauma
selama koitus (introitus, kulit perianal, dan mukosa intraanal) sebagai papul atau
lesi bertangkai, dengan papila granular pada permukaan, menyebabkan
penampakan verukosa.1,16 Lesi umumnya muncul sebagai papul kecil dengan
diameter berkisar antara 2 sampai 5 mm namun dapat tumbuh membentuk
kelompok besar, konfluen atau nodul dengan diameter hingga beberapa
sentimeter.1,4 Terdapat empat tipe morfologis kondiloma, yaitu: 1) Bentuk
akuminata, dengan penampakan klinis menyerupai kembang kol, 2) Bentuk
papular, papul berbentuk kubah, sewarna daging dengan diameter 1-4mm, 3)
Papul keratotik yang menyerupai veruka vulgaris atau keratosis seboroik, serta 4)
Papul datar menyerupai veruka plana.11 Kondiloma akuminata sering multifokal
dan dapat meluas ke rektum, uretra, vagina, dan serviks. Sementara banyak kasus
tidak menunjukkan gejala, beberapa pasien mungkin mengalami pruritus, rasa
terbakar ringan, perdarahan, atau iritasi disamping stres psikologis, kecemasan
dan rasa malu.17 Kondiloma akuminata mungkin juga mengalami trauma akibat
gesekan yang disebabkan oleh hubungan seksual atau pakaian, dengan risiko
berupa infeksi sekunder, serta peningkatan risiko penularan.1 Masa inkubasi
bervariasi, biasanya 3 minggu hingga 8 bulan, namun dapat mencapai hingga 18
bulan.18 Diagnosis KA dibuat terutama atas dasar klinis berdasarkan inspeksi
visual. Kesan klinis dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan acetowhite. Tes ini
menggunakan larutan asam asetat 3-5% dalam akuades, dapat menolong
mendeteksi infeksi HPV subklinis atau untuk menentukan batas pada lesi datar.
Sensitivitas acetowhite pada infeksi HPV cukup baik dan untuk beberapa lesi
hasil pemeriksaan tersebut lebih baik dibandingkan dengan hasil pemeriksaan
histopatologi pada biopsi rutin. Biopsi diindikasikan pada keadaan berikut,
meliputi saat diagnosis tidak pasti, ketika lesi gagal berespon atau menjadi lebih
14
parah selama terapi, atau ketika kondiloma memiliki gambaran yang tidak biasa,
termasuk pigmentasi, perdarahan yang berlebihan, atau ulkus.1
Gambar 4. Gambaran klinis kondiloma akuminata. 4A. Kondiloma akuminata anal. B. Papul datar
menyerupai veruka plana. C. Papul keratotik. D. Bentuk papular.11
HIV negatif.1,6 Pada kanker penis invasif, prevalensi tertinggi adalah HPV 16 (40-
70%), diikuti oleh HPV 6 (22%), 52 (15%) dan 11 (4%).16
2.2 IMUNOKOMPROMAIS
Imunokompromais adalah keadaan dimana tubuh tidak mampu untuk berespon
terhadap infeksi oleh karena penurunan imunitas seluler. Imunodefisiensi
dibedakan menjadi tiga, yaitu imunodefisiensi primer, didapat dan iatrogenik.
