You are on page 1of 2

BPK Akui Ada Oknum Langgar Hukum dan Kode Etik

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Yudhi


Ramdan mengakui adanya oknum pemeriksa BPK yang melakukan pelanggaran hukum
terkait tindak pidana korupsi. Dia juga tidak menampik orang tersebut telah ditangkap
KPK.

"BPK sudah menerima laporan dari masyarakat tentang adanya indikasi pelanggaran
hukum dan kode etik oleh oknum pemeriksa BPK," ujarnya saat dikonfirmasi, Kamis
(21/9).

Terhadap laporan masyarakat tersebut, Yudhi melanjutkan, secara internal BPK telah
memeriksa yang bersangkutan dan BPK bekerja sama dengan KPK dan Jasa Marga
untuk memproses adanya pelanggaran kode etik. Diduga, oknum dari Jasa Marga
sebagai pihak yang memberikan gratifikasi kepada oknum di BPK.

"KPK juga telah bekerja di ranah pidananya. BPK selalu mendukung upaya penegakkan
hukum KPK. Karena pada prinsipnya BPK tidak mentolerir adanya pelanggaran hukum
yg dilakukan oleh pemeriksanya," katanya.
Sumber: https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/17/09/21/owmay1354-
bpk-akui-ada-oknum-langgar-hukum-dan-kode-etik
Pembahasan:
“Tidak ada gading yang tidak retak”, adanya suatu pelanggaran adalah hal yang sangat
sulit untuk diberantas secara instan. Setiap pelanggaran pasti memiliki dampak yang
negatif, terlebih pelanggran dalam lingkup instansi nasional, dampak negatifnya lebih
luas dan masif. Oleh karena itu setiap instansi nasional yang berbasis keahlian
profesional memerlukan kode etik khusus. Pasal 2 Peraturan BPK no. 3 tahun 2016
tentang Kode Etik Badan Pemeriksaan Keuangan menjelaskan bahwa:
“Kode Etik bertujuan untuk mewujudkan Anggota BPK dan Pemeriksa yang independen,
berintegritas, dan profesional dalam melaksanakan tugas pemeriksaan demi menjaga
martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas BPK.”
Salah satu pelanggaran kode etik pemeriksa BPK adalah penerimaan gratifikasi.
Penerimaan gratifikasi ini melanggar beberapa ketentuan pasal 7 Peraturan BPK no. 3
tahun 2016 mengenai kewajiban dan larangan bagi pemeriksa, diantaranya dalam ayat
2 tentang larangan pemeriksa secara berturut-turut dalam huruf c, p, dan q sebagai
berikut.
1. meminta dan/atau menerima uang, barang, dan/atau fasilitas lainnya baik
langsung maupun tidak langsung dari pihak yang terkait dengan pemeriksaan;
2. mengubah temuan atau memerintahkan untuk mengubah temuan pemeriksaan,
opini, kesimpulan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan yang tidak sesuai dengan
fakta dan/atau bukti-bukti yang diperoleh pada saat pemeriksaan, opini,
kesimpulan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan menjadi tidak objektif; dan
3. mengubah dan/atau menghilangkan bukti hasil pemeriksaan.

Lebih lanjut, ditinjau dari Undang-Undang Republik Indonesia no. 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindakan gratifikasi ini, pemeriksa yang menjadi
tersangka penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b.

Disebutkan oleh Ir. Isma Yatun, M.T (anggota MKKE BPK) bahwa faktor penyebab
pelanggaran kode etik BPK adalah sebagai berikut.
1. lemahnya iman/ moral;
2. gaya hidup/ kebutuhan individu;
3. perilaku dan kebutuhan individu yang terakumulasi dan tidak terkoreksi;
4. lingkungan tidak etis;
5. rasa solidaritas negatif; dan
6. takut untuk mengatakan tidak atas perintah unlawfull.

Dari hal-hal tersebut, penulis memberikan tanggapan bahwa terdapat beberapa hal yang
dapat dilakukan untuk menanggulangi pelanggaran kode etik.
1. meningkatkan iman dan moral melalui pembimbingan spiritual dan moral;
2. tidak membiasakan gaya hidup yang berlebihan dan memboros;
3. menyaring pergaulan dan membatasi pengaruh dari pergaulan;
4. menciptakan pergaulan dengan solidaritas yang benar dan menciptakan
lingkungan yang berintegritas.
5. berani berkata tidak pada hal-hal yang tidak dibenarkan.

You might also like