You are on page 1of 6

Hadis yang Dijadikan Landasan Asuransi

Jiwa (Syariah)
31 Mei 2015 16:10 Diperbarui: 17 Juni 2015 06:25 2839 0 0

ْ َ‫ت اِحْ دَا ُه َما ْاْلُ ْخ َرى بِ َح َج ٍر فَقَتَلَتْ َها َو َما فِي ب‬
‫ط ِن َها‬ ِ ‫ت ا ِْم َرأَت‬
ْ ‫َان ِم ْن هُزَ ْي ٍل فَ َر َم‬ ْ َ‫ اِ ْقتَل‬: ‫ي هللا َع ْنهُ قال‬
َ ‫ض‬ ِ ‫َع ْن اَبِي ه َُري َْرة َ َر‬
َ ْ ً
‫ضى ِديَة ال َم ْرأةِ َعلَى َعاقِلَتِ َها‬ َ
َ َ‫غ َّرة ٌ أ ْو َو ِل ْيدَة ٌ َوق‬ ً َ
ُ ‫ضى أ َّن ِديَة َجنِ ْينِ َها‬ َ َ‫ فَق‬, ‫ص ُموا ِإلَى النَّ ِبي ص م‬ ْ َ‫ف‬.
َ َ ‫اخت‬

“Diriwayatkan dari Abū Hurayrah ra, dia berkata: Berselisih dua orang wanita dari suku
Huzail, kemudian salah satu wanta tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga
mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yan dikandungnya. Maka ahli waris
dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada nabi Muhammad
saw., maka Rasululah saw., memutuskan ganti rugi dari pembunuhan dari janin tersebut
dngan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi
kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh ‘āqilah-nya
(kerabat dari orang tua laki-laki).” (HR. Bukhārī).

Hadis diatas menjelaskan tentang praktik ‘Āqilah yang telah menjadi tradisi di masyarakat
Arab. ‘Āqilah dalam hadis diatas dimaknai dengan aṣābah (kerabat dari orang tua laki-laki)
yang mempunyai kewajiban menanggung denda (diyat) jika ada salah satu anggota
sukunyamelakukan pembunuhan terhadap anggota suku yang lain.

Menurut pandangan Thomas Patrick hadis diatas menunjukkankonsep asuransi dalam Islam
bukanlah hal baru, karena sudah ada sejak zaman Rasulullah saw. yang disebut
dengan ‘Āqilah. Bahkan menurut Thomas Patrickdalam bukunya Dictionary of Islam, hal ini
sudah menjadi kebiasaan suku Arab sejak zaman dulu bahwa, jika ada salah satu anggota
suku yang terbunuh oleh anggota dari suku lain lain, pewaris korban akan dibayar sejumlah
uang darah (diyat) sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh. Saudara
terdekat pembunuh tersebut yang disebut ‘Āqilah, harus membayar uang darah atas nama
pembunuh.

Menurut Muḥammad Muḥsīn Khan, kata ‘Āqilah berarti Aṣābah yang menunjukkan
hubungan ayah dengan pembunuh. Oleh karena itu, ide pokok dari ‘Āqilah adalah suku Arab
zaman dulu harus siap untuk melakukan kontribusi finansial atas nama pembunuh untuk
membayar pewaris korban. Kesiapan untuk membayar kontribusi keuangan sama dengan
premi praktek asuransi sementara kompensasi yang dibayar berdasarkan al-‘Āqilah mungkin
sama dengan nilai pertanggungan dalam praktek asuransi sekarang, karena itu merupakan
bentuk perlindungan finansial untuk pewaris terhadap kematian yang tidak diharapkan dari
sang korban.

