You are on page 1of 49

"Hindu" beralih ke halaman ini. Untuk kegunaan lain, lihat Hindu (disambiguasi).

Artikel ini bukan mengenai Hindi.

Sungai Sindhu (atau Indus) di negara Pakistan. Kata Hindu berasal dari nama sungai tersebut.

Artikel ini adalah bagian dari seri

Agama Hindu

Topik

Sejarah • Mitologi • Kosmologi • Dewa-Dewi

Keyakinan

Brahman • Atman • Karmaphala • Samsara •Moksa • Ahimsa • Purushartha • Maya

Filsafat

Samkhya • Yoga • Mimamsa • Nyaya •Waisesika • Wedanta (Dwaita • Adwaita •Wisistadwaita)

Pustaka

Weda (Samhita • Brāhmana •


Aranyaka • Upanishad) • Wedangga •Purana • Itihasa • Bhagawadgita •Manusmerti • Arthasastra • Yogasutra •
Tantra

Ritual

Puja • Meditasi • Yoga • Bhajan • Upacara •Mantra • Murti


Perayaan

Dipawali • Nawaratri • Siwaratri • Holi •Janmashtami • Durgapuja • Nyepi

Portal agama Hindu

 l
 b
 s

Agama Hindu (disebut pula Hinduisme) merupakan agama dominan di Asia Selatan—terutama
di India dan Nepal—yang mengandung aneka ragam tradisi. Agama ini meliputi berbagai
aliran—di antaranya Saiwa, Waisnawa, dan Sakta—serta suatu pandangan luas akan hukum
dan aturan tentang "moralitas sehari-hari" yang berdasar pada karma, darma,
dan norma kemasyarakatan. Agama Hindu cenderung seperti himpunan berbagai pandangan
filosofis atau intelektual, daripada seperangkat keyakinan yang baku dan seragam.[1]
Agama Hindu disebut sebagai "agama tertua" di dunia yang masih bertahan hingga
kini,[a] dan umat Hindu menyebut agamanya sendiri sebagai Sanātana-
dharma (Dewanagari: सनातन धर्म),[b] artinya "darma abadi" atau "jalan abadi"[11] yang melampaui
asal mula manusia.[12] Agama ini menyediakan kewajiban "kekal" untuk diikuti oleh seluruh
umatnya—tanpa memandang strata, kasta, atau sekte—seperti kejujuran, kesucian, dan
pengendalian diri.
Para ahli dari Barat memandang Hinduisme sebagai peleburan atau sintesis dari berbagai tradisi
dan kebudayaan di India, dengan pangkal yang beragam dan tanpa tokoh pendiri. Pangkal-
pangkalnya meliputi Brahmanisme (agama Weda Kuno), agama-agama masa peradaban
lembah Sungai Indus, dan tradisi lokal yang populer. Sintesis tersebut muncul sekitar 500–200
SM, dan tumbuh berdampingan dengan agama Buddha hingga abad ke-8. Dari India Utara,
"sintesis Hindu" tersebar ke selatan, hingga sebagian Asia Tenggara. Hal itu didukung
oleh Sanskritisasi. Sejak abad ke-19, di bawah dominansi kolonialisme Barat serta Indologi (saat
istilah "Hinduisme" mulai dipakai secara luas[13]), agama Hindu ditegaskan kembali sebagai
tempat berhimpunnya aneka tradisi yang koheren dan independen. Pemahaman populer tentang
agama Hindu digiatkan oleh gerakan "modernisme Hindu", yang menekankan mistisisme dan
persatuan tradisi Hindu. Ideologi Hindutva dan politik Hindu muncul pada abad ke-20 sebagai
kekuatan politis dan jati diri bangsa India.
Praktik keagamaan Hindu meliputi ritus sehari-hari (contohnya puja [sembahyang] dan
pembacaan doa), perayaan suci pada hari-hari tertentu, dan penziarahan. Kaum petapa yang
disebut sadu (orang suci) memilih untuk melakukan tindakan yang lebih ekstrem daripada umat
Hindu pada umumnya, yaitu melepaskan diri dari kesibukan duniawi dan melaksanakan tapa
brata selama sisa hidupnya demi mencapai moksa.
Susastra Hindu diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: Sruti (apa yang "terdengar")
dan Smerti (apa yang "diingat"). Susastra tersebut
memuat teologi, filsafat, mitologi, yadnya (kurban), prosesi ritual, dan bahkan kaidah arsitektur
Hindu.[14] Kitab-kitab utama di antaranya adalah Weda, Upanishad (keduanya tergolong
Sruti), Mahabharata, Ramayana, Bhagawadgita, Purana, Manusmerti, dan Agama (semuanya
tergolong Smerti).[14]
Dengan penganut sekitar 1 miliar jiwa,[15] agama Hindu merupakan agama terbesar ketiga di
dunia, setelah Kristen dan Islam.

Daftar isi

 1Etimologi
 2Definisi
o 2.1Pengaruh kolonial
o 2.2Pendapat orang Hindu
o 2.3Pendapat orang Barat
 3Karakteristik
o 3.1Akar Hinduisme
o 3.2Keanekaragaman
o 3.3Persamaan
o 3.4Penggolongan
o 3.5Toleransi
 4Mazhab, aliran, dan gerakan
o 4.1Enam mazhab filsafat
o 4.2Empat aliran utama
o 4.3Sekte dan aliran lainnya
o 4.4Gerakan keagamaan
 5Keyakinan
o 5.1Konsep ketuhanan
o 5.2Atman dan jiwa
o 5.3Para dewa dan awatara
o 5.4Karma dan reinkarnasi
o 5.5Tujuan hidup manusia
o 5.6Jalan menuju Tuhan
 6Pustaka suci
o 6.1Sruti
o 6.2Smerti
 7Sejarah
o 7.1Periodisasi
o 7.2Agama-Agama Pra-Weda
o 7.3Periode Weda
o 7.4Reformisme Asketis
o 7.5Hinduisme Klasik
o 7.6Kehadiran Islam dan sekte Hindu
o 7.7Hinduisme masa kini
 8Pranata
o 8.1Caturwarna
o 8.2Jenjang kehidupan
 9Praktik keagamaan
o 9.1Persembahyangan
o 9.2Upacara
o 9.3Ahimsa
o 9.4Pertapaan
 10Tempat suci
 11Simbolisme
 12Lihat pula
 13Keterangan
 14Catatan kaki
 15Daftar pustaka
 16Pranala luar

Etimologi[sunting | sunting sumber]


Dalam teks berbahasa Arab, al-Hind adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suku bangsa di suatu daerah
yang kini disebut India, sedangkan 'Hindu' atau 'Hindoo' digunakan sejak akhir abad ke-18 dan seterusnya
oleh orang Inggris untuk menyebut penduduk 'Hindustan', yaitu bangsa di sebelah barat daya India. Akhirnya,
'Hindu' menjadi istilah padanan bagi 'orang India' yang bukan Muslim, Sikh, Jaina, atau Kristen, sehingga
mencakup berbagai penganut dan pelaksana kepercayaan tradisional yang berbeda-beda. Akhiran '-isme'
ditambahkan pada kata Hindu sekitar tahun 1830-an untuk merujuk pada kebudayaan dan
agama kasta brahmana yang berlainan dengan agama lainnya, dan kemudian istilah tersebut diterima oleh orang
India sendiri dalam hal membangun jati diri bangsa untuk menentang kolonialisme, meski istilah 'Hindu' pernah
dicantumkan dalam babad berbahasa Sanskerta dan Bengali sebagai antonim bagi 'Yawana' atau Muslim,
sekitar awal abad ke-16.
— Gavin Flood, An Introduction to Hinduism.[16]

Kiri: Peta kawasan peradaban Lembah Indus (ditandai dengan warna hijau) beserta kota-kota kuno di
sekitar aliran sungai Sindhu.
Kanan: Peta aliran sungai Sindhu di negara Pakistan, yang terletak di antara
negara Afghanistan dan India.

Kata Hindu (melalui bahasa Persia) berasal dari kata Sindhu dalam bahasa Sanskerta, yaitu
nama sebuah sungai di sebelah barat daya Subbenua India—sebagian besar alirannya terletak
di wilayah negara Pakistan—yang dalam bahasa Inggris disebut Indus.[16][c] Menurut Gavin
Flood, pada mulanya istilah 'hindu' muncul sebagai istilah geografis bangsa Persia untuk
menyebut suku bangsa yang tinggal di seberang sungai Sindhu.[16] Para sejarawan pun
menyebut peradaban suku tersebut sebagai Peradaban Lembah Indus. Maka dari itu, awalnya
istilah 'Hindu' merupakan istilah geografis dan tidak mengacu pada suatu agama.
Kata Hindu diserap oleh bahasa-bahasa Europa dari istilah Arab al-Hind, dan mengacu kepada
negeri bagi bangsa yang mendiami daerah sekitar sungai Sindhu.[19] Istilah Arab tersebut berasal
istilah Persia Hindū, yang mengacu kepada seluruh suku di India. Pada abad ke-
13, Hindustan muncul sebagai nama alternatif India yang acap disebutkan, yang memiliki arti
"Negeri para Hindu".[20]
Istilah agama Hindu kemudian sering digunakan dalam beberapa teks berbahasa
Sanskerta seperti Rajatarangini dari Kashmir (Hinduka, kr. 1450) dan beberapa teks
mazhab Gaudiya Waisnawa dari abad ke-16 hingga ke-18 yang berbahasa Bengali,
seperti Caitanyacaritamerta dan Caitanyabhagawata. Istilah itu digunakan untuk membedakan
Hindu dengan Yawana atau Mleccha.[21] Sejak abad ke-18 dan seterusnya, istilah Hindu
digunakan oleh para kolonis dan pedagang dari Eropa untuk menyebut para penganut agama
tradisional India secara umum. Istilah Hinduism diserap ke dalam bahasa Inggris pada abad ke-
19 untuk menyebut tradisi keagamaan, filasat, dan kebudayaan asli India.

Definisi[sunting | sunting sumber]


Studi tentang India beserta kebudayaan dan agamanya—demikian pula definisi "Hinduisme"—
telah dibentuk oleh minat kolonialisme, serta gagasan orang Barat tentang agama
tersebut.[22][23] Sejak 1990-an, pengaruh-pengaruh beserta dampaknya telah menjadi topik
perdebatan di kalangan ahli Hindu,[22] dan turut dicampuri oleh kritik-kritik terhadap India menurut
pandangan Barat.[24] Karena istilah tersebut melingkupi berbagai tradisi dan gagasan yang luas,
maka sulit untuk memperoleh definisi yang komprehensif.[16] Tanpa keseragaman, Hinduisme
didefinisikan sebagai agama, tradisi keagamaan, dan seperangkat kepercayaan religius.[25]

Pengaruh kolonial[sunting | sunting sumber]


Gagasan untuk sebuah sebutan umum bagi beberapa aliran kepercayaan dan tradisi di India
sudah mendapat perhatian sejak abad ke-12.[26][27] Gagasan "Hinduisme" sebagai "tradisi
keagamaan dunia yang tunggal" dipopulerkan pada abad ke-19 oleh Indolog Eropa yang
mengacu kepada "kasta-kasta brahmana" sebagai informasi mereka tentang agama-agama di
India.[28] Hal ini mengacu pada suatu kecenderungan untuk menegaskan sastra dan keyakinan
terhadap Weda sebagai "esensi" bagi praktik keagamaan Hindu pada umumnya, serta bagi
hubungan 'doktrin Hindu' masa kini dengan berbagai perguruan Wedanta (khususnya Adwaita
Wedanta).[23]
Kolonialisme telah menjadi faktor signifikan dalam pengaruh kasta brahmana dan "brahmanisasi"
dalam masyarakat Hindu. Adat kaum brahmana juga memengaruhi pengertian Hinduisme di
mata orang Eropa. Kaum brahmana melestarikan kitab-kitab Hindu yang kemudian diteliti oleh
orang-orang Eropa. Kewenangan kitab-kitab tersebut telah menjadi sasaran penelitian orang
Eropa. Penetapan basis-basis tekstual agama Hindu oleh kaum orientalis Eropa didasari oleh
kecenderungan untuk mengacu kepada otoritas tertulis daripada otoritas lisan. Kaum brahmana
dan ilmuwan Eropa memiliki persepsi yang sama tentang "suatu deklinasi umum dari sebuah
agama yang mulanya murni".[22]

Pendapat orang Hindu[sunting | sunting sumber]

Menurut Sarvepalli Radhakrishnan, "Hinduisme tidak sekadar keyakinan. Ia adalah gabungan


antara penalaran dan intuisi yang tak dapat didefinisikan, namun hanya bisa dirasakan."[29]

Bagi orang Hindu, Hinduisme adalah jalan hidup tradisional.[30] Banyak penganutnya yang
menyebut Hinduisme sebagai Sanātana-dharma, artinya "darma yang abadi" atau "jalan yang
abadi".[11] Istilah ini mengacu kepada kewajiban "abadi" yang harus dijalankan oleh seluruh umat
Hindu—tanpa memandang derajat, kasta, atau sekte/aliran—seperti kejujuran, tidak menyakiti
makhluk hidup, menjaga kesucian, berniat baik, pemaaf, bersabar, mengendalikan nafsu,
mengendalikan diri sendiri, murah hati, dan bertafakur. Ini berbeda dengan swadarma, artinya
"darma seseorang", yaitu kewajiban yang harus dijalankan sesuai aliran yang diikuti dan
tingkatan kehidupan.[31] Menurut Kim Knott, perihal darma ini mengacu pada gagasan bahwa
sumbernya melampaui sejarah umat manusia, dan kebenarannya disampaikan oleh Tuhan
(Sruti) serta diwariskan dari zaman ke zaman, hingga masa kini, dalam suatu kumpulan kitab
tertua di dunia, yaitu Weda.[12]
Menurut Encyclopædia Britannica:
Pada masa kini, istilah [Sanatana-dharma] itu pun digunakan oleh para pemuka, reformis, dan
nasionalis Hindu untuk menyebut Hinduisme sebagai suatu agama dunia yang bersatu. Maka
dari itu, Sanatana-dharma menjadi sinonim bagi kebenaran dan ajaran Hindu yang "abadi", yang
kemudian dipahami bahwa tidak hanya transenden bagi sejarah dan tak berubah-ubah, namun
juga tak terbagi-bagi dan pada pokoknya bukanlah sektarian.[d][31]
Sebagai tanggapan atas kolonialisme dan orientalisme Barat, para pemuka dan ahli Hindu
menginterpretasikan agamanya dalam suatu upaya yang disebut "modernisme Hindu" oleh
orang Barat. Tokoh terkemuka dalam upaya tersebut adalah Swami Vivekananda, Sarvepalli
Radhakrishnan, dan Mahatma Gandhi.[32] Menurut Gavin Flood, Vivekanda (1863–1902) adalah
tokoh penting dalam pengembangan pemahaman diri umat Hindu masa kini dan telah
merumuskan pandangan terhadap Hinduisme bagi orang Barat.[33] Intisari dalam filsafatnya
adalah gagasan bahwa "percikan dari Tuhan" berada dalam setiap makhluk hidup, sehingga
seluruh umat manusia dapat mencapai persatuan dengan "sifat ilahi bawaan" tersebut, dan
dengan memandang bahwa sifat ilahi ini juga terkandung pada setiap orang maka
berkembanglah kasih sayang dan harmoni sosial.[34] Menurut Flood, pandangan Vivekananda
terhadap Hinduisme adalah yang paling umum diterima oleh kebanyakan umat Hindu golongan
menengah berbahasa Inggris (English-speaking middle-class Hindus) pada masa kini.[35]
Sarvepalli Radhakrishnan adalah salah satu cendekiawan terpelajar dari India yang bergelut
dengan filsafat Barat dan India.[36] Ia mencari keselarasan antara rasionalisme barat dengan
Hinduisme, dan memperkenalkan Hinduisme sebagai pengalaman religius yang pada hakikatnya
rasional dan humanistis.[37][e] Wawasan Radhakrishnan disebut sangat relevan dan penting
dalam membentuk jati diri Hindu kontemporer.[37]

Pendapat orang Barat[sunting | sunting sumber]

Monier-Williams (1819–1899), Profesor Sastra Sanskerta dan Indolog terawal, berpendapat bahwa
"berawal dari Weda, Hinduisme telah merangkul berbagai bentuk kepercayaan, dan menyajikan fase yang
cocok bagi berbagai pikiran. Paham tersebut begitu toleran, rendah hati, komprehensif, dan menerima
[berbagai bentuk tradisi]."[f]
Toleransi agama Hindu terhadap aneka ragam aliran kepercayaan dan tradisi yang berbeda-
beda membuatnya sulit untuk didefinisikan sebagai suatu agama menurut pemahaman
tradisional orang Barat.[41] Dalam sejumlah kajian didapati bahwa agama Hindu dapat dipandang
sebagai suatu kategori dengan "batas-batas yang kabur", daripada suatu lembaga yang tegar
dan terdefinisikan dengan baik. Beberapa aktivitas keagamaan Hindu dapat dipandang sebagai
hal yang lazim dalam agama tersebut, sementara yang tak lazim pun masih dapat dimasukkan
ke dalam kategori agama Hindu. Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut, Ferro-Luzzi menulis
suatu 'pendekatan Teori Prototipe' untuk mendefinisikan Hinduisme.[42]
Menurut Flood, globalisasi kebudayaan Hindu diprakarsai oleh Swami Vivekananda dengan
mendirikan Misi Ramakrishna, dan diikuti oleh para pemuka Hindu lainnya, yang membawa
ajaran yang menjadi kekuatan kultural penting dalam masyarakat Barat, dan sebagai akibatnya
menjadi kekuatan kultural penting di India, tempat ajaran itu bermula.[43] Hinduisme Global
tersebut menarik minat di seluruh dunia, melampaui batas-batas nasional, dan telah
menjadikannya suatu agama dunia yang berdampingan dengan Kekristenan, Islam,
dan Buddhisme, bagi komunitas Hindu seluruh dunia maupun orang-orang Barat yang tertarik
dengan kebudayaan dan kepercayaan non-Barat.[44]Agama ini menekankan nilai-nilai spiritual
universal seperti keadilan sosial, kedamaian, serta "transformasi spiritual umat
manusia."[44] Sebagian perkembangannya disebabkan oleh "re-enkulturasi" atau efek Pizza, yaitu
suatu kondisi ketika unsur-unsur kebudayaan Hindu diperkenalkan ke Dunia Barat, lalu
mendapatkan popularitas di sana, dan sebagai akibatnya juga mendapatkan popularitas yang
lebih besar di India.[45]

Karakteristik[sunting | sunting sumber]


Keberadaan agama Hindu sebagai agama tersendiri yang berbeda dengan agama
Buddha dan Jainisme diperkuat oleh penegasan para penganutnya bahwa agama mereka
memang demikian berbeda.[46] Berbeda dengan dua agama tersebut, Hinduisme bersifat
lebih teistik. Sebagian besar sekte dan aliran Hinduisme meyakini suatu pengatur alam
semesta—dasar bagi segala fenomena di dunia yang memanifestasikan diri dalam berbagai
wujud—yang disebut dengan berbagai nama, seperti Iswara, Dewa, Batara, Hyang, dan lain-lain.
Sebagian aliran meyakini bahwa berbagai kemajemukan di dunia merupakan bagian
dari Brahman. Dalam agama Hindu, seorang umat boleh berkontemplasi tentang misteri
Brahman (dalam konteks tertentu, Brahman dapat didefinisikan sebagai Tuhan personal ataupun
impersonal) dan mengungkapkannya melalui mitos yang jumlahnya tidak habis-habisnya, serta
melalui penyelidikan filosofis. Mereka mencari kemerdekaan atas penderitaan melalui praktik-
praktik brata atau meditasi yang mendalam, atau dengan mendekatkan diri kepada Tuhan
melalui cinta kasih (bhakti) dan percaya (sradha).

