You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

Pranata mangsa (bahasa Jawa: ꦥꦿ ꦤꦠꦩꦁꦱ , pranåtåmångså, berarti


"ketentuan musim") adalah semacam penanggalan yang dikaitkan dengan
kegiatan usaha pertanian, khususnya untuk kepentingan bercocok tanam atau
penangkapan ikan. Pranata mangsa berbasis peredaran matahari dan siklusnya
(setahun) berumur 365 hari (atau 366 hari) serta memuat berbagai aspek fenologi
dan gejala alam lainnya yang dimanfaatkan sebagai pedoman dalam kegiatan
usaha tani maupun persiapan diri menghadapi bencana (kekeringan, wabah
penyakit, serangan pengganggu tanaman, atau banjir) yang mungkin timbul pada
waktu-waktu tertentu.

Penanggalan seperti ini juga dikenal oleh suku-suku bangsa lainnya di


Indonesia, seperti etnik Sunda dan etnik Bali (di Bali dikenal sebagai Kerta
Masa). Beberapa tradisi Eropa mengenal pula penanggalan pertanian yang serupa,
seperti misalnya pada etnik Jerman yang mengenal Bauernkalendar atau
"penanggalan untuk petani". sebagai keperluan penelitian dan menandai pada
tahun sebuah mangsa menggunakan angka tahun yang dimulai sejak 560 SM
diambil dari Kelahiran Sang Budha sebagai penghormatan bagi agama yang
pernah berkembang luas di nusantara, sehingga pada tanggal 30 Januari 2015 M
adalah 39 Kapitu 2575 Mangsa.

Bentuk formal pranata mangsa diperkenalkan pada masa Sunan Pakubuwana


VII (raja Surakarta) dan mulai dipakai sejak 22 Juni 1856, dimaksudkan sebagai
pedoman bagi para petani pada masa itu. Perlu disadari bahwa penanaman padi
pada waktu itu hanya berlangsung sekali setahun, diikuti oleh palawija atau padi
gogo. Selain itu, pranata mangsa pada masa itu dimaksudkan sebagai petunjuk
bagi pihak-pihak terkait untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana alam,
mengingat teknologi prakiraan cuaca belum dikenal. Pranata mangsa dalam
bentuk "kumpulan pengetahuan" lisan tersebut hingga kini masih diterapkan oleh

1
sekelompok orang dan sedikit banyak merupakan pengamatan terhadap gejala-
gejala alam.

Terdapat petunjuk bahwa masyarakat Jawa, khususnya yang bermukim di


wilayah sekitar Gunung Merapi, Gunung Merbabu, sampai Gunung Lawu, telah
mengenal prinsip-prinsip pranata mangsa jauh sebelum kedatangan pengaruh dari
India. Prinsip-prinsip ini berbasis peredaran matahari di langit dan peredaran rasi
bintang Waluku (Orion). Di wilayah dengan tipe iklim Am menurut Koeppen ini,
penduduknya menerapkan penanggalan berbasis peredaran matahari dan rasi
bintang sebagai bagian dari keselarasan hidup mengikuti perubahan irama alam
dalam setahun. Pengetahuan ini dapat diperkirakan telah diwariskan secara turun-
temurun sejak periode Kerajaan Medang (Mataram Hindu) dari abad ke-9 sampai
dengan periode Kesultanan Mataram pada abad ke-17 sebagai panduan dalam
bidang pertanian, ekonomi, administrasi, dan pertahanan (kemiliteran).

Perubahan teknologi yang diterapkan di Jawa semenjak 1970-an, berupa


paket intensifikasi pertanian seperti penggunaan pupuk kimia, kultivar berumur
genjah (dapat dipanen pada umur 120 hari atau kurang, sebelumnya memakan
waktu hingga 180 hari), meluasnya jaringan irigasi melalui berbagai bendungan
atau bendung, dan terutama berkembang pesatnya teknik prakiraan cuaca telah
menyebabkan pranata mangsa (dalam bentuk formal versi Kasunanan) kehilangan
banyak relevansi. Isu perubahan iklim global yang semakin menguat semenjak
1990-an juga membuat pranata mangsa harus ditinjau kembali karena dianggap
"tidak lagi dapat dibaca".

