Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
sekelompok orang dan sedikit banyak merupakan pengamatan terhadap gejala-
gejala alam.
Awal mangsa kasa (pertama) adalah 22 Juni, yaitu saat posisi matahari di
langit berada pada Garis Balik Utara, sehingga bagi petani di wilayah di antara
Merapi dan Lawu saat itu adalah saat bayangan terpanjang (empat pecak/kaki ke
2
arah selatan). Pada saat yang sama, rasi bintang Waluku terbit pada waktu subuh
(menjelang fajar). Dari sinilah keluar nama "waluku", karena kemunculan rasi
Orion pada waktu subuh menjadi pertanda bagi petani untuk mengolah
sawah/lahan menggunakan bajak (bahasa Jawa: waluku).
3
(misalnya akibat munculnya gejala ENSO). Selain itu, terdapat sejumlah
ketentuan pada pranata mangsa yang lebih banyak terkait dengan aspek horoskop,
sehingga cenderung tidak logis.
4
5
BAB II
PEMBAHASAN
Pranata mangsa mengenal siklus tahunan dalam bertani. Dalam siklus ini
terdapat 12 mangsa atau waktu dengan simbol berbeda-beda. Keduabelas mangsa
itu diantaranya kasa (bintang sapi gumarah), karo (tagih), katelu (lumbung) dan
sebagainya. Nama tiap mangsa sebenarnya dibuat berbeda-beda berdasarkan
karakter alam yang terjadi. Watak mangsa kasa misalnya, dengan rentang waktu
6
22 Juni – 1 Agustus dimana alam mencirikan gugurnya dedaunan, mengeringnya
kayu, dan telur serangga menetas maka saatnya bagi petani untuk membakar
jerami dan mulai menanam palawija.1 Unik, klasik, antik dan memang begitulah
kesan ketika membaca pranata mangsa tetapi keunikan tersebut yang membuat
pertanian pada masa lampau sukses pada eranya.
Era ini, sistem pranata mangsa mulai dilupakan oleh petani muda. Walau
begitu sampai saat ini pemanasan global memang tak dapat dipungkiri menjadi
faktor primordial dalam pertanian kita. Pemanasan global merubah kodrat alam
menjadi menyimpang, kemarau jadi hujan, musim hujan beralih ke kemarau. Hal
ini menjadi salah satu kendala bagi petani untuk menentukan apa yang harus
dilakukan dalam budidaya, menyulitkan petani untuk merunut pada pranata
mangsa, menyulitkan petani mencermati alam. Kacaunya kondisi alam memang
dapat diakali dengan peningkatan intensifikasi melalui berbagai usaha, tetapi lihat
kondisi saat ini dimana global warming justru makin diperparah dengan maraknya
mekanisasi pertanian sebagai dampak negatif intensifikasi pertanian yang tidak
sehat dan non eco-saving. Pencemaran makin marak, bahan kimia makin
bertebaran, kondisi air yang makin buruk, yang berakibat fatal terhadap
7
ekosistem. Bukti nyata dapat kita saksikan dilapangan, langkanya beberapa jenis
burung di areal persawahan, menurunnya kualitas tanah, hingga cemaran pestisida
kimia pada berbagai sayur mayur yang kita konsumsi.
Era modern dan era globalisasi saat ini ternyata menuntut para pelaku tani
menjadi berwawasan internasional. Tak terkecuali bibit yang ditanam (yang
bahkan Indonesia masih dominan impor), pupuk yang digunakan, bahkan cara
tanam pun mulai mengadopsi asing. Petani mulai mengesampingkan indegeneous
knowledge. Kearifan lokal dari leluhur yang mana didapatkan dari pengalaman
nenek moyang mulai ditinggalkan. Seperti yang diutarakan Robert Chambers
bahwa masyarakat kita memiliki keunggulan yaitu kemampuan mempelajari dari
pengalaman. Padahal justru dari pengalaman inilah masyarakat kita pada masa
lalu mengetahui permasalahan yang kita hadapi sekaligus solusinya. Benih lokal
apa yang cocok ditanam di area ini, pupuk apa yang baik untuk tanaman di daerah
ini, menggunakan apa pengendalian hama yang berdasar kaidah lingkungan dan
sebagainya.
