You are on page 1of 18

MAKALAH BK

‘’TUHANKU DAN TUHANMU’’

D
I
S
U
S
U
N
OLEH
NAMA ANGGOTA : 1. RISE
2. AISYAH
3. GAZA
4. TIARA
5. POPPY
6. RIZKI
7. ADAY
8. ROBBY
GURU PEMBIMBING : EVA SILVIA

SMP NEGERI 1 MUARADUA


TAHUN AJARAN 2018 / 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,

serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah SEJARAH AGAMA HINDU ini

sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna

dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Sejarah Agama Hindu. Kami juga

menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa

yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa

yang akan datang.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya

laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya.

Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami

memohon kritik dan saran yag membangun demi kebaikan masa depan.

Muaradua, Agustus 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

ISI

1. PERKEMBANGAN SEJARAH AGAMA HINDU

2. PROSES MASUKNYA AGAMA HINDU DI INDONESIA

3. MAKNA DAN TATA CARA PERSEMBAHYANGAN UMAT HINDU

4. UPACARA ADAT TRADISI AGAMA HINDU

5. HARI-HARI SUCI AGAMA HINDU DI INDONESIA

PENUTUP
BAB I
ISI

1. PERKEMBANGAN SEJARAH AGAMA HINDU


AGAMA HINDU DI INDIA
Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni
Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda
purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada
jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah
sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan
ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap Dewa - Dewa. Jaman
Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d
1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran
tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti
Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya
adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa
dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut "Rta". Pada jaman ini, masyarakat
dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.
Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan,
kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman
Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya "Tata Cara Upacara" beragama yang teratur. Kitab
Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara
Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat - ayat Kitab Suci Weda.
Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan
Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka
tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah
agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang
tinggi - tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak
jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.
Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama "
Sidharta ", menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi,
sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari
sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.

AGAMA HINDU DI INDONESIA


Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya
berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari
Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama
Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan
akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke
Indonesia.
1. Krom (ahli - Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis", menyebutkan bahwa masuknya
pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh
golongan pedagang (Waisya) India.
2. Mookerjee (ahli - India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang
India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan
koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah
mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka
terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.
3. Moens dan Bosch (ahli - Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama
Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para
para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.
4. Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.
Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke
Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang
menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai
Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya
dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:

5. Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):


Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci
untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.
6. Prasasti Porong (Jawa Tengah)

Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat
kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya
Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk
Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk
Dharma.

AGAMA HINDU DI BALI


Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali
diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga
adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca
Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.
Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di
Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh
Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat
disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah
Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya
pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah
pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada ke Bali (tahun 1343)
sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada
masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya
Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra,
agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti
Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan
keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan
adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta
tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung,
Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung,
Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah
Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil
menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam
Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d
10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama
Parisada Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang
selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.

2. PROSES MASUKNYA AGAMA HINDU DI INDONESIA


Agama Hindu yang disebarkan di Indonesia kira-kira pada abad ke 15 S.M. nenek moyang dari bangsa
Indonesia memasuki Indonesia dari daratan Cina Selatan, dengan melewati tiga arah, bagian utara
melewati Jepang, Taiwan, Filipina, dan menyebar di Sulawesi (Indonesia), bagian Timur melewati, Irian
dan Melanisia dan dari arah barat lewat Cina, siam, Malaysia kemudian menyebar di Sumatra, Jawa
dan Kalimantan.
1. Awal Masuknya Agama Hindu Di Indonesia

Ada beberapa teori dan pendapat tentang bagaiman masuknya agama hindu dari India ke Indonesia :

 Moens dan Bosch (ahli - Belanda)

Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatria sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama
Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para
rohaniwan Hindu India ke Indonesia.

 Krom (ahli - Belanda), dengan teori Waisya.

Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis", menyebutkan bahwa masuknya
pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh
golongan pedagang (Waisya) India.

 Mookerjee (ahli - India tahun 1912).

Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang
India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni
dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka
sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi
penyebaran agama Hindu di Indonesia
Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan
adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi dengan diketemukannya
tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan
keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: "Yupa itu
didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman". Keterangan yang lain
menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa
Siwa. Tempat itu disebut dengan "Vaprakeswara". Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan
pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi
kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan
juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan
Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh
buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak.
Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.

Sejarah dan perkembangan Hindu diIndonesia tidak lepas dari sejarah Kerajaan-kerajaan Hindu di
Indonesia. Dari kerajaan satu ke kerajaan yang lain.
2. Tokoh-Tokoh Yang Berperan Dalam Penyebaran Agama Hindu Di Indonesia

Awal mula penyebaran agama Hindu di Indonesia dibawa oleh para Brahmana/ Rsi atau sarjana-sarjana
agama Hindu. Nama Rsi dari Kasi, Benares India yaitu penganut Siwa yang taat. Sebagai Dharma duta
menyebarkan agama Hindu ke India selatan. Nama Rsi Agastya juga terkenal samapai kenusantara
Indonesia.

3. Beberapa Isi prasasti yang menjelaskan kedatangan awal agama Hindu di Indonesia.

Ada beberapa prasasti peninggalan yang sudah ditemukan untuk membuktikan bahwa agama Hindu di
Indonesia sangat kuat sekali pengaruhnya. Sekitar tahun 400-500 dijawa Barat berdiri sebuah
kerajaan Tarumanegara yang rajanya bernama Purnawarman. Mulai abad ke-5 dengan diketemukannya
tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan
Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.
Di prasasti Ciaruteun didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa " Kedua tapak kaki ini adalah
tapak kaki Raja Purnawarman yang gagah berani, bagaikan tapak kaki Sang Hyang Wisnu" Ada juga
pada Prasasti Kebonkopi yang tertera gambar tampak kaki gajah yang dikatakan sebagai tapak kaki
Airwata gajah Indra.