Akar Hinduisme[sunting | sunting sumber]

Seorang wanita melakukan puja saat matahari terbenam di Rishikesh, Haridwar.

Sejak minat akan Indologi dan studi Hindu bertumbuh, sejarah dan pangkal agama Hindu telah
menjadi perdebatan para cendekiawan di Dunia Barat. Sebelumnya, tidak ada istilah 'Hinduisme'
atau 'agama Hindu', tetapi keberadaan tradisi Hindu seperti sekarang telah berpangkal sejak
purbakala.[47] Selain itu, para ahli sulit mendefinisikan Hinduisme karena ketiadaan seorang
tokoh pendiri agama tersebut. Para cendekiawan memandang Hinduisme sebagai gabungan
dari berbagai kebudayaan atau tradisi yang ada di India.[48][49][50] Salah satu akarnya
adalah Brahmanisme atau agama Weda Kuno dari India pada Zaman Besi,[51][49] yang
merupakan hasil peleburan antara bangsa Indo-Arya dengan kebudayaan dan peradaban
Harrapa.[52] Selain itu, tradisi yang mendukung perkembangan agama Hindu
meliputi Sramana atau "tradisi penolakan" dari India Utara, serta
kebudayaan mesolitik dan neolitik di India, seperti agama-agama peradaban lembah sungai
Indus,[53][54][55]tradisi bangsa Dravida,[56] serta tradisi dan agama lokal dari suku bangsa di
India.[57]
Setelah periode Weda (antara 500–200 SM dan kr. 300 M,[48] pada permulaan periode
"Wiracarita dan Purana" atau "periode Praklasik"), "sintesis Hindu" mulai timbul [48] (masa ketika
dimasukkannya pengaruh Sramana dan Buddhisme), diiringi dengan kemunculan
tradisi bhakti ke dalam balutan Brahmanisme melalui kitab-kitab Smerti. Sintesis ini muncul di
bawah tekanan perkembangan Buddhisme dan Jainisme.[58] Selama pemerintahan Dinasti
Gupta, kitab-kitab Purana disusun, digunakan untuk menyebarkan ideologi keagamaan umum di
tengah-tengah akulturasi yang dijalani masyarakat tribal dan buta huruf. Hasilnya adalah
kemunculan Hinduisme-Puranis (Puranic-Hinduism) yang memiliki perbedaan mencolok jika
dibandingkan dengan Brahmanisme sebelumnya (yang berpegang pada Dharmasastra dan
Smerti). Selama beberapa abad, Hinduisme dan Buddhisme tumbuh berdampingan,[59] sampai
akhirnya memperoleh keunggulan pada abad ke-8 M.[60][61]
Dari India Utara, "sintesis Hindu" beserta konsep pembagian masyarakat menyebar ke India
Selatan dan sebagian Asia Tenggara.[62] Hal tersebut didukung oleh sejumlah kegiatan:
pengadaan permukiman bagi kaum brahmana di kawasan yang diizinkan oleh penguasa
lokal;[63][64] dimasukkannya atau diasimilasikannya dewa-dewi non-Weda (tidak disebut
dalam Weda) yang populer;[65][66] dan proses Sanskritisasi, yaitu kondisi ketika "orang-orang dari
berbagai strata masyarakat India cenderung menyesuaikan kehidupan religius dan sosial
mereka dengan norma-norma Brahmanis".[65][67] Proses asimilasi tersebut menjelaskan bahwa
keanekaragaman budaya lokal di India diselimuti oleh selubung persamaan konseptual.[68]

Keanekaragaman[sunting | sunting sumber]


Diversitas Hinduisme

Anak-anak Hindu saat perayaan gaijtra di Kathmandu, Nepal.

Ritual keagamaan Hindu di Candi Prambanan, Yogyakarta, Indonesia.


Tari kebaktian yang dilakukan wanita Hindu di Moskwa, Rusia.

Upacara Puja barthaband di Bagmati, Nepal.

Seorang petapa Hindu di tepi sungai Gangga, Benares, India.

Ritus tindik lidah saat thaipusam di Batu Caves, Malaysia.


Perayaan mandi suci (baruni snan) di Bangladesh.

Praktisi yoga melakukan sikap halasana di Zhengzhou, Tiongkok.

Prosesi keagamaan Hindu di Bali, Indonesia.

Anak-anak Hindu dengan pakaian tradisional dari Afghanistan.

Agama Hindu dapat dideskripsikan sebagai sebuah wadah tradisi yang memiliki "sifat kompleks,
bertumbuh, berhierarki, dan kadangkala inkonsisten secara internal."[69] Agama Hindu tidak
mengenal "satu sistem kepercayaan yang disusun demi menyeragamkan keyakinan atau
iman",[16] namun menjadi istilah awam yang meliputi kemajemukan tradisi keagamaan di
India.[70][71] Menurut Mahkamah Agung India:
Tidak seperti agama lainnya di dunia, agama Hindu tidak mengklaim satu nabi saja, tidak
memuja satu dewa saja, tidak menganut satu konsep filosofis saja, tidak mengikuti atau
mengadakan satu ritus keagamaan saja; faktanya, ciri-ciri [agama Hindu] itu tidak seperti agama
atau kepercayaan lain pada umumnya. Tak lain dan tak bukan, agama [Hindu] itu merupakan
suatu jalan hidup.[g][72][73]
Salah satu masalah dalam merumuskan satu definisi tentang istilah "agama Hindu" adalah
adanya fakta bahwa agama Hindu tidak didirikan oleh seorang tokoh.[16][74] Agama ini
merupakan sintesisdari berbagai tradisi, atau himpunan tradisi keagamaan yang berbeda tetapi
memiliki persamaan.[48][50]
Konsep ketuhanan dalam tubuh agama Hindu pun tidak seragam. Beberapa aliran
bersifat monoteisme—mengagungkan Wisnu, Kresna, atau Siwa—sementara aliran lainnya
bersifat monisme, yang memandang bahwa para dewa atau sembahan apa pun merupakan
manifestasi beragam dari Yang Maha Esa.[75] Beberapa aliran Hindu bersifat panenteisme—
sebagaimana disebutkan dalam kitab Bhagawadgita—yang meyakini bahwa Tuhan meresap ke
seluruh alam semesta, namun alam semesta bukanlah Tuhan.[76] Beberapa filsafat
Hindu membuat postulat ontologi teistis (dalil ketuhanan) tentang penciptaan dan peleburan
alam semesta, meskipun beberapa umat Hindu merupakan ateis yang memandang Hinduisme
tak lebih dari sebuah filsafat, bukan agama.
Di samping itu, agama Hindu tidak mengenal satu sistem saja untuk mencari "keselamatan"
(salvation),[16] namun mengandung sejumlah aliran dan berbagai bentuk tradisi
keagamaan.[77] Beberapa tradisi Hindu mengandalkan ritus tertentu sebagai hal penting demi
keselamatan, namun berbagai pandangan mengenai hal tersebut juga hadir secara
berdampingan. Agama Hindu juga dicirikan dengan adanya kepercayaan
akan reinkarnasi (samsara, atau siklus lahir-mati) yang ditentukan oleh hukum karma, dan
gagasan tentang "keselamatan" adalah kondisi saat individu terbebas dari siklus lahir-mati yang
terus berputar. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, agama Hindu dipandang sebagai agama
yang paling kompleks dari seluruh agama yang masih bertahan hingga saat ini.[78]

Persamaan[sunting | sunting sumber]


Di samping berbagai perbedaan yang teramati, ada pula rasa persamaan dalam
Hinduisme.[79] Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, ada kesatuan fundamental
dalam tubuh Hinduisme, yang mendasari berbagai perbedaan dalam bentuk-bentuk
pelaksanaannya.[34] Pada umumnya, umat Hindu mengenal berbagai nama dan gelar
seperti Wisnu, Siwa, Sakti, Hyang, Dewata, dan Batara. Beberapa aliran memandang nama dan
gelar tersebut sebagai aneka manifestasi dari Yang Maha Esa atau Yang Mahakuasa, sehingga
agama Hindu dapat dikatakan bersifat monisme. Agama Hindu juga dicirikan dengan adanya
kepercayaan akan makhluk ilahi/makhluk surgawi, yang dipandang tidak setara dengan Yang
Mahakuasa, sedangkan beberapa aliran juga memandangnya sebagai manifestasi dari Yang
Mahakuasa.[75] Karakteristik lainnya—yang kerap dijumpai dalam tubuh Hinduisme—adalah iman
tentang reinkarnasi dan karma, serta keyakinan akan kewajiban yang harus dipenuhi secara
mutlak (darma).
Selain itu, banyak aliran Hinduisme mentakzimkan suatu kumpulan kitab suci yang
disebut Weda, meskipun ada beberapa aliran yang mengabaikannya.[80] Sekte Hindu
seperti Linggayata bahkan tidak mengikuti Weda, namun masih memiliki kepercayaan
akan Siwa.[81] Sebaliknya, sekte Ayyavazhi memiliki kitab suci tersendiri yang disebut Akilattirattu
Ammanai,[82] namun masih mengimani Tuhan yang sama dengan Hinduisme—
contohnya Narayana dan Laksmi—serta memiliki sejumlah mitos yang mirip dengan mitologi
Hindu pada umumnya.
Dalam perkembangannya, tradisi Hindu yang cenderung mengagungkan Wisnu—atau Narayana
dan Kresna—disebut Waisnawa, sementara yang memuja Siwa disebut Saiwa (Saiwisme).
Dilihat dari luar, aliran Saiwa dan Waisnawa memiliki konsep tersendiri tentang Tuhan yang
diagungkan. Menurut Halbfass, meskipun aliran Saiwa dan Waisnawa dapat dipandang sebagai
aliran keagamaan yang mandiri, ada kadar interaksi dan saling acu antara para teoretikus dan
pujangga dari masing-masing tradisi yang mengindikasikan adanya rasa jati diri yang lebih luas,
rasa koherensi dalam konteks yang sama, serta inklusi dalam kerangka dan garis besar
[kepercayaan] secara umum.[79]
Menurut Nicholson, pada masa antara abad ke-12 dan ke-16, para cendekiawan tertentu mulai
memandang "benang merah" terhadap kekayaan ajaran filsafat yang berasal
dari Upanishad, wiracarita, Purana, dan beberapa mazhab yang dikenal sebagai "enam sistem"
(saddarsana) dari filsafat Hindu yang umum."[26] Tendensi dari kekaburan distingsi filosofis juga
digarisbawahi oleh Burley.[83] Hacker menyebut perihal tersebut sebagai "inklusivisme",[84] dan
Michaels berpendapat tentang "sifat identifikasi diri".[85] Menurut Lorenzen, rasa identitas ke-
Hindu-an bermula dari masa interaksi antara kaum Muslim dan Hindu,[86] dan dari sebuah proses
penentuan jati diri untuk membedakan kaum Hindu dengan kaum Muslim, yang sudah dimulai
sebelum 1800-an.[87] Menurut Michaels:
Sebagai pencegahan terhadap supremasi Islam, dan sebagai bagian dari proses regionalisasi
yang berkelanjutan, dua inovasi keagamaan berkembang dalam tubuh agama Hindu:
pembentukan sekte-sekte serta historisasi yang mendahului nasionalisme pada masa berikutnya
… Para orang suci, dan kadangkala pemuka sekte yang militan, seperti
pujangga Maratha[bernama] Tukaram (1609–1649) dan Ramdas (1608–1681), menyuarakan
gagasan-gagasan yang mengagungkan kejayaan agama Hindu pada masa lampau.
Para brahmana juga menyusun tulisan-tulisan bersejarah yang kian bertambah,
terutama eulogi dan riwayat tempat-tempat suci (mahatmya), atau mengobarkan semangat
reflektif untuk menghimpun dan menggubah suatu koleksi kutipan yang ekstensif tentang
berbagai subjek.[h][88]
Inklusivisme ini dikembangkan lebih jauh lagi pada abad ke-19 dan ke-20 oleh gerakan reformasi
Hindu dan Neo-Vedanta, serta telah menjadi karakteristik agama Hindu modern.

Penggolongan[sunting | sunting sumber]


Agama Hindu sebagaimana biasanya dapat digolongkan ke dalam beberapa mazhab atau aliran
besar. Dalam suatu kelompok mazhab pada masa lalu—yang digolongkan sebagai
"enam darsana"—hanya dua mazhab yang popularitasnya masih bertahan: Wedanta dan Yoga.
Golongan-golongan utama Hinduisme pada masa kini disesuaikan dengan aliran-aliran besar
yang ada: Waisnawa (Waisnawisme), Saiwa (Saiwisme), Sakta (Saktisme),
dan Smarta (Smartisme).[89]
Enam tipe umum[sunting | sunting sumber]

Prosesi ganga aarti di Dashashwamedh Ghat, Benares.

Menurut J. McDaniel, ada enam tipe umum dalam tubuh agama Hindu, yang disusun dengan
maksud menampung berbagai pandangan terhadap suatu subjek yang kompleks. Adapun enam
tipe tersebut sebagai berikut:[90]

 Agama Hindu rakyat, yaitu agama Hindu yang berdasarkan pada tradisi masyarakat
setempat serta pemujaan dewa-dewi lokal, seperti Hindu Tamil, Hindu Newa, Hindu
Bali, Hindu Manipuri, Hindu Kaharingan, dan lain-lain. Berpangkal dari masa prasejarah atau
setidaknya mendahului penulisan Weda.[90]
 Srauta atau Agama Hindu Weda, dilaksanakan oleh kaum brahmana-tradisional yang
disebut srautin.
 Agama Hindu Wedanta, yaitu agama Hindu yang mengacu pada filsafat Wedanta,
meliputi Adwaita Wedanta (Smarta), dan menekankan pendekatan filosofis pada kitab-
kitab Upanishad.
 Agama Hindu Yoga, yaitu sekte yang menitikberatkan
pelaksanaan yoga menurut Yogasutra Patanjali.
 Agama Hindu Dharma atau agama "moralitas sehari-hari", yaitu Hinduisme yang
berdasarkan pada realisasi karma dan pelaksanaan norma kemasyarakatan
seperti wiwaha (adat pernikahan Hindu).
 Bhakti, yaitu agama Hindu yang menekankan pelaksanaan kebaktian bagi entitas tertentu,
seperti Kresna, Siwa, Ganesa.
Religi dan religiositas Hindu[sunting | sunting sumber]
Menurut Axel Michaels, ada tiga bentuk religi (agama) Hindu dan empat
macam religiositas (pengabdian) umat Hindu.[77]
Pembagian agama Hindu menjadi tiga bentuk bersuaian dengan metode pembagian dari India
yang mengelompokkannya sebagai berikut: praktik ritual menurut Weda (vaidika), agama rakyat
dan lokal (gramya), dan sekte keagamaan (agama atau tantra).[91] Menurut Michaels, tiga bentuk
agama Hindu yakni:

1. Hinduisme Brahmanis-Sanskritis (Brahmanic-Sanskritic Hinduism): suatu


agama politeistis, ritualistis, dan kependetaan yang berpusat pada suatu keluarga besar
serta upacara pengorbanan, dan merujuk kepada kitab-kitab Weda sebagai
keabsahannya.[77] Agama ini mendapat sorotan utama dalam banyak risalah tentang
agama Hindu karena memenuhi banyak kriteria untuk disebut sebagai agama, serta
karena agama ini merupakan yang dominan di berbagai wilayah India, sebab
masyarakat non-brahmana pun mencoba untuk mengasimilasinya.[77]
2. Agama rakyat dan agama suku: suatu agama lokal yang politeistis, kadangkala animistis,
dengan tradisi lisan yang luas. Kadangkala bertentangan dengan Hinduisme Brahmanis-
Sanskritis.[92]
3. Agama bentukan: tradisi dengan komunitas monastis yang dibentuk untuk mencari
keselamatan (salvation), biasanya menjauhkan diri dari belenggu duniawi, dan seringkali
anti-Brahmanis.[77] Agama ini dapat dikelompokkan lagi menjadi tiga bagian:
o Agama sektarian: aliran keagamaan yang menggarisbawahi suatu konsep filosofis
dari Hinduisme dan menekankan praktik religius menurut konsep tersebut,
contohnya Waisnawa dan Saiwa.[92]
o Agama-bentukan sinkretis: agama tersendiri yang terbentuk dari sinkretisme antara
Hinduisme dengan agama lain, contohnya Hindu-Islam (Sikhisme), Hindu-
Buddha (Buddhisme Newara), atau Hindu-Kristen (Neohinduisme).[92]
o Agama proselitisis (proselytizing religions), atau "Guru-isme": kelompok keagamaan
yang berawal dari seorang guru dan biasanya menekankan isu universalisme,
contohnya Maharishi Mahesh Yogi dengan gerakan Meditasi Transendental, Sathya
Sai Babadengan Federasi Satya Sai, Bhaktivedanta Swami Prabhupada dengan
gerakan ISKCON, Maharaj Ji dengan Divine Light Mission, dan Osho.[92]
Menurut Michaels, empat macam religiositas Hindu yakni:

1. Ritualisme: terutama mengacu pada ritualisme Weda-Brahmanistis (Vedic-Brahmanistic


ritualism) yang domestik dan butuh kurban, namun dapat juga meliputi beberapa
bentuk Tantrisme.[91] Ini merupakan karma-marga klasik.[93]
2. Spiritualisme: kesalehan intelektual, bertujuan untuk mencari kebebasan (moksa) bagi
individu, biasanya dengan bimbingan seorang guru. Ini merupakan karakteristik Adwaita
Wedanta, Saiwa Kashmir, Saiwa Siddhanta, Neo-Wedanta, Guruisme esoterik masa
kini, dan beberapa macam Tantrisme.[91] Ini merupakan jnana-marga klasik.[93]
3. Devosionalisme: pemujaan kepada Tuhan, seperti yang ditekankan dalam
tradisi bhakti dan Kresnaisme.[91] Ini merupakan bhakti-marga klasik.[93]
4. Heroisme: bentuk religiositas politeistis yang berpangkal dari tradisi militeristis, seperti
Ramaisme dan sebagian dari Hinduisme politis.[91] Ini juga disebut wirya-marga.[93]
Toleransi[sunting | sunting sumber]

Pendeta Hindu diberi kesempatan melantunkan doa dalam suatu upacara yang diselenggarakan
umat agama Romuva di Lituania.