8
kehilangan jiwanya sebagai petani. Idealisme tentang marwahnya menjadi petani
termasuk idealisme petani sebagai bagian dari alam dan implikasinya yang harus
bersahabat dengan alam, seperti yang diajarkan dalam pranata mangsa, bukan
justru memerintah alam dalam bertani. Sudah saatnya buku lama itu kita buka
kembali, kita gali berbagai macam kearifan lokal dalam sistem budidaya, kita
terapkan berbagai macam local wisdom masyarakat desa yang terbungkus apik
dalam kesederhanaan dan kesahajaan pranata mangsa. Harapannya adagium kuno
“Negara gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, murah sandang murah
pangan” benar-benar akan terwujud di bumi Nusantara.
Berikut adalah salah satu bukti penerapan pranata mangsa di Indonesia yang
kelompok kami kutip dari majalah “Trubus” dengan judul “Kalender Warisan
Leluhur”
Ketika umbi gadung mulai bertunas, biasanya 50 hari mendatang turun hujan.
Saat umbi bertunas, pria kelahiran 1 Januari 1933 itu mempersiapkan lahan
persemaian padi, meski hujan belum turun. Pola serupa diterapkan Tamingan,
petani di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Yogyakarta.
Mereka menggunakan pranata mangsa sebagai patokan untuk bercocok tanam dan
melaut bagi nelayan. Menurut Ir Anjal Ani Asmara MSi, pranata mangsa
merupakan kalender surya yang dikaitkan dengan kalender
Gregorian. Masyarakat Jawa mulai menggunakan pranata mangsa jauh sebelum
sistem kalender itu ditetapkan saat masa pemerintahan Raja Pakubuwono VII
9
pada 22 Juni 1855. Imam Budhi Santosa, budayawan dari Dewan Kesenian
Yogyakarta, mengatakan saat itu Keraton Solo perlu legitimasi rakyat setelah
perjanjian Giyanti.
Rakyat beranggapan kekuasaan sudah hilang dari Solo dan beralih ke Kesultanan
Yogyakarta. ‘Pembakuan pranata mangsa sebagai hukum formal sebetulnya atas
dorongan penguasa kolonial yang berkepentingan terhadap lahan pertanian di
wilayah keraton Solo. Saat itu kas pemerintah kolonial terkuras untuk pembiayaan
perang Diponegoro dan Padri sehingga pemerintah kolonial ingin memaksa
masyarakat menanam tebu,’ kata Imam. Namun, untuk legitimasi, mereka perlu
melibatkan pihak keraton.
Menurut Imam Budhi Santosa nenek moyang kita menyusun pranata mangsa
berdasarkan pengetahuan kolektif yang mengamati alam dengan ilmu ‘titen’ atau
mengamati gejala yang mendahului atau menyertai suatu kejadian. Ketika
tonggeret atau garengpung mulai berbunyi biasanya muncul angkup nangka
(tunas buah nangka setelah fruitset), menjadi patokan perubahan musim.
Masyarakat Jawa menerjemahkan garengpung atau
tonggeret Dundubia mannifera, menjadi tandhane mareng alias indikasi musim
kemarau.
Penanggalan pranata mangsa itu terdiri atas 12 mangsa alias musim. Durasi
sebuah mangsa bervariasi antara 23 – 41 hari dengan indikasi berbeda-beda (lihat
infografis). Tanggal 22 Juni 1855 merupakan tanggal 1 mangsa ke-1 tahun ke-1
kalender pranata mangsa. Pada saat itu daun-daun berguguran, muncul belalang,
dan bintang beralih. Oleh karena itu watak musim pertama adalah sotya murca ing
embanan alias daun berguguran. Penetapan pranata mangsa itu ternyata berkaitan
dengan gejala alam.
10
misalnya, curun hujan sangat rendah, yakni 67 mm, sinar matahari 76%,
kelembapan 60%, dan suhu 27,4oC.
Gerakan revolusi hijau pada 1950 – 1980 menggeser pranata mangsa. Revolusi
hijau merupakan gerakan yang terdiri atas 3 pilar utama yakni sistem irigasi,
penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan benih unggul untuk menjamin serta
meningkatkan produktivitas. Melalui penerapan revolusi hijau, terjadi
peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda. Indonesia meraih swasembada
beras pada 1983 antara lain karena revolusi hijau. Bahkan, dengan revolusi hijau
memungkinkan penanaman padi 3 kali dalam setahun, hal mustahil tanpa tiga
pilar itu, terutama irigasi.