Adapun beberapa peninggalan prasasti yang lainnya, seperti :

 Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):

Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci
untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.

 Prasasti Porong (Jawa Tengah)

Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat
kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya
Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk
Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk
Dharma.

 Prasasti Canggal (Mataram Jawa Tengah)

Pada tahun 732 ditulis dengan huruf pallawa dan berbahasa Sansekerta prasati itu menyebutkan
bahwa “ pada tahun saka yang telah lalu dengan ditandai dengan Saka Sruti Indriya Rasa (654 Saka)
pada hari senin, hari baik tanggal 13 bagian terang, bulan Karttika, Sang Raja Sanjaya mendirikan
Lingga yang ditandai dengan tanda-tanda di bukit yang bernama Sthirangga buat keselamatan rakyat.”
Ada juga prasasti Klurak (782) yang isinya ialah mengenai pembuatan Arca Manjusri yang
menggambarkan Budha, Dharma dan Sanggha yang sama pula dengan Brahma, Wisnu dan Maheswara.
Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut
Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka
jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai
manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah,
yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta
memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang
menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar,
diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
Untuk menambah pengetahuan. Menurut catatan, jumlah penganut Hindu di Indonesia pada tahun
2006 adalah 6,5 juta orang), [24] sekitar 1,8% dari jumlah penduduk Indonesia, merupakan nomor
empat terbesar. Namun jumlah ini diperdebatkan oleh perwakilan Hindu Indonesia, Parisada Hindu
Dharma Indonesia (PHDI). PHDI memberi suatu perkiraan bahwa ada 18 juta orang penganut Hindu di
Indonesia. Sekitar 93 % penganut Hindu berada di Bali. Selain Bali juga terdapat di Sumatera, Jawa,
Lombok, dan pulau Kalimantan yang juga memiliki populasi Hindu cukup besar, yaitu di Kalimantan
Tengah, sekitar 15,8 % (sebagian besarnya adalah Hindu Kaharingan, agama lokal Kalimantan yang
digabungkan ke dalam agama Hindu).

3. Makna dan Tata Cara persembahyangan Umat Hindu

Definisi Sembahyang

Salah satu hakekat inti ajaran agama adalah sembahyang. Menurut kitab Atharwa Weda XI. 1.1,
unsur iman atau Sraddha dalam Agama Hindu meliputi: (1) Satya, (2) Rta, (3) Tapa, (4) Diksa, (5)
Brahma dan (6) Yajna. Dari keenam unsur iman di dalam Agama Hindu menurut kitab Atharwa Weda
itu, dua ajaran terakhir termasuk ajaran sembahyang (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:12).

Sembahyang terdiri atas dua kata, yaitu: (1) Sembah yang berarti sujud atau sungkem yang
dilakukan dengan cara-cara tertentu dengan tujuan untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati
atau pikiran baik dengan ucapan kata-kata maupun tanpa ucapan, misalnya hanya sikap pikiran. (2)
Hyang berarti yang dihormati atau dimuliakan sebagai obyek dalam pemujaan, yaitu Tuhan Yang Maha
Esa (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:13).

Di dalam bahasa sehari-hari kata sembahyang kadang-kadang disebut “muspa” atau “mebhakti” atau
“maturan”. Disebut “muspa” karena dalam persembahyangan itu lazim juga dilakukan dengan
persembahan kembang (puspa). Disebut “mebhakti” karena inti dari persembahan itu adalah
penyerahan diri setulus hati tanpa pamrih kepada Hyang Widhi. Demikian pula kata “maturan” yang
artinya mempersembahkan apa saja yang merupakan hasil karya sesuai dengan kemampuan dengn
perasaan yang tulus ikhlas, seperti bunga, buah-buahan, jajanan, minuman dan lain-lain (Bajrayasa,
Arisufhana & Goda 1981:13). Mangku Linggih, pemangku di Pura Parahyangan Jagat Kartta Gunung
Salak Bogor, menambahkan makna maturan sebagai wujud syukur atas rejeki yang diberikan Hyang
Widhi, sehingga kita wajib mempersembahkan/menghaturkan pemberian beliau terlebih dahulu.
Setelah sembahyang baru kita “ngelungsur (prasadam)” apa yang telah kita haturkan, seperti canang,
buah-buahan, dan sebagainya.

Manfaat Bersembahyang

Menurut Ketut Wiana (2005:49) salah satu manfaat sembahyang adalah untuk memelihara
kesehatan. Selain pikiran menjadi jernih, sikap-sikap sembahyang seperti asana (padmasana,
siddhasana, sukhasana, dan bajrasana) membuat otot dan pernafasan menjadi bagus.

Selain untuk kesehatan, bersembahyang dan berdoa juga mendidik kita untuk memiliki sifat ikhlas
karena apa yang ada di dalam diri dan di luar diri kita tidak ada yang kekal, cepat lambat akan kita
tinggalkan atau berpisah dengan diri kita. Keikhlasan inilah yang dapat meringankan rasa penderitaan
yang kita alami karena kita telah paham benar akan kehendak Hyang Widhi. Bersembahyang juga
dapat menentramkan jiwa karena adanya keyakinan bahwa Tuhan selalu akan melindungi umatNya.

