You are on page 1of 4

Shalat merupakan ibadah yang istimewa di dalam ajaran Islam, baik dilihat dari

perintah yang diterima oleh Muhammad secara langsung maupun dimensi-dimensi yang
lainnya. Shalat ini merupakan satu-satunya wahyu yang diterima oleh Muhammad tanpa
perantara Jibril atau yang lainnya.
Menurut pandangan para ahli, baik dari para psikolog maupun ahli kesehatan, ibadah
shalat mengandung unsur terapeutik bagi kesehatan manusia. Menurut Djamaluddin Ancok
sebagaimana yang dikutip oleh Haryanto[130] ada beberapa aspek teraupetik yang terdapat
dalam ibadah shalat, antara lain aspek olah raga, aspek meditasi, aspek auto-sugesti dan aspek
kebersamaan. Disamping itu juga mengandung unsur relaksasi otot, relaksasi kesadaran
indera dan aspek katarsis.
Menurut H. A. Saboe,[131] gerakan-gerakan yang terkandung dalam shalat
mengandung banyak unsur kesehatan bagi jasmani manusia, maka dengan sendirinya akan
memberi efek pula pada kesehatan manusia baik dari sisi ruhaniah maupun jasmaniah. Lebih
lanjut Musbikin[132] mengatakan bahwa shalat bukan hanya sebuah kewajiban yang harus
dikerjakan dan dipatuhi oleh setiap muslim, tetapi juga perlu dilakukan secara sungguh-
sungguh sehingga mereka bisa merasakan manfaat positif dari shalat. Sisi lain dari shalat itu
adalah aspek teraupetik dalam setiap gerakan dalam shalat.
Syeh Masyhur[133] mengatakan shalat pada hakikatnya merupakan sarana terbaik
untuk mendidik jiwa dan memperbaharui semangat dan sekaligus sebagai penyucian akhlak.
Bagi pelakunya sendiri, shalat itu merupakan tali penguat yang dapat mengendalikan, ia
adalah pelipur lara dan mengamankan dari rasa takut dan cemas, juga memperkuat
kelemahan, dan senjata bagi yang merasa terasing.
Dimensi lain yang dapat dikemukakan dalam shalat adalah terciptanya kepribadian
yang teguh pada diri seseorang. Shalat yang dilakukan secara rutin setiap waktu (berdasarkan
waktu shalat yang ditentukan syari’at), dengan sendirinya akan membentuk kepribadian yang
teguh, disiplin, terutama dalam menciptakan kedisiplinan dalam waktu dan kerja. Menurut
Razak, dalam waktu sehari semalam yakni 24 jam, seorang muslim diajarkan untuk mentaati
waktu shalat dan melaksanakan shalat sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Hal yang
demikian akan dapat membentuk kedisiplinan seorang muslim dalam mentaati aturan kerja
dan waktunya.[136]
Shalat Khusyu’ Serta Pengaruhnya dalam Jiwa Beberapa sebab utama dari terjadinya
problem kejiwaan adalah kebencian pada diri sendiri, ketidak mampuan untuk bersabar dalam
musibah, kegagalan, kekhawatiran terhadap masa depan, dan khayalan seolah-olah kehidupan
ini tidak punya tujuan akhir. Semua sebab tersebut pada dasarnya bersumber pada ketakutan
dan kecemasan.
Ketakutan dan kecemasan adalah dua musuh utama bagi problem dan kesehatan jiwa.
Tak ada yang lebih berbahaya bagi keseimbangan jiwa daripada kecemasan terhadap ketidak
pastian masa depan. Hanya dengan keimanan manusia tidak akan terlalu cemas, karena
sebenarnya manusia tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi. Masa depan yang akan
datang hanya diketahui oleh yang empunya.
Masalah kecemasan (anxiety) dan kegelisahan (rest lessness) merupakan salah satu
faktor utama yang menyebabkan gangguan kejiwaan (neurosis). Cemas adalah suatu
ketakutan terhadap hal-hal yang belum tentu terjadi. Ia biasanya muncul bila manusia berada
dalam suatu keadaan yang ia duga akan merugikan dan ia rasakan akan mengancam dirinya,
dimana manusia merasa tidak berdaya menghadapinya karena yang ia cemaskan itu belum
terjadi, maka rasa cemas itu sesungguhnya merupakan ketakutan yang ia ciptakan sendiri.[45]
Kecemasan dan kegelisahan yang dapat menyebabkan seseorang menderita neurosis
atau masalah kejiwaan adalah karena perasaan tersebut selalu menguasai semua perjalanan
hidupnya. Maka menjadikan keadaan jiwa yang tenang dan tentram adalah merupakan
terapeutik yang pokok dan penting.
