Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
2017
Upacara Potong Gigi (Mepandes/Metatah)
Manusa Yadnya
Manusa artinya manusia, Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas.
Manusa Yadnya adalah upacara suci atau pengorbanan suci dengan tulus ikhlas untuk
kesucian lahir batin manusia dari dalam kandungan sampai akhir kehidupan. Tujuan dari
Manusa Yadnya adalah untuk menyucikan diri lahir bathin (pamari sudha raga) dan
memohon keselamatan dalam upaya peningkatan kehidupan spiritual menuju kebahagian
baik di dunia maupun di alam niskala. Unsur-unsur pembersihan dalam Upacara Manusa
Yadnya yaitu tirtha panglukatan atau tirtha pembersihan dan lain sebagainya. Tirtha-tirtha ini
adalah air suci yang telah diberkati oleh sang sulinggih pandita (pendeta), sehingga air suci
tersebut mempunyai “twah“ (wasiat), yang secara spiritual dapat menimbulkan adanya
kebersihan (kesucian). Contoh pelaksanaan Manusa Yadnya dalam kehidupan sehari-hari
misalnya :
Salah satu jenis Upacara Manusa Yadnya yaitu Upacara Potong Gigi (Mepandes/Metatah).
Potong Gigi (Bahasa Bali : mepandes, mesangih atau metatah) adalah upacara
keagamaan Hindu-Bali bila seorang anak sudah beranjak dewasa, dan diartikan juga sebagai
pembayaran hutang oleh orang tua ke anaknya karena sudah bisa menghilangkan keenam
sifat buruk dari diri manusia. Upacara ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu
(sifat buruk) yang ada pada diri anak, dimana empat gigi seri dan dua gigi taring bagian atas
dipotong atau diratakan menggunakan kikir. 6 sifat buruk dalam diri manusia atau disebut
juga Sad Ripu yang harus dibersihkan meliputi :
1. Sebagai simbolis meningkatnya seorang anak menjadi dewasa, yakni manusia yang
telah mendapatkan pecerahan, sesuai dengan makna kata dewasa, dari kata devasya
yang artinya milik dewa atau dewata. Seseorang telah dewasa mengandung makna
telah memiliki sifat dewata (Daivi Sampad) seperti diamanatkan dalam kitab suci
Bhagawadgita.
2. Memenuhi kewajiban orang tua, karena telah memperoleh kesempatan untuk
beryadnya, menumbuh-kembangkan kepribadian seorang anak, sehingga anak
tersebut mencapai kedewasaan dan mengetahui makna penjelmaan sebagai umat
manusia.
3. Secara spiritual, akan lebih mudah menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa. Kelak bila yang bersangkutan meninggal dunia, atma yang bersangkutan
akan bertemu dengan leluhurnya dialam pitraloka.
Upacara ini dilaksanakan setelah anak meningkat dewasa, namun sebaiknya sebelum
anak itu menikah. Dalam keadaan tertentu dapat pula dilaksanakan setelah berumah tangga
dan waktu pelaksanaanya juga dipilih menurut hari baik (dewasa).
1. Setelah Sulinggih atau Pendeta (Dwijati) ngarga tirta (tirta pembersihan yang dibuat
oleh Sulinggih atau Pendeta (Dwijati)), mereresik (pembersihan atau penyucian
sekala/niskala) dan mapiuning (memohon doa restu) di Sangah Surya, lalu mereka yang
akan melaksanakan potong gigi dilukat dengan dipercikan air suci/tirta, setelah itu
mereka memuja Sang Hyang Widhi Wasa untuk memohon keselamatan dalam
melaksanakan upacara.
2. Pendeta melakukan potong rambut dan menuliskan lambang-lambang suci dengan
tujuan mensucikan diri serta menandai adanya peningkatan status sebagai manusia,
untuk meninggalkan masa kanak kanak ke masa remaja. Lambang-lambangnya :
Pada dahi (antara kedua kening) dengan huruf ( ehÙíº ) hweam
Pada taring sebelah kanan dengan huruf ( Á¸ ) am
Pada taring sebelah kiri dengan huruf ( Á; ) ah
Pada gigi atas dengan huruf ( ÿºý ) om/om
Pada lidah bawah dengan huruf ( ü ) ai
Pada dada dengan huruf ( eGº ) gona
Pada nabi puser dengan huruf ( er¸ ) rem
Pada paha kanan dan kiri dengan huruf ( evÜ ) bhyo
3. Anak anak yang akan di potong giginya naik ke bale tempat pelaksaaan Mepandes
dengan terlebih dahulu menginjak sesajen yang telah disediakan sebagai symbol mohon
kekuatan kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).