Perbudakan materi juga dapat diatasi dengan bersembahyang karena orang akan dapat melihat
dengan terang bahwa harta benda harus dicari dengan Dharma untuk melaksanakan Dharma.
Sembahyang dengan tekun akan dapat menghilangkan rasa benci, marah, dendam, iri hati dan
mementingkan diri sendiri, sehingga meningkatkan cinta kasih kepada sesama. Membenci orang lain
sama saja dengan membenci diri sendiri karena Jiwatman yang ada pada semua makhluk adalah satu,
bersumber dari Tuhan, seperti yang diajarkan dalam ajaran Tat Twam Asi. Kemudian dengan
sembahyang kita dimotivasi untuk melestarikan alam karena bersembahyang membutuhkan sarana
yang berasal dari alam, seperti bunga, daun, buah, sumber mata air, dan sebagainya.

Persiapan Sembahyang

Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan persiapan batin. Persiapan lahir seperti pakaian,
bunga, dupa, sikap duduk, pengaturan nafas dan sikap tangan. Sedangkan persiapan bathin adalah
ketenangan dan kesucian pikiran. Langkah-langkah persiapan dan sarana-sarana sembahyang (Sujana &
Susila, 2002:27-28) adalah sebagai berikut:

1. Asuci laksana, yaitu membersihkan badan dengan mandi.

2. Pakaian, hendaknya memakai pakaian sembahyang yang bersih serta tidak mengganggu ketenangan
pikiran dan sesuai dengan Desa Kala Patra (waktu, tempat dan keadaan).

3. Bunga dan Kawangen, yaitu lambang kesucian sehingga diusahakan memakai bungan yang segar,
bersih dan harum. Jika dalam persembahyangan tidak ada kawangen, maka dapat diganti dengan
bunga. Menurut Mangku Gede Darsa, pemangku Pura Parahyangan Jagat Kartta Gunung Salak Bogor,
kawangen berasal dari kata kewangi (keharuman) yang menunjukkan cinta harum kita kepada Hyang
Widhi. Beliau juga menambahkan bahwa kawangen juga menyimbolkan alam bhuana agung, seperti
bulan, matahari dan bintang. Bentuknya yang segitiga menunjukkan apa yang kita mohon menuju
pada diri kita.

4. Dupa, yaitu simbol Hyang Agni, saksi dan pengantar sembah kita kepada Hyang Widhi.

5. Tempat duduk hendaknya tidak menggangu ketenangan untuk sembahyang dan diusahakan
beralaskan tikar dan sebagainya. Arah duduk adalah menghadap pelinggih.

6. Sikap duduk dapat dipilih sesuai Desa Kala Patra dan tidak mengganggu ketenangan hati. Ada empat
yaitu padmasana, siddhasana, sukhasana, dan bajrasana.

7. Sikap tangan yang baik pada waktu sembahyang adalah “cakupang kara kalih”, yaitu kedua telapak
tangan dikatupkan diletakkan di depan ubun-ubun. Bunga atau kawangen dijepit pada ujung jari.

Urutan Sembahyang

Menurut Mangku Linggih, sebelum kita masuk ke areal Pura hendaknya “melukat” terlebih dahulu
dengan memercikkan tirtha kepada diri kita, sebagai simbol menyucikan diri dan mohon ijin secara
niskala. Mangku Gede Darsa menambahkan bahwa umat hendaknya masuk ke Pura melalui pintu sebelah
kiri dan keluar menuju pintu sebelah kanan karena harus sesuai dengan arah perputaran waktu yang
selalu maju.

Sebelum melaksanakan Panca Kramaning Sembah hendaknya melaksanakan Puja Trisandya. Mangku
Darsana memberi saran, “Dalam melakukan Puja Trisandya baik sendirian maupun berkelompok
hendaknya kita berkonsentrasi dengan baik, mengikuti desah nafas kita dengan halus dan pelan.
Sepanjang mampu kita bernafas lantunkanlah sloka-sloka tersebut dengan lemah lembut. Kalau kita
melantunkan sloka dengan pikiran, maka mantram tersebut seperti terkejar-kejar atau belomba-
lomba dan tidak berakhir dengan bersamaan”.

Setelah melakukan Puja Trisandya, kita lanjutkan dengan melaksanakan Panca Kramaning Sembah
yang bermakna (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:29) sebagai berikut:

1. Sembah pertama dengan tangan kosong (puyung) yang intinya bertujuan untuk memohon kesucian
dan memusatkan pikiran.

2. Sembah kedua, ketiga dan keempat dengan memakai bungan dan kawangen dengan tujuan
penyampaian rasa hormat kepada Tuhan, penyampaian hormat kepada sifat wujudNya dalam segala
manifestasiNya dan kepada para Dewa, serta penyampaian permohonan maaf dan permohonan
anugrah.

3. Sembah kelima, yaitu sembah tangan kosong yang merupakan sembah penutup sebagai rasa terima
kasih atas rahmatNya dan mengantarkan kembali ke alam gaib.
Setelah melaksanakan persembahyangan, umat dipercikkan tirtha wangsuh Ida Bhatara. Tirta ini
dipercikkan 3-7 kali di kepala, 3 kali diminum dan 3 kali mencuci muka (meraup). Hal ini dimaksudkan
agar pikiran dan hati umat menjadi bersih dan suci. Kebersihan dan kesucian hati adalah pangkal
ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan lahir dan bathin itu sendiri (Sujana & Susila, 2002:31)

Kemudian mawija atau mabija dilakukan setelah selesai metirtha yang merupakan rangkaian
terakhir dari suatu persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan air atau air
cendana. Bila dapat diusahakan beras galih, yaitu beras yang utuh tidak patah (aksata). Wija atau bija
adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Jadi, mewija mengadung makna
menumbuh kembangkan benih ke-Siwa-an itu di dalam diri umat (Sujana & Susila, 2002:31-32).