Najati mengemukakan bahwa keadaan tentram dan jiwa yang tenang akan didapatkan
manakala orang dalam keadaan kekhusyu’an menjalankan ibadah shalat,
Jadi jelas disini bahwa seorang yang melakukan shalat dengan benar maka ia menjadi
manusia yang tentram dan memiliki jiwa yang tenang, dan manakala sudah tercapai
ketentraman dan ketenangan dalam jiwa maka ia terhindar dari segala permasalahan
psikisnya dan bagi yang memiliki problem kejiwaan dengan melakukan shalat yang benar ia
akan menjadi tenang dalam menghadapi problemnya sebagaimana yang dikemukakan oleh
Abu al-‘Aza’im diatas.
Shalat yang dilakukan secara khusyu’ wal khudu’ sebagaimana yang dikemukakan
diatas memiliki arti bahwa shalat yang dilakukan dengan membawa konsentrasi batin
merendahkan diri dengan cara Rasulullah. Tujuan dari khusyu’ wal khudu’ ini adalah
membawa sifat-sifat ketaatan dalam shalat ke dalam kehidupan sehari-hari dan akan mampu
memberikan perisai terhadap jiwa manusia.
Dampak yang ditimbulkan dari keadaan tentram dan jiwa santai (tenang) yang
dihasilkan dari pelaksanaan shalat dalam kaitannya dengan proses terapi psikoproblem adalah
meliputi; (1). Meredam syaraf-syaraf yang timbul akibat berbagai tekanan kehidupan sehari-
hari.[47] (2). Dapat membantu melepaskan diri dari keluhan-keluhan yang ditimbulkan
karena berulang kalinya seseorang tertimpa persoalan atau situasi yang menimbulkan
kegelisahan.[48]
Dari prosesi diulang-ulangnya bebarengan keadaan santai dan ketenangan jiwa yang
ditimbulkan shalat dengan berbagai situasi yang menimbulkan kegelisahan (yang ada kalanya
dengan menghadapinya secara nyata dalam kehidupan ataupun dengan mengingatnya), pada
akhirnya akan membuat terbentuknya ikatan-ikatan kondisional baru antara situasi-situasi
tegang dengan respon keadaan santai dan ketenangan yang ditimbulkan shalat (yang
merupakan respon yang bertentangan dengan respon kegelisahan)
Terlebih lagi setelah shalat, yang biasanya seseorang masih terus mengucapkan tasbih
dan berdoa kepada Allah, ini tetap membantu berlangsungnya keadaan santai dan jiwa tenang
untuk beberapa lama. Karena dalam berdo’a sesorang sedang melaksanakan munajat
(audensi) dengan Tuhannya, dimana ia menuturkan kepada Tuhannya segala keluhan dan
problem yang dideritanya dan yang membuatnya resah gelisah. Allah SWT berfirman dalam
surat al-Mu’minun (40): 60
‫لكم استجب عوني اد ربكم وقال‬
Artinya: Dan Tuhanmu berfirman, “berdoalah kepada-Ku, niscaya Kuperkenankan
bagimu.”[49]
Sementara dalam keadaan santai dan jiwa yang tenang secara otomatis ia akan
terbebas dari kegelisahan-kegelisahan tersebut. Akibatnya, problem itu pun secara bertahap
akan kehilangan kekuatannya untuk menimbulkan kegelisahan. Namun sebaliknya akan
membuatnya terikat secara kondisional dengan keadaan santai dan jiwa yang tenang.