Pada perkembangan selanjutnya, sebagaima Shaikh Ibn Hajar al-‘Asqalānī menjelaskan


dalam Fatḥ al-Bārī, dengan datangnya Islam, sistem ‘Āqilah diterima oleh Rasulullah saw
menjadi bagian dari hukum Islam hal tersebut dapat dilihat pada hadis Nabi saw dalam
pertengkaran antara dua wanita dari suku Huzail.
“Diriwayatkan oleh Abū Hurayrah ra. yang mengatakan: pernah dua wanita dari suku Huzail
bertikai ketika seorang dari mereka memukul yang lain dengan batu yang mengakibatkan
kematian wanita itu dan jabang bayi dalam rahimnya. Pewaris korban membawa kejadian itu
ke pengadilan Nabi Muhammad saw. yang memberikan keputusan bahwa kompensasi bagi
pembunuh anak bayi adalah membebaskan seorang budak laki-laki atau perempuan
sedangkan kompensasi atas membunuh wanita adalah uang darah (diyat) yang harus dibayar
oleh ‘Āqilah (saudara pihak ayah) dari yang tertuduh.

Murtadha Mutahhari, ketika menjelaskan tentang al-Diyat `ala al-‘Āqilahmengatakan bahwa


ungkapan al-Diyat ‘ala al-‘Āqilahmerupakan ungkapan yang sangat masyhur. Sebagian
orang mengira bahwa kata ‘Āqilah berasal dari kata `aql (akal), sehingga ungkapan itu
diartikan denda yang dibebankan kepada orang yang berakal (sudah dewasa). Padahal tidak
demikian, melainkan ‘Āqilahmerupakan istilah tersendiri. Di dalam bahasa Arab, di antara
makna al-`aql adalah denda dan al- `aqil adalah orang yang membayar denda. Dalam
beberapa kasus Islam membebankan denda asuransi kepada orang lain (bukan yang
melakukan pelanggaran). Namun di dalam al-Diyah, yang menjadi sebab adalah bukan
kesengajaan, melainkan karena kekeliruan. Apabila al-Diyah itu disebabkan kesengajaan,
maka tidak ada asuransi yang memikul tanggung jawab ini. Karena itu disyaratkan agar
kerusakan itu tidak disebabkan kesengajaan. Di dalam masalah al-Diyah, para ulama
mengatakan, “wajib membayar denda terhadap sebagian kerusakan yang disebabkan
kekeliruan seperti pembunuhan atau melukai karena kekeliruan atau kelalaian”.

MM Billah dalam disertasi doktornya mengatakan bahwa piagam (konstitusi) Madinah,


Konstitusi pertama di dunia yang dipersiapkan langsung oleh Nabi Muhammad saw. setelah
hijrah ke Madinah, di dalam beberapa pasalnya memuat ketentuan tentang asuransi sosial
dengan sistem ‘Āqilah. Dalam pasal 3 Konstitusi Madinah: Rasul saw membuat ketentuan
mengenai penyelamatan jiwa para tawanan, yang menyatakan bahwa jika tawanan yang
tertahan oleh musuh karena perang harus membayar tebusan kepada musuh untuk
membebaskan yang ditawan. Konstitusi tersebut merupakan bentuk lain dari asuransi sosial.

Konstitusi tersebut yang berisi tentang; “Imigran di antara Quraisy harus bertanggung jawab
untuk membebaskan tawanan dengan cara membayar mereka tebusan supaya kolaborasi yang
saling menguntungkan di antara orang-orang yang percaya sejalan dengan prinsip kebaikan
dan keadilan”.

Adapun penjelasan hadis di atas, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Hajar al-‘Asqalānī
dalam Fatḥ al-Bārī. (Bab janinnya yang dikandung wanita, dan bahwa tebusannya menjadi
tanggungan ayah dan ashabah ayahnya, bukan tanggungan anak). Pada bab ini Imām
Bukhārī menyebutkan hadis Abū Hurairah dari dua jalur yang telah dikemukakan pada bab
sebelumnya, al-Ismailī berkata, “Demikian al-Bukhārī mencantumkan judulnya, bahwa
tebusan (diyat) ditanggung oleh ayah dan ashabah ayah, sementara dalam hadisnya tidak
menyebutkan keharusan ayah menanggung denda itu. Jika yang yang dimaksud adalah ibu
yang melakukan tindakan baik dia hidup atau pun mati, maka diyatnya menjadi tanggungan
ashabah-nya.