Mangku Gede Darsa memberi saran dalam melaksanakan Panca Kramaning Sembah yang dipimpin
oleh Pinandita, hendaknya umat tidak ikut me-mantram. Hal ini dianalogikan bahwa Pinandita itu
seperti supir bus, sedangkan umat adalah penumpang. Sopir akan mengantarkan penumpangnya sampai
tempat tujuan atau terminal. Jika penumpang juga ikut menyetir akan timbul kegaduhan. Sehingga,
persembahyangan tidak menjadi tenang dan menggangu umat lain yang ingin mengadu masalah hidup
kepada Hyang Widhi dan memohon sinar suci-Nya dan tuntunan-Nya menghadapi masalah. Namun, ikut
me-mantram tidak dilarang karena menurut Mangku Gede Darsa bahwa mungkin umat itu tidak sedang
dalam masalah atau ingin belajar menghapalkan mantram tersebut, asal tidak mengganggu konsentrasi
umat lain yang sedang sembahyang.

Sesungguhnya begitu banyak makna yang terkandung dalam persembahyangan, tidak hanya sekedar
“nyakupang tangan” dan “ngelungsur”. Semoga ulasan sederhana mengenai makna dan tata cara
persembahyangan umat Hindu dapat bermanfaat bagi umat seDharma.

4. UPACARA ADAT TRADISI AGAMA HINDU

Ada beberapa rangkaian upacara atau tradisi yang beraneka ragam di Bali khusus nya bagi pemeluk
agama hindu . Tradisi inilah yang membuat para wisatawan lokal maupun manca negara datang dan
berkunjung ke Bali. selain melihat tempat - tempat yang indah juga melihat tradisi bali seperti
Pengabenan, Potong gigi , Pernikahan, Otonan dan masih banyak yang lainnya. berikut beberapa
penjelasan dari upacara tersebut

1. Pengabenan

Ngaben merupakan upacara kremasi atau pembakaran jenazah di Bali, Indonesia. Upacara adat
Ngaben merupakan sebuah ritual yang dilakukan untuk mengirim jenazah pada kehidupan mendatang.
Dalam upacara ini, jenazah diletakkan dengan posisi seperti orang tidur. Keluarga yang ditinggalkan
pun akan beranggapan bahwa orang yang meninggal tersebut sedang tertidur. Dalam upacara ini, tidak
ada air mata karena mereka menganggap bahwa jenazah hanya tidak ada untuk sementara waktu dan
menjalani reinkarnasi atau akan menemukan peristirahatan terakhir di Moksha yaitu suatu keadaan
dimana jiwa telah bebas dari reinkarnasi dan roda kematian. Upacara ngaben ini juga menjadi simbol
untuk menyucikan roh orang yang telah meninggal.
Dalam ajaran agama Hindu, jasad manusia terdiri dari badan halus (roh atau atma) dan badan kasar
(fisik). Badan kasar dibentuk oleh lima unsur yang dikenal dengan Panca Maha Bhuta. Kelima unsur ini
terddiri dari pertiwi (tanah), teja (api), apah (air), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa). Lima unsur
ini menyatu membentuk fisik dan kemudian digerakkan oleh roh. Jika seseorang meninggal, yang mati
sebenarnya hanya jasad kasarnya saja sedangkan rohnya tidak. Oleh karena itu, untuk menyucikan roh
tersebut, perlu dilakukan upacara Ngaben untuk memisahkan roh dengan jasad kasarnya.
Bagi masyrakat di Bali, Ngaben adalah momen bahagia karena dengan melaksanakan upacara ini, orang
tua atau anak-anak telah melaksanakan kewajiban sebagai anggota keluarga. Oleh sebab itu, upacara
ini selalu disambut dengan suka cita tanpa isak tangis. Mereka percaya bahwa isak tangis justru hanya
menghambat perjalanan roh mencapai nirwana.Hari yang sesuai untuk melakukan upacara Ngaben
biasanya didiskusikan dengan para tetua atau orang uang paham. Tubuh jenasah akan diletakkan di
dalam sebuah peti. Peti ini diletakkan di dalam sebuah sarcophagus yang berbentuk lembu atau
diletakkan di sebuah wadah berbentuk vihara. Wadah ini terbuat darI kertas dan kayu. Bentuk vihara
atau lembu ini dibawa menuju ke tempat kremasi melalui suatu prosesi. Prosesi tersebut tidak
berjalan pada satu jalan lurus karena bertujuan untuk menjauhkan roh jahat dari jenasah.
Puncak Upacara adat Ngaben adalah prosesi pembakaran keseluruhan struktur yaknik Lembu atau
vihara tadi berserta dengan jenasah. Prosesi Ngaben biasanya memerlukan waktu yang cukup lama.
Bagi jenasah yang masih memiliki kasta tinggi, ritual ini bisa dilakukan selama 3 hari. Namun, untuk
keluarga yang kastanya rendah, jenasah harus dikubur terlebih dahulu baru kemudian dilakukan
Ngaben.

