You are on page 1of 180

AKUNTANSI PERTANGGUNGJAWABAN SOSIAL PADA SOCIO-

ENTERPRISE: STUDI ETNOMETODOLOGI DI RUANG BELAJAR


AQIL (RBA)

Disusun Oleh:
Meirna Puspita Permatasari
NIM. 135020300111025

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih


Derajat Sarjana Ekonomi

JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017

i
ii
iii
iv
Meirna Puspita Permatasari

Personal Details
Malang, 8 May 1995
meirna.puspita@gmail.com
+6285233837548
Jl. Puncak Malino 14 Malang

Education
Universitas Brawijaya
Undergraduate student of Department of Accounting
Faculty of Economics and Business, 2013 – 2017
GPA : 3.76

SMAN 3 Malang, 2010-2013


SMPN 1 Malang, 2007-2010
SDN Bareng 3 Malang, 2001-2007

Professional Experiences
Junior Researcher and Volunteer, Ruang Belajar Aqil, 2017 - present
Campus Associate Partner, Kampus Update, 2014
Facilitator of Excellent Class, Dept. of Accounting, 2014-2016

Honors and Awards


Runner Up Paper Team, The 13th Marketing Insight Seminar and Training
(MIST) 2017 by MSS FEB Universitas Indonesia

Best Conference Team, The 13th Marketing Insight Seminar and Training
(MIST) 2017 by MSS FEB Universitas Indonesia

Best Essay Writer on the 9th Conference of Indonesian Students Association in


South Korea 2016 by Perhimpunan Pelajar Indonesia di Korea Selatan

Universitas Brawijaya Delegate for London International Model United Nations


2016 by University of London, UK

v
Paper Presenter at Indonesian Scholar International Convention 2015 by PPI
United Kingdom

Universitas Brawijaya Delegate for Harvard National Model United Nations


2015 by Harvard University, USA

PPA Scholarship Awardee 2014-2015 by Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

2nd Place PKM-K MABA


Awarded by Faculty of Economics and Business Universitas Brawijaya 2014

3rd place Excellent StoryTelling Competition


Awarded by Department of Accounting, Faculty of Economics and Business
Universitas Brawijaya 2013

1st Place UI Idea Festival Writing Contest


Awarded by Perfilma Law Faculty, Universitas Indonesia, 2013

Leadership Experiences
Head of Issue Studies and Strategic Actions Dept., BEM FEB UB 2016

Accounting and Investment Manager, Finance and Governance Dept. AIESEC LC


UB
2015/2016

Head of Issue Studies, Research and Strategic Actions Dept., BEM FEB UB 2015

Legality and Governance Manager, Finance and Governance Dept. AIESEC LC


UB
2014/2015

Staff of Administration Bureau, BEM FEB UB 2014

Staff of External Relation Department AIESEC LC UB 2013/2014

Associate Member of AIESEC LC UB 2013

Intern of strategic action studies, social and politics department, BEM FEB UB
2013

Agency of honors, MPK SMAN 3 Malang (2011-2012)

vi

vi
ABSTRAK

AKUNTANSI PERTANGGUNGJAWABAN SOSIAL PADA SOCIO-


ENTERPRISE: STUDI ETNOMETODOLOGI DI RUANG BELAJAR
AQIL (RBA)

Oleh:
Meirna Puspita Permatasari
135020300111025

Dosen Pembimbing:
Dr. Aji Dedi Mulawarman, SP., MSA.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh minimnya pembahasan akuntansi


pertanggungjawaban sosial dari sisi entitas socio-enterprise. Pemilihan socio-
enterprise sebagai jenis entitas yang diteliti didasari oleh fokus utama aktivitas
mereka yaitu penciptaan nilai sosial. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan
akuntansi pertanggungjawaban sosial pada socio-enterprise melalui studi di Ruang
Belajar Aqil (RBA). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui
studi etnometodologi. Penggunaan etnometodologi bertujuan untuk mempelajari
praktik akuntansi pertanggungjawaban sosial dalam keseharian RBA.
Etnometodologi membantu menemukan alasan rasional yang mendasari individu-
individu dalam sebuah entitas untuk melakukan aktivitas akuntansi
pertanggungjawaban sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akuntansi
pertanggungjawaban sosial di socio-enterprise RBA berbeda dengan yang
dilakukan oleh perusahaan. Keunikan akuntansi pertanggungjawaban sosial di
RBA antara lain (1) penggunaan akad sebagai dasar pengelolaan donasi; (2)
pengelolaan dan pencatatan sumber daya sesuai kebutuhan; (3) standar pelaporan
adalah kebutuhan informasi pengguna; (4) pelaporan kebermanfaatan; (5) saldo
akhir yang ideal adalah nol rupiah dan; (6) pengamalan nilai-nilai entitas dalam
proses pelaporan. Kesadaran atas peran manusia menjadi landasan setiap aktivitas
akuntansi pertanggungjawaban sosial yang dilakukan. Orientasi dari proses
akuntansi pertanggungjawaban sosial RBA adalah kebermanfaatan bagi
masyarakat. Kebermanfaatan tersebut salah satunya diupayakan melalui
pengungkapan informasi entitas yang relevan, andal, transparan, dan akuntabel.
Dengan demikian, pengungkapan informasi merupakan wujud dari tanggung jawab
sosial itu sendiri. Lebih jauh lagi, akuntansi pertanggungjawaban sosial yang
berdasarkan kesadaran dapat menggeser motif memperoleh keuntungan jangka
panjang (enlightened self-interest) menjadi kesadaran untuk bertanggungjawab
sesuai tujuan penciptaan manusia (enlightened self-responsibility).

Kata kunci: tanggung jawab sosial, akuntansi pertanggungjawaban sosial,


socio-enterprise, kesadaran, kebermanfaatan

vii
ABSTRACT

SOCIAL RESPONSIBILITY ACCOUNTING IN SOCIO-ENTERPRISE:


AN ETHNOMETHODOLOGICAL STUDY ON RUANG BELAJAR AQIL
(RBA)

By:
Meirna Puspita Permatasari
135020300111025

Supervisor:
Dr. Aji Dedi Mulawarman, SP., MSA.

The background of this research is the limited discourse of social responsibility


accounting from socio-enterprise perspective. Socio-enterprise is chosen as the
scrutinized entity based on its main focus to create social value. The aim of this
research is to explain how social responsibility accounting in a socio-enterprise is
perceived and practiced through the study at Ruang Belajar Aqil (RBA). This
research used qualitative approach conducted through ethnomethodology study.
Ethnomethodology was used to study the practice of social responsibility
accounting of RBA on a daily basis. Ethnomethodology helped to find out the
rationales underlying the practice of social responsibility accounting of an entity.
The result shows that social responsibility accounting practice of RBA as a socio-
enterprise is different from the one applied in corporations. The uniqueness of social
responsibility accounting practiced at RBA are (1) the establishment of aqad as the
provision of donation management; (2) management and recording of resources
based on needs; (3) information needs of user acted as reporting standard; (4) report
of benefits or usefulness; (5) ideal final balance is nil and; (6) practice of
organizational values throughout the whole reporting process. Awareness of the
role of human being stands as the foundation for doing the whole practice of social
responsibility accounting. The social responsibility accounting process at RBA is
oriented to being beneficial for society. One effort carried forward to realise the
benefit for society is to disclose relevant, reliable, transparent, and accountable
information of the entity. Hence, the disclosure of information is a true form of
social responsibility itself. Furthermore, social responsibility accounting based on
awareness can shift the motive of earning long-term profit (enlightened self-
interest) into awareness to take responsibility according to the purpose of human
creation (enlightened self-responsibility).

Keywords: social responsibility, social responsibility accounting, socio-enterprise,


awareness, benefit

viii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat-Nya peneliti

dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Akuntansi Pertanggungjawaban

Sosial pada Socio-Enterprise: Studi Etnometodologi di Ruang Belajar Aqil

(RBA) sebagai syarat untuk meraih derajat Sarjana Ekonomi dari Jurusan

Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya.

Penulis menemui berbagai kendala selama proses penelitian yang berhasil

teratasi dengan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis hendak

menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Allah SWT atas segala perlindungan dan pertolongan-Nya sehingga penulis

dapat menghadapi berbagai kendala dan belajar untuk menjadi lebih baik.

2. Bapak Nurkholis, P.hD., Ak., CA. selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan

Bisnis Universitas Brawijaya.

3. Bapak Abdul Ghofar, SE., M.Si., MSA. Ak., DBA. selaku pelaksana tugas

Ketua Jurusan Akuntansi Universitas Brawijaya.

4. Bapak Dr. Aji Dedi Mulawarman, SP., MSA. selaku dosen pembimbing

yang telah bersedia memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis

selama proses penelitian dan penyusunan skripsi.

5. Ibu Dr. Lilik Purwanti, M.Si., Ak., CSRS., CA. selaku dosen penguji I yang

telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan saran untuk perbaikan

skripsi ini.

ix
6. Ibu Virginia Nur Rahmanti, SE., MSA., Ak., SAS., CA. selaku dosen

penguji II yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan saran

perbaikan skripsi ini.

7. Seluruh dosen Jurusan Akuntansi Universitas Brawijaya yang telah

memberikan ilmu dan bimbingan selama ini.

8. Alm. Ayahanda Hadi Sunaryo, Ibunda Asih Pangastuti, dan Kak Arya

Pradana Putra selaku sistem pendukung terbaik yang tiada henti

memberikan doa dan dukungan.

9. Abang Wily Ariwiguna yang telah mendampingi dan memberikan banyak

saran yang membangun selama proses penelitian dan penulisan skripsi.

10. Teman-teman KRS+: Mbak Dina, Mas Bian, Mbak Ratna, Dyka, Mas

Danu, Mbak Desti, Mbak Azwajum, Mbak Rahayu, Desi, Raka, Retno, Ega,

Eko, Zakaria, Lidya, Deny, Mas Rijal, dan Novia yang telah memberikan

banyak saran dan dukungan untuk skripsi ini.

11. Segenap pengelola Ruang Belajar Aqil (RBA) yang telah memberikan

waktu dan informasi kepada penulis untuk melakukan penelitian skripsi ini.

12. Pemangku kepentingan (stakeholders) Ruang Belajar Aqil (RBA) yang

telah bersedia membantu penulis dalam pengumpulan data penelitian.

13. Sahabat-sahabat BEM FEB UB periode 2014-2016 yang telah memberikan

dukungan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi.

14. Kawan-kawan seperjuangan S1 jurusan akuntansi angkatan 2013.

15. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas segala

dukungannya dalam proses penyusunan skripsi.

x
Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam keseluruhan

proses penelitian dan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis

mengharapkan saran dan kritik dari pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat

terutama bagi pengayaan khazanah pengetahuan akuntansi pertanggungjawaban

sosial dan socio-enterprise.

Malang, 17 Oktober 2017

Meirna Puspita Permatasari


NIM. 135020300111025

xi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN................................................................................. iii

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS......................................................... iv

RIWAYAT HIDUP............................................................................................... v

ABSTRAK ........................................................................................................... vii

ABSTRACT..........................................................................................................viii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix

DAFTAR ISI .................................................................................................... xii

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xvi

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xviii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 10

1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 10

1.4 Manfaat Penelitian ................................................................... 10

1.5 Kerangka Konseptual Penelitian .............................................. 11

xii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 12

2.1 Tanggung Jawab Sosial ............................................................ 12

2.1.1 Teori yang Melandasi Pengungkapan Tanggung Jawab

Sosial (CSR) ................................................................... 14

2.2 Pemahaman atas Akuntansi...................................................... 16

2.3 Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial .................................... 20

2.3.1 Sejarah Perkembangan Akuntansi Pertanggungjawaban

Sosial ............................................................................... 20

2.3.2 Gambaran Umum Akuntansi Pertanggungjawaban

Sosial ............................................................................... 24

2.3.3 Standar Pelaporan Global Reporting Initiative (GRI) .... 27

2.3.4 Problematika Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial ..... 28

2.4 Socio-Enterprise....................................................................... 33

2.4.1 Sejarah Perkembangan Socio-Enterprise ........................ 33

2.4.2 Gambaran Umum Socio-Enterprise ................................ 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 38

3.1 Jenis Penelitian ......................................................................... 38

3.2 Gambaran Umum Situs Penelitian ........................................... 40

3.3 Informan Penelitian .................................................................. 41

3.4. Sumber dan Jenis Data ............................................................. 41

3.5 Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 42

3.6 Teknik Analisis Data ......................................................................... 44

xiii
3.7 Uji Keabsahan Data.................................................................. 47

BAB IV ENTITAS DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL ........................ 48

4.1 Ruang Belajar Aqil (RBA) ....................................................... 48


4.1.1 Kelompok Riset Sahaja + (KRS+) ............................... 51
4.1.2 Ruang Baca dan Literasi (RBL) ................................... 52

4.1.3 Ruang Kreasi dan Diseminasi (RKD) .......................... 54

4.2 Tanggung Jawab Sosial di Ruang Belajar Aqil (RBA) ............ 55

4.2.1 Pemahaman atas Tanggung Jawab Sosial ....................... .. 55

4.2.2 Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial ........................... 58

BAB V ANALISIS INDEKSIKALITAS: AKUNTANSI

PERTANGGUNGJAWABAN SOSIAL DARI PERSPEKTIF

RUANG BELAJAR AQIL (RBA) ................................................. 64

5.1 Akad sebagai Dasar Pengelolaan Donasi……. ........................ 64

5.2 Sumber Daya Dikelola dan Dicatat Sesuai Kebutuhan ............ 67

5.3 Struktur Laporan mengikuti Kebutuhan Informasi Masyarakat 71

5.4 Pelaporan Kebermanfaatan ...................................................... 74

5.5 Saldo Akhir yang Ideal adalah Nol Rupiah.............................. 78

5.6 Pengamalan Nilai-Nilai Entitas pada Proses Pelaporan ........... 80

BAB VI ANALISIS REFLEKSIVITAS DAN AKSI INDEKSIKALITAS 83

6.1 Tanggung Jawab Sosial adalah tentang Menjaga Kepercayaan

yang Diberikan Donatur melalui Akad .................................... 83

6.2 Tidak Ada Sumber Daya yang Terbuang ................................. 86

xiv
6.3 Esensi Laporan adalah Kebermanfaatan Informasi bagi

Masyarakat ................................................................................ 89

6.4 Orientasi pada Kebermanfaatan .............................................. 92

6.5 Pengamalan Nilai Entitas dalam Proses Pelaporan ................. 96

BAB VII PANDANGAN HOLISTIK ATAS AKUNTANSI SOSIAL .... 100

7.1 Tanggung Jawab Sosial Bersifat Integral dalam

Aktivitas Pelaporan Ruang Belajar Aqil (RBA) ..................... 100

7.2 Perbedaan Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial

antara Entitas Bisnis Komersial (Commercial Enterprise)

dengan Socio-Enterprise Ruang Belajar Aqil (RBA) ............. 107

7.3 Pengembangan Pandangan Holistis atas

Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial ................................... 112

7.4 Kesesuaian dengan Syariah: Menuju Akuntansi

Pertanggungjawaban Sosial yang Holistik ............................... 114

BAB VIII ENLIGHTENED SELF-RESPONSIBILITY:

AKUNTANSI PERTANGGUNGJAWABAN SOSIAL

SEBAGAI WUJUD IBADAH KEPADA ALLAH SWT…....... 118

BAB IX PENUTUP …………………………........................................... 125

9.1 Kesimpulan ............................................................................. 125

9.2 Keterbatasan Penelitian ........................................................... 127

9.3 Saran ........................................................................................ 128

DAFTAR PUSTAKA ….................................................................................. 129

LAMPIRAN....................................................................................................... 135

xv
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Karakteristik Etika dan Moral Socio-Enterprise.................. 7

Tabel 1.2. Beberapa Socio-Enterprise di Indonesia............................... 8

Tabel 2.1. Karakteristik Socio-Enterprise............................................... 35

Tabel 3.1. Data Informan Penelitian........................................................ 44

Tabel 4.1. Matriks Analisis Indeksikalitas dan Refleksivitas .......................... 63

Tabel 7.1. Perbedaan Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial pada Commercial

Enterprise dan Socio-Enterprise........................................................ 111

Tabel 8.1 Perbedaan konsep Enlightened Self-Interest dan

Enlightened Self-Responsibility................................................. 121

xvi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1. Berita Acara Lokakarya Big Book Berisi Pesan dan Kesan.... 54
Gambar 4.2. Skema Pengelolaan Sumber Daya Ruang Belajar Aqil (RBA) 61
Gambar 5.1. Tanda Terima Donasi yang Diterima dan Dikeluarkan oleh
Ruang Belajar Aqil.................................................................... 70
Gambar 5.2. Kolom Kebermanfaatan pada Laporan Kegiatan RBA............. 77
Gambar 8.1. Pertanggungjawaban Manusia kepada Allah SWT,
Masyarakat, dan Lingkungan..................................................... 124

xvii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Transkip Wawancara Bendahara ....................................... 135


Lampiran 2. Transkrip Wawancara Koordinator Relawan...................... 138
Lampiran 3. Transkrip Wawancara Sekretaris......................................... 140
Lampiran 4. Transkrip Wawancara Koordinator...................................... 142
Lampiran 5. Transkrip Wawancara Koordinator Program RBL.............. 144
Lampiran 6. Transkrip Wawancara Penasihat.......................................... 147
Lampiran 7. Transkrip Wawancara Donatur dan Peserta Kegiatan.......... 150
Lampiran 8. Transkrip Wawancara Internal Auditor............................... 152
Lampiran 9. Catatan Lapangan #1........................................................... 155
Lampiran 10. Catatan Lapangan #2.......................................................... 157
Lampiran 11. Catatan Lapangan #3.......................................................... 158
Lampiran 12. Catatan Lapangan #4........................................................... 160
Lampiran 13. Catatan Lapangan #5............................................................ 162
Lampiran 14. Laporan Tahunan RBA 2016................................................ 163
Lampiran 15. Contoh Laporan Kegiatan RBA 2017................................... 169

xviii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanggung jawab sosial adalah sebuah kerangka etika yang menjelaskan

bahwa semua bentuk entitas, baik organisasi maupun individu, memiliki kewajiban

untuk memberikan manfaat bagi masyarakat (Palmer, 1995). Berdasarkan

pengertian tersebut, tanggung jawab sosial tidak hanya dilakukan oleh perusahaan

(commercial enterprise) melainkan juga entitas lain yang bersifat non-profit atau

sosial.

Pada era 1960-an, perusahaan mulai menjadi sasaran skeptisme publik atas

aktivitas ekonomi yang dilakukannya (Sadeghzadeh, 1995). Aktivitas perusahaan

tersebut berdampak kepada perubahan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan

di sekitarnya. Publik terus menuntut perusahaan untuk memperhitungkan biaya

sosial yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi mereka. Tuntutan publik tersebut

berimplikasi pada tuntutan akan sistem dan profesi akuntansi yang lebih

bertanggungjawab terhadap aspek sosial dan lingkungan.

Sistem akuntansi yang digunakan saat itu tidak mempertimbangkan

konsekuensi sosial seperti biaya polusi ataupun kesejahteraan sosial masyarakat

(Matthews, 1984). Konsekuensi sosial dinilai sulit untuk diukur karena minimnya

kredibilitas, kuantifibilitas, dan objektivitas (Hariadi dikutip oleh Sadeghzadeh,

1995). Inilah titik awal munculnya akuntansi sosial sebagai konsep yang dianggap

lebih inklusif untuk mengukur peristiwa sosial dan lingkungan sebagai akibat dari

1
aktivitas ekonomi perusahaan (Bebbington dan Thomson, 2007). Tujuan penerapan

akuntansi sosial adalah untuk mengevaluasi dampak sosial organisasi, menilai

efektivitas program sosial, dan melaporkan secara keseluruhan pelaksanaan

tanggung jawab sosial (Parker, 1986).

Akuntansi sosial kemudian dikhususkan kepada bidang akuntansi

pertanggungjawaban sosial yang berhubungan erat dengan implementasi program

tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR).

Akuntansi pertanggungjawaban sosial meliputi pengukuran, pencatatan, pelaporan,

dan pengungkapan informasi mengenai dampak-dampak sosial dan lingkungan dari

tindakan-tindakan ekonomi perusahaan bagi masyarakat dan pemangku

kepentingan lainnya (Lako, 2011). Dimensi pelaporan CSR mencakup informasi

kuantitatif dan kualitatif yang dilaporkan dalam laporan tahunan perusahaan

(annual report).

Meskipun aspek sosial dan lingkungan telah dipertimbangkan, bukan berarti

praktik akuntansi pertanggungjawaban sosial tidak memiliki masalah. Chwastiak

dan Young (2003) mengungkapkan bahwa terdapat banyak konten laporan tahunan

perusahaan yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Laporan dibuat dengan

mencantumkan segala kebaikan yang dilakukan oleh perusahaan tanpa

mengungkapkan dampak negatif yang mungkin ditimbulkan selama proses bisnis

berlangsung.

Keterlibatan seorang akuntan memiliki peran besar dalam menciptakan

laporan tahunan yang sedemikian rupa. Penciptaan laporan tersebut merupakan

bagian dari peran utama profesi akuntansi yaitu mengomunikasikan realitas. Tetapi,

nyaris tidak ada gambaran utuh atas realitas yang coba dilaporkan oleh seorang

2
akuntan (Hines, 1988). Banyak pihak belum menyadari bahwa seorang akuntan

bekerja untuk membentuk realitas melalui laporan yang dibuatnya. Para pengguna

laporan berpikir bahwa informasi yang terdapat di dalam sebuah laporan adalah

realitas yang terjadi.

Saat ini, praktik akuntansi pertanggungjawaban sosial didominasi oleh

kerangka konseptual yang menekankan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan

harus dapat diukur secara saintifik. Tradisi etis dan nilai-nilai kemanusiaan tidak

lagi dijadikan pertimbangan utama dalam mewujudkan tanggung jawab sosial.

(Correa-Ruiz dan Moneva-Abadia, 2011). Tujuan pengukuran saintifik atas

tanggung jawab sosial tidak lain untuk memperlihatkan respon perusahaan terhadap

pembangunan berkelanjutan dan melegitimasi perusahaan (Tregidga dan Milne

dikutip oleh Correa-Ruiz dan Moneva-Abadia, 2011).

Kemunculan konsep tanggung jawab sosial di atas dilatarbelakangi oleh

motivasi manajemen perusahaan yang dikenal dengan sebutan enlightened self-

interest (Lawrence dan Weber, 2011). Manajemen perusahaan yang berpijak

kepada gagasan enlightened self-interest akan mengorbankan keuntungan jangka

pendek demi memperoleh keuntungan jangka panjang (Spence dan Rutherfoord,

2000). Selain itu, terdapat asumsi bahwa dengan menjalankan program CSR,

mereka telah berkontribusi terhadap keberlanjutan (sustainability) dan

pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (Crowther dan Aras, 2008).

Keberlanjutan yang dipahami perusahaan hari ini bukanlah keberlanjutan

kehidupan lingkungan dan masyarakat. Gagasan enlightened self-interest telah

menggeser pemahaman atas keberlanjutan sebagai kontinuitas bisnis. Pragmatisme

ini tersirat melalui aktivitas CSR yang dilakukan dan dilaporkan oleh perusahaan.

3
Banyak perusahaan mengakui adanya keuntungan bisnis dari aktivitas CSR dalam

laporan mereka. Fakta tersebut terungkap pada hasil investigasi FTSE 100

companies (Aras dan Crowther, 2007).

Sementara itu, Blowfield dan Frynas (2005) menyatakan bahwa penerapan

program CSR belum memiliki dampak signifikan bagi perbaikan kualitas hidup

masyarakat dan lingkungan, terutama di negara-negara berkembang. Tujuan untuk

mencapai pembangunan berkelanjutan seperti yang banyak digaungkan

perusahaan, belum terlihat diimplementasikan di lapangan.

Pernyataan di atas didukung oleh temuan fakta di salah satu negara

berkembang yaitu Indonesia. Retnaningsih (2015) mengungkapkan beberapa

permasalahan implementasi CSR di Indonesia yang dilakukan oleh beberapa

perusahaan besar seperti PT. Freeport Indonesia, PT. Inti Indorayon, dan PT. Exxon

Mobil. Program CSR yang dijalankan PT. Freeport Indonesia tidak otomatis

mengangkat kualitas hidup masyarakat di sekitar wilayah operasinya di Kabupaten

Timika, Papua. Kidangen (2014) mengungkapkan bahwa biaya yang dikeluarkan

manajemen PT. Freeport Indonesia untuk melaksanakan program CSR tidak

mencapai satu persen dari keuntungan bersih yang mereka dapatkan. Dana CSR itu

pun hanya disalurkan melalui Lempaka Pembangunan Masyarakat Amungme dan

Kamoro (LPMAK).

Pragmatisme yang mendasari perancangan, implementasi, hingga pelaporan

tanggung jawab sosial jelas bertentangan dengan nilai-nilai moral, kemanusiaan,

dan ekologis. Padahal, sebagai bagian dari masyarakat, sebuah entitas hendaknya

mendasari segala bentuk kegiatannya kepada nilai-nilai kebaikan bersama. Segala

jenis keputusan entitas harus sungguh-sungguh mempertimbangkan dampak yang

4
ditimbulkan kepada kehidupan yang lain, melebihi pertimbangan atas keuntungan

semata. Pentingnya nilai kemanusiaan sebagai prinsip dasar dalam segala bentuk

tindakan ekonomi ditekankan kembali oleh Correa-Ruiz dan Moneva-Abadia

(2011):

"…humanity as the fundamental principle – being human must be the ethical


yardstick for all economic action (p.3) - with non-violence and respect for
life, justice and solidarity, honesty and tolerance, mutual esteem and
partnership...”

Bagaimanapun, kemanusiaan dan nilai-nilai kebaikan yang lainnya

sebaiknya tidak hanya digunakan sebagai prinsip dasar tindakan ekonomi.

Penggunaan nilai yang sama hendaknya berlaku terhadap perancangan,

implementasi, dan pelaporan tanggung jawab sosial. Apabila ditinjau dari segi

moral, kemanusiaan, dan ekologis, tanggung jawab sosial seharusnya bertujuan

untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat dan lingkungan melalui cara yang

etis. Namun, tujuan tersebut tidak akan terwujud jika perolehan keuntungan tetap

menjadi motif utama. Hal ini sejalan dengan pernyataan Todd (dikutip oleh

Brammal, 2014) “There's certainly bad CSR: a tiny fraction of profits used to do

'charity' for maximum publicity rather than impact.”

Pemahaman atas CSR yang tidak berorientasi kepada dampak yang diberikan

disebabkan karena posisi CSR sebagai kegiatan sampingan perusahaan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Feldman (dikutip oleh Brammal, 2014):

“CSR has tended to be a sidecar to the core business – when actually, what
we need to do is embed social and environmental considerations into the way
business functions, and investors value business. A few corporates are
pioneering this at scale, while social entrepreneurs are proving it can be done
from the ground up.”

5
Pernyataan Feldman tersebut menegaskan bahwa pertimbangan atas kepentingan

sosial dan lingkungan semestinya dijalankan sebagai fungsi bisnis. Dengan kata

lain, inti dari bisnis adalah penciptaan dampak bagi masyarakat dan lingkungan.

Pihak yang dipandang mampu menciptakan dampak bagi masyarakat dan

lingkungan adalah social entrepreneur. Para social entrepreneur adalah mereka

yang menempatkan pertimbangan sosial dan lingkungan pada posisi sentral sebuah

aktivitas.

Social entrepreneur yang menginisiasi kegiatannya berdasarkan dorongan

sosial selanjutnya disebut socio-entrepreneur (Wiguna dan Manzilati, 2014). Socio-

entrepreneur menjalankan usahanya berlandaskan semangat socio-

entrepreneurship. Gagasan socio-entrepreneuship pertama kali berkembang di

Eropa sebagai implikasi dari perubahan sistem ekonomi yang mulai berorientasi

pada perbaikan hidup masyarakat (Schnitzer dikutip oleh Wiguna dan Manzilati,

2014). Socio-entrepreneurship adalah sebuah konsep kewirausahaan yang tujuan

dan metodenya berorientasi pada nilai-nilai sosial (Wiguna dan Manzilati, 2014;

Austin et al., 2006).

Ketika seorang socio-entrepreneur membentuk sebuah entitas untuk

menjalankan misi sosialnya, entitas tersebut dikenal dengan sebutan socio-

enterprise. Sebagai sebuah entitas, socio-enterprise menjalankan aktivitasnya

secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan manusia yang gagal dipenuhi

oleh pasar.

Karakteristik efektif dan efisien didemonstrasikan melalui pengelolaan

sumber daya untuk membawa perubahan bagi masyarakat. Itulah yang

membedakan socio-enterprise dengan entitas bisnis komersial (commercial

6
enterprise); orientasi aktivitas adalah kebermanfaatan atau penciptaan nilai sosial.

Utilisasi sumber daya dilakukan berdasarkan pada kebutuhan, pemeliharaan, dan

penghindaran eksploitasi (Wiguna dan Manzilati, 2014). Socio-enterprise tidak

menggunakan kriteria ekonomi untuk mengukur kinerja. Entitas ini berorientasi

kepada proses sehingga tolok ukur kinerja mereka adalah peningkatan nilai sosial

dari kontribusi yang mereka berikan (Wiguna dan Manzilati, 2014).

Tabel 1.1
Karakteristik Etika dan Moral Socio-Enterprise

No Karakteristik Etika dan Moral Socio-Enterprise


1. Motif pendirian adalah motif sosial
2. Orientasi aktivitas adalah proses dan perilaku dalam menciptakan
dampak sosial
3. Pengukuran kinerja dari kontribusi dan keterlibatan dalam perbaikan
kualitas hidup masyarakat
4. Pengelolaan sumber daya berdasarkan kebutuhan
Sumber: Wiguna dan Manzilati (2014)

Indonesia termasuk salah satu negara yang merasakan peran penting socio-

enterprise dalam memberikan perubahan sosial selama beberapa dekade (Chaniago

dikutip oleh Pratono, et al., 2016). Pada masa lampau, entitas socio-enterprise

terbentuk atas tradisi filantropi (sekolah yang didirikan R.A. Kartini) atau

komunitas berbasis agama (Muhammadiyah) (Pratono, et. al, 2016). Kini jumlah

socio-enterprise di Indonesia semakin bertambah dengan bidang kegiatan yang

lebih beragam. Keragaman bidang dan aktivitas socio-enterprise Indonesia

dipengaruhi oleh fenomena sosial di wilayah Asia yang cukup kompleks (Defourny

dan Kim dikutip oleh Pratono, et al., 2016).

7
Tabel 1.2
Beberapa Socio-Enterprise di Indonesia

No Nama Deskripsi Aktivitas Lokasi Prestasi


1. Ade Supriatna Memberdayakan Desa Cisompet,
(Bambu Indah masyarakat dan Garut
Nusantara) melakukan
penghijauan
2. Aditha Sri Budidaya dan Gunung Kidul, Pemerintah
Pradakusuma membuat usaha pakan Yogyakarta mempercayakan
lele APBD untuk
pabrik pakan lele
3. Ambrorosius Membangun Konawe,
Ruwindrijarto komunitas logging dan Sulawesi
(TELAPAK) tebang pilih Tenggara
4. Amir Panzuri Memproduksi Yogyakarta Menjadi eksportir
kerajinan tangan ke 11 negara
5. Asep Sulaiman Ternak ayam dengan Jawa Barat
Sabanda (Grup pola inti plasma
Santika)
6. Bahrudin Mendirikan SMP Salatiga, Jawa
Alternatif Qaryah Tengah
Tabiyyah
7. Bambang Sugoro Mengajar membatik, Semarang,
budidaya belut, Jawa Tengah
memproduksi madu,
dll

Sumber: Social Entrepreneurship Academy (2013)

Ruang Belajar Aqil (RBA) adalah salah satu socio-enterprise yang memenuhi

kriteria pada matriks socio-entrepreneurship yang tersaji. Entitas ini memiliki visi

menjadikan bangsa yang lebih baik dengan kepedulian dan penerapan nilai

pembelajaran. Visi tersebut diwujudkan dalam upaya pemberdayaan pemuda

(Laporan Tahunan RBA, 2016). Para pemuda tergabung dalam program riset

bernama Kelompok Riset Sahaja + (KRS+). Selain itu, RBA juga berperan dalam

perbaikan kualitas literasi masyarakat melalui program Ruang Baca dan Literasi

(RBL). Beragam proyek sosial pun dikerjakan untuk meningkatkan dampak sosial

yang hendak diberikan kepada masyarakat dan lingkungan sekitar (Laporan

Tahunan RBA, 2016).

8
RBA merupakan salah satu dari sekian banyak entitas socio-enterprise yang

ada di Indonesia. Meskipun dampak sosial yang diberikan semakin banyak,

akuntansi pertanggungjawaban sosial pada socio-enterprise belum banyak

diketahui oleh masyarakat. Hal ini dipengaruhi oleh minimnya tinjauan tanggung

jawab sosial dari sisi organisasi non pemerintah (NGO) dan organisasi lain yang

bersifat sosial. Selain itu, ketersediaan literatur tentang socio-enterprise itu sendiri

masih belum banyak ditemukan (Pratono, et al., 2016). Literatur yang ada hanya

membahas sebatas aktivitas sosial atau studi kebijakan pada socio-enterprise.

Meninjau kembali konsep socio-enterprise yang memiliki fokus utama pada

sisi sosial daripada ekonomi, peneliti tertarik untuk memahami akuntansi

pertanggungjawaban sosial dari sisi sebuah entitas socio-enterprise. Peneliti ingin

mengetahui apakah nilai-nilai sosial yang melandasi aktivitas entitas socio-

enterprise turut terwujudkan dalam akuntansi pertanggungjawaban sosial yang

mereka terapkan. Oleh karena itu, ketertarikan peneliti dalam memahami konsep

akuntansi pertanggungjawaban sosial pada entitas socio –enterprise dituangkan

dalam penelitian yang berjudul “Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial pada

Entitas Socio-Enterprise: Studi Etnometodologi pada Ruang Belajar Aqil

(RBA)”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, rumusan masalah pada penelitian ini adalah

sebagai berikut: Bagaimana akuntansi pertanggungjawaban sosial pada Ruang

Belajar Aqil (RBA)?

9
1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan akuntansi pertanggungjawaban sosial

pada Ruang Belajar Aqil (RBA).

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Akademis

a. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan tambahan wawasan di

bidang akuntansi terkait konsep akuntansi pertanggungjawaban sosial

pada entitas socio-enterprise

b. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi referensi untuk penelitian-

penelitian lain di masa yang akan datang.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan saran untuk temuan

akuntansi pertanggungjawaban sosial di Ruang Belajar Aqil (RBA).

b. Penelitian ini diharapkan mampu memberi tambahan informasi

mengenai akuntansi pertanggungjawaban sosial bagi para pelaku

socio-enterprise.

c. Penelitian ini diharapkan mampu membantu socio-enterprise lain

untuk membuat laporan pertanggungjawaban dengan pencatatan

akuntansi sederhana.

10
d. Penelitian ini diharapkan mampu membangun kesadaran mengenai

pentingnya tanggung jawab sosial bagi masyarakat untuk

menyelesaikan permasalahan yang ada.

1.5. Kerangka Konseptual Penelitian

Latar Belakang
Akuntansi pertanggungjawaban sosial didominasi oleh pembahasan
seputar pelaporan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Padahal,
socio-enterprise adalah entitas yang justru menempatkan tanggung
jawab sosial sebagai aktivitas inti. Namun, pembahasan akuntansi
pertanggungjawaban sosial dari perspektif socio-enterprise masih
terbatas.

Rumusan Masalah
Bagaimana akuntansi pertanggungjawaban sosial pada entitas
socio-enterprise Ruang Belajar Aqil (RBA)?

Pendekatan penelitian
Studi etnometodologi

Situs dan Informan Penelitian


Ruang Belajar Aqil (RBA) dengan penasihat dan pengelola
sebagai informan

Teknik Pengumpulan Data


- Observasi
- Wawancara
- Studi dokumen

Teknik Analisis Data


- Indeksikalitas
- Refleksivitas
- Aksi Kontekstual
- Penyajian common sense knowledge of social structure

Sintesis
Akuntansi pertanggungjawaban sosial pada entitas socio-enterprise
Ruang Belajar Aqil (RBA)

Sumber: Peneliti (2017)

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanggung Jawab Sosial

Tinjauan mengenai tanggung jawab sosial terus berkembang selama beberapa

dekade terakhir. Sebagian besar mengarah kepada tanggung jawab sosial yang

dilakukan oleh entitas bisnis atau perusahaan yang bersifat komersial. Tanggung

jawab sosial tersebut kemudian dikenal dengan nama Corporate Social

Responsibility (CSR). Pelaksanaan CSR hari ini telah banyak dipengaruhi oleh

konsep triple bottom line (3P) yang dikemukakan oleh John Elkington (1997).

Konsep tersebut menegaskan pentingnya integrasi tanggung jawab bisnis atas aspek

ekonomi (profit), sosial (people), dan lingkungan (planet).

Secara definitif, Lawrence dan Weber (2011) mengartikan tanggung jawab

sosial sebagai “The idea that businesses interact with the organization’s

stakeholders for social good while pursuing economic goals.” Definisi lain tentang

tanggung jawab sosial juga diungkapkan oleh World Business Council on

Sustainable Development (2000) yaitu “CSR is the commitment of business to

contribute to sustainable economic development, working with employees, their

families, the local community, and society at large to improve their quality of life.”

Sementara itu, European Communities dalam Khan dan Lund-Thomsen (2011)

menyebutkan bahwa European Commission mendefinisikan CSR sebagai “A

concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their

business operation and in their interaction with their stakeholders on a voluntary

basis.” Dari beberapa pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa CSR

12
adalah komitmen entitas bisnis atau perusahaan untuk mengintegrasikan

kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam setiap aktivitas bisnis yang

dijalankan. Integrasi tersebut melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders)

yang beragam.

Kesadaran perusahaan untuk melakukan CSR umumnya didasari oleh

pemahaman bahwa keterlibatan perusahaan dalam penyelesaian permasalahan

sosial akan berpengaruh positif pada kelangsungan bisnis dan keuntungan jangka

panjang (enlightened self-interest) (Spence dan Ruthefoord, 2001). Itulah mengapa

menjadi penting bagi perusahaan untuk mengidentifikasi siapa saja yang termasuk

ke dalam kelompok stakeholders. Dengan mengetahui stakeholders yang ada,

perusahaan akan mengupayakan program tanggung jawab sosial untuk

mendapatkan legitimasi dari mereka.

Blowfield dan Frynas (2005) mengungkapkan salah satu kunci kesuksesan

CSR bagi perusahaan adalah pelaksanaan dan pengungkapan secara sukarela.

Beberapa dekade ke belakang, terdapat aturan formal yang mengatur bahwa bisnis

harus melakukan tanggung jawab sosial dan melaporkannya sesuai ketentuan.

Perusahaan yang menggunakan pendekatan sukarela dinilai telah memperlihatkan

itikad baik untuk berkontribusi terhadap penyelesaian permasalahan sosial dan

lingkungan.

Tinjauan tanggung jawab sosial yang condong kepada sisi bisnis komersial

memantik pendapat berbeda dari beberapa pihak. Dalam artikelnya, Morris (2011)

mencoba meninjau tentang tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh organisasi

non pemerintah (NGO) dan organisasi sosial lainnya. Sementara, Heath dan Ni

(2008), menyebutkan bahwa penggunaan istilah Social Responsibility (SR) tanpa

13
mencantumkan kata Corporate di depannya menegaskan pengakuan pada tanggung

jawab sosial yang dimiliki oleh NGO dan organisasi sosial. Bagaimanapun bentuk

formalnya, sebuah organisasi memiliki tanggung jawab untuk menjalankan

aktivitasnya sesuai dengan kepentingan bersama dan tidak menyakiti pihak mana

pun.

Tanggung jawab sosial sesungguhnya lahir dari kebutuhan antar kelompok

masyarakat yang saling terkait. Konsep tanggung jawab sosial muncul sebagai

langkah untuk memahami tindakan organisasi yang terintegrasi dengan lingkungan

serta menghargai hak dan martabat masyarakat (Vidal et al., 2005). Keberadaan

tanggung jawab sosial memengaruhi sikap dan tindakan organisasi secara

keseluruhan. Organisasi yang telah menggabungkan tanggung jawab sosial secara

penuh di dalamnya akan mementingkan komitmen sesuai dengan nilai-nilai dan

peran mereka di masyarakat.

Organisasi yang bersifat not-for-profit (NFPO) umumnya tidak memiliki

masalah atas pelaksanaan tanggung jawab sosial secara sukarela. Hal tersebut

disebabkan oleh nilai-nilai inti mereka yang sedari awal memiliki fokus pada

pemenuhan tanggung jawab sosial kepada masyarakat (Vidal et al., 2005). Dengan

demikian, tanggung jawab sosial yang dimiliki NFPO secara umum telah melekat

pada aktivitas inti mereka yang sejalan dengan nilai-nilai yang mereka

pertimbangkan.

2.1.1 Teori yang Melandasi Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial (CSR)

Terdapat beberapa teori yang berhubungan degan pelaksanaan dan pelaporan

tanggung jawab sosial perusahaan. Teori-teori tersebut antara lain:

14
1. Teori Legitimasi (Legitimacy Theory)

Pertama kali diungkapkan oleh Suchman pada 1995, teori legitimasi

berbicara tentang upaya organisasi untuk menyesuaikan tindakannya

dengan apa yang dianggap benar oleh masyarakat (Mir, et al., 2013).

Saat perusahaan berperilaku sesuai dengan norma dan nilai yang

berlaku di masyarakat, kesempatan perusahaan untuk memperoleh

persetujuan atau legitimasi pun semakin besar. Pelaporan CSR adalah

salah satu alat perusahaan untuk memperoleh legitimasi dari

masyarakat. Tujuan dari legitimasi tersebut adalah agar perusahaan

dapat terus beroperasi dan memperoleh keuntungan hingga masa yang

akan datang.

2. Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory)

Teori ini memandang bahwa perusahaan tidak hanya bertanggung

jawab kepada investor, melainkan juga pemangku kepentingan

(stakeholders) lainnya. Omran dan Ramdhony (2015) mengatakan

bahwa teori ini digunakan oleh manajemen perusahaan untuk

menganalisis pihak-pihak yang kepentingannya bersinggungan dengan

kepentingan perusahan. Dengan berpijak pada teori ini, manajemen dapat

mengidentifikasi karakter dan kebutuhan masing-masing pemangku

kepentingan dan menyesuaikannya dengan strategi CSR. Teori ini juga

menegaskan bahwa manajemen harus mempertimbangkan pihak-pihak

yang berpotensi terdampak oleh aktivitas perusahaan (Wicks et al. dalam

Omran dan Ramdhony, 2015). Kepentingan pihak-pihak tersebut harus

15
diantisipasi dengan seksama, terutama yang berpotensi membawa

dampak ekonomi bagi perusahaan.

3. Teori Kontrak Sosial (Social Contract Theory)

Teori ini memiliki hubungan dengan teori pemangku kepentingan

(stakeholders theory). Inti dari teori ini adalah perusahaan menempati

posisi di tengah sistem masyarakat. Oleh karena itu, perusahaan terikat

oleh kontrak implisit untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Ketika

kebutuhan tersebut tidak mampu terpenuhi, potensi konflik antara

perusahaan dan masyarakat akan muncul. Manajemen perusahaan harus

mengambil keputusan secara etis untuk meminimalisasi potensi konflik.

Saat perusahaan berlaku etis dalam operasionalnya, maka kebutuhan

mereka akan dukungan masyarakat dapat terus terpenuhi. Dukungan

tersebut dibutuhkan agar peningkatan laba dan keberlanjutan perusahaan

dapat terjamin (Mir et al., 2013). Berbagai pendekatan sosial pun

dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh dukungan dari

masyarakat. Salah satunya melalui penerapan dan pengungkapan CSR

(Omran dan Ramdhony, 2015).

2.2. Pemahaman atas Akuntansi

The American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) (1941)

pertama kali mendefinisikan akuntansi sebagai: “…the art of recording, classifying,

and summarizing in a significant manner and in terms of money, transactions, and

events which are, in part at least, of financial character and interpreting the results

thereof.”

16
Definisi tersebut menggambarkan proses akuntansi dalam operasional bisnis

sebuah entitas. Realitas atau transaksi yang terjadi selama kegiatan operasional

berlangsung dicatat ke dalam jurnal, buku kas, dan buku lainnya sesuai bukti-bukti

yang menerangkan keterjadiannya.

