You are on page 1of 19

LAPORAN PENDAHULUAN DAN

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN
DENGAN CEDERA KEPALA

OLEH:

NI MADE TARIANI

NIM. P07120216018

TINGKAT III.A / D IV KEPERAWATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN KEPERAWATAN

2019
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN
KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN
DENGAN CEDERA KEPALA

A. DEFINISI
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin 2008).
Cedera kepala meliputi trauma kepala, tengkorak, dan otak. Cedera
kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas. Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera
kepala dan lebih dari 700.000 orang mengalami cedera kepala berat yang
memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua pertiga dari kasus ini berusia
dibawah 30 tahun dengan jumlah 4 kali lebih banyak pada laki-laki
dibandingkan perempuan (Brain Injury Assosiation of America 2006).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2001), cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

B. ETIOLOGI
Adapun hal-hal yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera kepala adalah :
1) Kecelakaan lalu lintas
2) Jatuh
3) Trauma benda tumpul
4) Kecelakaan kerja
5) Kecelakaan rumah tangga
6) Kecelakaan olahraga
7) Trauma tembak dan pecahan bom (Ginsberg, 2007)
C. MANIFESTASI KLINIS
Adapun tanda dan gejala cedera kepala yang terjadi yaitu:
1) Nyeri yang menetap.
2) Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.
3) Fraktur dasar tengkorak: hemoragic dari hidung, faring atau telinga dan
darah terlihat di bawah konjungtiva, memar diatas mastoid (tanda battle),
otoreaserebrospiral (cairan cerebrospiral keluar dari telinga),
rinoreaserebrospiral (keluar dari hidung).
4) Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan cerebrospinal berdarah.
5) Penurunan kesadaran
6) Pusing/berkunang-kunang
7) Peningkatan TIK
8) Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis ekstremitas.
9) Peningkatan TD, penurunan frekuensi nadi, peningkatan pernafasan

D. PATOFISIOLOGI
Trauma kepala menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan
yang terjadi tergantung pada besarnya getaran. Makin besar getaran makin
besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju
Galia Aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan
otak. Hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan menyebabkan
hematoma epidural, subdural maupun intracranial, perdarahan tersebut juga
akan mempengaruhi sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplai oksigen
berkurang dan terjadi hipoksia jaringan yang akan menyebabkan edema
cerebral. Akibat dari hematoma menyebabkan distorsi pada otak, karena isi
otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan TIK
sehingga merangsang kelenjar Pituitary dan Steroid adrenal mensekresikan
peningkatan asam lambung akibatnya timbul rasa mual dan muntah dan
anoreksia sehingga masukan nutrisi kurang.
Patofisiologi Cedera kepala dapat di golongkan menjadi dua yaitu cedera
kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan
suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat kepala
terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Cedera kepala primer
adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat benturan
terjadi. Kerusakan primer ini dapat bersifat fokal, local, maupun difus.
Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian tertentu saja
dari kepala, sedangkan bagian relatif tidak terganggu. Kerusakan difus yaitu
kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak dan umumnya
bersifat makroskopis.
Cedera kepala sekunder terjadi akibat Cedera kepala primer, misalnya
akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan. Perdarahan cerebral menimbulkan
hematoma, misalnya Epidural Hematoma yaitu adanya darah di ruang Epidural
diantara periosteum tengkorak dengan duramater, subdural hematoma akibat
berkumpulnya darah pada ruang antara duramater dengan subarachnoid dan
intra cerebal hematoma adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral.
E. PATHWAY

Benturan kepala

Terputusnya kontinuitas
Cedera kepala
jaringan, tulang

EDH, SDH, SAH, ICH, dan IVH

Medula Oblongata Edeme cerebral


tertekan

Peningkatan TIK
Kegagalan mengatur
ritme pernapasan
Gangguan aliran darah otak

Ketidakefektifan Pola Suplai darah dan O2


F. ke otak menurun
Nafas

G.Risiko Ketidakefektifan Iskemi – Hipoksia Peningkatan


jaringan cerebral metabolisme anaerob
H.Perfusi Jaringan Otak

Deficit neurologi Peningkatan produksi


asam laktat
Penurunan kesadaran
Merangsang reseptor
nyeri
Kesulitan mengunyah & menelan,
refleks batuk menurun, lidah
menutupi jalan nafas Nyeri Akut