Agama Hindu memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran karena
tiadanya skisma meskipun ada kemajemukan tradisi yang bernaung di bawah simbol-simbol
agama Hindu.[94][95] Pada awal perkembangannya, saat tiadanya perselisihan antaragama, umat
Hindu menganggap setiap orang yang mereka temui sebagai umat Hindu pula.[96][97] Tetapi pada
masa kini, umat Hindu menerima pengaruh dari Barat tentang pengadaan konversi
agama.[98] Maka, banyak umat Hindu berpendapat bahwa identitas kehinduan diperoleh
semenjak lahir,[99] sementara yang lainnya berpendapat bahwa siapa pun yang mengikuti
kepercayaan dan praktik agama Hindu merupakan seorang Hindu.[100]
Gandhi menyatakan bahwa Hinduisme bebas dari dogma-dogma yang memaksa, serta dapat
menampung berbagai bentuk ekspresi diri dalam ruang lingkup yang besar.[101] Dalam tubuh
agama Hindu, perbedaan pada setiap tradisi—bahkan pada agama lain—tidak untuk
diperkarakan, karena ada keyakinan bahwa setiap orang memuja Tuhan yang sama dengan
nama yang berbeda, entah disadari atau tidak oleh umat bersangkutan.[102] Dalam
kitab Regweda terdapat suatu bait yang sering dikutip oleh umat Hindu untuk menegaskan hal
tersebut, sebagai berikut:
एकम् सत् विप्रा: बहुधा िदन्ति (Ekam Sat Viprāh Bahudhā Vadanti)
Arti: "Hanya ada satu kebenaran, tetapi para cendekiawan menyebut-Nya dengan banyak
nama." (I:CLXIV:46)
Dalam Parlemen Agama-Agama Dunia (1893) di Chicago, Swami Vivekananda sebagai perwakilan India
mengawali pidatonya dengan salam "Sisters and brothers of America!" dan mendapatkan sambutan yang
hangat.[103] Ia memperkenalkan Hinduisme sebagai agama yang mengajarkan toleransi dan bersikap
sangat terbuka.[104]

Agama Hindu memandang seluruh dunia sebagai suatu keluarga besar yang mengagungkan
satu kebenaran yang sama, sehingga agama tersebut menghargai segala bentuk keyakinan dan
tidak mempersoalkan perbedaan agama.[105] Maka dari itu, agama Hindu tidak mengakui
konsep murtad, bidah, dan penghujatan.[94][106][107] Agama Hindu bersifat mendukung pluralisme
agama dan lebih menekankan harmoni dalam kehidupan antar-umat beragama, dengan tetap
mengindahkan bahwa tiap agama memiliki perbedaan mutlak yang tak patut
diperselisihkan.[108] Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, setiap orang tidak hanya
patut menghargai agama lain, namun juga merangkulnya dengan pikiran yang baik, dan
kebenaran itulah yang merupakan dasar bagi setiap agama.[109]
Dalam agama Hindu, toleransi beragama tidak hanya ditujukan pada umat agama lain, namun
juga pada umat Hindu sendiri. Hal ini terkait dengan keberadaan beragam tradisi dalam tubuh
Hinduisme. Agama Hindu memberikan jaminan kebebasan bagi para penganutnya untuk
memilih suatu pemahaman dan melakukan tata cara persembahyangan
tertentu.[95][110][111] Sebuah sloka dalam Bhagawadgita sering dikutip untuk mendukung
pernyataan tersebut:
ये यथा माां प्रपद्यिे ताां स्तथैि भजाम्यहम् मम िर्त्ाा नुिता िे मनुष्या: पाथा सिा श:
(Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham mama vartmānuvartante manusyāh
pārtha sarvaśah.)
Arti: "Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku memberinya anugerah
setimpal. Semua orang mencari-Ku dengan berbagai jalan, wahai Arjuna."
(Bhagawadgita, IV:11)
Dalam Parlemen Agama-Agama Dunia (1893) di Chicago, Vivekananda juga mengutip suatu
ayat yang menyatakan bahwa setiap orang menempuh jalan yang berbeda-beda dalam memuja
Tuhan, sebagaimana berbagai aliran sungai pada akhirnya menyatu di lautan.[104]

Mazhab, aliran, dan gerakan[sunting | sunting sumber]

Partisipasi umat Waisnawa dalam acara Festival Woodstock di Polandia.

Hinduisme tidak mengandalkan otoritas berdasarkan doktrin sentral seperti kredo, rukun iman,
atau syahadat.[112] Meskipun tradisi Hindu tidak seragam, banyak umat Hindu yang tidak mau
mengakui dirinya sebagai penganut aliran atau sekte Hindu tertentu.[112] Pada umumnya, aliran
dibedakan berdasarkan pada dewa yang dipuja sebagai manifestasi Yang Mahakuasa, serta
pada tradisi mengenai cara pemujaan dewa tersebut.
Ada empat aliran utama yang sering teramati: Waisnawa, Saiwa, Sakta,
dan Smarta.[113] Umat Waisnawa memuja Wisnu sebagai manifestasi Yang Mahakuasa;
umat Saiwamemuja Siwa sebagai manifestasi Yang Mahakuasa;
umat Sakta memuja Sakti (kekuatan) atau Dewi yang dipersonifikasikan sebagai wanita ilahi;
sedangkan Smarta meyakini kesatuan mendasar dari lima (Pancadewa) atau enam (Shanmata)
dewa sebagai personifikasi dari Yang Mahakuasa. Aliran lainnya seperti Ganapatya (pemujaan
terhadap Ganesa) dan Saura (pemujaan terhadap Surya) kurang menyebar secara luas.
Sejumlah gerakan keagamaan terkategorikan ke dalam salah satu aliran besar Hinduisme,
contohnya Gerakan Hare Krishna terkategorikan ke dalam golongan Waisnawa. Ada pula
gerakan keagamaan Hindu yang sukar ditentukan untuk dimasukkan ke dalam golongan yang
disebutkan di atas, contohnya Arya Samaj yang diprakarsai Swami Dayananda Saraswati.
Gerakan keagamaan ini berbeda dengan tradisi Hindu pada umumnya, yaitu tidak memuja
Tuhan dengan sarana arca atau lukisan. Gerakan ini berfokus kepada Weda dan yadnya (yajña;
ritus keagamaan berdasarkan Weda).
Di samping empat aliran besar dalam agama Hindu, sekte-sekte keagamaan yang ada
meliputi Ayyavazhi, Swaminarayana, Ravidassia, Linggayata, dan lain-lain. Beberapa sekte
memiliki konsep, mitologi, serta pustaka suci tersendiri yang berbeda dengan tradisi Hindu pada
umumnya. Sekte-sekte tertentu pun memiliki aliran di dalamnya, misalnya tradisi Tantra.[114]

Enam mazhab filsafat[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Filsafat Hindu

Lukisan Kapila, dari abad ke-19.

Menurut sistem astika dan nastika, ada sembilan filsafat India klasik. Enam di antaranya
merupakan filsafat Hindu klasik (astika) yang mengakui otoritas Weda sebagai kitab suci. Tiga
filsafat lainnya merupakan aliran heterodoks(nastika) yang tidak mengakui otoritas Weda, namun
menekankan tradisi perguruan yang berbeda. Adapun enam filsafat Hindu tersebut sebagai
berikut:

 Samkhya: mazhab filsafat yang—dipercaya secara tradisional—digagas oleh Resi Kapila.


Mazhab ini dianggap sebagai salah satu mazhab filsafat tertua di India.[115] Mazhab ini
bersifat dualisme.[116][117][118] Menurut Samkhya, alam semesta terdiri dari dua
realitas: purusa (kesadaran) dan prakerti (materi). Jiwa adalah kondisi saat purusa terikat
pada prakriti karena suatu "perekat" yang disebut kehendak, dan akhir dari ikatan itu
disebut moksa. Samkhya menolak bahwa sumber segalanya
adalah Iswara (Tuhan).[119] Samkhya tidak mendeskripsikan apa yang terjadi setelah moksa,
dan tidak menyinggung apa pun yang berkaitan dengan Iswara atau Tuhan, karena filsafat
ini menyatakan bahwa tidak ada perbedaan esensial antara purusa individu dengan alam
semesta setelah mencapai moksa.
 Yoga: mazhab yang menekankan pada pengendalian diri dan pikiran. Mazhab Yoga
menerima psikologi dan metafisika yang diajarkan Samkhya, namun bersifat
lebih teistis daripada Samkhya, karena ditambahkannya entitas ketuhanan pada 25 elemen
realitas menurut Samkhya.[120] Mazhab ini digagas oleh Resi Patanjali. Yoga menurut
Patanjali dikenal sebagai Rajayoga, yaitu suatu sistem untuk mengontrol
pikiran.[121] Berbagai tradisi Yoga didapati dalam agama Hindu, Buddha,
dan Jaina.[122] Para guru dari India memperkenalkan Yoga ke Dunia Barat,[123] mengikuti
keberhasilan Vivekananda pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.[123] Pada tahun
1980-an, salah satu jenis Yoga menjadi populer sebagai suatu sistem latihan jasmani di
Dunia Barat. Bentuk Yoga semacam itu disebut Hathayoga.
 Nyaya: mazhab logika dalam Hinduisme. Mazhab spekulasi filosofis ini berdasarkan kitab-
kitab yang disebut Nyayasutra, ditulis oleh Aksapada Gautama pada abad ke-
2 Masehi.[124] Kontribusi signifikan dari mazhab Nyaya adalah metodologi untuk
membuktikan keberadaan Tuhan, menurut kitab Weda. Menurut mazhab Nyaya, ada empat
sumber untuk memperoleh pengetahuan (pramana): persepsi, inferensi, perbandingan, dan
testimoni. Pengetahuan yang diperoleh melalui masing-masing sumber tersebut bisa saja
sahih atau tidak. Sebagai dampaknya, para filsuf Nyaya berusaha keras untuk mencari cara
membuktikan kesahihan pengetahuan melalui sejumlah bagan penjelasan.
 Waisesika: mazhab atomisme dalam Hinduisme yang menyatakan suatu postulat bahwa
segala benda di alam semesta dapat dibagi-bagi menjadi sejumlah atom. Mazhab ini
mulanya digagas oleh Resi Kanada sekitar abad ke-2 Masehi.[125] Secara historis, mazhab
ini dikaitkan erat dengan Nyaya. Meskipun sistem Waisesika dan Nyaya berkembang secara
mandiri, keduanya bergabung karena teori-teori metafisis yang memiliki keterkaitan. Akan
tetapi, dalam bentuknya yang klasik, ajaran Waisesika berbeda dengan Nyaya, karena
Nyaya mengakui empat sumber pengetahuan, sementara Waisesika hanya mengakui
persepsi dan inferensi.
 Mimamsa: mazhab yang kajian utamanya adalah sifat-
sifat darma berdasarkan hermeneutika pada kitab-kitab Weda. Sifat-sifat darma tidak dapat
diakses untuk penalaran atau pengamatan, sehingga harus dikaji melalui otoritas wahyu-
wahyu yang dikandung dalam Weda, yang diyakini kekal, tanpa pengarang (apauruṣeyatva),
dan sempurna.[126] Mazhab Mimamsa mengandung doktrin yang ateistis maupun teistis dan
tidak terlalu tertarik pada keberadaan Tuhan, namun pada
karakteristik darma.[127][128] Mimamsa sangat memerhatikan penafsiran tekstual, sehingga
memberi rintisan pada kajian filologi dan filsafat bahasa. Gagasannya tentang "tuturan"
(śabda) sebagai kesatuan suara dan makna (penanda dan petanda) yang tak dapat dibagi
lagi dipengaruhi oleh Bhartṛhari (kr.abad ke-5).[129]
Patung Adi Shankara, filsuf mazhab Adwaita yang tertemuka, terletak di Mysore, India.

 Wedanta: mazhab yang berfokus pada kajian tentang tiga sastra dasar dalam filsafat Hindu,
yaitu Upanishad, Brahmasutra, dan Bhagawadgita.[130] Sekurang-kurangnya, ada sepuluh
aliran dalam mazhab Wedanta,[131] namun tiga di antaranya—Adwaita, Wisistadwaita,
dan Dwaita—lebih termasyhur.[132]
 Adwaita: perguruan Wedanta yang dirintis oleh Adi Shankara (awal abad ke-8) dan guru
besarnya, Gaudapada, yang menjabarkan Ajatiwada. Menurut perguruan
ini, Brahman adalah satu-satunya kenyataan, sedangkan dunia yang
teramati hanyalah ilusi belaka. Karena Brahman adalah kenyataan sejati, Ia tidak dapat
dikatakan memiliki atribut. Kekuatan ilusif dari Brahman yang disebut maya (māyā) membuat
dunia ini tampak ada. Ketidaktahuan akan kenyataan tersebut merupakan penyebab adanya
penderitaan di dunia, sehingga kebebasan (dari penderitaan) hanya bisa diperoleh melalui
kesadaran akan Brahman. Ketika seseorang mencoba memahami Brahman melalui
pikirannya, maka—karena pengaruh maya—Brahman hadir sebagai Tuhan berkepribadian
(Iswara), yang berbeda dengan dunia dan juga individu. Pada kenyataannya, tiada
perbedaan antara esensi individu yang sejati (jiwatman) dengan Brahman. Kebebasan dapat
diperoleh dengan merasakan bahwa tiada perbedaan antara keduanya. Maka dari itu, jalan
kebebasan ditempuh dengan pengetahuan (jñāna).[133]
 Wisistadwaita: perguruan Wedanta yang dirintis oleh Ramanuja (1017–1137). Menurut
perguruan ini, jiwatman adalah bagian dari Brahman, sehingga mereka mirip, tetapi tidak
sama. Menurut Wisistadwaita, Brahmandinyatakan memiliki atribut (Saguna-brahman),
termasuk materi dan jiwa kesadaran individu. Brahman, materi, dan jiwa individu tidaklah
sama tetapi merupakan entitas yang tidak terpisahkan. Perguruan ini
menegaskan Bhaktiatau pengabdian kepada Tuhan—yang dibayangkan sebagai Wisnu—
sebagai jalan untuk mencapai kebebasan (moksa). Dalam perguruan ini, maya dipandang
sebagai daya cipta dari Tuhan.[133]
 Dwaita: perguruan Wedanta yang dirintis oleh Madhwacarya (1199–1278). Perguruan ini
juga disebut sebagai tatvavādā – "Filsafat Kenyataan". Perguruan ini menyamakan Tuhan
dengan Brahman, sehingga tiada berbeda dengan Wisnu atau pun berbagai perwujudan-
Nya seperti Kresna, Narasinga, Wenkateswara, dan lain-lain. Perguruan ini memandang
Brahman, jiwa individu, dan materi sebagai entitas yang berbeda. Perguruan ini
menekankan Bhakti sebagai jalan yang benar untuk mencapai kebebasan, dan pengabaian
akan Tuhan akan berujung pada neraka serta ikatan duniawi. Menurut Dwaita, segala
tindakan diberdayakan oleh jiwa yang diberi kekuatan oleh Tuhan, dan hasil tindakan
tersebut dilimpahkan kepada jiwa, namun Tuhan tidak ikut terpengaruh oleh hasil tindakan
tersebut.[133]
Dalam sejarah agama Hindu, keberadaan enam mazhab tersebut di atas mencapai masa
gemilang pada masa Dinasti Gupta. Dengan bubarnya Waisesika dan Mimamsa, perguruan
filsafat tersebut kehilangan pamornya pada masa-masa berikutnya, sedangkan berbagai aliran-
aliran Wedanta mulai naik pamor sebagai cabang-cabang utama dalam filsafat keagamaan.
Nyaya bertahan sampai abad ke-17 dan berganti nama menjadi Nawya-nyaya ("Nyaya Baru"),
sedangkan Samkhya lenyap perlahan-lahan, namun ajarannya diserap oleh Yoga dan Wedanta.

Empat aliran utama[sunting | sunting sumber]


Umat Saiwa di kuil Pashupatinatha, Nepal.

Empat aliran utama yang sering didapati adalah Waisnawa, Saiwa, Sakta, dan Smarta. Dalam
masing-masing aliran, ada beberapa perguruan atau aliran lain yang menempuh caranya sendiri.

 Waisnawa: aliran dalam tubuh Hinduisme yang memuja Wisnu—dewa pemelihara menurut
konsep Trimurti (Tritunggal)—beserta sepuluh perwujudannya (awatara). Aliran ini
menekankan pada kebaktian, dan para pengikutnya turut memuja berbagai dewa,
termasuk Rama dan Kresna yang diyakini sebagai perwujudan Wisnu. Pengikut aliran ini
biasanya non-asketis, monastis (mengikuti cara hidup biarawan), dan menekuni praktik
meditasi serta melantunkan lagu-lagu pemujaan.[134][135][136] Biasanya umat Waisnawa
bersifat dualisme. Aliran ini memiliki banyak tokoh suci, kuil, dan kitab suci.[137] Aliran ini
terbagi dalam beberapa golongan, yaitu: Sri Sampradaya (Waisnawa yang
memuja Laksmi sebagai pasangan Wisnu), Brahma Sampradaya (Waisnawa yang memuja
Wisnu secara eksklusif), Rudra Sampradaya (Waisnawa yang memuja Wisnu atau
para awatara, seperti Kresna, Rama, Balarama, dan lain-lain), Kumara
Sampradaya (Waisnawa yang memuja Caturkumara).
 Saiwa: aliran dalam tubuh Hinduisme yang memuja Siwa. Kadangkala Siwa digambarkan
sebagai Bhairawa yang menyeramkan. Umat Saiwa lebih tertarik pada tapa brata daripada
umat Hindu aliran lainnya, dan biasa ditemui berkeliaran di India dengan wajah yang dilumuri
abu dan melakukan ritual penyucian diri.[134][135][136] Mereka bersembahyang di kuil dan
melakukan yoga, berjuang untuk dapat menyatukan diri dengan Siwa.[137] Aliran ini terbagi
dalam beberapa golongan, yaitu: Pasupata (Saiwa yang menekankan tapa brata, terutama
tersebar di Gujarat, Kashmir, dan Nepal), Saiwa Siddhanta (Saiwa yang mendapat
pengaruh Tantra), Kashmira Saiwadarshana (Saiwa yang monistis dan idealistis), Natha
Siddha Siddhanta (Saiwa yang monistis), Linggayata (Saiwa yang monoteistis), Saiwa
Adwaita (Saiwa yang monistis dan teistis).

Umat Hindu Nepal mengoleskan tika dan jamara pada puncak hari raya Dashain, yaitu hari pemujaan
terhadap 9 manifestasi Dewi Durgaselama 9 hari berturut-turut.
 Sakta: aliran Hinduisme yang memuja Sakti atau Dewi. Pengikut Saktisme
meyakini Sakti sebagai kekuatan yang mendasari prinsip-prinsip maskulinitas, yang
dipersonifikasikan sebagai pasangan dewa. Sakti diyakini memiliki berbagai wujud.
Beberapa di antaranya tampak ramah, seperti Parwati (pasangan Siwa)
atau Laksmi (pasangan Wisnu). Yang lainnya tampak menakutkan, seperti Kali atau Durga.
Sakta memiliki kaitan dekat dengan Hinduisme Tantra, yang mengajarkan ritual dan praktik
untuk penyucian pikiran dan tubuh.[134][135][136] Umat Sakta menggunakan mantra-mantra,
sihir, gambar sakral, yoga, dan upacara untuk memanggil kekuatan kosmis.[137] Aliran ini
mengandung dua golongan utama, yaitu: Srikula (pemujaan kepada dewi-dewi yang
bergelar Sri) dan Kalikula (pemujaan kepada dewi-dewi perwujudan Kali).
 Smarta: aliran Hindu-monistis yang memuja lebih dari satu dewa—
meliputi Siwa, Wisnu, Sakti, Ganesa, dan Surya di antara dewa dan dewi lainnya—tetapi
menganggap bahwa dewa-dewi tersebut merupakan manifestasi dari zat yang Maha Esa.
Dibandingkan tiga aliran Hinduisme yang disebutkan di atas, Smarta berusia relatif muda.
Berbeda dengan Waisnawa atau Saiwa, aliran ini tidak bersifat sektarian secara gamblang,
dan berdasarkan pada iman bahwa Brahman adalah asas tertinggi di alam semesta dan
meresap ke dalam segala sesuatu yang ada.[134][135][136] Pada umumnya, umat Smarta
memuja Yang Mahakuasa dalam enam personifikasi: Ganesa, Siwa, Sakti, Wisnu, Surya,
dan Skanda. Karena umat Smarta menerima keberadaan dewa-dewi Hindu yang utama,
mereka dikenal sebagai umat liberal atau non-sektarian. Mereka mengikuti praktik-praktik
filosofis dan meditasi, serta menekankan persatuan antara individu dengan Tuhan melalui
kesadaran.[137]
Sekte dan aliran lainnya[sunting | sunting sumber]

Upacara tiwah yang dilaksanakan umat Hindu Kaharingan di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.