Pranata mangsa memiliki latar belakang kosmografi ("pengukuran posisi


benda langit"), pengetahuan yang telah dikuasai oleh orang Austronesia sebagai
pedoman untuk navigasi di laut serta berbagai kegiatan ritual kebudayaan. Karena
peredaran matahari dalam setahun menyebabkan perubahan musim, pranata
mangsa juga memiliki sejumlah penciri klimatologis.

Awal mangsa kasa (pertama) adalah 22 Juni, yaitu saat posisi matahari di
langit berada pada Garis Balik Utara, sehingga bagi petani di wilayah di antara
Merapi dan Lawu saat itu adalah saat bayangan terpanjang (empat pecak/kaki ke

2
arah selatan). Pada saat yang sama, rasi bintang Waluku terbit pada waktu subuh
(menjelang fajar). Dari sinilah keluar nama "waluku", karena kemunculan rasi
Orion pada waktu subuh menjadi pertanda bagi petani untuk mengolah
sawah/lahan menggunakan bajak (bahasa Jawa: waluku).

Panjang rentang waktu yang berbeda-beda di antara keempat mangsa pertama


(dan empat mangsa terakhir, karena simetris) ditentukan dari perubahan panjang
bayangan. Mangsa pertama berakhir di saat bayangan menjadi tiga pecak, dan
mangsa karo (kedua) dimulai. Demikian selanjutnya, hingga mangsa keempat
berakhir di saat bayangan tepat berada di kaki, di saat posisi matahari berada pada
zenit untuk kawasan yang disebutkan sebelumnya (antara Merapi dan Lawu).
Pergerakan garis edar matahari ke selatan mengakibatkan pemanjangan bayangan
ke utara dan mencapai maksimum sepanjang dua pecak di saat posisi matahari
berada pada Garis Balik Selatan (21/22 Desember), dan menandai berakhirnya
mangsa kanem (ke-6). Selanjutnya proses berulang secara simetris untuk mangsa
ke-7 hingga ke-12. Sebuah jam matahari di Gresik yang dibuat pada tahun 1776
secara eksplisit menunjukkan hal ini.Mangsa ke-7 ditandai dengan terbenamnya
rasi Waluku pada waktu subuh. Beberapa rasi bintang, bintang, atau galaksi yang
dijadikan rujukan bagi pranata mangsa adalah Waluku, Lumbung (Gubukpèncèng,
Crux), Banyakangrem (Scorpius), Wuluh (Pleiades), Wulanjarngirim (alpha- dan
beta-Centauri), serta Bimasakti.

Batas-batas eksak tanggal pada pranata mangsa versi Kasunanan merupakan


modifikasi kecil terhadap pranata mangsa yang sudah dikenal sebelumnya yang
didasarkan pada posisi benda-benda langit.

Secara klimatologi, pranata mangsa mengumpulkan informasi mengenai


perubahan musim serta saat-saatnya yang berlaku untuk wilayah Nusantara yang
dipengaruhi oleh angin muson, yang pada gilirannya juga dikendalikan arahnya
oleh peredaran matahari. Awal musim penghujan dan kemarau serta berbagai
pertanda fisiknya yang digambarkan pranata mangsa secara umum sejajar dengan
hasil pengamatan klimatologi. Kelemahan pada pranata mangsa adalah bahwa ia
tidak menggambarkan variasi yang mungkin muncul pada tahun-tahun tertentu

3
(misalnya akibat munculnya gejala ENSO). Selain itu, terdapat sejumlah
ketentuan pada pranata mangsa yang lebih banyak terkait dengan aspek horoskop,
sehingga cenderung tidak logis.

4
5
BAB II

PEMBAHASAN

Jauh sebelum teknologi pertanian diterapkan, nenek moyang bangsa kita


sudah menfenal teknik penanggalan dalam bercocok tanam. Teknik ini
mengajarkan para petani untuk lebih sensitif terhadap perubahan alam yang
terjadi. Alhasil panenan berbagai komoditas yang diusahakan pada masa itu dapat
lebih konsisiten dan memberikan hasil yang memuaskan bagi petani. Tak ayal
kitab Arjunawiwaha juga mengisahkan bagaimana majunya sektor pangan pada
masa itu menjadi salah satu pilar penopang jayanya kerajaan Majapahit.