Transaksi yang tercatat selanjutnya akan diklasifikasikan ke dalam akun-akun

yang sesuai. Sebuah ikhtisar atas transaksi akan terbentuk dan memperlihatkan

informasi untuk pengguna internal maupun eksternal. Informasi inilah yang

selanjutnya diinterpretasikan untuk kepentingan pengambilan keputusan.

Pada dasarnya, akuntansi adalah fungsi yang bertujuan untuk

mengomunikasikan informasi atas aktivitas sebuah entitas (Maharshi Dayanand

University, 2004). Sebagai sebuah alat komunikasi entitas, akuntansi memberikan

informasi melalui laporan yang diterbitkan secara terjadwal. Laporan tersebut

berperan sebagai alat untuk memenuhi tanggung jawab menyiapkan informasi bagi

para pemangku kepentingan (stakeholders).

Selain itu, Ijiri (dikutip oleh Lamberton, 2005) menyatakan bahwa laporan

didesain untuk mengevaluasi kinerja yang berkaitan dengan tujuan akuntabilitas

atau pertanggungjawaban atas segala keputusan yang diambil. Pembahasan

mengenai akuntansi sebagian besar berhubungan dengan konteks bisnis komersial.

Meskipun demikian, organisasi non-komersial atau sosial juga wajib menggunakan

akuntansi sebagai alat pertanggungjawaban atas aktivitas mereka (CPA Australia,

2012:6).

Secara garis besar, akuntansi terbagi ke dalam dua jenis yaitu akuntansi

keuangan dan akuntansi manajemen. Akuntansi keuangan adalah sebuah metode

untuk melaporkan hasil dan posisi keuangan sebuah bisnis. Laporan akuntansi

17
keuangan memuat informasi yang bersifat historis. Tujuan dari akuntansi keuangan

adalah untuk memenuhi kebutuhan informasi pihak-pihak yang tidak terlibat di

dalam manajemen bisnis.

Akuntansi manajerial memiliki perbedaan dengan akuntansi keuangan.

Kebutuhan informasi manajemen jauh melebihi pihak eksternal. Manajemen

memiliki tanggung jawab untuk menyusun rencana jangka panjang dan jangka

pendek, mengelola segenap sumber daya, dan mengambil keputusan atas

pelaksanaan kegiatan. Informasi yang lebih rinci dibutuhkan untuk membantu

manajemen dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut. Informasi yang

disediakan umumnya bersifat historis dan prediktif.

Selain untuk pengambilan keputusan, akuntansi memiliki fungsi

penatagunaan (stewardship). Fungsi tersebut bertujuan untuk melaporkan

penggunaan sumber daya dan kewajiban kepada investor. Kehadiran fungsi

stewardship disebabkan oleh adanya pendelegasian wewenang dari investor kepada

manajemen dalam pengelolaan sumber daya milik investor (Gjesdal, 1981).

Akan tetapi, seiring dengan kondisi sosio-ekonomi yang berubah, definisi

stewardship turut mengalami perubahan. Lawrence dan Weber (2011)

menyebutkan bahwa kini entitas memiliki kewajiban untuk melaporkan

penggunaan sumber daya dan kondisi terkini dari aktivitasnya kepada masyarakat.

Hal ini tidak lain karena entitas memiliki sumber daya yang penggunaannya dapat

berpengaruh kepada masyarakat secara luas. Sehingga, penting bagi entitas untuk

memandang masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan (stakeholders).

Sebagai alat komunikasi entitas, akuntansi juga disebut alat linguistik. Sifat

kebahasaan ini terlihat dari penggunaan simbol seperti pada debit (Dr) dan kredit

18
(Cr) beserta sistematika penggunaan keduanya agar dapat menghasilkan makna.

Dengan demikian, laporan tersebut diharapkan dapat memberikan informasi yang

membantu pengguna dalam pengambilan keputusan.

Sebagai alat linguistik, laporan akuntansi tidak terpisahkan dari dimensi

retorika. Para akuntan menyertakan keahlian berbahasa dalam penyusunan laporan.

Bahkan, retorika disebut sebagai elemen pendukung praktik dan regulasi akuntansi

(Potter, 2005). Namun, keahlian berbahasa tersebut berpotensi digunakan untuk

memanipulasi kata-kata sedemikian rupa agar tercipta pemahaman yang berbeda

dari sebuah informasi. Motif yang mendasari akuntan untuk memanipulasi kata-

kata pun bermacam-macam. Salah satu yang paling sering digunakan adalah motif

memperoleh keuntungan.

Selain itu, dalam proses akuntansi terdapat serangkaian konsep, prosedur, dan

regulasi yang harus dipatuhi. Ketiga poin tersebut tidak serta merta ditemukan dan

diberlakukan, melainkan terbentuk dari rancangan yang disepakati bersama

(Maharshi Dayanand University, 2004).

Seiring dengan perkembangan zaman, akuntansi tidak hanya dipandang

sebagai sebuah teknik mencatat dan melaporkan. Aktivitas akuntansi mulai

dipertimbangkan sebagai sebuah praktik sosial dan institusional. Miller (dikutip

oleh Potter, 2005) menjelaskan praktik sosial dan institusional melalui keterkaitan

akuntansi dengan sifat linguistiknya. Penjelasan tentang sifat linguistik terdapat

dalam penggunaan bahasa dan simbol yang memiliki makna tertentu.

Akuntansi sebagai praktik sosial dan institusional memiliki rangkaian makna

yang dituangkan dalam bentuk bahasa, simbol, dan aktivitas keseharian. Makna

yang mendasari aktivitas disebut alasan atau rationales. Dengan kata lain, akuntansi

19
sebagai praktik sosial dan insitusional merupakan perwujudan makna melalui

bahasa dan aktivitas yang diterima dan dipahami sebagai norma-norma organisasi.

Gambaran mengenai sebuah organisasi atau entitas pun dapat terlihat melalui

aktivitas kesehariannya.

Salah satu contohnya adalah pembuatan laporan keuangan yang sebisa

mungkin menyampaikan gagasan akuntabilitas dalam kinerja entitas. Beberapa

nilai akan berusaha diwujudkan untuk mendukung gagasan tersebut. Umumnya,

nilai yang diusung antara lain tanggung jawab, efisiensi, transparansi, dan

akuntabilitas itu sendiri. Jika nilai-nilai tersebut tidak terlaksana dengan baik, saat

itulah kepandaian akuntan dalam beretorika dapat digunakan. Hal tersebut

dinamakan Hines (1988) sebagai metode kosmetik. Dengan demikian, laporan

dapat tetap menghasilkan informasi yang memberikan kesan positif dan berdampak

positif pula bagi kelangsungan entitas.

2.3. Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial

2.3.1 Sejarah Perkembangan Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial

Gagasan pertama mengenai akuntansi sosial dan lingkungan dikemukakan

oleh seorang ekonom Amerika bernama Howard Bowen pada tahun 1953

(Sukoharsono, 2010). Dasar yang menginsipirasi kemunculan praktik akuntansi

sosial tersebut berbunyi “It refers to the obligation of businessman to pursue those

policies, to make those decisions, or to follow those lines of action which are

desirable in terms of the objectives and values of our society.” Kutipan tersebut

menjelaskan bahwa pelaku bisnis memiliki kewajiban untuk mematuhi ketentuan

agar aktivitas mereka memberikan dampak positif kepada masyarakat.

20
Konsep mengenai entitas bisnis mengalami pergeseran dari masa ke masa.

Entitas bisnis atau perusahaan yang awalnya hanya berperan menghasilkan

keuntungan, mulai dipandang sebagai entitas yang mampu memengaruhi

kehidupan ekonomi dan sosial. Besarnya sumber daya yang dikelola menjadi salah

satu penyebab meningkatnya pengaruh sebuah entitas. Ditambah lagi, sumber daya

tersebut tidak hanya berasal dari pemilik modal, melainkan lingkungan sosial

tempat entitas tersebut beraktivitas (Kholis, 2002). Kegiatan operasional untuk

memenuhi kebutuhan ekonomi terbukti memberikan dampak atau eksternalitas

terhadap kehidupan masyarakat maupun lingkungan. Publik pun meminta

perusahaan untuk bertanggung jawab atas perubahan yang diciptakannya.

Permintaan tersebut semakin meningkat pada tahun 1960-an. Pada saat itu,

perusahaan menjadi target skeptisme publik atas aktivitas ekonomi mereka. Publik

pun menuntut adanya tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social

Responsibility (CSR) (Sadeghzadeh, 1995). Ekonom klasik dan pelaku bisnis

menyepakati adanya tanggung jawab tersebut. Namun, tanggung jawab sosial yang

dimaksud hanya sebatas penggunaan sumber daya organisasi mereka secara efisien

untuk menghasilkan barang dan jasa dengan harga yang terjangkau oleh

masyarakat. Dengan demikian, hasil penjualan akan dapat dikontribusikan kembali

untuk membayar pajak dan membuka peluang pekerjaan (Davis dalam

Sukoharsono, 2010).

Ternyata publik membutuhkan lebih dari itu. Tanggung jawab sosial berarti

entitas atau perusahaan harus bertanggungjawab atas segala tindakan yang

berpengaruh kepada masyarakat. Kerusakan akibat perbuatan perusahaan sebisa

mungkin harus diakui dan diperbaiki (Lawrence dan Weber, 2011). Ekspektasi

21
masyarakat terhadap bisnis pun berubah dari sekadar “tidak menyakiti” menjadi

“melakukan sesuatu yang positif”. Ruang lingkup tanggung jawab sosial menjadi

lebih luas. Tidak hanya berbicara keuntungan, melainkan juga meliputi

kesejahteraan sosial masyarakat dan pelestarian lingkungan hidup, sesuai konsep

triple bottom line yang dikemukakan oleh John Elkington pada 1997.

Perubahan lingkup tanggung jawab perusahaan mengikutsertakan aspek lain

yang harus diperhitungkan. Keselamatan pekerja, upaya perbaikan lingkungan

pasca produksi, kepedulian sosial terhadap masyarakat sekitar, dan standar kualitas

produk adalah sebagian kecil dari banyak aspek yang harus dipertimbangkan oleh

perusahaan. Selain itu, pemangku kepentingan harus diidentifikasi dengan seksama

agar tindakan pertanggungjawaban menjadi tepat dan sesuai. Perubahan ini turut

berpengaruh terhadap akuntansi yang digunakan sebagai alat komunikasi

perusahaan.

Sebelumnya, sistem akuntansi konvensional kesulitan memperhitungkan

konsekuensi sosial dan lingkungan karena dinilai tidak kredibel, tidak dapat

dikuantifikasi, dan tidak objektif (Hariadi dikutip oleh Sadeghzadeh, 1995).

Sementara, tuntutan bagi perusahaan untuk memperhitungkan konsekuensi tersebut

terus berdatangan dari banyak pihak. Akuntansi, sebagai alat komunikasi

perusahaan, berperan besar untuk menyajikan segala informasi sesuai kebutuhan

para pemangku kepetingan (stakeholders) termasuk publik. Sehingga, laporan

perusahaan diharapkan tidak hanya bermuatan informasi kuantitatif, melainkan

juga informasi kualitatif atas aspek sosial yang diperhitungkan.

Akuntansi sosial menjadi respon para akuntan dalam menanggapi tuntutan

tersebut. O’Dwyer (dikutip oleh Tilt, 2009) menyatakan bahwa akuntansi adalah

22
sebuah mekanisme untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perusahaan

dengan menyertakan perhatian pada aspek sosial, etika, dan lingkungan. Dengan

demikian, akuntansi sosial berperan besar dalam pelaksanaan dan pelaporan

program tanggung jawab sosial perusahaan.

Mathews (1984) memberikan klasifikasi lebih rinci di bawah akuntansi sosial.

Salah satunya ada akuntansi pertanggungjawaban sosial yang mengacu pada

pengungkapan informasi finansial dan non-finansial, kuantitatif dan kualitatif, atas

aktivitas sebuah perusahaan. Gagasan lainnya dikemukakan oleh Gray (1993)

mengenai akuntansi sustainabilitas sebagai kontribusi terhadap akuntansi sosial dan

lingkungan (Lamberton, 2005; Sukoharsono, 2010).

Elkington (1997) kemudian menerjemahkan akuntansi sosial sebagai wujud

dari sustainabilitas. Pelaksanaan akuntansi sustainabilitas kemudian mengacu

kepada gagasan triple bottom line (TBL). Sesuai gagasan tersebut, perusahaan

harus memenuhi dan melaporkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan (profit,

people, planet). Sustainabilitas atau keberlanjutan dipandang sebagai upaya

pemeliharaan progresif atas kapasitas pendukung kehidupan di planet bumi.

Keberhasilan upaya tersebut tidak dapat diukur dari kriteria ekonomi semata. Oleh

karena itu, kriteria yang digunakan harus mencakup nilai sosial dan lingkungan.

Pengembangan kriteria pengukuran tanggung jawab sosial perusahaan

memasuki fase berikutnya. Sebuah organisasi bernama Global Reporting Initiative

(GRI) mengeluarkan standar pelaporan keberlanjutan yaitu GRI Sustainability

Accounting Guidelines. Indikator non-moneter mulai digunakan karena banyak

aspek kinerja sosial yang sulit untuk diukur secara kuantitatif (Lamberton, 2005).

23
Sementara, Sukoharsono (2010) menjelaskan bahwa akuntansi seharusnya

dipahami lebih jauh dari sebatas materialitas. Praktik akuntansi juga harus

meperhitungkan aspek sosio-spiritual. Setiap individu atau organisasi hendaknya

melakukan tanggung jawab ekonomi, sosial, dan lingkungan kepada stakeholders

dengan berbasis holy spirit. Nilai spiritualitas diturunkan ke dalam lima unsur yaitu

kasih yang tulus, cinta yang tulus, kesadaran transendental, kontemplasi diri, dan

kejujuran.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa akuntansi

pertanggungjawaban terus mengalami perkembangan semenjak awal

kemunculannya. Berbagai indikator terus ditambahkan untuk meningkatkan

kualitas informasi dan akuntabilitas sebuah laporan tanggung jawab sosial.

Perkembangan gagasan akuntansi pertanggungjawaban sosial pun mulai

menyentuh aspek yang lebih jauh yaitu nilai spiritual.

2.3.2 Gambaran Umum Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial

Akuntansi pertanggungjawaban sosial bukanlah istilah yang secara baku

harus digunakan untuk mengukur konsekuensi sosial dan lingkungan yang

ditimbulkan oleh aktivitas ekonomi sebuah entitas. Beberapa pakar menyebutnya

dengan istilah akuntansi sosial (social accounting). Ramanathan (dikutip oleh

Islam, 2015) menjelaskan bahwa akuntansi sosial adalah proses pemilihan variabel,

pengukuran, dan prosedur pengukuran kinerja sosial perusahaan. Akuntansi sosial

juga didefinisikan sebagai proses komunikasi atas dampak sosial dan lingkungan

yang ditimbulkan oleh aktivitas ekonomi perusahaan (Gray dikutip oleh Islam,

2015; Bebbington dan Thomson, 2007).

24
Istilah akuntansi pertanggungjawaban sosial dikemukakan oleh Mathews

(1984) sebagai salah satu item dalam klasifikasi penelitian akuntansi sosial. Namun,

definisi istilah tersebut kurang lebih sama dengan akuntansi sosial yaitu

pengungkapan informasi finansial dan non-finansial, kuantitatif dan kualitatif atas

aktivitas perusahaan atau entitas. Kholis (2002) menyatakan bahwa akuntansi

pertanggungjawaban sosial adalah istilah yang banyak digunakan oleh pakar

akuntansi di Indonesia untuk menyebut akuntansi yang memerlukan laporan

mengenai pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan.

Gray (dikutip oleh Lamberton, 2005) menyatakan akuntansi sosial sebagai

‘semesta (universe)’ bagi segala bentuk akuntansi. Dalam konteks tersebut,

informasi sosial harus diprioritaskan dan dilaporkan dengan hati-hati. Sementara,

Mook et al. (2007) mendefinisikan akuntansi sosial sebagai analisis sistematis atas

dampak organisasi kepada kelompok kepentingan (stakeholders) dengan

memasukkan kelompok kepentingan sebagai data yang dianalisis untuk laporan

akuntansi.

Menurut Ramanathan (dikutip oleh Mathews, 1984), akuntansi

pertanggungjawaban sosial memiliki tiga tujuan yaitu (1) mengidentifikasi dan

mengukur kontribusi sosial perusahaan secara periodik, termasuk di dalamnya

adalah biaya sosial dan manfaat sosial; (2) menentukan apakah strategi perusahaan

dalam melakukan tanggung jawab sosial telah konsisten dengan prioritas sosial

yang diterima secara luas; (3) menyediakan informasi yang relevan atas tujuan,

kebijakan, program, kinerja, dan kontribusi perusahaan terhadap tujuan sosial.

Praktik akuntansi pertanggungjawaban sosial sebagian besar diturunkan dari

prinsip dan praktik akuntansi tradisional. Komponen-komponen yang diturunkan

25
antara lain laporan akuntansi, prinsip akuntansi, catatan akuntansi, tujuan dari

model akuntansi, dan atribut kualitatif (Lamberton, 2005). Turunan dari akuntansi

tradisional tersebut kemudian diberikan indikator pengukuran kualitatif. Hasil

pengukuran yang diperoleh akan dijelaskan secara naratif.

Akuntansi pertanggungjawaban sosial mempertimbangkan tiga faktor yaitu

(a) finansial (kelangsungan organisasi secara ekonomi); (b) sosial (penciptaan nilai

bagi masyarakat); dan (c) lingkungan (kinerja ramah lingkungan dan rekonstruksi

sumber daya alam) (Giovannoni dan Fabietti dikutip oleh Mook, 2014). Pemenuhan

ketiga faktor tersebut dilakukan secara terintegrasi dalam kegiatan perusahaan.

Pelaporan akuntansi pertanggungjawaban sosial dari sebuah entitas mengacu

kepada prinsip pelaporan yang ada pada standar pelaporan AA1000

(AccountAbility, 2008) yaitu:

1. Inklusivitas

Inklusivitas adalah partisipasi pemangku kepentingan dalam

mengembangkan dan mencapai respons yang akuntabel dan strategis

terhadap keberlanjutan. Pemangku kepentingan adalah individu,

kelompok individu atau organisasi yang mempengaruhi dan/atau dapat

dipengaruhi oleh aktivitas, produk, atau layanan organisasi dan kinerja

yang terkait.

2. Materialitas

Materialitas adalah penentuan relevansi dan pentingnya sebuah isu

terhadap sebuah organisasi dan pemangku kepentingannya. Sebuah isu

dianggap material ketika memengaruhi keputusan, tindakan dan kinerja

organisasi atau pemangku kepentingannya.

26
3. Responsivitas

Responsivitas adalah tingkat respon organisasi terhadap isu-isu

pemangku kepentingan yang memengaruhi keberlanjutan dan

diwujudkan melalui keputusan, tindakan dan kinerja, serta komunikasi

dengan pemangku kepentingan.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah akuntansi

pertanggungjawaban sosial bukanlah sebuah istilah baku yang digunakan dalam

melakukan pengukuran dan pelaporan tanggung jawab sosial. Istilah tersebut sering

pula disebut dengan akuntansi sosial. Kedua istilah tersebut memiliki pengertian

yang secara garis besar sama yaitu sebuah proses untuk mengomunikasikan dampak

sosial yang ditimbulkan oleh aktivitas sebuah entitas kepada para pemangku

kepentingan (stakeholders). Proses tersebut melibatkan beberapa prinsip dan faktor

untuk memenuhi kebutuhan informasi dampak sosial yang akuntabel. Atribut

kualitatif turut disertakan untuk menyajikan informasi yang tidak dapat disajikan

secara kuantitatif.

2.3.3 Standar Pelaporan Global Reporting Initiative (GRI)

Global Reporting Initiative (GRI) adalah sebuah organisasi internasional

yang menetapkan standar pelaporan tanggung jawab sosial. Tujuan penetapan

standar tersebut adalah membantu berbagai jenis organisasi, baik for-profit maupun

non-profit, dalam mengomunikasikan kontribusi mereka terhadap perbaikan sosial

dan lingkungan (GRI, 2017).

GRI menganjurkan organisasi untuk melaporkan dampak ekonomi, sosial,

dan lingkungan dari aktivitas mereka sehari-hari dalam sebuah laporan bernama

27
laporan keberlanjutan. Tujuan internal dari laporan tersebut adalah untuk

membantu organisasi dalam memahami dan mengelola dampak-dampak tersebut.

Sementara, tujuan eksternalnya adalah untuk meningkatkan reputasi perusahaan

dan kepercayaan investor serta stakeholders lain.

Standar terbaru dari GRI adalah G4. Standar ini menekankan pada konsep

materialitas informasi. Makna dari materialitas adalah tingkat pengaruh informasi

terhadap pengambilan keputusan stakeholders terutama investor (Ernst & Young,

2016). G4 pun menetapkan indikator yang harus dicantumkan organisasi dalam

laporan keberlanjutan mereka. Indikator tersebut disesuaikan dengan kebutuhan

informasi investor yang berpengaruh terhadap kelangsungan perusahaan.

2.3.4 Problematika Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial

Berdasarkan pemaparan mengenai akuntansi pertanggungjawaban sosial di

atas, dapat diketahui bahwa literatur yang selama ini berkembang lebih banyak

membahas tentang akuntansi pertanggungjawaban sosial dari sisi entitas yang

bersifat komersial atau perusahaan. Sementara, tinjauan dari sisi organisasi non-

pemerintah (NGO) atau organisasi lain yang bersifat sosial masih terbatas. Lebih

lanjut, pembahasan mengenai problematika akuntansi pertanggungjawaban sosial

akan meliputi tiga bagian yang saling berhubungan yaitu pelaksanaan tanggung

jawab sosial, organisasi yang melakukan tanggung jawab sosial, dan pelaporan

tanggung jawab sosial.

Tanggung jawab sosial, sebagaimana dibahas pada bagian sebelumnya, kerap

diidentifikasi sebagai bagian dari operasional perusahaan sehingga disebut dengan

Corporate Social Responsibility (CSR). Pelaksanaan CSR dilandasi oleh teori

28
legitimasi yang berbunyi “Legitimacy is a generalized perception or assumption

that the actions of an entity are desirable, proper, or appropriate within some

socially constructed system of norms, values, beliefs, and definitions.” Berdasarkan

teori tersebut, perusahaan sebagai sebuah entitas harus bertindak sesuai dengan

nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Kesesuaian tindakan dengan nilai yang

berlaku akan mendorong masyarakat untuk menerima perusahaan sebagai bagian

dari mereka. Keberlanjutan operasi perusahaan pun lebih terjamin.

Teori legitimasi berkembang menjadi konsep enlightened self-interest.

Berkontribusi aktif dalam penyelesaian isu sosial secara sadar akan menghasilkan

keuntungan jangka panjang bagi perusahaan. Sikap perusahaan yang

bertanggungjawab terhadap lingkungan sekitarnya merupakan sebuah strategi

untuk membentuk citra baik dan sekaligus menjadi strategi pemasaran (Spence dan

Ruthefoord, 2001).

Program CSR disiapkan perusahaan untuk mencapai tujuan legitimasi.

Meskipun memasukkan elemen sosial, namun pelaksanaan program CSR tidak

selalu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Prasetyantoko (dikutip oleh

Retnaningsih, 2015) menyebutkan bahwa kedalaman praktik CSR di lapangan

sangat terbatas. Kedermawanan sosial yang ditunjukkan perusahaan belum mampu

mengangkat kesejahteraan masyarakat. Begitu pula dengan Wiguna dan Manzilati

(2014) yang menyebutkan bahwa bantuan CSR lebih banyak diwujudkan dalam

bentuk donasi. Ketika donasi tersebut berhenti, kehidupan masyarakat akan kembali

kepada keadaan semula.

Sebuah program tanggung jawab sosial yang baik seharusnya mampu

menangkap kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya. Pemahaman atas kondisi

29
masyarakat harus menjadi pijakan awal untuk menyelenggarakan sebuah program

tanggung jawab sosial. Selanjutnya, strategi pemberdayaan dapat dirancang untuk

membantu masyarakat memenuhi kebutuhan tersebut secara mandiri. Gagasan CSR

yang ideal akan sesuai dengan 5 pilar aktivitas CSR (Azheri dalam Retnaningsih,

2015) yaitu (1) Membangun Sumber Daya Manusia; (2) Memperkuat ekonomi; (3)

Menilai keterpaduan social; (4) Mendorong tata kelola yang baik dan; (5)

Melindungi lingkungan hidup.

Motif yang melatarbelakangi pelaksanaan tanggung jawab sosial dipengaruhi

oleh entitas yang melakukannya. Selama ini, tanggung jawab sosial selalu

dihubungkan dengan aktivitas entitas bisnis komersial atau perusahaan. Banerjee

(2008) menjelaskan lahirnya gagasan CSR berawal dari asumsi bahwa perusahaan

dipercaya oleh masyarakat sebagai penyeimbang permintaan banyak pihak. Demi

mempertahankan kepercayaan tersebut, perusahaan harus melakukan tanggung

jawab sosial. Steiner dan Steiner (dikutip oleh Wiguna dan Manzilati, 2014)

menambahkan bahwa CSR hanya akan dilaksanakan ketika perusahaan sudah maju

dan memperoleh banyak keuntungan. CSR dipandang sebagai amal dari

perusahaan.

Pandangan mengenai tanggung jawab sosial dari sisi entitas bisnis komersial

mendominasi literatur tentang tanggung jawab sosial. Padahal, tanggung jawab

sosial tidak hanya dimiliki oleh perusahaan, melainkan semua jenis organisasi.

Organisasi non-pemerintah (NGO) dan organisasi lain yang bersifat sosial hanya

sedikit disebutkan ketika terjadi pembahasan tanggung jawab sosial (Gray, 2014).

Pada kenyataannya, terdapat organisasi yang justru menjalankan tanggung jawab

sosial sebagai aktivitas utama. Berbeda dengan perusahaan yang cenderung melihat

30
CSR sebagai sampingan untuk meningkatkan keuntungan di masa depan. Salah satu

organisasi tersebut adalah socio-enterprise yang akan dijelaskan lebih rinci pada

sub bab berikutnya.

Pragmatisme dalam menjalankan program tanggung jawab sosial

berpengaruh hingga tahap pelaporan. Tujuan dari pelaporan tanggung jawab sosial

adalah untuk membuktikan akuntabilitas dan menjadi dasar dalam pengambilan

keputusan. Akuntabilitas adalah “The giving of account encompassing both the

account itself and the process followed in providing that account to stakeholders.”

(Adams, 2004). Dengan kata lain, akuntabilitas tidak hanya dinilai dari akun-akun

yang ditunjukkan dalam laporan, melainkan secara holistik hingga menyentuh

proses penyajian akun-akun tersebut. Lebih jauh lagi, tingkat akuntabilitas

mendemonstrasikan tingkat penerimaan perusahaan terhadap tanggung jawab etika,

sosial, dan lingkungan yang dimilikinya.

Kesadaran manajemen perusahaan untuk membuat laporan keberlanjutan

(sustainability reports) semakin bertambah. Namun, makna keberlanjutan yang

dipahami bukanlah keberlanjutan lingkungan atau sosial melainkan keberlanjutan

bisnis (Adams, 2004; Crowther dan Aras, 2008). Laporan diharapkan dapat

mempertahankan citra baik demi kelangsungan perusahaan. Peran akuntan sangat

besar untuk memastikan nilai-nilai yang diusung perusahaan tersampaikan dengan

baik dan meninggalkan kesan positif bagi penggunanya.

Salah satu yang berupaya untuk memberi kesan baik melalui laporan

keberlanjutan adalah Alpha, sebuah perusahaan multinasional yang bergerak di

bidang industri kimia. Ketidaksesuaian antara praktik dan laporan tanggung jawab

sosial Alpha diulas dalam penelitian yang dilakukan Adams (2004). Poin-poin yang

31
berpotensi menurunkan citra perusahaan tidak dilaporkan. Praktik ini menimbulkan

masalah yang melanggar salah satu prinsip akuntansi yaitu pengungkapan penuh

(full disclosure).

Selain motif manajemen, permasalahan pada pelaporan tanggung jawab

sosial terletak pada upaya pengukuran kinerja sosial. Hal tersebut dibenarkan oleh

Paton (dikutip oleh Nicholls, 2009) yang menyatakan bahwa hingga saat ini belum

ada mekanisme pengukuran kinerja sosial yang terstandardisasi sehingga akuntan

kesulitan untuk mengukur kinerja sosial entitas yang sebenarnya.

Wiguna dan Manzilati (2014) berpendapat bahwa kinerja sosial merupakan

wujud dari nilai sosial. Sementara, nilai sosial itu sendiri bersifat laten dan sulit

untuk distandardisasi. Pendapat tersebut menyiratkan bahwa sebenarnya penilaian

dalam angka pun belum mampu menjelaskan kinerja sosial yang sebenarnya.

Sehingga, penggunaan angka dalam mengukur kinerja sosial perlu dikaji lebih

lanjut karena akan memengaruhi akuntabilitas dari sebuah laporan

pertanggungjawaban sosial.

2.4. Socio-Enterprise

2.4.1 Sejarah Perkembangan Socio-Enterprise

Socio-enterprise menjadi gagasan utama dalam penelitian yang dilakukan

oleh Wiguna dan Manzilati (2014). Kata socio digunakan sebagai label untuk social

enterprise yang mengacu pada sudut pandang penelitian di Eropa. Penelitian

tersebut menjelaskan tentang socio-enterprise yang muncul sebagai akibat

kesenjangan sosial dalam masyarakat.

32
Latar belakang hadirnya socio-enterprise di Eropa adalah pergantian sistem

ekonomi. Saat sosialisme jatuh, kapitalisme mulai mengambil alih sistem ekonomi

Eropa. Meskipun demikian, kapitalisme tidak berlangsung dengan sebebas-

bebasnya. Sosialisme kembali hadir sebagai antithesis sebelum akhirnya

terintegrasi dengan kapitalisme itu sendiri (Schnitzer dikutip oleh Wiguna dan

Manzilati, 2014). Pergantian sistem ekonomi bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

Konsep socio-enterprise pertama kali muncul di Eropa dalam sebuah jurnal

terbitan tahun 1990. Pada saat itu, terdapat sebuah entitas yang memiliki bentuk

serupa dengan koperasi dan bergerak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang

gagal dipenuhi oleh pasar. Entitas tersebut sebagian besar bergerak di bidang

integrasi pekerjaan dan layanan jasa. Kemudian, pada 1991, parlemen Italia

membentuk sebuah formasi legal atas koperasi sosial yang diyakini menjadi cikal

bakal socio-enterprise.

Socio-enterprise bukanlah sebuah istilah baku untuk menyebut entitas

kewirausahaan atau organisasi yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan sosial

dan bersifat not-for-profit. Socio-enterprise kerap disebut multistakeholders form

di Perancis karena entitas ini melibatkan banyak pemangku kepentingan dalam

sebuah proyek sosial. Belgia menganggap socio-enterprise sebagai perusahaan

dengan tujuan sosial. Hukum Italia tidak mengasosiasikan label socio-enterprise

terhadap sebuah badan hukum tertentu karena entitas dalam bentuk apapun dapat

mengadopsi konsep socio-enterprise. Sementara, parlemen Inggris menyatakan

bahwa socio-enterprise adalah sebuah bisnis dengan tujuan sosial sebagai intinya.

33
Dengan demikian, socio-enterprise di Inggris disebut dengan istilah community

interest company. (Defourny dan Nyssens, 2012).

Pemaparan di atas telah menjelaskan bahwa perubahan sistem ekonomi di

Eropa adalah awal dari hadirnya konsep socio-enterprise. Kehadiran socio-

enterprise diharapkan mampu mengatasi kemiskinan, kesenjangan, dan masalah

sosial lainnya. Socio-enterprise bukanlah sebuah istilah baku dan konsepnya dapat

diadopsi oleh organisasi dengan bentuk hukum apa pun.

2.4.2 Gambaran Umum Socio-Enterprise

Wiguna dan Manzilati (2014) pertama kali mencetuskan kata socio-

entrepreneurship yang menjadi awal mula pembahasan mengenai socio-enterprise

pada penelitian ini. Socio-entrepreneurship merupakan gabungan dari dua kata

yaitu socio dan entrepreneurship. Kata entrepreneurship berarti “The activity of

setting up a business or businesses, taking on financial risks in the hope of profit.”

(Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 1995). Penambahan kata socio

menjelaskan sebuah aktivitas bisnis yang ditinjau dari perspektif sosial. Sementara

kata enterprise bermakna “A project or an activity especially one that is difficult or

requires effort.” (Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 1995). Dari tinjauan

tersebut, dapat diketahui bahwa socio-enterprise adalah sebuah aktivitas yang

membutuhkan upaya besar dalam pengerjaannya dan menitikberatkan pada

perspektif sosial. Penelitian ini menggunakan istilah socio-enterprise untuk

meninjau sebuah entitas atau organisasi yang menjalankan aktivitas dengan konsep

socio-entrepreneurship.

34
Mair dan Marti (2006) menyatakan bahwa definisi socio-enterprise merujuk

pada proses bisnis atau perilaku. Hal ini cukup berbeda dengan commercial

enterprise yang berorientasi pada keuntungan (profit). Sementara, Wiguna dan

Manzilati (2014) menyatakan lima temuan tentang karakteristik socio-enterprise

yang tersaji pada tabel berikut.

Tabel 2.1
Karakteristik Socio-Enterprise

1. Socio-enterprise dijalankan dengan efektif


dan efisien untuk memenuhi kebutuhan
manusia yang gagal dipenuhi oleh pasar
2. Socio-enterprise berlandaskan pada konsep
Karakteristik Socio- socio-entrepreneurship yaitu kemampuan
Enterprise wirausaha untuk mengubah masyarakat
3. Socio-enterprise menawarkan strategi yang
(Wiguna dan Manzilati,
stabil dan dapat diterima masyarakat
2014) 4. Socio-enterprise menjalankan aktivitasnya
berdasarkan moral dan etika untuk pencapaian
diri
5. Socio-enterprise dapat dipelajari dari proses
dan perilaku
Sumber: Wiguna dan Manzilati (2014)

Socio-enterprise memandang manusia sebagai makhluk sosial (homo

sociologicus) yang bertindak sesuai nilai dan norma sosial. Manusia sebagai

makhluk sosial akan memikirkan keberlanjutan sumber daya sehingga menghindari

perilaku eksploitasi. Para pelaku socio-enterprise berpikir bijak dalam mengelola

sumberdaya dengan menggunakannya sesuai kebutuhan. Oleh karena itu, socio-

enterprise dapat menjalankan aktivitasnya dengan efektif dan efisien.

Tujuan dari socio-enterprise adalah untuk menciptakan nilai sosial bagi

masyarakat (Austin et al., 2006). Dalam menciptakan nilai sosial, socio-enterprise

melakukan pendekatan yang cukup berbeda. Umumnya, masyarakat diposisikan

35
sebagai penerima donasi yang bersifat pasif pada kegiatan amal atau kegiatan sosial

lain. Namun, socio-enterprise memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk

terlibat aktif dalam penciptaan nilai sosial. Sehingga, aktivitas yang dilakukan

socio-enterprise memiliki sifat pemberdayaan. Indikator keberhasilan yang

digunakan untuk menilai tanggung jawab sosial bukanlah hasil, melainkan proses

yang dilalui untuk menciptakan nilai sosial (Wiguna dan Manzilati, 2014).

EMES European Research Network (Defourny dan Nyssens, 2012)

mengobservasi tiga dimensi socio-enterprise yaitu ekonomi (economic),

kewirausahaan (entrepreneurial), dan tata kelola (governance). Terdapat beberapa

indikator yang mencerminkan masing-masing dimensi tersebut yaitu:

1. Aktivitas berkelanjutan dalam produksi barang atau jasa

Socio-enterprise memiliki perbedaan dengan organisasi non-profit

tradisional pada umumnya. Jika organisasi non-profit tradisional memiliki

aktivitas advokasi atau redistribusi aliran keuangan, socio-enterprise

terlibat langsung dalam produksi barang atau layanan berbasis sosial.

Kegiatan produksi barang atau layanan menjadi aktivitas utama socio-

enterprise.

2. Tingkat risiko ekonomi yang signifikan

Keberlangsungan socio-enterprise secara ekonomi bergantung dari upaya

pengurus dan anggotanya dalam mengelola sumber daya yang ada.

3. Tujuan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat

Pendirian socio-enterprise adalah untuk melayani masyarakat dan

mempromosikan pentingnya tanggung jawab sosial.

4. Inisiatif yang digagas oleh sekelompok masyarakat

36
Socio-enterprise adalah hasil pemikiran sekelompok orang yang memiliki

kebutuhan dan tujuan yang sama. Inisiatif kolektif ini harus dipelihara dari

waktu ke waktu. Oleh karena itu, socio-enterprise membutuhkan

pembagian kewenangan dalam mengelola aktivitasnya.

5. Menghindari pengambilan keuntungan

Socio-enterprise mengutamakan penciptaan nilai sosial dibandingkan nilai

ekonomi. Seluruh pengelola dan anggota sebisa mungkin menghindari

perilaku memaksimalkan keuntungan.

6. Tingkat otonomi yang tinggi

Socio-enterprise didirikan oleh sekelompok orang dengan basis otonomi

dan dikelola oleh orang-orang tersebut. Meskipun terdapat kemungkinan

untuk bergantung dari donasi publik, socio-enterprise tidak memiliki

investor yang turut andil dalam pengambilan keputusan layaknya

korporasi.

37
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini berjenis kualitatif yaitu penelitian menggunakan latar alamiah

untuk menafsirkan fenomena yang terjadi dengan melibatkan berbagai metode yang

ada (Denzin dan Lincoln, 2011). Penelitian kualitatif memiliki beberapa

karakteristik yaitu konsep dalam bentuk tema atau motif, data dalam bentuk uraian

kata-kata, dan analisis data menggunakan ekstraksi tema atau generalisasi dari

temuan (Neuman, 2006, hal. 157). Tujuan dari penelitian kualitatif adalah

memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian seperti

perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dengan cara

deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang

alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2002, hal.

6).

Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan etnometodologi sebagai

metode penelitian. Menurut Garfinkel (dikutip oleh Kamayanti, 2016, hal. 133),

etnometodologi didefinisikan sebagai

“…everyday activities as members’ method for making those same activities


visibly-rational-and-reportable-for-all-practical purposes i.e. “accountable” as
organization of commonplace everyday activities…”

Berdasarkan definisi di atas, etnometodologi dimaknai sebagai studi yang memiliki

fokus pada aktivitas rutin yang dilakukan oleh individu selaku bagian dari

kelompok. Peneliti akan mengamati keterkaitan individu dengan kelompoknya saat

melakukan aktivitas.

38
Pada saat melakukan penelitian, peneliti akan mencari justifikasi rasional

yang mendasari individu sebagai bagian dari kelompok dalam melakukan aktivitas

tertentu. Aktivitas tersebut kemudian menjadi akuntabel (accountable) apabila

dapat dialami dan diobservasi oleh seluruh anggota kelompok (Garfinkel, 1967, hal.

1). Selanjutnya, aktivitas dapat direproduksi setelah melalui kesepakatan para

anggota kelompok yang mengalami dan mengamati aktivitas tersebut (Kamayanti,

2016, hal. 134).

Melalui studi etnometodologi, realitas akan disajikan dalam tingkatan

melebihi tingkatan sosiologi yang ada. Hal ini sejalan dengan pernyataan Mehan

dan Wood (dikutip oleh Neuman, 2006) “Ethnomethodology is an attempt to

display the reality of a level which exists beyond the sociological level.” Inilah

mengapa etnometodologi disebut bertujuan untuk menyajikan lebih dari sekadar

eksplanasi melainkan eksplikasi mengenai sebuah realitas sosial. Eksplikasi tidak

sekadar menjelaskan sebuah fakta sosial secara apa adanya, tetapi menekankan

pada konstitusi sesungguhnya atas keterjadian fakta sosial beserta faktualitasnya

(Ten Have, 2004, hal. 14-15).

Studi etnometodologi membutuhkan sudut pandang “orang dalam” (Akroyd

dan Maguire dikutip oleh Kamayanti, 2016). Adler dan Adler (dikutip oleh

Kamayanti, 2016) menekankan bahwa peneliti harus menjadi anggota dari latar

penelitiannya. Dengan menjadi anggota yang turut mempraktikkan aktivitas,

peneliti dapat memahami perspektif anggota kelompok.

Dalam penelitian ini, peneliti menjadi anggota yang mengobservasi sebuah

entitas socio-enterprise yaitu Ruang Belajar Aqil (RBA) sejak 27 Mei 2017.

Sebagai seorang anggota, peneliti dapat mengamati aktivitas keseharian pengelola

39
dan para anggota Ruang Belajar Aqil (RBA). Pengamatan aktivitas akan membantu

peneliti dalam memperoleh dan memahami gambaran mengenai realitas penerapan

aktivitas akuntansi pertanggungjawaban sosial atas dampak sosial yang diciptakan

oleh sebuah entitas socio-enterprise.

Selanjutnya, studi etnometodologi yang dilakukan peneliti akan

mengungkap konstitusi sesungguhnya atas realitas penerapan akuntansi

pertanggungjawaban sosial dari sudut pandang orang dalam. Keterlibatan peneliti

sebagai etnometodologis membuka kesempatan untuk mengetahui tacit rules yang

disepakati dalam memahami penerapan akuntansi pertanggungjawaban sosial

sehari-hari.

3.2. Gambaran Umum Situs Penelitian

Ruang Belajar Aqil (RBA) adalah sebuah entitas socio-enterprise yang

bergerak di bidang literasi dan pemberdayaan pemuda. Visi RBA adalah

menjadikan bangsa lebih baik dengan kepedulian dan penanaman nilai

pembelajaran melalui pemberdayaan pemuda Indonesia. Ruang Belajar Aqil

memiliki tiga program yaitu Kelompok Riset Sahaja + (KRS +), Ruang Kreasi dan

Diseminasi (RKD), dan Ruang Baca dan Literasi (RBL). Entitas ini beralamatkan

di Jalan Cempaka no. 1 Malang. Setiap program di RBA memiliki kegiatan yang

bertujuan untuk menciptakan nilai sosial berupa pencerdasan dan pemberdayaan.

Kegiatan tersebut antara lain riset, pelatihan literasi, pelatihan kreativitas, dan

beberapa proyek sosial yang berkolaborasi dengan entitas lain.

Ruang Belajar Aqil (RBA) dikelola oleh seorang koordinator, sekretaris,

dan bendahara. Para pengelola didampingi oleh founder RBA yang bertindak

sebagai penasihat. Anggota RBA adalah para mahasiswa yang terdaftar dalam

40
program KRS+. Sementara itu, RBA juga memiliki sekitar 50 relawan, kolaborator,

dan donator serta muzakki (Laporan Tahunan RBA, 2016).

3.3. Informan Penelitian

Menurut Bungin (dikutip oleh Firdaus dan Riwajati, 2016), informan

merupakan individu yang telah cukup lama dan intensif menyatu dengan kegiatan

atau medan aktivitas yang menjadi sasaran penelitian. Peneliti memilih enam orang

informan dari Ruang Belajar Aqil (RBA). Enam orang tersebut merupakan

keseluruhan dari jajaran pengelola RBA yang terdiri atas. penasihat, koordinator

pengelola, sekretaris, bendahara, koordinator relawan, dan koordinator Ruang Baca

dan Literasi (RBL).

Pemilihan keenam informan tersebut didasari oleh peran mereka sebagai

pengambil dan pelaksana berbagai keputusan yang berhubungan dengan

pengelolaan dan operasional RBA. Seluruh proses akuntansi pertanggungjawaban

sosial yang terjadi di RBA melibatkan keenam informan secara langsung. Riset

awal untuk merancang program hingga pelaporan ditangani oleh keenam informan

dengan bantuan anggota Kelompok Riset Sahaja + (KRS+) sebagai

penanggungjawab kegiatan.

3.4. Sumber dan Jenis Data

Berdasarkan sumber data, penelitian ini menghimpun data primer dan

sekunder. Menurut Hox dan Bouije (2005), data primer adalah data yang langsung

diperoleh dari sumber di lapangan untuk memenuhi tujuan riset yang spesifik.

Sementara, data sekunder adalah data yang awalnya dikumpulkan untuk tujuan

41
yang berbeda dan digunakan ulang untuk memenuhi tujuan riset lainnya.

Sementara, sumber data sekunder dapat berupa buku, publikasi resmi lembaga,

arsip studi kasus, hingga basis data yang telah tersedia.

Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang menyajikan data dalam bentuk

angka, data dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan gambar dari dokumen,

observasi, dan transkripsi (Neuman, 1994). Kategori data kualitatif menurut

Creswell (2012, hal. 212) adalah

1. Catatan lapangan dan gambaran

Data teks yang tidak terstruktur dan gambar yang diambil selama observasi

oleh peneliti.