Para peniup seruling saat hari raya Gaijatra yang dirayakan oleh umat Hindu Newa.
Umat Hindu Cham di Vietnam merayakan festival Kuil "Yan Po Nagar", alias Dewi Bhagawati.

Tarian tradisional saat festival Lai Haroaba yang dirayakan umat Hindu Manipur.

Pengikut Gerakan Hare Krishna di Rusiamenyelenggarakan prosesi Rathayatra pada musim dingin 2011.

 Agama Hindu Newa: agama Hindu yang dianut oleh sebagian besar suku Newa di Nepal.
Agama Hindu ini mengenal beberapa tradisi unik seperti tarian sakral dengan topeng yang
disebut Chachaa Pyakhan. Agama Hindu ini juga mengenal sejumlah hari raya, dan
adakalanya bertepatan dengan perayaan Buddhis di sana.
 Agama Hindu Nusantara: tradisi serta kepercayaan masyarakat Indonesia yang telah
mengalami akulturasi/berasimilasi dengan konsep-konsep Hindu dari India, sehingga
membentuk suatu tradisi Hindu yang unik, contohnya Hindu Jawa dan Hindu Bali. Karena
sikap lembaga Hindu yang terbuka, beberapa kepercayaan asli Nusantara pun diakui
sebagai bagian dari agama Hindu Nusantara sehingga mendapatkan label Hindu,
contohnya Hindu Kaharingan dan Hindu Tollotang.
 Agama Hindu Swaminarayana: agama yang dianut oleh sebagian besar orang Hindu
Gujarat.[138] Pengikut Hindu Swaminarayana memuja Wisnu atau Kresna sebagai Tuhan
sehingga sering dianggap sebagai salah satu aliran dalam Waisnawa. Tetapi—tidak seperti
aliran Waisnawa pada umumnya—Hindu Swaminarayana tidak
membedakan Wisnu dan Siwa. Aliran ini menggunakan pemahaman sebagaimana
aliran Smartabahwa para dewa adalah manifestasi dari Brahman.[139][140]
 Ayyavazhi: sistem kepercayaan monistis berdasarkan darma yang berasal dari India
Selatan. Aliran ini dikatakan sebagai agama tersendiri oleh media massa dan beberapa
penganutnya, tetapi banyak penganutnya yang mengaku sebagai umat Hindu, sehingga
Ayyavazhi juga dianggap sebagai sekte Hindu.[141][142] Ayyavazhi berpusat pada ajaran dan
khotbah Ayya Vaikundar; gagasan dan filosofi mereka berdasarkan kitab Akilattirattu
Ammanai dan Arul Nool. Ayyavazhi memiliki banyak kesamaan dengan Hinduisme dalam
hal mitologi dan praktik, namun memiliki perbedaan dalam konsep baik dan buruk, serta
perbedaan pandangan tentang darma.
 Balmiki: sekte yang memuja Begawan Walmiki sebagai leluhur dan dewa mereka.
Pengikutnya meyakini bahwa Walmiki adalah awatara Tuhan, dan menghormati karya-karya
gubahannya, seperti Ramayana dan Yoga Vasistha, sebagai kitab suci.
 Ekasarana Dharma: aliran Hindu-panenteistis yang dirintis oleh Srimanta
Sankardeva pada abad ke-15. Kini, banyak penganutnya yang tinggal di negara
bagian Assam. Aliran kepercayaan ini menolak upacara dan ritus berbasis Weda,
menentang pelaksanaan kurban hewan, dan hanya melakukan pemujaan dengan menyebut
nama Tuhan berulang-ulang. Kitab pegangan bagi aliran ini adalah Sankardewa Bhagawata.
Aliran kepercayaan ini terbagi menjadi empat golongan: Brahma-sanghati, Purusha-
sanghati, Nika-sanghati, dan Kala-sanghati.
 Ganapatya: sekte Hinduisme yang berfokus pada pemujaan Ganesa sebagai Tuhan Yang
Mahakuasa. Ganesa dipuja sebagai bagian dari Saiwa sejak sekitar abad ke-5. Sekte
Ganapatya mulai muncul sekitar abad ke-6 dan ke-9. Kemudian, sekte ini dipopulerkan
oleh Sri Morya Gosavi. Sekte Ganapatya mulai masyhur antara abad ke-17 dan ke-19
di Maharashtra.
 Kapadi Sampradaya: aliran dan tradisi Hinduisme yang dianut sebagian
masyarakat kesatria di Gujarat, terutama di Kutch. Pengikut tradisi ini
memuja Rama sebagai Tuhan Yang Mahakuasa. Kepercayaan ini terbagi menjadi empat
golongan: Ramsnehi, Ashapuri, Sravani, dan Makadbantha.
 Kaumaram: sekte Hinduisme yang berfokus pada pemujaan Murugan atau Skanda di
kawasan India Selatan, terutama yang didominasi oleh suku Tamil. Tradisi tersebut juga
dapat ditemui di luar India, khususnya di kawasan permukiman imigran Tamil.
 Mahima Dharma: sekte Hinduisme yang penganutnya banyak terdapat di Orissa, India.
Sekte ini diprakarsai oleh seorang guru spiritual yang dikenal dengan nama Mahima Swami
atau Mahima Gosain.[143] Sekte ini memusatkan kebaktian pada Tuhan Yang Maha Esa yang
disebut Alekha, serta menolak pemujaan Tuhan dengan sarana arca, gambar, ataupun
pratima.[143]
 Pranami Sampradaya: disebut pula Nijananda Sampradaya, adalah suatu aliran
monoteistis yang memuja Tuhan dengan sebutan Raj Ji atau Prannath Ji. Pengikut
kepercayaan ini tidak diperkenankan makan daging, mengonsumsi alkohol, atau merokok.
Mereka juga memiliki kitab tersendiri yang disebut Kuljam Swarup atau Tartam Sagar.
Pengikut kepercayaan ini banyak terdapat di Najarpur, Nepal.
 Saura: sekte Hinduisme yang memuja Surya sebagai Saguna-brahman. Aliran ini
berpangkal dari tradisi Weda kuno. Kini, hanya ada sedikit penganut aliran ini di India.
 Srauta: golongan brahmana ortodoks yang mengikuti Purwamimamsa, berbeda dengan
Wedanta yang diikuti oleh kaum brahmana lainnya. Mereka merupakan penganut tradisi
ritual konservatif dan membentuk golongan minoritas di antara umat Hindu di India.
Penganut aliran ini biasanya terdapat di negara bagian Kerala (kaum Nambudiri)
dan Karnataka (Mattur, Holenarsipur, Sringeri).
Gerakan keagamaan[sunting | sunting sumber]
Beberapa gerakan Hindu modern muncul di India pada periode antara abad ke-18 dan ke-20,
antara lain sebagai berikut:

 Brahmoisme: gerakan keagamaan yang berasal dari Benggala pada awal abad ke-19.
Gerakan ini didirikan oleh Ram Mohan Roy. Dia menggagas pentingnya pemanfaatan nalar
untuk mereformasi praktik sosial dan religius agama Hindu, dengan pengaruh dari agama
monoteistis dan ilmu pengetahuan modern.[144] Brahmoisme menolak dogma, takhayul,
otoritas kitab suci, dan penggambaran Tuhan.[145]
 Prarthana Samaj: gerakan reformasi sosial dan keagamaan yang dimulai di Bombay,
didirikan oleh Dr. Atmaram Pandurang pada tahun 1867 dengan tujuan agar masyarakat
meyakini satu Tuhan dan hanya menyembah satu Tuhan. Gerakan ini dimulai sebagai
reformasi sosial dan keagamaan sebagaimana Brahmo Samaj. Perintis Prarthana Samaj di
Mumbai adalah Paramahamsa Sabha, perkumpulan rahasia untuk memajukan gagasan-
gagasan liberal yang didirikan oleh Ram Balkrishna Jaykar.[146]
 Arya Samaj: gerakan reformasi Hindu yang diprakarsai oleh Swami Dayananda, dan
didirikan pada tanggal 7 April 1875.[147] Gerakan ini bermaksud
mengamalkan Weda sebagaimana mestinya, dan mengesampingkan kitab-kitab yang ditulis
setelah Weda. Gerakan ini bersifat monoteistis karena tidak mengakui dewa-dewi
tertentu,[148] serta menolak pemujaan Tuhan dengan sarana patung atau lukisan.[149][150]
 Misi Ramakrishna: gerakan filantropis dan sukarela yang diprakarsai oleh
murid Ramakrishna, Swami Vivekananda, pada tanggal 1 Mei 1897. Gerakan ini berfokus
pada masalah kemanusiaan seperti pemeliharaan kesehatan, bencana alam, kesejahteraan
masyarakat desa, pendidikan, dan lain-lain. Misi gerakan ini berdasarkan
konsep Karmayoga.[151] Dalil-dalil yang digunakan adalah filsafat Wedanta.[152]
 Masyarakat Internasional Kesadaran Krishna (The International Society for Krishna
Consciousness – ISKCON): gerakan keagamaan berdasarkan tradisi Gaudiya Waisnawa.
Gerakan ini juga dikenal dengan nama "Gerakan Hare Krishna", didirikan pada
tahun 1966 di New York City oleh A. C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. Ajarannya
berpegang pada Bhagawadgita dan Srimad Bhagawatam. Gerakan ini didirikan untuk
menyebarkan Bhaktiyoga dan memuja Tuhan dengan wujud Kresna.
Di luar Asia Selatan dan Asia Tenggara, aliran Hindu yang cukup populer adalah
tradisi Waisnawa yang dibawa oleh misionaris Gerakan Hare Krishna. Tradisi Hindu juga
dilaksanakan di beberapa negara dengan jumlah imigran India yang signifikan,
seperti Mauritius (Afrika bagian selatan) dan Trinidad dan Tobago (Amerika Tengah).

Keyakinan[sunting | sunting sumber]


Agama Hindu tidak memiliki seorang pendiri dan tidak berpedoman pada satu kitab
suci.[47] Meskipun demikian, ada keyakinan yang kerap dijumpai dalam berbagai tradisi Hindu.
Perihal yang umum dijumpai dalam berbagai keyakinan masyarakat Hindu—namun tidak untuk
terbatas pada beberapa hal tersebut—meliputi kepercayaan akan zat Yang Mahakuasa (dapat
disebut sebagai Iswara, Awatara, Dewata, Batara, dan lain-
lain), darma (etika/kewajiban), samsara (siklus kelahiran, kehidupan, kematian, dan kelahiran
kembali yang berulang-ulang), karma (sebab dan akibat), moksa (kebebasan dari samsara), dan
berbagai yoga (jalan atau praktik spiritual).[153]

Konsep ketuhanan[sunting | sunting sumber]


Agama Hindu memiliki konsep Nirguna-brahman (esensi alam semesta; realitas sejati; atau Tuhan
impersonal), sementara sebagian mazhab menganut konsep Saguna-brahman (zat ilahi yang
berkepribadian; Tuhan personal yang memiliki kasih sayang), yang menyebut Tuhan dengan
nama Wisnu, Siwa, atau bahkan Sakti (kualitas feminin dari Tuhan), contohnya Saraswati(gambar).

Agama Hindu merupakan sistem kepercayaan yang kaya, mencakup keyakinan yang
bersifat monoteisme, politeisme, panenteisme, panteisme, monisme,
dan ateisme.[154][155][156][157] Konsep ketuhanannya bersifat kompleks dan bergantung pada nurani
setiap umatnya atau pada tradisi dan filsafat yang diikuti. Kadangkala agama Hindu dikatakan
bersifat henoteisme (melakukan pemujaan terhadap satu Tuhan, sekaligus mengakui
keberadaan para dewa), namun istilah-istilah demikian hanyalah suatu generalisasi
berlebihan.[158]
Mazhab Wedanta dan Nyaya menyatakan bahwa karma itu sendiri telah membuktikan
keberadaan Tuhan.[159] Nyaya merupakan suatu perguruan logika, sehingga menarik kesimpulan
"logis" bahwa [keberadaan] alam semesta hanyalah suatu "akibat", maka pasti ada suatu
"penyebab" di balik semuanya.[160]
Agama Hindu mengandung suatu konsep filosofis yang disebut Brahman, yang sering
didefinisikan sebagai kenyataan sejati, esensi bagi segala hal, atau sukma alam semestayang
menjadi asal usul serta sandaran bagi segala sesuatu dan fenomena.[161] Tetapi, umat Hindu
tidak menyembah Brahman secara harfiah. Pada zaman Brahmanisme, Brahman adalah istilah
yang disematkan bagi suatu kekuatan yang membuat yadnya (upacara) menjadi efektif, yaitu
kekuatan spiritual dari ucapan-ucapan suci yang dirapalkan para ahli Weda, sehingga mereka
disebut brahmana.[162] Kadangkala, Brahman dipandang sebagai Yang Mahamutlak atau
Mahakuasa, atau asas ilahi bagi segala materi, energi, waktu, ruang, benda, dan sesuatu di
dalam atau di luar alam semesta. Sebagai hasil dari berbagai kontemplasi tentang Brahman,
maka Ia dapat dipandang sebagai Tuhan dengan atribut (Saguna-brahman), Tuhan tanpa atribut
(Nirguna-brahman), dan/atau Tuhan Mahakuasa (Parabrahman), tergantung mazhab dan aliran.
Mazhab dan aliran Hindu-dualistis—seperti Dwaita dan tradisi Bhakti—menyembah Tuhan yang
berkepribadian (memiliki guna atau "atribut ketuhanan", yaitu supremasi dari sifat-sifat baik
manusia seperti Maha-penyayang, Maha-pemurah, Maha-pelindung, dan sebagainya), sehingga
mereka memujanya dengan nama Wisnu, Siwa, Dewi, Dewata, Batara, dan lain-lain, tergantung
aliran masing-masing. Dalam tradisi Hindu pada umumnya, Tuhan yang dipandang sebagai zat
mahakuasa dengan supremasi dari sifat baik manusia—daripada dianggap sebagai asas
semesta yang tak terbatas—disebut Iswara, Bhagawan, atau Parameswara.[163] Meski demikian,
ada beragam penafsiran tentang Iswara, mulai dari keyakinan bahwa Iswara sesungguhnya
tiada—sebagaimana ajaran Mimamsa—sampai pengertian bahwa Brahman dan Iswara
sesungguhnya tunggal, sebagaimana yang diajarkan mazhab Adwaita.[164] Dalam banyak
tradisi Waisnawa, Ia disebut Wisnu, sedangkan kitab Waisnawa menyebutnya sebagai Kresna,
dan kadangkala menyebutnya Swayam Bhagawan. Sementara itu, dalam aliran Sakta, Ia
disebut Dewiatau Adiparasakti, sedangkan dalam aliran Saiwa, Ia disebut Siwa.
Ajaran Smarta yang monistis memandang bahwa seluruh nama-nama ilahi
seperti Wisnu, Siwa, Ganesa, Sakti, Surya,
dan Skanda sesungguhnya manifestasi dari Brahman yang Maha Esa.
Mazhab Adwaita Wedanta menolak teisme dan dualisme dengan menegaskan bahwa pada
hakikatnya Brahman tidak memiliki bagian atau atribut.[165] Menurut mazhab ini, Tuhan yang
berkepribadian atau menyandang atribut tertentu adalah salah satu fenomena maya, atau
kekuatan ilusif Brahman. Pada hakikatnya, Brahman tidak dapat dikatakan memiliki sifat-sifat
kemanusiaan seperti pelindung, penyayang, perawat, pengasih, dan sebagainya.[166]Menurut
mazhab ini, pikiran manusia yang terperangkap maya menyebabkan Brahman terbayangkan
sebagai Tuhan dengan sifat atau atribut tertentu, yang dapat disebut
sebagai Iswara, Bhagawan, Wisnu, dan nama-nama lainnya.[166] Mazhab ini menegaskan bahwa
tiada larangan untuk membayangkan Tuhan dengan sifat-sifat tertentu, namun tujuan hidup
sejati adalah untuk merasakan bahwa "sesuatu yang nyata" dalam tiap makhluk sesungguhnya
tiada berbeda dengan Brahman.[167] Mazhab Adwaita dapat dikatakan
sebagai monisme atau panteisme karena meyakini bahwa alam semesta tidak sekadar berasal
dari Brahman, namun pada "hakikatnya" sama dengan Brahman.[168]
Doktrin ateistis mendominasi aliran Hindu seperti Samkhya dan Mimamsa.[169] Dalam
kitab Samkhyapravachana Sutra dari aliran Samkhya dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan
(Iswara) tidak dapat dibuktikan sehingga (keberadaan Tuhan) tidak dapat diakui.[170]Samkhya
berpendapat bahwa Tuhan yang abadi tidak mungkin menjadi sumber bagi dunia yang
senantiasa berubah. Dikatakan bahwa Tuhan merupakan gagasan metafisik yang dibuat untuk
suatu keadaan.[171] Pendukung dari aliran Mimamsa—yang berdasarkan pada ritual
dan ortopraksi—menyatakan bahwa tidak ada cukup bukti untuk membuktikan keberadaan
Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa kita tidak perlu membuat postulat tentang suatu "pencipta
dunia", sebagaimana kita tidak perlu memikirkan siapa penulis Wedaatau Tuhan apa yang
dibuatkan upacara.[127] Mimamsa menganggap bahwa nama-nama Tuhan yang tertulis
dalam Weda sebenarnya tidak mengacu pada wujud apa pun di dunia nyata, dan hanya untuk
keperluan mantra belaka. Atas pemahaman tersebut, mantra itulah yang sebenarnya merupakan
"kekuatan Tuhan", sehingga Tuhan tiada lain hanyalah kekuatan mantra belaka.[172]

Atman dan jiwa[sunting | sunting sumber]

Diagram yang menunjukkan lapisan penyelubung atman:


• annamayakosa (lapisan badan kasar yang mengandung daging dan kulit)
• pranamayakosa (lapisan tenaga kehidupan)
• manomayakosa (lapisan pikiran atau indra yang menerima rangsangan)
• wijanamayakosa (lapisan nalar, akal budi, atau kecerdasan)
• anandamayakosa (lapisan kebahagiaan atau tubuh kausal)

Dalam agama Hindu terdapat keyakinan bahwa ada "sesuatu yang sejati" dalam tiap individu
yang disebut atman, sifatnya abadi atau tidak terhancurkan.[173] Taittiriya-
upanishad mendeskripsikan bahwa atman individu diselimuti oleh lima
lapisan: annamayakosa, pranamayakosa, manomayakosa, wijanamayakosa,
dan anandamayakosa.[174] Istilah atman dan jiwa kadangkala dipakai untuk konteks yang sama.
Dalam suatu pengertian, atman adalah percikan dari Brahman, sedangkan jiwa adalah
penggerak segala makhluk hidup.[175]
Menurut teologi Hindu yang monistis/panteistis (seperti mazhab Adwaita Wedanta), sukma
individu sama sekali tiada berbeda dari Brahman. Sukma individu disebut jiwatman, sedangkan
Brahman disebut paramatman. Maka dari itu, ajaran ini disebut aliran non-dualis.[164] Ketika
tubuh individu hancur, jiwa tidak turut hancur. Sebaliknya, ia berpindah ke tubuh baru
melalui reinkarnasi (samsara). Jiwa mengalaminya karena diselubungi oleh awidyaatau
"ketidaksadaran" bahwa dirinya sesungguhnya sama dengan Paramatman. Tujuan kehidupan
menurut mazhab Adwaita adalah untuk mencapai kesadaran bahwa atman sesungguhnya sama
dengan Brahman.[176] Kitab Upanishad menyatakan bahwa siapa pun yang merasakan bahwa
atman merupakan esensi dari tiap individu, maka ia akan menyadari kesetaraan dengan
Brahman, sehingga mencapai moksa (kebebasan atau kemerdekaan dari proses
reinkarnasi/samsara).[177]
Yoga dari Resi Patanjali—sebagaimana yang diuraikan dalam Yogasutra—berbeda
dengan monisme yang diuraikan dalam filsafat Adwaita.[178] Menurut yoga, pencapaian spiritual
tertinggi bukanlah untuk menyadari bahwa segala kemajemukan di alam semesta merupakan
maya. Jati diri yang diperoleh saat mencapai pengalaman religius tertinggi bukanlah atman
belaka. Itu hanyalah salah satu jati diri yang ditemukan oleh individu. Meruntuhkan "tembok alam
sadar manusia" untuk membangun "persatuan" jati diri individu (jiwatman) dengan sukma alam
semesta (paramatman), merupakan tujuan praktik yoga.[179]
Menurut pemahaman dualistis seperti mazhab Dwaita, jiwa merupakan entitas yang berbeda
dengan Tuhan, namun memiliki kesamaan. Jiwa bergantung kepada Tuhan, sedangkan
pencapaian moksa (lepas dari samsara) bergantung kepada cinta pada Tuhan serta kasih
sayang Tuhan.[180]

Para dewa dan awatara[sunting | sunting sumber]

Lukisan dari akhir abad ke-18, menggambarkan tiga dewa utama Hinduisme—Brahma, Wisnu, dan Siwa—
beserta sakti (pasangan) masing-masing.