Imunodefisiensi primer meliputi kelainan genetik yang sangat heterogen, terutama
17
2.3 TERAPI
Beberapa pilihan terapi tersedia untuk penyakit anogenital terkait HPV, dengan
pengobatan kondiloma akuminata yang paling banyak dipelajari. Pengobatan KA
umumnya tidak mengarah pada infeksi HPV melainkan menghilangkan lesi secara
20
fisik atau stimulasi imunitas pejamu. Modalitas terapi yang tersedia dibagi
menjadi dua kategori: (1) pengobatan yang diaplikasikan oleh penderita, seperti
imikuimod, gel podofilotoksin, salep polifenon E, kalium hidroksida dan sidofovir
topikal; dan (2) pengobatan yang diaplikasikan oleh tenaga kesehatan, termasuk
bedah beku, bedah eksisi, laser, interferon intralesi (IFN), asam trikloroasetat
(TCA), dan sidofovir intralesi.27,28,29 Terapi keganasan anogenital biasanya
membutuhkan tindakan bedah eksisi, tetapi imikuimod juga muncul sebagai
sebuah terapi yang kurang invasif namun memiliki efektivitas yang sama untuk
lesi awal. Meskipun terdapat banyak pilihan terapi untuk penyakit anogenital
terkait HPV, uji coba komparatif untuk mengevaluasi efektivitas berbagai
modalitas terapi masih kurang, dan tidak ada konsensus mengenai pilihan terapi
terbaik.17,28 Pilihan terapi yang tersedia memberikan angka kesembuhan yang
bervariasi dari 60% hingga 90%, dengan efektivitas yang lebih rendah pada pasien
dengan imunosupresi.17
2.3.1 Imikuimod
Imikuimod merupakan terapi yang diaplikasikan oleh pasien. Sediaan berupa krim
5%, yang merupakan imunomodulator, bekerja secara topikal dengan
meningkatkan aktivitas sitolitik yang dimediasi oleh sel. Imikuimod dioleskan
tipis pada lesi KA malam hari sebelum tidur, setelah 6-10 jam dicuci
menggunakan sabun dan air. Aplikasi sebanyak tiga kali dalam seminggu dan
dapat diulang hingga 16 minggu.13,17 Efek samping berupa reaksi iritasi lokal pada
area aplikasi, meliputi eritema, erosi, ulserasi, dan sensasi terbakar. Efek samping
sistemik jarang dijumpai. Angka keberhasilan terapi menggunakan imikuimod
dilaporkan sebesar 40% hingga 60%.17,28 Meskipun jika dibandingkan dengan
pasien imunokompeten, efektivitas imikuimod lebih rendah pada pasien dengan
HIV/AIDS, namun efektivitasnya lebih tinggi daripada plasebo.27 Angka
rekurensi dilaporkan sebesar 9-19%.17,28
21
2.3.2 Podofiloks
Podofiloks atau yang dikenal sebagai podofilotoksin merupakan pilihan terapi
yang diaplikasikan oleh pasien. Podofiloks merupakan komponen terapeutik aktif
yang diekstrak dari podofilin, sudah terstandarisasi, lebih efektif dan aman
daripada podofilin. Podofiloks memiliki keunggulan dalam hal kemurnian,
stabilitas, dan rendahnya toksisitas sistemik jika dibandingkan dengan podofilin.
Cara kerja podofiloks adalah dengan menghambat polimerisasi tubulin menjadi
mikrotubulin, oleh karena itu menghambat proses mitosis yang selanjutnya akan
menyebabkan nekrosis dari kondiloma akuminata. Erosi yang terjadi akibat
nekrosis pada lesi KA biasanya dangkal dan sembuh dalam beberapa hari.
Podofiloks tersedia dalam bentuk gel, solusio atau krim. Aplikasi podofiloks
menggunakan cotton swab atau jari sebanyak dua kali per hari selama tiga hari
berturut-turut dan empat hari bebas terapi, siklus diulang 1 minggu kemudian,
hingga maksimal selama 4 minggu. Podofiloks tidak perlu dibilas setelah aplikasi.