Kombinasi Ilmu dan Pengalaman

Pranata mangsa adalah sistem penanggalan yang menjadikan alam sebagai


petunjuk tentang apa-apa yang harus petani lakukan dan berikan pada pertanaman.
Sistem ini melatih kecermatan dan kepekaan indra petani untuk mengamati,
merasakan, dan membaca alam. Untuk memahami pranata mangsa indra harus
lihai menanggapi berbagai macam perubahan yang terjadi di alam. Kicau burung,
desir angin, maupun cahaya matahari dapat menjadi petunjuk bagi petani
Penggunaan sistem penanggalan ini adalah sebuah teknologi yang benar-benar
brilian. Kalender pranata mangsa menunjukkan adanya korelasi antara biologi,
kosmologi, klimatologi, dan sosiologi masyarakat pedesaan. Secara langsung,
teknik ini mengharmonisasikan antara manusia dengan alam, persis seperti dasar
konsep ekologi, dimana keberadaan manusia adalah bagian penting dalam sebuah
ekosistem yang patut mengerti bagaimana alam, seperti apa kondisi alam, dan apa
yang harus dilakukan.

Pranata mangsa mengenal siklus tahunan dalam bertani. Dalam siklus ini
terdapat 12 mangsa atau waktu dengan simbol berbeda-beda. Keduabelas mangsa
itu diantaranya kasa (bintang sapi gumarah), karo (tagih), katelu (lumbung) dan
sebagainya. Nama tiap mangsa sebenarnya dibuat berbeda-beda berdasarkan
karakter alam yang terjadi. Watak mangsa kasa misalnya, dengan rentang waktu

6
22 Juni – 1 Agustus dimana alam mencirikan gugurnya dedaunan, mengeringnya
kayu, dan telur serangga menetas maka saatnya bagi petani untuk membakar
jerami dan mulai menanam palawija.1 Unik, klasik, antik dan memang begitulah
kesan ketika membaca pranata mangsa tetapi keunikan tersebut yang membuat
pertanian pada masa lampau sukses pada eranya.

Zaman dahulu, dengan hanya modal sistem pranata mangsa, pertanian di


Nusantara pernah sangat maju. Sriwijaya dan Majapahit merupakan bukti nyata
betapa negeri ini pernah benar-benar berdaulat atas pangan berbasis pangan lokal
yang tersedia, berdasar potensi lokal yang ada. Kejayaan itu termaktub dalam
kitab Arjunawiwaha dan prasati Kamalagi. Bila kita cermati menggunakan
pranata mangsa berarti sistem pertanaman kita akan lebih tertata dan teratur.
Kedua, sistem ini mengajarkan kita kapan waktu yang tepat untuk melakukan
aktifitas tani dari mulai pengolahan lahan, penanaman, hingga terdengar kicauan
burung yang memberi makan anaknya, tanda waktu panen segera tiba. Alam
adalah petunjuk dan sahabat petani. Ketiga, banyak sekali kearifan lokal sebagai
turunan dari sistem penanggalan pranata mangsa sebagai hasil dari ilmu titen
nenek moyang.

Pranata Mangsa Mulai Dilupakan

Era ini, sistem pranata mangsa mulai dilupakan oleh petani muda. Walau
begitu sampai saat ini pemanasan global memang tak dapat dipungkiri menjadi
faktor primordial dalam pertanian kita. Pemanasan global merubah kodrat alam
menjadi menyimpang, kemarau jadi hujan, musim hujan beralih ke kemarau. Hal
ini menjadi salah satu kendala bagi petani untuk menentukan apa yang harus
dilakukan dalam budidaya, menyulitkan petani untuk merunut pada pranata
mangsa, menyulitkan petani mencermati alam. Kacaunya kondisi alam memang
dapat diakali dengan peningkatan intensifikasi melalui berbagai usaha, tetapi lihat
kondisi saat ini dimana global warming justru makin diperparah dengan maraknya
mekanisasi pertanian sebagai dampak negatif intensifikasi pertanian yang tidak
sehat dan non eco-saving. Pencemaran makin marak, bahan kimia makin
bertebaran, kondisi air yang makin buruk, yang berakibat fatal terhadap

7
ekosistem. Bukti nyata dapat kita saksikan dilapangan, langkanya beberapa jenis
burung di areal persawahan, menurunnya kualitas tanah, hingga cemaran pestisida
kimia pada berbagai sayur mayur yang kita konsumsi.