Umat dari berbagai sekte agama Hindu memuja dewa-dewi tertentu yang tak terhitung banyaknya dan mengikuti
aneka upacara untuk memuja dewa-dewi tersebut. Karena merupakan agama Hindu, maka para penganutnya
memandang kekayaan tradisi tersebut sebagai ungkapan dari suatu realitas yang kekal. Dewa-dewi yang
memanggul senjata dipahami oleh umatnya sebagai simbol-simbol dari suatu realitas sejati yang tunggal.
— Brandon Toropov & Luke Buckles, The Complete Idiot's Guide to World Religions.[181]
Susastra Hindu menyebutkan suatu kelompok entitas ilahi yang disebut dewa (atau dewi dalam
bentuk feminin, sedangkan dewata bersinonim dengan dewa), bermakna "yang bersinar", atau
dapat diterjemahkan sebagai "makhluk surgawi".[182][183] Para dewa merupakan bagian integral
dalam kebudayaan Hindu dan ditampilkan dalam kesenian (lukisan, patung, relief), arsitektur,
dan ikon. Cerita mitologis mengenai keberadaan mereka terkandung dalam sejumlah sastra
Hindu, terutama wiracarita Hindudan Purana.
Keberadaan banyak dewa diyakini
sebagai manifestasi dari Brahman.[i] Pustaka Weda dan Upanishad tidak
mengajarkan panteisme ataupun politeisme, melainkan monoteisme dan monisme.[185] Ada
banyak dewa, namun mereka merupakan manifestasi berbagai aspek dari suatu "kenyataan
sejati".[185] Keberadaan konsep monisme dan monoteisme berjalin-jalin. Dalam banyak sloka,
kenyataan sejati dikatakan imanen, sedangkan dalam sloka lainnya
dikatakan transenden.[186] Secara monisme, kenyataan sejati tersebut adalah Brahman,
sedangkan pandangan monoteisme lebih berfokus pada wujud-wujud beratribut (Saguna) dari
Brahman.[186]
Biasanya pengertian dewa dibedakan dengan Iswara (Tuhan Yang Maha Esa), meskipun
banyak umat Hindu menyembah Iswara dalam suatu perwujudan tertentu (seolah-olah ada
Tuhan yang berbeda) sebagai istadewata (iṣṭa devatā), yaitu sosok ideal (dewa-dewi tertentu)
dari Tuhan yang cenderung dipuja.[187][188] Pilihan tersebut bergantung pada preferensi
seseorang atau menurut tradisi regional dan keluarga.[189]
Dalam kitab suci Regweda disebutkan adanya 33 dewa atau dewata, dan Purana menjelaskan
bahwa sebagian di antaranya merupakan para putra Dewi Aditi dan Bagawan Kasyapa, dan
merupakan murid dari Wrehaspati. Menurut mitologi Hindu dalam Purana, sebelum memperoleh
keabadian melalui tirta amerta (minuman keabadian), dewata adalah golongan makhluk yang
berseteru dengan para asura atau raksasa dan dapat gugur dalam pertempuran. Kekuatan
dewata berbeda dengan tiga dewa utama yang abadi—Brahma, Wisnu, Siwa.
Siwa dan Wisnu dimuliakan sebagai Mahadewa karena kemasyhuran mereka dalam kitab suci
dan pemujaan.[190] Mereka berdua, beserta Brahma, dipandang sebagai Trimurti—tiga aspek dari
Yang Mahakuasa. Ketiga aspek tersebut melambangkan seluruh siklus samsara menurut agama
Hindu: Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pelindung atau pemelihara, dan Siwa sebagai
pelebur. Dua di antara tiga dewa tersebut, yaitu Wisnu dan Siwa memiliki pengikut dengan
jumlah banyak sehingga membentuk dua aliran utama (Waisnawa dan Saiwa) dalam tubuh
agama Hindu. Dalam kajian tentang Trimurti, Sir William Jones menyatakan bahwa umat Hindu
"menyembah Tuhan dalam tiga wujud: Wisnu, Siwa, Brahma … Gagasan fundamental agama
Hindu, bahwa metamorfosis, atau transformasi, dicontohkan melalui [konsep] awatara."[191]
Tridewi ("Tiga Dewi") dalam agama Hindu memiliki peran penting sebagaimana Trimurti dan
berfungsi sebagai pasangan bagi Trimurti. Brahma adalah Sang Pencipta, sehingga ia
membutuhkan pengetahuan atau Dewi Saraswati. Wisnu adalah Sang Pelindung, sehingga ia
membutuhkan kemakmuran, yang dimanifestasikan sebagai Dewi Laksmi (Sri). Sedangkan Siwa
adalah Sang Pelebur, sehingga ia membutuhkan Dewi Parwati, Durga, atau Kali sebagai
kekuatannya. Para dewi tersebut adalah manifestasi dari satu entitas, yaitu Sakti.
Wiracarita Hindu dan Purana menceritakan beberapa kisah tentang turunnya Tuhan ke dunia
(inkarnasi) dalam wujud fana demi menegakkan di masyarakat dan menuntun manusia
mencapai moksa. Inkarnasi itu disebut pula awatara. Beberapa awatara terkenal merupakan
perwujudan Wisnu, meliputi Rama (tokoh utama Ramayana) dan Kresna (tokoh penting
dalam Mahabharata).

Karma dan reinkarnasi[sunting | sunting sumber]


Dua sadu di Kuil Pahupatinatha, Nepal.
Sadu adalah istilah bagi kaum yogi yang sedang menempuh Rajayoga, yaitu jalan pengendalian pikiran,
demi melepaskan diri dari belenggu duniawi sehingga dapat mencapai kesadaran spiritual tingkat tinggi
atau bahkan moksa.

Karma diterjemahkan secara harfiah sebagai tindakan, kerja, perbuatan,[192] dan dapat
dideskripsikan sebagai "hukum moral sebab–akibat".[193] Menurut hukum karma, nasib baik
berasal dari tindakan baik terdahulu, dan nasib buruk berasal dari tindakan buruk terdahulu,
yang merupakan suatu sistem aksi-reaksi dan membentuk suatu
siklus reinkarnasi.[194] Fenomena sebab-akibat tersebut tidak hanya berlaku bagi dunia material,
namun juga terhadap pikiran, perkataan, tindakan, dan tindakan yang dilakukan berdasarkan
perintah seseorang.[195]
Menurut kitab Upanishad, suatu jiwa membentuk sanskara (kesan) dari tindakan, baik secara
fisik atau mental. Linga-sarira (tubuh yang lebih halus daripada tubuh fisik namun lebih kasar
daripada jiwa) dilekati kesan-kesan tersebut, dan membawanya ke kehidupan selanjutnya,
sehingga menciptakan jalan kehidupan tersendiri bagi setiap orang.[196] Maka dari itu, konsep
karma—yang universal, netral, dan tak pernah meleset—berkaitan dengan reinkarnasi, demikian
pula kepribadian, watak, dan keluarga seseorang. Karma menyatukan konsep kehendak
bebas dan nasib.
Karena agama Hindu meyakini bahwa jiwa tidak dapat dihancurkan,[197] maka kematian tidak
dipandang sebagai momok bagi kehidupan karena merupakan fenomena alami.[198] Maka dari
itu, seseorang yang sudah meninggalkan ambisi dan keinginannya, tidak memiliki tanggung
jawab lagi di dunia, atau terjangkiti penyakit mematikan dapat mengusahakan kematian dengan
cara Prayopavesa.[199]
Siklus aksi, reaksi, kelahiran, kematian, dan kelahiran adalah proses berkesinambungan yang
disebut samsara (reinkarnasi). Pemahaman akan reinkarnasi dan karma merupakan premis kuat
dalam filsafat Hindu. Dalam kitab Bhagawadgita (II:22) tertulis:
Seperti halnya seseorang memakai baju baru dan menanggalkan baju yang
lama,
demikian pula jiwa memasuki tubuh yang baru, meninggalkan tubuh yang lama.
Dalam kepercayaan Hindu, samsara memberikan kesempatan bagi manusia untuk
menikmati kesenangan sesaat pada setiap kelahiran. Selama manusia terlena untuk
terus menikmati kesenangan tersebut, maka mereka akan dilahirkan kembali. Akan
tetapi, pelepasan diri dari belenggu samsara (melalui moksa) diyakini dapat memberikan
kebahagiaan dan kedamaian abadi.[200] Menurut kepercayaan ini, setelah mengalami
reinkarnasi berkali-kali, pada akhirnya suatu atman akan mencari persatuan dengan
sukma alam semesta (Brahman/Paramatman).
Dalam agama Hindu, tujuan hidup sejati—yang disebut sebagai moksa, nirwana,
atau semadi—dipahami dalam berbagai arti: realisasi penyatuan jiwa dengan Tuhan;
realisasi hubungan kekal dengan Tuhan; realisasi dari penyatuan seluruh hal yang ada;
wawas diri sempurna serta pengetahuan akan diri yang sejati; pencapaian atas
kedamaian batin yang sempurna; dan pelepasan dari segala keinginan duniawi.
Realisasi semacam itu membebaskan seseorang dari samsara dan mengakhiri siklus
lahir kembali.[201][202]
Konseptualisasi moksa berbeda-beda tergantung mazhab atau aliran Hinduisme.
Sebagai contoh, mazhab Adwaita Wedanta berpedoman bahwa setelah mencapai
moksa, atman tidak lagi mengenali dirinya sebagai individu, melainkan menyadari
bahwa Brahman identik dalam segala hal, termasuk kesamaannya dengan atman.
Pengikut mazhab Dwaita (dualistis) memandang individu sebagai bagian dari Brahman,
dan setelah mencapai moksa, mereka yakin akan memperoleh kekekalan
di loka bersama dengan manifestasi Iswara yang dipilihnya. Maka dari itu, dianalogikan
bahwa pengikut dwaita berharap untuk "menikmati gula", sementara pengikut Adwaita
berharap untuk "menjadi gula".[203]

Tujuan hidup manusia[sunting | sunting sumber]


Filsafat Hindu klasik mengakui empat hal yang harus dipenuhi sebagai tujuan hidup
manusia—sebagaimana dijabarkan di bawah ini—yang disebut purusarta:

 Darma: Darma adalah prinsip yang tak boleh diabaikan oleh umat Hindu. Darma
dapat dipandang sebagai kewajiban (dalam hal kegiatan duniawi ataupun
rohani), hukum, keadilan, tindakan benar, dan berbagai kualitas yang mendukung
harmoni segala sesuatu. Brihadaranyaka-upanishad memandang darma sebagai
prinsip universal—tentang aturan, kewajiban, dan harmoni—yang berasal
dari Brahman. Darma berlaku sebagai prinsip moral bagi alam semesta. Darma
merupakan sat (kebenaran), ajaran pokok dalam agama Hindu. Hal ini berpangkal
pada pernyataan dalam Regweda bahwa "Ekam Sat," (Kebenaran Hanya Satu), dari
keyakinan bahwa Brahman itu sendiri merupakan "Satcitananda" (Kebenaran-
Kesadaran-Keberkatan). Darma tidak hanya sekadar aturan atau harmoni, namun
kebenaran murni. Dalam Mahabharata, Kresna mendefinisikan darma sebagai
penegak perkara di dunia manusia dan dunia lain (Mbh 12.110.11).
Kata Sanātana berarti 'kekal', 'tak mati', atau 'selamanya'; maka, agama Hindu
sebagai Sanātana-dharmabermakna suatu darma yang tidak berawal atau
berakhir.[204]
 Arta: Arta adalah upaya mencari harta demi penghidupan dan kemakmuran. Hal ini
juga mencakup usaha mencari pekerjaan, berpolitik, memelihara kesehatan, dan
mencari kesejahteraan material.[205] Arta dibutuhkan demi mencapai kehidupan yang
makmur sentosa, terutama bagi umat yang sudah berumah tangga. Ajaran tentang
arta disebut Arthashastra, dan yang termasyhur di antaranya
adalah Arthashastra karya Kautilya.[206]
 Kama: Kama berarti hasrat, keinginan, gairah, kemauan, dan kenikmatan panca
indra. Kama dapat pula berarti kesenangan estetis dalam menikmati kehidupan
(seni, hiburan, kegembiraan), kasih sayang, ataupun asmara.[207][208] Akan tetapi,
kama dalam hubungan asmara atau percintaan hanya dapat dipenuhi melalui
hubungan pernikahan. Kama dibutuhkan dalam membangun kehidupan rumah
tangga, atau grehasta.
 Moksa: Moksa atau mukti adalah tujuan hidup yang utama bagi umat Hindu. Moksa
adalah keadaan yang sama sekali berbeda dengan pencapaian surga. Moksa
adalah suatu kondisi saat individu menyadari esensi dan realitas sejati dari alam
semesta, sehingga individu mengalami kemerdekaan dari kesan-kesan duniawi,
tanpa suka ataupun duka, lepas belenggu samsara, serta lepas dari hasil perbuatan
(karma) yang melekati individu selama mengalami proses reinkarnasi.[209]
Jalan menuju Tuhan[sunting | sunting sumber]
Karmayoga

Bhaktiyoga

Jnanayoga

Rajayoga
Empat jalan spiritualitas (caturmarga) dalam agama Hindu. Setiap jalan menyediakan cara
yang berbeda untuk mencapai moksa.

Umat Hindu memenuhi tujuan hidupnya dengan menempuh jalan yang berbeda-beda.
Jalan tersebut merupakan yoga. Yoga di sini dapat diartikan sebagai disiplin fisik,
mental, dan spiritual demi memperoleh kedamaian dan ketenangan pikiran.[210] Dalam
konteks dan tradisi lain, yoga dapat pula didefinisikan sebagai "upaya mengendalikan
pikiran agar [pikiran] tidak liar", atau "[usaha] mempersatukan diri dengan
Tuhan".[210] Ajaran tentang pelaksanaan yoga dihimpun dan diuraikan oleh para resi atau
orang bijak. Kitab yang memuat ajaran yoga
meliputi Bhagawadgita, Yogasutra, Hathayoga-pradipika, dan Upanishad sebagai basis
filosofis dan historisnya. Yoga mengarahkan umat Hindu untuk mencapai tujuan hidup
yang spiritual (moksa, samadhi, atau nirwana), baik secara langsung maupun tidak
langsung. Empat macam jalan (yoga) utama yang sering disinggung yakni:[211]

1. Karmayoga (melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya dengan ikhlas)


2. Bhaktiyoga (mencintai Tuhan dan menyayangi segala makhluk)
3. Jnanayoga (mencari pengetahuan dan berkontemplasi tentang Tuhan)
4. Rajayoga (mengendalikan pikiran dengan meditasi, sikap tubuh, atau
semacamnya)
Seseorang dapat memilih salah satu atau beberapa yoga sekaligus, sesuai dengan
kecenderungan dan pemahamannya. Beberapa aliran Hinduisme yang menekankan
pengabdian mengajarkan bahwa bhakti adalah satu-satunya jalan praktis untuk
mencapai kesempurnaan spiritual bagi masyarakat awam, berdasarkan kepercayaan
bahwa dunia sedang berada pada masa Kaliyuga (salah satu jangka waktu dalam
siklus Yuga yang kini sedang berlangsung).[212] Melaksanakan salah satu yoga tidak
berarti mengabaikan yang lainnya. Banyak mazhab Hinduisme mengajarkan bahwa
berbagai yoga secara alami berbaur dan mendukung pelaksanaan yoga lainnya.
Contohnya praktik jnanayoga, yang dianggap pasti mengarahkan seseorang untuk
memberikan kasih sayang murni (tujuan utama bhaktiyoga), dan demikian
sebaliknya.[213] Seseorang yang mendalami meditasi tingkat tinggi (seperti yang
ditekankan raja yoga) harus mewujudkan prinsip pokok dari karmayoga, jnanayoga,
dan bhaktiyoga, baik secara langsung maupun tak langsung.[211][214]

Pustaka suci[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Susastra Hindu
Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, agama Hindu berdasarkan kepada
himpunan pedoman spiritual yang ditemukan oleh orang yang berbeda-beda pada
zaman yang berbeda-beda.[215][216] Selama berabad-abad, pedoman itu diwariskan
secara lisan dalam bentuk syair agar dapat dihafalkan, sampai akhirnya
dituliskan.[217] Selama berabad-abad, para resi menyaring ajaran tersebut dan
memperluas dalil-dalilnya. Pada masa setelah Periode Weda dan menurut keyakinan
Hindu masa kini, banyak pustaka Hindu tidak untuk ditafsirkan secara harfiah. Yang
diutamakan adalah etika dan makna metaforis yang terkandung di dalamnya.[218] Di
antara pustaka suci tersebut, Weda merupakan yang paling tua, yang diikuti
dengan Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam
mempelajari filsafat Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam ajaran
Hindu adalah Tantra, Agama, Purana, serta dua wiracarita,
yaitu Ramayana dan Mahabharata. Bhagawadgita adalah ajaran yang dimuat
dalam Mahabharata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering
disebut sebagai intisari Weda. Banyak pustaka Hindu yang ditulis dalam bahasa
Sanskerta. Pustaka-pustaka tersebut digolongkan menjadi dua kelas: Sruti dan Smerti.