Prof Dr Yunita Triwardani Winarto, peneliti perubahan iklim dan perilaku petani
dari Departemen Antropologi Universitas Indonesia mengatakan, revolusi hijau
memicu beragam dampak buruk. Irigasi dibangun untuk mengalirkan air ke lahan-
lahan sawah bertujuan untuk menumbuhkan benih-benih unggul hasil rekayasa
genetika guna meningkatkan produksi padi. Akibatnya, jadwal tanam padi yang
11
semula tergantung pada air hujan kini lebih ditentukan oleh pasokan air irigasi.
Sistem pranata mangsa mulai ditinggalkan, meski di beberapa daerah petani tetap
menerapkannya. Akibat revolusi hijau, ‘Pemikiran yang kompleks disederhanakan
oleh petani,’ kata alumnus The Australian National University itu. Sebab, mereka
berorientasi pada produksi. Yunita mencontohkan petani
menyederhanakan pemikiran ketika muncul serangan hama atau penyakit
langsung diatasi dengan pestisida.
‘Dalam revolusi hijau makin banyak pestisida ternyata kian banyak hama dan
penyakit. Sebelumnya bukan berarti tak ada hama atau penyakit, tetapi masih
terjadi keseimbangan sehingga ledakan serangan pun tak muncul,’ kata
Yunita. Dalam sesaji ketika menanam padi atau menjelang panen, para petani
memberikan antara lain gula yang mengundang semut. Semut menjadi predator
bagi telur dan larva wereng.
Menurut Yunita revolusi hijau makin menjauhkan para petani dengan pranata
mangsa. Kondisi itu diperparah dengan perubahan iklim. Dengarlah komentar
petani di Desa Wareng, Gunung Kidul pada suatu hari ketika hujan menderas
pada April 2009 seperti disampaikan kepada Hestu Prahara dari Departemen
Antropologi Universitas Indonesia (lihat Winarto dkk 2010). ‘Dulu nenek moyang
saya mengatakan hujan pada April itu pral-pril (sangat sedikit dan jarang), tetapi
sekarang hujan di bulan April menjadi bar-ber (sangat deras) seperti bulan
Desember.’
Meski demikian pranata mangsa masih tetap relevan untuk diterapkan pada saat
ini. Belum lama ini Anjal Asmara menyaksikan petani di Kecamatan Tepus,
Kabupaten Gunung Kidul, mengenali pranata mangsa. Di sana tumbuh sebatang
pohon mirip waru yang menggugurkan daun menjelang musim hujan. Itu
menyimpang dari perilaku umum yang umumnya menggugurkan daun menjelang
kemarau. Beberapa petani yang abai terhadap tanda itu menanam padi begitu
hujan turun beberapa hari. Ternyata setelah mereka menanam bibit, hujan berhenti
sehingga bibit mati kekeringan.
12
Pranata mangsa mencerminkan kehidupan para petani selaras dengan alam.
Mereka menganggap alam bukan ladang garapan untuk diperas mengejar
kuantitas setinggi-tingginya. Karena kedekatannya dengan alam itu, para petani
memahami betul watak dan perilaku alam. Itulah sebabnya Karsinah mengajarkan
pranata mangsa kepada anak-anaknya seperti dulu ia memperoleh ilmu itu dari
orangtuanya. (Sardi Duryatmo/Peliput: Argohartono Arie Raharjo)
13
BAB III
PENUTUP
Terlepas dari apakah Pranata Mangsa secara praktis bisa atau tidak digunakan
saat ini, kalender ini memiliki peran sentral dalam sejarah Nusantara. Kalender ini
pastinya telah ikut menyumbang kebesaran kerajaan-kerajaan di Jawa dari
Mataram Kuno hingga Mataram Islam. Kalender ini juga membuktikan
kecerdasan masyarakat tradisional dalam membaca pola-pola perubahan alam dan
menuangkannya dalam bentuk penanggalan yang bisa digunakan sebagai
pedoman praktis dalam kehidupan keseharian.
14
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Pranata_mangsa
http://1001indonesia.net/pranata-mangsa/
http://dema.faperta.ugm.ac.id/2016/07/19/belajar-dari-leluhur-pranata-mangsa/
http://www.trubus-online.co.id/kalender-warisan-leluhur/
http://kabarhandayani.com/budaya-jawa-empat-pranata-mangsa-di-jaman-modern/
15