Era modern dan era globalisasi saat ini ternyata menuntut para pelaku tani
menjadi berwawasan internasional. Tak terkecuali bibit yang ditanam (yang
bahkan Indonesia masih dominan impor), pupuk yang digunakan, bahkan cara
tanam pun mulai mengadopsi asing. Petani mulai mengesampingkan indegeneous
knowledge. Kearifan lokal dari leluhur yang mana didapatkan dari pengalaman
nenek moyang mulai ditinggalkan. Seperti yang diutarakan Robert Chambers
bahwa masyarakat kita memiliki keunggulan yaitu kemampuan mempelajari dari
pengalaman. Padahal justru dari pengalaman inilah masyarakat kita pada masa
lalu mengetahui permasalahan yang kita hadapi sekaligus solusinya. Benih lokal
apa yang cocok ditanam di area ini, pupuk apa yang baik untuk tanaman di daerah
ini, menggunakan apa pengendalian hama yang berdasar kaidah lingkungan dan
sebagainya.

Lestarikan Kearifan Lokal

Sejatinya ada beberapa musabab yang menjadikan pranata mangsa mulai


ditinggalkan, Era globalisasi yang mendorong masyarakat kita untuk lebih open
minded, termasuk petani, sehingga mulai melunturkan budaya ketimuran kita
yang cenderung ekspresif dengan mengkiblat pada budaya barat yang cenderung
progresif. Globalisasi juga menjadi faktor kunci yang menggerogoti sistem
pranata mangsa, sehingga musim kita menjadi agak semrawut. Padahal sejatinya
masih terdapat korelasi yang nyata antara gejala alam yang tersebut pada pranata
mangsa dengan kondisi saat ini.2 Namun mungkin inilah penyebab dimana
pranata mangsa mulai redup dan bahkan dampaknya sektor pertanian dianggap
kurang potensial lagi. Berbeda 180° dengan masa lalu dimana bertani memang
dianggap sebagai jalan hidup, sumber pokok pencaharian, dan sektor dimana kita
bisa mengambil manfaat dengan penyelarasan diri dengan alam berupa hasil tani.
Saat ini pertanian dianggap pekerjaan yang tergolong rendah, parameter
kemiskinan, dan indikator ketidakberdayaan. Akhirnya, banyak petani yang mulai

8
kehilangan jiwanya sebagai petani. Idealisme tentang marwahnya menjadi petani
termasuk idealisme petani sebagai bagian dari alam dan implikasinya yang harus
bersahabat dengan alam, seperti yang diajarkan dalam pranata mangsa, bukan
justru memerintah alam dalam bertani. Sudah saatnya buku lama itu kita buka
kembali, kita gali berbagai macam kearifan lokal dalam sistem budidaya, kita
terapkan berbagai macam local wisdom masyarakat desa yang terbungkus apik
dalam kesederhanaan dan kesahajaan pranata mangsa. Harapannya adagium kuno
“Negara gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, murah sandang murah
pangan” benar-benar akan terwujud di bumi Nusantara.

Penerapan Pranata Mangsa

Berikut adalah salah satu bukti penerapan pranata mangsa di Indonesia yang
kelompok kami kutip dari majalah “Trubus” dengan judul “Kalender Warisan
Leluhur”

Ketika umbi gadung mulai bertunas, biasanya 50 hari mendatang turun hujan.
Saat umbi bertunas, pria kelahiran 1 Januari 1933 itu mempersiapkan lahan
persemaian padi, meski hujan belum turun. Pola serupa diterapkan Tamingan,
petani di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Yogyakarta.