Sruti[sunting | sunting sumber]


Regweda adalah salah satu kitab suci tertua di dunia. Naskah Regwedadalam foto ini ditulis
dengan aksara Dewanagari.

Sruti (artinya "apa yang didengar")[219] terutama mengacu kepada kumpulan Weda, yang
merupakan bentuk pustaka Hindu tertua. Banyak umat Hindu
mengagungkan Weda sebagai kebenaran abadi yang diwahyukan kepada
para resi purbakala,[216][220] sementara umat yang lain tidak menyangkutpautkan
penyusunan Weda dengan Tuhan atau seseorang. Umat Hindu meyakini
kumpulan Weda sebagai pedoman bagi dunia spiritual, yang akan ada selama-lamanya,
bahkan tetap ada jika seandainya tidak pernah diwahyukan kepada para
resi.[215][221] Umat Hindu memiliki kepercayaan demikian karena mengimani bahwa
kebenaran spiritual dalam Weda bersifat kekal, yang dapat terus diungkapkan dengan
cara-cara yang baru.[222]
Ada empat kitab Weda,
yaitu Regweda (Ṛgveda), Samaweda (Sāmaveda), Yajurweda (Yajurveda),
dan Atharwaweda (Atharvaveda). Kitab Regweda adalah kitab Weda yang pertama dan
terpenting. Setiap Weda dibagi menjadi empat bagian: yang utama—Weda yang baku—
adalah Samhita (Saṃhitā), yang menghimpun mantra-mantra. Tiga bagian lainnya
membentuk seperangkat golongan suplemen bagi Samhita, biasanya dalam bentuk
prosa dan dipercaya berusia lebih muda daripada Saṃhitā. Adapun tiga bagian tersebut
adalah Brahmana (Brāhmaṇa), Aranyaka (Āraṇyaka), dan Upanishad. Dua bagian
pertama disebut Karmakanda (Karmakāṇḍa; porsi ritual), sedangkan yang terakhir
disebut Jnanakanda (Jñānakāṇḍa; porsi pengetahuan).[223] Kumpulan Weda berfokus
kepada pelaksanaan upacara, sementara kumpulan Upanishad berfokus kepada
pandangan spiritual dan ajaran filosofis, serta
memperbincangkan Brahman dan reinkarnasi.[218][224][225]

Smerti[sunting | sunting sumber]


Kitab-kitab Hindu yang tak termasuk Sruti digolongkan ke dalam Smerti (ingatan). Kitab
Smerti yang terkenal yaitu wiracarita India (Itihasa), terdiri
dari Mahabharata (Mahābhārata) dan Ramayana (Rāmāyaṇa). Itihasa adalah suatu
bagian dari kesusastraan Hindu yang menceritakan kisah kepahlawanan para raja dan
kesatria Hindu pada masa lampau dan dikombinasikan dengan filsafat
keagamaan, mitologi, dan cerita tentang makhluk supernatural.
Kitab Bhagawadgita (Bhagavadgītā) merupakan suatu bagian integral
dalam Mahabharata, dan merupakan salah satu kitab suci Hindu yang masyhur. Kitab
tersebut mengandung ajaran filosofis yang dinarasikan oleh Kresna—
sebagai awatara Wisnu—kepada Arjuna, menjelang perang di
Kurukshetra. Bhagawadgita terdiri dari delapan belas bab dan berisi ± 650 sloka. Setiap
bab menguraikan jawaban-jawaban yang diajukan oleh Arjuna kepada Kresna.
Jawaban-jawaban tersebut merupakan wejangan suci sekaligus pokok-pokok
ajaran Weda.[226] Akan tetapi, kitab yang termasuk Gita—kadangkala
disebut Gitopanishad—seringkali digolongkan ke dalam Sruti, karena konteksnya
bersifat Upanishad.[227]
Kitab-kitab Purana (Purāṇa)—yang menguraikan ajaran-ajaran Hindu melalui kisah-
kisah yang gamblang—tergolong ke dalam Smerti. Purana memuat mitologi, legenda,
dan kisah-kisah zaman purba yang diyakini kebenarannya oleh umat Hindu.
Kata Purana berarti "sejarah kuno" atau "cerita kuno". Penulisan kitab-
kitab Purana diperkirakan dimulai sekitar tahun 500 SM. Terdapat delapan belas
kitab Purana yang disebut Mahapurana.
Kitab lain yang tergolong ke
dalam Smerti meliputi Dewimahatmya (Devīmahātmya), Tantra, Yogasutra, Tirumantira
m, Siwasutra, dan Agama (Āgama). Selain itu, ada kitab Manusmerti, yang merupakan
kitab hukum preskriptif yang mendasari aturan kemasyarakatan dan stratifikasi sosial
yang kemudian menuntun masyarakat membentuk sistem kasta di India.
Kitab Tantra memuat tentang cara pemujaan masing-masing aliran dalam agama Hindu.
Kitab Tantra juga mengatur tentang pembangunan tempat suci Hindu dan
peletakkan arca. Kitab Nitisastra memuat ajaran kepemimpinan dan pedoman untuk
menjadi seorang pemimpin yang baik. Kitab Jyotisha merupakan kitab yang memuat
ajaran sistem astronomi tradisional Hindu. Kitab Jyotisha berisi pedoman tentang benda
langit dan peredarannya. Kitab Jyotisha digunakan untuk meramal dan memperkirakan
datangnya suatu musim.

Sejarah[sunting | sunting sumber]


Periodisasi[sunting | sunting sumber]
James Mill (1773–1836), dalam bukunya The History of British India (1817), membagi
sejarah India menjadi tiga tahap, yaitu peradaban Hindu, Muslim, dan
Britania.[228][229] Periodisasi ini menuai kritik karena kesalahpahaman yang
ditimbulkannya.[230] Periodisasi lainnya memilah-milah menjadi periode kuno, klasik,
pertengahan, dan modern.[231] Smart[232] dan Michaels[233] tampaknya mengikuti
periodisasi menurut Mill,[j] sedangkan Flood[234] dan Muesse[236][237] mengikuti periodisasi
yang terbagi menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan modern.[238]
Periode-periode yang berbeda ditentukan sebagai masa Hinduisme Klasik:

 Smart menyatakan rentang waktu antara 1000 SM dan 100 M sebagai "praklasik".
Itu merupakan periode formatif bagi Upanishad dan Brahmanisme,[k] Jainisme, dan
Buddhisme. Menurut Smart, "periode klasik" berlangsung dari 100 M hingga 1000
M, dan bertepatan dengan suburnya "Hinduisme Klasik", serta pertumbuhan dan
kemunduran Buddha Mahayana di India.[240]
 Menurut Michaels, rentang waktu antara 500 SM dan 200 SM adalah masa
"Reformisme Asketis",[241] sedangkan rentang waktu antara 200 SM dan 1100 M
adalah masa "Hinduisme Klasik", karena adanya titik balik antara agama Weda dan
agama Hindu.[242]
 Muesse menyatakan perbedaan rentang waktu yang lebih jauh, yaitu antara 800 SM
dan 200 SM, yang ia sebut sebagai "Periode Klasik". Menurut Muesse, beberapa
konsep dasar agama Hindu, yaitu karma, reinkarnasi, serta pencerahan dan
transformasi seseorang—yang tidak ditemui dalam agama Weda—berkembang
pada periode tersebut.[243]

Michaels[14]
Smart[232]
Umum Detail
Agama-Agama Pra-Weda
(prasejarah – kr. 1750 SM)

Peradaban Lembah Sungai Indus


dan Periode Weda
Periode Weda (kr. 1750 – 120
(kr. 3000 – 1000 SM)

Agama Weda Kuno Periode Weda Per


(kr. 1750 – 500 SM) (dari 1200 S

Periode Weda
(dari 850 SM

Periode Praklasik Reformisme Asketis


(kr. 1000 SM – 100 M) (kr. 500 – 200 SM)

Hinduisme Pra
(kr. 200 SM – 3

"Zaman Kejay
Hinduisme Klasik
(Kemaharajaan
(kr. 200 SM – 1100 M)
(kr. 320 – 650
Periode Klasik
(kr. 100 M – 1000 M)
Hinduisme-Klasi
(kr. 650 – 110

Penaklukan Muslim dan


Peradaban Hindu-Islam
Kemunculan Sekte-Sekte Hinduisme
(kr. 1000 – 1750 M)
(kr. 1100 – 1850 M)

Periode Modern Hinduisme Modern


(kr. 1750 – kini) (sejak kr. 1850)

Agama-Agama Pra-Weda[sunting | sunting sumber]


Artefak yang disebut cap Shiva-pashupati (Siwa sang penguasa satwa), berasal dari
masa Peradaban Lembah Sungai Indus.

Ras manusia pertama yang menduduki India (kr. 40.000–60.000 tahun yang lalu, saat
periode Paleolitik) adalah Australoid yang mungkin memiliki hubungan
dengan penduduk asli Australia.[245] Ada dugaan bahwa ras tersebut hampir punah atau
terdesak oleh gelombang migrasi pada masa berikutnya.[246]
Setelah pendudukan oleh Australoid, maka ras Kaukasoid (meliputi bangsa Elamo-
Dravida [kr. 4000[247] hingga 6000 SM][248] dan Indo-Arya [kr. 2000[249] hingga 1500
SM][250]) dan Mongoloid (Sino-Tibet) bermigrasi ke India. Bangsa Elamo-Dravida[l] ada
kemungkinan berasal dari Elam, kini merupakan wilayah Iran.[247][248][251][252]
Agama prasejarah tertua di India—yang mungkin meninggalkan jejaknya pada agama
Hindu[m]—berasal dari zaman mesolitik[254] dan neolitik.[253] Beberapa agama suku di
India masih bertahan, mendahului dominansi agama Hindu, namun tidak harus dianggap
bahwa ada banyak kemiripan antara masyarakat suku pada zaman prasejarah dengan
masa kini.[255]
Menurut antropolog Gregory Possehl, peradaban lembah sungai Indus (2600–1900 SM)
mengandung titik pangkal yang logis, atau mungkin arbitrer, bagi beberapa aspek pada
tradisi Hindu di kemudian hari.[256] Agama pada masa tersebut mengandung pemujaan
kepada Dewa Yang Mahakuasa, yang dibandingkan oleh beberapa ahli (terutama John
Marshall) sebagai proto-Siwa, dan mungkin sesosok Ibu Dewi, yang mendasari
figur Sakti. Praktik-praktik lain dari zaman peradaban lembah sungai Indus yang
berlanjut ke periode Weda meliputi pemujaan kepada air dan api. Akan tetapi, hubungan
antara dewa-dewi dan praktik agama lembah sungai Indus dengan agama Hindu masa
kini telah menjadi subjek perselisihan politis serta perdebatan para ahli.[257]

Periode Weda[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Periode Weda dan Brahmanisme

Peta dataran subur India Utara.


Periode Weda—yang berlangsung dari kr. 1750 sampai 500 SM[233][n]—disebut demikian
karena berdasarkan agama berbasis Weda yang dianut oleh bangsa Indo-
Arya,[259][o] yang bermigrasi ke India barat daya setelah mundurnya peradaban lembah
sungai Indus[260][261][262] (ada kemungkinan dari stepa Asia Tengah).[251][263] Bangsa ini
membawa serta bahasa[264] dan agama mereka.[250][265] Agama mereka berkembang
lebih jauh ketika bermigrasi ke dataran India Utara setelah kr. 1100 SM dan menjadi
pastoralis.[266][267][268]
Meskipun kepercayaan dan praktik pada masa Hinduisme Praklasik boleh jadi berasal
dari bahan-bahan agama Proto-Indo-Eropa (yang masih hipotesis),[269] sastra yang
mendasari tradisi pada masa itu adalah Weda Samhita, sehingga periode tersebut
dinamai demikian. Kitab tertua di antara sastra Weda tersebut adalah Regweda, yang
diperkirakan telah disusun pada periode 1700–1100 SM.[p] Sastra Weda memusatkan
pemujaan kepada para dewa seperti Indra, Baruna, dan Agni, serta melangsungkan
upacara Soma. Kurban dengan api, yang disebut yadnya (yajña) dilaksanakan dengan
merapalkan mantra-mantra Weda.[271][272]Sastra Weda dikodifikasi ketika bangsa Indo-
Arya mulai menduduki dataran India Utara yang subur, kemudian melakukan transisi
dari masyarakat penggembala menuju masyarakat agraris, sehingga kebutuhan akan
organisasi yang lebih terstruktur mulai timbul. Masyarakat baru tersebut melibatkan
penduduk yang lebih dahulu bermukim di dataran subur tersebut. Mereka dimasukkan
ke dalam sistem warna menurut bangsa Arya, dengan otoritas politik dan keagamaan
berada di tangan kaum brahmana dan kesatria.[273]
Selama Periode Weda Awal (kr. 1500–1100 SM), suku-suku penganut Weda merupakan
suku penggembala, berkelana di sekitar India sebelah barat laut.[274] Setelah 1100 SM,
seiring ditemukannya besi, suku-suku penganut Weda berpindah ke dataran India Utara
sebelah barat, dan mengadaptasi gaya hidup agraris.[275][276] Bentuk-bentuk wilayah
berdaulat yang belum sempurna mulai muncul, dan yang paling menonjol atau
berpengaruh adalah kerajaan suku Kuru.[266][277] Kerajaan tersebut merupakan ikatan
kesukuan, yang kemudian berkembang menjadi masyarakat setingkat negara—yang
pertama kali tercatat dalam sejarah Asia Selatan—sekitar 1000 M.[266] Secara terang-
terangan, mereka mengubah warisan budaya dari Periode Weda sebelumnya,
mengumpulkan himne-himne Weda menjadi suatu himpunan, dan mengembangkan
upacara-upacara baru yang menonjol dalam peradaban India sebagai upacara-
upacara srauta,[266] yang berkontribusi bagi "sintesis klasik" atau "sintesis Hindu".[273][48]
Pada abad ke-9 dan ke-8 SM terjadi penyusunan kitab-
kitab Upanishad tertua.[278] Upanishad membentuk suatu dasar teoretis bagi Hinduisme
Klasik dan dikenal sebagai Wedanta (kesimpulan dari Weda).[279] Kitab-
kitab Upanishad kuno menangkal intensitas upacara-upacara yang kian
bertambah.[280] Spekulasi monistis yang beragam dari ajaran Upanishad disintesiskan
menjadi suatu kerangka teistis dalam kitab suci Hindu Bhagawadgita.[281]
Etika dalam kitab-kitab Weda berdasarkan konsep satya dan reta. Satya adalah
prinsip integrasi yang berakar pada kemutlakan. Reta adalah ungkapan dari satya, yang
meregulasi dan mengkoordinasi jalannya alam semesta beserta segala sesuatu di
dalamnya.[282]Kesesuaian dengan reta akan memungkinkan sesuatu berjalan
sebagaimana mestinya, sedangkan penyimpangan akan mengakibatkan hal yang tidak
diinginkan.[283] Istilah dharma sudah digunakan dalam filsafat-filsafat Brahmanis, yang
dipandang sebagai aspek dari reta.[284] Istilah reta juga dikenal dalam agama Proto-Indo-
Iran, yaitu agama orang-orang Indo-Iran sebelum kehadiran kitab-kitab Weda (Indo-
Aryan) dan Zoroastrianisme (Iran). Asha (aša) adalah istilah dalam bahasa Avesta yang
mirip dengan ṛta dalam Weda.[285]
Kitab-kitab Weda merupakan pustaka bagi golongan atas, dan tidak semata-mata
mengungkapkan gagasan atau praktik yang populer.[286] Agama berbasis Weda pada
periode selanjutnya hadir berdampingan dengan agama-agama lokal—seperti
pemujaan Yaksa[273][287][288]—dan ia sendiri merupakan hasil dari campuran antara
kebudayaan Indo-Arya dengan Harrapa.[52]
Reformisme Asketis[sunting | sunting sumber]

Mahavira

Siddhartha Gautama
Dua tokoh terkemuka dari golongan Sramana, tradisi yang tidak mengakui kewenangan
sastra Weda. Di kemudian hari, Mahavira menjadi figur utama dalam Jainisme, sedangkan
Siddhartha Gautama dalam Buddhisme.