gambar proses pengabenan

2. Potong Gigi ( Mapandes)

Upacara Potong Gigi mengandung arti pembersihan sifat buruk yang ada pada diri manusia. Potong gigi
dalam bahasa Bali Mepandes bisa juga disebut Matatah atau Mesanggih, dimana 6 buah taring yang
ada di deretan gigi atas dikikir atau ratakan, upacara ini merupakan satu kewajiban, adat istiadat dan
kebudayaan yang masih terus dilakukan oleh umat Hindu di Bali secara turun temurun sampai saat ini.
Upacara ini dianggap sakral dan diperuntukan bagi anak anak yang mulai beranjak dewasa, dimana bagi
anak perempuan yang telah datang bulan atau mensturasi, sedangkan bagi anak laki laki telah
memasuki masa akil baliq atau suaranya telah berubah, dengan upacara ini juga anak anak dihantarkan
ke suatu kehidupan yang mendewasakan diri mereka yang di sebut juga niskala.
Adapun 6 sifat buruk dalam diri manusia atau disebut juga sad ripu yang harus dibersihkan tersebut
adalah:

1. Hawa nafsu
2. Rakus/Tamak/keserakahan
3. Angkara murka/kemarahan
4. Mabuk membutakan pikiran
5. Perasaan bingung
6. Iri hati/ dengki
Dari semua sifat yang ada ini, bila tidak dikendalikan dapat mengakibatkan hal hal yang tidak
baik/diinginkan, juga bisa merugikan dan membahayakan bagi anak anak yang akan beranjak dewasa
kelak dikemudian hari. Oleh karena itu kewajiban bagi setiap orang tua untuk dapat memberi nasehat,
bimbingan serta permohonan doa kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha ) agar anak mereka
terhindar dari 6 pengaruh sifat buruk yang sudah ada sejak manusia di lahirkan di dunia.
Kegiatan saat upacara

1. Pendeta atau orang yang terhormat dalam upacara ini minta restu di tempat suci, lalu anak
anak atau remaja yang akan melaksanakan potong gigi dipercikan air suci/tirta, setelah itu
mereka memohon keselamatan untuk melaksanakan upacara.
2. Pendeta melakukan potong rambut dan menuliskan lambang lambang suci dengan tujuan
mensucikan diri serta menandai adanya peningkatan status sebagai manusia, untuk
meninggalkan masa kanak kanak ke masa remaja.
3. Anak anak yang akan di potong giginya naik ke bale tempat pelaksaaan Mepandes dengan
terlebih dahulu menginjak sesajen yang telah disediakan sebagai symbol mohon kekuatan
kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).
4. Setelah pemotongan gigi berlangsung, bekas air kumur kumur dibuang di dalam buah kelapa
gading, ini bertujuan agar tidak mengurangi nilai kebersihan dan kesakralan dalam menjalankan
upacara ini.
5. Lalu dilanjutkan dengan melakukan penyucian diri oleh pendeta agar dapat menghilangkan
bala/kesialan untuk menyongsong kehidupan masa remaja.
6. Melaksanakan Mapedamel yang bertujuan sebagai symbol restu dari Dewa Semara dan Dewi
Ratih agar dalam kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang yang bijaksana, dalam
mengarungii kehidupan di masa datang. Di saat melakukan upacara ini anak anak mengenakan
kain putih dan kuning, memakai benang pawitra berwarna tridatu (merah, putih dan hitam)
sebagai simbol pengikat diri terhadap norma norma agama, kemudian anak anak yang dipotong
giginya mencicipi 6 rasa (pahit, asam, pedas, sepat, asin dan manis) yang mempunyai arti dan
makna makna tertentu.
7. Setelah proses mapedamel dilakukan, dilanjutkan dengan upacara Natab Banten, yang
bertujuan memohon anugerah kepada Hyang Widhi agar apa yang menjadi tujuan dapat
tercapai.
8. Setelah proses upacara tersebut dilakukan dilanjutkan dengan Metapak, tujuan adalah
memberitahukan kepada anak nya bahwa kewajiban sebagai orang tua dari melahirkan,
mengasuh dan membimbing sudah selesai, diharapkan sang anak kelak setelah upacara ini
menjadi orang yang berguna, sebaliknya si anak kepada orang tua nya menghaturkan sembah
sujud ungkapan terima kasih sudah dengan susah payah berkorban jiwa dan raga untuk
melahirkan mereka, mengasuh, membesarkan, mendidik dan membimbing mereka menuju jalan
yang baik dan benar sampai dewasa. (Ida Pandita Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi)

Dari serangkaian upacara diatas dapat kita pahami bahwa dalam diri setiap manusia sejak mereka
dilahirkan sudah terdapat sifat yang tidak baik, dengan melakukan upacara Mepandes ini anak yang
sudah dewasa diingatkan dan diajarkan untuk tidak terjerumus dalam perbuatan yang dilarang agama
dan bisa menjadi manusia yang berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa.

3.Pernikahan Adat Bali

Dalam ajaran Hindu terdapat empat tahap dalam mencapai tujuan hidup, adapun tujuan hidup tersebut
dinamakan Catur Purusa Artha terdiri dari Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Dalam pelaksanaannya
dilakukan secara bertahap.