Perilaku binatang seperti kucing kawin, munculnya jangkrik, dan burung


menyuapi anaknya, indikator musim kemarau hampir datang. Perhitungan musim
dengan memperhatikan fenologi atau perilaku hewan dan tumbuhan itu disebut
pranata mangsa (baca: pranoto mongso, pranata berarti tata cara; mangsa, musim).
Menurut Ir Anjal Ani Asmara MSi, dosen Agrometeorologi di Universitas
Gadjah Mada, pranata mangsa disusun oleh nenek moyang etnis Jawa untuk
menandai permulaan atau berakhirnya musim tanam.

Mereka menggunakan pranata mangsa sebagai patokan untuk bercocok tanam dan
melaut bagi nelayan. Menurut Ir Anjal Ani Asmara MSi, pranata mangsa
merupakan kalender surya yang dikaitkan dengan kalender
Gregorian. Masyarakat Jawa mulai menggunakan pranata mangsa jauh sebelum
sistem kalender itu ditetapkan saat masa pemerintahan Raja Pakubuwono VII

9
pada 22 Juni 1855. Imam Budhi Santosa, budayawan dari Dewan Kesenian
Yogyakarta, mengatakan saat itu Keraton Solo perlu legitimasi rakyat setelah
perjanjian Giyanti.

Rakyat beranggapan kekuasaan sudah hilang dari Solo dan beralih ke Kesultanan
Yogyakarta. ‘Pembakuan pranata mangsa sebagai hukum formal sebetulnya atas
dorongan penguasa kolonial yang berkepentingan terhadap lahan pertanian di
wilayah keraton Solo. Saat itu kas pemerintah kolonial terkuras untuk pembiayaan
perang Diponegoro dan Padri sehingga pemerintah kolonial ingin memaksa
masyarakat menanam tebu,’ kata Imam. Namun, untuk legitimasi, mereka perlu
melibatkan pihak keraton.

Menurut Imam Budhi Santosa nenek moyang kita menyusun pranata mangsa
berdasarkan pengetahuan kolektif yang mengamati alam dengan ilmu ‘titen’ atau
mengamati gejala yang mendahului atau menyertai suatu kejadian. Ketika
tonggeret atau garengpung mulai berbunyi biasanya muncul angkup nangka
(tunas buah nangka setelah fruitset), menjadi patokan perubahan musim.
Masyarakat Jawa menerjemahkan garengpung atau
tonggeret Dundubia mannifera, menjadi tandhane mareng alias indikasi musim
kemarau.

Penanggalan pranata mangsa itu terdiri atas 12 mangsa alias musim. Durasi
sebuah mangsa bervariasi antara 23 – 41 hari dengan indikasi berbeda-beda (lihat
infografis). Tanggal 22 Juni 1855 merupakan tanggal 1 mangsa ke-1 tahun ke-1
kalender pranata mangsa. Pada saat itu daun-daun berguguran, muncul belalang,
dan bintang beralih. Oleh karena itu watak musim pertama adalah sotya murca ing
embanan alias daun berguguran. Penetapan pranata mangsa itu ternyata berkaitan
dengan gejala alam.

Dr Taufik Hidayat dari Departemen Astronomi Institut Teknologi Bandung


mengatakan pada tanggal itu posisi matahari di utara dan tengah menuju ke
selatan atau menjelang musim kemarau. Perpindahan kedudukan matahari
mempengaruhi unsur-unsur meteorologi suatu wilayah. Pada mangsa ke-1,

10
misalnya, curun hujan sangat rendah, yakni 67 mm, sinar matahari 76%,
kelembapan 60%, dan suhu 27,4oC.

Pranata mangsa itu juga diterapkan di berbagai suku di Indonesia. Sekadar


menyebut contoh ada wariga di Bali, palontara (Sulawesi Selatan), porhalaan
(Sumatera Utara), dan kala (Jawa Barat). Dengan pranata mangsa para petani
bekerja mengikuti keseimbangan alam. Wajar bila budidaya pertanian sangat
efektif dan hemat. Contoh mereka menanam padi ketika mangsa ke-7 dan panen
pada mangsa ke-9 bertepatan dengan keluarnya ular dan burung pemakan
serangga dari sarang. Mereka predator bagi tikus dan wereng sehingga serangan
hama padi dapat terkontrol.