Penggunaannya dibatasi maksimal 0.5 mL per hari. Efek samping berupa iritasi
ringan. Angka kesembuhan dilaporkan sebesar 37% hingga 88%, dengan
rekurensi terjadi pada 4% hingga 38% kasus.4,17,18,28
2.3.3 Polifenon E
Polifenon E atau sinecatechins diakui oleh Food and Drug Administration (FDA)
pada tahun 2006 untuk terapi KA pada genital dan perianal. Kandungan aktifnya
adalah ekstrak teh hijau, yang sinecatechins, yang memiliki efek antioksidan,
antiviral dan antitumor. Mekanisme kerja adalah dengan stimulasi sistem imun
lokal dengan pelepasan sitokin proinflamasi. Salep sinecatechins 15%
diaplikasikan sebanyak tiga kali sehari hingga maksimal selama 4 bulan. Angka
kesembuhan sebesar 54% hingga 65% dengan angka rekurensi sebesar 5.9%
hingga 12%. Efek samping biasanya ringan dan meliputi eritema, pruritus atau
rasa terbakar, nyeri, erosi dan ulserasi.4,17,28
22
2.3.8 Laser
Laser karbondioksida merupakan terapi destruktif untuk KA dan infeksi HPV lain
yang menggunakan energi cahaya untuk vaporisasi area target. Terapi laser
menghasilkan uap yang mengandung HPV, hal ini merupakan risiko penyebaran
virus HPV, oleh karena itu operator diharuskan menggunakan masker. Efektivitas
laser sebesar 23% hingga 52%, dengan angka rekurensi yang tinggi, yaitu sebesar
77%. 4,17,28
2.3.10 Sidofovir
Sidofovir merupakan analog nukleosida asiklik dari deoksisitidin monofosfat,
bekerja dengan menghambat DNA polimerase secara selektif dan menghambat
sintesis DNA virus serta replikasi, menyebabkan apoptosis dari sel yang terinfeksi
virus. Sidofovir belum diakui sebagai terapi untuk KA oleh FDA. Sidofovir
memiliki aktivitas terhadap DNA virus spektrum luas. Selama beberapa dekade
terakhir sidofovir telah digunakan sebagai terapi untuk KA rekuren. Sidofovir
dapat diaplikasikan secara topikal dan intralesi, sidofovir topikal digunakan
sebagai terapi yang diaplikasikan oleh pasien, sementara sidofovir intralesi
diaplikasikan oleh tenaga kesehatan. Terdapat beberapa bukti mengenai keamanan
dan efektivitas sidofovir topikal sebagai terapi KA. Uji klinis buta ganda pertama
yang dilakukan oleh Snoeck dkk, mendapatkan penggunaan sidofovir topikal 1%
yang digunakan selama 5 hari berturut-turut dalam 1 minggu, selama maksimal 6
minggu, menunjukkan reduksi KA setidaknya sebesar 50% pada 16 pasien dari 19
pasien pada minggu ke 12, dengan klirens sebesar 100% pada 9 pasien. Doughlas
dkk mengevaluasi penggunaan sidofovir gel sebagai terapi KA pada pasien AIDS,
dan menunjukkan respon komplit atau parsial pada 65% pasien. Sebuah studi
randomisasi acak terkontrol oleh Mateelli dkk mengemukakan bahwa penggunaan
krim sidofovir 1% lebih efektif daripada krim pembawa untuk eradikasi KA pada
pasien dengan AIDS. Efek samping yang ditimbulkan ringan hingga sedang,
berupa nyeri, gatal, serta erosi dan ulserasi pada area aplikasi. Terdapat sebuah
laporan efek samping sistemik penggunaan sidofovir topikal berupa gagal ginjal
akut.17,28
25
2.3.11 Interferon
Interferon memiliki efek antivirus, imunoregulator dan antiproliferasi sehingga
dapat digunakan sebagai modalitas terapi KA. Interferon dapat diaplikasikan baik
intralesi, topikal atau sistemik. Penggunaan topikal interferon tidak menunjukkan
manfaat jika dibandingkan dengan plasebo, sementara penggunaan interferon
intralesi yang memungkinkan konsentrasi obat yang lebih tinggi, memberikan
harapan akan kesembuhan. Biasanya pasien tidak menyukai modalitas terapi
intralesi oleh karena rasa sakit akibat suntikan yang berulang. Penggunaan
interferon sistemik sebagai terapi KA tidak direkomendasikan, oleh karena risiko
efek samping yang serius. Efek samping meliputi, demam, nyeri kepala, mialgia,
supresi sumsum tulang, toksisitas pada jantung, aritmia jantung, kardiomiopati
dan penyakit jantung iskemik. Penggunaan interferon merupakan kontraindikasi
pada pasien transplantasi organ, oleh karena peningkatan risiko penolakan organ
transplan. Secara umum, meskipun interferon memiliki potensi sebagai agen
terapi KA, oleh karena efek samping yang berat, sehingga tidak direkomendasikan
sebagai modalitas terapi KA.4,18,28
lesi, tipe HPV serta viral load merupakan indikator prediktif respon terapi.