Shalat merupakan aktifitas seorang muslim dalam rangka menghadapkan wajahnya
kepada Allah sebagai Zat yang Maha Suci. Maka manakala shalat itu dilakukan secara tekun
dan kontinyu, akan menjadi alat pendidikan rohani yang efektif, memperbaharui dan
memelihara jiwa manusia serta memupuk pertumbuhan kesadaran. Makin banyak shalat itu
dilakukan dengan kesadaran dan bukan dengan keterpaksaan, maka semakin banyak pula
rohani dilatih menghadapi Zat Yang Maha Suci, efeknya akan membawa kesucian rohani dan
jasmani.[64]
Jelas bahwa Islam tidak sekedar memerintahkan manusia untuk “melakukan” shalat
tetapi “mendirikan” shalat, yang mengandung pengertian yang dalam, yaitu
mengkonsentrasikan pikiran dan perasaan, penyucian roh, jiwa dan badan, serta kekhusyu’an
anggota badan. Sebagaimana diungkap juga oleh Abdu[65] bahwa khusyu’ memiliki
pengaruh besar dan kuat bagi jiwa seseorang, karena khusyu’ dapat mengantarkan seseorang
kepada hal-hal sebagai berikut:
1. Menumbuhkan kemampuan untuk berkonsentrasi. Ketika sesorang akan
mengerjakan shalat untuk menghadap Tuhanya, biasanya akan muncul hal-hal lain dalam
pikirannya. Maka dia harus berusaha untuk menghilangkan pikiran tersebut supaya dapat
hadir ketika mengagungkan dan bermunajat kepada Allah. Cara ini akan membantu
terbentuknya daya konsentrasi pada diri seseorang.
2.Dapat mempengaruhi jiwa seseorang dikala ruhnya berhubungan dengan Tuhan dan
menjadi khusyu’ kepada-Nya, sekalipun dalam waktu sebentar. Pengaruh khusyu’ bagi jiwa
ini merupakan suatu hal yang pasti terjadi. Karena ruh seseorang yang tidak pernah
berkomunikasi terhadap Dzat yang menciptakannya atau bahkan jarang, maka akan muncul
dalam dirinya rasa gelisah, tidak qana’ah, cinta dunia, bingung dan lain sebaginya. Tetapi
dengan shalat dan bermunajat kepada Allah SWT, seseorang akan dapat berserah diri dan
meminta apa saja yang dikehendaki sehingga ia merasa lega dari perasaan-perasaan yang
menyertainya. Selain itu, ia akan mencari kekuatan, rasa qana’ah dan ridho dengan memohon
kepada Allah SWT. Jika mushalli semakin khusyu’ dan dekat dengan Allah maka semakin
bertambah keyakinannya terhadap Allah SWT, sehingga ia tidak mengenal putus asa dan
keluh kesah dalam hatinya. Selain itu dia juga akan memilki jiwa yang kuat dalam
menghadapi persoalan-persoalan yang kecil maupun besar dalam kehidupannya.
3.Khusyu’ membuat seseorang memiliki sifat rendah hati, sebab ia melihat
keangungan Allah, dan sifat tawadhu’ karena ia melihat kemegahan-Nya. Sifat-sifat inilah
yang harus dimiliki oleh hamba Allah SWT. Seseorang yang meninggalkan tabiatnya dan
mengikuti keinginan hawa nafsunya maka akan muncul dalam dirinya sifat sombong atau
bahkan sifat yang lebih jelek dari itu. hal ini terjadi karena manusia keluar dari tabi’atnya
dengan tidak mengagungkan Allah dan memujinya.
4.Shalat merupakan bentuk wasilah mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang tak
terhitung jumlahnya. Adalah menjadi kewajiban seorang muslim untuk tunduk kepada Dzat
yang memberikan nikmat dan menyembah kepada-Nya. Salah satu bentuknya adalah dengan
melaksanakan shalat. Oleh karena itu, orang yang meninggalkan shalat berarti ia ingkar
terhadap nikmat Tuhan, Dzat yang maha Mulya dan Agung, menyia-nyiakan hak dan
kewajiban atasnya, melangggar sumpah (ikrar) untuk beramal kepada-Nya dan ingkar untuk
mengakui keutamaan Dzat yang memberi rizki kepadanya.
Zakiah mengatakan bahwa dengan terlaksananya shalat wajib lima kali sehari
semalam secara sempurna akan bersihlah jiwa dari berbagai dorongan dan keinginan yang
bertentangan dengan ketentuan Allah. Dan kekuatan iman pun dapat mengendalikan
dorongan hawa nafsu yang tidak mengenal aturan, nilai dan sopan santun, bahkan sering
didukung dan didorong-dorong oleh setan yang selalu mencari kesempatan untuk menghasut
manusia berbuat salah.[66] Keadaan seperti diatas akan mengangkat jiwa manusia diatas
dorongan-dorongan jasmani, membebaskannya dari belenggu-belenggu hawa nafsu dan
menutup pintu syaitan. Orang yang mendirikan shalat dalam arti serius akan dijauhkan oleh
Allah dari sifat keluh kesah dan kikir seperti yang terdapat pada kebanyakan orang.[67]

You might also like