2. Transkripsi dari wawancara terbuka

Data teks tidak terstruktur yang diperoleh dari proses transkripsi rekaman

suara wawancara atau proses transkripsi respon terbuka dari pertanyaan atau

kuesioner.

3. Dokumen

Dokumen publik (contoh: jurnal) dan pribadi (contoh: notulensi pertemuan

yang tersedia bagi peneliti

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis data berupa kata-kata hasil

transkripsi wawancara, observasi, foto, dan dokumen berupa laporan tahunan.

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan tiga teknik

yaitu observasi, studi dokumen, dan wawancara.

42
1. Observasi

Menurut Creswell (2012, hal. 213), observasi adalah proses

pengumpulan informasi dari tangan pertama dan berakhir terbuka

dengan cara mengamati orang-orang dan tempat pada situs penelitian.

Kelebihan dari observasi adalah tersedianya kesempatan bagi peneliti

untuk merekam informasi pada keadaan aslinya, mempelajari perilaku

aktual, dan mempelajari individu yang kesulitan megungkapkan

gagasannya dengan kata-kata. Jenis observasi yang digunakan adalah

observasi partisipatif yang melibatkan peneliti dalam latar penelitian

secara langsung. Observasi partisipatif dilakukan peneliti sejak 27 Mei

2017. Dalam observasi partisipatif, peneliti mengamati kegiatan sehari-

hari yang berlangsung dalam program Kelompok Riset Sahaja +

(KRS+). Selain itu, peneliti turut terlibat dalam beberapa proyek sosial

yang diselenggarakan oleh RBA. Proyek sosial tersebut antara lain:

1. Silaturahim Hari Ulang Tahun Forum Komunikasi Taman Baca

Masyarakat (HUT FKTBM) Malang Raya

2. RBA Berbagi

3. Halal Bi Halal bersama stakeholders

dan beragam lokakarya big book ke TBM di wilayah Kalipare dan

Bululawang.

2. Studi dokumen

Dalam studi dokumen, peneliti memelajari dan menelaah

dokumen-dokumen terkait aktivitas akuntansi pertanggungjawaban

sosial yang dilakukan oleh RBA. Dokumen yang dikumpulkan dalam

43
penelitian ini adalah rancangan kegiatan, laporan tahunan, laporan

pembelajaran, dan laporan inventaris.

3. Wawancara

Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara adalah pertanyaan

terbuka yang memungkinkan peneliti untuk menggali jawaban

informan lebih dalam (Creswell, 2012, hal. 217). Pihak-pihak yang

dipilih sebagai informan dalam penelitian ini adalah penasihat dan

pengelola Ruang Belajar Aqil (RBA). Wawancara dilakukan peneliti

sembari melakukan observasi di RBA. Ada pun data informan

penelitian tercantum pada tabel berikut

Tabel 3.1
Data Informan Penelitian

No Nama Informan Posisi Kode

1. Wily Ariwiguna Mentor/founder/penasihat PN

2. Barianto Nurasri S. Koordinator KO

3. Teuku Muda Rabian H. Bendahara BD

4. Dina Fitria Marta Sari Sekretaris SK

5. Febrianto Danu Tirto Koordinator program Ruang KB


Baca dan Literasi (RBL)
6. Arwin Anindyka Koordinator Relawan KR

7. Athya Chandra Alumni/donatur/peserta aktif AC


program RBL
8. Kartika Putri Internal Auditor AU
Kumalasari
Sumber: Data diolah (2017)

44
3.6. Teknik Analisis Data

Menurut Kamayanti (2016, hal. 135-142), penelitian etnometodologi

menggunakan empat tahapan analisis yaitu:

1. Analisis indeksikalitas

Analisis indeksikalitas ditujukan untuk menemukan informasi bersifat

simbolik seperti ungkapan, ekspresi, dan gerakan dalam keseharian

suatu komunitas. Informasi tersebut akan dimaknai lebih dalam melalui

tahapan analisis refleksivitas.

2. Analisis reflektivitas

Analisis refleksivitas ditujukan untuk menggali makna lebih dalam dari

informasi simbolik yang merupakan hal biasa bagi informan. Seorang

etnometodologis bertugas untuk mengembalikan ketertarikan informan

untuk mendiskusikan alasan logis dan proses bagaimana ia menemukan

alasan tersebut.

3. Analisis aksi kontekstual

Analisis aksi kontekstual adalah pengungkapan aktivitas keseharian

bersifat praktis yang dapat dikenali dan dilaporkan. Aksi kontekstual

adalah tahap akhir dari munculnya ekspresi indeksikalitas yang

selanjutnya direfleksikan menggunakan rasional. Sifat aksi yang dapat

dikenali dan dilaporkan menjadi bentuk akuntabilitas dari keseluruhan

aktivitas.

4. Penyajian common sense knowledge of social structure

Infomasi simbolik yang diperoleh dari analisis indeksikalitas akan

memberikan gambaran umum tentang keseharian dan kesepakatan

45
informan sebagai bagian dari komunitas. Pemahaman relasi antara

indeks dan refleksi akan mengugkap bagaimana aksi indeksikalitas

terbentuk. Pada akhirnya, pemahaman tersebut akan mengungkap

sebuah budaya atau common culture pada sebuah komunitas. Menurut

Garfinkel (1967, hal. 76), common culture adalah

“The socially sanctioned grounds of inference and action that


people use in their everyday affairs and which they assume that
others use in the same way. Socially-sanctioned-facts-of-life-in-
society-that-any-bona-fide-members-of-society-knows depicts such
matters as the conduct of family time, market organization,
distribution of honor, competence, responsibilities, goodwill,
income, motives among members, frequency, cause of, and remedies
for trouble, and the presence of good and evil purposes behind
apparent working of things.”

Penemuan budaya umum (common culture) terdiri atas penemuan

common sense knowledge of social structure dalam satu kelompok

masyarakat. Common sense knowledge of social structure dipandang

sebagai sebuah kondisi di mana para anggota komunitas menggunakan

dan memperlakukan sesuatu sebagaimana umumnya dilakukan anggota

lain dalam suatu komunitas. Common sense diartikan sebagai hal yang

dianggap pasti (Garfinkel dikutip oleh Kamayanti, 2016, hal. 142).

Pada penelitian ini, data perihal penerapan akuntansi pertanggungjawaban

sosial yang telah dikumpulkan akan dituangkan dalam bentuk transkrip untuk

diproses lebih lanjut menggunakan analisis indeksikalitas. Informasi simbolik

yang telah diperoleh akan digunakan untuk menarik kesimpulan sementara dan

diverifikasi kepada informan. Setelah informan melakukan verifikasi simpulan

sementara, analisis refleksivitas dilakukan untuk menemukan makna dibalik

informasi simbolik diperoleh.

46
Makna yang ditemukan dari proses analisis refleksivitas akan dianalisis

menggunakan analisis aksi kontekstual. Tujuan analisis aksi kontekstual dalam

penelitian ini adalah meninjau apakah indeks dan justifikasi rasional yang

mendasari makna turut diwujudkan dalam tindakan nyata. Terakhir, penyajian

common sense knowledge of social structure dilakukan untuk menjelaskan

penerapan akuntansi pertanggungjawaban sosial di Ruang Belajar Aqil (RBA)

sebagai bentuk implementasi dari norma atau aturan yang diyakini dan

dipraktikkan bersama.

3.7. Uji Keabsahan Data

Uji keabsahan data dalam penelitian ditujukan untuk memastikan bahwa

temuan dalam penelitian adalah akurat dan kredibel. Dalam penelitian kualitatif,

kata kunci yang umum digunakan untuk menggambarkan validitas dan reliabilitas

data adalah trustworthiness. Kriteria ini merujuk pada penyampaian true picture

atau gambaran yang benar (Gillham dikutip oleh Kamayanti, 2016).

Langkah yang dilakukan peneliti untuk memperoleh trustworthiness adalah

triangulasi. Triangulasi adalah proses memperkuat bukti yang diperoleh dari

individu, jenis data, dan teknik pengumpulan data yang berbeda (Creswell, 2012,

hal. 259). Dalam penelitian ini, triangulasi yang dilakukan adalah triangulasi

sumber data dan triangulasi metode pengumpulan data. Peneliti menelaah

kesesuaian antara jawaban wawancara dengan perilaku informan dan dokumen.

Selain itu, peneliti melakukan wawancara dengan pihak di luar struktur organisasi

RBA yaitu Athya Chandra (alumni/donatur/peserta aktif program RBL) dan Kartika

Putri Kumalasari (Internal Auditor).

47
BAB IV

ENTITAS DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL

4.1. Ruang Belajar Aqil (RBA)

Ruang Belajar Aqil (RBA) adalah sebuah entitas socio-enterprise di bidang

pemberdayaan. Sifat RBA adalah not-for-profit. Sifat tersebut tergambarkan

melalui aktivitas RBA yang seluruhnya bertujuan untuk memberikan manfaat

kepada masyarakat tanpa mengambil keuntungan dalam bentuk apa pun. Seluruh

kegiatan RBA pun dilaksanakan secara tidak berbayar.

Cikal bakal RBA adalah program Kelompok Riset Sahaja+ (KRS+) yang

dimulai pada tahun 2010. Saat ini, RBA menempati situs di Jalan Cempaka no. 1

Malang. Pada tahun 2015, tiga program mulai dijalankan yaitu KRS+, Ruang Baca

dan Literasi (RBL), dan Ruang Kreasi dan Diseminasi (RKD). Pada saat observasi,

program RKD sedang dinonaktifkan untuk sementara.

Pemilihan nama Ruang Belajar Aqil (RBA) dinilai cukup tepat untuk

menggambarkan kegiatan entitas. Kata “Ruang” diartikan sebagai sesuatu yang

tidak terbatas oleh dinding atau pembatas lainnya. Ruang tersebut adalah wadah

untuk melakukan kegiatan utama RBA yaitu pembelajaran. Oleh karena itu,

kegiatan pembelajaran RBA tidak hanya dilakukan di satu ruang saja. Kegiatan

pembelajaran RBA bahkan mencapai beberapa wilayah di Kabupaten Malang

melalui kolaborasi dengan Taman Baca Masyarakat (TBM) setempat. Kata “Aqil”

digunakan untuk menggambarkan bahwa RBA adalah ruang belajar bagi manusia

yang berakal. Pemilihan kata ini juga mengandung harapan bahwa mereka yang

48
49

belajar di RBA senantiasa menggunakan akal ketika menghadapi realitas

kehidupan.

RBA memiliki sebuah visi yaitu menjadikan bangsa yang lebih baik dengan

kepedulian dan penerapan nilai pembelajaran melalui pemberdayaan pemuda

Indonesia. Visi tersebut tertuang dalam beberapa misi yaitu (Laporan Tahunan

RBA, 2016):

1. Menginspirasi, memotivasi, dan memberdayakan pemuda, selaras dengan

potensi serta cita-cita diri dan bangsa

2. Membudayakan membaca, membaca lagi, memampukan menulis, dan

membiasakan diskusi sebagai nilai pembelajaran

3. Membangun sistem diseminasi informasi yang bermanfaat dan relevan

untuk memperluas cakrawala pengetahuan dan mewujudkan manfaat ilmu.

4. Mewujudkan kepedulian dan keterlibatan masyarakat dalam aktivitas

berdaya guna serta bermanfaat bagi masyarakat.

Pengelolaan RBA dilakukan oleh enam orang pengelola yang masing-masing

memiliki peran tersendiri. Selain jajaran pengelola, RBA memiliki relawan dengan

beragam latar belakang. Mahasiswa anggota KRS+ secara otomatis menjadi

relawan yang membantu RBA dalam melaksanakan kegiatan. Selain itu, para

alumni program KRS+, mahasiswa, dosen, dan perwakilan masyarakat turut

menjadi relawan aktif.

Peneliti melakukan observasi selama bulan Mei – Agustus 2017 di situs

penelitian. Situs tempat RBA berkegiatan terbagi ke dalam beberapa ruangan yang

menjadi pusat aktivitas. Ruang belajar utama menempati area yang paling luas.

Lima meja panjang ditata mengelilingi ruangan dengan kursi-kursi yang

49
50

menghadap ke dinding. Meja-meja tersebut digunakan oleh para mahasiswa

anggota KRS+ untuk mengerjakan penelitian masing-masing. Sementara, di ujung

belakang ruangan terdapat satu buah meja dan tiga buah kursi. Di situlah founder

sekaligus penasihat dan mentor beraktivitas.

Terdapat tiga ruangan lain di dalam ruang belajar utama yaitu ruang kantor,

ruang logistik dan mushola. Ruang kantor berfungsi sebagai tempat untuk

melakukan tugas administratif dan menyimpan dokumen-dokumen seperti laporan

keuangan tahunan, laporan kegiatan, dan laporan pembelajaran. Ruang logistik

digunakan untuk menyimpan berbagai perlengkapan untuk project sosial. Mushola

digunakan sebagai tempat ibadah.

Ruang Baca dan Literasi (RBL) berada di sisi kiri bangunan. Ruangan

tersebut berisi beraneka ragam buku yang ditempatkan dalam rak-rak kayu yang

mengelilingi ruangan. Selain buku, terdapat meja kecil untuk belajar dan beberapa

mainan tradisional yang ditata di atas sebuah rak. Sehingga, selain membaca,

pengunjung dapat menggunakan mainan-mainan yang tersedia.

Ruang Baca dan Literasi dibuka setiap hari Senin hingga Sabtu mulai pukul

12.00 hingga 17.00. Ruangan ini bebas diakses oleh siapa saja dengan gratis. Anak-

anak Sekolah Dasar (SD) yang tinggal di sekitar RBA kerap berkunjung ke ruangan

ini untuk mengerjakan tugas atau sekadar bermain dengan didampingi anggota

KRS+ yang sedang piket. Seperti yang terlihat saat peneliti melakukan observasi.

Dua orang anak kelas 4 SD sedang mengerjakan soal persiapan ujian kenaikan kelas

dengan didampingi seorang anggota KRS+.

Sebagai sebuah entitas socio-enterprise, RBA memperoleh sumber daya dari

para donatur. Jenis donatur yang memberikan bantuan untuk RBA antara lain

50
51

donatur tetap dan donatur tidak tetap. Kriteria donatur tetap pun perlu didefinisikan

lebih lanjut. Terdapat donatur tetap yang memberikan bantuan selama tiga bulan

berturut-turut kemudian berhenti. Selain itu, terdapat juga jenis donatur yang tidak

memiliki jadwal pasti dalam memberikan bantuan, tetapi berkomitmen untuk

membantu secara insidental dalam satu periode (Diskusi penasihat 27 Mei 2017).

Pertanggungjawaban atas donasi yang diterima disampaikan oleh pengelola

RBA melalui laporan yang rutin diterbitkan setiap tahunnya. Laporan tersebut

merupakan gabungan dari laporan keuangan bulanan dan laporan kegiatan.

Kaleidoskop kegiatan ditampilkan sebagai informasi atas aktivitas RBA yang

dijalankan selama satu tahun laporan (Laporan tahunan RBA, 2016).

4.1.1. Kelompok Riset Sahaja+ (KRS+)

Kelompok Riset Sahaja+ (KRS+) adalah sebuah program pembelajaran bagi

pemuda yang bertujuan untuk menambah pengetahuan melalui penelitian dan

kegiatan pembelajaran lainnya. Kegiatan KRS+ berlangsung setiap hari Senin

hingga Jumat sejak pukul 07.50 hingga 16.00. Sedangkan, pada hari Sabtu, kegiatan

KRS+ berlangsung pukul 07.50 hingga 12.00.

Saat ini, terdapat 11 orang mahasiswa yang menjadi anggota KRS+. Para

mahasiswa ini berasal dari berbagai jurusan dan universitas di Kota Malang.

Umumnya, mahasiswa yang bergabung di KRS+ adalah mereka yang tengah

mengerjakan skripsi, thesis, dan penelitian lainnya.

Setiap anggota KRS+ diwajibkan untuk mempresentasikan penelitiannya

untuk ditinjau oleh anggota lain dan dewan mentor. Setelah presentasi, anggota

KRS+ sebagai peneliti akan menerima umpan balik berupa pertanyaan dan saran

51
52

tentang penelitiannya. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa penelitian yang

dilakukan telah memenuhi kaidah penelitian dan dapat dipahami oleh penggunanya.

Ketika tidak terdapat jadwal presentasi pada satu hari, sesi tersebut akan

dimanfaatkan oleh mentor dan anggota KRS+ untuk berdiskusi mengenai berbagai

topik. Senin (29/5/2017), para anggota KRS+ duduk mengelilingi ruangan untuk

berdiskusi bersama mentor. Anggota KRS+ terlihat menikmati diskusi tersebut.

Mereka sesekali tertawa ketika mentor menyelipkan candaan ketika menyampaikan

materi.

Salah satu topik yang dibahas dalam diskusi tersebut adalah akad. Mentor

menjelaskan bahwa akad adalah perjanjian untuk memenuhi hak dan kewajiban

antara dua pihak. Akad membutuhkan komitmen dari kedua pihak untuk

melaksanakan apa yang telah disepakati. Mentor mengatakan bahwa RBA berusaha

menerapkan komitmen dalam mengelola seluruh aktivitasnya. Sebagai contoh,

ketika seorang mahasiswa hendak bergabung menjadi anggota KRS+, mahasiswa

tersebut akan ditanya mengenai kebutuhan belajarnya. Setelah berikrar untuk

menjadi anggota KRS+, mahasiswa tersebut harus mematuhi peraturan di

kelompok. Sebaliknya, mentor juga akan memenuhi kewajiban untuk membagi

ilmu dan mendampingi proses penelitian.

4.1.2. Ruang Baca dan Literasi (RBL)

Ruang Baca dan Literasi adalah salah satu program RBA yang bertujuan

untuk meningkatkan pengetahuan dan memberdayakan masyarakat melalui literasi.

Program RBL mengelola ribuan buku yang berasal dari donasi agar dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat.

52
53

Selain KRS+, RBA juga menjalankan beragam proyek sosial di bawah

naungan program RBL. Proyek sosial yang telah berjalan selama bulan April –

Agustus 2017 antara lain lokakarya pembuatan big book, decoupage, kolase,

festival permainan tradisional, RBA Berbagi, aneka penyuluhan, dan beragam

kegiatan lainnya. Seluruh kegiatan terbuka untuk umum dan tidak berbayar.

RBA melibatkan para anggota KRS+ sebagai panitia dalam proyek sosial

yang dilaksanakan. Selain itu, RBA kerap berkolaborasi dengan Taman Baca

Masyarakat (TBM), lembaga kemahasiswaan, dan komunitas di Malang Raya

dalam melaksanakan proyek sosialnya.

Selama periode observasi, peneliti terlibat aktif dalam beberapa proyek sosial

yang dinaungi RBL. Salah satunya adalah lokakarya pembuatan big book yang telah

dilakukan sebanyak tiga kali. RBA berkolaborasi dengan TBM yang tersebar di

wilayah Malang Raya untuk menyelenggarakan lokakarya tersebut. Lokakarya

pembuatan big book bertujuan untuk memberikan ilmu pembuatan big book sebagai

media preservasi pengetahuan. RBA dan kolaborator selaku penyelenggara

mengharapkan bahwa peserta akan mampu membuat big book sendiri dan

menggunakannya sebagai media pembelajaran.

Pihak RBA berperan sebagai pengajar yang diwakili oleh anggota KRS+.

Sementara, peserta lokakarya umumnya adalah guru Pendidikan Anak Usia Dini

(PAUD) dan ibu-ibu di lingkungan TBM penyelenggara. Para peserta dibagi ke

dalam beberapa kelompok dan didampingi oleh seorang anggota KRS+. Setelah

penyampaian materi, peserta diberi kesempatan untuk berkreasi dengan bahan-

bahan big book yang disediakan oleh RBA. Segera setelah big book selesai dibuat,

peserta diperkenankan untuk mempresentasikan hasil karyanya. Anggota KRS+

53
54

membagikan kertas kepada peserta untuk menyampaikan pesan dan kesan atas

kegiatan yang diikuti. Pesan dan kesan tersebut menjadi bahan evaluasi dan

dilaporkan dalam laporan kegiatan.

Gambar 4.1
Berita Acara Lokakarya Big Book Berisi Pesan dan Kesan

Sumber: Dokumentasi Peneliti (2017)

4.1.3. Ruang Kreasi dan Diseminasi (RKD)

Ruang Kreasi dan Diseminasi (RKD) adalah sebuah program pembelajaran

yang bertujuan untuk meningkatkan kreativitas dan daya cipta serta persebaran

informasi yang bermanfaat. Program ini terdiri atas beberapa proyek sosial seperti

Virtual Sharing, kunjungan UKM, Cakramuda Wirausaha, dan beberapa proyek

lain.

Selama periode observasi, peneliti hanya mengikuti kegiatan Virtual Sharing

yang rutin diselenggarakan setiap minggu selama satu bulan. Sementara, kegiatan

lain belum berlangsung selama periode observasi. Virtual Sharing adalah sebuah

kegiatan diseminasi informasi tematik yang dilakukan secara virtual. Setiap

54
55

minggu, seorang pemateri membagikan pengetahuan sesuai bidang yang

ditekuninya melalui panggilan video. Metode ini memungkinkan peserta diskusi

untuk berinteraksi dengan pemateri yang berada di tempat lain.

Ketika diskusi berlangsung, peserta duduk berbaris menghadap ke dinding

yang difungsikan sebagai layar. Sebuah laptop, proyektor, dan kamera digunakan

sebagai media interaksi. Hari itu, Sabtu, 8 April 2017, pemateri Virtual Sharing

adalah pekerja pemerintahan sebuah negara bagian Amerika Serikat. Pemateri

membagikan pengetahuan mengenai riset dan pekerjaan sehari-hari. Setelah

pemaparan materi usai, peserta bergantian melakukan tanya jawab dengan pemateri

dengan dipandu oleh seorang moderator.

Pemaparan di atas adalah sekilas gambaran mengenai kegiatan RKD yang

rutin dilaksanakan. RKD memiliki beberapa target untuk dicapai selama tahun 2017

seperti sharing praktisi dan riset program Pemuda Ujung Negeri (Laporan Tahunan

RBA, 2016).

4.2. Tanggung Jawab Sosial di Ruang Belajar Aqil (RBA)

4.2.1 Pemahaman atas Tanggung Jawab Sosial

Sebagai sebuah socio-enterprise, Ruang Belajar Aqil (RBA) memandang

tanggung jawab sosial sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keseharian

mereka. Tanggung jawab sosial dilakukan sebagai wujud kepedulian untuk

memberikan manfaat kepada masyarakat. Pengertian tersebut tergambarkan

melalui koordinator relawan berikut:

“Ya tanggung jawab sosial itu kalau menurutku gimana sih kita berperan
kepada masyarakat. Memberi manfaat kepada masyarakat karena kita hidup

55
56

bermasyarakat. Kita tidak hanya menerima sesuatu dari masyarakat, tapi juga
kita memberikan sesuatu kepada masyarakat. Itu sih pertanggungjawaban
sosial sebagai makhluk sosial tentunya.” (Wawancara 12 Juni 2017).

Sebagai bagian dari pengelola RBA, koordinator relawan secara eksplisit

mengungkapkan bahwa tanggung jawab sosial adalah kewajiban yang melekat

dalam diri manusia sebagai makhluk sosial. Saat sekelompok manusia beraktivitas

sebagai sebuah entitas di tengah masyarakat, mereka memiliki peran untuk

memberikan manfaat bagi masyarakat.

Peran tersebut diwujudkan RBA dalam pengelolaan dukungan masyarakat

yang diperoleh. Dukungan disalurkan kepada masyarakat melalui beragam proyek

sosial yang dilaksanakan secara terjadwal. Tujuan proyek-proyek tersebut adalah

memberikan manfaat kepada masyarakat melalui proses pembelajaran.

Selain itu, tanggung jawab sosial di RBA dipahami sebagai bentuk

kesadaran kolektif anggotanya untuk mewujudkan nilai sosial dan manfaat di

masyarakat. Pemahaman akan pentingnya melakukan tanggung jawab sosial

ditanamkan kepada anggota dalam aktivitas sehari-hari sehingga tanggung jawab

sosial tidak lagi dianggap sebagai kewajiban melainkan kesadaran. Salah satu

aktivitas yang menjadi media dalam penyampaian pemahaman tersebut adalah

diskusi pagi di program KRS+.

Pada Rabu, 31 Mei 2017, mentor menyampaikan tentang latar belakang

pendirian program KRS+ yang menjadi cikal bakal RBA. Mentor melihat adanya

kebutuhan akan pendidikan yang tidak selalu dipenuhi oleh lembaga pendidikan

formal. KRS+ hadir untuk membantu memenuhi kebutuhan pendidikan, khususnya

di bidang penelitian, dengan cara informal dan bersifat sosial. Konsep kesadaran

akan tujuan penciptaan manusia yaitu rahmatan lil alamin (bermanfaaat bagi

56
57

semesta alam) melandasi pelaksanaan aktivitas di KRS+ maupun RBA secara

keseluruhan. Konsep tersebut turut menjadi dasar RBA untuk bertahan

menjalankan berbagai kegiatannya yang bersifat tidak berbayar.

Satu prinsip yang tidak terlewatkan ketika menjalankan tanggung jawab

sosial di RBA adalah amanah. Kata amanah berarti memegang teguh kepercayaan

yang diberikan. Prinsip amanah diterapkan dalam pengelolaan donasi atau bantuan

publik. Kegiatan tanggung jawab sosial yang dijalankan sesuai dengan amanah

masyarakat menjadi bermanfaat. Hal tersebut tersampaikan dalam ungkapan

bendahara RBA berikut:

“… Aku berprinsip gitu, kalau aku sebagai manusia, hidup di dunia ini
hanyalah amanah yang aku punya. Jadi, kalau amanahnya itu ya…
amanahnya diberikan gitu ya aku sebisa mungkin mempertanggungjawabkan
itu. Karena itu juga akan menghasilkan kebaikan. Kebaikannya sangat banyak
gitu. Misalkan, kebahagiaan untuk masyarakat, timbulnya nilai kejujuran
yang saat ini hilang dari masyarakat gitu ya.” (Wawancara 11 Juni 2017).

Bendahara berusaha menjaga amanah masyarakat dalam tugasnya sebagai

bendahara RBA karena setiap amanah yang diberikan harus

dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban amanah dilakukan melalui

pengelolaan donasi atau bantuan publik yang diterima. Amanah disampaikan oleh

donatur kepada RBA melalui akad atau perjanjian pemberian donasi.

Pengelolaan setiap donasi harus dilakukan sesuai akad. Hal ini bertujuan

untuk memastikan bahwa donasi disampaikan sesuai dengan peruntukannya dan

bermanfaat bagi penerimanya. Donasi yang masuk ke RBA dikelola sebagai sumber

daya dalam melakukan kegiatan sehingga donasi tersebut dapat diterima

manfaatnya oleh masyarakat.

Pengelolaan tanggung jawab sosial sesuai amanah diyakini bisa

memberikan kebaikan kepada pemangku kepentingan yang terlibat. Ungkapan

57
58

bendahara di atas memuat salah satu kebaikan yang mungkin timbul yaitu

kemunculan kembali nilai kejujuran di masyarakat.

4.2.2 Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial

RBA memiliki tiga nilai utama yang melandasi setiap kegiatannya yaitu

kepedulian (awareness), pembelajaran (learning), dan pemberdayaan

(empowerment) (Laporan Tahunan RBA, 2016). Kepedulian adalah titik awal untuk

melakukan sebuah tanggung jawab sosial. Selanjutnya, kegiatan pembelajaran bisa

diwujudkan saat kepedulian telah muncul. Proses pembelajaran memberikan

kemampuan kepada pihak-pihak yang terlibat untuk melakukan sesuatu sehingga

membuat mereka menjadi berdaya.

Sebagaimana dijelaskan di awal, kegiatan yang dirancang oleh RBA

seluruhnya merupakan wujud tanggung jawab sosial RBA untuk memberikan

manfaat kepada masyarakat. Oleh karena itu, RBA merancang setiap kegiatan atau

proyek sosialnya dengan seksama agar manfaat yang diharapkan dapat

tersampaikan dengan baik.

Langkah awal yang dilakukan sebelum merancang sebuah kegiatan atau

proyek adalah riset awal (preliminary research). RBA mencari tahu kebutuhan

masyarakat di bidang literasi dan diseminasi. Riset dilakukan melalui observasi

fenomena di lingkungan yang hendak dituju. Selain riset oleh RBA, informasi akan

kebutuhan masyarakat juga dapat diperoleh saat kolaborator menawarkan kepada

RBA untuk berkolaborasi dalam melaksanakan sebuah kegiatan. Data yang

diperoleh dari hasil observasi atau permintaan kolaborasi dijadikan dasar untuk

proses berikutnya yaitu diskusi.

58
59

Diskusi perencanaan kegiatan umumnya dilakukan pada rapat pengelola yang

dilaksanakan pada minggu kedua dan keempat setiap bulan. Pengelola memaparkan

data kebutuhan masyarakat yang diperoleh. Kemudian, pengelola mulai membahas

bentuk dan tujuan kegiatan yang hendak dilaksanakan. Setiap kegiatan yang hendak

dilaksanakan harus sejalan dengan visi dan misi yang diusung oleh RBA dan

memiliki dampak positif bagi masyarakat.

Setelah bentuk kegiatan ditentukan, pengelola mulai menentukan jadwal

pelaksanaan kegiatan. Jadwal tersebut dicatat oleh sekretaris dan ditempelkan di

kalender yang ditempatkan di ruang belajar utama. Kemudian, pengelola memilih

penanggung jawab kegiatan yaitu salah seorang anggota KRS+.

Penanggung jawab kegiatan adalah orang yang diberi kepercayaan untuk

memimpin eksekusi kegiatan. Tugas penanggung jawab kegiatan adalah

membentuk tim, melakukan koordinasi mengenai konsep hingga teknis

pelaksanaan, mencari, mengelola, dan mencatat sumber daya, melakukan evaluasi,

dan menyusun laporan kegiatan sebagai bentuk pertanggungjawaban. Seorang

pengelola ditugaskan untuk mendampingi penanggungjawab dalam merencanakan

kegiatan. Pendamping membuka kesempatan bagi penanggung jawab untuk

berkonsultasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan yang

diamanahkan. Pendamping juga memastikan bahwa proses persiapan hingga

evaluasi kegiatan sejalan dengan nilai-nilai RBA.

Layaknya entitas yang menjalankan program tanggung jawab sosial pada

umumnya, RBA memiliki indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan

pelaksanaan sebuah kegiatan. RBA tidak menggunakan ukuran kuantitatif untuk

59
60

menilai keberhasilan kegiatan. Hal tersebut diekspresikan koordinator program

Ruang Baca dan Literasi (RBL) melalui ungkapan berikut:

“Nah, ini yang beda [tersenyum]. Kalau di (tempat) lain, indikatornya kan
dari kuantitas. Kalau kita, lebih ke kualitas. Jadi, misal nih kita targetnya tiga
puluh orang. Kalau yang datang tiga puluh, tapi kualitasnya yang
disampaikan nggak bagus, ya itu yang kita masalahkan. Tapi, kalau yang
datang lima, tapi benar-benar adik-adik ini punya impact, berdampak, itu
yang kita hitung bagus. Tahu dampaknya dari kesan pesan. Kesan pesan
adiknya gimana. Kesan pesan orang tuanya gimana.” (wawancara 13 Juni
2017)

Berdasarkan pernyataan di atas, RBA mengutamakan kualitas untuk

mengukur dampak yang diberikan kepada peserta kegiatan. RBA memastikan

bahwa baik peserta maupun panitia mendapatkan proses pembelajaran yang mereka

butuhkan. Jumlah peserta tidak dipermasalahkan selama proses pembelajaran yang

terdapat dalam sebuah kegiatan dapat diterima dengan baik.

Proses pengukuran dampak dari sebuah kegiatan di RBA dilakukan secara

sederhana. Panitia kegiatan berbicara dengan peserta dan meminta pendapat mereka

tentang kegiatan yang sedang diikuti. Selain melalui lisan, panitia juga meminta

peserta untuk menyampaikan pesan dan kesannya melalui lembaran kertas yang

dibagikan setelah kegiatan selesai. Konten pada pesan dan kesan yang tertulis pada

lembaran tersebut menjadi bahan evaluasi kegiatan oleh panitia dan pengelola.

Hasil evaluasi dijadikan bahan pertimbangan untuk mengadakan kegiatan di masa

mendatang.

60
61

Gambar 4.2
Skema Pengelolaan Sumber Daya Ruang Belajar Aqil (RBA)

Kolaborator

Masyarakat Pengelola Masyarakat

Pelaksana

Masyarakat – pengelola - masyarakat Masyarakat – pengelola –


Masyarakat – pengelola – kolaborator pelaksana - masyarakat
- masyarakat - masyarakat
Masyarakat – pelaksana - masyarakat

Sumber: Data diolah (2017)

Tanggung jawab sosial di RBA juga menjadi landasan dalam pengelolaan

sumber daya. Sejalan dengan nilai kepedulian, RBA berupaya untuk

menumbuhkan kepedulian masyarakat melalui penerimaan donasi yang disalurkan

kepada masyarakat lainnya. Donasi yang diterima oleh RBA dikelola sebagai

sumber daya untuk menjalankan kegiatan sosial yang telah direncanakan.

RBA menerima donasi finansial dan non finansial. Donasi finansial

umumnya berupa uang zakat, infaq, shadaqah, dan lain-lain seperti selisih dana

kegiatan. Sementara, donasi non finansial yang diterima berupa keahlian, barang,

buku, dan jejaring. Kedua jenis donasi wajib dipertanggungjawabkan

penggunaannya dan dilaporkan kepada masyarakat.

Proses pengelolaan donasi di RBA (lihat gambar 4.1) dilakukan melalui

empat skema yaitu

1. Sumber daya dari masyarakat (donasi/bantuan publik) disalurkan melalui

pengelola untuk diubah menjadi manfaat bagi masyarakat.

61
62

2. Sumber daya dari masyarakat (donasi/bantuan publik) disalurkan melalui

pelaksana atau penanggung jawab kegiatan untuk diubah menjadi manfaat

bagi masyarakat.

3. Sumber daya dari masyarakat (donasi/bantuan publik) disalurkan melalui

pengelola. Selanjutnya, pengelola menurunkan bantuan tersebut kepada

pelaksana atau penanggung jawab proyek sosial untuk diubah menjadi

manfaat bagi masyarakat.

4. Sumber daya dari masyarakat (donasi/bantuan publik) disalurkan melalui

pengelola. Selanjutnya, pengelola bersama kolaborator mengubah sumber

daya yang diperoleh menjadi manfaat bagi masyarakat.

Sebelum menentukan jumlah donasi yang diupayakan, pengelola terlebih dahulu

menentukan anggaran yang dibutuhkan. RBA sendiri memiliki tiga anggaran yang

dirancang pada rapat pengelola. Anggaran tersebut adalah anggaran rutin, anggaran

program, dan anggaran proyek sosial.

Anggaran rutin adalah anggaran berhubungan dengan operasional RBA

sehari-hari dan rutin dikeluarkan setiap periode tertentu. Komponen yang termasuk

ke dalam anggaran rutin antara lain biaya listrik, internet, dan air setiap bulan.

Anggaran program adalah anggaran yang digunakan untuk menjalankan program

seperti Seribu Buku Anak dan rangkaian lokakarya literasi. Komponen anggaran

program antara lain biaya yang digunakan untuk membeli alat gambar, alat tulis,

dan beragam buku anak. Anggaran terakhir adalah anggaran proyek sosial.

Anggaran ini berbentuk subsidi sebesar Rp 100.000,00. Keunikan dari anggaran

proyek sosial adalah pemberiannya yang hanya boleh dilakukan ketika sebuah

proyek sosial benar-benar mengalami keterbatasan dalam memenuhi

62
63

kebutuhannya. Tujuannya adalah agar tim panitia proyek sosial dapat

memaksimalkan upaya mereka dalam melibatkan masyarakat melalui donasi.

Tabel 4.1
Matriks Analisis Indeksikalitas dan Refleksivitas

Objek Penelitian Analisis Indeksikalitas Analisis Reflektivitas


Akuntansi Akad atau perjanjian Tanggung jawab sosial adalah
pertanggungjawaban dengan donatur dalam tentang menjaga kepercayaan
sosial
mengelola donasi yang diberikan donatur melalui
akad

Sumber daya dikelola Tidak ada sumber daya yang


dan dicatat sesuai terbuang karena dikelola secara
kebutuhan efektif dan efisien untuk
memenuhi kebutuhan dan
dapat dipertanggungjawabkan

Struktur laporan Esensi laporan adalah


mengikuti kebutuhan kebermanfaatan informasi bagi
informasi masyarakat masyarakat

Pelaporan Orientasi RBA adalah


Kebermanfaatan memberikan manfaat sebesar-
Saldo akhir yang ideal besarnya kepada masyarakat,
adalah nol rupiah bukan memperoleh keuntungan

Pengamalan nilai Nilai-nilai tidak hanya tertulis


kepedulian, dalam laporan, melainkan
pembelajaran, diimplementasikan dalam
pemberdayaan dalam pembuatan laporan itu sendiri
proses pelaporan
Sumber: Data diolah (2017)

63
BAB V

ANALISIS INDEKSIKALITAS:

AKUNTANSI PERTANGGUNGJAWABAN SOSIAL

DARI PERSPEKTIF RUANG BELAJAR AQIL (RBA)

5.1. Akad sebagai Dasar Pengelolaan Donasi

Pada hakikatnya, manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang tidak bisa

hidup tanpa bantuan manusia lain. Kesadaran atas interdependensi ini mendorong

manusia untuk membantu memenuhi kebutuhan manusia lain (Wright, 2002).

Banyak jalan yang dapat ditempuh untuk memberikan bantuan. Salah satunya

adalah donasi melalui lembaga yang akan menyalurkannya kepada masyarakat.

Sebagai sebuah entitas socio-enterprise, RBA memiliki peran untuk

mengelola bantuan publik yang diperolehnya demi memenuhi kebutuhan

masyarakat di bidang literasi. Bantuan publik tersebut adalah donasi finansial dan

non-finansial yang diberikan oleh donatur secara rutin atau insidentil.

Pengelolaan donasi di RBA dilakukan dengan berlandaskan pada akad atau

perjanjian antara representatif RBA dengan donatur. Sebelum mengalokasikan

dana untuk sesuatu, RBA harus mengetahui peruntukan dari donasi yang diterima.

Hal tersebut tergambarkan dalam pernyataan penasihat RBA:

“… yang unik begini, kita dalam menerima donasi, shadaqah, atau zakat
selalu ada akad yang jelas. Jadi, uang yang kita terima ini alokasinya untuk
apa? Nah, si pemberi ini punya preferensi nggak, sih? Donaturnya ini.
Misalnya, “Ini nanti buat operasional.” Ya, maka kita hanya gunakan untuk
operasional aja. Bahkan, nggak boleh untuk bayar kewajiban. Begitu juga
kalau sudah dinyatakan, “Ini untuk bayar kewajiban.” Berapa pun
jumlahnya, maka tidak boleh dibuat operasional apalagi yang lain. Jadi, tidak
pernah tercampur…” (Wawancara 20 Juni 2017)

64
65

Penggalan wawancara di atas menjelaskan bahwa preferensi donatur atas

peruntukan donasinya menjadi pertimbangan utama bagi RBA untuk mengelola

donasi. Setelah informasi tentang preferensi diperoleh, barulah RBA menyatakan

kesanggupan untuk mengelola donasi yang diberikan sesuai dengan peruntukannya.

Saat itulah akad antara donatur dan RBA terjadi.

Akad atau perjanjian adalah sebuah kesepakatan yang digunakan ketika dua

pihak melakukan transaksi atas sebuah objek. Hasil observasi dan wawancara

menunjukkan bahwa akad tidak hanya digunakan untuk transaksi umum seperti jual

beli melainkan juga untuk mengelola donasi.

Arwani (2011) menyatakan bahwa terdapat beberapa asas yang mendasari

pelaksanaan sebuah akad. Pertama, akad harus dilakukan berdasarkan asas

keadilan. Kedua pihak yang terlibat perjanjian harus memenuhi hak dan kewajiban

yang telah disepakati. Selain itu, kedua pihak harus mengungkapkan kehendak dan

keadaan yang dihadapi dengan benar.

Asas kedua adalah itikad baik. Setiap substansi perjanjian yang dibuat harus

dilaksanakan berdasarkan kemauan baik kedua pihak. Kesediaan untuk saling

percaya dibutuhkan dari kedua pihak untuk melaksanakan tujuan perjanjian.

Adanya kepercayaan akan menutut kedua pihak untuk bertanggung jawab penuh

selama masa berlangsungnya perjanjian.

Asas ketiga yang mendasari sebuah akad adalah kemanfaatan dan

kemaslahatan. Isi dari akad yang baik adalah yang mampu mendatangkan

kemanfaatan bagi pihak yang terlibat akad maupun masyarakat. Sementara,

kemaslahatan berarti melindungi kepentingan pokok masyarakat seperti urusan

65
66

religiusitas, jiwa dan raga, akal pikiran, martabat diri dan keluarga, dan harta

kekayaan.

Ketiga asas tersebut tampak diterapkan di RBA. Donasi harus digunakan

sesuai dengan isi kesepakatan RBA dengan donatur. Selain itu, donasi tersebut

harus disalurkan dalam bentuk yang menghasilkan manfaat bagi masyarakat.

Umumnya, donasi tersebut digunakan untuk menjalankan program-program RBA

seperti KRS+ dan RBL beserta kegiatan-kegiatan di bawahnya. Sementara, itikad

baik dalam akad pengelolaan donasi dapat diartikan sebagai kesediaan RBA untuk

memaparkan kebutuhannya secara jujur dan menjaga amanah atau kepercayaan

yang diberikan oleh donatur. Bendahara RBA menjelaskan hal tersebut melalui

pernyataan berikut ini:

“… setiap amanah [sambil menggerakkan tangan seolah menerima sesuatu]


yang diberikan entah itu oleh donatur, entah itu oleh masyarakat, entah itu
tim sendiri, atau pengelola sendiri untuk menjalankan project itu insya Allah
akan disalurkan tanpa ada pemotongan atau hmmm… apa ya… [sambil
berpikir] ada pengurangan sedikit pun. Sebisa mungkin, semisal ada dari
donatur, uang ini untuk apa, tujuannya juga jelas, akadnya jelas dan
disalurkan sesuai apa yang donatur mau. Kita juga menjelaskan kebutuhan
kita apa.” (Wawancara 11 Juni 2017)

Saat donatur mengetahui kebutuhan RBA, preferensi alokasi donasi pun dapat

mereka tentukan. Donatur memiliki hak untuk mengalokasikan donasinya pada pos

operasional, kewajiban yang menjadi tanggungan RBA, atau justru membebaskan

RBA untuk menentukan prioritas pemanfaatan donasi. RBA pun memiliki

tanggung jawab untuk mengelola donasi dan memberikan kepastian kepada donatur

bahwa donasi mereka bermanfaat.

Pengelolaan donasi sesuai dengan akad telah memenuhi salah satu syarat

praktik penganggaran yang baik yaitu mengalokasikan sumber daya sesuai dengan

tujuan yang dikehendaki (NACSLB, 1998). Akad antara RBA dan donatur berperan

66
67

sebagai penanda alokasi donasi yang diberikan. Tujuan kebermanfaatan donasi

yang dikehendaki donatur tercapai saat donasi yang diberikan mampu memenuhi

kebutuhan masyarakat melalui kegiatan RBA.

5.2. Sumber Daya Dikelola dan Dicatat Sesuai Kebutuhan

Setiap kegiatan membutuhkan sumber daya agar dapat berjalan sesuai tujuan

yang diharapkan. Kebutuhan akan sumber daya diidentifikasi dalam proses

perencanaan kegiatan. Langkah yang ditempuh setelah mengidentifikasi kebutuhan

sumber daya adalah menyusun strategi pemenuhannya.

Begitu pula dengan program-program RBA. Seluruh kegiatan yang berada di

bawah naungan program-program RBA membutuhkan sumber daya. Sebagai

contoh, kegiatan penelitian KRS+ membutuhkan fasilitas berupa buku, listrik, dan

koneksi internet. Sementara, kegiatan lokakarya membutuhkan alat gambar, alat

jahit, dan keperluan lainnya. Kebutuhan sumber daya manusia juga selalu muncul

pada setiap pelaksanaan kegiatan.