Artikel utama: Sramana


Peningkatan urbanisasi di India pada abad ke-7 dan ke-6 SM telah mendukung
terjadinya gerakan asketis atau Sramana yang menentang fanatisme terhadap berbagai
upacara.[289] Mahavira (kr. 549–477 SM, pemuka Jainisme) dan Buddha
Gautama (kr. 563–483 SM, penggagas tradisi Buddhisme) adalah tokoh-tokoh
terkemuka dalam gerakan tersebut.[290] Menurut Heinrich Zimmer, Jainisme dan
Buddhisme adalah bagian dari warisan kebudayaan pra-Weda, yang juga
meliputi Samkhya dan Yoga:
Jainisme tidak berasal dari sumber-sumber [budaya] Brahman-Arya,[q] tetapi
mencerminkan kosmologi dan antropologi masyarakat kuno pra-Arya golongan
atas [yang tinggal] di India bagian timur laut – dengan berpangkal pada dasar-
dasar yang sama tentang spekulasi metafisis kuno seperti Yoga, Sankhya, dan
Buddhisme, yaitu ajaran-ajaran India lainnya yang tidak berbasis Weda.[r][291][292]
Dalam suatu bagian, tradisi Sramana mengajarkan konsep siklus kelahiran dan
kematian (siklus reinkarnasi), konsep samsara, dan konsep pencarian kebebasan (dari
reinkarnasi tersebut), yang menjadi karakteristik Hinduisme.[293]
James B. Pratt dalam bukunya The Pilgrimage of Buddhism and a Buddhist
Pilgrimage menulis bahwa Oldenberg (1854–1920), Neumann (1865–1915),
dan Radhakrishnan (1888–1975) percaya bahwa Tripitaka Buddhis mendapat pengaruh
dari kitab-kitab Upanishad, sedangkan la Vallee Poussin menyatakan ketiadaan
pengaruh apa pun, dan ahli lainnya menegaskan bahwa pada bagian-bagian tertentu,
Sang Buddha menyatakan antitesis secara langsung kepada Upanishad.[294]

Hinduisme Klasik[sunting | sunting sumber]


Periode Hinduisme Klasik diawali dengan periode Hinduisme Praklasik, dilanjutkan
dengan zaman kejayaan Hindu pada masa Dinasti Gupta, lalu ditutup dengan periode
Hinduisme Klasik Akhir. Periode Hinduisme Klasik ini disusul dengan kedatangan
agama Islam ke Asia Selatan, lalu diikuti dengan pendirian aliran atau sekte dalam
agama Hindu.
Hinduisme Praklasik[sunting | sunting sumber]
Pada periode dari 500[48] hingga 200 SM,[295] dan kr. 300 M, terjadi "sintesis
Hindu",[48] yang menyerap pengaruh-pengaruh Sramana dan Buddha,[295][296] serta
kemunculan tradisi bhakti dalam balutan Brahmanisme melalui
pustaka Smerti.[297] Sintesis ini timbul di bawah tekanan perkembangan agama Buddha
dan Jainisme.[58]
Menurut Embree, beberapa tradisi keagamaan lainnya hadir berdampingan dengan
agama berbasis Weda. Agama-agama pribumi tersebut akhirnya menemukan tempat di
bawah naungan agama Weda.[298] Ketika Brahmanisme mulai kehilangan
pamornya[242] dan harus bersaing dengan Buddhisme dan Jainisme,[297] agama-agama
yang populer mendapat kesempatan untuk menonjolkan ajarannya.[298] Menurut
Embree:
Para Brahmanis tampaknya bergiat untuk memperluas perkembangan
[agamanya] sebagai maksud untuk menghadapi gempuran aliran-aliran yang
lebih heterodoks. Pada saat yang sama, di kalangan agama-agama pribumi
yang ada, kesetiaan terhadap kewenangan sastra Weda telah memberikan
suatu tali persatuan yang tipis—namun begitu signifikan—di antara
kemajemukan dewa-dewi dan praktik keagamaan [yang ada].[s][298]
Menurut Larson, para brahmana menanggapinya dengan asimilasi dan konsolidasi. Hal
tersebut tercerminkan dalam pustaka Smerti yang mulai disusun pada periode
itu.[299] Kitab-kitab Smerti dari periode 200 SM–100 M mempermaklumkan
kewenangan Weda, sehingga pengakuan terhadap kewenangan Weda menjadi kriteria
utama untuk membedakan Hinduisme dengan aliran heterodoks yang
menolak Weda.[300] Sebagian besar gagasan dasar dan praktik Hinduisme Klasik berasal
dari pustaka Smerti, yang kemudian menjadi inspirasi dasar bagi kebanyakan umat
Hindu.[299]
Dua wiracarita India terkemuka—Ramayana dan Mahabharata—yang tergolong ke
dalam Smerti, disusun dalam periode panjang selama akhir zaman Sebelum Masehi dan
awal zaman Masehi.[301] Pustaka tersebut mengandung cerita mitologis tentang para
pemimpin dan peperangan pada zaman India Kuno, dan diselingi dengan filsafat dan
ajaran agama. Sastra Purana yang disusun pada masa berikutnya mengandung cerita
tentang para dewa-dewi, interaksi mereka dengan manusia, dan pertempuran mereka
melawan para rakshasa. Kitab Bhagawadgita memperkuat keberhasilan[302] konsolidasi
agama Hindu,[302] dengan memadupadankan gagasan-gagasan Brahmanis dan
Sramana menjadi suatu kebaktian yang teistis.[302][303][304]
Pada awal zaman Masehi, beberapa mazhab filsafat Hindu dikodifikasikan secara
formal, meliputi Samkhya, Yoga, Nyaya, Waisesika, Purwamimamsa, dan Wedanta.[305]
"Zaman Kejayaan"[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Kemaharajaan Gupta
Candi Dashavatara di Deogarh, negara bagian Uttar Pradesh, India. Candi ini dibangun
pada abad ke-6, era Dinasti Gupta.

Selama periode ini, kekuasaan atas India disentralisasi, seiring dengan berkembangnya
perdagangan ke negeri yang jauh, standardisasi prosedur legal, dan pemberantasan
buta huruf.[306] Buddhisme aliran Mahayanamenyebar, sedangkan kebudayaan
Brahmana ortodoks mulai disegarkan kembali di bawah perlindungan Dinasti
Gupta,[307] yang dipimpin para raja penganut Waisnawa.[308] Kedudukan para brahmana
diperkuat kembali dan kuil-kuil Hindu mulai didirikan sebagai dedikasi untuk dewa-dewi
Hindu.[306] Selama pemerintahan Dinasti Gupta, sastra Purana mulai ditulis, digunakan
untuk menyebarkan ideologi keagamaan umum di kalangan masyarakat pribumi dan
buta huruf yang menjalani akulturasi.[309] Para raja Gupta melindungi tradisi Purana yang
mulai berkembang demi perbawa wangsa mereka.[308] Hal ini menyebabkan timbulnya
Hinduisme-Puranis (Puranic Hinduism), yang berbeda
dengan Brahmanisme sebelumnya yang mengacu pada Dharmasastra dan Smerti.[309]
Gerakan Bhakti muncul pada periode ini. Gerakan Bhakti merupakan perkembangan
tradisi bhakti yang tumbuh sangat cepat, bermula di Tamil Nadu (India Selatan).
Para Nayanar dari aliran Saiwa (abad ke-4 – ke-10)[310]serta para Alwar dari
aliran Waisnawa (abad ke-3 – ke-9) menyebarkan puisi dan tradisi bhakti ke berbagai
penjuru India dari abad ke-12 hingga ke-18.[311][310]
Menurut P.S. Sharma, periode Gupta dan Harsha membentuk—dari segi intelektual—
kurun waktu paling gemilang dalam perkembangan filsafat India, ketika filsafat Hindu
dan Buddha tumbuh subur secara berdampingan.[312] Carwaka,
mazhab materialisme ateistis, tampil di India Utara sebelum abad ke-8.[313]
Hinduisme Klasik Akhir[sunting | sunting sumber]
Setelah runtuhnya kemaharajaan Gupta dan Harsha, kekuasaan di India
mengalami desentralisasi. Beberapa kerajaan besar mulai berdiri, dengan negeri
taklukan yang sangat banyak. Kerajaan-kerajaan tersebut dipimpin dengan
sistem feodal. Kerajaan yang lebih kecil bergantung pada kerajaan yang lebih besar.
Maharaja sulit dijangkau, sangat diagungkan dan didewakan,[314] sebagaimana yang
digambarkan dalam mandala Tantra, dan kadangkala raja digambarkan sebagai pusat
mandala.[315]
Perpecahan kekuasaan pusat juga mengarah kepada regionalisasi religiositas, serta
persaingan religius.[316] Kultus dan bahasa lokal lebih diutamakan, dan pengaruh
Hinduisme-Brahmanis ritualistis (ritualistic Brahmanic Hinduism) berkurang.[316] Gerakan
rakyat dan kebaktian mulai bermunculan, seiring dengan [tumbuhnya]
aliran Saiwa, Waisnawa, Bhakti, dan Tantra, meskipun pengelompokan menurut sekte
hanya terjadi saat permulaan perkembangan aliran-aliran tersebut.[316] Gerakan
keagamaan berkompetisi untuk memperoleh pengakuan dari penguasa lokal. Agama
Buddha kehilangan pamornya setelah abad ke-8, lalu mulai memudar di India.[316] Hal
tersebut tersirat dari penghentian ritus puja Buddhis di lingkungan istana-istana India
pada abad ke-8, ketika dewa-dewa Hindu menggantikan peran Buddha sebagai
pelindung kerajaan.[317]
Sastra Purana kuno disusun untuk menyebarkan ideologi keagamaan yang awam di
kalangan masyarakat pribumi yang mengalami akulturasi. Seiring dengan dadal yang
dialami Dinasti Gupta, tanah-tanah perawan dikumpulkan oleh para brahmana, yang
tidak hanya menjamin keuntungan agraris dari eksploitasi tanah yang dimiliki para raja,
tetapi juga memberikan status bagi kelas penguasa yang baru.[318] Para brahmana
menyebar ke berbagai penjuru India, berinteraksi dengan warga lokal yang menganut
kepercayaan dan ideologi berbeda. Para brahmana menggunakan Purana untuk
mengajak berbagai klan menjadi masyarakat agraris, serta mengikuti agama dan
ideologi para brahmana.[64] Menurut Flood, para brahmana yang mengikuti agama
berbasis Purana kemudian dikenal sebagai Smarta, artinya orang yang bersembahyang
berdasarkan Smerti, atau Pauranika, yaitu penganut Purana.[319] Kepala suku dan warga
lokal diserap ke dalam sistem warna, demi mengendalikan tindak tanduk kaum
"kesatria dan sudra baru" tersebut.[320]Kelompok-kelompok brahmana semakin besar
dengan mengikutsertakan orang lokal, seperti pendeta dan rohaniwan lokal. Hal ini
mengarah ke stratifikasi bagi kaum brahmana, sehingga ada golongan brahmana yang
memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan brahmana lainnya.[64] Penarapan sistem kasta
lebih sesuai bagi Hinduisme Puranis daripada aliran-aliran Sramana (Buddha atau
Jaina). Pustaka Purana mencantumkan suatu riwayat silsilah yang luas sehingga dapat
memberikan status kesatria baru bagi suatu golongan. Sementara itu, ajaran
Buddha menggambarkan pemerintah sebagai suatu kontrak antara orang yang terpilih
dengan rakyat, dan chakkavatti Buddhis adalah konsep yang berbeda dengan model
penaklukkan yang dilakukan para kesatria dan kaum Rajput Hindu.[320]

Lukisan Kresna sebagai Gowindaatau "pelindung para sapi", dari abad ke-19.

Brahmanisme berdasarkan pustaka Dharmasastra dan Smerti mengalami transformasi


radikal di tangan para penyusun Purana, mengakibatkan munculnya Hinduisme Puranis
(Puranic Hinduism),[309] bagaikan "raksasa" yang melangkahi "cakrawala keagamaan",
yang kemudian melintangi segala agama-agama yang ada.[321] Hinduisme Puranis
merupakan sistem kepercayaan yang terdiri dari banyak bagian yang tumbuh dan
meluas dengan menyerap dan memadukan gagasan-gagasan bertentangan dan
berbagai tradisi pemujaan.[321] Agama ini berbeda dengan Smarta yang menjadi
pangkalnya. Perbedaan itu terletak pada ketenaran, pluralisme teologis, pluralisme
sekte, pengaruh Tantra, dan pengutamaan bhakti.[321]
Banyak kepercayaan dan tradisi lokal yang diasimilasi ke dalam Hinduisme
Puranis. Wisnu dan Siwa tampil sebagai dewa yang utama, berdampingan
dengan Sakti/Dewi. Pemujaan kepada Wisnu akhirnya menimbulkan
kultus Narayana, Jagatnata, Wenkateswara, dan lain-lain. Menurut Nath:
Beberapa inkarnasi Wisnu seperti Matsya, Kurma, Waraha, dan
bahkan Narasinga membantu pemaduan simbol-simbol totem populer dan mitos
penciptaan, khususnya yang berkaitan dengan babi hutan, yang umumnya
meresapi mitologi [masyarakat] prapustaka, sedangkan [inkarnasi] lainnya
seperti Kresna dan Balarama menjadi alat untuk mengasimilasi kultus dan mitos
lokal yang berpusat pada dewa-dewa pedesaan dan pertanian.[t][322]
Rama dan Kresna menjadi pujaan utama dalam tradisi bhakti, yang terutama
diungkapkan dalam Bhagawatapurana. Tradisi pemujaan Kresna melibatkan beberapa
kultus berbasis naga, yaksa, bukit, dan pepohonan.[323] Siwa menyerap kultus-kultus
lokal dengan menambahkan kata Isa atau Iswara pada nama dewa-dewa lokal,
contohnya Buteswara, Hatakeswara, Candeswara.[324] Dalam lingkungan keluarga raja
pada abad ke-8, puja terhadap Buddha mulai tergantikan oleh puja terhadap dewa-dewi
Hindu. Pada periode itu pula, Buddha dimasukkan sebagai salah
satu awatara Wisnu.[325]
Mazhab Adwaita Wedanta yang non-dualistis—yang mendapat pengaruh agama
Buddha[326]—dirumuskan kembali oleh Adi Shankara dengan membuat sistematisasi
karya-karya para filsuf pendahulunya.[327] Pada masa kini, karena
pengaruh Orientalisme Barat dan Perenialisme terhadap Neo-Wedanta India
dan nasionalisme Hindu,[328] Adwaita Wedanta mendapatkan sambutan yang luas dalam
kebudayaan India dan di luar India sebagai contoh paradigmatis dari spiritualitas
Hindu.[328]

Kehadiran Islam dan sekte Hindu[sunting | sunting sumber]


Informasi lebih lanjut: Penaklukan India oleh Muslim

Reruntuhan Candi Somnath pada tahun 1869. Candi ini pernah didirikan dan dihancurkan berkali-
kali selama periode penaklukan India oleh Muslim, sampai akhirnya dipugar pada tahun 1951.

Meskipun Islam sudah datang ke India sejak awal abad ke-7 (seiring dengan
kedatangan para pedagang Arab dan penaklukan Sindhu), agama tersebut menjadi
agama utama selama periode penaklukan Islam di Asia Selatan pada masa
selanjutnya.[329] Pada periode tersebut, agama Buddha memudar secara drastis, dan
banyak umat Hindu pindah agama ke Islam.[330][331] Banyak penguasa muslim beserta
panglimanya, seperti Aurangzeb dan Malik Kafur yang menghancurkan tempat ibadah
umat Hindu dan menindas kaum non-muslim;[332][333] akan tetapi, beberapa penguasa
muslim seperti Akbar bersikap lebih toleran.
Agama Hindu mengalami reformasi besar-besaran karena pengaruh
Guru Ramanuja yang terkemuka, serta Guru Madhwa, dan
Sri Caitanya.[329] Pengikut gerakan Bhakti beralih dari konsep Brahman yang abstrak—
yang dianjurkan oleh filsuf Adi Shankara berabad-abad sebelumnya—dengan tradisi
kebaktian yang lebih bersemangat terhadap pemujaan para awatara yang lebih mudah
dibayangkan, terutama Kresna dan Rama.[334]Menurut Nicholson, antara abad ke-
17 dan ke-16, beberapa cendekiawan tertentu mulai menarik benang merah pada
kanekaragaman ajaran filosofis dalam Upanishad, wiracarita, Purana, dan mazhab
filsafat yang dikenal sebagai "enam sistem" (saddarsana) dari filsafat Hindu yang
umum.[335] Lorenzen menentukan bahwa asal mula identitas ke-Hindu-an yang khas
berawal dari interaksi antara muslim dan umat Hindu,[86] dan dari suatu proses pencarian
jati diri yang membedakan diri dengan muslim,[336] yang sudah dimulai sebelum 1800-
an.[87] Baik cendekiawan India ataupun Eropa—yang mempopulerkan istilah "Hinduisme"
pada abad ke-19—telah mendapat pengaruh dari filsafat tersebut.[26] Michaels
menggarisbawahi bahwa historisasi muncul sebelum nasionalisme di kemudian hari,
yang menyuarakan gagasan kejayaan agama Hindu dan masa lampau.[88]

Hinduisme masa kini[sunting | sunting sumber]


Di tengah kekuasaan British Raj (penjajahan Inggris atas India), Renaisans Hindu mulai
bangkit pada abad ke-19, yang memberi perubahan besar bagi pemahaman akan
agama Hindu, baik di India ataupun di Barat.[13] Indologi (disiplin ilmiah tentang kajian
kebudayaan India dari sudut pandang Eropa) didirikan pada abad ke-19, dipimpin oleh
para ahli seperti Max Müller dan John Woodroffe. Mereka memboyong filsafat dan
pustaka Weda, Purana, dan Tantra ke Eropa. Para orientalis mencari-cari "hakikat"
agama-agama di India, dan menemukannya pada pustaka Weda,[337] sambil membuat
gagasan bahwa "Hinduisme" adalah suatu kesatuan dari berbagai adat keagamaan dan
gambaran populer mengenai ‘India yang mistis’.[338][13] Gagasan tersebut diambil alih
oleh beberapa gerakan reformasi Hindu seperti Brahmo Samaj, yang didukung untuk
sesaat oleh Gereja Unitarian,[339] bersama dengan
gagasan Universalisme dan Perenialisme, yaitu gagasan bahwa seluruh agama memiliki
dasar mistisisme yang sama.[340] "Modernisme Hindu", dengan tokoh terkemuka
seperti Vivekananda, Aurobindo, serta Radhakrishnan menjadi panutan dalam
pemahaman populer mengenai agama Hindu.[341][342][343][344]
Tokoh Hindu yang berpengaruh pada abad ke-20 adalah Ramana Maharshi, B.K.S.
Iyengar, Paramahansa Yogananda, Swami Prabhupada (pendiri ISKCON), Sri Chinmoy,
dan Swami Rama, yang menerjemahkan, merumuskan ulang, dan memperkenalkan
pustaka dasar agama Hindu bagi khalayak awam masa kini dengan imla yang baru,
mengangkat pandangan tentang Yoga dan Wedanta di Dunia Barat, serta menarik
pengikut baru dan perhatian masyarakat di India dan negara lainnya.
Pada abad ke-20, agama Hindu juga mendapatkan keunggulan sebagai kekuatan politis
dan acuan bagi jati diri bangsa India. Sejak pendirian Hindu Mahasabha pada 1910-an,
banyak gerakan bertumbuh dengan perumusan dan perkembangan
ideologi Hindutva pada dekade-dekade berikutnya; pendirian Rashtriya Swayamsevak
Sangh (RSS) pada tahun 1925; dan percabangan RSS—yang kemudian berhasil—
yaitu Jana Sangha dan Bharatiya Janata Party (BJP) dalam politik pemilu pada masa
pascakemerdekaan India.[345]Religiositas Hindu juga memainkan peran penting dalam
gerakan nasionalis.[346]

Pranata[sunting | sunting sumber]


Caturwarna[sunting | sunting sumber]
Sekelompok pendeta Hindu suku Tengger, Jawa Timur. Foto dari tahun 1910-an.

Artikel utama: Warna dalam agama Hindu


Masyarakat Hindu dikategorikan menjadi empat kelas, disebut warna, yaitu sebagai
berikut:

 Brahmana: pendeta dan guru kerohanian


 Kesatria: bangsawan, pejabat, dan tentara
 Waisya: petani, pedagang, dan wiraswasta
 Sudra: pelayan dan buruh
Kitab Bhagawadgita menghubungkan warna dengan kewajiban seseorang (swadharma),
pembawaan (swabhāwa), dan kecenderungan alamiah (guṇa).[84] Berdasarkan
pengertian warna menurut Bhagawadgita, tokoh spiritual Hindu Sri Aurobindo membuat
doktrin bahwa pekerjaan seseorang semestinya ditentukan oleh bakat dan kapasitas
alaminya.[347][348] Dalam kitab Manusmerti terdapat pengelompokan kasta-kasta yang
berbeda.[349]
Mobilitas dan fleksibitas dalam warna menampik dugaan diskriminasi sosial dalam
sistem kasta, sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa sosiolog,[350][351] meskipun
beberapa ahli tidak sependapat.[352] Para ahli memperdebatkan apakah sistem
kasta merupakan bagian dari Hinduisme yang diatur oleh kitab suci, ataukah sekadar
adat masyarakat.[353][354][u] Berbagai ahli berpendapat bahwa sistem kasta dibangun
oleh rezim kolonial Britania.[356] Menurut guru rohani Hindu Sri Ramakrishna (1836–
1886):
Para pencinta Tuhan tidak tergolong dalam kasta tertentu … Seorang brahmana
tanpa cinta pada Tuhan bukanlah brahmana lagi. Dan seorang paria tanpa cinta
pada Tuhan bukanlah paria lagi. Melalui bhakti (pengabdian kepada Tuhan),
seorang hina dina dapat menjadi suci dan derajatnya pun meningkat.[357]
Menurut sastra Wedanta, orang yang berada di luar warna disebut "warnatita". Para ahli
seperti Adi Sankara menegaskan bahwa tidak hanya Brahman yang melampaui seluruh
warna, namun seseorang yang dapat bersatu dengan-Nya juga dapat melampaui
seluruh perbedaan dan pembatasan kasta-kasta.