Kondiloma akuminata dalam jumlah yang banyak membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk terapi, dengan jumlah KA pada awal terapi merupakan indikator
prediktif yang terbaik bagi respon terapi dan jumlah terapi yang dibutuhkan.
Pasien yang memiliki satu hingga tiga lesi dilaporkan memerlukan jumlah terapi
lebih sedikit dengan penyembuhan yang terjadi lebih awal. Beberapa studi
mendapatkan keberhasilan terapi yang lebih realistik pada pasien kondiloma
terkait HPV-6 jika dibandingkan dengan HPV-11. Masih merupakan perdebatan
apakah viral load HPV yang lebih tinggi saat pemeriksaan awal menyebabkan lesi
yang rekalsitran terhadap terapi. Banyak studi yang menunjukkan korelasi antara
viral load HPV yang lebih tinggi pada pemeriksaan awal dengan peningkatan
keparahan, persistensi, durasi dan rekurensi. Namun studi lain tidak menemukan
hubungan yang konsisten antara viral load yang tinggi dan persistensi atau
rekurensi lesi. Hal ini merupakan keterbatasan, oleh karena penentuan viral load
menggunakan PCR tidak dikerjakan dengan rutin.28
Tingkat regresi spontan KA pada pasien dengan imunokompromais belum
diteliti secara resmi, kemungkinan regresi akan berkurang pada pasien HIV
dengan penurunan imunitas lokal yang nyata, atau pada pasien transplantasi yang
mengkonsumsi obat imunosupresif jangka panjang. Bahkan pada pasien
imunokompeten, lesi sering refrakter terhadap pengobatan dengan kecenderungan
untuk kambuh, dan terapi seringkali diulang beberapa kali untuk mendapatkan
hasil yang optimal. Angka keberhasilan sekitar 20% sampai 75%, terlepas dari
tipe terapi. Terapi KA pada pasien imunokompromais merupakan tantangan yang
besar. Pasien tersebut sering mengalami rekurensi dan juga membutuhkan jumlah
terapi yang lebih banyak untuk mendapatkan respon awal yang optimal pada
lesi.28,30
jumlah kunjungan yang banyak dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
mendapatkan hasil yang optimal. Pendekatan bedah nampaknya kurang efektif
dalam jangka panjang oleh karena angka rekurensi yang tinggi, terkait persistensi
sel yang terinfeksi HPV yang tidak dieradikasi oleh sistem imunitas pejamu.19,28
Sementara penggunaan terapi medis (topikal dan intralesi) dibatasi oleh efek
samping lokal yang tinggi dan jangka waktu yang panjang untuk mendapatkan
kesembuhan yang komplit. Infeksi HPV pada individu imunokompromais
merupakan kasus yang kompleks sehingga membutuhkan pendekatan multimodal.