Gerakan revolusi hijau pada 1950 – 1980 menggeser pranata mangsa. Revolusi
hijau merupakan gerakan yang terdiri atas 3 pilar utama yakni sistem irigasi,
penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan benih unggul untuk menjamin serta
meningkatkan produktivitas. Melalui penerapan revolusi hijau, terjadi
peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda. Indonesia meraih swasembada
beras pada 1983 antara lain karena revolusi hijau. Bahkan, dengan revolusi hijau
memungkinkan penanaman padi 3 kali dalam setahun, hal mustahil tanpa tiga
pilar itu, terutama irigasi.

Adanya irigasi memungkinkan petani membudidayakan padi 3 kali dalam


setahun; sebelumnya hanya sekali tanam. Setelah panen padi, mereka
membudidayakan jagung atau palawija. Boleh jadi agar unsur hara dalam tanah
tetap terjaga dengan sistem tanam gilir. Namun, lantaran kita ingin 3 kali
menanam padi, maka membangun irigasi, menyediakan bibit transgenik, pupuk,
dan pestisida. Itulah cermin pertanian yang disebut modern yang justru
menimbulkan beragam dampak buruk.

Prof Dr Yunita Triwardani Winarto, peneliti perubahan iklim dan perilaku petani
dari Departemen Antropologi Universitas Indonesia mengatakan, revolusi hijau
memicu beragam dampak buruk. Irigasi dibangun untuk mengalirkan air ke lahan-
lahan sawah bertujuan untuk menumbuhkan benih-benih unggul hasil rekayasa
genetika guna meningkatkan produksi padi. Akibatnya, jadwal tanam padi yang

11
semula tergantung pada air hujan kini lebih ditentukan oleh pasokan air irigasi.
Sistem pranata mangsa mulai ditinggalkan, meski di beberapa daerah petani tetap
menerapkannya. Akibat revolusi hijau, ‘Pemikiran yang kompleks disederhanakan
oleh petani,’ kata alumnus The Australian National University itu. Sebab, mereka
berorientasi pada produksi. Yunita mencontohkan petani
menyederhanakan pemikiran ketika muncul serangan hama atau penyakit
langsung diatasi dengan pestisida.

‘Dalam revolusi hijau makin banyak pestisida ternyata kian banyak hama dan
penyakit. Sebelumnya bukan berarti tak ada hama atau penyakit, tetapi masih
terjadi keseimbangan sehingga ledakan serangan pun tak muncul,’ kata
Yunita. Dalam sesaji ketika menanam padi atau menjelang panen, para petani
memberikan antara lain gula yang mengundang semut. Semut menjadi predator
bagi telur dan larva wereng.

Menurut Yunita revolusi hijau makin menjauhkan para petani dengan pranata
mangsa. Kondisi itu diperparah dengan perubahan iklim. Dengarlah komentar
petani di Desa Wareng, Gunung Kidul pada suatu hari ketika hujan menderas
pada April 2009 seperti disampaikan kepada Hestu Prahara dari Departemen
Antropologi Universitas Indonesia (lihat Winarto dkk 2010). ‘Dulu nenek moyang
saya mengatakan hujan pada April itu pral-pril (sangat sedikit dan jarang), tetapi
sekarang hujan di bulan April menjadi bar-ber (sangat deras) seperti bulan
Desember.’

Meski demikian pranata mangsa masih tetap relevan untuk diterapkan pada saat
ini. Belum lama ini Anjal Asmara menyaksikan petani di Kecamatan Tepus,
Kabupaten Gunung Kidul, mengenali pranata mangsa. Di sana tumbuh sebatang
pohon mirip waru yang menggugurkan daun menjelang musim hujan. Itu
menyimpang dari perilaku umum yang umumnya menggugurkan daun menjelang
kemarau. Beberapa petani yang abai terhadap tanda itu menanam padi begitu
hujan turun beberapa hari. Ternyata setelah mereka menanam bibit, hujan berhenti
sehingga bibit mati kekeringan.