4. Setelah pemotongan gigi berlangsung, bekas air kumur-kumur dibuang di dalam buah
kelapa gading, ini bertujuan agar tidak mengurangi nilai kebersihan dan kesakralan
dalam menjalankan upacara ini.
5. Lalu dilanjutkan dengan melakukan penyucian diri oleh pendeta agar dapat
menghilangkan bala/kesialan untuk menyongsong kehidupan masa remaja.
6. Melaksanakan Mapedamel yang bertujuan sebagai symbol restu dari Dewa Semara dan
Dewi Ratih agar dalam kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang yang
bijaksana, dalam mengarungi kehidupan di masa datang. Di saat melakukan upacara ini
anak-anak mengenakan kain putih dan kuning, memakai benang pawitra berwarna
tridatu (merah, putih dan hitam) sebagai simbol pengikat diri terhadap norma-norma
agama, kemudian anak anak yang dipotong giginya mencicipi 6 rasa (pahit, asam,
pedas, sepat, asin dan manis) yang mempunyai arti dan makna tertentu yaitu :
Rasa pahit dan asam adalah simbol agar tabah menghadapi peristiwa jehidupan
yang kadang-kadang tidak menyenangkan.
Rasa pedas sebagai simbol agar tidak menjadi marah bila mengalamai atau
mendengar hal yang menjengkelkan.
Rasa sepat sebagai simbol agar taat pada peraturan atau norma-norma yang
berlaku.
Rasa asin sebagai simbol kebijaksanaan, selalu meningkatkan kualitas
pengetahuan karena pembelajaran diri.
Rasa manis sebagai simbol kehidupan yang bahagia lahir bathin sesuai cita-cita.
7. Setelah proses mapedamel dilakukan, dilanjutkan dengan upacara Natab Banten, yang
bertujuan memohon anugerah kepada Hyang Widhi agar apa yang menjadi tujuan dapat
tercapai.
8. Setelah proses upacara tersebut dilakukan dilanjutkan dengan Metapak, tujuan adalah
memberitahukan kepada anak nya bahwa kewajiban sebagai orang tua dari melahirkan,
mengasuh dan membimbing sudah selesai, diharapkan sang anak kelak setelah upacara
ini menjadi orang yang berguna, sebaliknya si anak kepada orang tua nya menghaturkan
sembah sujud ungkapan terima kasih sudah dengan susah payah berkorban jiwa dan
raga untuk melahirkan mereka, mengasuh, membesarkan, mendidik dan membimbing
mereka menuju jalan yang baik dan benar sampai dewasa.
Ibu-Ibu/Wanita yang sedang hamil tidak dibolehkan melakukan upacara potong gigi/
mepandes. Dasar acuannya Lontar Catur Cuntaka. Penjelasan :
Jadi Ibu yang mengandung bayi yang suci, patut dihindarkan dari penyebab-penyebab
cuntaka. Tidak hanya potong gigi saja, tetapi juga semua jenis cuntaka, misalnya: ngelayat
orang mati, mengunjungi penganten (pawiwahan), memegang orang-orang sakit (sakit gede -
lepra, aids dll). Jadi demi keselamatan Ibu dan Bayi, sebaiknya upacara potong gigi itu
ditunda sampai bayinya lahir dan sudah berusia lebih dari 3 bulan.
1. Tidak boleh makan atau minum sekehendaknya selama 3 hari. Makan dan minum
panas atau dingin merupakan pantangan yang utama setelah melakukan Upacara
Potong Gigi. Karena apabila makan dan minum yang panas atau dingin maka akan
merusak gigi.
2. Tutur kata tidak boleh menjelek-jelekkan orang lain.
3. Sebelum dan sesudah melaksanakan upacara potong gigi tidak boleh meninggalkan
rumah sekehendaknya selama 3 hari.
4. Waktu tidur dan makan di atur oleh orang tua setelah mendapat penjelasan
sebelumnya dari pendeta yang memimpin upacara tersebut.
5. Waktu mandipun diatur.
6. Tidak diperkenankan membunuh binatang, tidak boleh berkelahi atau mencaci maki
orang lain.
1. Sirih pinang dan piring adat merupakan sesuatu yang harus dimuliakan pada suku
bangsa Pamona pada setiap upacara tradisional sebab kedua perangkat alat ini
melambangkan kesucian, kemuliaan, dan penghormatan kepada leluhurnya.