Yang bisa dijadikan pedoman adalah pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Baṭṭāl.
Maksudnya, diyat perempuan yang terbunuh menjadi tanggungan ayahnya perempuan yang
membunuh dan aṣabah-nya.
Ibn Hajar memberi penjelasan lagi, bahwa ayahnya dan ashabah ayahnya adalah ashabah-
nya, maka ini sesuai dengan redaksi hadis pertama pada bab ini, ‫صبَتِ َها‬ َ ‫( َوأَ َّن اْلعَ ْق َل َع‬dan
َ ‫لى َع‬
bahwa diyatnya menjadi tanggungan ashbahnya). Ini dijelaskan juga oleh redaksi hadis
kedua pada bab ini, ‫ضى أَ َّن ِديَةَ اْل َم ْرأَةِ َعلَى َعاقِلَتِ َها‬
َ َ‫( َوق‬dan beliau memutuskan bahwa diyatnya
perempuan itu ditanggung oleh aqilahnya). Imām Bukhārī menyebutkannya dengan
kata ُ‫( اْ َلوا ِلد‬ayah) untuk mengisyaratkan kepada lafaz pada sebagian jalur periwayatan kisah
ini.

Kemudian redaksi “bukan tanggungan anak”, Ibn Baṭṭāl berkata, “Maksudnya, anaknya
perempuan itu, jika tidak termasuk ashabah-nya maka tidak turut serta menanggung diyatnya,
karena diyatnya menjadi tanggungan ashabah selain dzaw al-arḥām. Karena itulah saudara-
saudara seibu tidak turut menanggung diyatnya. Konotasi hadis ini, bahwa orang yang
mewarisinya tidak menanggung diyatnya jika dia tidak termasuk ashabah-nya.” Pernyataan
ini telah disepakati oleh para ulama seperti yang dikemukakan oleh Ibn al-Mundzīr.

Ibn Hajar mengemukakan bahwa dalam riwayat Usamah bin ‘Umar disebutkan, ‫ ِإ َّن َما‬:‫فَقَا َل أَب ُْوهَا‬
َ َ‫لى ْالع‬
‫صبَ ِة‬ َ ‫الديَةُ َع‬
ِ :‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُّ ِ‫ فَقَا َل النَّب‬.‫(يَ ْع ِقلُ َها بَنُ ْوهَا‬ayahnya kemudian berkata, “semestinya
َ ‫ي‬
diyatnya ditanggung oleh anak-anak. “Maka Nabi saw bersabda, “Diyat ditanggung oleh
ashabah [kerabat]).

Kemudian penulis juga menambahkan ayat sehubungan permasalahan terkait diyat yang ada
hubungannya dengan asuransi yang oleh pembunuh diberi maaf oleh wali yang terbunuh,
meskipun ada syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi. Penulis dengan merujuk potongan
sebuah ayat QS. al-Baqarah: 178, ‫ان‬
ٍ ‫س‬َ ْ‫ف َوأَدَا ٌء ِإلَ ْي ِه ِبإِح‬
ِ ‫ع ِباْل َم ْع ُر ْو‬ َ ‫ي لَهُ ِم ْن أ َ ِخ ْي ِه‬
ٌ ‫ش ْي ٌء فَاتِ َبا‬ ُ ‫فَ َم ْن‬, (Maka
َ ‫ع ِف‬
barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah [yang memaafkan]
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah [yang diberi maaf] membayar [diyat]
kepada orang yang memberi maaf dengan cara yang baik pula).