Sementara dalam Perkawinan adalah bentuk perujudan dari suatu usaha untuk mencapai tujuan hidup.
Dalam lontar Agastya Parwa disebutkan "Yatha sakti Kayika Dharma" ini bermakna dengan kemampuan
sendiri melaksanakan Dharma

Upacara perkawinan pada hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan
kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.
Sedangkan pengertian perkawinaan sendiri adalah jalinan ikatan secara lahir batin antara seorang pria
dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk suatu keluarga yang bahagia dan abadi
selamanya hingga akhir usia.
Bila seseorang sudah berniat melakukan perkawinan, diharapkan sudah mereka sudah siap lahir dan
batin dalam menempuk bahtera rumah tangga kelak.
Dalam perkawinan umat Hindu di Bali, ada dua tujuan hidup yang harus dapat diselesaikan dengan
tuntas yaitu mewujudkan artha dan kama yang berdasarkan Dharma.
Sebelum seseorang memasuki jenjang perkawinan dibutuhkan suatu bimbingan, nasehat dan wejangan
agar dalam pelaksaanaannya nanti tidak mengalami kendala, masalah yang mungkin akan timbul dalam
mengarui biduk bahtera rumah tangga, bimbingan ini diberikan dari orang yang mengerti dan ahli
dalam bidang agama Hindu, orang yang mengerti agama ini akan menerangkan apa yang menjadi tugas
dan kewajiban bagi orang yang telah terikat dalam pernikahan sehinggabisa mandiri di dalam
mewujudkan tujuan hidup mendapatkan artha dan kama berdasarkan Dharma.
Lalu dilanjutkan dengan proses penyucian diri yang bertujuan memberikan kesempatan kepada leluhur
untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya (umat Hindu di Bali percaya leluhur yang
sudah meninggal dapat berenkarnasi dalam perujudan anak cucu kembali) untuk peleburan perbuatan
buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia. Melahirkan anak lewat
perkawinan mengasuh, membimbing, memeliharanya dan mendidik dengan penuh kasih sayang
sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Terlebih lagi kalau anak tersebut dapat menjadi manusia
yang sempurna, akan merupakan suatu perbuatan melebihi seratus yadnya, demikian disebutkan dalam
Slokantara.
Perkawinan bagi umat Hindu merupakan sesuatu yang suci dan sakral. Saat itu perkawinan layak atau
tidak nya ditentukan oleh seorang Resi, dimana sang Resi (Bramana Sista) ini mampu melihat lewat
mata batin cocok tidaknya dari pasanngan yang akan dinikahkan, bila tidak cocok atau jodoh akan
dibatalkan karena bisa berakibat buruk bagi kehidupan rumah tangga mereka nanti. Namun seiring
masa berganti dan pertimbangan duniawi lebih mempengaruhi orang tua dalam memilih jodoh untuk
anak anak mereka dan bukan lagi nilai budi pekerti yang di junjung tinggi
Pernikahan adat Bali menggunakan sistem patriarki yaitu semua tahapan dan proses pernikahan
dilakukan di rumah mempelai pria.
Menurut UU perkawinan no 1 thn 1974, sah tidaknya suatu perkawinan adalah sesuai menurut hukum
dan agama masing masing.
Proses upacara adat pernikahan di Bali disebut “ Mekala-kalaan (natab banten). Pelaksaan upacara ini
dipimpin oleh seorang pendeta yang diadakan di halaman rumah sebagai titik sentral kekuatan Kala
Bhucari yang dipercaya sebagai penguasa wilayah madyaning mandala perumahan.

Makalan-kalaan sendiri berasal dari kata Kala yang mengandung pengertian energi. Upacara mekala-
kalaan ini mempunyai maksud untuk menetralisir kekuatan kala/energi yang bersifat buruk/negatif
dan berubah menjadi positif/baik.

Adapun maksud dari upacara ini adalah sebagai pengesahan perkawinan antara kedua mempelai dan
sekaligus penyucian benih yang terkandung di dalam diri kedua mempelai.

4. Otonan

Dalam masyarakat Hindu Bali terdapat berbagai upacara, salah satu kegiatan upacara tersebut adalah
Otonan. Otonan sendiri mengandung pengertian sebagai hari kelahiran berdasarkan wuku kalender
Hindu Bali. Upacara Otonan ini biasanya diadakan bersamaan dengan Sapta Wara, Panca Wara dan
wuku yang sama.Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan
yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih sempurna.

Upacara Otonan mempunyai perbedaan dengan peringatan hari ulang tahun kelahiran biasa yang sering
diperingati orang pada umumnya, dalam peringatan ulang tahun yang sering dilakukan pada umumnya
menggunakan perhitungan tanggal dan bulan saja, sebagai contoh seseorang yang lahir tanggal 06 Juni,
maka peringatan hari ulang tahunnya diperingati setiap tanggal 06 Juni pada tahun berikutnya (12
bulan kalender masehi). Sedangkan Otonan dirayakan berdasarkan wuku yaitu setiap 6 bulan (210
hari), contoh seseorang lahir pada hari Selasa, maka Otonan akan diperingati pada hari yang sama
yaitu hari Selasa juga yang datangnya setiap 6 bulan sekali, dengan kata lain Otonan merupakan hari
kelahiran yang dihitung dan diperingati bukan tanggal lahirnya yang diperingati.
Upacara Otonan dilaksanakan pertama kali saat usia bayi berumur 210 hari. Otonan ini biasanya
dipimpin oleh seorang Pendeta, Pemangku atau orang yang dituakan dalam keluarga.
Adapun tata cara pelaksaan upacara Otonan ini adalah :

1. Pendeta melakukan pemujaan untuk memohon kesaksian terhadap Hyang Widhi dengan segala
keagungannya.
2. Melakukan pemujaan terhadap Siwa Raditya (Suryastawa).
3. Melakukan penghormatan kepada leluhur.
4. Melakukan pemujaan saat melaksanakan potong rambut.
5. Melakukan pemujaaan saat Otonan dan bersembahyang.

Semua rangkaian pelaksaan upacara ini diadakan di rumah dan akan terus dilakukan selama masih
hidupnya. Biasanya upacara Otonan ini saat pertama kali dilakukan dengan meriah, selanjut nya
dilaksanakan dengan sederhana. Untuk potong rambut hanya dilakukan sekali saja pada saat pertama
yang berguna untuk membersihkan kotoran pada kulit kepala. Bila Otonan ini bertepatan dengan
purnama akan dilaksanakan upacara yang lebih meriah.