2. Telur ayam melambangkan supaya mempunyai keturunan yang banyak seperti ayam.
3. Daging kelapa melambangkan supaya hati mereka lemah lembut seperti daging kelapa
tersebut.
4. Gula merah melambangkan supaya mempunyai masa depan yang manis seperti gula.
Artinya agar dalam menjalani hidupnya kelak senantiasa mendapat kesenangan dan
kedamaian hidup.
5. Daun pacar melambangkan agar mereka kelak mudah mendapat jodoh yang baik.
Bagi seseorang yang belum sempat mengikuti Upacara Potong Gigi, dan maut telah
menjemput, berbagai tanggapan muncul terhadap keadaan ini, Parisada Hindu Dharma
Indonesia Pusat, melalui keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama
Hindu memberikan jalan ke luar, sebagai berikut :
1. Upacara Potong Gigi adalah Upacara Manusa Yajna (Sarira Samsakara) yang patut
dilaksanakan pada saat seseorang masih hidup (sangat baik ketika remaja, belum
berumah tangga). Upacara Potong Gigi (Mepandes) bagi orang yang telah meninggal
sesungguhnya tidak perlu dilakukan.
2. Bila orang tua yang bersangkutan merasa masih punya hutang berupa kewajiban, dapat
menempuhnya dengan upacara simbolis, dengan kikir (panggur) dari bunga teratai,
dilengkapi dengan andel-andel serta padi, seakan-akan yang bersangutan bermimpi
diupacarakan Potong Gigi (Mepandes).
3. Dengan demikian orang tua terbebas dari hutang kewajiban kepada anaknya, sehingga
roh anaknya diharapkan dapat bersatu dengan roh leluhur yang telah disucikan.
Penemuan di bidang kesehatan bahwa kikir gigi cenderung berdampak negatif sehingga
lebih baik dihindari. Alasan tersebut telah menggoyah posisi Upacara Potong Gigi
(Mepandes). Tradisi mengikir gigi juga dapat dijumpai di sebagian besar daerah kebudayaan
Jawa khususnya beberapa tingkat generasi di atas generasi saat ini. Barangkali, karena alasan
kesehatan, ritual ini telah menguap. Kikir gigi pada umumnya mengikis email atau bagian
ujung gigi sehingga gigi menjadi rentan terhadap kerusakan dan infeksi. Dalam masyarakat
modern, kikir gigi dilakukan lebih didorong oleh motif kecantikan dan dilakukan oleh dokter
gigi.
KESIMPULAN
Dari serangkaian Upacara Potong Gigi dapat kami pahami bahwa dalam diri setiap
manusia sejak mereka dilahirkan sudah terdapat sifat yang tidak baik, bila tidak dikendalikan
dapat mengakibatkan hal- hal yang tidak baik/tidak diinginkan, juga bisa merugikan dan
membahayakan bagi anak-anak yang akan beranjak dewasa kelak dikemudian hari. Dengan
melakukan Upacara Potong Gigi ini anak yang sudah dewasa diingatkan dan diajarkan untuk
tidak terjerumus dalam perbuatan yang dilarang agama dan bisa menjadi manusia yang
berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa. Upacara potong gigi biasanya
disatukan dengan upacara Ngeraja Sewala atau disebutkan pula sebagai upacara “menek
kelih”, yaitu upacara syukuran karena anak tersebut sudah menginjak dewasa, meninggalkan
masa anak-anak menuju ke masa dewasa. Prosesi potong gigi ini memang membutuhkan
biaya yang sangat mahal, karena prosesinya membutuhkan beberapa kelengkapan sesajen dan
juga banyak keluarga yang hadir. Mahalnya biaya membuat orang Bali lebih memilih
Upacara Potong Gigi ini dilakukan secara berkelompok atau masal untuk menghemat biaya.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.babadbali.com/canangsari/banten/mepandes.htm
http://bobo.grid.id/Sejarah-Dan-Budaya/Budaya/5-Fakta-Seputar-Upacara-Potong-Gigi-Di-Bali-
Yang-Jarang-Diketahui
http://wayansuyasa-webblog.blogspot.co.id/2012/08/mepandesmetatahmesangihpotong-gigi_9.html
http://poethree-sweetgirl.blogspot.co.id/2011/04/upacara-potong-gigi-di-bali_24.html
https://serbaserbihindubali.blogspot.co.id/2012/01/mesangih.html