Imām al-Qurṭubī memberi penjelasan kata ‫ ِم ْن‬maksudnya adalah si pembunuh, sedangkan


kata ‫ي‬ َ ‫ع ِف‬ُ berisikan makna pemaafan dari wali orang yang terbunuh. Adapun
kata ‫ أَ ِخ ْي ِه‬kembali kepada orang yang terbunuh, dan kata ‫شي ِ ٌء‬
َ adalah nyawa yang direlakan
untuk diberi maaf, yaitu kembali kepada pengambilan diyatnya. Ini adalah pendapat dari Ibn
Abbās, Qatadah, Mujāhid dan sebagian besar ulama lainnya.

Oleh karena itu, maka makna pemaafan menurut pendapat ini adalah benar-benar berarti
ampunan, dan meninggalkan hukuman yang seharusnya diberikan. Yakni, bahwasannya jika
si pembunuh telah diberikan maaf, diampuni nyawanya, dan dibebaskan dari
hukuman qiṣṣāṣ oleh wali dari orang yang terbunuh. Maka dengan demikian wali tersebut
berhak untuk mengambil diyatnya dan melanjutkan hubungan mereka dengan baik. Begitu
juga halnya dengan si pembunuh yang diberikan maaf, ia harus memberikan diyat kepada
wali tersebut dengan baik, sebagai pengganti nyawanya yang dimaafkan. Hal ini oleh penulis
pahami pada kasus ini, seperti asuransi yang harus diberikan kepada keluarga korban yang
mendapatkan musibah.

Menurut penulis hadis tentang ‘Āqilah belum tepat jika diterapkan dalam ranah asuransi
karena maksud ‘Āqilah disini adalah jika ada salah satu anggota sukunya melakukan
pembunuhan terhadap anggota suku yang lain (kerabat dari orang tua laki-laki) yang
mempunyai kewajiban menanggung denda (diyat), dengan kata lain orang yang membunuh-
lah yang menanggung kerugian. Berbeda dengan sistem asuransi sekarang ini yang mana
pihak yang menanggung kerugian adalah anggota asuransi dan dana yang diambil dari iuran
anggota.

Imām Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb Diyat, no 45, h. 34.

AM Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam – Suatu Tinjauan Analisis Historis,
Teoritis & Praktis (Jakarta: Prenada Media, 2004) cet. I, h. 115.

Thomas Patrick. Dalam M.M.Billah. Principles And Practices Of TakafulAnd Insurance


Compared (Malaysia: International Islamic University, 2001), h. 4.

Muhammad Muhsin Khan, Dr. the Translation Of The Meanings Of Shahih Bukhari.
(Pakistan: Lahore, 1979). Juga lihat Thomas Patrick. Dalam M.M.Billah, h. 3-4.

Aḥmad Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bārī, vol 12. (Lahore Pakistan: Naṣr al-Kutūb
Islamīyah, 1981), h. 296.

Imām Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb al-Diyat, h. 193.


Murtadha Mutahhari, Asuransi dan Riba(Jakarta: Pustaka Hidayah,1995), h. 312.

Mohd Ma`sum Billah, Principles & Practices Of Takaful And Insurance Compared, h. 6.

Aḥmad Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bārī, vol 33: Shahih Bukhari, terj. Amir Hamzah
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 697-698.

Aḥmad Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bārī, h. 698.

Aḥmad Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bārī, h. 698.

Aḥmad Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bārī, h. 698.


Abū ‘Abdillāh Muḥammad al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, terj. Fathurrahman dan
Ahmad Hotib, ta’līq: Muḥammad Ibrahīm al-Hifnawī, takhrīj: Maḥmūd Ḥamid ‘Uthmān
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Juz.I , h. 583.

al-Qurṭubī, al-Jāmi’, h. 583-584.

Jenis Asuransi:

asuransi kesehatan

Asuransi Pendidikan

Asuransi Dana Pensiun

Asuransi Prudential

You might also like