Kebutuhan atas sumber daya di RBA diidentifikasi sebelum melaksanakan

kegiatan. Setelah itu, pengelola atau penanggung jawab kegiatan akan mencari tahu

ketersediaan sumber daya yang dimaksud di RBA. Hal tersebut diungkapkan oleh

bendahara dalam pernyataan berikut ini:

“Kalau untuk ngerjain project, resource yang aku keluarkan… yang jelas apa
yang kita (RBA) punya dulu dan kebutuhan dari projectnya apa. Selama yang
RBA punya bisa mencukupi project, ya pakai itu. Entah itu relawan,
keuangan, bahan-bahan (peralatan dan perlengkapan). Misal kebutuhan
project melebihi resource yang kita punya, sebisa mungkin kita cari untuk
memenuhi kebutuhan project.” (Wawancara 11 Juni 2017)

Sumber daya yang tidak tersedia segera diupayakan pemenuhannya melalui

pencarian donasi. RBA menghubungi calon donatur untuk menjelaskan kegiatan

67
68

dan sumber daya apa saja yang dibutuhkan untuk menjalankannya. Setelah itu,

barulah calon donatur dapat memberikan keputusan tentang pemberian donasi.

Apabila sumber daya telah didapat, RBA memiliki tanggung jawab untuk

mengelola sesuai dengan peruntukannya, sebagaimana telah dijelaskan pada sub

bab sebelumnya. Selain itu, RBA harus mampu mengelola sumber daya yang

terbatas untuk menjadikannya bermanfaat sesuai kebutuhan masyarakat.

Penggunaan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan mengikuti prinsip efektivitas

(Productivity Commission, 2003).

Sebuah sumber daya menjadi bermanfaat saat sumber daya tersebut mampu

memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, penilaian kebutuhan masyarakat adalah

langkah kunci untuk mewujudkan manfaat dari sebuah sumber daya (NACSLB,

1998). Identifikasi kebutuhan yang dilakukan RBA menunjukkan bahwa socio-

enterprise ini menerapkan prinsip efektivitas dalam pengelolaan sumber daya.

Prinsip lain yang digunakan oleh RBA dalam mengelola donasi adalah

efisiensi alokatif. Productivity Commission (2003) menjelaskan bahwa efisiensi

alokatif menitikberatkan pada penggunaan sumber daya yang tersedia untuk

menciptakan nilai bagi kesejahteraan masyarakat.

Identifikasi kebutuhan membantu RBA dalam menggunakan sumber daya

secara efisien. Item pada daftar kebutuhan yang tidak berpengaruh terhadap

jalannya kegiatan dihapus. Penghapusan item yang tidak dibutuhkan

mempermudah upaya pengelola atau penanggung jawab kegiatan dalam mencari

dan mengelola donasi. Sehubungan dengan penerapan efisiensi alokatif, penasihat

memberi keterangan sebagai berikut “Masa project kaya gini aja butuh sekian

68
69

banyak? Terus ya akhirnya kita tunjukkan contohnya. Ada item-item yang nggak

diperlukan akhirnya bisa dihilangkan.” (Wawancara 20/6/2017)

Prinsip efisiensi alokatif juga memiliki hubungan dengan sifat RBA yaitu not-

for-profit. Pertimbangan kebutuhan membantu RBA untuk mengelola sumber daya

yang ada agar bermanfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Saat seluruh sumber

daya digunakan untuk menjalankan program, secara otomatis tidak ada jumlah yang

tersisa untuk dihitung sebagai keuntungan.

Pencatatan donasi dilakukan segera setelah donasi diterima. Penerima donasi,

baik pengelola maupun penanggung jawab kegiatan, berkewajiban untuk mencatat

informasi tentang jumlah, asal, dan peruntukan donasi. Kewajiban tersebut

disampaikan oleh koordinator RBA:

“Kalau project, yang membuat itu (laporan) seharusnya adalah koordinator


projectnya. Dia harus mencatat semua resource yang dia gunakan. Sumbernya
dari mana, digunakan untuk apa. Dia harus tahu kebutuhannya dia apa dulu.
….Kalau sudah, maka dia harus mencatat apa saja yang sudah dia gunakan
berikut buktinya karena bukti itu menjadi sesuatu yang esensial untuk
melaporkan kembali ke masyarakat. Seenggaknya, pada donatur.” (Wawancara
13 Juni 2017)

Salah satu aktivitas dari sebuah siklus akuntansi adalah pencatatan (Weygandt,

et al., 2013). Aktivitas pencatatan yang dilakukan oleh RBA menunjukkan bahwa

akuntansi digunakan sebagai alat untuk mempertanggungjawabkan penggunaan

donasi. Pencatatan dilakukan ketika donasi diterima dan dikeluarkan untuk

keperluan kegiatan. Bukti-bukti yang digunakan untuk pencatatan berupa tanda

terima atau foto saat donasi diterima.

69
70

Gambar 5.1
Tanda Terima Donasi yang Diterima dan Dikeluarkan oleh Ruang Belajar Aqil

Sumber: Dokumentasi Peneliti (2017)

Terjadinya akad pemberian donasi tidak menjadi sebuah indikator bahwa

pencatatan donasi harus dilakukan segera. RBA hanya mencatat donasi apabila

donasi telah berada di tangan. Praktik pencatatan RBA yang demikian mengikuti

metode cash basis.

Falk (dikutip oleh Parsons, 2003) menyatakan bahwa metode pencatatan cash

basis sesuai untuk entitas not-for-profit atau bersifat sosial. Pada entitas not-for-

profit, penerima manfaat utama dari aktivitas entitas bukanlah donatur melainkan

masyarakat. Donatur tidak memiliki kuasa untuk mengatur jalannya entitas. Mereka

hanya bisa memastikan bahwa entitas memiliki sumber daya yang cukup untuk

menjalankan program. Oleh karena itu, metode pencatatan cash basis dianggap

tepat karena dapat memberikan informasi ketersediaan sumber daya secara aktual.

Selain pencatatan dari aspek keuangan, RBA juga melakukan pencatatan dari

aspek kesekretariatan. Peran pencatatan kesekretariatan dilakukan oleh sekretaris

dan diwujudkan dalam bentuk notulensi rapat pengelola. Notulensi tersebut

menjadi bukti tertulis atas rancangan program dan pemilihan penanggung jawab

kegiatan.

70
71

Notulensi rapat pengelola berperan membantu penanggung jawab dalam

mengembangkan rancangan program. Keberadaan notulensi sekaligus memperkuat

akuntabilitas RBA dalam mempertanggungjawabkan pelaksanaan program dan

sumber daya yang dimanfaatkan.

5.3. Struktur Laporan mengikuti Kebutuhan Informasi Masyarakat

Akuntansi mengenal keberadaan standar dalam pelaporan aktivitas dan

kondisi keuangan sebuah entitas. Tujuan penggunaan standar adalah untuk

memandu entitas dalam menyusun informasi yang dibutuhkan oleh pengguna

laporan. Entitas dengan beragam bentuk menerbitkan laporan untuk

mempertanggungjawabkan aktivitasnya. Tidak terkecuali pada entitas yang bersifat

not-for-profit.

Bentuk laporan yang umum diterbitkan oleh sebuah entitas adalah laporan

keberlanjutan. Laporan tersebut memuat segala informasi tentang entitas termasuk

laporan keuangan dan tanggung jawab sosial. Standar yang digunakan untuk

pelaporan keuangan entitas not-for-profit di Indonesia adalah Pernyataan Standar

Akuntansi Keuangan (PSAK) 45. Sementara, standar pelaporan tanggung jawab

sosial yang umum digunakan adalah Global Reporting Initiative (GRI).

Ruang Belajar Aqil (RBA) memiliki tiga jenis laporan yaitu laporan kegiatan,

laporan pembelajaran, dan laporan tahunan. Isi dari laporan tahunan merupakan

kompilasi dari laporan kegiatan, laporan pembelajaran, dan laporan keuangan

bulanan. Hal yang berbeda dari ketiga laporan tersebut adalah pembuatannya yang

tidak persis mengacu kepada standar yang berlaku umum di Indonesia sebagaimana

dijelaskan pada paragraf sebelumnya.

71
72

Standar pelaporan RBA adalah kebutuhan informasi dari pengguna laporan.

Pihak-pihak yang disebut pengguna laporan adalah donatur dan masyarakat secara

umum. RBA meyakini bahwa laporan yang baik adalah yang mudah dipahami

sehingga penggunanya bisa memperoleh informasi yang dibutuhkan. Hal tersebut

dijelaskan oleh sekretaris:

“Kalau ngacu standar tertentu karena kita ada tim audit, ya. Awalnya sistem
laporannya nggak kaya yang sekarang gitu. Akhirnya, dibuat untuk
mempermudah kita, jadi itu dibuat keluar-masuk, pemasukan sama
pengeluaran. Terus, saldo akhir. Dibuat sesederhana mungkin biar semua
paham. Kan otomatis kalau kita buat laporan yang oke-oke banget, mungkin
kalangan akuntansi aja yang paham. Ini jadi semua kalangan itu paham.”
(Wawancara 12 Juni 2017).

Ekspresi di atas menunjukkan bahwa RBA berusaha agar informasi yang terdapat

dalam laporan mereka dapat dipahami dengan mudah oleh semua kalangan. Salah

satunya adalah melalui penyajian informasi pos-pos keuangan dengan sederhana.

Penggunaan standar baku akuntansi untuk menyusun laporan tahunan dinilai

tidak sesuai dengan kebutuhan informasi para pemangku kepentingan (stakeholder)

RBA. Susunan laporan yang terlalu mengikuti standar baku hanya dapat dipahami

oleh orang-orang yang berkecimpung di bidang akuntansi. Sementara, stakeholders

RBA berasal dari berbagai kalangan masyarakat. Standar baku yang rumit akan

mempersulit masyarakat dalam memahami isi dari laporan RBA.

Sebaliknya, jika kebutuhan informasi masyarakat dijadikan sebagai standar,

penyajian laporan akan berfokus kepada bagaimana informasi di dalamnya dapat

tersampaikan dan dipahami dengan baik. Format laporan RBA pun menjadi berbeda

dengan laporan perusahaan. Hal itu terjadi karena kebutuhan informasi masyarakat

dan perusahaan berbeda. Penasihat mengutarakan pendapatnya akan perbedaan

kebutuhan yang dimaksud:

72
73

“Nggak masalah. Kita nggak ngikuti itu karena kembali kebutuhan kita
belum ke sana dan pengguna laporan kita juga nggak membutuhkan yang
seperti itu. Biasanya, fokus pertanyaan donatur atau stakeholder siapapun
yang kami kasih laporan itu, pertanyaannya, “Kok saldo akhirnya nol?
Terus kenapa setiap bulan harus sepuluh ribu?” Pertanyaannya seputaran
itu. Selebihnya nggak ada pertanyaan. Paling kalaupun ada pertanyaan
tambahan itu seputar alokasi.” (Wawancara 20 Juni 2017)

Pernyataan di atas memberikan gambaran tentang informasi apa saja yang

dibutuhkan oleh donatur dari RBA. Sehubungan dengan sifat RBA sebagai not-for-

profit socio-enterprise, informasi yang dibutuhkan ialah tentang pemanfaatan

donasi. Berbeda dengan kebutuhan informasi pemangku kepentingan entitas for-

profit yang berkisar pada keuntungan dan keberlangsungan usaha di masa depan.

Perbedaan kebutuhan informasi stakeholders RBA menjadikan penyajian

laporan tidak mengikuti standar PSAK 45 dan GRI. Mautz (dikutip oleh Parsons,

2003) menyatakan bahwa fenomena seperti ini wajar bagi entitas not-for-profit.

Fokus, ruang lingkup kegiatan, dan pemangku kepentingan not-for-profit socio-

enterprise yang beragam menuntut penyajian laporan yang lebih fleksibel.

Pengelola not-for-profit socio-enterprise harus merancang strategi penyampaian

laporan yang mereka yakini informatif bagi pengguna.

Meskipun tidak sesuai dengan standar yang ada, laporan RBA tetap

mengikuti kriteria kualitatif laporan keuangan seperti relevansi (relevance),

penyajian yang sebenar-benarnya (faithful representation), dan kemudahan untuk

dipahami (understandability). Tidak hanya untuk laporan keuangan, kriteria ini

juga digunakan dalam laporan kegiatan dan laporan pembelajaran.

Laporan kegiatan disusun dengan sederhana tanpa mengurangi informasi

yang harus disampaikan. Pada laporan kegiatan, pengguna dapat memperoleh

informasi tentang latar belakang kegiatan, pelaksanaan, hingga umpan balik dari

73
74

para peserta. Penyajian umpan balik bertujuan untuk mengetahui apakah kegiatan

yang dilaksanakan memiliki dampak dan memenuhi kebutuhan peserta. Inilah yang

disebut Parsons (2003) sebagai penyajian manfaat untuk pengguna kegiatan

(customer’s benefit).

Sementara, laporan pembelajaran berisikan informasi tentang pembelajaran

yang diperoleh panitia. Laporan tersebut mencantumkan secara jelas kendala yang

dihadapi, solusi yang diberikan, dan pembelajaran yang diperoleh panitia sebagai

individu dan bagian dari kelompok. Melalui laporan ini, pengguna dapat melihat

implementasi nilai RBA yaitu kepedulian, pembelajaran, dan pemberdayaan dalam

kegiatan yang dijalankan.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa standar utama

dalam menyusun segala jenis laporan yang ada di RBA adalah kebutuhan informasi

dari pengguna laporan. Hal tersebut bertujuan agar laporan-laporan tersebut dapat

memberikan manfaat bagi penggunanya.

5.4. Pelaporan Kebermanfaatan

Pengungkapan tentang seberapa jauh misi telah tercapai adalah salah satu

fokus pelaporan yang dilakukan oleh entitas not-for-profit (Mook, 2014). Misi yang

dimiliki setiap entitas not-for-profit berbeda sesuai bidang masing-masing. Entitas

not-for-profit socio-enterprise sendiri memiliki misi yang mengakar pada dasar

keberadaan mereka yaitu penciptaan nilai sosial kepada masyarakat.

Salah satu prinsip yang dipegang RBA dalam menjalankan misinya adalah

kebermanfaatan mereka bagi masyarakat. Prinsip ini tidak hanya diterapkan dalam

74
75

program-program yang ada, melainkan pada pelaporan informasi. Hal tersebut

disampaikan oleh penasihat melalui penggalan wawancara berikut:

“Jadi, dalam konteks memberikan informasi kepada publik, itu juga sebuah
kebermanfaatan. Karena di RBA ini kan kita tidak hanya berbicara program,
tapi juga berbicara pengelolaan [melebarkan tangan]. Pengelolaan kita
diupayakan untuk bisa mencapai kondisi bahwa hasil dari pengelolaan itu bisa
berguna buat orang lain dan itu menjadi bentuk tanggung jawab sosial karena
kita hidup di masyarakat.” (Wawancara 20 Juni 2017)

Ekspresi di atas menjelaskan bahwa aktivitas di RBA tidak hanya berkisar di

seputar program, melainkan berjalannya entitas secara keseluruhan. Pengelolaan

memegang peran penting dalam memastikan bahwa operasional entitas

menghasilkan manfaat bagi stakeholders. Salah satunya melalui publikasi laporan

secara rutin.

Karakteristik yang khas dari laporan RBA adalah pencantuman kolom

kebermanfaatan, khususnya pada laporan kegiatan. Kolom kebermanfaatan

menjelaskan tentang peruntukan donasi yang diberikan sebagai sumber daya untuk

menjalankan kegiatan. Kebermanfaatan dari semua jenis donasi diungkap dalam

laporan tersebut, baik donasi tunai maupun non-tunai. Pelaporan kebermanfaatan

memiliki hubungan dengan pelaksanaan akad dengan donatur sebagaimana dibahas

pada sub bab pertama. Penyediaan informasi kebermanfaatan donasi bertujuan

untuk memberitahukan kepada donatur bahwa donasi telah disampaikan sesuai

dengan akad di awal. Sekretaris memaparkan keterkaitan tersebut:

“Ya kebermanfaatan itu terkait dengan akad. Akad itu ibarat janji
[tersenyum]. Jadi ya apa yang kita sampaikan itu harus benar-benar sesuai.
Nggak boleh ada yang dilebihkan. Nggak boleh ada yang dikurangkan.
Seperti itu.” (Wawancara 12 Juni 2017)

Inisiatif RBA untuk melaporkan kebermanfaatan mencerminkan upaya untuk

melakukan pelaporan yang sebenar-benarnya (faithful representation). Penjelasan

75
76

Sekretaris memberikan gambaran bahwa setiap tanggung jawab yang diberikan

kepada RBA dilaksanakan persis dengan akad yang disepakati kedua pihak.

Selanjutnya, pelaksanaan akad dilaporkan pula sesuai dengan kenyataan yang

terjadi di lapangan, tanpa dilebihkan atau dikurangi.

Informasi kebermanfaatan pada laporan kegiatan RBA disajikan secara

kualitatif. Melalui informasi tersebut, pengguna laporan dapat mengetahui manfaat

donasi untuk melaksanakan sebuah kegiatan. Selain itu, berdasarkan jawaban yang

diberikan oleh pengelola di atas, pengguna laporan dapat memperoleh gambaran

mengenai akad donasi yang terjadi antara RBA dengan donatur.

Lebih lanjut, pelaporan kebermanfaatan yang dilakukan oleh RBA dapat

menjadi dasar untuk menilai kinerja mereka selaku entitas socio-enterprise yang

bersifat not-for-profit. Kriteria untuk menilai kinerja entitas not-for-profit adalah

pelaporan asal muasal dan penggunaan sumber daya (Mautz dalam Mook, 2014).

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, informasi kebermanfaatan memberikan

gambaran tentang akad antara RBA dan donatur. Unsur yang terdapat dalam akad

adalah asal muasal dan peruntukan donasi yang menjadi sumber daya kegiatan

sehingga kinerja RBA dapat dinilai berdasarkan kemampuan mereka dalam

memanfaatkan donasi sesuai akad.

76
77

Gambar 5.2
Kolom Kebermanfaatan pada Laporan Kegiatan RBA

Sumber: Laporan Kegiatan Ruang Belajar Aqil (2016)

Haski-Leventhal dan Foot (2016) menyatakan bahwa selama ini terdapat

banyak stakeholders dari entitas not-for-profit yang tidak bisa mengamati

penggunaan donasi yang mereka berikan. Kesulitan tersebut disebabkan oleh

minimnya keterangan pada laporan entitas not-for-profit tentang pemanfaatan

donasi. Perilaku entitas not-for-profit yang demikian berdampak pada rendahnya

kepercayaan donatur kepada mereka.

RBA menjadi salah satu not-for-profit socio-enterprise yang memperhatikan

pentingnya ketersediaan informasi tentang pemanfaatan donasi kepada

stakeholders. Pengungkapan informasi tentang pemanfaatan donasi

memperlihatkan bahwa RBA berusaha menerapkan prinsip transparansi dalam

pembuatan laporannya. Dengan adanya transparansi, asimetri informasi antara

entitas dengan donatur dapat diminimalisasi (Adams dan Simnett dikutip oleh

Haski-Leventhal dan Foot, 2016).

77
78

5.5. Saldo Akhir yang Ideal adalah Nol Rupiah

Pada dasarnya, not-for-profit socio-enterprise adalah sebuah entitas yang

bertujuan untuk menciptakan nilai sosial kepada masyarakat tanpa mengambil

keuntungan. Kegiatan not-for-profit socio-enterprise dilakukan tanpa memungut

biaya dari peserta. Begitu pula dengan pengelolaan donasi. Seluruh donasi yang ada

diupayakan untuk tersalurkan sepenuhnya kepada pihak yang berhak menerima

manfaatnya. Oleh karena itu, not-for-profit socio-enterprise tidak memiliki pintu

untuk memperoleh keuntungan.

Sebagai sebuah not-for-profit socio-enterprise, RBA mengupayakan agar

tidak ada sumber daya, terutama uang, yang tersisa tanpa termanfaatkan. Hal

tersebut disampaikan oleh Koordinator program RBL yang menangani beragam

kegiatan sosial RBA:

“Karena RBA ini not-for-profit, jadinya memang nggak boleh ada dana
yang tertahan di sini. Sebisa mungkin dana itu serapannya harus tinggi.
Tahu serapannya tinggi ya dana itu harus mendekati nol. Jadi, sebenarnya
bukan sepuluh ribu tapi mendekati nol. Maksimal kalau bisa sepuluh ribu.
Nah, untuk sepuluh ribu itu, rata-rata sih biasanya nol saldonya. Nol,
sepuluh ribu. Pernah waktu itu sembilan puluh ribu karena belum kepakai.
Tapi, memang karena not-for-profit dan kita memang inginnya masyarakat
ini menyerap semua apa yang kita dapat, ya di akhir bulan mau nggak mau
harus nol.” (Wawancara 13 Juni 2017)

Jawaban yang diberikan di atas memperjelas bahwa saldo ideal yang seharusnya

tercantum dalam laporan keuangan RBA adalah sebesar nol rupiah. Nilai nol

rupiah menjadi tolok ukur bahwa donasi yang diperoleh disalurkan sepenuhnya

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pencapaian saldo akhir sebesar nol

rupiah didasari oleh asumsi bahwa seluruh kegiatan telah terlaksana.

Namun, RBA mengakui bahwa mencapai saldo akhir sebesar nol rupiah

tidaklah mudah. Beberapa transaksi yang dilakukan dalam operasional kerap kali

78
79

tidak memiliki nilai nominal yang bulat. Keterangan tersebut disampaikan

penasihat dalam penggalan wawancara dengan penasihat:

“Kenapa sepuluh ribu? Jadi, dari perjalanan bulan-bulan sebelumnya, kita


rata-rata transaksi, kalau menghabiskan… bukan menghabiskan [meralat
ucapan]… menggunakan donasi yang kita terima atau zakat yang kita terima,
itu pasti nggak bulat. Ada kembalian entah seribu, dua ribu, tiga ribu. Maka,
akhirnya kita tetapkan yang logis adalah sepuluh ribu. Itu kaya transaksi
listrik, air, internet, kemudian transaksi administratif kaya fotokopi segala
macam. Itu masing-masing kalau rata-rata dua ribu, tiga ribu, kan ya
tercukupi lah sepuluh ribu. Jadi, kita memang nggak bisa menghabiskan nol.
Kecuali di akhir tahun harus nol. Supaya saldo kita bisa memulai lagi dari
awal. Karena prinsip kita kan not-for-profit gitu. Angka sepuluh ribu itu dari
kebiasaan bulan-bulan sebelumnya.” (Wawancara 20 Juni 2017)

Berdasarkan jawaban di atas, RBA memiliki kebijakan penetapan saldo akhir

donasi tunai maksimal sebesar Rp 10.000,00. Batasan tersebut dinilai logis untuk

menoleransi jumlah uang yang tersisa dari transaksi operasional entitas.

Penetapan batas maksimal saldo akhir sebesar Rp 10.000,00 menunjukkan

bahwa seluruh donasi yang diterima oleh RBA diupayakan untuk bermanfaat bagi

masyarakat dalam bentuk kegiatan yang bersifat sosial. Semakin kecil donasi yang

tersisa di RBA, semakin besar penggunaan donasi untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat.

Haski-Leventhal dan Foot (2016) mengungkapkan bahwa entitas not-for-

profit yang menggunakan sebagian besar dananya untuk pelaksanaan program

adalah entitas not-for-profit yang efisien. Sebagaimana telah dibahas pada sub-bab

kedua, efisiensi dalam konteks ini berkaitan dengan kesadaran akan kebutuhan

masyarakat.

Tidak adanya keuntungan yang diambil dari donasi yang diterima

menunjukkan bahwa RBA menempatkan kebutuhan masyarakat sebagai prioritas

utama. Upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat adalah hal yang utama. Berbeda

79
80

halnya dengan entitas seperti perusahaan atau for-profit enterprise yang

mengutamakan perolehan keuntungan. Inilah salah satu poin yang membedakan

not-for-profit socio-enterprise dari for-profit enterprise.

5.6. Pengamalan Nilai-Nilai Entitas pada Proses Pelaporan

Laporan tahunan entitas pada umumnya mencantumkan informasi dasar

seperti pernyataan visi dan misi serta nilai-nilai yang mereka usung. Ketentuan ini

tidak hanya berlaku bagi perusahaan, melainkan juga pada jenis entitas lain seperti

not-for-profit socio-enterprise. Infomasi dasar tersebut membantu pengguna untuk

mengenali profil sebuah entitas. RBA adalah salah satu not-for-profit socio-

enterprise yang berusaha mengenalkan nilai-nilai yang mendasari aktivitas mereka.

Selain diselipkan pada pernyataan visi dan misi, nilai-nilai tersebut juga berusaha

diwujudkan melalui penyajian laporan itu sendiri.

Bab sebelumnya telah menjelaskan bahwa RBA memiliki tiga nilai utama

yaitu kesadaran (awareness), pembelajaran (learning), dan pemberdayaan

(empowerment) (Laporan Tahunan RBA, 2016). Ketiga nilai tersebut diupayakan

untuk terwujud melalui pelaksanaan program, pengelolaan, dan pelaporan.

Penjelasan mengenai penanaman nilai kesadaran disampaikan oleh penasihat

sebagai berikut:

“Saya yakin juga, masyarakat juga, dengan memperoleh infomasi yang


memadai tentang RBA, kegiatannya, donasinya, apa pun itu yang bisa
dilaporkan dan bisa diketahui, mereka akan tahu bagaimana menempatkan
diri. Artinya, kesadaran yang kita wujudkan, bisa juga mendorong orang lain
atau lingkungan sekitar kita untuk jadi sadar juga. Jadi, awarenessnya
terbentuk sebagai salah satu value yang diperjuangkan oleh RBA. Awareness
[menekankan]” (Wawancara 20 Juni 2017)

80
81

Ekspresi tersebut disampaikan dalam perbincangan dengan peneliti mengenai

perspektif tanggung jawab sosial. Pandangan bahwa berbagi informasi adalah

sebuah bentuk kesadaran tergambarkan pada ekspresi di atas. Kesadaran yang

dimaksud adalah kesadaran untuk peduli terhadap kebutuhan lingkungan sekitar

yaitu informasi. Informasi yang dilaporkan sebagai wujud kepedulian diharapkan

mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk turut peduli dengan aktivitas-

aktivitas bersifat sosial yang dilakukan oleh RBA. Secara tidak langsung, laporan

RBA berperan dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat melalui informasi yang

ada di dalamnya.

Nilai kedua yang ditanamkan RBA dalam proses pelaporannya adalah

pembelajaran (learning). Pembelajaran yang dimaksud adalah upaya agar pengguna

laporan dapat mempelajari sesuatu dari laporan RBA. Penasihat menyampaikan

tentang nilai tersebut dalam penggalan jawaban berikut:

“... Termasuk juga diwujudkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan dalam


program maksudnya, ya. Dan diwujudkan juga dalam pengelolaan dan juga
diwujudkan dalam komunikasi. Laporan-laporan yang kita punya, saat
dipelajari oleh orang-orang, ya mereka belajar sesuatu. Tidak hanya informasi
tentang RBA, tidak hanya tentang donasi RBA. Bahkan, mereka juga belajar,
“Oh, ternyata begini lho, untuk melaporkan keuangan.” Akhirnya, mereka
juga jadi percaya.” (Wawancara 20 Juni 2017)

Keterangan di atas menunjukkan bahwa RBA tidak memandang laporan sebagai

sebatas bentuk pertanggungjawaban, tetapi juga sebagai media untuk menanamkan

nilai pembelajaran. Masyarakat atau pengguna laporan diharapkan mampu

memperoleh manfaat pembelajaran dari informasi yang disajikan pada laporan

RBA. Salah satunya tentang cara melaporkan informasi keuangan.

Selain pembelajaran kepada pengguna, proses penyusunan laporan juga

memberikan pembelajaran kepada anggota KRS+ yang dilibatkan sebagai panitia

81
82

kegiatan. Setiap kegiatan di RBA tidak dianggarkan sehingga panitia harus

mengupayakan sumber daya dari masyarakat. Pembelajaran yang ditekankan pada

pembuatan laporan adalah pertanggungjawaban pengelolaan donasi masyarakat.

Koordinator mengungkapkan hal tersebut:

“... nilai-nilai ini mulai ditanamkan oleh mentor bahwa ketika kamu
menggunakan dana dari masyarakat, kamu harus melaporkannya kepada
masyarakat. Maka dari itu, mentor menanamkan nilai-nilai tersebut seperti
mengajarkan bagaimana caranya membuat laporan yang baik. Memberikan
akses… membuat akses bagaimana bendahara ini bisa memublikasikan
laporan keuangan kepada masyarakat.” (Wawancara 13 Juni 2017)

Nilai pembelajaran untuk bertanggung jawab ditanamkan dengan cara

mengajarkan penyusunan laporan yang benar kepada pengelola dan anggota KRS+.

Setelah itu, mentor bagaimana menyampaikan laporan tersebut kepada masyarakat.

Tujuannya adalah agar masyarakat dapat mengetahui informasi atas pelaksanaan

kegiatan RBA berikut penggunaan donasi yang diterima. Selain itu, pembelajaran

pembuatan laporan diberikan karena tidak semua pengelola ataupun pelaksana

kegiatan RBA memahami langkah-langkah dan standar pelaporan baku akuntansi.

Padahal, mereka memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan aktivitas

RBA kepada masyarakat. Oleh karena itu, setiap individu di RBA diberikan

pembelajaran agar mereka mampu menyajikan laporan yang sederhana dan mudah

dipahami, baik oleh mereka sendiri ataupun masyarakat.

RBA memandang bahwa tanggung jawab sosial tidak hanya dilaksanakan

melalui program, melainkan juga pada pelaporannya. Oleh karena itu, nilai-nilai

tidak hanya dicantumkan sekadar untuk memenuhi ketentuan. Lebih dari itu, nilai-

nilai tersebut turut dilibatkan dalam proses pelaporan itu sendiri. Dengan demikian,

masyarakat dan pengguna laporan dapat merasakan implementasi nilai-nilai RBA

dari informasi yang dilaporkan.

82
BAB VI

ANALISIS REFLEKSIVITAS DAN AKSI INDEKSIKALITAS

Sebagaimana dijelaskan pada bab II, Pandangan atas akuntansi telah

mengalami pergeseran. Akuntansi tidak lagi dipandang sebatas praktik mencatat,

mengikhtisar, dan melaporkan. Lebih jauh lagi, akuntansi dipandang sebagai

praktik sosial dan institusional yang mampu menggambarkan nilai dan norma yang

dijunjung dalam sebuah organisasi (Potter, 2005).

Begitu pula dengan yang terjadi di Ruang Belajar Aqil (RBA). Aktivitas

akuntansi yang terlihat secara eksplisit memiliki makna yang merefleksikan nilai-

nilai entitas tersebut sebagai socio-enterprise. Pada bab ini, peneliti membahas

tentang interpretasi makna yang terkandung dalam aktivitas akuntansi RBA.

6.1. Tanggung Jawab Sosial adalah tentang Menjaga Kepercayaan yang

Diberikan Donatur melalui Akad

Kepercayaan adalah salah satu komponen esensial yang mendasari

berjalannya praktik akuntansi. Hal ini diterjemahkan ke dalam salah satu fungsi

akuntansi yaitu penatagunaan (stewardship). Penatagunaan adalah fungsi yang

digunakan untuk mengelola dan melaporkan dana yang dipercayakan untuk

dikelola kepada sebuah entitas.

Pada konteks RBA, fungsi penatagunaan dijalankan untuk mengelola dan

melaporkan donasi yang diberikan oleh masyarakat. Donasi dipandang sebagai

sebuah amanah yang dipercayakan oleh masyarakat dengan tujuan agar bermanfaat

bagi masyarakat yang lain. Dasar yang digunakan dalam mengelola dan melaporkan

donasi tersebut adalah akad (lihat sub bab 5.1).

83
84

Sifat akad tersebut adalah mengikat. RBA selaku entitas yang diberi

kepercayaan untuk mengelola donasi diikat oleh ketentuan yang ada pada akad

dengan donatur. Donasi harus dikelola secara tepat dan sesuai dengan ketentuan

peruntukan yang ditetapkan oleh donatur. Kemudian, RBA berkewajiban untuk

memberikan laporan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan yang

mereka kerjakan.

Amanah atau kepercayaan ini terlihat benar-benar dijaga oleh RBA. Fakta ini

diamati oleh peneliti selama periode observasi. Pada bulan Ramadhan, RBA

menerima banyak donasi untuk disalurkan kepada anak yatim dalam bentuk

peralatan sholat dan perlengkapan belajar. Donasi tersebut dihimpun dalam

program RBA Berbagi.

Pada hari Rabu (14/6/2017), ketika sesi penutupan kegiatan KRS+, pengelola

menyampaikan kabar terbaru mengenai donasi yang terkumpul. Penasihat

menyampaikan bahwa donasi tersebut diperuntukkan bagi anak yatim usia SD yang

tidak tinggal di panti asuhan. Hal tersebut sesuai dengan amanah yang diberikan

oleh donatur. Penasihat juga menegaskan bahwa pengelola tidak boleh

menyalurkan donasi kepada pihak yang tidak sesuai dengan kriteria tanpa

persetujuan dari donatur.

Bentuk lain dari menjaga kepercayaan terlihat pada saat berlangsungnya rapat

pengelola (19/6/2017). Ketika peneliti sedang mengikuti jalannya rapat pengelola,

terdapat beberapa anggota KRS+ yang mengamankan donasi berupa lemari es di

ruang belakang RBA. Lemari es tersebut diberikan kepada salah satu Taman Baca

Masyarakat (TBM) di wilayah Bantur, Kabupaten Malang, keesokan harinya.

Sekali lagi, pemberian tersebut dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan donatur.

84
85

Pengelolaan donasi sesuai akad berdampak pada timbulnya kepercayaan

donatur. Apalagi ketika donatur diberikan akses untuk melihat bagaimana proses

pengelolaan donasi tersebut dilakukan. Hal tersebut disampaikan oleh peserta aktif

kegiatan ruang baca sekaligus donatur RBA:

“... aku tahu misal kemarin donasi buat ngirim buku dari PGN ke sini. Aku
donasi untuk project itu. Jadi, aku tahu bukunya udah nyampe sini. Berarti
donasiku juga berperan. Terus, program buku anak itu ada wujudnya, kan?
Memang aku nggak baca report. Kalau aku minta, pasti akan dikasih. Tapi
aku nggak minta. Cuma aku sering ke sini jadi tahu buku anaknya memang
benar berjalan. Karena porsi donasinya nggak banyak-banyak banget jadi aku
pribadi juga nggak masalah.” (Wawancara 13 September 2017)

Ungkapan yang disampaikan mengonfirmasi bahwa selama ini RBA telah

menjalankan amanah mereka dengan baik. Kepercayaan tersebut timbul begitu

donatur menyaksikan sendiri bahwa apa yang mereka berikan bermanfaat untuk

orang lain. Bahkan, dalam konteks jawaban di atas, perwujudan manfaat donasi

secara nyata dapat sekaligus berperan sebagai laporan pertanggungjawaban.

Donatur pun percaya tanpa harus membaca laporan yang tersedia dalam bentuk

tertulis.

Upaya menjaga kepercayaan yang dilakukan dalam pengelolaan donasi oleh

RBA sejalan dengan konsep manusia yang amanah. Ariwiguna (2002) menyatakan

bahwa manusia yang amanah adalah manusia yang memanfaatkan dan menjaga apa

yang dititipkan padanya. Perintah untuk menjadi manusia yang amanah juga

terdapat dalam Al Quran surat An Nisa ayat 58 yang berbunyi:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang


berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS An-Nisa: 58)

85
86

Sebagai entitas yang berdiri di tengah masyarakat, RBA tidak terlepas dari

tanggung jawab untuk memberikan manfaat kepada lingkungan sekitarnya.

Tanggung jawab tersebut melekat secara otomatis sebagai konsekuensi atas

amanah atau kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Pengelolaan entitas

sesuai dengan amanah dari masyarakat menunjukkan bahwa RBA telah

berkomitmen dalam mewujudkan tanggung jawab sosialnya.

6.2. Tidak Ada Sumber Daya yang Terbuang

Kebutuhan adalah sesuatu yang secara alami dimiliki oleh setiap manusia.

Demi memenuhi kebutuhan tersebut, manusia membutuhkan sumber daya. Salah

satu aspek esensial yang harus diperhatikan dalam menggunakan sumber daya

adalah keberlanjutan. Aspek ini berbicara tentang bagaimana memenuhi kebutuhan

saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi

kebutuhannya (Brundtland, 1987).

Keberlanjutan erat hubungannya dengan sikap mempertimbangkan

kebutuhan orang lain saat hendak memenuhi kebutuhan diri sendiri. Seseorang yang

menyadari bahwa ada pihak yang membutuhkan sumber daya yang sama dengan

yang dibutuhkannya akan bertindak dengan lebih hati-hati. Ia akan memikirkan cara

agar sumber daya ini dapat digunakan oleh orang lain di masa yang akan datang.

Karakteristik dari perilaku keberlanjutan adalah tidak menyia-nyiakan

sumber daya yang dimiliki. Segala bentuk sumber daya dikelola sesuai dengan

kebutuhan agar memberi manfaat semaksimal mungkin dan tidak terbuang.

Perilaku ini tidak hanya ditemui pada diri satu individu saja, namun juga pada

sebuah entitas yang disebut socio-enterprise (Wiguna dan Manzilati, 2014).

86
87

Sebagai sebuah socio-enterprise, RBA menaruh perhatian pada prinsip

pengelolaan sumber daya sesuai kebutuhan. Analisis kebutuhan pada setiap

kegiatan dilakukan sebelum pelaksana kegiatan mengumpulkan donasi. Salah satu

praktik analisis kebutuhan yang diamati oleh peneliti adalah pada saat RBA

menerima donasi buku pada bulan Mei 2017.

Donatur mengirimkan beberapa eksemplar untuk satu judul buku. Sementara,

RBA umumnya hanya menyimpan satu hingga tiga eksemplar per judul buku di

ruang baca. Buku-buku yang berlebih kemudian dibungkus dan diberikan kepada

perwakilan Taman Baca Masyarakat (TBM) se-Malang Raya pada tanggal 25 Mei

2017. Harapannya, buku tersebut menjadi lebih bermanfaat apabila dikelola oleh

TBM-TBM lain.

Analisis kebutuhan juga dilakukan di aktivitas RBA lainnya terutama saat

RBA hendak menyelenggarakan kegiatan sosial. Pada diskusi persiapan peringatan

kemerdekaan hari Sabtu, 5 Agustus 2017, peneliti mendapatkan informasi bahwa

RBA tidak pernah menganggarkan kegiatan sosial secara khusus. Tujuannya adalah

agar pelaksana kegiatan belajar untuk menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas

atas keterbatasan sumber daya. Selain itu, cara tersebut bertujuan agar masyarakat

turut dilibatkan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan sebagai donatur.

Segera setelah sumber daya diterima, penanggung jawab bertugas

mencatatnya sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada donatur. Sebagaimana

telah dijelaskan pada sub bab 5.2, pencatatan hanya dilakukan saat donasi telah

diterima oleh RBA.

Selama masa observasi proses pengelolaan dan pencatatan donasi, peneliti

melihat bahwa RBA memandang sumber daya dari perspektif manusia sebagai

87
88

homo sociologicus. Perspektif tersebut menitikberatkan pada aspek sosial di mana

manusia selalu terikat dengan nilai dan norma sosial dalam bertindak (Wiguna dan

Manzilati, 2014).

Perilaku manusia yang tidak mempertimbangkan nilai dan norma sosial

dalam mengelola sumber daya berpeluang untuk menghilangkan manfaat sumber

daya itu sendiri. Manfaat sumber daya sesungguhnya adalah untuk memenuhi

kebutuhan. Saat keinginan diprioritaskan melebihi kebutuhan, seseorang cenderung

mengeksploitasi sumber daya yang ada sehingga tidak ada yang tersisa untuk

dimanfaatkan oleh orang lain. Di sisi lain, sumber daya yang melebihi kebutuhan

seseorang menjadi terbuang percuma dan kehilangan manfaatnya untuk memenuhi

kebutuhan lainnya.

Berbeda halnya saat seseorang merasa terikat dengan nilai dan norma sosial.

Saat itulah ia mempertimbangkan akses orang lain untuk memenuhi kebutuhan

mereka. Sumber daya yang berlebih tidak akan digunakan sendiri, melainkan dibagi

agar manfaatnya dapat dirasakan secara kolektif. Pemahaman ini salah satunya

direpresentasikan melalui pembagian buku donasi kepada TBM di Malang Raya.

Karakteristik RBA yaitu not-for-profit berperan dalam membantu pengelola

untuk memastikan bahwa tidak ada sumber daya yang tidak termanfaatkan untuk

kepentingan masyarakat. Pengelola not-for-profit socio-enterprise umumnya

memiliki kesadaran akan pentingnya keadilan dan kesejahteraan sosial (Kamla, et

al., 2006). Kesadaran tersebut menjadikan mereka konsisten dengan tujuan

penciptaan nilai sosial.

Nilai dan norma sosial juga turut mengikat RBA dalam proses

pertanggungjawaban sumber daya yang mereka gunakan. RBA menyadari bahwa

88
89

donatur berhak untuk mengetahui keberlanjutan dari pengelolaan donasi yang

telah diterima. Oleh karena itu, donasi hanya dicatat setelah benar-benar diterima

dan dimanfaatkan. Tujuannya adalah untuk memberikan informasi dengan jujur

sesuai fakta yang terjadi sehingga muncul kepercayaan dari donatur.

6.3. Esensi Laporan adalah Kebermanfaatan Informasi bagi Masyarakat

Laporan adalah media yang dibuat untuk menyampaikan informasi atas

sebuah entitas. Umumnya, laporan ditujukan sebagai dasar investor untuk

menentukan keputusan investasi. Fungsi dasar laporan di RBA tidak jauh berbeda

dengan definisi di atas. Namun, pada konteks RBA sebagai not-for-profit socio-

enterprise, laporan digunakan untuk menyampaikan informasi tentang entitas

kepada donatur dan masyarakat.

Pada sub-bab 5.3 telah dibahas bahwa pembuatan laporan di RBA tidak

mengikuti standar baku pelaporan seperti PSAK 45 dan GRI. Hal tersebut

dilakukan karena RBA memahami bahwa penggunaan standar baku pelaporan tidak

sesuai dengan kebutuhan informasi pengguna laporan mereka.

RBA menyadari bahwa peran mereka adalah untuk memberikan manfaat

kepada masyarakat. Di samping melalui pelaksanaan program, RBA

mengupayakan penciptaan manfaat melalui laporan mereka. Kriteria agar laporan

tersebut dinilai bermanfaat adalah kemudahannya untuk dipahami dan relevansi

konten informasi dengan kebutuhan pengguna.

Sebelum menyusun laporan, pengelola RBA terlebih dahulu mengidentifikasi

siapa saja pengguna laporan berikut tingkat pemahaman mereka atas akuntansi

sebagai alat pelaporan. Makna tersebut tersirat dalam ungkapan sekretaris RBA:

89
90

“...dibuat sesederhana mungkin biar semua paham. Kan otomatis kalau kita
buat laporan yang oke-oke banget, mungkin kalangan akuntansi aja yang
paham. Ini jadi semua kalangan itu paham.” (Wawancara 12 Juni 2017)

Makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut adalah RBA memahami

bahwa tidak semua masyarakat memiliki pemahaman atas akuntansi yang sama

dengan pengelola. Bahkan, pemahaman akuntansi antar pengelola pun berbeda.

Pelaporan dengan standar akuntansi baku hanya akan membingungkan pembuat

dan pengguna laporan dalam memahami informasi. Akibatnya, informasi tersebut

menjadi tidak bermanfaat.

Tidaklah mengherankan jika RBA mengambil keputusan untuk hanya

berpegang pada kriteria kualitatif laporan seperti relevansi, kejujuran dalam

pelaporan, dan kemudahan laporan untuk dipahami. Berbeda dengan entitas lain,

terutama entitas for-profit, yang berpegang pada standar. Keseharian RBA yang

bersentuhan langsung dengan masyarakat membuat mereka paham tentang karakter

dan kebutuhan masyarakat. Proses interaksi tersebut mendorong RBA untuk

menemukan cara yang tepat agar masyarakat dapat memahami aktivitas entitas.

Seluruh aktivitas RBA berkaitan dengan kebutuhan masyarakat yang begitu

beragam dan dinamis. Sementara, ketentuan pada standar baku pelaporan bersifat

rigid dan harus dipatuhi apabila entitas menginginkan laporannya dinilai baik.