Pada banyak kasus, kombinasi terapi bedah dan medis dapat digunakan untuk
meningkatkan efektivitas jangka pendek dan jangka panjang.28 Terapi kombinasi
ini memberikan keuntungan dari beberapa mekanisme kerja, yaitu terapi terhadap
virus dan mengikis lesi secara bersamaan.17 Sebagai contoh, terapi bedah atau
bedah beku digunakan untuk mengikis lesi yang tebal dan merusak lapisan epitel
pada permukaan, memfasilitasi absorpsi agen topikal (imikuimod) yang dapat
diaplikasikan sendiri oleh pasien dirumah. Bedah beku yang diikuti oleh aplikasi
imikuimod dirumah merupakan regimen terapi yang disukai. Studi mengenai
kegunaan terapi kombinasi masih terbatas, dan tidak ada panduan yang
mendukung superioritas dari terapi tunggal maupun kombinasi. Terapi kombinasi
eksisi/destruksi dengan imunomodulator memberikan hasil yang baik
dibandingkan terapi tunggal.17,28 Terapi eksisi yang diikuti dengan aplikasi
imikuimod dilaporkan memberikan kesembuhan jangka panjang pada pasien yang
tidak memberikan respon dengan terapi tunggal.17,28 Terdapat beberapa studi
mengenai terapi kombinasi antara bedah beku dan podofilin, sidofovir dan injeksi
interferon. Gilson dkk dalam sebuah penelitian acak terkontrol meneliti efikasi
dan keamanan terapi kombinasi bedah beku dan krim podofilotoksin 0,15% vs
bedah beku tunggal sebagai terapi KA. Gilson dkk mendapatkan respon optimal
lebih awal pada pasien yang diterapi dengan kombinasi podofilotoksin dan bedah
beku, dibandingkan hanya dengan bedah beku saja; dengan titik akhir utama
berupa penyembuhan KA pada minggu ke 4 pada pasien yang mendapat terapi
kombinasi dan minggu ke 12 pada pasien dengan bedah beku. Banyak studi
menunjukkan aplikasi topikal sidofovir merupakan terapi adjuvan dari tindakan
28
bedah dalam terapi KA pada pasien HIV. Orlando dkk dalam sebuah studi acak
terkontrol menemukan bahwa terapi kombinasi bedah dan sidofovir topikal paling
efektif dalam penyembuhan lokal yang komplit dan cepat, serta secara signifikan
menurunkan angka rekurensi setelah terapi. Studi lainnya yang membandingkan
kombinasi bedah beku dengan injeksi IFN vs kombinasi bedah beku dengan
plasebo tidak menunjukkan keuntungan dari penggunaan terapi kombinasi IFN
intralesi dibandingkan dengan terapi bedah beku tunggal.28
29
BAB III
RINGKASAN
Human papillomavirus (HPV) merupakan virus DNA, yang bertanggung jawab
dalam berbagai tumor anogenital baik jinak maupun ganas. Manifestasi infeksi
anogenital yang paling sering dijumpai adalah kondiloma akuminata. Kondiloma
akuminata paling sering mengenai introitus, perianal dan mukosa intraanal.
Gambaran klinis berupa papul kecil namun dapat tumbuh membentuk kelompok
besar, konfluen atau nodul dengan diameter hingga beberapa sentimeter. Pada
pasien imunokompeten, imunitas seluler dapat mengendalikan infeksi HPV laten
dan memediasi regresi lesi yang diinduksi oleh HPV. Pada individu
imunokompromais, penurunan imunitas seluler menyebabkan peningkatan risiko
untuk perkembangan serta kegagalan untuk mengatasi penyakit terkait HPV,
risiko transformasi maligna lebih tinggi serta lebih sulit untuk diobati. Terapi
tidak mengarah pada infeksi HPV melainkan menghilangkan lesi secara fisik atau
stimulasi imunitas pejamu. Adapun beberapa pilihan terapi yang tersedia dibagi
menjadi dua kategori: (1) pengobatan yang diaplikasikan oleh penderita, seperti
imiquimod, gel podofiloks, salep polifenon E, kalium hidroksida dan sidofovir
topikal; dan (2) pengobatan yang diaplikasikan oleh tenaga kesehatan, termasuk
bedah beku, bedah eksisi, laser, interferon intralesi, asam trikloroasetat, dan
sidofovir intralesi. Karena infeksi HPV dapat menimbulkan keganasan dan
perjalanan penyakit yang lebih agresif pada pasien imunokompromais maka
diagnosis awal dan penatalaksanaan yang tepat pada infeksi HPV yaitu kondiloma
akuminata menjadi sangatlah penting. Pasien tersebut sering mengalami rekurensi
dan juga membutuhkan jumlah terapi yang lebih banyak untuk mendapatkan
respon awal yang optimal pada lesi. Pengobatan KA merupakan proses yang
menyebabkan frustasi pada pasien dan juga klinisi, dapat digunakan terapi
kombinasi bedah dan medis untuk meningkatkan efektivitas jangka pendek dan
jangka panjang.
30
DAFTAR PUSTAKA