Upacara Otonan bermakna sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Hyang Widhi atas
berkah dan rahmat yang diberikan Nya

5. Hari-hari suci Agama Hindu di Indonesia

A. Pendahuluan

Tiap–tiap golongan manusia yang ada di dunia ini, baik sebagai warga dari suatu negara atau bangsa,
maupun sebagai penganut dari suatu agama. Masing-masing mempunyai hari raya tertentu yang
dianggap suci (kramat) dan mulia, yang tidak dilewatkan begitu saja tanpa disertai dengan suatu
upacara perayaan (peringatan), meskipun hanya secara sederhana saja.

Hari-hari suci bagi umat Hindu, ialah suatu hari yang dipandang suci, karena pada hari-hari itu umat
hindu wajib melakukan pemujaan terhadap Hyang Widhi Wasa (Tuhan yang Maha kuasa) beserta
segala manifestasi Nya. Hari- hari suci pada hakekatnya merupakan hari-hari peyogaan Hyang Widhi
dengan segala manifestasi-Nya. Oleh karena itu pada hari-hari tersebut merupakan hari-hari yang
baik untuk melakukan Yadnya.

Yadnya ini dilakukan oleh umat manusia. Sebagai penghormatan dan pemujaan terhadap hyang Widhi
(Tuhan Maha Pecipta), atas segala cinta kasih-Nya yang tidak terbatas yang telah dilimpahkan-Nya
dan atas sinar suci atau rahmat-Nya kepada semua kehidupan di dunia ini.

B. Hari Nyepi (Tahun baru)


Hari Nyepi1[1] diperingati sebagai tahun baru Caka, yang jatuh sehari sesudah X (Kesada). Adapun
Rangkaian Hari Nyepi (Tahun Baru Caka) ini, adalah sebagai berikut:

1. Melis/Mekiis/Melasti, yang jatuh pada trayodasa krenapaksa sasih IX (Kesanga) atau pada
pengelong 13 sasih Kesanga adalah Hari yang baik untuk mengkiyis atau melis ini, juga dimaksudkan
untuk mengadakan pembersihan atau penyucian segala sarana dan prasarana perangkat alat-alat yang
dipergunakan untuk persembahyangan. Melis ini biasa dilakukan dilaut atau pada sumber air yang lain
sesuai dengan desa, kala dan patra umat masing-masing dengan tujuan memohon tirtha amertha (air
kehidupan) dan tirtha pembersihan kehadapan Hyang Widhi Wasa (Tuhan Maha Kuasa).

2. Upacara Bhuta Yadnya (Tawur atau meracu), jatuhnya pada Tilem sasih kesanga. Hari ini disebut
juga pengerupukan yang bertujuan untuk menghilangkan unsur-unsur kejahatan yang merusak
kesejahteraan umat manusia. Di saat umat hindu bersiap untuk melepaskan tahun lama dengan
mengadakan pecaruan agar segera kekuatan yang negatif tidak mengikuti manusia melangkah ketahun
yang baru. Di samping itu adalah untuk menormalisir unsur-unsur panca Mahabhuta, yaitu lima unsur
yang menjadi alam semesta (makrokosmos) dan badan makhluk hidup (mikrokosmos).

3. Sipeng (Hari Nyepi), yang disebut juga sebagai tahun Baru Caka pada hari ini umat melakukan
tapa, bratha, yoga, samadhi, satu hari penuh (24 jam), untuk mengekang hawa nafsu, tidak makan dan
tidak minum. Pemadaman nafsu-nafsu ini diperagakann dengan tidak menyalakan apai (amati geni) tidak
bekerja (amati karya), tidak berpergian (amati lelangun). Jelasnya pada sipeng ini kita menyucikan diri
dan memusatkan pikiran dengan mengendalikan segala nafsu, berpuasa, bertapa samadhi menciptakan
ketenangan dan kedamaian sehingga pikiran bisa bergerak menjelajahi atau meneliti kembali segala
perbuatan yang telah diperbuat di masa lalu dan memupuk perbuatan yang baik serta melebur yang
tidak baik. dengan hikmah Nyepi (Tahun Baru Caka) kita peringatkan agar berbuat dengan “ Sepi Ing
Pamrih”.

4. Ngembak Api (Gni), yang jatuh sehari setelah Nyepi. Hari ini memulainya aktivitas kita dengan
panjatan doa, mohon semoga Hyang Widhi menganugrahi kita jalan yang terang, terlepas dari
mkegelapan masa silam dan dengan jiwa terang memasuki Tahun Baru. Saat ini pulalah kita hendaknya
salaing maaf memaafkan antara sesama manusia sebagi makhluk Tuhan.

C. Hari Ciwaratri

Ciwaratri berarti malam renungan suci atau malam pelaburan dosa. Hari Ciwaratri jatuh pada
Purwanining Tilem Ke VII (kepitu), yaitu sehari sebelum bulan mati sekitar bulan januari.2[2] Pada
hari ini kia melakukan Puasa dan Yoga samadhi dengan maksud untuk memperoleh pengampunan hari
Hyang widhi atas dosa yang diakibatkan oleh awidnya (kegelapan).

Hari ciwaratri kadang kala disebut juga hari pejagaran. Karena pada hari ini Hyang Widhi (Tuhan Yang
Maha Esa). Yang bermanifestasikan sebagai Ciwa dalam fungsinya sebagai pelebur, melakukan Yoga
Yoga semalam suntuk, karena Itu pada hari Ini kita memohon kehadapan- Nya agar segala dosa –dosa
kita dapat dilebur.