Kesenjangan antara standar dan aktivitas RBA berpotensi mempersulit pengelola

dalam menyusun laporan. Hal tersebut dibenarkan oleh internal auditor RBA:

“... pakai GRI itu nggak bisa. Terlalu rumit. Sedangkan RBA adalah
organisasi yang sederhana, tujuannya sudah jelas, tapi aktivitasnya kompleks.
Kenapa kompleks? Karena fokusnya kepada masyarakat. Kalau kita berfokus
kepada masyarakat, Mei kan sudah sering terlibat di beberapa aktivitas RBA
kan? Kalau kita lihat pada kebutuhan masyarakat kan banyak banget dan
beragam. Udah gitu perputarannya sangat cepat. Lha kalau standar yang
dipakai sangat rumit, kira-kira pembuatan laporannya bisa tepat waktu
nggak?” (Wawancara 13 September 2017)

90
91

Internal auditor memahami bahwa meskipun terdapat standar (GRI) untuk

melaporkan tanggung jawab sosial, namun standar tersebut tidak sesuai untuk

diterapkan di socio-enterprise seperti RBA. Standar yang ada saat ini dinilai belum

mampu mengakomodasi perputaran aktivitas RBA yang begitu cepat dengan

penerima manfaat yang begitu beragam.

Bagi pengguna laporan, hal terpenting dalam laporan adalah nilai informasi,

bukan kesesuaian wujudnya dengan standar tertentu. Internal auditor

menambahkan pengertian tersebut dalam ungkapan berikut:

“...karena sebenarnya tujuan adanya laporan akuntansi sosial kan supaya


orang-orang yang berkepentingan dengan RBA itu paham tentang
aktivitasnya apa aja, habisnya (dana) berapa, siapa orang-orangnya. Selama
kualitas informasinya baik, diterima, orang-orang paham, maka selesailah.”
(Wawancara 13 September 2017)

Merujuk kembali kepada hakikat RBA sebagai socio-enterprise, jenis

informasi yang paling dibutuhkan oleh donatur dan masyarakat adalah tentang

seberapa besar dampak yang diciptakan RBA kepada masyarakat. Sementara,

informasi tentang keuangan bersifat sebagai informasi pendukung. Walaupun

demikian, kedua jenis informasi di atas tetap disajikan secara lengkap oleh RBA.

Sifat laporan keuangan sebagai informasi pendukung juga menjadi salah satu

alasan mengapa informasi keuangan tidak disajikan sesuai standar PSAK 45.

Internal auditor kembali memberikan pendapatnya atas fakta ini:

“RBA itu tahu persis sebetulnya fungsi laporan itu buat apa karena kan
laporan di sini artinya mendeskripsikan apa yang sudah dikerjakan. Makanya
bentuknya adalah laporan kegiatan disertai dengan laporan keuangan. Means
that laporan keuangan adalah supporting data. Karena dia sebagai supporting
data, artinya adalah pembuatannya tidak terlalu rumit karena sesuai dengan
aktivitasnya.” (Wawancara 13 September 2017)

91
92

Pernyataan internal auditor memiliki makna bahwa RBA membuat

laporannya dengan kesadaran penuh akan kebutuhan masyarakat sesuai sifat dasar

socio-enterprise. Mengingat penciptaan nilai sosial adalah aspek utama, maka

informasi tentang dampak dari aktivitas harus disediakan dengan lengkap. Pada

konteks ini, laporan keuangan berperan sebagai pendukung yang

mempertanggungjawabkan pemanfaatan donasi untuk kepentingan masyarakat.

6.4. Orientasi pada Kebermanfaatan

Berdirinya socio-enterprise diawali dengan tujuan untuk menciptakan nilai

sosial melalui aktivitas yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (Austin, et al.,

2006). Pembeda utama antara socio-enterprise dengan bisnis pada umumnya adalah

nilai sosial atau manfaat yang hendak diciptakan. Oleh karena itu, titik fokus dari

sebuah socio-enterprise adalah manfaat aktivitas mereka kepada masyarakat, bukan

keuntungan bagi entitas ataupun investor.

RBA berupaya mewujudkan kebermanfaatan melalui program-program dan

pengelolaan entitas itu sendiri. Kebermanfaatan dari sisi akuntansi terlihat dari

aspek pengelolaan. Terdapat dua poin kebermafaatan dalam pengelolaan yang

hendak direfleksikan oleh peneliti. Pertama, informasi mengenai kebermanfaatan

donasi yang tercantum dalam laporan kegiatan. Kedua, pemanfaatan donasi hingga

menyisakan nol rupiah sebagai saldo akhir yang ideal.

Peneliti telah membahas mengenai elemen kebermanfaatan yang tercantum

dalam laporan kegiatan RBA pada sub bab 5.4. Pengungkapan informasi

kebermanfaatan ditujukan pengelola untuk membuktikan kesesuaian pengelolaan

donasi dengan akad donatur. Keputusan untuk melaporkan kebermanfaatan didasari

92
93

oleh kesadaran bahwa pelaksanaan dan pelaporan akad merupakan wujud dari

tanggung jawab sosial itu sendiri.

Pelaksanaan akad memberikan makna bahwa RBA memegang komitmen

untuk menjadikan donasi yang diterima bermanfaat bagi masyarakat. Komitmen

tersebut diawali oleh kesadaran bahwa sebagai bagian dari masyarakat, setiap

individu dalam entitas hendaknya mampu memberikan dampak positif bagi

sekitarnya.

Setelah melaksanakan akad, RBA dengan sukarela melaporkan

kebermanfaatan atas seluruh donasi yang diperoleh. Pada tahap ini, RBA

menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Transparansi merujuk pada

kesediaan entitas untuk memberikan seluruh informasi yang relevan dan dapat

diandalkan tanpa ada hal yang disembunyikan. Sementara, akuntabilitas dapat

didefinisikan sebagai pertanggungjawaban entitas atas keputusan yang diambilnya.

Transparansi yang diterapkan oleh RBA identik dengan nilai kejujuran. Saat

sebuah entitas melaksanakan aktivitasnya dengan jujur, maka mereka tidak akan

keberatan untuk memberikan informasi secara terbuka kepada publik. Nilai inilah

yang dibutuhkan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial, tidak hanya dari sisi

program, melainkan juga pelaporan.

Akuntabilitas tercermin dari penjelasan tentang peruntukan donasi di kolom

kebermanfaatan. Makna dari penjelasan tersebut adalah RBA memiliki kesadaran

akan peran mereka sebagai kepanjangan tangan donatur dalam memberikan

manfaat bagi masyarakat. Kesadaran tersebut menuntun masing-masing individu

dalam entitas untuk menjaga kepercayaan yang diberikan donatur. Caranya adalah

93
94

dengan menjalankan akad donasi dan melaporkannya sesuai pelaksanaan di

lapangan.

Pelaporan kebermanfaatan sekaligus memberi makna bahwa RBA peduli

dengan kebutuhan informasi masyarakat, khususnya donatur. Pengelola berusaha

menjadikan RBA sebuah entitas yang tidak hanya bermanfaat dari sisi program,

tetapi juga pengelolaan yang diwujudkan lewat publikasi laporan.

Jalan publikasi laporan RBA pun tidak sebatas dalam laporan tertulis dengan

format tertentu. Kebermanfaatan entitas juga dilaporkan dalam agenda Silaturrahmi

Awal Tahun. Agenda tersebut merupakan salah satu cara RBA untuk merekatkan

hubungan dengan para stakeholders dan melaporkan aktivitas entitas selama satu

tahun ke belakang. Informasi tentang Silaturahmi Awal Tahun disampaikan oleh

bendahara:

“... kita biasanya ada silaturahmi awal tahun. Dari silaturahmi awal tahun itu
banyak peserta atau masyarakat yang datang dan dari situ kita memberikan
informasi. Ini lho laporan tahunan kita. Laporan kegiatan kita.” (Wawancara
11 Juni 2017)
Dengan membuka akses secara luas, RBA ingin agar informasi dalam laporan

mereka dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Internal auditor

mengonfirmasi tujuan kebermanfaatan laporan RBA melalui pernyataan berikut:

“Contoh manfaatnya apa nih? Bagi beliau-beliau yang sebagai donatur kan
paham. Oh ternyata uangnya dibuat seperti ini dan ini sehingga kalau memang
beliau-beliau berkehendak jadi donatur lagi itu tahu aliran uangnya itu dibawa
ke mana aja selama ini.” (Wawancara 13 September 2017)
Pelaporan kebermanfaatan donasi berpengaruh terhadap kepercayaan donatur.

Entitas yang melaporkan penggunaan donasi dapat membuat donatur percaya

karena mengetahui bahwa apa yang mereka berikan dapat menciptakan manfaat

yang signifikan (Breeze, 2010).

94
95

Poin kedua tentang kebermanfaatan ditunjukkan dari sisi pengelolaan donasi.

Telah dibahas sebelumnya bahwa RBA menetapkan bahwa jumlah saldo akhir yang

ideal adalah nol rupiah. Menganut prinsip not-for-profit, ketetapan tersebut dinilai

RBA sudah cukup sesuai sebagai indikator kebermanfaatan donasi untuk

masyarakat.

Penentuan saldo akhir yang ideal bermakna bahwa semakin kecil saldo yang

tersisa, semakin besar jumlah donasi tunai yang dimanfaatkan untuk kegiatan.

Pengelola RBA menganggap saldo ideal untuk entitas not-for-profit adalah nol

rupiah. Akan tetapi, tidak jarang beberapa transaksi menyisakan uang kembalian.

Oleh karena itu, jumlah Rp 10.000,00 dianggap cukup representatif.

Pengelola RBA memahami bahwa sebuah not-for-profit socio-enterprise

tidak boleh mengambil keuntungan sepeser pun dari penerima manfaat kegiatan

mereka. Donasi yang diterima harus dikelola sebaik mungkin agar tidak tersisa

melebihi batas saldo akhir yang ditentukan. Bagi mereka, kebermanfaatan donasi

untuk masyarakat adalah hal yang utama.

Jumlah saldo donasi RBA selalu dilaporkan oleh bendahara pada satu sesi

rapat pengelola. Peneliti yang berkesempatan mengikuti rapat pengelola pada 10

Juni 2017 turut mendengarkan laporan tesebut. Saat itu, bendahara mengatakan

bahwa saldo donasi tunai yang ada di tangan sebesar Rp 1.300,00. Laporan arus

pemasukan dan pengeluaran juga dilampirkan dan ditunjukkan kepada peserta rapat

secara bergantian.

Perilaku memaksimalkan manfaat yang diberikan turut tercermin dari

kegiatan-kegiatan RBA. Selama periode observasi, peneliti telah mengikuti

95
96

berbagai macam kegiatan RBA seperti penelitian, lokakarya keterampilan untuk

anak-anak dan dewasa, penyuluhan kesehatan, dan lain-lain. Kesamaan dari seluruh

kegiatan tersebut adalah bebas diikuti siapa pun tanpa berbayar.

Pembatasan jumlah saldo akhir dan kebijakan kegiatan tanpa berbayar

menjelaskan bahwa keuntungan (profit) sama sekali bukanlah hal yang dicari oleh

RBA. Bagi RBA, dampak atas proses yang mereka bawa kepada peserta kegiatan

adalah ukuran yang sesuai untuk menujukkan kebermanfaatan mereka. Pengukuran

dampak ini dilakukan dengan menjaring kesan dan pesan peserta untuk

dicantumkan pada laporan kegiatan (lihat sub bab 4.2.2).

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa tujuan RBA dalam

menjalankan program dan pengelolaannya adalah kebermanfaatan bagi masyarakat.

Kebermanfaatan yang diharapkan pun bersifat menyeluruh. Tidak hanya

pelaksanaan program, pengelolaan pun diupayakan untuk dapat memberikan

manfaat semaksimal mungkin. Salah satunya melalui publikasi laporan yang sesuai

dengan kebutuhan masyarakat.

6.5. Pengamalan Nilai Entitas dalam Proses Pelaporan

Makna nilai pada sebuah organisasi begitu besar. Nilai-nilai terintegrasi

dalam keseharian organisasi layaknya suatu kepribadian. Nilai-nilai yang dianut

oleh sebuah organisasi berperan menuntun perilaku orang-orang di dalamnya dan

menciptakan pandangan atas stakeholders organisasi tersebut (Gorenak dan Košir,

2012).

96
97

Begitu pula dengan yang terjadi di RBA. Beberapa kali disebutkan dalam

penelitian ini bahwa RBA memiliki tiga nilai yaitu kesadaran (awareness),

pembelajaran (learning), dan pemberdayaan (empowerment). Pengelola RBA

beserta anggota KRS+ sebagai pelaksana kegiatan menjalankan aktivitas

kesehariannya berdasarkan nilai-nilai tersebut, termasuk saat menjalankan aktivitas

pertanggungjawaban.

Peneliti berkesempatan untuk menyaksikan penanaman nilai tersebut pada

diskusi pagi hari Senin, 29 Mei 2017. Diskusi tersebut adalah agenda harian

program KRS+. Ketika itu, perihal daftar hadir dan formulir kesan-pesan acara hari

ulang tahun pertama Forum Komunikasi Taman Baca Masyarakat (FKTBM)

Malang Raya menjadi topik bahasan pertama.

Mentor mengingatkan anggota KRS+ selaku pelaksana kegiatan untuk

melampirkan kedua item tersebut dalam laporan kegiatan. Tindakan ini memiliki

makna bahwa informasi di dalam daftar hadir dan formulir kesan-pesan dibutuhkan

oleh para stakeholders. RBA selaku tuan rumah acara selayaknya peduli dengan

kebutuhan stakeholders dengan cara menyediakan informasi yang dibutuhkan

dalam laporan kegiatan.

Selanjutnya, nilai pembelajaran diterapkan oleh RBA kepada dua pihak yaitu

pembuat dan pengguna laporan. Pembelajaran dari sisi pembuat laporan

disampaikan dengan cara menyusun pedoman laporan yang sederhana dan

informatif (lihat sub bab 5.6). Hal ini bertujuan agar pembuat laporan mudah

memahami kriteria dari laporan yang berkualitas baik.

Pembelajaran tentang pembuatan laporan juga disampaikan melalui peran

internal auditor RBA. Saran-saran dari internal auditor digunakan RBA agar

97
98

laporan mereka tetap sesuai dengan prinsip akuntansi. Makna tersebut tersirat dari

jawaban penasihat:

”..karena begini, yang mengerjakan itu bukan orang-orang yang memang


punya background akuntansi who is itu adalah Mas Bian dan saya. Walaupun
saya memang punya background. Saya mampu lah mengelola keuangan.
Manajemen keuangan itu saya ngerti. Tapi, untuk laporan kan berbeda
ceritanya. Nah, kami butuh second opinion tethadap laporan ini, baik
kontennya maupun laporannya. Dan memang laporan yang terbit kemarin itu,
itu akhirnya mengalami perubahan tiga kali [mengingat]. Ada tiga catatan
yang diberikan cuma saya lupa. Nanti saya lihat laporannya lagi.”
(Wawancara 20 Juni 2017).
Pihak kedua yang memperoleh manfaat pembelajaran dari laporan RBA

adalah pengguna laporan, baik donatur maupun masyarakat secara umum.

Penjelasan tentang pembelajaran untuk masyarakat disampaikan pada sub bab 5.6

melalui ekspresi penasihat berikut:

“Laporan-laporan yang kita punya, saat dipelajari oleh orang-orang, ya


mereka belajar sesuatu. Tidak hanya informasi tentang RBA, tidak hanya
tentang donasi RBA. Bahkan, mereka juga belajar, “Oh, ternyata begini lho,
untuk melaporkan keuangan.” Akhirnya, mereka juga jadi percaya.”
(Wawancara 20 Juni 2017)
Makna dari ungkapan tersebut adalah RBA berupaya agar nilai pembelajaran

mereka dapat tersampaikan kepada masyarakat melalui laporan. Tujuan

pembelajaran pun sederhana yaitu agar masyarakat mengetahui bagaimana

melaporkan kondisi keuangan dengan benar. Penentuan tujuan yang tidak muluk

memperlihatkan bahwa RBA lebih mengutamakan proses daripada hasil

pembelajaran.

Setelah diawali dengan kepedulian untuk memberikan pembelajaran, RBA

berharap agar pihak-pihak yang melalui proses pembelajaran dapat menjadi

berdaya. Pembuat laporan menjadi mampu untuk membuat laporan yang benar.

98
99

Begitu pula dengan masyarakat yang menggunakan laporan. Makna tersebut tersirat

dalam jawaban keterangan yang disampaikan oleh internal auditor:

“Orang yang pakai informasi keuangan RBA itu kan tidak semua paham
akuntansi, ya? Jadi, tantangannya tadi adalah membuat itu menjadi simple
supaya apa? Supaya beliau-beliau yang tidak memahami akuntansi dengan
baik itu tahu cara bacanya gimana. Yang kedua adalah tidak selamanya RBA
itu bendaharanya atau yang membuat laporan keuangannya paham akan
akuntansi. Nah, kalau dibuat ribet sesuai dengan GRI, kira-kira yang ngebuat
laporan mau nggak ngebuat? Dengan aktivitas yang segitu banyaknya, segitu
cepatnya, donasi yang bisa barang bisa uang, dengan jumlah masyarakat yang
segitu banyaknya. Pasti dia nggak mau ngebuat. Bukan karena nggak bisa
tapi nggak tahu harus mulai dari mana ngebuatnya...” (Wawancara 13
September 2017)

Sintesis dari berbagai macam makna yang dipaparkan di atas menunjukkan

bahwa proses pelaporan adalah representasi dari nilai-nilai yang diterapkan RBA.

Implementasi nilai-nilai tersebut menyiratkan bahwa tanggung jawab sosial tidak

hanya tentang informasi yang tertera di atas kertas. Lebih dari itu, tanggung jawab

sosial adalah sesuatu yang terintegrasi dengan proses pelaporan itu sendiri sehingga

pihak-pihak yang ada di dalamnya dapat merasakan manfaatnya.

99
BAB VII

PANDANGAN HOLISTIK ATAS AKUNTANSI SOSIAL

7.1. Tanggung Jawab Sosial Bersifat Integral dalam Aktivitas Pelaporan

Ruang Belajar Aqil (RBA)

Perspektif atas tanggung jawab sosial adalah dasar untuk melakukan

keseluruhan proses implementasi program dan pelaporan. Saat masing-masing

individu di dalam sebuah entitas memandang tanggung jawab sosial sebagai sebuah

kewajiban demi memperoleh keuntungan, maka pelaksanaan dan pelaporannya

menjadi sarat akan pragmatisme.

Berbeda halnya ketika tanggung jawab sosial dipandang sebagai wujud

kesadaran sebagai makhluk sosial. Pelaksanaan dan pelaporan program tidak lagi

ditujukan untuk membentuk reputasi baik demi memperoleh keuntungan.

Sebaliknya, tujuan dari setiap tindakan dalam proses tanggung jawab sosial adalah

untuk memberikan manfaat bagi orang lain. Cara pandang inilah yang digunakan

oleh Ruang Belajar Aqil (RBA) sebagai landasan untuk berkegiatan di tengah

masyarakat.

Telah dijelaskan di dalam bab IV bahwa RBA memegang prinsip untuk

menjaga amanah yang diberikan oleh masyarakat. Amanah yang dimaksud adalah

kepercayaan untuk menciptakan manfaat bagi lingkungan sekitarnya melalui

program dan pengelolaan entitas. RBA meyakini bahwa menjalankan amanah

untuk memberi manfaat merupakan bentuk tanggung jawab sosial yang tidak

terpisahkan dari aktivitas sehari-hari.

100
101

Pelaksanaan amanah tersebut salah satunya diwujudkan melalui

pengungkapan informasi kegiatan secara transparan dan akuntabel. Akuntansi

mengambil peran sebagai alat yang membantu RBA dalam menyiapkan informasi

yang dibutuhkan masyarakat.

Amanah berhubungan dengan peran manusia sebagai pengurus (khalifah)

atas sesamanya dan lingkungan yang ditempatinya. Ketentuan ini tercantum pada

Al Quran Surat Al Baqarah ayat 30:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya


Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"
Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui".” (QS Al Baqarah: 30)

Lewis (dikutip oleh Kamla et al., 2006) menyatakan kesepahamannya dengan

ayat di atas bahwa manusia adalah bagian yang tak terpisahkan dari lingkungannya.

Sebagai konsekuensi, manusia memiliki tanggung jawab untuk mengurus

kepentingan dirinya dan sesamanya.

Implementasi amanah mencakup beberapa aspek seperti keadilan, kejujuran,

dan perbuatan baik kepada sesama manusia (Al-Qaradawi dikutip oleh Kamla et

al., 2006). Pada konteks RBA, implementasi amanah termasuk ke dalam proses

akuntansi yang dijalankan oleh individu-individu yang tergabung dalam entitas

tersebut.

Secara umum, proses akuntansi yang dijalankan RBA tidak berbeda dengan

proses akuntansi pada entitas lain. Aktivitas inti yang dilakukan adalah mencatat,

mengikhtisar, dan melaporkan. Hal yang berbeda adalah (1) dasar pengelolaan dan

101
102

pencatatan sumber daya; (2) struktur pelaporan; (3) konten informasi yang

dilaporkan dan; (4) nilai-nilai yang tertanam secara implisit pada keseluruhan

proses akuntansi.

Dasar yang digunakan oleh RBA dalam mengelola sumber daya adalah akad

dengan donatur. Sebagaimana telah dibahas pada bab V bahwa sumber daya yang

dikelola oleh RBA berasal dari donatur. Sebelum dikelola, donatur dan perwakilan

RBA yang menerima donasi menetapkan akad atau perjanjian tentang pengelolaan

donasi.

Donatur menginginkan agar donasi yang diberikannya bermanfaat bagi

masyarakat. Tanggung jawab RBA adalah memenuhi ketentuan dari donatur dan

melaporkannya dengan sebenar-benarnya. Surat Al Maidah ayat 1 menyebutkan

ketentuan untuk memenuhi akad seperti tanggung jawab RBA “Hai orang-orang

yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS Al Maidah: 1).

Pengertian memenuhi akad mencakup pertanggungjawaban melalui

pengungkapan informasi yang sesuai kebutuhan pengguna. Kebutuhan pengguna

laporan socio-enterprise seperti RBA adalah mengetahui pemanfaatan donasi yang

diterima oleh entitas. RBA pun mencantumkan kebermanfaatan donasi pada

laporan kegiatan mereka.

Layaknya laporan tanggung jawab sosial pada umumnya, RBA pun

menggunakan standar untuk menyusun informasi agar siap digunakan oleh

pengguna. Standar yang digunakan RBA adalah kebutuhan informasi dari

pengguna laporan. Sebagaimana dibahas pada bab sebelumnya, RBA mengetahui

102
103

bahwa sebagai socio-enterprise, pengguna laporan mereka adalah donatur dan

masyarakat dengan beragam latar belakang.

Tentu tidak semua pengguna laporan RBA memiliki pemahaman yang sama

atas standar akuntansi pelaporan. Pengelola RBA harus menemukan standar yang

tepat agar informasi di dalam laporan menjadi mudah dipahami dan sesuai dengan

kebutuhan. Oleh karena itu, standar yang digunakan oleh RBA adalah kebutuhan

informasi masyarakat.

Penggunaan kebutuhan informasi masyarakat sebagai standar pelaporan

tetap sesuai dengan kaidah akuntansi. Meskipun tidak menggunakan standar

tertentu seperti GRI (lihat sub bab 2.3.3), laporan tersebut tetap dapat diterima. Hal

tersebut karena tujuan utama laporan adalah menyampaikan informasi yang

bermanfaat bagi stakeholders yang terkait. Akuntansi sebagai sebuah alat sudah

seharusnya bersifat fleksibel demi memenuhi tujuan utama tersebut. Pandangan ini

dijustifikasi oleh pernyataan internal auditor RBA berikut ini:

“Akuntansi itu kan dia teknik ya, Mei. Dia kan cara. Ilmu yang mempelajari
cara. Artinya adalah cara itu tidak melulu sesuai dengan standar tapi sesuai
dengan tujuannya mau apa. Akuntansi secara artian luas adalah dia itu lebih
fleksibel karena dia sebagai cara aja.” (Wawancara 13 September 2017)
Selain itu, penggunaan kebutuhan informasi masyarakat sebagai standar

dapat meningkatkan akuntabilitas entitas. Sebuah entitas yang bersifat not-for-

profit memiliki beragam stakeholders yang terdampak oleh aktivitas mereka

(Mook, 2014). Pertanggungjawaban entitas menjadi lebih mudah ketika mereka

mampu melaporkan informasi sesuai kebutuhan masing-masing pengguna.

Langkah tersebut sekaligus membuktikan bahwa entitas benar-benar memiliki

kepedulian terhadap kebutuhan informasi stakeholders.

103
104

Kebutuhan informasi stakeholders berperan besar dalam menentukan konten

informasi yang disajikan di dalam laporan RBA. Stakeholders RBA membutuhkan

informasi mengenai aktivitas dan pemanfaatan donasi yang diterima oleh RBA.

Oleh karena itu, RBA menyajikan informasi tentang kebermanfaatan pada laporan

kegiatannya.

Inisiatif RBA untuk melaporkan kebermanfaatan sekali lagi dipengaruhi oleh

prinsip amanah yang dibahas di awal bab ini. Pelaporan kebermanfaatan menjadi

tanggung jawab sosial RBA kepada donatur yang memberikan sumber daya dan

masyarakat yang menerimanya. Nilai kejujuran berperan besar dalam proses

pelaporan kebermanfaatan untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan

relevan dan dapat diandalkan. Aspek ini juga menjadi indikator penerapan prinsip

transparansi dan akuntabilitas di dalam entitas.

Saat orang-orang di dalam sebuah entitas memutuskan untuk menjalankan

aktivitasnya secara jujur, sesungguhnya mereka telah melaksanakan ketentuan

dasar mereka sebagai manusia. Pada hakikatnya, manusia diperintahkan untuk

melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan. Perilaku jujur menumbuhkan

kebaikan pada diri yang melakukannya dan juga orang lain. Salah satunya adalah

timbulnya rasa percaya antar manusia (Kamla et al., 2006).

Kehadiran kebermanfaatan dalam laporan RBA tidak hanya terlihat secara

eksplisit melalui kolom kebermanfaatan, melainkan juga secara implisit. Penentuan

saldo ideal sebesar nol rupiah menunjukkan prioritas RBA dalam mengelola donasi

tunai.

RBA sebagai sebuah socio-enterprise yang bersifat not-for-profit

memprioritaskan dananya untuk digunakan dalam penciptaan manfaat bagi

104
105

masyarakat. Bahkan, mereka mengupayakan untuk tidak membuka peluang

keuntungan dengan menggratiskan seluruh kegiatan. Hal ini dilakukan untuk

memudahkan masyarakat dalam mengakses manfaat yang hendak mereka berikan.

Sebuah entitas not-for-profit yang mendedikasikan persentase sumber daya

yang tinggi untuk pelaksanaan program-programnya disebut sebagai entitas yang

efisien (Haski-Leventhal dan Foot, 2016). Semakin tinggi persentase tersebut,

semakin tinggi pula efisiensi sebuah entitas. Hal tersebut membuktikan bahwa

entitas benar-benar mengetahui dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang

dilayaninya.

Satu hal lagi yang menjadi keunikan dari pelaporan tanggung jawab sosial di

RBA adalah nilai-nilai yang tertanam secara implisit selama proses pembuatan

hingga dihasilkannya laporan-laporan RBA. Selain melaksanakan amanah, RBA

berupaya menyelipkan ketiga nilai mereka dalam laporan yaitu kesadaran

(awareness), pembelajaran (learning), dan pemberdayaan (empowerment) sebagai

wujud tanggung jawab sosial.

Nilai kesadaran (awareness) ditampilkan melalui kepedulian RBA untuk

memenuhi kebutuhan informasi stakeholders. Wujud kepedulian tersebut adalah

penetapan kebutuhan informasi sebagai standar muatan informasi dan format

pelaporan. RBA berharap agar laporan tersebut dapat dipahami dengan mudah oleh

masyarakat sehingga kebutuhan akan informasi dapat terpenuhi. Saat itulah sebuah

informasi dapat dinyatakan bermanfaat.

Nilai pembelajaran (learning) ditanamkan secara simultan kepada pembuat

dan pengguna laporan. Pembuat laporan diberikan akses untuk belajar menyusun

105
106

laporan yang informatif. Pengguna laporan pun dapat memelajari bagaimana

melaporkan kegiatan yang baik dari susunan laporan RBA yang mereka baca.

Terakhir, nilai pemberdayaan (empowerment) dapat terwujud setelah melalui

proses pembelajaran. Saat seseorang telah memelajari sesuatu, RBA berharap

bahwa orang tersebut menjadi mampu menerapkan ilmu yang diajarkan secara

mandiri untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri. Salah satunya

pemberdayaan dari segi pelaporan informasi.

Akan tetapi, pelaksanaan keempat poin di atas tidak selalu berjalan lancar.

RBA juga menghadapi beberapa kendala dalam menjalankan akuntansi

pertanggungjawaban sosial. Kendala tersebut antara lain pemahaman penanggung

jawab kegiatan atas anggaran, keterlambatan dalam pengumpulan laporan, dan

keberadaan sisa dana yang tertahan di akhir bulan.

Pengelola RBA mengupayakan cara untuk mengatasi masing-masing

kendala. Peningkatan pemahaman penanggung jawab kegiatan atas anggaran

dilakukan melalui pendampingan oleh pengelola. Selain itu, penjelasan tentang

sistem anggaran di RBA diselipkan pada diskusi pagi, mengingat penanggung

jawab kegiatan adalah anggota KRS+.

Pihak pengelola juga terus mengingatkan penanggung jawab kegiatan untuk

mengumpulkan laporan karena entitas ini harus menutup transaksi bulanan pada

tanggal 27 setiap bulan. Pemberian batas waktu transaksi bertujuan agar laporan

keuangan dapat diselesaikan tepat waktu.

Sementara, untuk mengatasi dana tersisa, RBA melakukan pengecekan

kembali catatan keuangan pada rapat pengelola di akhir bulan. Pada kesempatan

yang sama, pengelola RBA membicarakan dan menjadwalkan rancangan program

106
107

yang dapat segera dieksekusi. Tujuannya adalah agar dana yang tersisa dapat segera

dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Seluruh penjelasan di atas merujuk pada satu pemahaman bahwa tanggung

jawab sosial RBA tidak hanya teruraikan dalam informasi yang tertulis di laporan.

Lebih daripada itu, tanggung jawab sosial RBA diimplementasikan melalui setiap

aktivitas dalam proses pelaporan itu sendiri.

Tanggung jawab sosial diposisikan sebagai bagian integral yang memandu

pengelola dan anggota RBA dalam memenuhi kebutuhan informasi masyarakat.

Hal ini menunjukkan bahwa akuntansi pertanggungjawaban sosial di RBA

merupakan praktik sosial dan institusional yang menggambarkan pandangan dan

nilai-nilai entitas dalam melakukan aktivitas pelaporan tanggung jawab sosial.

7.2. Perbedaan Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial antara Entitas Bisnis

Komersial (Commercial Enterprise) dengan Socio-Enterprise Ruang

Belajar Aqil (RBA)

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, peneliti menemukan bahwa terdapat

perbedaan akuntansi pertanggungjawaban sosial pada socio-enterprise Ruang

Belajar Aqil (RBA) dan entitas bisnis komersial (commercial enterprise).

Commercial enterprise, terutama perusahaan, melakukan pelaporan tanggung

jawab sosial (CSR) untuk menjamin keberlanjutan operasional perusahaan di masa

mendatang. Hal ini didukung oleh teori legitimasi yang menyatakan bahwa

perusahaan harus berperilaku sesuai norma dan nilai yang berlaku di masyarakat

(Mir et al., 2016).

107
108

Tujuan pelaporan ini adalah untuk membuktikan bahwa perusahaan telah

melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat. Ketika perusahaan

berperilaku etis dan bermanfaat bagi masyarakat, besar kemungkinan masyarakat

akan mendukung keberlangsungan perusahaan hingga masa mendatang (Gray et

al., 1995). Selama masyarakat memberikan legitimasi untuk perusahaan, selama itu

pula perusahaan dapat terus beroperasi dan menghasilkan keuntungan.

Pelaporan tanggung jawab sosial juga memiliki peran untuk menciptakan

reputasi baik perusahaan di mata investor. Hasil penelitian Strahilevitz (dikutip oleh

Shuili Du dan Sen, 2010) mengungkapkan bahwa komunikasi CSR membantu

perusahaan untuk memperoleh keuntungan bisnis yang lebih besar. Keuntungan

tersebut salah satunya dapat diperoleh melalui penanaman modal investor karena

investor hanya bersedia menanamkan modalnya di perusahaan yang memiliki

reputasi baik.

Penjelasan di atas mengonfirmasi pandangan bahwa orientasi pelaporan CSR

adalah keuntungan jangka panjang. Pelaporan CSR adalah salah satu cara yang

digunakan untuk memperlihatkan bahwa perusahaan bertanggung jawab kepada

masyarakat.

Isi laporan CSR pun didominasi oleh keterlibatan perusahaan dalam

menyelesaikan permasalahan sosial, bukan pembahasan mengenai permasalahan

sosial itu sendiri (Shuili Du dan Sen, 2010). Manajemen perusahaan melakukan hal

tersebut dengan harapan reputasi perusahaan dapat meningkat (Lawrence dan

Weber, 2011).

Sebelum tersaji di dalam sebuah laporan, aktivitas di sebuah entitas harus

dicatat terlebih dahulu. Salah satu aktivitas yang dicatat adalah pengelolaan sumber

108
109

daya yang digunakan untuk melakukan program tanggung jawab sosial.

Pengelolaan dan pencatatan di setiap entitas pun memiliki dasar atau ketentuan

tersendiri.

Dasar pengelolaan dan pencatatan sumber daya untuk program CSR adalah

kepentingan perusahaan dan investor. Hal ini berhubungan dengan fungsi laporan

CSR sebagai salah satu dasar untuk pengambilan keputusan investasi oleh investor

(Gray et al., 1995). Selain itu, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, laporan ini

berperan sebagai alat manajemen perusahaan untuk melegitimasi keberlanjutannya.

Sekali lagi, motif enlightened self-interest berperan besar di sini.

Hal yang tidak kalah penting adalah penggunaan standar pelaporan CSR.

Sebuah laporan bernilai baik apabila telah memenuhi standar tertentu. Perusahaan

menggunakan Global Reporting Initiative (GRI) sebagai standar untuk melaporkan

tanggung jawab sosial. Standar tersebut telah disepakati sebagai standar yang

berlaku bagi perusahaan, terutama perusahaan skala besar.

Penggunaan GRI sebagai standar didasari kebutuhan investor akan

transparansi (Ernst & Young, 2016). Investor ingin mengetahui bagaimana

perusahaan melibatkan kepentingan stakeholders di dalam aktivitasnya. Oleh

karena itu, GRI mengedepankan prinsip materialitas informasi yang diungkapkan

oleh perusahaan sehingga perusahaan dapat menyajikan informasi yang relevan

dengan kebutuhan investor.

Keseluruhan paparan di atas menunjukkan hal yang berbeda dengan

akuntansi pertanggungjawaban sosial di RBA. Entitas ini memahami bahwa

pelaporan tanggung jawab sosial merupakan wujud kesadaran sebagai makhluk

sosial. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, RBA menyadari bahwa tanggung

109
110

jawab sosial adalah sesuatu yang secara otomatis melekat pada diri manusia sebagai

makhluk sosial.

Kesadaran untuk melakukan tanggung jawab sosial diwujudkan melalui

penciptaan manfaat kepada masyarakat. Selain melalui program, penciptaan

manfaat RBA dilakukan melalui pengungkapan informasi aktivitas. Hal ini

dilakukan karena RBA mengetahui bahwa masyarakat memiliki kebutuhan

informasi yang harus dipenuhi. Saat kebutuhan tersebut terpenuhi, saat itulah RBA

telah memberikan manfaat kepada masyarakat.

Orientasi RBA dalam menyusun laporan adalah kebermanfaatan. Selain dari

sisi konten, hal ini terlihat di dalam proses penyusunan laporan itu sendiri. Nilai-

nilai kesadaran (awareness), pembelajaran (learning), dan pemberdayaan

(empowerment) ditanamkan baik kepada pembuat maupun pengguna laporan. RBA

mengupayakan agar keseluruhan proses penyusunan laporan mereka dapat

memberikan ilmu yang bermanfaat.

Layaknya entitas lain, RBA juga melakukan aktivitas pengelolaan dan

pencatatan sumber daya untuk program tanggung jawab sosial. Informasi atas

aktivitas inilah yang dibutuhkan oleh stakeholders. Oleh karena itu, RBA memiliki

dasar tersendiri dalam melakukan aktivitas pengelolaan dan pencatatan untuk

menghasilkan informasi yang relevan dan dapat diandalkan.

Dasar pengelolaan dan pencatatan sumber daya di RBA adalah akad dengan

donatur. Saat donatur memberikan donasi, donatur tersebut dan RBA membuat

kesepakatan agar donasi menjadi bermanfaat. Bagi RBA, donasi merupakan

amanah dan akad adalah ketentuan dalam menjalankan amanah tersebut.

110
111

Kesepakatan atau akad tersebut dipegang oleh RBA selama proses

pengelolaan hingga pelaporan donasi. Pengelolaan dan pencatatan donasi sekaligus

menjadi sarana bagi RBA untuk menerapkan nilai kejujuran. Kegiatan yang

dilakukan secara jujur tentu lebih mudah untuk dipertanggungjawabkan. Oleh

karena itu, RBA dapat secara sukarela melaporkan kebermanfaatan donasi yang

mereka terima. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa RBA menjalankan

transparansi dan akuntabilitas pelaporan

Tabel 7.1
Perbedaan Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial pada Commercial Enterprise dan Socio-
Enterprise

Perbedaan Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial pada Commercial (for-


profit) Enterprise dan Socio-Enterprise

n Socio-Enterprise
No Commercial Enterprise
1. Pelaporan tanggung jawab sosial Pelaporan tanggung jawab sosial adalah
adalah wujud pemenuhan kewajiban wujud kesadaran sebagai makhluk sosial
untuk melegitimasi keberlanjutan
entitas
2. Orientasi pada keuntungan Orientasi pada kebermanfaatan

3. Dasar pengelolaan dan pencatatan Dasar pengelolaan dan pencatatan sumber


sumber daya adalah kepentingan daya adalah akad dengan pemberi sumber
perusahaan dan investor daya

4. Struktur pelaporan sesuai dengan Struktur pelaporan sesuai kebutuhan


GRI informasi masyarakat

Sumber: Data diolah (2017)

Struktur yang digunakan RBA dalam menyusun laporan mengikuti

kebutuhan informasi masyarakat sehingga RBA tidak mengacu pada GRI. Alasan

111
112

RBA tidak menggunakan GRI layaknya perusahaan adalah ketidaksesuaian GRI

dengan kebutuhan informasi stakeholders.

Seperti yang sudah dijelaskan, stakeholders RBA adalah donatur dan

masyarakat dengan tingkat pemahaman akuntansi yang berbeda. Penggunaan GRI

dinilai terlalu rumit dan menyulitkan penyampaian informasi itu sendiri sehingga

kebermanfaatan informasi menjadi berkurang.

Penggunaan kebutuhan informasi masyarakat sebagai standar mendorong

RBA untuk menentukan format penyajian informasi yang sederhana dan informatif.

Melalui penyajian yang sederhana, masyarakat dapat lebih mudah memahami

informasi dan memperoleh manfaat dari informasi tersebut. Selain itu, standar yang

sederhana juga mempermudah pembuat laporan sehingga dapat menyajikan

informasi sesuai kebutuhan dan tepat waktu.

Saat masyarakat memahami dan memperoleh manfaat dari informasi yang

disampaikan, saat itulah kepercayaan masyarakat kepada RBA tumbuh. Apalagi

RBA memberikan kemudahan untuk mengakses laporan, baik melalui laporan

tertulis maupun pertemuan langsung (lihat sub bab 6.4). Hal tersebut menunjukkan

bahwa reputasi baik entitas dapat terbangun dengan sendirinya ketika mereka

memberikan manfaat yang nyata kepada masyarakat.

7.3. Pengembangan Pandangan Holistik atas Akuntansi

Pertanggungjawaban Sosial

Selama ini, akuntansi pertanggungjawaban sosial identik dengan pelaporan

tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR).

Informasi yang disusun di dalam laporan tanggung jawab sosial ditujukan untuk

112
113

meningkatkan reputasi perusahaan. Dengan demikian, perusahaan dapat

memperoleh kesempatan untuk mendulang keuntungan di masa mendatang.

Akan tetapi, akuntansi pertanggungjawaban sosial pada sebuah socio-

enterprise telah memberikan wawasan bahwa tanggung jawab sosial tidak selalu

berbicara tentang CSR. Tanggung jawab sosial sejatinya adalah bagian yang tidak

terpisahkan dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial.

Socio-enterprise adalah entitas yang betul-betul menyadari bahwa tanggung

jawab sosial adalah inti dari keberadaan mereka. Orientasi mereka adalah

kebermanfaatan bagi masyarakat. Oleh karena itu, tanggung jawab sosial harus

diimplementasikan dalam setiap aktivitas entitas. Salah satunya adalah penyusunan

laporan sebagai wujud pertanggungjawaban entitas.

Bagi socio-enterprise, pengungkapan informasi adalah wujud tanggung

jawab sosial itu sendiri. Pandangan ini menjadi alternatif atas pemahaman selama

ini bahwa tanggung jawab sosial hanya diimplementasikan melalui program CSR.

Ruang Belajar Aqil (RBA) adalah socio-enterprise yang mewujudkan tanggung

jawab sosialnya melalui pengungkapan informasi.

Socio-enterprise memosisikan akuntansi sebagai alat untuk mengungkapkan

informasi tentang aktivitas mereka. Kegunaan alat ditandai dengan sifat fleksibel

atau mampu menyesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan penggunaannya

(Kumalasari, 2017). Oleh karena itu, penggunaan akuntansi pada socio-enterprise

lebih sederhana dan tidak terlalu berpatokan kepada standar baku.

Namun, aktivitas akuntansi socio-enterprise bukanlah tanpa standar. Socio-

enterprise memandang standar lebih dari sekadar ketentuan penyusunan konten dan

format laporan. Keseharian socio-enterprise yang dekat dengan masyarakat

113
114

membuat mereka menetapkan kebutuhan informasi masyarakat sebagai standar

pelaporan. Tujuan penetapan standar tersebut adalah menjamin kebermanfaatan

informasi entitas kepada masyarakat.

Akuntansi pertanggungjawaban sosial pada socio-enterprise memberikan

gagasan bahwa tanggung jawab sosial seharusnya dipandang sebagai sesuatu yang

holistis dan esensial dalam kehidupan bermasyarakat. Ia adalah sebuah bagian

integral yang tidak dapat dipisahkan. Tanggung jawab sosial menuntut setiap

individu dalam entitas untuk memberikan manfaat secara menyeluruh.

Tanggung jawab sosial adalah wujud kesadaran peran. Hal ini sesuai dengan

peran dasar manusia sebagai penjaga bumi dari kerusakan dan pengurus kebutuhan

sesama. Saat sebuah entitas menyadari peran ini, mereka tidak akan menjadikan

akuntansi sebagai alat untuk meningkatkan reputasi dan memaksimalkan

keuntungan. Lebih dari itu, akuntansi adalah alat yang membantu entitas

mewujudkan manfaat informasi bagi masyarakat.

7.4 Kesesuaian dengan Syariah: Menuju Akuntansi Pertanggungjawaban

Sosial yang Holistik

Akuntansi pertanggungjawaban sosial yang dilakukan oleh entitas bisnis

komersial telah dibahas pada sub bab sebelumnya. Motif keuntungan jangka

panjang (enlightened self-interest) berperan besar untuk mendasari perusahaan

melakukan tindakan yang dapat memastikan keberlangsungan operasi mereka di

masa depan. Salah satunya adalah melalui pelaporan tanggung jawab sosial.

Pelaporan tanggung jawab sosial memberikan informasi tentang berbagai

keterlibatan perusahaan dalam penyelesaian permasalahan sosial dan lingkungan

114
115

(Shuili Du dan Sen, 2010). Informasi tentang keterlibatan perusahaan memberikan

kesan bahwa perusahaan memiliki kepedulian terhadap masyarakat dan

lingkungan. Reputasi perusahaan pun meningkat seiring dengan meningkatnya

kepercayaan masyarakat terhadap informasi tanggung jawab sosial perusahaan.

Perusahaan pun memperoleh legitimasi untuk terus beroperasi dan mendapatkan

keuntungan.

Pandangan akuntansi pertanggungjawaban sosial yang demikian terbatas

pada penempatan masyarakat (manusia) sebagai pemilik sumber daya sehingga

perusahaan harus bertanggungjawab kepada mereka agar dapat terus beroperasi.

Wujud pertanggungjawaban tersebut dituangkan dalam aspek finansial, sosial, dan

lingkungan (Mulawarman, 2009:202). Pelaporan tersebut juga mengikuti

serangkaian standar yang disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku di

masyarakat.