12
Pranata mangsa mencerminkan kehidupan para petani selaras dengan alam.
Mereka menganggap alam bukan ladang garapan untuk diperas mengejar
kuantitas setinggi-tingginya. Karena kedekatannya dengan alam itu, para petani
memahami betul watak dan perilaku alam. Itulah sebabnya Karsinah mengajarkan
pranata mangsa kepada anak-anaknya seperti dulu ia memperoleh ilmu itu dari
orangtuanya. (Sardi Duryatmo/Peliput: Argohartono Arie Raharjo)

Upaya Penggunaan Kembali

Karena pranata mangsa dianggap sudah "usang" namun tetap dianggap


penting sebagai pedoman bagi petani/nelayan mengingat fungsinya sebagai
penghubung petani/nelayan dengan lingkungan, upaya-upaya dilakukan untuk
memodifikasi pranata mangsa dengan memanfaatkan informasi-informasi baru. Di
bidang penangkapan ikan telah dilakukan upaya untuk menggunakan kalender
semacam pranata mangsa sebagai pedoman bagi nelayan dalam melakukan
penangkapan ikan. Informasi ini berguna, misalnya, untuk menentukan kelaikan
penangkapan serta musim-musim jenis tangkapan.

Di bidang pertanian tanaman pangan, telah dikembangkan Sekolah Lapang


Iklim (SLI) untuk meningkatkan kemampuan petani dalam memahami berbagai
aspek prakiraan cuaca dan hubungannya dengan usaha tani. Kegiatan SLI
dimaksudkan untuk membuat petani mampu "menerjemahkan" informasi
prakiraan cuaca yang sering kali sangat teknis, sekaligus membuat petani mampu
mengadaptasikannya dengan kearifan lokal yang telah lama dimiliki. Dalam
kaitan dengan SLI, pranata mangsa menjadi rujukan untuk berbagai gejala alam
yang diperkirakan muncul sebagai tanggapan atas kondisi cuaca/perubahan iklim.
Pranata mangsa masih tetap dapat diandalkan dalam kaitan dengan pengamatan
atas gejala alam. Kemampuan membaca gejala alam ini penting karena petani
perlu beradaptasi apabila terjadi perubahan dengan mengubah pola tanam

13
BAB III

PENUTUP

Dari pembahasan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan kelemahan pranata


mangsa sebagai pedoman pertanian adalah bahwa ia tidak bisa mengantisipasi
gejala-gejala alam tertentu, seperti terjadinya El Nino dan La Nina. Perubahan
iklim global juga menjadi tantangan apakah kalender ini masih bisa dijadikan
pedoman kegiatan bertani saat ini. Kalender ini juga agak bermasalah karena
sebagian hewan dan tumbuhan yang menjadi indikator bagi pergantian musim
telah hilang. Meski di sisi lain, masih bisa menjelaskan perilaku hewan-hewan
yang masih ada sampai sekarang. Oleh karena itu, perannya sebagai pedoman
pertanian harus dilengkapi oleh prakiraan cuaca yang bersifat modern seperti yang
dibuat oleh BMKG.

Terlepas dari apakah Pranata Mangsa secara praktis bisa atau tidak digunakan
saat ini, kalender ini memiliki peran sentral dalam sejarah Nusantara. Kalender ini
pastinya telah ikut menyumbang kebesaran kerajaan-kerajaan di Jawa dari
Mataram Kuno hingga Mataram Islam. Kalender ini juga membuktikan
kecerdasan masyarakat tradisional dalam membaca pola-pola perubahan alam dan
menuangkannya dalam bentuk penanggalan yang bisa digunakan sebagai
pedoman praktis dalam kehidupan keseharian.

14
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Pranata_mangsa

http://1001indonesia.net/pranata-mangsa/

http://dema.faperta.ugm.ac.id/2016/07/19/belajar-dari-leluhur-pranata-mangsa/

http://www.trubus-online.co.id/kalender-warisan-leluhur/

http://kabarhandayani.com/budaya-jawa-empat-pranata-mangsa-di-jaman-modern/

15

You might also like