Ketidakefektifan
Bersihan Jalan Nafas
I. KLASIFIKASI
Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara
deskripsi dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya
cedera kepala (IKABI, 2004)
1. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi
dua yaitu:
a. Cedera kepala tumpul.
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,
jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan
deselerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial
b. Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan
2. Berdasarkan morfologi Cedera kepala
Cedera kepala menurut (Tandian, 2011). Dapat terjadi diarea tulang
tengkorak yang meliputi:
a. Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit
kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu
skin, connective tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan
periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit
bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi
robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh
darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat
mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.
b. Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang kepala berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi
1) Fraktur linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau
stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan
tulang kepala. Fraktur linier dapat terjadi jika gaya langsung yang
bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan
tulang kepala bending dan tidak terdapat fragmen fraktur yang
masuk kedalam rongga intrakranial.
2) Fraktur diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang
tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang
kepala. Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena
sutura-sutura belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada
usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat
mengakibatkan terjadinya hematoma epidural.
3) Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki
lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
4) Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga
besar yang langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang
kecil. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan
penekanan atau laserasi pada duramater dan jaringan otak, fraktur
impresi dianggap bermakna terjadi, jika tabula eksterna segmen
yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen tulang yang
sehat.
5) Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada
dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali disertai dengan
robekan pada duramater yang merekat erat pada dasar tengkorak.
Fraktur basis kranii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi
fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur fossa
posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis
kranii dan tulang kalfaria. Duramater daerah basis kranii lebih tipis
dibandingkan daerah kalfaria dan duramater daerah basismelekat
lebih erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria,sehingga bila
terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan duramater.
Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang
menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis).
Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon
eyes sign (fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan
batle’s sign (fraktur basis kranii fossa media). Kondisi ini juga
dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering terjadi
adalah gangguan saraf penciuman (Nervous olfactorius), Saraf
wajah (Nervous facialis) dan saraf pendengaran (Nervous
vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi
pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak
misalnya dengan mencegah batuk, mengejan, dan makanan yang
tidak menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang
hidung dan telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (konsultasi
ahli THT) pada tanda bloody/ otorrhea/otoliquorrhea. Pada
penderita dengan tanda-tanda bloody/otorrhea/otoliquorrhea
penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring ke posisi
yang sehat.
c. Cedera kepala di area intracranial
Menurut (Tobing, 2011) diklasifikasikan menjadi Cedera otak
fokal dan cedera otak difus. Cedera otak fokal meliputi.
1) Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH) adalah adanya
darah di ruang epidural yaitu ruang potensial antara tabula interna
tulangtengkorak dan duramater. Epidural hematoma dapat
menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama
beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa
hemiparesis kontralateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain
sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.
2) Perdarahan subdural akut atau subdural hematoma (SDH) akut
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang
subdural yang terjadi akut (3-6 hari). Perdarahan ini terjadi akibat
robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan
subdural biasanya menutupi seluruh hemisfer otak. Biasanya
kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih
buruk dibanding pada perdarahan epidural.
3) Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematoma kronik adalah terkumpulnya darah diruang
subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma. Subdural hematoma
kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit.
Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi
sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat
tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke
dalam clot dan membentuk neomembran pada lapisan dalam
(korteks) dan lapisan luar (duramater). Pembentukan neomembran
tersebut akan diikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi
fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau liquifaksi bekuan
darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi
membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan
menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran sehingga
cairan subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat
ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung,
kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (transient
ischemic attack), disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang
bervariasi seperti kelemahan motorik dan kejang.
4) Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematoma (ICH)
Intra cerebral hematoma adalah area perdarahan yang homogen dan
konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral
hematoma bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak
dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi
dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya
pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak
atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang
ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran.
Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan
energi dari trauma yang dialami.
5) Perdarahan subarachnoid traumatika (SAH)
Perdarahan subarachnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh
darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat
trauma dapat memasuki ruang subarachnoid dan disebut sebagai
perdarahan subarachnoid (PSA). Luasnya PSA menggambarkan
luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan
buruknya prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya
vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas
dengan manifestasi edema cerebri.
3. Klasifikasi Cedera kepala berdasarkan beratnya
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut (Mansjoer,
2000) dapat diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan
dikelompokkan menjadi:
a. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15
1) Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.
2) Tidak ada kehilangan kesadaran
3) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
4) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
5) Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
b. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13
1) Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak
memberi respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan
2) Muntah
3) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
4) Kejang
c. Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.
1) Penurunan kesadaran sacara progresif
2) Tanda neorologis fokal
3) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
(Mansjoer, 2000)
Glasgow Coma Seale (GCS)
Memberikan 3 bidang fungsi neurologik, memberikan
gambaran pada tingkat responsif pasien dan dapat digunakan dalam
pencarian yang luas pada saat mengevaluasi status neurologik pasien
yang mengalami cedera kepala. Evaluasi ini hanya terbatas pada
mengevaluasi motorik pasien, verbal dan respon membuka mata.
Skala GCS :
- Membuka mata
Spontan :4
Dengan perintah :3
Dengan Nyeri :2
Tidak berespon :1
- Motorik
Dengan Perintah :6
Melokalisasi nyeri :5
Menarik area yang nyeri :4
Fleksi abnormal :3
Ekstensi :2
Tidak berespon :1
- Verbal
Berorientasi :5
Bicara membingungkan :4
Kata-kata tidak tepat :3
Suara tidak dapat dimengerti :2
Tidak ada respons :1

J. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering dijumpai menurut (Markam, 1999) pada
Cedera kepala meliputi
1. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada
situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu,
setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus
lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih
tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada
vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.
2. Kejang/Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera,
keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
3. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobek membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk, infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke
sistem saraf yang lain.
4. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
mengalami masalah kesadaran.
5. Penyakit Alzheimer dan Parkinson
Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit
Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin
tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera.

K. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas
darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
3. MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
4. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
5. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorak
maupun thorak.
6. CSF, Lumbal Punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
7. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
8. Kadar Elektrolit:Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrakranial. (Musliha, 2010).

L. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada keperawatan gawat darurat yaitu:
1. Airway
Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan,
lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan
dengan memasang collar cervikal, pasang guedel/mayo bila diperlukan.
Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus
diintubasi.
2. Breathing
Menilai pernafasan : tentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak.
Jika tidak beri O2 melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan
selidiki danatasi cedera dada berat seperti pneumotoraks,
hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi untuk menjaga saturasi O2
minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindung bahkan
terancan/memperoleh O2 yang adekuat (Pa O2 < 75 % dan Pa CO2<38
% mmHg serta saturasi O2 <95%) atau muntah maka pasien harus
diintubasi serta diventilasi oleh ahlianestesi.
3. Circulation
Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan
semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan adanya
cedera intraabdomen/dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan
tekanan darah, pasang EKG, pasang jalur intravena yang besar. Berikan
larutan koloid. Hindari memberikan larutan kristaloid karena dapat
menimbulkan eksaserbasi edema.
4. Disability
Menilai tingkat keparahan : CKR,CKS,CKB
Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher, lakukan foto
tulang belakang servikal (proyeksi A-P lateral dan odontoid),
kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh servikal
C1-C7 normal. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan
berat pasang infus dengan larutan normal salin (Nacl 0,9%) atau RL
cairanisotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular dari pada
cairanhipotonis dan larutan ini tidak menambah edema cerebri.
Lakukan pemeriksaan : Ht, periksa darah perifer lengkap, trombosit,
kimia darah. Lakukan CT scan. Pasien dgn CKR, CKS, CKB harus
dievaluasi adanya : Hematoma epidural, darah dalam subarachnoid dan
intraventrikel, Kontusio dan perdarahan jaringan otak, Edema cerebri,
Fraktur kranium. Pada pasien yang koma (skor GCS <8) atau pasien
dengan tanda-tanda herniasi lakukan : Elevasi kepala 30 derajat,
Hiperventilasi, Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dalam 20-30
menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar
¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam. Pasang kateter
foley, konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma
epidural besar, hematoma subdural, Cedera kepala terbuka, fraktur
impresi >1 diplo).

M. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS


1. Pengkajian
a. Pengkajian primer
1) Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila,
fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin lift”
atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas,
harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau
rotasi dari leher.
2) Breathing dan ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran
gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen
dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik
meliputi:fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma.
3) Circulation dan hemorrhage control
a) Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap
disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan
detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan
hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.
b) Kontrol Perdarahan
4) Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil.
5) Exposure dan Environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.

b. Pengkajian sekunder
1) Identitas : nama, usia, jenis kelamin, kebangsaan/suku, berat
badan, tinggi badan, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,
anggota keluarga, agama.
2) Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat
kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang
diberikan segera setelah kejadian.
3) Aktivitas/istirahat
Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda :Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese,
puandreplegia, ataksia, cara berjalan tidak tegang.
4) Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi,
takikardi.
5) Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, angitasi, bingung,
depresi dan impulsif.
6) Makanan/cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : muntah, gangguan menelan.
7) Eliminasi
Gejala : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau
mengalami gangguan fungsi.
8) Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo,
sinkope, kehilanganpendengaran, gangguan pengecapan dan
penciuman, perubahan penglihatan seperti ketajaman.
Tanda:Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status
mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan
memoris.
9) Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada
rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih.
10) Pernafasan
Tanda: Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh
hiperventilasi nafas berbunyi)
11) Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan
rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami
paralisis, demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
12) Interaksi sosial
Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti,
bicara berulang-ulang, disartria.
c. Masalah Keperawatan
1) Resiko Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
2) Ketidak efektifanbersihan jalan nafas
3) Ketidakefektifan pola nafas
4) Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer
d. Prioritas Masalah
1) Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
3) Ketidakefektifan pola nafas
4) Ketidakefketifan perfusi jaringan perifer
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E.1999.Rencana Asuhan Keperawatan ed-3. Jakarta : EGC


Bulecheck, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2016).
Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi Bahasa Indonesia Edisi
Keenam. Singapore: Elsevier.
Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing Outcomes
Classification (NOC) Pengukuran Outcomes Kesehatan Edisi Bahasa
Indonesia Edisi Keenam. Singapore: Elsevier
Muttaqin, Arif.2008.Buku Ajar asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
sistem persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Smeltzer, Suzanne C.2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3 ed-8.
Jakarta : EGC
http://www.scribd.com/doc/20357839/Cedera-Kepala

You might also like