Tabel 7.2
Perbedaan Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial Konvensional dan Syariah

Perbedaan Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial Konvensional dan


Syariah

No Konvensional Syariah

1. Bertujuan untuk melegitimasi Bertujuan sebagai realisasi cinta kepada


posisi entitas di tengah Allah melalui ketundukan dan kreativitas
masyarakat demi memperoleh sesuai ketentuan Allah (syariah)
keuntungan jangka panjang
2. Masyarakat (manusia) sebagai Allah sebagai pencipta dan pemilik
pemilik sumber daya tunggal sumber daya

3. Akuntabilitas kepada pemangku Akuntabilitas kepada Allah (vertikal) dan


kepentingan (sesama manusia) sesama manusia serta alam semesta
(horizontal)

Sumber: Data diolah (2017) dan Mulawarman (2009)

115
116

4. Mengakomodasi indikator Mengakomodasi indikator kinerja


kinerja finansial, sosial, dan finansial, sosial, dan lingkungan dengan
lingkungan kriteria halal, thoyib, dan bebas riba

Sub bab sebelumnya telah membahas tentang pengembangan perspektif

akuntansi pertanggungjawaban sosial yang holistik. Apabila ditarik lebih jauh,

konsep akuntansi pertanggungjawaban sosial dapat didekonstruksi untuk

mendapatkan pemahaman yang lebih utuh. Mulawarman (2009:102) membahas

tentang akuntansi syariah sebagai alat pertanggungjawaban sosial yang sesuai

dengan kaidah kesadaran peran manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT

(tazkiyah akuntansi).

Akuntansi pertanggungjawaban sosial berbasis syariah bertujuan untuk

mewujudkan kecintaan kepada Allah melalui ketundukan dan kreativitas sesuai

ketentuan Allah (syariah) (Mulawarman, 2009:113). Konsep ini sesuai dengan

pemahaman bahwa Allah melingkupi segala sesuatu (Al Muhith). Akuntansi pun

dipandang sebagai bagian dari kesatuan ketundukan dan kreativitas yang dilingkupi

oleh kekuasaan Allah.

Akuntansi pertanggungjawaban sosial berbasis syariah memandang bahwa

tanggung jawab sosial manusia tidak hanya berlaku kepada sesama manusia dan

lingkungan, melainkan kepada Allah karena manusia merupakan hamba Allah

(Abd’ Allah). Sebagai hamba Allah, manusia berkewajiban untuk mengabdi pada

Allah dengan cara menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Selain itu,

manusia juga memiliki peran sebagai Khalifatullah fil Ardh yang berkewajiban

menjaga kekayaan Allah berupa bumi dan seisinya.

116
117

Triyuwono (dikutip oleh Mulawarman, 2009:115) mengemukakan shariate

enterprise theory yang menyatakan bahwa Allah adalah pencipta dan pemilik

tunggal seluruh sumber daya. Seluruh sumber daya tersebut harus dikelola sesuai

cara dan tujuan yang ditetapkan oleh Allah. Oleh karena itu, manusia harus

melakukan sinergi atas dua peran yaitu Abd’Allah dan Khalifatullah fil Ardh dalam

melakukan dan melaporkan tanggung jawab sosial.

Kesadaran peran sebagai Abd’Allah menuntun manusia untuk memahami

dan menjalankan ketentuan Allah dalam pertanggungjawaban sosial sebagai wujud

ketundukan kepada-Nya. Sementara, kesadaran peran sebagai Khalifatullah fil

Ardh membantu manusia untuk menjadi kreatif dalam mewujudkan manfaat bagi

sesama manusia dan lingkungan. Sinergi kedua peran tersebut dapat tercermin pada

laporan pertanggungjawaban sosial. Laporan pertanggungjawaban sosial sesuai

syariah tidak hanya memastikan tercapainya kinerja finansial, ekonomi, dan

lingkungan. Lebih dari pada itu, seluruh informasi yang ditampilkan dalam laporan

dipastikan diperoleh dengan cara yang halal, thoyib, dan bebas riba. Akuntansi

pertanggungjawaban sosial yang dijalankan sesuai syariah berimplikasi pada

terwujudnya kebaikan bagi semesta alam (rahmatan lil alamin).

117
BAB VIII

ENLIGHTENED SELF-RESPONSIBILITY:

AKUNTANSI PERTANGGUNGJAWABAN SOSIAL SEBAGAI WUJUD

IBADAH KEPADA ALLAH SWT

Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya, terdapat pandangan alternatif

yang melihat akuntansi pertanggungjawaban sosial dengan lebih utuh. Pembahasan

akuntansi pertanggungjawaban sosial tidak lagi berkisar pada laporan CSR yang

digunakan untuk menjelaskan kebaikan sebuah perusahaan. Lebih daripada itu,

akuntansi pertanggungjawaban sosial adalah sebuah proses utuh (holistik) yang

didasari oleh kesadaran peran manusia untuk memberikan manfaat bagi lingkungan

sekitarnya.

Kesadaran tersebut menjadi landasan socio-enterprise Ruang Belajar Aqil

(RBA) dalam melakukan seluruh proses akuntansi pertanggungjawaban sosial.

Sifat dasar entitas yaitu not-for-profit socio-enterprise turut membantu

mewujudkan kesadaran individu di dalamnya untuk mengutamakan

kebermanfaatan dibandingkan keuntungan. Bagi mereka, pengungkapan informasi

entitas harus dilakukan dengan sebenar-benarnya agar informasi tersebut

bermanfaat bagi masyarakat. Pada titik inilah pengungkapan informasi dimaknai

sebagai wujud dari tanggung jawab sosial itu sendiri.

Kesadaran peran untuk bermanfaat berhubungan dengan tujuan penciptaan

manusia. Allah SWT berfirman dalam Surat Az-Zariyat ayat 56 “Dan aku tidak

menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

(QS Az-Zariyat:56)

118
119

Ayat di atas menyebutkan dengan jelas bahwa manusia diciptakan untuk beribadah

kepada Allah SWT. Oleh karena itu, setiap tindakan yang dilakukan hendaknya

didasari oleh niat untuk beribadah kepada Allah SWT, termasuk pada saat

melakukan proses akuntansi pertanggungjawaban sosial.

Manusia yang menyadari tujuan penciptaannya akan berusaha untuk

menuruti perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Salah satu perintah

Allah SWT kepada manusia adalah menjaga bumi dan seisinya, termasuk manusia

lain di dalamnya (Khalifatullah fil ardh). Perintah tersebut tercantum dalam Surat

Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya


Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"
Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui".” (QS Al Baqarah: 30)

Gagasan mengenai amanah (mempercayakan) tergambar jelas pada ayat di

atas. Allah mempercayakan manusia untuk bertanggungjawab atas seluruh ciptaan-

Nya di bumi. Setiap tindakan manusia akan dimintai pertanggungjawaban oleh

Allah selaku pemilik alam semesta. Manusia tidak diperkenankan untuk berlaku

sewenang-wenang di bumi demi kepentingan dirinya sendiri. Sebaliknya, melalui

amanah, manusia diminta untuk menyebarkan kebenaran dan berperilaku baik

terhadap sesama (Kamla et al., 2006)

Konsep amanah tersebut diwujudkan RBA dalam proses akuntansi

pertanggungjawaban sosial. Masyarakat memberikan amanah kepada RBA untuk

mengelola sumber daya (donasi) agar bermanfaat bagi masyarakat lainnya. Sebagai

entitas yang menyadari perannya, RBA mewujudkan amanah tersebut melalui

119
120

program dan pengelolaan entitas. Akuntansi pertanggungjawaban sosial berperan

sebagai alat untuk mempertanggungjawabkan amanah kepada masyarakat.

Askary dan Clarke (dikutip oleh Lewis, 2001) mengatakan bahwa istilah

‘hisab’ atau perhitungan merupakan akar dari akuntansi. Kata ‘hisab’ yang

tercantum di Al Quran memberikan pengertian seluas-luasnya tentang

pertanggungjawaban. Setiap tindakan manusia di muka bumi akan dicatat sebagai

amal baik atau buruk untuk kemudian dipertanggungjawabkan di hadapan Allah

SWT.

Penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa akuntansi merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari ajaran Islam. Tujuan akuntansi dalam Islam adalah

menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat (umat) secara akuntabel

(Lewis, 2001). Dengan kata lain, informasi yang diungkapkan harus benar-benar

mencerminkan aktivitas entitas yang sesungguhnya. Pengungkapan informasi

secara jujur dan transparan adalah wujud tanggung jawab sosial yang dianjurkan

dalam Islam.

Pencatatan adalah langkah awal yang harus dijamin kebenarannya demi

terciptanya informasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (relevan). Merujuk

pada sistem pencatatan RBA, identifikasi kebutuhan informasi masyarakat adalah

upaya awal yang dilakukan sebelum menentukan konten sebuah laporan. Setelah

data kebutuhan informasi diperoleh, RBA menentukan informasi apa saja yang

seharusnya tersedia di dalam sebuah laporan.

Salah satu kebutuhan informasi masyarakat adalah kebermanfaatan donasi

yang diberikan oleh donatur. RBA pun menyediakan informasi tersebut melalui

kolom kebermanfaatan yang tercantum pada laporan kegiatan. Peruntukan donasi

120
121

dicantumkan secara lengkap berikut jumlah dan penggunaannya sesuai dengan apa

yang terjadi di lapangan. Dokumentasi pengelolaan donasi juga disertakan apabila

dibutuhkan.

Hal yang dilakukan RBA di atas mendukung prinsip pengungkapan penuh

(full disclosure). Prinsip tersebut adalah salah satu prinsip akuntansi yang harus

dilaksanakan untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Pengungkapan penuh

melibatkan nilai kejujuran dan keadilan dalam pelaksanaannya (Lewis, 2001). Nilai

kejujuran dan keadilan terdapat pada kedua ayat berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan


katakanlah perkataan yang benar.” (QS Al Ahzab: 70)

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan menjadi


saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu
bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin,
maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika
kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.” (QS
An Nisa :135)

Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa berperilaku jujur dan adil adalah

sebuah kewajiban bagi setiap manusia. Tidak terkecuali bagi mereka yang

melakukan aktivitas akuntansi pertanggungjawaban sosial. Informasi yang

dipertanggungjawabkan akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat apabila

diproses secara jujur dan adil.

Pada konteks socio-enterprise, inti dari operasional adalah kebermanfaatan

bagi masyarakat termasuk dalam hal pengungkapan informasi. Masyarakat

memiliki hak untuk mengetahui dampak kegiatan dan pemanfaatan donasi yang

diberikan. Pengungkapan penuh menjadi bukti akuntabilitas socio-enterprise

terhadap masyarakat (umat). Selain itu, pengungkapan penuh juga menjadi wujud

121
122

akuntabilitas terhadap Allah SWT dengan menyediakan informasi yang mudah

diakses (Lewis, 2001).

Akuntabilitas turut mempertimbangkan aspek kemudahan untuk dipahami

(understandability). Maksud dari kemudahan untuk dipahami adalah tidak

menimbulkan kebingungan dan kesalahpahaman bagi pengguna informasi. Setiap

informasi yang tercantum dalam laporan adalah benar dan jelas sehingga tidak

menjadi penyebab kesalahan pengambilan keputusan oleh pengguna.

Dalil mengenai kebenaran dan kejelasan dalam pengungkapan terdapat pada

potongan Surat Al Baqarah ayat 282 yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara


tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar...”
(QS Al Baqarah: 282)

Perintah untuk menuliskan dengan benar wajib untuk diimplementasikan ke dalam

pembuatan laporan pertanggungjawaban sosial. Salah satunya dengan menyertakan

bukti-bukti yang mendukung kebenaran informasi tersebut. Pada konteks RBA,

penulisan dengan benar didukung dengan keberadaan bukti kwitansi donasi,

notulensi rapat pengelola, dan foto penerimaan donasi hingga pelaksanaan kegiatan.

Hal tersebut menjadi bukti bahwa RBA telah menjalankan amanah masyarakat

sesuai dengan ketentuan (akad).

Laporan yang bermanfaat bagi pengguna juga dapat ditinjau dari sisi

presentasi. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, laporan haruslah mudah

dipahami agar tidak menimbulkan bias bagi penggunanya. Oleh karena itu,

penyajian laporan hendaknya mempertimbangkan tingkat pemahaman akuntansi

penggunanya.

122
123

Beradasarkan temuan-temuan yang dibahas pada bab sebelumnya, RBA

berusaha menyajikan laporan dengan sederhana agar dapat dipahami pengguna dari

berbagai kalangan. Standar yang digunakan pun berbeda dari standar pelaporan

CSR pada umumnya. Kebutuhan informasi dan tingkat pemahaman akuntansi

masyarakat menjadi standar utama dalam penyusunan laporan.

Kepedulian akan kebutuhan informasi dan tingkat pemahaman akuntansi

masyarakat mencerminkan nilai kebaikan (ihsan) dan kepentingan bersama

(istislah) yang diajarkan oleh Islam (Kamla et al., 2006). Kesediaan untuk

menyesuaikan dengan masyarakat meningkatkan kebermanfaatan sebuah laporan.

Tidak hanya memahami informasi, masyarakat juga dapat mempelajari penyusunan

laporan yang benar dan mengimplementasikannya dalam keseharian. Ini yang

dimaksud Tinker dalam Kamla et al. (2006) sebagai peningkatan kualitas dan

keberlanjutan masyarakat.

Tabel 8.1
Perbedaan konsep Enlightened Self-Interest dan Enlightened Self-Responsibility

No. Enlightened Self-Interest Enlightened Self-Responsibility


1. Kesadaran untuk memperoleh Kesadaran untuk melakukan
keuntungan jangka panjang tanggung jawab sesuai tujuan
penciptaan manusia

2. Keberlanjutan pemenuhan Keberlanjutan pemenuhan


kebutuhan entitas dan masyarakat kebutuhan masyarakat

3. Harapan untuk meningkatkan citra Harapan untuk terus memberikan


baik entitas dan memperoleh manfaat sesuai perintah Allah SWT
keuntungan lebih besar di masa
depan
Sumber: Kotler dan Lee dalam Elasrag (2015) dan peneliti (2017)

Elaborasi atas keseluruhan pemaparan di atas adalah akuntansi

pertanggungjawaban sosial adalah sebuah wujud kesadaran akan tujuan penciptaan

123
124

manusia yaitu beribadah kepada Allah SWT. Pemahaman atas kesadaran tidak lagi

berbicara tentang keuntungan jangka panjang (enlightened self-interest) melainkan

pelaksanaan tanggung jawab sesuai ketentuan penciptaan (enlightened self-

responsibility).

Kesadaran akan tanggung jawab sebagai seorang manusia memandu manusia

dalam bertindak kepada masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Wujud dari

kesadaran tersebut adalah kepedulian untuk mengungkapkan informasi yang

bermanfaat dan menyertakan nilai-nilai kebaikan di dalam prosesnya. Hal tersebut

dilakukan untuk menciptakan manfaat kepada sesama dan lingkungan sekitar sesuai

ketentuan Allah SWT.

Siapa saja yang melaksanakan proses akuntansi pertanggungjawaban sosial

secara utuh menyadari bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan adalah untuk

Allah, masyarakat (umat), dan lebih jauh lagi, lingkungan yang ditinggali.

Kesadaran ini hendaknya tidak hanya dimiliki oleh entitas socio-enterprise,

melainkan juga berbagai jenis entitas lainnya. Dengan demikian, akuntansi

pertanggungjawaban sosial dapat menjadi alat pertanggungjawaban yang rahmatan

lil alamin atau membawa kesejahteraan bagi semesta alam.

Gambar 8.1
Pertanggungjawaban Manusia kepada Allah SWT, Masyarakat, dan Lingkungan

Allah SWT

Bertanggungjawab
kepada
Bertanggungjawab
Manusia kepada Masyarakat dan
(individu/kelompok) lingkungan

Sumber: Peneliti (2017)

124
BAB IX

PENUTUP

9.1 Kesimpulan

Penelitian ini dirancang untuk menjelaskan akuntansi pertanggungjawaban

sosial pada entitas socio-enterprise melalui studi etnometodologi di Ruang Belajar

Aqil (RBA). Alasan yang mendasari penelitian ini adalah pembahasan akuntansi

pertanggungjawaban sosial yang didominasi oleh pelaporan tanggung jawab sosial

perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR). Sementara, pembahasan

akuntansi pertanggungjawaban sosial pada socio-enterprise jarang ditemukan.

Padahal, tanggung jawab sosial adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari aktivitas

entitas apapun. Pemilihan socio-enterprise sebagai jenis entitas yang diteliti

didasari oleh fokus utama mereka yaitu menciptakan nilai sosial.

RBA adalah entitas socio-enterprise yang bersifat not-for-profit. Berdasarkan

hasil penelitian, akuntansi pertanggungjawaban sosial di RBA berbeda dengan yang

diterapkan oleh perusahaan atau entitas lain pada umumnya. Keunikan akuntansi

pertanggungjawaban sosial di RBA antara lain (1) penggunaan akad sebagai dasar

pengelolaan donasi; (2) pengelolaan dan pencatatan sumber daya sesuai kebutuhan;

(3) standar pelaporan adalah kebutuhan informasi pengguna; (4) pelaporan

kebermanfaatan; (5) saldo akhir yang ideal adalah nol rupiah dan; (6) pengamalan

nilai-nilai entitas dalam proses pelaporan.

Keenam temuan di atas didasari oleh pandangan para individu di RBA,

khususnya pengelola, bahwa tanggung jawab sosial adalah sebuah kesadaran untuk

125
126

memberikan manfaat bagi masyarakat. Selain itu, pengungkapan informasi entitas

sesuai kebutuhan masyarakat adalah wujud dari tanggung jawab sosial itu sendiri.

Akuntansi pertanggungjawaban sosial di RBA dimaknai lebih dari sekadar

informasi yang tertulis sesuai standar baku pada sebuah laporan. Akuntansi

pertanggungjawaban sosial adalah sebuah proses utuh untuk

mempertanggungjawabkan amanah yang diberikan oleh masyarakat. Oleh karena

itu, setiap langkah di dalam proses akuntansi pertanggungjawaban sosial di RBA

mengandung nilai-nilai entitas yaitu kepedulian, pembelajaran, dan pemberdayaan.

Selain itu, nilai-nilai kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas tidak luput untuk

diimplementasikan di dalam proses pelaporan.

Hal-hal tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa laporan yang diterbitkan

oleh RBA telah sesuai dengan kebutuhan dan menjadi bermanfaat bagi masyarakat.

Terlihat jelas bahwa orientasi RBA dalam melakukan proses akuntansi

pertanggungjawaban sosial adalah kebermanfaatan, baik bagi penyusun laporan

maupun bagi masyarakat. Berbeda halnya dengan laporan CSR yang berorientasi

pada legitimasi perusahaan untuk memperoleh keuntungan jangka panjang

(enlightened self-interest).

Penyajian laporan tanggung jawab sosial pada perusahaan dan socio-

enterprise RBA pun berbeda. Laporan CSR umumnya mengikuti standar tertentu

sesuai kebutuhan informasi investor dan sebisa mungkin menciptakan citra baik

perusahaan. Sementara, laporan yang disajikan oleh RBA lebih sederhana dan

mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena RBA memiliki kepedulian akan

kebutuhan informasi dan tingkat pemahaman akuntansi masyarakat. Akuntansi di

126
127

sini berperan sebagai alat pertanggungjawaban yang fleksibel mengikuti kebutuhan

penggunanya.

Lebih jauh lagi, aktivitas akuntansi pertanggungjawaban sosial di RBA

adalah contoh bahwa akuntansi pertanggungjawaban sosial merupakan sesuatu

yang bersifat holistis dan berhubungan dengan tujuan penciptaan manusia. Manusia

yang memiliki kesadaran akan tujuan penciptaannya tidak lagi memandang

akuntansi pertanggungjawaban sosial dari sudut pandang enlightened self-interest.

Ia menyadari bahwa akuntansi pertanggungjawaban sosial adalah alat yang untuk

melakukan pertanggungjawaban kepada Allah SWT, manusia (umat), dan

lingkungan. (enlightened self-responsibility). Dengan demikian, akuntansi

pertanggungjawaban sosial menjadi alat pertanggungjawaban yang bersifat

rahmatan lil alamin atau membawa kesejahteraan bagi semesta alam.

9.2 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan sebagai berikut:

1. Penelitian hanya dilakukan pada satu entitas socio-enterprise yaitu

Ruang Belajar Aqil (RBA) sehingga hanya mampu menjelaskan

akuntansi pertanggungjawaban sosial yang dilakukan oleh entitas

tersebut. Sementara, terdapat banyak entitas socio-enterprise dengan

bidang operasional yang berbeda dan pelaksanaan akuntansi

pertanggungjawaban sosial yang mungkin berbeda pula. Hal ini

disebabkan oleh beragamnya fokus dan nilai-nilai yang diangkat oleh

masing-masing entitas sehingga pengukuran dan pelaporan tanggung

127
128

jawab sosial pada socio-enterprise sulit untuk distandardisasi (Certo dan

Miller, 2008).

2. Minimnya literatur yang membahas mengenai akuntansi

pertanggungjawaban sosial dari sisi socio-enterprise menjadi

keterbatasan sendiri bagi peneliti sehingga pengembangan pemahaman

akuntansi socio-enterprise berkisar pada subjektivitas peneliti.

9.3. Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan peneliti adalah sebagai berikut:

1. Peneliti selanjutnya dapat meneliti mengenai akuntansi

pertanggungjawaban sosial pada entitas socio-enterprise lain. Tujuannya

adalah untuk memperoleh gambaran yang lebih beragam dan

komprehensif tentang pelaksanaan akuntansi pertanggungjawaban sosial

pada socio-enterprise.

2. Pelaku socio-enterprise, komunitas, ataupun organisasi nonprofit lain

melakukan pertanggungjawaban yang dapat disusun secara sederhana

dengan menggunakan laporan pertanggungjawaban Ruang Belajar Aqil

(RBA) sebagai referensi.

3. Pengelola Ruang Belajar Aqil (RBA) dapat bekerjasama dengan internal

auditor memberikan edukasi tentang pelaporan kepada anggota KRS+.

4. Sekretaris dapat menyiapkan buku kendali laporan sebagai alat untuk

melakukan pengecekan atas pengumpulan laporan.

128
DAFTAR PUSTAKA

AccountAbility. (2008). Aa1000 Aps 2008. Journal of Business Ethics, 53(1/2),


1–48. https://doi.org/10.1787/9789264122352-de
Adams, C. A. (2004). The Ethical, Social and Environmental Reporting‐
Performance Portrayal Gap. Accounting, Auditing & Accountability Journal
(Vol. 17). https://doi.org/10.1108/09513570410567791
Al Quran Al Karim.
Aras, G., and D. Crowther. (2007). ‹Sustainable Corporate Social Responsibility
and the Value Chain’, in D. Crowther and M. M. Zain (eds.), New
Perspectives on Corporate Social Responsibility, 109–128
Ariwiguna, W. (2002). Konsep Pengembangan Sumber Daya Manusia yang
Amanah dalam Organisasi Bisnis (Membentuk Sumber Daya Manusia yang
Beretika dalam Perspektif Islam) (Skripsi tidak dipublikasikan). Jurusan
Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya, Malang.
Arwani, A. (2011). Konsep Akad (Transaksi) Dalam Islam.
Austin, J., Stevenson, H., & Wei-Skillern, J. (2006). Social and Commercial
Entrepreneurship: Same, Different, or Both? Entrepreneurship: Theory and
Practice, 30(1), 1–22. https://doi.org/10.1111/j.1540-6520.2006.00107.x
Banerjee, S. B. (2008). Corporate Social Responsibility: The Good, the Bad and
the Ugly. Critical Sociology, 34(1), 51–79.
https://doi.org/10.1177/0896920507084623
Bebbington, J. & Thomson, I. (2007). ‘Social and Environmental Accounting,
Auditing and Reporting: A Potential Source of Organisational Risk
Governance?’. Environment and Planning C: Government and Policy, Vol.
25, pp. 38-55
Blowfield, M., & Frynas, J. (2005). Setting New Agendas: Critical Perspectives
on Corporate Social Responsibility in the Developing World. International
Affairs, 81(3), 499–513. https://doi.org/Doi 10.1111/J.1468-
2346.2005.00465.X
Brammal, S. (2014). CSR or Social Enterprise: Which Has More Social Impact?.
Diakses dari website The Guardian:
https://www.theguardian.com/social-enterprise-
network/2014/mar/25/corporate-social-responsibility-better-social-business

Breeze, B. (2010). How Donors Choose Charities: Findings of a Study of Donor


Perceptions of the Nature and Distribution of Charitable Benefit. Centre for
Charitable Giving and Philanthropy Occasional Paper 1, 1–62.

129
130

Brundtland, G. H. (1987). Our Common Future: Report of the World Commission


on Environment and Development. United Nations Commission, 4(1), 300.
https://doi.org/10.1080/07488008808408783
Certo, S. T., & Miller, T. (2008). Social Entrepreneurship: Key Issues and
Concepts. Business Horizons, 51(4), 267–271.
https://doi.org/10.1016/j.bushor.2008.02.009
Chwastiak, M., & Young, J. J. (2003). Silences in Annual Reports. Critical
Perspectives on Accounting, 14(5), 533–552. https://doi.org/10.1016/S1045-
2354(02)00162-4
Correa-Ruiz, C., & Moneva-Abadía, J. M. (2011). Special Issue on "Social
Responsibility Accounting and Reporting in Times Of Sustainability
Downturn/Crisis.” Revista de Contabilidad, 14(SUPPL1), 187–211.
https://doi.org/10.1016/S1138-4891(11)70032-2
CPA Australia. (2012). Foundation Level Accounting Concepts and Principles
(third edition). Australia: BPP Learning Media Ltd
Creswell, J.W. (2012). Educational Research: Planning, Conducting, and
Evaluating Quantitative and Qualitative Research (fourth edition). Boston:
Pearson Education, Inc.
Crowther, D., & Aras, G. (2008). Corporate Social.
Defourny, J., & Nyssens, M. (2012). Conceptions of Social Enterprise in Europe:
A Comparative Perspective with the United States. Social Enterprises: An
Organizational …, 1–17. https://doi.org/10.1057/9781137035301_4
Denzin, N.K., & Lincoln, Y.S. (2011). The SAGE Handbook of Qualitative
Research. (n.p): SAGE Publications, Inc.
Elasrag, H. (2015). Corporate Social Responsibility: An Islamic Perspective.
https://doi.org/10.5829/idosi.mejsr.2014.22.02.21850
Elkington, J. (1997). Cannibals with Forks: the Triple Bottom Line of 21st
Century Business. Conscientious Commerce. https://doi.org/0865713928
Ernst & Young, & Boston College Centre. (2016). Value of sustainability
reporting - A study by EY and Boston College Center for Corporate
Citizenship. EYGM Limited, 1–32.
Firdaus, A., & Riwajati, N.I. (n.d.). Akuntansi Laskar Pelangi: Menimba Kearifan
Budaya Lokal Suku Lom Sebagai Upaya Melawan Pengadopsian Kode Etik
Akuntan Indonesia Dalam Memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Garfinkel, H. (1967). Studies in Ethnomethodology. New Jersey: Prenntice Hall,
Inc.
Gjesdal, F. (1981). Accounting for Stewardship, 24(2), 412–421.
Global Reporting Initiative. (2017). About GRI. Diakses melalui
https://www.globalreporting.org/information/about-gri/Pages/default.aspx

130
131

Gorenak, M., & Kosir, S. (2012). The Importance of Organizational Values for
Organization. Management, Knowledge and Learning International
Conference 2012, 563–569. Retrieved from http://issbs.si/press/ISBN/978-
961-6813-10-5/papers/ML12_117.pdf
Gray, R., Kouhy, R. and Lavers, S. (1995). Corporate social and environmental
reporting: a review of the literature and a longitudinal study of UK
disclosure. Accounting, Auditing and Accountability Journa, 8(2), 47–77.
Gray, R., Brennan, A., & Malpas, J. (2014). New Accounts: Towards a Reframing
of Social Accounting. Accounting Forum, 38(4), 258–273.
https://doi.org/10.1016/j.accfor.2013.10.005
Gray, R., Dey, C., Owen, D. L., Evans, R., & Zadek, S. (1997). Struggling with
The Praxis of Social Accounting: Stakeholders, Accountability, Audits and
Procedures. Accounting, Auditing & Accountability Journal (Vol. 10).
https://doi.org/10.1108/09513579710178106
Habib, Fariz. (2016). Daftar Perusahaan yang Membuat Laporan Keberlanjutan.
Diakses dari https://farizhabib.wordpress.com/tag/daftar-perusahaan/
Haski-Leventhal, D., & Foot, C. (2016). The Relationship between Disclosure and
Household Donations to Nonprofit Organizations in Australia. Nonprofit and
Voluntary Sector Quarterly, 45(5), 992–1012.
https://doi.org/10.1177/0899764016628673
Have, P.T. (2013). Understanding Qualitative Research and Ethnomethodology.
SAGE Publications, 212. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Heath, R.L., & Ni, L. (2008). Corporate Social Responsibility. Diakses dari
website Institute for Public Relations:
http://www.instituteforpr.org/corporate-social-responsibility/
Hox, J.J. & Boeije, H.R. .(2005). Data collection, Primary vs. Secondary.
Encyclopaedia of Social Measurement Vol. 1, 593-599
Islam, M. A. (2015). Social Compliance Accounting: Managing Legitimacy in
Global Supply Chains, 145. https://doi.org/10.1007/978-3-319-09997-2
Kamla, R., Gallhofer, S., & Haslam, J. (2006). Islam, Nature and Accounting:
Islamic Principles and the Notion of Accounting for the Environment.
Accounting Forum, 30(3), 245–265.
https://doi.org/10.1016/j.accfor.2006.05.003
Kamayanti, A. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif Akuntansi: Pengantar
Religiositas Keilmuan. Jakarta: Yayasan Rumah Peneleh
Kholis, A. (2002). Tinjauan Teoritis Akuntansi Sosial dan Penerapannya di
Indonesia.
Khan, F. R., & Lund-Thomsen, P. (2011). CSR As Imperialism: Towards A
Phenomenological Approach to CSR in the Developing World. Journal of
Change Management, 11(1), 73–90.
https://doi.org/10.1080/14697017.2011.548943

131
132

Kidangen, H. (2014). Pelanggaran Hukum dan Etika Bisnis PT Freeport


Indonesia (Tesis, Institut Pertanian Bogor, Indonesia). Diakses dari
https://www.scribd.com/doc/234613592/Pelanggaran-Hukum-Dan-Etika-
Bisnis-PT-Freeport-Indonesia
Lako, Andreas. (2011). Dekonstruksi CSR dan Reformasi Paradigma Bisnis dan
Akuntansi. Jakarta: Erlangga.
Lamberton, G. (2005). Sustainability Accounting - A Brief History and
Conceptual Framework. Accounting Forum, 29(1), 7–26.
https://doi.org/10.1016/j.accfor.2004.11.001
Maharshi Dayanand University, D. of D. E. (2004). Accounting Theory. Diakses
dari http://www.mdudde.net/books/Mcom/Mcom-f/Accounting Theory-
final.pdf
Mair, J., & Martí, I. (2006). Social Entrepreneurship Research: A Source of
Explanation, Prediction, and Delight. Journal of World Business, 41(1), 36–
44. https://doi.org/10.1016/j.jwb.2005.09.002
Mathews, M. R. (1984). A Suggested Classification for Social Accounting
Research. Journal of Accounting and Public Policy, 3(3), 199–221.
https://doi.org/10.1016/0278-4254(84)90017-6
Mir, U. R., Hassan, S. M., & Hassan, S. S. (2013). Islamic Perspective of
Corporate Social Responsibility. Al-Adwa, 2013(June), 77–90.
https://doi.org/10.5829/idosi.mejsr.2014.22.02.21850
Moleong, L.J. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. remaja
Rosdakarya
Mook L., Quarter J., & Richmond, B.J. (2007). What Counts: Social Accounting
for Nonprofits and Cooperatives (Second Edition). London: Sigel Press.
Mook, L. (2014). Accountability and Social Accounting for Social and Non-
Profit Organizations Article information : Accountability and Social
Accounting for Social and Non-Profit Organizations, 17(17), 3–21.
https://doi.org/10.1108/S1041-706020140000017007
Morris, K. (2013). Can non-profit organizations be good social citizens?
Encyclopedia of Language and Education, 2(1), 83–95.
Mulawarman, A.D. (2009). Akuntansi Syariah: Teori, Konsep, dan Laporan
Keuangan. Jakarta: E-Publishing.
National Advisory Council on State and Local Budgeting (NACSLB). (1998).
Recommended Budget Practices:A Framework For Improved State and
Local Government Budgeting. Diakses dari
http://www.gfoa.org/services/dfl/budget/RecommendedBudgetPractices.pdf
Neuman, W.L. (2006). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approaches (sixth edition). United States of America: Pearson Education,
Inc.

132
133

Nicholls, A. (2009). “We Do Good Things, Don’t We?’: “Blended Value


Accounting” in Social Entrepreneurship. Accounting, Organizations and
Society, 34(6–7), 755–769. https://doi.org/10.1016/j.aos.2009.04.008
Omran, M. A., & Ramdhony, D. (2015). Theoretical Perspectives on Corporate
Social Responsibility Disclosure: A Critical Review. International Journal of
Accounting and Financial Reporting, 5(2), 38.
https://doi.org/10.5296/ijafr.v5i2.8035
Oxford University Press. (1995). Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Oxford:
Oxford University Press.
Palmer, K. (1995). Tightening Environmental Standards: The Benefit-Cost or the
No-Cost Paradigm?. The Journal of Economic Perspectives (4): 119–
132. https://doi:10.1257/jep.9.4.119
Parker, L. D. (1986). Polemical Themes in Social Accounting: A Scenario for
Standard Setting. Advances in Public Interest Accounting, 1, 67-93
Parsons, L. M. (2003). Is Accounting Information from Nonprofit Organizations
Useful To Donors?: A Review of Charitable Giving and Value Relevance.
Journal of Accounting Literature, 22, 104–129.
Sukoharsono, E. G. (2010). Metamorfosis Akuntansi Sosial Dan Lingkungan :
Mengkonstruksi Akuntansi Sustainabilitas. Disampaikan pada Rapat Terbuka
Senat Universitas Brawijaya Malang , 13 Desember 2010
Potter, B. N. (2005). Accounting as a Social and Institutional Practice:
Perspectives to Enrich Our Understanding of Accounting Change. Abacus,
41(3), 265–289. https://doi.org/10.1111/j.1467-6281.2005.00182.x
Pratono, A. H., Pramudija, & Sutanti, A. (2016). Social Enterprise in Indonesia:
Emerging Models under Transition Government (PDF Download Available),
(December). https://doi.org/10.13140/RG.2.2.26549.88806
Productivity Commission. (2013). On Efficiency and Effectiveness: Some
Definitions, (May), 1–14.
Ruang Belajar Aqil. (2016). Laporan Tahun 2016 Kembang Kegiatan 2017.
Malang: Pengarang.
Ruang Belajar Aqil. (2017). Laporan Kegiatan Festival Keluarga Awal Tahun.
Malang: Pengarang.
Sadeghzadeh, A. (1995). Social Responsibility Accounting, Sustainability
Accounting and Islam. (Disertasi Doktor, University of Wollongong,
Australia). Diakses dari http://ro.uow.edu.au/theses/1005
Sekaran, U. (2003). Research Methods for Business: A Skill Buliding Approach
(fourth edition). United States of America: John Wiley & Sons, Inc.
Shuili Du, C.B.B., & Sen, S. (2010). Maximizing Business Returns to Corporate
Social Responsibility (CSR): The Role of CSR Communication.
International Journal of Management Reviews, 12(1), 8–19.

133
134

https://doi.org/10.1111/j.1468-2370.2009.00276.x
Social Entrepreneurship Academy. (2013). Database Social Entrepreneur
Indonesia. Diakses dari http://sea-dd.com/database-sociopreneur/
Spence, L., & Rutherfoord, R. (2001). Social responsibility, profit maximisation
and the small firm owner-manager. Journal of Small Business and Enterprise
Development, 8(2), 126–139. https://doi.org/10.1108/EUM0000000006818
Tilt, C. A., & Filho, W. L. (2009). Professionals perspectives of corporate social
responsibility. Professionals Perspectives of Corporate Social Responsibility,
11–32. https://doi.org/10.1007/978-3-642-02630-0
Vidal, P., Torres, D., Guix, B., & Rodríguez, M. P. (2005). The Social
Responsibility of Non-Profit Organisations A conceptual Approach and
Development of SRO model, 36. Diakses dari www.tercersector.net
Wiguna, A. B., & Manzilati, A. (2014). Social Entrepreneurship and Socio-
entrepreneurship: A Study with Economic and Social Perspective. Procedia -
Social and Behavioral Sciences, 115(Iicies 2013), 12–18.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.02.411
Weygandt, J.J., Kimmel, P.D., & Kieso, D. E. (2013). Financial Accounting:
IFRS Edition. United States of America: Wiley
World Business Council for Sustainable Development .(2000). Corporate Social
Responsibility: Making Good Business Sense. WBCSD: Geneva..
Wright, K. (2002). Generosity versus altruism: philanthropy and charity in the US
and UK. Society (January). Diakses dari
http://www.lse.ac.uk/collections/CCS/publications/

134
135

Lampiran 1

Transkrip Wawancara
Pewawancara/Kode : Meirna Puspita Permatasari / MP
Informan/Kode : Teuku Muda Rabian Hussein / BD
Posisi Informan : Bendahara Ruang Belajar Aqil (RBA)
Hari/Tanggal : Minggu, 11 Juni 2017
Waktu : 13.30 – 14.30
Lokasi : Perum. Griya Shanta Eksekutif P-345 Malang

Subjek Pertanyaan/Jawaban
MP : Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
BD : Waalaikumsalam Warahmatullah Wabarakatuh.
MP : Jadi, hari ini saya ingin mengobrol sedikit dengan Mas Bian tentang sebenarnya
tanggung jawab sosial di RBA itu kaya gimana dan akuntansi di sana itu seperti apa.
Jadi, ada yang ingin saya gali lebih dalam. Pertama adalah kalau menurut Mas Bian
sendiri selaku pengelola dan bendahara, definisi tanggung jawab sosial itu apa?
Kalau misalkan dari diri Mas Bian sendiri sebagai pengelola.
BD : Iya, kalau aku sih tanggung jawab sosial, yang aku paham dan aku lakukan itu setiap
amanah [sambil menggerakkan tangan seolah menggambarkan sesuatu] yang
diberikan entah itu oleh donatur, entah itu oleh masyarakat, entah itu tim sendiri, atau
pengelola sendiri untuk menjalankan project itu insya Allah akan disalurkan tanpa
ada pemotongan atau hmmm… apa ya… [sambil berpikir] ada pengurangan sedikit
pun. Sebisa mungkin, semisal ada dari donatur, uang ini untuk apa, tujuannya juga
jelas, akadnya jelas dan disalurkan sesuai apa yang donatur mau. Kita juga
menjelaskan kebutuhan kita apa. Kalau aku sih secara pengolah, amanah yang
diberikan oleh masyarakat untuk RBA. RBA ini kan sebagai wadah, sebagai penyalur
gitu ya, nah itu (uang) diberikan secara menyeluruh gitu dan sesuai dengan amanah
yang diberikan.
MP : Nah, kalau ngomongin tentang amanah gitu ya, kenapa sampai merasa amanah itu
adalah sesuatu yang harus dilakukan secara menyeluruh kepada masyarakat?
BD : Kenapa? Ini laten banget ya [tertawa]. Ya kalau aku kenapa amanah perlu karena
ehm… [berpikir sebentar]. Gini, [tertawa kecil], ini terlalu laten lho, Mei. Kalau
untuk menjelaskan [berhenti sebentar]. Setiap orang berbeda ya. Tapi aku berprinsip
gitu, kalau aku sebagai manusia, hidup di dunia ini hanyalah amanah yang aku punya.
Jadi, kalau amanahnya itu ya… amanahnya diberikan gitu ya aku sebisa mungkin
mempertanggungjawabkan itu. Karena itu juga akan menghasilkan kebaikan.
Kebaikannya sangat banyak gitu. Misalkan, kebahagiaan untuk masyarakat,
timbulnya nilai kejujuran yang saat ini hilang dari masyarakat gitu ya. Karena orang
berpikir… apa ya… aku juga ngelihatnya aku berpikir memberikan kepercayaan ke
orang lain itu sangat sulit sekarang. Karena orang berpikirnya, “ah entar bohong,
entar bohong”. Tapi, gimana caranya, di sini aku membantu RBA juga gitu ya,
menerapkan bahwa kepercayaan itu given, bukan sesuatu yang harusnya dibangun.
Dan kalau udah diberikan, ya udah itu urusan entar, urusan mau dilakukan atau tidak
ya itu urusan (pihak) yang diberikan, yang menerimanya gitu. Kita sebagai yang
menerima, sebagai yang diberikan kepercayaan, gimana menimbulkan itu
[menguncupkan tangan] gitu. Menimbulkan itu dengan baik dan orang bisa melihat
ternyata ada suatu wadah yang bisa diberiin kepercayaan dan nggak semua orang
atau nggak semua tempat dilakukan atau digambarkan tidak benar gitu. Gitu sih kalau
aku.
MP : Oke. Biasanya dalam project kan pasti butuh resource supaya kita bisa melaksanakan
project. Biasanya proses mendapatkan dan mengelola resourcenya gimana?
BD : Ya, mengelola resource ya kita, aku. Misal aku sendiri. Kalau untuk ngerjain project,
resource yang aku keluarkan… yang jelas apa yang kita (RBA) punya dulu dan
kebutuhan dari projectnya apa. Selama yang RBA punya bisa mencukupi project, ya
pakai itu. Entah itu relawan, keuangan, bahan-bahan (peralatan dan perlengkapan).
Misal kebutuhan project melebihi resource yang kita punya, sebisa mungkin kita cari

135
136

untuk memenuhi kebutuhan project. Tapi biasanya teman-teman relawan bingung


membedakan kebutuhan sama keinginan gimana. Ternyata di project ini pengennya
yang wah. Tapi sebenarnya kita nggak butuh itu. Misalkan pernah ada relawan bikin
satu project dan uangnya itu ya… ini aku sebutin [menekankan]. Mereka bikin
anggaran sebesar satu juta tiga ratus ribu. Setelah project itu dilakukan dan setelah
diskusi dan mereka belajar, keluar resource anggaran itu hanya dua ratus ribu.
MP : Oh ya. Terus yang laporan setiap bulan itu juga diberikan ke donatur atau nggak?
Atau cuma buat pengambilan keputusan di RBA aja?
BD : Laporan yang mana?
MP : Yang kaya kemarin Mas Bian print kecil (merujuk ke laporan keuangan yang
ditunjukkan pada rapat pengelola 10 Juni 2017).
BD : Ya laporan keuangan itu dibuat setiap bulan karena jikalau para donatur atau
masyarakat membutuhkan informasi ya kita berikan. Tapi sesuai dengan kebutuhan.
Kalau misalkan masyarakat tidak membutuhkan, kita tidak memberikannya. Untuk
saat ini seperti itu. Tapi memang kita punya rencana untuk terus up-to-date
memberikan informasi kita setiap bulannya. Ini lho pengeluaran kita. Ini lho laporan
keuangan kita. Tapi, saat ini masih dalam tahap memberikan informasi saat
masyarakat itu membutuhkan atau meminta laporannya.
MP : Dan aku juga pernah lihat di laporan tahunannya itu. Biasanya kan ada keterangan di
bawah tabelnya saldo maksimal Rp 10.000,00. Terus kemarin waktu Mas Bian report
di rapat pengelola sisanya Rp 1.300,00 sebelum ditambah donasi itu. Kenapa
jumlahnya harus sekecil itu saldonya?
BD : Hmmm bukan sekecil itu ya. Sebaiknya adalah nol. Ya sebaiknya adalah nol untuk
laporan keuangan. Tapi kan tidak mudah untuk mengeluarkan uang misalkan dengan
harga Rp 500,00 ke Rp 1.500,00. Kebermanfaatannya kita nggak tahu. Makanya kita
berikan minimal Rp 10.000,00 untuk menggambarkan atau menunjukkan bahwa
semua amanah yang diberikan dalam bentuk uang ini [tangan seolah memegang
uang] bisa tersalurkan dengan baik. Tapi emang utamanya adalah nol, Mei. Rp
10.000,00 itu sebagai batas maksimal aja dari laporan keuangan kita karena kesulitan
dalam pengelolaan harga kecil itu, uang kecil itu tadi.
MP : Berarti, selama ini terkecil berapa?
BD : Nol.
MP : Terus misalkan laporan selesai dibuat itu diberitahukan ke donatur nggak?
BD : Dari laporan apa nih?
MP : Laporan keuangannya
BD : Kalau setiap bulan, kaya tadi aku bilang. Saat donatur atau masyarakat
membutuhkan, kami (RBA) berikan. Tapi, kalau untuk akhir tahun, jelas kita
biasanya ada silaturahmi awal tahun. Dari silaturahmi awal tahun itu banyak peserta
atau masyarakat yang datang dan dari situ kita memberikan informasi. Ini lho laporan
tahunan kita. Laporan kegiatan kita.
MP: Berarti silaturahmi awal tahun itu kaya salah satu…
BD : Salah satu bentuk media untuk memberikan informasi gitu.
MP : Terus kalau misalkan niali-nilai di RBA itu… kan kita sebagai membernya RBA kita
sama-sama punya nilai yang sama-sama kita anut dan kita laksanakan. Kalau Mas Bi
sebagai bendahara itu nilai-nilai apa dari RBA yang berpengaruh terhadap proses
akuntansi yang Mas Bi jalankan?
BD : Nilai-nilainya ya? Yang jelas jujur, amanah… nilai-nilainya amanah… [diam
sebentar sambil mengingat] terus peduli [diam lagi]. Itu sih, Mei.
MP : Jujur, amanah, peduli ya. Nah kenapa tiga nilai ini perlu untuk kita jadikan landasan
dalam beraktivitas, dalam melakukan tugas sebagai bendahara. Kenapa nilai-nilai ini
penting?
BD : Kenapa penting? Kalau menurut aku karena pertama dengan peduli gitu ya. Karena
kan ini pekerjaan yang sukarela. Kalau kita nggak ada kepedulian di sini, ya itu sulit
untuk dijalankan. Ini kan untuk masyarakat. Maka dari situ, kita butuh kepedulian
untuk menjalankan ini. Yang kedua, jujur. Karena ini berbicara tentang uang dan
gimana uang ini dikelola. Kalau kita tidak jujur, maka dampak ke masyarakat akan
buruk. Entah dari… sebagai contoh bahwa kita tidak baik dalam melakukan

136
137

pengelolaan keuangan dan juga pembelajaran untuk pemuda-pemuda yang ada di


situ. Pemuda-pemuda yang ikut serta di RBA bahwa ini bisa akan ada
penyelewengan. Penyelewengan uang atau apapun. Tapi, kalau kita jujur, bisa
menjalankan itu ya… itu kan jadi nilai yang baik, nggak hanya untuk diri kita tapi
juga lingkungan. Yang ketiga, amanah. Jelas ya. Karena kalau amanah, setiap
tanggung jawab yang diberikan insya Allah akan dilaksanakan sebaik mungkin dan
sebisa mungkin. Tanpa adanya amanah, maka pertanggungjawaban itu jadinya hanya
wacana. Bukan dilaksanakan tapi ya asal dikerjain. Pokoknya selesai, nggak tahu.
Eksistensi lah. Mau dilihat orang gitu sih.