Jenjang kehidupan[sunting | sunting sumber]

Upacara pernikahan umat Hindu menurut adat di Orissa, India.

Artikel utama: Caturasrama


Secara tradisional, kehidupan umat Hindu terbagi menjadi
empat āśrama atau caturasrama (empat fase atau empat tahapan). Bagian pertama
dalam kehidupan seseorang adalah Brahmacari, yaitu masa menuntut ilmu. Tahap ini
dilaksanakan sebelum masa kawin, untuk dapat berkontemplasi secara murni dan
bijaksana di bawah bimbingan Guru, demi membangun pikiran dan fondasi spiritual.
Tahap berikutnya adalah Grehasta, yaitu tahap membangun kehidupan rumah tangga,
dilaksanakan dengan cara menikah dan memenuhi kāma (kenikmatan indria)
dan arta (kemakmuran). Setelah berumah tangga, kewajiban moral yang dilaksanakan
meliputi: mengasuh anak, merawat orang tua, menghormati tamu dan orang suci.
Setelah berumah tangga dalam jangka waktu tertentu, umat Hindu kemudian menempuh
tahap Wanaprasta, yaitu masa pensiun atau masa melepaskan diri dari kesibukan
duniawi. Tahap ini dapat dilaksanakan dengan cara menyerahkan tanggung jawab
kepada keturunan, agar pensiunan mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk
melakukan aktivitas keagamaan dan mengunjungi tempat-tempat suci. Tahap yang
terakhir adalah Sannyasa, yaitu masa menghabiskan sisa hidup dengan melakukan tapa
brata, atau berusaha melepaskan diri dari ikatan duniawi. Pelepasan tersebut dilakukan
dalam rangka menemukan Tuhan, serta untuk mencari cara meninggalkan tubuh fana
secara damai, agar mencapai suatu kondisi yang disebut moksa.[358]

Praktik keagamaan[sunting | sunting sumber]


Praktik keagamaan Hindu biasanya bertujuan untuk mencari kesadaran akan Tuhan,
dan kadangkala mencari anugerah dari para dewa. Maka dari itu, ada beragam praktik
keagamaan dalam tubuh Hinduisme yang dimaksudkan untuk membantu seseorang
dalam upaya memahami Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.

Persembahyangan[sunting | sunting sumber]

Seorang praktisi Bhaktiyoga sedang bermeditasi.

Dalam banyak praktik keagamaan dan ritual, umat Hindu biasanya


mengucapkan mantra. Mantra adalah seruan, panggilan, atau doa yang membantu umat
Hindu agar dapat memusatkan pikiran kepada Tuhan atau dewa tertentu, melalui kata-
kata, suara, dan cara pelantunan. Pada pagi hari, di tepi sungai yang dikeramatkan,
banyak umat Hindu yang melaksanakan upacara pembersihan sambil
melantunkan Gayatri Mantra atau mantra-
mantra Mahamrityunjaya.[359] Wiracarita Mahabharata mengagungkan japa (lagu-lagu
pujaan) sebagai kewajiban terbesar pada masa Kaliyuga (zaman sekarang, 3102 SM–
kini).[360] Banyak aliran yang mengadopsi japasebagai praktik spiritual yang utama.[360]
Praktik spiritual Hindu yang cukup populer adalah Yoga. Yoga merupakan ajaran Hindu
yang gunanya melatih kesadaran demi kedamaian, kesehatan, dan pandangan spiritual.
Hal ini dilakukan melalui seperangkat latihan dan pembentukan posisi tubuh untuk
mengendalikan raga dan pikiran.[361]
Bhajan merupakan praktik pelantunan lagu-lagu pujian. Praktik ini memiliki bentuk
beragam: dapat berupa mantra semata atau kirtan, atau
berupa dhrupad atau kriti dengan musik berdasarkan raga dan tala menurut musik klasik
India.[362] Biasanya, bhajan mengandung syair untuk mengungkapkan cinta kepada
Tuhan. Istilah tersebut sepadan dengan bhakti yang artinya "pengabdian religius",
menyiratkan pentingnya bhajan bagi gerakan bhakti yang menyebar dari India bagian
selatan ke seluruh subkontinen India pada masa Moghul.
Penggalan cerita dari kitab suci, ajaran para orang suci, serta deskripsi para dewa telah
menjadi subjek bagi pelaksanaan bhajan.
Tradisi dhrupad, qawwali Sufi,[363] dan kirtan atau lagu dalam tradisi Haridasi berkaitan
dengan bhajan. Nanak, Kabir, Meera, Narottama Dasa, Surdas, dan Tulsidas adalah
para pujangga bhajan terkemuka. Tradisi dalam bhajan seperti Nirguni, Gorakhanathi,
Vallabhapanthi, Ashtachhap, Madhura-bhakti, dan Sampradya Bhajan dari India Selatan
memiliki repertoar dan cara pelantunan masing-masing.

Upacara[sunting | sunting sumber]


Upacara choroonu (nama lain dari annaprashan) di Kerala.

Banyak umat Hindu dari berbagai aliran yang melaksanakan ritual keagamaan sehari-
hari.[364][365] Banyak umat Hindu yang melaksanakannya di rumah,[366] tetapi
pelaksanaannya berbeda-beda tergantung daerah, desa, dan kecenderungan umat itu
sendiri. Umat Hindu yang saleh melaksanakan ritual sehari-hari seperti sembahyang
subuh sehabis mandi (biasanya di kamar suci/tempat suci keluarga, dan biasanya juga
diiringi dengan menyalakan pelita serta menghaturkan sesajen ke hadapan arca dewa-
dewi), membaca kitab suci berulang-ulang, menyanyikan lagu-lagu pemujaan, meditasi,
merapalkan mantra-mantra, dan lain-lain.[366] Ciri menonjol dalam ritual keagamaan
Hindu adalah pembedaan antara yang murni dan sudah tercemar. Ada aturan yang
mengisyaratkan bagaimana kondisi-kondisi yang dikatakan tercemar atau tak murni lagi,
sehingga pelaksana upacara harus melakukan pembersihan atau pemurnian kembali
sebelum upacara dimulai. Maka dari itu, penyucian—biasanya dengan air—menjadi ciri
umum dalam kebanyakan aktivitas keagamaan Hindu.[366] Ciri lainnya meliputi
kepercayaan akan kemujaraban upacara dan konsep pahala yang diperoleh melalui
kemurahan hati atau keikhlasan, yang akan bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu
sehingga mengurangi penderitaan di kehidupan selanjutnya.[366]
Ritus dengan sarana api (yadnya) kini tidak dilakukan sesering mungkin, meskipun
pelaksanaannya sangat diagungkan dalam teori. Akan tetapi, dalam upacara pernikahan
dan pemakaman adat Hindu, pelaksanaan yadnya dan perapalan mantra-
mantra Weda masih disesuaikan dengan norma.[367] Beberapa upacara juga berubah
seiring berjalannya waktu. Sebagai contoh, pada masa beberapa abad yang lalu,
persembahan tarian dan musik sakral menurut kaidah Sodasa Upachara yang standar—
sebagaimana tercantum dalam Agamashastra—tergantikan oleh persembahan dari nasi
dan gula-gula.
Peristiwa seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian melibatkan seperangkat tradisi
Hindu yang terperinci. Dalam agama Hindu, upacara bagi "siklus kehidupan"
meliputi Annaprashan (ketika bayi dapat memakan makanan yang keras untuk pertama
kalinya), Upanayanam (pelantikan anak-anak kasta menengah ke atas saat mulai
menempuh pendidikan formal), dan Śrāddha (upacara menjamu orang-orang dengan
makanan karena bersedia melantunkan doa-doa kepada "Tuhan" agar jiwa mendiang
mendapatkan kedamaian).[368][369] Untuk perihal pernikahan, bagi sebagian besar
masyarakat India, masa pertunangan pasangan muda-mudi serta tanggal dan waktu
pernikahan ditentukan oleh para orang tua dengan konsultasi ahli
perbintangan.[368] Untuk perihal kematian, kremasi merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh kerabat mendiang, kecuali bila mendiang adalah sanyasin, hijra, atau
anak di bawah lima tahun. Biasanya, kremasi dilakukan dengan membungkus jenazah
dengan pakaian terlebih dahulu, lalu membakarnya dengan api unggun.

Ahimsa[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Ahimsa

Mahatma Gandhi adalah tokoh Hindu dari India yang memilih untuk menerapkan praktik
ahimsa dalam upaya menentang pemerintah kolonial Inggris pada masa Gerakan
Kemerdekaan India.

Umat Hindu menganjurkan praktik ahimsa (ahiṃsā; artinya "tanpa kekerasan") dan
penghormatan kepada seluruh bentuk kehidupan karena mereka meyakini bahwa
"percikan dari Tuhan" juga meresap ke dalam setiap makhluk hidup, termasuk tumbuhan
dan hewan.[370] Istilah ahimsa disebutkan dalam kitab-kitab Upanishad[371] dan
wiracarita Mahabharata. Ahimsa adalah yang pertama di antara
lima yama (pancayamabrata; lima prinsip pengendalian diri)
dalam Yogasutra Patanjali,[372] dan menjadi prinsip pertama bagi seluruh
anggota Warnasramadarma (brahmana, kesatria, waisya, dan sudra)
menurut Manusmerti.[373]
Konsep ahimsa dalam Hinduisme tidak seketat agama Buddha dan Jainisme, karena
jejak keberadaan praktik-praktik pengorbanan dapat ditelusuri dalam kitab-kitab Weda,
contohnya mantra-mantra untuk kurban kambing (dalam Regweda),[374] kurban kuda
(Aswameda, dalam Yajurweda), dan kurban manusia (Purusameda,
dalam Yajurweda),[375] sedangkan dalam ritus Jyotistoma ada tiga hewan yang
dikurbankan melalui upacara yang masing-masing disebut Agnisomiya, Sawaniya,
dan Anubandya. Yajurweda dianggap sebagai Weda pengorbanan dan
ritual,[376][377] serta menyebutkan beberapa ritus pengurbanan hewan, contohnya mantra
dan prosedur pengurbanan kambing putih kepada Bayu,[378] seekor anak lembu
kepada Saraswati, seekor sapi bertutul kepada Sawitr, seekor banteng kepada Indra,
seekor sapi yang dikebiri kepada Baruna, dan lain-lain.[379]
Tanggapan yang menentang pelaksanaan kurban datang dari aliran Carwaka yang
menuliskan kritik mereka dalam Barhaspatyasutra (abad ke-3 SM) sebagai berikut:
"Jika hewan yang dikurbankan dalam ritus Jyotistoma akan segera mencapai
surga,
mengapa si pelaksana tidak segera mengurbankan ayahnya saja?"[380]
Pada masa perkembangan Hinduisme dan Buddhisme di India, para raja Buddhis
seperti Ashoka memengaruhi rakyatnya dengan larangan pelaksanaan kurban.[375] Pada
masa pemerintahan Ashoka, sebuah titah diberlakukan dan dituliskan pada sebuah
batu, dengan kata-kata sebagai berikut:
"Ini adalah titah dari orang yang disayangi para dewa, Raja Piyadasi. Tindak
pembunuhan kepada hewan tidak boleh dilakukan untuk seterusnya."[375]
Dari sini, reaksi sosial berkenaan dengan kitab tata cara pengorbanan (Brahmana)
dapat ditelusuri.[375] Menurut Panini, ada dua macam Brahmana, yaitu Brahmana
Lama dan Brahmana Baru.[375] Dalam Brahmana Lama—seperti Aitareya
Brahmana untuk Regweda—pengorbanan benar-benar dilakukan, namun dalam
Brahmana Baru seperti Shatapatha Brahmana, hewan kurban dilepaskan setelah terikat
pada tiang pengorbanan.[375] Hal ini merupakan reaksi dari kebangkitan agama-
agama Sramana—seperti agama Buddha dan Jainisme—yang berakibat pada peletakan
konsep ahimsa di kalangan praktisi kitab Brahmana.
Vegetarianisme[sunting | sunting sumber]

Masakan vegetarian khas India Utara yang disajikan di suatu restoran di Tokyo, Jepang.

Sesuai dengan konsep ahimsa, maka banyak umat Hindu yang


mengikuti vegetarianisme (tidak makan daging) demi menghormati bentuk kehidupan
yang tingkatannya tinggi. Sejumlah umat justru pantang makan daging hanya pada hari-
hari tertentu. Budaya makan juga bervariasi sesuai komunitas dan kawasan. Sebagai
contoh, beberapa kasta memiliki sedikit penganut vegetarianisme, sedangkan
masyarakat pesisir cenderung bergantung kepada masakan laut.[381][382] Perkiraan
jumlah lakto-vegetarian di India (mencakup umat seluruh agama di sana) bervariasi
antara 20% dan 42%.[v]
Dalam agama Hindu, kemurnian makanan bersifat sangat penting karena ada keyakinan
bahwa makanan mencerminkan tiga kualitas sifat (triguna) yang umum, yaitu: kesucian
(satwam), semangat (rajas), dan kelambanan (tamas). Maka dari itu, aturan makan yang
sehat akan menjadi sesuatu yang turut membersihkan hati seseorang.[383] Berdasarkan
alasan tersebut, umat Hindu dianjurkan untuk menghindari atau meminimalkan
konsumsi makanan yang tidak meningkatkan kebersihan hati. Beberapa contoh
makanan yang dimaksud adalah bawang merah dan bawang putih, yang diyakini
mengandung sifat rajas (keadaan yang dicirikan oleh sifat suka menentang dan egois),
serta daging (daging dari hewan apa pun), yang diyakini mengandung
sifat tamas (keadaan yang dicirikan oleh kemarahan, kerakusan, dan iri hati).[384]
Vegetarianisme dianjurkan oleh sejumlah aliran Hinduisme—
meliputi Waisnawa dan Saiwa—yang melarang pengorbanan hewan,[385] tetapi tidak
dianjurkan oleh aliran Hinduisme yang mengizinkan pengorbanan hewan.[386] Pada
umumnya, pengorbanan hewan dilakukan oleh umat Hindu dari
aliran Sakta,[387] (beberapa) komunitas Hindu dari golongan sudra dan
kesatria,[388][389] penganut aliran Hinduisme di India Timur,[386]serta penganut aliran
Hinduisme di Asia Tenggara.[390]
Pada umumnya, umat Hindu yang mengonsumsi daging tidak akan mau
memakan daging sapi. Dalam masyarakat Hindu, sapi dipercaya sebagai pengasuh
manusia serta merupakan figur keibuan,[391] dan mereka menghormatinya sebagai
lambang kasih tak bersyarat.[392] Maka dari itu, praktik penyembelihan sapi dilarang
secara resmi di hampir seluruh negara bagian di India.[393]
Pada masa kini, ada banyak kelompok keagamaan Hindu yang menekankan praktik
vegetarianisme yang ketat. Salah satu contoh yang terkenal adalah
gerakan ISKCON (International Society for Krishna Consciousness), yang mewajibkan
pengikutnya untuk tidak hanya pantang makan daging (termasuk ikan dan unggas),
tetapi juga menghindari sayuran/tumbuhan tertentu yang dianggap dapat memberikan
pengaruh negatif, seperti bawang merah, bawang putih,[383] dan jamur.[394] Contoh yang
kedua adalah gerakan Swaminarayan. Pengikut gerakan ini juga sangat setia untuk
tidak mengkonsumsi daging, telur, dan ikan.[395]

Pertapaan[sunting | sunting sumber]

Tiga petapa Hindu di Lapangan Durbar, Kathmandu.

Sejumlah umat Hindu memilih untuk hidup sebagai petapa (Sanyāsa) dalam upaya
mencapai "moksa" ataupun bentuk kesempurnaan spiritual lainnya. Para petapa
berkomitmen untuk hidup sederhana, tidak berhubungan seksual, tidak mencari harta
duniawi, serta berkontemplasi tentang Tuhan.[396] Petapa Hindu disebut sanyasin, sadu,
atau swāmi, sedangkan yang wanita disebut sanyāsini.
Orang yang melepaskan diri dari ikatan duniawi memperoleh respek yang tinggi dalam
masyarakat Hindu karena egoisme dan ikatan duniawi yang mereka lepaskan menjadi
inspirasi bagi umat yang masih berkeluarga untuk berjuang dalam pengendalian pikiran.
Beberapa petapa tinggal di tempat suci atau asrama, sedangkan yang lainnya berkelana
dari satu tempat ke tempat lain dengan keyakinan bahwa hanya Tuhan yang dapat
memenuhi keinginan mereka.[397] Bagi umat Hindu awam, menyediakan makanan dan
kebutuhan untuk para petapa atau sadu merupakan jasa yang sangat besar. Sebaliknya,
para sadu menerimanya dengan rasa hormat dan simpati—tanpa memedulikan orang
miskin atau kaya, baik atau jahat—tanpa perlu memuji, mencela, menunjukkan rasa
senang, ataupun sedih.[396]

Tempat suci[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Tempat suci Hindu
Tempat suci atau tempat peribadatan umat Hindu pada umumnya disebut kuil. Beberapa
istilah lokal untuk menyebut tempat suci Hindu
meliputi candi, pura, mandir, devasthana, ksetram, dharmakshetram, koil, deula, wat,
dan bale keramat. Pembangunan kuil dan tata cara persembahyangan diatur dalam
beberapa kitab berbahasa Sanskerta yang disebut Agama, yang berhubungan dengan
dewa-dewi individual. Ada perbedaan substansial dalam arsitektur, adat, ritual, dan
tradisi mengenai kuil di berbagai wilayah India.[398]
Umat Hindu dapat menyelenggarakan puja (persembahyangan atau kebaktian) di rumah
atau kuil. Untuk peribadatan di rumah, biasanya umat Hindu membuat kamar suci atau
kuil kecil dengan ikon atau altar yang didedikasikan bagi dewa atau dewi tertentu
(istadewata), misalnya Kresna, Ganesa, Durga, dewa-dewi lokal, atau entitas lainnya
yang dihormati (misalnya leluhur atau roh pelindung). Umat Hindu melakukan
persembahyangan melalui suatu murti atau pratima, dapat berupa arca, lingga, atau
sesuatu lainnya—sebagai lambang dari dewa yang dipuja—yang disakralkan/disucikan
terlebih dahulu melalui suatu upacara.
Biasanya, bangunan kuil didedikasikan sebagai tempat pemujaan kepada suatu dewa
utama beserta dewa-dewi sekunder yang terkait. Adapula bangunan kuil yang
didedikasikan untuk beberapa dewa sekaligus. Bagi sebagian besar umat Hindu di India,
mengunjungi kuil bukanlah suatu kewajiban,[399] dan banyak umat yang mengunjungi kuil
hanya pada saat ada perayaan/hari raya. Murti atau pratima dalam kuil berperan
sebagai medium antara umat dan Tuhan.[400] Pencitraan murti dianggap sebagai
perwakilan atau manifestasi dari Tuhan, sebab umat Hindu meyakini bahwa Tuhan ada
di mana-mana. Meskipun demikian, ada golongan umat Hindu yang tidak melakukan
persembahyangan dengan murti dalam bentuk apa pun; contoh yang terkemuka adalah
aliran Arya Samaj.

Akshardham, pemegang rekor Guiness sebagai kuil Hindu terbesar di dunia,[401] terletak
di New Delhi

You might also like