137
138

Lampiran 2

Transkrip Wawancara
Pewawancara/Kode : Meirna Puspita Permatasari / MP
Informan/Kode : Arwin Anindyka / KR
Posisi Informan : Koordinator Relawan Ruang Belajar Aqil (RBA)
Hari/Tanggal : Senin, 12 Juni 2017
Waktu : 12.45 – 13.30
Lokasi : Ruang Baca, Ruang Belajar Aqil (Jalan Cempaka no. 1 Malang)

Subjek Pertanyaan/Jawaban
MP : Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
KR : Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh
MP : Terima kasih buat Dyka yang sudah memberi saya kesempatan buat wawancara.
Nah, karena kan memang penelitian ini sebenarnya ingin mengetahui akuntansi
pertanggungjawaban sosial di sini seperti apa. Nah, kalau Dyka sendiri sebagai
pengelola itu mendefinisikan tanggung jawab sosial seperti apa?
KR : Ya tanggung jawab sosial itu kalau menurutku gimana sih kita berperan kepada
masyarakat. Memberi manfaat kepada masyarakat karena kita hidup bermasyarakat.
Kita tidak hanya menerima sesuatu dari masyarakat, tapi juga kita memberikan
sesuatu kepada masyarakat. Itu sih pertanggungjawaban sosial sebagai makhluk
sosial tentunya.
MP : Berarti, apakah akuntansi ini menurut kamu adalah sebuat alat untuk melakukan
tanggung jawab sosial?
KR : [bernapas dalam] Tanggung jawab sosial, kalau dalam konteks kita ngomongin
kegiatan sosial ya pasti akuntansi menjadi salah satu media untuk menunjukkan
tanggung jawab itu. Iya. Cuma kalau ngomong corporate, bukan sosial, maka itu
bisnis mereka gitu. Misal perusahaan kan ke investor dan sebagainya, ke karyawan
mereka, pokoknya yang ada di dalam mereka. Dan itu bukan atas nama sosial karena
memang itu tanggung jawab mereka. Tapi kalau kita berbicara konteks kegiatan
sosial dan itu dari masyarakat untuk masyarakat, itu (akuntansi) menjadi alat untuk
menunjukkan sebagai bentuk pertanggungjawaban kita kepada masyarakat
[terdengar suara riuh anak-anak yang mengunjungi ruang baca]
MP : Dan pengertian akuntansi sebagai bentuk pertanggungjawaban untuk masyarakat itu,
menurut kamu di RBA ini sudah berlaku belum?
KR : Ehm iya. Sejauh ini aku ngelihat iya karena setiap akhir tahun itu laporan
keuangannya dipublikasikan secara luas dan semua orang bisa melihatnya.
Transparan. Karena RBA juga donatur terbesarnya itu masyarakat. Dari masyarakat.
[mengulang pernyataan] Donaturnya dari masyarakat dan kegiatannya untuk
masyarakat. Jadi, untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah diterima, apa yang
disalurkan kepada masyarakat itu ya dalam bentuk laporan itu. Dan setiap donatur
diberikan laporannya.
MP : Seberapa penting tanggung jawab itu menurut kamu?
KR : Seberapa penting? Maksudnya gimana nih? Takaran atau gimana? Seberapa penting
gitu?
MP : Kenapa kita harus melakukan tanggung jawab itu? Tanggung jawab di RBA ini.
Kenapa kita harus melakukan itu?
KR : Karena itu mungkin ya… karena [diam sejenak] apa namanya… aku bilangnya
gimana ya… aku jelasinnya gimana. Kenapa tanggung jawab itu penting karena kita
melakukan [terdengar suara anak-anak di ruang baca]. Ini dalam konteks RBA ya.
Aku sebagai RBA. Karena kita sendiri kan kaya tadi aku bilang. Kita mendapatkan…
istilahnya kita menyalurkan apa yang masyarakat titipkan ke kita. Jadi ya kita harus
mempertanggungjawabkan apa yang dititipkan itu.
MP : Jadi, dengan kata lain masyarakat itu ngasih amanah ke kita dan kita harus tanggung
jawab sama amanah itu [disambut anggukan kepala informan]?
KR : Sama kaya misalkan kita dapat donasi. Kita dapat donasi buku dan aku baru tahu
kemarin sih teknisnya gimana ketika dapat donasi. Ketika baru diambil donasinya,

138
139

kita langsung kabarkan kepada donaturnya bahwa donasinya sudah kita terima dan
akan kita salurkan dengan segera. Dan ketika sudah disalurkan, itu kan difoto
biasanya. Dokumentasi. Dokumentasinya diberikan kepada si donatur sebagai
bentuk ya kita sudah menyalurkan apa yang mereka titipkan ke kita gitu.
MP : Oke. Terus kan setiap project pasti ada resourcenya. Kalau setahu kamu bagaimana
sih di sini mengelola dan mencatat resource itu?
KR : Dana dan SDM gitu ya? Untuk mengelola, kalau dana, kan dari kolaborator. Intinya
kita cari dulu. Kita butuh apa. Jangan mikirin dananya dulu. Jangan mikirin
resourcenya kaya gimana. Kita lihat dulu kita butuh apa. Nanti, kalau kita udah tahu
kebutuhannya, insya Allah itu sebagian besar selalu ketemu jalan keluar untuk
memenuhi kebutuhan kita itu. Itu untuk resource berupa materi gitu. Terus untuk
SDM, untuk mengelolanya yaitu dengan adanya koordinator relawan. Itu kan
relawan juga bagian penting juga dari kegiatan. Itu pengelolaannya.
MP : Terus itu kan cara mencari dan mengelolanya. Nah, kalau misal udah cari dan dapat,
pas udah dapat pengelolaannya gimana lagi?
KR : Kalau udah dapat, untuk dana biasanya gimana sih benar-benar efektif sama dana
yang kita punya. Efisien gitu ya dengan dana yang kita punya. Dan kita pun kadang
menyesuaikan dengan apa yang sudah kita dapatkan itu. Misalkan kita dapatnya
sekian, ya kita sesuaikan dengan kebutuhan kita dan ketemu (cukup) gitu. Walaupun
dananya sedikit, walaupun dananya hanya segitu, tapi bisa memenuhi kebutuhan
yang tadi dicari itu. Untuk relawan, ini gimana sih tetap menjaga komunikasi.
Melalui kaya kemarin ngundang buka bersama. Terus kegiatan kaya makan dan
masak bersama juga kan diundang relawan-relawan. Itu sih mungkin untuk tetap
merawat, menggunakan, mengelola.
MP : Nah, sekarang setelah menyelesaikan suatu project kan harus dinilai. Kaya
sebenarnya project ini berhasil atau nggak. Sesuai nggak sama yang kita harapkan.
Nah, apa sih indikator keberhasilan yang dipakai untuk mengukur keberhasilan suatu
project itu?
KR : Indikator? Indikator keberhasilan suatu project [sambil berpikir]. Sejauh ini ya, kalau
indikator aku nggak terlalu paham ya indikator. Tapi yang jelas keberhasilan suatu
project itu ya kita bisa melaksanakannya dan kita ngedapetin pembelajaran dari apa
yang kita lakukan itu. Itu mungkin ya. Yang aku lihat sih ya. Meskipun secara tertulis
memang atau secara baku aku belum mendengar maupun belum memahami apakah
ada indikator-indikator tertentu. Tapi, yang jelas, yang aku tahu, dari project yang
kita lakukan itu kita dapat pembelajaran pastinya. Sama, kita bisa melaksanakan
kegiatan itu.
MP : Terus sekarang jenis-jenis laporannya ya. Ada apa aja sih di sini?
KR : Laporan kegiatan, laporan pembelajaran, laporan akhir tahun. Kalau yang format
baku itu tiga. Terus [mengingat] ada laporan. Tapi, ini lebih ke personal ya. Mungkin
beberapa orang oleh mentor atau penasihat akan ditanya, “apa yang didapatkan dari
ini? Apa yang didapatkan dari saya?” Itu laporan hmmm… tidak bakunya,
informalnya. Cuma yang formal ya tiga itu yang aku tahu.
MP : Terus kenapa sih laporan-laporan ini dibuat? Tujuan masing-masing. Misalnya
laporan kegiatan untuk apa. Laporan pembelajaran buat apa. Laporan akhir tahun
buat apa.
KR : Kalau laporan-laporan kegiatan ya pastinya untuk gambaran mengenai kegiatan yang
sudah dilakukan. Untuk laporan pembelajaran, yak arena pembelajaran menjadi salah
satu yang pokok di kegiatan RBA, ya untuk mengetahui pembelajaran apa yang
didapatkan. Ketika ditanya pembelajarannya, itu adalah salah satu bentuk
merangsang orang untuk tahu mereka dapat apa. Biasanya jarang kan laporan
pembelajaran. Kalau misalnya di kampus kan jarang banget tuh “apa sih yang dia
dapatkan dari kegiatan seperti ini?” Dengan adanya laporan pembelajaran ini bisa
memicu kebermanfaatan yang dirasakan orang-orang itu. Terus, kalau laporan akhir
tahun, ya kaya tadi, mungkin itu sebagai bentuk pertanggungjawabannya RBA pada
donatur, pada masyarakat.

139
140

Lampiran 3

Transkrip Wawancara
Pewawancara/Kode : Meirna Puspita Permatasari / MP
Informan/Kode : Dina Fitria Marta Sari / SK
Posisi Informan : Sekretaris Ruang Belajar Aqil (RBA)
Hari/Tanggal : Senin, 12 Juni 2017
Waktu : 14.25 – 15.15
Lokasi : Ruang Baca, Ruang Belajar Aqil (Jalan Cempaka no. 1 Malang)

Subjek Pertanyaan/Jawaban
MP : Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
SK : Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh
MP : Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih kepada Mbak Dina yang sudah
meluangkan waktu untuk ngobrol tentang akuntansi pertanggungjawaban sosial di
RBA itu kaya gimana. Mungkin langsung saja. Aku ingin tahu sebenarnya kan di sini
Mbak Dina adalah sekretaris. Bagian dari pengelola RBA gitu. Kalau Mbak Dina
sebagai pengelola RBA ini mendefinisikan tanggungjawab sosial itu kaya gimana
sih?
SK : Tanggung jawab sosial… Kalau secara definisi menurut teori [tertawa], aku nggak
menguasai. Cuma, yang jelas, apa yang diberikan masyarakat itu kita menyampaikan
itu semacam value yang didapat kaya gitu. Kebermanfaatan dari tanggung jawab
sosial itu sendiri. Misalnya kaya memberi donasi seperti itu. Donasi itu sendiri
kebermanfaatannya diberikan untuk apa, siapa penerimanya. Di situ kita jelas
menyampaikan.
MP : Semacam menyampaikan amanah dari masyarakat?
SK : Iya amanah gitu. He-eh.
MP : Kenapa sih Mbak kebermanfaatan ini harus disampaikan gitu?
SK : Ya kebermanfaatan itu terkait dengan akad. Akad itu ibarat janji [tersenyum]. Jadi
ya apa yang kita sampaikan itu harus benar-benar sesuai. Nggak boleh ada yang
dilebihkan. Nggak boleh ada yang dikurangkan. Seperti itu.
MP : Dan kalau di sini kan, pasti dalam mengelola amanah dari masyarakat itu kan ada
proses akuntansi. Kalau sepengetahuan Mbak Di di sini, akuntansi di RBA itu seperti
apa?
SK : Iya akuntansi di RBA. Kalau sepemahaman ibu sekretaris di sini, kita itu punya ini
ya… dibilang akun atau bukan sih? [meminta konfirmasi]. Pokoknya ada yang donasi
tunai sama donasi non tunai. Nah, donasi tunai di sini terkait dengan, yang berkaitan
dengan rupiah-rupiah. Duit-duitan. Untuk donasi non tunai itu, masyarakat di sini tuh
bisa memberikan donasi dalam bentuk apapun kaya gitu. Kita menerima seperti itu
yang sesuai dengan kebutuhan kita. Misalkan, donasi mereka memberikan berupa
uang, nah itu masuknya ke donasi tunai. Tapi, kalau misalkan mereka memberikan
semacam kita mengadakan suatu project, kemudian mereka ngasih kita snack atau
gimana. Di situ itu masuk ke donasi non tunai dan nanti kebermanfaatannya juga kita
catat. Ini konsumsi untuk anak-anak. Ya pure kita memberikan konsumsi itu untuk
anak-anak, nggak untuk panitia.
MP : Berarti kebermanfaatannya juga dilaporkan?
SK : Kebermanfaatannya juga kita laporkan. Dan nggak lupa kita dokumentasikan juga di
situ bahwa penerimanya memang anak-anak.
MP : Terus tiap kali project kan pasti butuh resource kan, Mbak. Resourcenya ini gimana
sih cara resource dikelola supaya survive lah itu project. Dan bagaimana resource
ini nantinya dilaporkan penggunaannya?
SK : Ini resource yang dimaksud resource apa? Human kah? Atau all about resource?
MP : Apa pun.
SK : Kalau untuk manusia, di mana project sini itu, kalau orangnya kebanyakan, malah
nggak efektif. Suatu project itu kalau kebanyakan panitia malah nggak efektif.
MP : Berarti dikit gitu ya?

140
141

SK : Bukan dikit juga sih. Cukup lebih tepatnya. Cukup kaya gitu. Pas lah untuk project
ini ditangani berapa. Dan setiap project di sini ya… setiap orang benar-benar harus
bisa… bukan harus bisa juga sih. Paling nggak mereka jadi belajar semuanya kaya
gitu. Dari segi inisiatif, tanggap kaya gitu. Karena apa yang jadi tugas mereka,
mereka tanggung jawab di bagian apa. Ya, sometimes mereka juga harus
mengerjakan membantu tim yang lain, PJ (penanggung jawab) yang lain. Secara
nggak langsung, jadinya kita belajar semua. Ini gimana, itu gimana. Untuk keuangan,
umumnya sih kita cari donasinya itu lebih ke cerita ya. Kaya “kita punya project
ini.” Yang jelas, kita menceritakan kita punya project apa terus tujuan dari project
ini apa. Ditujukan buat siapa sih. Manfaat dari project ini apa. Selama ini, kita cuma
modal cerita. Dan donasi terkait tunai maupun non tunai, ya ngalir aja kaya gitu.
Benar-benar ngalir. Sampai kalau dijelasin arus rezeki ya… saya juga bingung sih
sebenarnya. Yang kita butuh kue. Tadinya bingung cari kue. Tiba-tiba kue itu sampai
banyak kaya gitu. Sampai akhirnya kita bagi-bagiin ke orang-orang. Seringnya kaya
gitu. Donasi tunai beberapa kali juga kita pernah surplus. Kalau misalkan dari project
tersebut donasi tunainya surplus, dari PJ project tersebut juga terserah ini uangnya
mau diapakan. Buat project berikutnya atau kita kasih ke bendahara dan untuk
dikelola. Untuk bayar listrik, atau beli resource yang ada kaya kertas.
MP : Terus, kalau misalkan untuk laporan di sini tuh ngacu standar tertentu nggak, Mbak?
SK : Kalau ngacu standar tertentu karena kita ada tim audit, ya. Awalnya sistem
laporannya nggak kaya yang sekarang gitu. Akhirnya, dibuat untuk mempermudah
kita, jadi itu dibuat keluar-masuk, pemasukan sama pengeluaran. Terus, saldo akhir.
Dibuat sesederhana mungkin biar semua paham. Kan otomatis kalau kita buat
laporan yang oke-oke banget, mungkin kalangan akuntansi aja yang paham. Ini jadi
semua kalangan itu paham.

141
142

Lampiran 4

Transkrip Wawancara
Pewawancara/Kode : Meirna Puspita Permatasari / MP
Informan/Kode : Barianto Nurasri S. / KO
Posisi Informan : Koordinator Ruang Belajar Aqil (RBA)
Hari/Tanggal : Selasa, 13 Juni 2017
Waktu : 08.57 – 10.00
Lokasi : Lantai 2 Gedung A FEB UB

Subjek Pertanyaan/Jawaban
MP : Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
KO : Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh
MP : Terima kasih buat kesediaannya Mas Bari untuk ditanya-tanya tentang RBA. Di sini
kan Mas Bari posisinya sebagai pengelola juga, koordinator. Nah, aku pengen tahu
kalau misalkan Mas Bari selaku koordinator RBA memandang tanggung jawab sosial
itu sebenarnya kaya gimana?
KO : Iya tanggung jawab sosial itu menurut pandangan saya adalah bagaimana kita
berkontribusi terhadap lingkungan sekitar. Sebenarnya nggak harus dalam… kita
dapat berkontribusi dalam bentuk apapun halnya selama itu berkaitan dengan sosial.
Nah, tanggung jawab sosial di sini kita perlu melihat apa sih yang dibutuhkan sama…
apa ya namanya… [berpikir]. Yang dibutuhkan sosial, lingkungan sekitar. Jadi, kita
bisa menetapkan apa yang harus kita kerjakan. Tanggung jawab sosial ini didasari
oleh kepekaan dari setiap orang. Maka dari itu, tanggung jawab sosial setiap orang
itu berbeda. Kepekaan akan ingin berkontribusi untuk memperbaiki lingkungan
sekitar dalam untuk apa pun. Nggak harus dalam bentuk masyarakat aja, tapi juga
bagi lingkungan. Itu jadi berbeda-beda setiap orang karena tingkat kepekaannya
berbeda. Jadi, yang perlu kita ketahui adalah bagaimana kita peka dalam melihat
permasalahan-permasalahan yang ada di lingkungan sekitar, baik itu sosial maupun
lingkungan secara alam.
MP : Selama ini, apakah akuntansi itu juga digunakan sebagai alat bagi RBA untuk
mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan?
KO : Iya kita… sejujurnya kita membuat laporan keuangan sudah beberapa kali. Karena
tujuannya adalah untuk mempertanggungjawabkan dana dari masyarakat tersebut.
Ketika dana itu dari masyarakat, otomatis outputnya masyarakat harus tahu dana itu
digunakan untuk apa. Nggak ada lagi yang ditutup-tutupin karena itu dana bukan
punya kita. Kalau dana punya kita misalkan uang dari… seenggaknya uang dari
orang tua kita. Orang tua kita seenggaknya juga tahu uang itu kita gunakan untuk
apa. Begitu juga masyarakat. Ketika kita dapat dana dari dana sosial, dari masyarakat,
nah ini membuat masyarakat ini harus tahu. Artinya ada tanggung jawab sosial untuk
memublikasikan laporan keuangan. Nah, kalau di RBA, kita sudah membuat laporan
keuangan itu beberapa kali, dari yang sederhana sampai yang… sederhana, jadi yang
sederhana hanya laporan tabel sampai yang bentuknya mungkin cuma satu lembar
tapi Alhamdulillah pembuatannya nggak sederhana. Itu ya. Tujuannya apa?
Tujuannya adalah untuk menginformasikan kepada masyarakat bahwa uang yang
digunakan itu sudah seperti ini. Silakan, jika ingin mengetahui lebih lanjut, datang
(ke RBA). Karena beberapa donatur memang sejatinya tidak kenal masyarakat di
RBA seperti apa. Namun, mereka percaya bahwa kegiatan RBA ini bermanfaat.
Beberapa donatur seperti itu. Dan ini menjadi tanggung jawab secara tidak langsung
yang ditanamkan, walaupun tidak ter… apa ya… terucap secara gamblang gitu. Ini
jadi tanggung jawab untuk melaporkan keuangan. Nggak, nggak seperti itu. Tapi,
nilai-nilai ini mulai ditanamkan oleh mentor bahwa ketika kamu menggunakan dana
dari masyarakat, kamu harus melaporkannya kepada masyarakat. Maka dari itu,
mentor menanamkan nilai-nilai tersebut seperti mengajarkan bagaimana caranya
membuat laporan yang baik. Memberikan akses… membuat akses bagaimana
bendahara ini bisa memublikasikan laporan keuangan kepada masyarakat. Nah, dari
sisi situ pula, dari pemahaman, dari nilai-nilai itu, akhirnya muncul tesis saya

142
143

sebenarnya [tertawa]. Dari situ muncullah tesis saya sebenarnya dana dari
masyarakat digunakan untuk apa sih? Itu splitnya ya. Lalu, berawal dari nilai-nilai
yang ditanamkan. Walaupun tidak secara gamblang, “Kita itu dapat dana dari
masyarakat. Kita punya tanggung jawab.” Nggak itu, nggak itu yang ditekankan
setiap hari oleh mentor. Karena, ketika cuma itu aja yang ditekankan, maka orang itu
akan stress, tertekan. Karena dia punya kewajiban, tapi tidak diberikan wadah untuk
bagaimana menyalurkan laporan keuangan yang baik karena latar belakangnya
sendiri bukan akuntansi. Sehingga, dia harus belajar dari awal untuk membuat
laporan keuangan. Tapi, yang diajarkan di sini adalah bagaimana membuat laporan
keuangan yang baik. Bagaimana yang informatif. Bukan hanya sekadar fancy, tapi
informatif. Walaupun bentuk gambarnya macam-macam, tapi dia informatif. Dari
situ, ketika materinya sudah jadi, kamu mau publikasi lewat mana aja terserah. Mau
kamu kirim lewat WA dalam bentuk pdf atau kamu kirim segala macam itu bisa.
MP : Setiap project pasti ada resourcenya kan, Mas? Entah dalam bentuk uang atau
mungkin tenaga dan macam-macam itu. Gimana sih resource ini akhirnya dicatat
dan dilaporkan? Kaya gimana?
KO : Ya, jadi kalau misalkan project… laporan keuangan project dan laporan keuangan
RBA ini masing-masing berbeda. Kalau project, yang membuat itu seharusnya
adalah koordinator projectnya. Dia harus mencatat semua resource yang dia
gunakan. Sumbernya dari mana, digunakan untuk apa. Itu harus dibuat. Nah, itu
dimulai sejak kapan? Dimulai sejak project itu dilimpahkan ke dia. Jadi, mulai sejak
itu, dia harus mencatat resourcenya dia apa aja. Sret... dia harus tahu kebutuhannya
dia apa dulu. Setelah dia tahu kebutuhannya, baru menetapkan ini sumbernya dari
mana. Jadi, bukan nyari sumber dulu baru nyari resource. Jadi, kalau kita cek dulu
kebutuhannya apa untuk menjalankan project. Kita evaluasi, “ini butuh nggak? Ini
butuh nggak?” Itu memang perlu diskusi sih. Jadi, koordinator namanya belajar,
koordinator project namanya belajar nggak dilepas. Jadi, kamu dulu buat
kebutuhanmu untuk menjalankan projectmu apa. Sesudah itu dicek, kalau nggak
melalui mentor, melalui bendahara biasanya. Kalau misalkan keuangan, langsung
spesifik bendahara. Jadi, butuh ini, butuh ini, butuh ini. Bisa jadi ini cuma
keinginanmu. Kita tuh nggak perlu yang seperti ini kok, tapi tujuan sudah bisa
tercapai. Nah, itu dicoret resource itu. Nah, ketika ini dibutuhkan, segala macam
sudah deal, sudah oke melalui tahap diskusi bendahara dan mentor misalnya. Satu
lagi di project itu ada pendamping. Itu bisa jadi salah satu… apa namanya…
pengelola itu terdiri dari pendamping dan koordinator project itu. Nah, dua orang ini
dari sisi pengelola. Nah, setelah pendamping oke, bendahara oke, terus misal mau
diskusi dengan mentor dan beliau oke, ya sudah. Resource itu bisa digunakan.
Tinggal menetapkan sumbernya dari mana. Ketika sumbernya sudah ditetapkan, lalu
diupayakan sumber itu. Kalau misal sudah selesai digunakan, artinya sudah
terkumpul kan, nah itu digunakan untuk menjalankan project. Kalau sudah, maka dia
harus mencatat apa saja yang sudah dia gunakan berikut buktinya karena bukti itu
menjadi sesuatu yang esensial untuk melaporkan kembali ke masyarakat.
Seenggaknya, pada donatur. Jadi, donaturnya tahu “Oh ini buktinya. Oh iya.” Yang
sulit adalah bagaimana kita membuat laporan keuangan untuk menumbuhkan
kepercayaan orang. Ketika orang membaca laporan keuangan dan orang itu nggak
percaya, nah ini akan menjadi gap antara RBA sendiri secara institusi dengan
masyarakat. Masyarakat nggak lagi percaya. Seenggaknya pada donatur-donatur itu.

143
144

Lampiran 5

Transkrip Wawancara
Pewawancara/Kode : Meirna Puspita Permatasari / MP
Informan/Kode : Febrianto Danu Tirto / KB
Posisi Informan : Koordinator Ruang Baca Ruang Belajar Aqil (RBA)
Hari/Tanggal : Selasa, 13 Juni 2017
Waktu : 16.04 – 16.41
Lokasi : Ruang belajar utama, Ruang Belajar Aqil (Jl. Cempaka no. 1 Malang)

Subjek Pertanyaan/Jawaban
MP : Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
KB : Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh
MP : Terima kasih, Mas Danu, atas kesediaannya untuk ngobrol dengan saya perihal
akuntansi pertanggungjawaban sosial di RBA itu sendiri. Nah, kalau sekarang yang
aku ingin tahu lebih dulu, Mas Danu kan sebagai salah satu pengelola di sini ya.
Posisinya koordinator ruang baca. Nah, Mas Danu sebagai bagian dari RBA
mendefinisikan tanggung jawab sosial itu kaya gimana?
KB : Kalau menurut saya, tanggung jawab sosial itu gimana cara kita untuk peduli
terhadap lingkungan sekitar kita. Pedulinya itu nggak cuma “Oh, ya. Saya prihatin
atau peduli”, tapi benar-benar menunjukkan pakai kegiatan atau action. Dan
kebetulan kalau di RBA ini tanggung jawab sosialnya bentuknya literasi terutama di
ruang baca sendiri yang saya pegang. Kalau yang diseminasi, RKD, kan ada
diseminasi. Kalau saya kan lebih ke literasi. Jadi, tanggung jawab yang saya artikan
dari RBA itu sendiri, khusus dari ruang baca, tentang kegiatan literasinya kepada
masyarakat.
MP : Terus selama kegiatan project itu kan pasti butuh resource kan, Mas. Itu proses
pengelolaan dan pencatatan resourcenya kaya gimana?
KB : Pengelolaan atau pemanfaatan ya?
MP : Bisa dua-duanya.
KB : Jadi, kalau pengelolaan resource, kalau resource yang berupa uang tanggung
jawabnya ke Mas Bian. Nanti bisa minta… kalau project bisa minta uang project.
Tapi dananya karena memang kita not-for-profit, jadinya dananya terbatas. Dan juga
kalau untuk uang, untuk penanggung jawabnya, itu bisa membuat surat untuk donasi.
Jadi, kita diajarkan untuk mencari donasi sesuai kebutuhan. Kaya nyari-nyari sponsor
gitu kita diajari dari awal project. Dulu ada sama MyRepublic untuk sponsor hadiah
dan lain-lain. Sama Dea Bakery kaya gitu. Kita juga diajari untuk (mencari donasi)
berupa uang atau aset ya. Tapi, kalau resourcenya berupa sumber daya (manusia), ini
ngomongnya ke Mas Dyka (koordinator relawan). Karena kita udah punya
pengelolaan relawan, kita punya database relawan siapa-siapa aja yang pernah
membantu dan bisa atau mampu untuk membantu kita lagi. Jadi, nanti minta tolong
Mas Dyka untuk konfirmasi atau menghubungi mereka. Atau kita juga bisa nyari
langsung ke teman-teman yang bersedia. Itu untuk manusianya.
MP : Terus, berarti kan kalau kaya donasi, donasinya ini bisa berupa uang maupun selain
uang gitu ya di sini. Nah, kalau misalkan donasi-donasi itu yang masuk dicatatnya
kaya gimana?
KB : Donasi-donasi awalnya dicatatnya… kalau project ya. Ini ngomongnya project, ya.
Jadi, donasi bisa masuk berupa uang atau nggak uang. Dari project itu, penanggung
jawabnya wajib… bukan wajib, sih. Ya, wajib untuk membuat laporan di akhir
kegiatan. Laporan sama evaluasi. Isi laporan itu salah satunya adalah akuntansi tadi.
Keuangan yang masuk sama donasi yang masuk. Jadi, nanti ada apa aja yang masuk,
nih. Uang atau donasi-donasi barang. Kaya dulu, saya, misal, pernah pegang project,
ada donasi uang sama donasi barang harus dibedakan. Setelah pencatatan donasi ini
sudah masuk di laporan saya, nanti saya laporan ke Mas Bian. Nanti, sama Mas Bian
dimasukkan ke laporan yang besar. Saya nggak tahu namanya. Nanti, Mas Bian

144
145

mindah. Jadi, semua uang yang masuk dari project sama Mas Bian disalin lagi ke
laporan besar, ke buku besar.
MP : Terus, tadi kan disebutkan kalau resource itu sebenarnya terbatas ya kalau untuk
project. Nah, bagaimana memanfaatkan resource yang terbatas itu supaya project itu
bisa tetap jalan.
KB : Karena kita dari awal memang dibiasakan untuk resource-wise, ya jadinya nggak
terlalu berpengaruh ya. Dulu ya kalau di organisasi-organisasi lain yang penah saya
jalani, resourcenya sampai jutaan, puluhan juta. Kalau ini, sembilan puluh ribu aja
udah jalan. Panitia cuma satu-dua orang juga jalan. Bahkan, dulu awal-awal megang
project ya, dulu saya sendirian. Cuma ditemani Mas Bian. Sendiri. Terus, waktu mau
hari-H, baru nunjuk, “kamu bantu aku di sini. Kamu di situ.” Jadi, benar-benar dari
awal ngerjainnya sendirian dan itu bisa. Karena memang sebenarnya masalahnya
bukan di kita yang sedikit, tapi di luar aja yang kebanyakan. Kalau untuk acara kaya
gini tuh satu-dua (orang) juga cukup. Jadi, nggak masalah sebenarnya kalau untuk
gimana caranya ngelola ya itu. Ngelola sebenarnya ya udah, jalanin tanggung
jawabnya dengan benar. Cukup.
MP : Terus, biasanya kan kalau misalnya kita menjalankan sebuah project, ada indikator
keberhasilan gitu ya untuk menilai, “Ini projectnya sudah sesuai dengan rancangan
awal atau belum. Sudah sesuai target atau belum. Nah, umumnya di sini indikator
keberhasilan sebuah project itu apa, Mas?
KB : Nah, ini yang beda [tersenyum]. Kalau di (tempat) lain, indikatornya kan dari
kuantitas. Kalau kita, lebih ke kualitas. Jadi, misal nih kita targetnya tiga puluh orang.
Kalau yang datang tiga puluh, tapi kualitasnya yang disampaikan nggak bagus, ya itu
yang kita masalahkan. Tapi, kalau yang datang lima, tapi benar-benar adik-adik ini
punya impact, berdampak, itu yang kita hitung bagus. Tahu dampaknya dari kesan
pesan. Kesan pesan adiknya gimana. Kesan pesan orang tuanya gimana. Terus,
setelah itu sering datang ke sini lagi, nggak? Itu salah satu ngukur impactnya. Jadi,
bukan kuantitas, tapi lebih ke kualitas. Kualitas ngukurnya dari impact, bukan cuma
hasil. Jadi, kaya misal lomba… [mengingat] kemarin membuat lampion. Nggak
cuma hasilnya itu adik-adik bisa membuat lampion. Itu hasil. Tapi, kita nggak
ngelihat itu. Tapi, value yang kita sampaikan dalam project. Adik-adik bisa sabar
nggak? Adik-adik bisa nanti teliti nggak? Dampaknya yang nanti kita lihat. Dan saat
setiap project, karena memang RBA ini dirancang bukan hanya untuk adik-adik atau
masyarakat luas, tapi lebih ke pemuda yaitu yang menjalankan. Jadi, diukurnya dari
apa yang sudah kita pelajari. Jadi, di project itu, panitianya belajar apa. Jadi, kalau
misalnya RBA memang nggak cuma buat masyarakat sekitarnya, tapi juga ke
anggotanya sendiri. Jadi, setiap setelah acara ada evaluasi. Nanti, dijelaskan evaluasi
itu masalahnya apa, solusinya apa. Masalah yang dihadapin, solusi yang sudah
dijalankan, atau nanti saran solusi ke depan. Kemudian, pembelajaran yang
didapatkan dan itu yang paling penting.
MP : Laporan-laporan di RBA ini ada apa aja, Mas?
KB : Laporan… kalau project ada laporan kegiatan. Kalau yang awal itu proposal jadi
nggak masuk laporan. Laporan kegiatan project. Habis gitu entar ada laporan akhir
tahun. Kaleidoskop kalau nggak salah itu namanya. Udah itu aja setahuku.
MP : Laporan kegiatan itu termasuk pembelajarannya yang terlibat gitu ya? Tujuannya
dibuat masing-masing laporan ini apa, Mas?
KB : Kalau laporan kegiatan, biar tahu kita belajarnya apa. Pesan-kesan dari masyarakat
itu gimana terhadap project itu. Butuh nggak nanti project lanjutan ataukah project
itu kurang bermanfaat? Kalau nanti butuh, kira-kira bisa diadakan di mana? Terus,
kemudian untuk acara-acara serupa butuh budget berapa biasanya? Terus, habis itu
nanti… [berpikir] bisa buat laporan juga ke donatur karena setiap project kan ada
donaturnya juga. Nanti, berapa yang dipakai? Untuk apa aja? Terus, berfungsi nggak
sih? Bermanfaat nggak sih uangku yang kusumbangin? Apa cuma kaya misal… maaf
nih kaya di BEM. Uangnya ada donatur, misal nih, dibuat pensi kaya gitu. Lihat-
lihat. Itu kan senang-senang, ya. Ya berfungsi sih, tapi nggak bermanfaat. Kaya gini
kan, “Oh ternyata manfaat buat ngerubah generasi masa depan.” Terus, yang kedua
itu laporan akhir tahun, kaleidoskop itu, lebih untuk benar-benar ke masyarakat sama

145
146

ke donatur. Jadi, selama setahun ini, RBA ngapain aja. Biar masyarakat nggak curiga.
Kita dikira sekte sesat atau gimana [tertawa]. Jadi, laporannya kita ngadain ini, ini,
ini. Dananya segini. Terus, selanjutnya segini. Butuhnya uang segini. Terus, kadang
ada juga uang yang bapak/ibu kasih itu dibuat ini ini aja.

146
147

Lampiran 6

Manuskrip Wawancara
Pewawancara/Kode : Meirna Puspita Permatasari / MP
Informan/Kode : Wily Ariwiguna / PN
Posisi Informan : Penasihat Ruang Baca Ruang Belajar Aqil (RBA)
Hari/Tanggal : Selasa, 20 Juni 2017
Waktu : 16.04 – 16.41
Lokasi : Ruang belajar utama, Ruang Belajar Aqil (Jl. Cempaka no. 1 Malang)

Subjek Pertanyaan/Jawaban
MP : Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
PN : Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh.
MP : Ini sih, Bang. Sempat kemarin itu yang saya catat itu ada yang kebermanfaatan dan
kita sebagai manusia kodratnya rahmatan lil alamin. Nah, bermanfaatnya ini sejauh
apa sih seharusnya kita memberikan manfaat sampai itu bisa dikatakan tanggung
jawab sosial?
PN : Iya. Memenuhi kebutuhan. Jadi, mewujudkan manfaat itu berupaya untuk membantu
orang lain untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan cara yang ma’ruf, dengan cara
yang baik sebisa mungkin. Kaya misalkan bicara tentang laporan ke publik. Publik
itu butuh tahu sebenarnya apa kegiatan RBA, kemudian publik yang… masyarakat
yang menjadi donatur, mereka butuh tahu uangnya digunakan buat apa. Terus,
masyarakat yang selama ini terlibat dengan kegiatan RBA. Sebenarnya, RBA
melakukan ini dan itu buat apa? Jadi, dalam konteks memberikan informasi kepada
publik, itu juga sebuah kebermanfaatan. Karena di RBA ini kan kita tidak hanya
berbicara program, tapi juga berbicara pengelolaan [melebarkan tangan].
Pengelolaan kita diupayakan untuk bisa mencapai kondisi bahwa hasil dari
pengelolaan itu bisa berguna buat orang lain dan itu menjadi bentuk tanggung jawab
sosial karena kita hidup di masyarakat. Kita sebagai bagian dari masyarakat. Tidak
ada masyarakat yang menuntut laporan bukan berarti kita tidak wajib melaporkan
[menekankan]. Karena dalam pemahaman saya dan yang saya terapkan di RBA,
tanggung jawab sosial itu adalah sebuah kesadaran, bukan sebuah kewajiban gitu.
Dituntut atau tidak, ya tetap harus dilaporkan. Donatur mau tahu atau tidak, tetap
harus disajikan gitu.
MP : Sebuah kesadaran berarti, Bang?
PN : Iya. Bahwa memang itu diperlukan. Saya sendiri juga, misalnya kalau berbicara
konteks belajar gitu, orang-orang yang saya dampingi ya saya perlu tahu progressnya
seperti apa. Supaya saya kalau mau bantu, saya juga tahu di mana saya menempatkan
diri. Saya yakin juga, masyarakat juga, dengan memperoleh infomasi yang memadai
tentang RBA, kegiatannya, donasinya, apa pun itu yang bisa dilaporkan dan bisa
diketahui, mereka akan tahu bagaimana menempatkan diri. Artinya, kesadaran yang
kita wujudkan, bisa juga mendorong orang lain atau lingkungan sekitar kita untuk
jadi sadar juga. Jadi, awarenessnya terbentuk sebagai salah satu value yang
diperjuangkan oleh RBA. Awareness [menekankan].
MP : Memberi kepedulian kita supaya untuk melaporkan?
PN : Iya. Bahwa ini ada masalah dan kita harus pecahkan. Kita [menekankan]. Bukan
saya, bukan kamu, bukan saya dan kamu, tapi kita.
MP : Dan value di RBA yang biasanya melandasi aktivitas di sini apa aja sih bang
sebenarnya?
PN : Sebenarnya? Ya memang begitu. Sebenarnya kan kesannya ada yang lain, ya
proxynya? Value yang kita wujudkan di sini itu ada tiga [menunjukkan dengan jari].
Yang pertama awareness. Yang kedua learning. Yang ketiga empowerment. Jadi,
dengan kita aware, kita sadar, kita akan mencari jalan untuk memecahkan masalah.
Dan untuk bisa memecahkan masalah, kita harus belajar. Kalau kita sudah belajar,
kita akan berdaya. Dan kita akan memberdayakan orang. Jadi, semisal salah satu
masalah anak muda di sini adalah sulit untuk menetapkan prioritas. Ya, maka saya
beri… apa istilahnya… [berpikir]… stimulus berupa jadwal yang padat. Artinya,

147
148

harus menetapka prioritas, dong? Dan harus disiplin. Belajar [tersenyum]. Dari situ,
karena belajar, akhirnya bisa setidak-tidaknya ngajari temannya yang lain. “Aku dulu
juga gitu kok.” Bisa mendorong masyarakat untuk tepat waktu. Kaya misalnya kita
membiasakan diri, kalau bikin acara gitu, kalau undangannya jam delapan, sebisa
mungkin jam delapan mulai. Selambat-lambatnya delapan lima belas. Jadi, orang
yang diundang pun juga akan membiasakan diri. “Oh, kalau acara di RBA itu mesti
on-time. Selambat-lambatnya itu pasti lima belas menit dan itu benar-benar dimulai.”
Itu kan akhirnya memberdayakan orang juga. Membuat mereka juga perlahan bisa
memecahkan masalahnya sendiri.
MP : Jadi, itu salah satu sebabnya kenapa nilai-nilai itu penting untuk ditanamkan gitu ya,
Bang?
PN : Iya. Iya. Termasuk juga diwujudkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan dalam program
maksudnya, ya. Dan diwujudkan juga dalam pengelolaan dan juga diwujudkan dalam
komunikasi. Laporan-laporan yang kita punya, saat dipelajari oleh orang-orang, ya
mereka belajar sesuatu. Tidak hanya informasi tentang RBA, tidaka hanya tentang
donasi RBA. Bahkan, mereka juga belajar, “Oh, ternyata begini lho, untuk
melaporkan keuangan.” Akhirnya, mereka juga jadi percaya. Jadi, mereka bisa…
misalnya tentang donasi. Mereka jadi tahu. “Oh, ternyata donasinya banyak.” Tapi,
selama ini, mereka (komunitas lain) tidak cukup menyajikan informasi kepada
donaturnya. Sehingga donaturnya mungkin mau bantu, tapi nggak tahu harus bantu
apa.
MP : Terus, saya kan pernah tahu ini, Bang. Waktu itu laporan keuangan bahwa saldo di
akhir itu maksimal sepuluh ribu. Jika bisa, nol. Sebenarnya, kenapa Bang harus
menetapkan nominal segitu?
PN : Ya mengapa nominalnya segitu, ya? Mengapa sepuluh ribu? Belajar dari… karena
itu ditetapkan, kalau saya nggak salah ingat [memejamkan mata, mengingat] per
bulan Juni 2016. Diputuskan pada saat rapat bulan Juni, kalau saya nggak salah ingat,
dengan bendahara. Itu sudah setahun berjalan. Tapi, dalam perjalanannya, memang
kadang berhasil, seringkali masih belum berhasil. Masih sekian ratus (sisanya).
Kenapa sepuluh ribu? Jadi, dari perjalanan bulan-bulan sebelumnya, kita rata-rata
transaksi, kalau menghabiskan… bukan menghabiskan [meralat ucapan]…
menggunakan donasi yang kita terima atau zakat yang kita terima, itu pasti nggak
bulat. Ada kembalian entah seribu, dua ribu, tiga ribu. Maka, akhirnya kita tetapkan
yang logis adalah sepuluh ribu. Itu kaya transaksi listrik, air, internet, kemudian
transaksi administratif kaya fotokopi segala macam. Itu masing-masing kalau rata-
rata dua ribu, tiga ribu, kan ya tercukupi lah sepuluh ribu. Jadi, kita memang nggak
bisa menghabiskan nol. Kecuali di akhir tahun harus nol. Supaya saldo kita bisa
memulai lagi dari awal. Karena prinsip kita kan not-for-profit gitu. Angka sepuluh
ribu itu dari kebiasaan bulan-bulan sebelumnya.
MP : Tadi, kan misalkan dapat donasi. Si donaturnya bilang, “Ini buat operasional.” Ya
sudah, buat operasional. “Ini buat program.” Ya buat program. Pencatatannya
gimana, Bang? Sampai kita tahu bahwa ini dari si A misalkan, ini buat program, ini
buat operasional. Itu gimana mencatatnya supaya kita bisa tahu dan memenuhi akad?
PN : Karena begini, jumlah akun kita kan nggak banyak. Jenis akunnya nggak banyak.
Perputaran transaksinya juga tidak banyak. Maka, kita biasanya pakai keterangan.
Jadi, [menggumam] saya pas nggak pegang sama sekali [sambil mencari catatan].
Jadi, masuknya berapa, dari siapa, biasanya keterangannya sama. Kemudian, buat
apa. Nah, itu nanti akan disetor ke bendahara. Jadi, misalnya lewat saya, lewat
sekretaris, atau lewat siapa pun itu selalu jelas. Informasi jelas. Nah, nanti dikelola
di bendahara. Nah, bendahara ini punya sistem sendiri untuk mendeteksi ini uang
buat apa, dari mana, jumlahnya berapa, kapan harus dibayarkan, kapan harus ditagih.
Itu sudah ada, sudah diatur. Tapi, dalam pencatatannya sih, tetap namanya shadaqah,
zakat. Cuma di kolom keterangannya ada tambahannya.
MP : Itu memang buat bendahara?
PN : Iya, buat bendahara. Di laporan bulanan pun juga nggak ada karena itu masuknya ke
akad antara donatur dengan kita sebagai pengelola.

148
149

MP : Berarti, tanggung jawab sosial itu juga bagaimana kita memenuhi akad kita dengan
donatur?
PN : Iya. Dan sebenarnya donatur nggak bisa ngecek. Nggak bisa ngecek dalam artian
mereka tanya, ya kita kasih keterangan. Tetapi, benar-benar tahu ini dari mana segala
macam, ya mereka harus nanya. Dan biasanya, selama ini, mereka nggak ngurus.
Jadi, lebih pada percaya dengan kita.
MP : Terus, berarti tadi kan udah ada kaya pencatatan, kemudian alokasi masing-masing
donasi itu untuk apa. Berarti di sini akuntansi juga punya peran ya, Bang, supaya bisa
memberikan informasi yang tepat ke donatur?
PN : Oh iya. Iya walaupun memang kita tidak menggunakan sistem pencatatan yang rumit
karena memang kebutuhannya belum sampai ke sana dan pelaku atau pelaksana
pencatatannya bukan yang backgroundnya akuntansi. Tapi, intinya, kita memastikan
bahwa pencatatan ini berjalan. Kemudian, bisa memberikan informasi. Baru di akhir,
yang laporan tahunan itu, kita berusaha untuk sebisa mungkin lah nampak seperti
laporan keuangan. Walaupun mungkin ya nggak masuk standar mana-mana.
Kembali karena kebutuhannya belum seperti itu.
MP : Terus, laporannya juga diaudit ya Bang? Mbak Tika (relawan ahli) itu yang ngeaudit.
Kenapa… maksudnya kan sebenarnya nggak ada standar tertentu yang harus diikuti.
Jadi, sebenarnya nggak harus diaudit pun nggak apa-apa. Ya udah gitu. Tapi, kenapa
akhirnya memutuskan laporan ini harus diaudit?
PN : Audit itu kemarin kita putuskan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas laporan
ya jelas. Meningkatkan validitasnya. Karena begini, yang mengerjakan itu bukan
orang-orang yang memang punya background akuntansi who is itu adalah Mas Bian
dan saya. Walaupun saya memang punya background. Saya mampu lah mengelola
keuangan. Manajemen keuangan itu saya ngerti. Tapi, untuk laporan kan berbeda
ceritanya. Nah, kami butuh second opinion terhadap laporan ini, baik kontennya
maupun laporannya.
MP : Dan karena memang nggak ada standar tertentu yang dijadikan patokan, ya. Terus
waktu ngeaudit itu, auditornya ini mengacu pada apa, Bang? Langsung pada
prinsipnya akuntansi?
PN : Prinsipnya jelas kaya transparansinya, konsistensinya, validitasnya gitu. Dan
kembali yang terpenting adalah bagaimana laporan ini bisa dimanfaatkan. Sudah
jelas apa belum? Sudah bisa dipahami apa belum? Sudah bisa menggambarkan
aktivitas keuangan atau belum? Itu sih.
MP : Biasanya kalau kita mengaudit kan ada certain rules yang harus disesuaikan. Certain
standards. Misalnya kalau dia nggak memenuhi ini…
PN : Nggak masalah. Kita nggak ngikuti itu karena kembali kebutuhan kita belum ke sana
dan pengguna laporan kita juga nggak membutuhkan yang seperti itu. Biasanya,
fokus pertanyaan donatur atau stakeholder siapapun yang kami kasih laporan itu,
pertanyaannya, “Kok saldo akhirnya nol? Terus kenapa setiap bulan harus sepuluh
ribu?” Pertanyaannya seputaran itu. Selebihnya nggak ada pertanyaan. Paling
kalaupun ada pertanyaan tambahan itu seputar alokasi. “Kok yang besar adalah sewa
rumah?” karena di 2016 kan kita bayar sewa rumah dua tahun.
MP : Dan biasanya untuk pencarian donasi, itu tanggung jawabnya masing-masing PJ
project? Untuk melaporkan. Dan apakah laporan itu juga berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan untuk project selanjutnya?
PN : Iya. Kaya misalnya gini, pernah untuk satu project, panitianya karena relawan baru,
mereka mengajukan (budget) sampai sembilan ratus sekian. Terus, ya sederhananya
ekspresi kami ya ketawa. Masa project kaya gini aja butuh sekian banyak? Terus ya
akhirnya kita tunjukkan contohnya. Ada item-item yang nggak diperlukan akhirnya
bisa dihilangkan. Sudah gitu aja? Ada lagi?

149
150

Lampiran 7

Transkrip Wawancara
Pewawancara/Kode : Meirna Puspita Permatasari / MP
Informan/Kode : Athya Candra / AC
Posisi Informan : Kolaborator Ruang Belajar Aqil (RBA)
Hari/Tanggal : Rabu, 13 September 2017
Waktu : 14.30 – 14.45
Lokasi : Ruang Baca, Ruang Belajar Aqil (Jalan Cempaka no. 1 Malang)

Subjek Pertanyaan/Jawaban
MP : “Mbak itu selama berdirinya RBA, Mbak pernah ikut kegiatan RBA apa aja?”
AC : Kalo RBA, workshop ya, yang paling baru mind map itu. Yang paling latest itu
mind map. Tapi, so far aku... waktu RBA masih di topping, itu aku juga udah...
bukan ikut kegiatannya. Sudah regularly donate gitu. Terus, kalau acara, paling
yang kaya 17an... yang gitu-gitu. Nggak yang ikut gimana. Paling baru ikut yang
serius itu yang workshop kemarin. Biasanya cuma ikut yang main-main sebagai
undangan biasanya.
MP : Nah, kalau misalnya Mbak lihat kegiatannya RBA yang kaya gitu, menurut
Mbak impactful nggak sih kegiatan RBA?
AC : Ke siapa?
MP : Ya ke Mbak sebagai peserta
AC : Oh. Kalau ikut program dari sini pasti berimpact. Kenapa? Karena ilmunya
aplikatif. Jadi, bisa diaplikasikan di setiap aspek kehidupan ya. Kaya misalnya
mind map kemarin kan, pada dasarnya dia ngajarin berpikir secara urut. Berarti
kan... proses berpikir kan kita macam-macam ya. Entah itu di warung, entah itu
apa. Kan jadi kebiasaan. Contohnya kaya gitu. Kalau impactnya RBA ke society,
makin ke sini kan makin kelihatan. Kaya buku gitu. Ada yang bukunya
dipijamin dari satu TBM ke TBM lain kan. Ya berarti dia bisa ngasih manfaat
ke society gitu.
MP : Berarti sejauh ini kegiatannya Mbak nilai impactful ya?
AC : Kalau selain dari kegiatan RBA sendiri... kalau aku kan maksudnya main sama
Mas Wily (penasihat) kan dari tahun 2005 sampai sekarang. Jadi, berapa tahun
itu udahan? 12 tahun ya? 12 tahun mengenal Mas Wily dan berbagai hal yang
diajarkan itu impactful. Kaya dulu waktu di KRS, yang diajarkan adalah
kedisiplinan. Terus komitmen, nggak gampang menyerah. Buat anak mahasiswa
pada umur sekian, untuk committed bikin skripsi dari jam 9 sampai jam 5 sore,
itu adalah komitmen yang besar karena banyak hal yang kita nggak bisa lakukan.
Kaya nggak bisa main, nggak bisa jajan-jajan makan-makan. Frankly speaking,
pada waktu aku bikin skripsi itu aku lost contact sama teman-teman. Dan
ternyata memang tidak semua orang itu ditakdirkan untuk terus kontak sama
kita. Jadi, ada memang tali-tali yang harus... bukan diputus ya... nggak raket
terus gitu. Jadi, kita prioritas ke kumpulan yang mana gitu. Itu kan gede
maksudnya itu adalah komitmen yang besar ketika, “Ini nih, si Athya nih nggak
pernah muncul. Sok serius banget bikin skripsi. Kaya gitu kan juga komitmen
yang besar untuk anak umur segitu pada waktu itu. Yang berimpact ke hidupku
itu. Jadi fokus. Susah lho dan benar sampai kemarin ngajar pun, aku ngajarin
mahasiswaku untuk fokus, prioritas, berpikir secara urut, itu mereka keteteran
ngadepin yang kaya gitu. Begitu diajarin, “Gini lho cara berpikirnya. Dari A ke
B ke C ke D.” Mereka baru terbuka. “Oh, ternyata gampang ya, Bu, kalau kita
mikirnya urut, detail.” Ya gampang. Tapi kan proses menuju itu kan nggak
semua orang maunya urut ya. Karena kalau urut kan ada tahapan pertama, kedua.
Kan nggak semua orang punya kesabaran untuk bertahap. Mereka kan maunya
cepat selesai. Itu besar, lho, untuk mahasiswa itu pertarungan yang besar. Dan
setelah selesai skripsi, selesai thesis juga, thesis itu udah nggak terlalu susah lagi
untuk berkomitmen. Biasa aja karena udah pernah, kan? Terus bikin warung,
segala macam. Itu kerasa banget. Ketika di awal, warung itu sepi banget. Bahkan

150
151

sekarang warung juga sedang menyesuaikan dengan konsumen baru jadi rada
struggling. Menyerah itu gampang. Sama kaya skripsi atau thesis. Menyerah itu
gampang banget. Cuma, bukan itu. Kita kan udah kuliah berapa tahun. Kalau
kamu menyerah karena skripsi kan... perjuangan kamu sekian tahu kan... gitu
lho [mengangguk]. Jadi, being committed is a big deal. Itu kebawa sampai kamu
udah kerja di perusahaan tertentu. Kamu pasti punya pressure kan, dari bos atau
apa. Target segala macam. Kamu kalau di sini kan udah diajarin. Misalnya, bab
I selesai kapan? Bab II selesai kapan? Nanti presentasi. Itu lho nanti bakal
kepakai pas sudah kerja.
MP : Terus, Mbak kan juga pernah donasi. Mbak pernah tahu reportnya RBA kaya
gimana? Pernah dikasih lihat nggak?
AC : Aku nggak pernah minta, sih. Aku ngasih aja. Tapi, aku tahu misal kemarin
donasi buat ngirim buku dari PGN ke sini. Aku donasi untuk project itu. Jadi,
aku tahu bukunya udah nyampe sini. Berarti donasiku juga berperan. Terus,
program buku anak itu ada wujudnya, kan? Memang aku nggak baca report.
Kalau aku minta, pasti akan dikasih. Tapi aku nggak minta. Cuma aku sering ke
sini jadi tahu buku anaknya memang benar berjalan. Karena porsi donasinya
nggak banyak-banyak banget jadi aku pribadi juga nggak masalah.
MP : Tapi seenggaknya Mbak udah ngelihat buktinya?
AC : He-eh [mengangguk]. Emang ada gitu.
MP : Kalau misalkan kaya buku PGN atau buku anak, itu pengelola RBA ngefoto
gitu. Difotoin kalau udah sampai atau gimana ngabarinnya kalau donasinya
memang...
AC : Iya sih. Aku memang main ke sini. Pas lihat gitu.
MP : Dan misalkan Mbak lihat itu RBA sudah cukup bertanggung jawab nggak untuk
mengelola donasi dari Mbak? Dan itu sesuai nggak dengan akadnya? Ibaratnya
Mbak ngasih sekian. Itu harusnya diperuntukkan untuk apa? Itu beneran
dijalanin atau nggak?
AC : : Malah kalau aku ngelihat, aku mikirnya kalau untuk buku anak tuh, aku pikirnya
bakal dibeliin buku diskonan karena waktu itu ada diskon buku Islam atau apa
gitu ya. Kupikir bakal dibeliin buku kaya gitu. Ternyata, malah dibeliinnya buku
yang bagus, kan? Yang bagus banget. Jadi, ya ternyata malah melebihi
ekspektasi. Kaya PGN itu kan juga melebihi ekspektasi. Bukunya sebanyak itu.
Senang lah kalau ternyata donasi yang nggak seberapa itu bisa bermanfaat untuk
RBA dan orang lain.
MP : Berarti selama ini bentuk reportnya belum pernah lihat?
AC : Belum pernah lihat
MP : Dan Mbak bisa sampai sepercaya itu gimana, Mbak?
AC : Soalnya udah tahu. Udah kenal Mas Wily dari tahun 2005. Aku tahu kalau dia
orangnya sangat teliti ya. Bikin report pasti rinci sekali. Dan bahkan sampai
yang buku anak dibeliin yang bagus kan berarti dia sangat memikirkan orang
lain dan orang yang berdonasi itu.
MP : Oke. Saya rasa cukup. Terima kasih Mbak Athya atas kerjasamanya.
AC : Sama-sama.

151
152

Lampiran 8

Transkrip Wawancara
Pewawancara/Kode : Meirna Puspita Permatasari / MP
Informan/Kode : Kartika Putri Kumalasari / AU
Posisi Informan : Dosen FIA UB / Internal Auditor Ruang Belajar Aqil (RBA)
Hari/Tanggal : Rabu, 13 September 2017
Waktu : 18.30 – 19.00
Lokasi : Melalui Telepon

Subjek Pertanyaan/Jawaban
MP : Halo, Mbak. Ini kan aku ambil data buat skripsi ini dari yang pernah baca
laporan RBA. Mbak pernah ya?
AU : Laporan RBA kaya gimana maksudnya, Mei?
MP : Laporan kaya laporan tahunan, laporan kegiatan, laporan pembelajaran. Nah,
kalau Mbak pernah baca laporannya itu, kalau menurut Mbak Tika itu udah
cukup informatif nggak sih Mbak kalau sesuai akuntansi?
AU : Gini, sepehamanku kalau tentang RBA, aku juga pernah terlibat untuk membuat
acaranya, Terus pernah membantu sedikit untuk melakukan pengawasan untuk
laporan keuangan. Yang dilakukan adalah so far so good. Artinya so good
adalah sesuai dengan tujuan awal si RBA ini. Kalau tadi aku bilang bahwa
akuntansi sosial yang dilakukan CSR dan perusahaan itu mereka adalah sebuah
branding, kalau di RBA adalah they are living their goals. Jadi tujuannya
memang untuk memberikan kontribusi yang baik terhadap masyarakat. Dan itu
adalah arti dari interaksi secara sosial itu seperti itu. Based on value, ya.
MP : Oh ya Mbak waktu itu aku sempat tanya ke Abang (Wily Ariwiguna – Founder)
sesuai laporan... kalau di akuntansi kan GRI atau standar tertentu yang harus
diikuti. Nah, kalau di RBA kan ya udah sesederhana mungkin. Waktu aku tanya
Abang ada atau nggak standarnya. Standarnya ya kebutuhan masyarakat kaya
gimana. Jadi, daripada nyusun sesuai standar akuntansi yang ribet tapi
masyarakatnya malah nggak ngerti, jadi ya disajikan sesederhana mungkin. Itu
kalau menurut Mbak Tika gimana?
AU : Kalau menurutku gini. Akuntansi itu kan dia teknik ya, Mei. Dia kan cara. Ilmu
yang mempelajari cara. Artinya adalah cara itu tidak melulu sesuai dengan
standar tapi sesuai dengan tujuannya mau apa. Akuntansi secara artian luas
adalah dia itu lebih fleksibel karena dia sebagai cara aja. Nah, kenapa sih tahu-
tahu muncul tentang GRI? Kalau kamu baca lagi, GRI itu kan ngomong tentang
aktivitas sosial yang dilakukan oleh perusahaan kan sebetulnya. Artinya adalah
GRI itu adalah mengatur suatu tempat yang basisnya adalah profit. Bagaimana
sih caranya perusahaan ini membagikan sebagian profitnya ke masyarakat. Ini
pengaturannya seperti itu. Tapi, kalau RBA kan beda [menekankan]. Tujuannya
adalah berkontribusi langsung pada masyarakat tanpa ada profit. Iya kan?
MP : Benar.
AU : That is why kalau pakai GRI itu nggak bisa. Terlalu rumit. Sedangkan RBA
adalah organisasi yang sederhana, tujuannya sudah jelas, tapi aktivitasnya
kompleks. Kenapa kompleks? Karena fokusnya kepada masyarakat. Kalau kita
berfokus kepada masyarakat, Mei kan sudah sering terlibat di beberapa aktivitas
RBA kan? Kalau kita lihat pada kebutuhan masyarakat kan banyak banget dan
beragam. Udah gitu perputarannya sangat cepat. Lha kalau standar yang dipakai
sangat rumit, kira-kira pembuatan laporannya bisa tepat waktu nggak?
MP : Nggak sih.
AU : Nah, nggak. Karena sebenarnya tujuan adanya laporan akuntansi sosial kan
supaya orang-orang yang berkepentingan dengan RBA itu paham tentang
aktivitasnya apa aja, habisnya (dana) berapa, siapa orang-orangnya. Selama
kualitas informasinya baik, diterima, orang-orang paham, maka selesailah. Itu
sebetulnya.

152
153

MP : Oke. Berarti di RBA itu intinya kan gimana caranya laporan ini bermanfaat buat
masyarakat gitu ya?
AU : Hmmm iya. RBA itu tahu persis sebetulnya fungsi laporan itu buat apa karena
kan laporan di sini artinya mendeskripsikan apa yang sudah dikerjakan.
Makanya bentuknya adalah laporan kegiatan disertai dengan laporan keuangan.
Means that laporan keuangan adalah supporting data. Karena dia sebagai
supporting data, artinya adalah pembuatannya tidak terlalu rumit karena sesuai
dengan aktivitasnya. Nah, balik lagi ke pertanyaanmu apa?
MP : Yang ini tujuannya laporan untuk bermanfaat ke masyarakat gitu.
AU : Iya. Supaya nanti laporannya bisa dipahami. Kalau validitas eksternalnya dia
bisa dipahami dan validitas internalnya sudah ada beserta validitas konstruknya
kan, selesai. Artinya adalah laporan itu bisa dipahami sehingga bisa memberikan
manfaat. Contoh manfaatnya apa nih? Bagi beliau-beliau yang sebagai donatur
kan paham. Oh ternyata uangnya dibuat seperti ini dan ini sehingga kalau
memang beliau-beliau berkehendak jadi donatur lagi itu tahu aliran uangnya itu
dibawa ke mana aja selama ini. Karena apa? Karena informasi yang sekompleks
itu bisa disederhanakan. Jadi, tantangannya buat RBA adalah melakukan
simplifikasi informasi baik untuk laporan keuangan dan laporan kegiatan. Itu
yang pertama. Yang kedua bagi beliau-beliau yang... aduh apa istilahnya
[mengingat]... yang memberikan dana nanti dikembalikan lagi. Itu apa namanya,
Mei?
MP : Donasi manfaat tunai.
AU : Iya itu maksudnya. Orang-orang itu akan paham “Oh ternyata cara
mengembalikannya seperti ini.” “Oh ternyata aktivitasnya seperti ini.”
Informasinya transparan gitu, lho. Terus, yang perlu dipahami juga begini.
Orang yang pakai informasi keuangan RBA itu kan tidak semua paham
akuntansi, ya? Jadi, tantangannya tadi adalah membuat itu menjadi simple
supaya apa? Supaya beliau-beliau yang tidak memahami akuntansi dengan baik
itu tahu cara bacanya gimana. Yang kedua adalah tidak selamanya RBA itu
bendaharanya atau yang membuat laporan keuangannya paham akan akuntansi.
Nah, kalau dibuat ribet sesuai dengan GRI, kira-kira yang ngebuat laporan mau
nggak ngebuat? Dengan aktivitas yang segitu banyaknya, segitu cepatnya,
donasi yang bisa barang bisa uang, dengan jumlah masyarakat yang segitu
banyaknya. Pasti dia nggak mau ngebuat. Bukan karena nggak bisa tapi nggak
tahu harus mulai dari mana ngebuatnya karena pakai GRI itu susah. Itu sih
sebetulnya. Jadi, perlu dikembalikan lagi kepada prinsipnya akuntansi. Kan
kalau kita belajar akuntansi paham ya. Sebenarnya akuntansi itu adalah kegiatan
untuk mencatat, mengikhtisar, dan melaporkan. Selama ketiganya ini terpenuhi,
sudahlah.
MP : Oke. Berarti memang nggak diperlukan ya standar yang rumit seperti itu?
AU : Kalau memang tidak dibutuhkan dan tidak sesuai dengan kegiatan RBA ya
nggak perlu. Justru, menurut aku bahkan ini menjadi peluang penelitian untuk
akuntansi sosial lainnya. Bahwa perlu juga dibuat mekanismenya kaya gimana
sih? Supaya orang-orang tahu kalau akuntansi sosial itu nggak melulu tentang
CSR lho. Kalau akuntansi sosial dilakukan di komunitas tertentu kaya RBA atau
TBM lainnya itu malah banyak banget potensi untuk ngebuat laporan akuntansi
sosialnya. Dan for sure mereka butuh itu. Bukan untuk eksistensi kegiatan
mereka ya. Kita juga sama-sama tahu kalau RBA nggak butuh eksistensi. Tapi,
RBA perlu untuk melaporkan kepada stakeholder yang berkaitan dengan RBA
ini. Supaya mereka percaya. Kalau pun ada orang lain yang ingin tahu laporan
itu ya itu bonus. Tapi, fokusnya laporan itu kan adalah memberikan informasi
ya supaya transparan, supaya orang paham. Contohnya ada donatur A yang dia
jarang banget ke RBA tapi beliaunya mau untuk memberikan sumbangan ke
RBA. Kan beliau nggak tahu aktivitasnya di RBA gimana. Nah, RBA sebagai
organisasi yang menerima seperti itu perlu untuk memberikan laporan bahwa
sudah dilakukan begini begini.

153
154

MP : Berarti secara kriteria sudah cukup memenuhi ya? Kaya mudah dipahami,
relevan, gitu-gitu
AU : Iya. Justru menurutku laporan yang dibuat sama RBA itu, selain mudah
dipahami, yang kedua dia bentuknya unik karena informasinya efektif dan
efisien gitu. Nggak kaya laporan keuangan yang biasa kita tahu ya. Kaya harus
ada akun ini itulah. Nggak perlu karena memang mereka nggak butuh itu. Atau
ada yang membuat laporan keuangan yang kompleks sampai pada perubahan
modal atau sampai pada aliran kasnya. Nggak perlu. Kenapa? Karena semua
informasi itu sudah ada di laporannya RBA itu. Maksudnya itu yang nggak
dilakukan secara terpisah ya. Kan kalau kita belajar laporan keuangan kan
dipisah tuh antara yang laba rugi, perubahan modal, neraca, arus kas, CALK. Itu
kan semua dipisah pada sheet yang berbeda. Kalau di RBA bagusnya adalah
mereka tidak memisah sebanyak itu. Coba kamu cek lagi
MP : Iya cuma pemasukan, pengeluaran. Simple.
AU : Dan orang bisa paham itu kan? Tahu nggak kenapa orang jadi paham?
MP : Karena... logikanya masuk
AU : Yang membuat logikanya masuk apa?
MP : Susunannya... atau gimana?
AU : Oke. Susunan informasinya orang mudah paham. Mereka sangat-sangat tahu
bagaimana kondisi membaca seseorang, secara psikologis itu memang ada.
Tapi, yang terpenting adalah, coba kamu cek. Saldo mereka tidak pernah lebih
dari sepuluh ribu atau berapa gitu. Selalu ngepress. Karena memang mereka
melakukan banyak hal. Terus, akun-akun yang mereka laporkan juga nggak
yang sangat detail banget. Iya nggak? Tapi mereka bisa melaporkan itu dengan
sangat baik dan itu konsisten dan itu valid. Gitu.
MP : Oke siap. Terima kasih, Mbak Tika. Sangat menjawab.
AU : Siap. Silakan berkabar kalau ada yang perlu dibantu.

154
155

Lampiran 9
Catatan lapangan #1
Situs : Ruang Belajar Aqil
Hari/tanggal : Senin, 29 Mei 2017
Waktu : 07.30 – 08.15

Peneliti sedikit terlambat saat tiba di situs penelitian yaitu Ruang Belajar Aqil
(RBA). Saat itu, kegiatan program Kelompok Riset Sahaja+ (KRS+) di Ruang Belajar Aqil
(RBA) baru saja dibuka dengan doa bersama. Kegiatan berlangsung di ruang belajar utama.
Dinding ruangan dihiasi kata-kata bijak yang dibingkai dengan pigura. Tujuan penempatan
kata-kata tersebut di dinding ruangan adalah untuk menyemangati mahasiswa anggota
KRS+ dalam menyelesaikan penelitiannya.
Bagian samping pigura tersebut diisi dengan kalender yang ditempeli penanda
proyek sosial RBA selama satu bulan. Sementara, beraneka ragam kamus dan buku-buku
penelitian diletakkan di sudut meja-meja yang ditata mengelilingi ruangan. Meja mentor
berada di bagian belakang ruangan dengan satu kursi untuk mentor dan dua kursi untuk
tamu atau anggota yang hendak berkonsultasi. Di dinding dekat meja mentor terdapat
kertas-kertas yang ditempel pada sebuah papan gabus. Kertas-kertas tersebut berisi
informasi jadwal piket anggota, jadwal piket menjaga ruang baca, pekerjaan yang
dilakukan anggota saat piket, jadwal presentasi, alokasi waktu presentasi, dan ketentuan
relawan.
Para anggota program KRS+ duduk mengelilingi ruangan di kursi masing-masing.
Selain anggota program KRS+, pihak yang berada di ruangan tersebut adalah mentor dan
penasihat RBA. Pihak lainnya adalah dua orang co-mentor yang merangkap sebagai
pengelola. Mentor duduk di ujung ruangan untuk memberikan ilmu dan nasihat atau
menjawab pertanyaan dari para anggota program KRS+.
Topik yang mengawali diskusi pagi itu adalah tinjauan kembali kegiatan RBA
yang berlangsung di minggu sebelumnya yaitu hari ulang tahun pertama Forum
Komunikasi Taman Baca Masyarakat (FKTBM) Malang Raya. Dari tinjauan tersebut,
peneliti mendapatkan informasi bahwa sempat ada misinformasi mengenai penyebaran
kuesioner evaluasi peserta saat acara berlangsung. Mentor mengingatkan para anggota
KRS+ akan pentingnya menyebarkan kuesioner evaluasi peserta karena hal tersebut adalah
salah satu bentuk pertanggungjawaban.
Pembahasan mengenai tanggung jawab diperdalam lagi melalui hubungannya
dengan akad. Akad berarti perjanjian yang melibatkan pemenuhan hak dan kewajiban di

155
156

antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, setelah ber-akad, tanggung jawab masing-
masing pihak harus dipenuhi secara konsekuen.
Hal berikutnya yang disampaikan adalah penggantian metode pemilihan
penanggung jawab proyek sosial. Peneliti mendapatkan informasi bahwa selama ini
terdapat sistem mengajukan diri bagi mereka yang ingin menjadi penanggung jawab proyek
sosial. Namun, setelah diadakan rapat pengelola pada tanggal 27 Mei 2017, pengelola
menyepakati untuk menggunakan sistem penunjukan penanggung jawab. Pergantian sistem
tersebut menyesuaikan dengan konsep amanah yang lebih baik diberikan daripada dikejar.

Anggota KRS+ di ruangan tersebut memerhatikan dengan baik setiap penjelasan


yang disampaikan oleh mentor. Sesekali, peserta tertawa ketika mentor mengeluarkan
candaan dan ekspresi yang jenaka. Selagi sesi diskusi berlangsung, tak jarang ada anggota
yang mencatat poin-poin pembelajaran yang mereka peroleh.
Setelah diskusi selesai, anggota dipersilakan melanjutkan aktivitas masing-masing.
Beberapa anggota duduk menghadap laptop untuk menuliskan penelitian. Ada anggota
yang beranjak ke musholla untuk melaksanakan sholat Dhuha. Ada pula anggota yang
meminta izin untuk menjalankan aktivitas bimbingan penelitian di kampus.

156
157

Lampiran 10
Catatan Lapangan #2
Situs : Ruang Belajar Aqil
Hari/Tanggal : Rabu, 31 Mei 2017
Pukul : 07.30 – 08.30

Hari ini peneliti tiba tepat ketika pembukaan kegiatan hari ini akan dimulai. Para
mahasiswa anggota program KRS+ duduk melingkar dan saling berhadapan sebagai tanda
akan dibukanya kegiatan. Peneliti sendiri duduk di kursi di bagian belakang ruangan karena
desk tag penanda tempat duduk peneliti diletakkan di sana. Seperti biasa, mentor duduk di
sudut depan ruangan menghadap ke arah peserta diskusi.
Diskusi diawali dengan doa bersama dan beberapa pengumuman terkait kegiatan
hari itu. Setelah pengumuman selesai, satu demi satu anggota KRS+ mengajukan
pertanyaan. Prasangka adalah pertanyaan pertama yang didiskusikan. Sembari duduk
tenang di kursinya, mentor menjelaskan bahwa prasangka adalah sesuatu yang tidak pasti.
Oleh karena itu, berprasangka baik adalah sesuatu yang harus dilakukan.
Topik kedua yang didiskusikan adalah ilmu. Mentor menjelaskan bahwa sebaik-
baiknya ilmu adalah ilmu yang diamalkan dan diajarkan. Hal itulah yang berusaha
diwujudkan oleh Ruang Belajar Aqil (RBA) melalui aktivitas literasi. Mentor melihat
adanya kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang tidak selalu terpenuhi oleh lembaga
pendidikan formal. Itulah yang menjadi latar belakang didirikannya program KRS+ sebagai
cikal bakal RBA. Kegiatan yang dilakukan bersifat sosial dengan berlandaskan konsep
rahmatan lil alamin (menjadi rahmat atau bermanfaat bagi semesta alam). Selagi berbicara,
sesekali mentor menggunakan Bahasa Jawa untuk menyebutkan beberapa istilah.
Topik berikutnya yang dibahas adalah tentang berbuat baik. Terdapat nasihat yang
menyebutkan bahwa kebaikan harus segera dilakukan sejak terlintas di benak pertama kali.
Hal tersebut akan mudah dilakukan dengan cara menjaga kesadaran, membiasakan, dan
melandasi perbuatan dengan keikhlasan. Berbuat kebaikan dengan ikhlas mengajarkan
manusia untuk tidak memandang segala sesuatu dari ukuran material semata. Segala jenis
sumber daya yang kita keluarkan sebaiknya tidak selalu dihitung secara materi. Begitu pula
dengan pengembalian (return) yang tidak selalu berupa materi yang dapat dihitung. Salah
satu jenis pengembalian yang berharga dan tidak dapat diukur secara materi adalah
pembelajaran.
Diskusi berakhir saat waktu menunjukkan pukul 08.30. Mentor menutup diskusi
dan mempersilakan anggota KRS+ melanjutkan aktivitas masing-masing. Para anggota

157
158

mengubah posisi duduknya menghadap laptop masing-masing dan mentor kembali ke


tempat duduknya di ujung belakang ruangan.

Lampiran 11
Catatan lapangan #3
Situs : Ruang Belajar Aqil
Hari/tanggal : Sabtu, 10 Juni 2017
Waktu : 13.00 – 14.30

Rapat pengelola kedua di bulan Juni kembali dilaksanakan hari ini. Bertempat di
ruang belajar utama, para pengelola duduk melingkar untuk membentuk forum. Semua
pengelola hadir kecuali koordinator yang sedang memiliki urusan penting di kampus.
Sekretaris kembali bertugas menjadi notulen yang mencatat hasil rapat pada selembar
kertas dengan format khusus.
Seperti biasa, rapat pengelola berfungsi sebagai sarana penyampaian kabar terbaru
dan pembahasan rancangan program di bulan Juli-Agustus 2017. Kabar terbaru RBA
disampaikan oleh penasihat. Kabar tersebut antara lain CPU yang telah diperbaiki dan bisa
digunakan untuk labeling buku, terlaksananya kegiatan RBA pada minggu ini (workshop
kolase, buka bersama, dan Pondok Ramadhan), dan grup WhatsApp pengelola yang sudah
berfungsi.
Kabar mengenai kegiatan RBA Berbagi disampaikan oleh penanggung jawab
kegiatan. Saat ini jumlah uang donasi di tangan sebesar Rp 7.870.000,00 namun belum
seluruhnya dibelanjakan. Jumlah sementara paket donasi alat shalat untuk anak yatim yang
terbeli sebanyak 40 paket. RBA juga baru saja menerima donasi berupa alat tulis yang telah
dibungkus sebanyak 80 paket. Paket donasi alat tulis akan disalurkan melalui kolaborator
(GPAN) dan kepada anak yatim yang berdomisili di sekitar RBA. Untuk memperlancar
proses penyaluran, Penasihat telah meminta data anak yatim kepada penggerak PKK RW
IX dan IV Kelurahan Lowokwaru.
Pembahasan singkat mengenai kegiatan Halal Bi Halal pada tanggal 2 Juli 2017
dilakukan sebelum bendahara melaporkan kondisi keuangan RBA saat ini. Halal Bi Halal
nantinya akan mengundang kolaborator, alumni, dan relawan.
Agenda beralih ke update informasi oleh bendahara mengenai kondisi keuangan
RBA. Bendahara melaporkan bahwa saat ini uang yang sedang dipegangnya (cash on hand)
sejumlah Rp 1.300,00. Ia juga menginformasikan bahwa baru saja menerima donasi

158
159

sebesar Rp 100.000,00. Nama donatur tidak disebutkan untuk menjaga akad dengan
donatur yang ingin identitasnya dirahasiakan. Donasi tersebut dialokasikan untuk
membiayai keperluan RBA yang belum terpenuhi. Untuk menyampaikan informasi kondisi
keuangan dengan lebih jelas, Bendahara memberikan secarik kertas berisi informasi
pemasukan dan pengeluaran di Bulan Mei 2017. Kemudian, ia menjelaskan bahwa uang
bulanan yang diterima dari donasi digunakan untuk membayar tagihan listrik, air, dan
internet, serta untuk pelunasan cicilan Donasi Manfaat Tunai (DMT). Sementara itu, masih
ada beberapa catatan pemasukan dan pengeluaran yang belum tercatat pada laporan yang
diberikan. Perihal operasional, selama dua bulan terakhir pengeluaran RBA yang bersifat
operasional telah dibayar menggunakan sisa donasi project.
Pembicaraan seputar donasi masih berlanjut. Program seribu buku anak telah
memperoleh donasi sebanyak Rp 2.944.250,00. Sebanyak Rp 1.000.000,00 dari donasi
tersebut tengah dipinjamkan kepada project RBA Berbagi. Dengan demikian, saldo donasi
RBA Berbagi menjadi sejumlah lebih dari Rp 8.000.000,00. Selanjutnya, sekretaris
mengumumkan bahwa masih banyak laporan project yang belum terkumpul untuk rentang
waktu Januari-Juni 2017.
Pembahasan keuangan berakhir. Kini, saatnya beranjak ke pembahasan program.
Beragam agenda project di bulan Juli dan Agustus mulai dibahas satu per satu. Beberapa
program seperti Halal bi Halal, Virtual Sharing, Language and Culture Fair, dan Science
Fair direncanakan akan hadir sekitar bulan Juli-Agustus 2017. Sesekali sekretaris tampak
menempelkan kertas berisi agenda RBA di kalender besar yang ada di ruang belajar utama.
Terakhir, penasihat menyampaikan update mengenai perpustakaan keliling yang
diberi nama Mobil Literasi dan Diseminasi Aqil (Molidi). Program tersebut kini telah
mendapatkan donasi karoseri. Sementara, Perusahaan Gas Negara (PGN) merencanakan
untu memberikan donasi buku untuk ruang baca. Saat ini, rencana tersebut sedang
menunggu persetujuan salah satu pejabat di PGN. Rapat pun diakhiri dengan pembacaan
notulensi hasil rapat.

159
160

Lampiran 12
Catatan Lapangan #4
Situs : Ruang Belajar Aqil
Hari/Tanggal : Rabu, 14 Juni 2017
Pukul : Selama kegiatan KRS + (07.30 – 15.00)

Seperti biasa, kegiatan program KRS+ dibuka oleh mentor. Segera setelah
membuka kegiatan, Mentor memberikan kesempatan bagi anggota KRS+ untuk
mengajukan pertanyaan. Pertanyaan pertama adalah mengenai riba yang berpotensi
merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat. Hal tersebut dibenarkan oleh mentor yang
sebelumnya memberikan penjelasan bahwa riba adalah salah satu bentuk pertambahan nilai
yang mengakibatkan kerugian bagi pihak yang menanggungnya.
Di sela-sela pembahasan tersebut, mentor menyelipkan pembahasan mengenai
pentingnya akad atau perjanjian dalam interaksi kehidupan. Akad akan memperjelas siapa
saja pihak yang terlibat, apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak, kapan
perjanjian tersebut berlaku, berapa jumlah transaksi yang disepakati, dan lain sebagainya.
Kejelasan akad sebagai landasan dalam berinteraksi turut dipraktikkan dalam kegiatan
operasional RBA. Mentor memberikan contoh saat seorang mahasiswa datang untuk
bergabung dengan KRS+. Saat perkenalan, calon anggota akan ditanya mengenai
kebutuhan belajarnya. Mentor juga menjelaskan kewajban-kewajiban anggota KRS+
selama mengikuti program. Dari sanalah akad terbentuk. Anggota mendapatkan hak untuk
belajar dan berkewajiban menaati peraturan yang ada. Hal tersebut berlaku pula untuk
mentor. Mentor memiliki hak untuk meluruskan anggota yang tidak menaati peraturan dan
berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan belajar mereka. Anggota KRS+ menyimak
penjelasan tersebut dengan seksama.
Penjelasan mengenai kegiatan RBA turut dibahas hingga ke aspek pelaporan.
Segala kegiatan harus direncanakan dengan baik mulai awal hingga akhir. Selanjutnya,
segala realitas yang terjadi di lapangan dilaporkan sesuai standar pelaporan yang telah
ditetapkan oleh pengelola. Penanggung jawab kegiatan tidak boleh menjiplak isi dari
laporan dari kegiatan yang sama di tahun sebelumnya. Data yang menjadi konten dalam
laporan berasal dari realitas yang terjadi selama kegiatan. Mentor menjelaskan bahwa
inisiasi kegiatan yang diamanahkan kepada anggota KRS+ bertujuan untuk melatih
pengambilan keputusan berdasarkan data. Contoh pengambilan keputusan tersebut adalah
penambahan jumlah konsumsi saat hadirin acara melebihi jumlah undangan yang disebar.
Panitia harus memperoleh data jumlah hadirin yang sebenarnya untuk menentukan jumlah

160
161

konsumsi yang harus ditambah. Selain itu, kegiatan yang diamanahkan juga bertujuan
untuk melatih kemampuan menulis penaggung jawab melalui pembuatan laporan kegiatan.
Saat waktu telah menunjukkan pukul 09.30, mentor menutup kegiatan diskusi pagi
itu. Para anggota KRS+ kembali melanjutkan aktivitas masing-masing. Dengan laptop
yang berjejer di meja panjang, beberapa anggota terlihat sibuk mengerjakan skripsi atau
laporan kegiatan. Sementara, sekretaris dan koordinator relawan pergi untuk
membelanjakan donasi paket santunan anak yatim. Setelah sholat Dzuhur, beberapa
anggota KRS+ membantu membungkus paket santunan di ruang kantor. Alat sholat dan
alat tulis dibungkus dengan kertas cokelat. Setelah selesai dibungkus, paket santunan
tersebut diberi label LK (laki-laki) dan PR (perempuan) lalu ditata di dalam kardus.
Pada sore hari saat penutupan kegiatan, mentor memberikan pengumuman terbaru
mengenai jumlah dan penyaluran donasi paket santunan anak yatim. Penerima paket
santunan tersebut adalah anak yatim usia SD yang tidak tinggal di panti asuhan. Apabila
tidak ada penerima yang usianya sesuai, paket tersebut diberikan maksimum untuk anak
yatim usia SMP. Sekali lagi, mentor menyampaikan pentingnya kita memperhitungkan usia
penerima karena harus sesuai dengan akad. Para donatur meminta pengelola RBA untuk
menyalurkan bantuan mereka kepada anak yatim usia SD. Sehingga, pengelola tidak berani
memberikan paket santunan kepada yang tidak sesuai kriteria penerima karena itu
merupakan sebuah bentuk pelanggaran akad/tanggung jawab. Kebermanfaatan bantuan
donatur akan dilaporkan pada laporan kegiatan.

161
162

Lampiran 13
Catatan lapangan #5
Situs : Ruang Belajar Aqil
Hari/tanggal : Senin, 19 Juni 2017
Waktu : 15.57 – 16.45

Ini adalah rapat pengelola ketiga dalam bulan Juni 2017. Seluruh pengelola hadir
kecuali koordinator. Para pengelola duduk berhadap-hadapan di ruang baca setelah jam
operasional ruang baca untuk umum berakhir.
Pembahasan pertama adalah review project RBA Berbagi yang telah dilaksanakan
satu hari sebelumnya. Paket donasi untuk anak yatim telah didistribusikan oleh penanggung
jawab project melalui beberapa Taman Baca Masyarakat (TBM) yaitu TBM Zentana, TBM
Singajaya, TBM Aku Bisa Hebat (ABiH), dan TBM Galeri Kreatif. Paket yang telah
tersalurkan melalui TBM-TBM tersebut berjumlah 74 paket. Sementara, kolaborator RBA
yang lain yaitu Gerakan Perpustakaan Anak Negeri (GPAN) telah menerima 75 paket untuk
disalurkan kepada anak yatim di wilayah operasional mereka.
Dalam rapat ini, pengelola sekaligus membahas mengenai distribusi sisa paket
anak yatim yang hendak disalurkan keesokan harinya ke wilayah Malang Utara. Saat rapat
berlangsung, terlihat tiga orang anggota KRS+ yang sedang mengamankan donasi berupa
lemari es yang baru saja didapatkan. Donasi tersebut hendak disalurkan ke sebuah TBM di
wilayah Bantur, Kabupaten Malang.
Pembahasan berlanjut ke update keuangan oleh bendahara. Dalam update tersebut,
bendahara menyampaikan bahwa RBA baru saja menerima donasi uang tunai dari dua
donatur, masing-masing sebesar Rp 1.000.000,00 dan Rp 175.000,00. Ketika itu, penasihat
meminta izin kepada bendahara untuk menggunakan Rp 200.000,00 dari donasi tersebut
untuk membayar cicilan Donasi Manfaat Tunai (DMT). Penasihat juga mengumumkan
bahwa program Seribu Buku Anak mendapatkan tambahan pemasukan sebesar Rp
650.000,00 dari acara Garage Sale yang digelar pada Jumat, 16 Juni 2017. Sementara,
program Mobil Literasi dan Diseminasi Aqil (Mobilidi) saat ini tengah berada dalam tahap
pembuatan proposal untuk mengumpulkan donasi. Terakhir, penasihat menyampaikan
bahwa pengelola akan segera bertemu kembali untuk menyusun laporan program dan
pemakaian anggaran tengah tahun.

162

You might also like