Pada malam Ciwaratri ini. Setiap orang mendapat kesempatan untuk melebur perbuatan buruknya
(dosanya) dengan jalan melaksanakan brata Ciwaratri. Hal ini disebutkan dalam kitab Padma Purama.
Bahwa sesungguhnya malam Ciwaratri itu adalah malam peleburan dosa, yaitu peleburan atas dosa-
dosa yang dilakukan oleh seseorang didalam hidupnya.

D. Hari Galungan

Galunagan adalah pemujaan kepada Hyanng Widhi yang dilakukan dengan penuh kesucian dan ketulusan
hati. Memohon kesejahteraan dan keselamatan hidup serta agara dijauhkan dari awidya. Hari raya
galungan adalah hari pawedalam jagat.3[3] Yaitu pemujaan bahwa telah terciptnya jagat dengan segala
isinya oleh Hyang Widhi. Hari ini muncul setiap 210 hari sekali. Yaitu pada hari rabu kliwon Wuku
Dungulan.4[4]

Galungan merupakan perlambang perjuangan antara yang benar (dharma) nmelawan tidak benar
(adharma) dan juga sebagi pernyataan rasa terimakasih atas kemakmuran dalam alam yang diciptkan
Hyang Widhi ini.

Disamping itu pula, perayaan galungan adalah untuk menyatakan terima kasih dan rasa bahagia atas
kemurahan Hyang Widhi yang dibayangkan telah sudi turun dengan diiringi oleh para dewa dan para
Pitara ke dunia.

Sehari sebelum galungan, yaitu pada hari selasa Wage wuku Dungulan. Disebut hari Hari Penampahan.
Mulai saat penampahan ini segala bentuk nafsu hendaknya dikendalikan dalam rangka menyambut hari
raya Galungan (Besoknya), karena pada hari Penampahan iini manusia berusaha digoda oleh nafsu-
nafsunya yang bersifat negatif, misalnya nafsu murka, iri hati, sombong, congkak dan lain-lainnya,
yang dilambangkan dengan Sang kala Tiga. Apabila manusia pada saat itu kurang waspada dan tidak
dapat mengendalikan dirinya sendiri, maka ia akan dikuasai adanya dorongan nafsu marah, sering
terjadi pertengkaran-pertengkaran .perselisihan dan lain sebagainya.

E. Hari kuningan

Kuningan jatuh setiap Sabtu Kliwon Wuku Kuningan 210 hari sekali yakni sepuluh hari setelah
Galungan. Hari Kuningan adalah hari payogaan Hyang Widhi yang turun kedunia dengan diiringi oleh
para Dewa dan Pitara pitari melimpahkan Karunia-Nya kepada umat manusia. Karena itu pada hari
Kuningan kita hendaknya mengahturkan bakti memohon kesentosaan, keselamatan, perlindungan dan
tuntunan lahir bathin.

Pada hari kuningan ini, sajen (banten) yang dihaturkan harus dilengkapi dengan nasi yanng berwarna
kuning. Tujuannya adalah sebagai tanda terima kasih atas kesejahteraan dan kemakmuran yang
dilimpahkan oleh Hyang Widhi Wasa. Pada hari ini kita membuat tamiang, endongan dan kolem yang
dipasang pada Padmasana. Sanggah (Merajan) dan Penjor. Tamiang ini adalah simbol alat penangkis
dari serangan, endongan adalah simbul tempat makanan karena itu endongan berisi buah-buahan, tebu,
tumpeng serta lauk pauknya, dan kolem merupakan simbul tempat istirahat atau tidur. Upacara
persembanhyangan hari kuningan harus sudah selesai sebelum tengah hari.

F. Hari Purnama dan Tilem

Purnama dan Tilem, Juga merupakan hari suci bagi umat Hindu, yang harus disucikan dan dirayakan
untuk memohon berkah, rahkmat dan Karunia dari Hyang Widhi.

Pada hari Purnama adalah payogaan Sanghyang Candra dan pada hari raya Tilem adalah Payogaan
Sanghyang Surya. Kedua-duanya sebagai kekuatan dan sinar suci Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha
Kuasa) dalam manifestasinya berfungsi sebagai pelebur segala mala (kekotoran) yang ada di dunia.

Bila pada hari Purnama atau Tilem umat manusia menghaturkan upakara yadnya dan persembahyangan
kehadapan hyang Widhi, dari nilai satu aturan (bhakti) yang dipersembahkan itu akan mendapat
imbalan anugrah bernilai sepuluh dari hyang Widhi.

Demikianlah hari Purnama dan Tilem itu yang merupakan hari Suci yang harus dirayakan oleh umat
Hindu untuk memohon anugrah dan rakhmat serta keselamatan dan kesucian lahir bathin. Pada hari
Purnama dan Tilem hendaknya mengadakan upacara-upacara persembahyanngan dengan rangkaiannya
berupa upakara yadnya sebagai salah satu aspek dari pada pengalaman ajaran agama.

Hari Purnama jatuh setiap bulan penuh (sukla paksa), sedangkan Tilem jatuh setiap bulan mati (krsna
paksa). Baik purnama maupun Tilem datengnya setiap 30 atau 29 hari sekali.

Pada hari Purnama dan Tilem ini kitahendaknya mengadakan pembersihan secara lahir batin, karena
itu, disampping bersembahyang mengadakan puja bhakti kehadapan Hyang Widhi untuk memohon
anugrah-Nya, juga kita hendaknya mengadakan pembersihan dengan air (mandi yang bersih). Menurut
pandangan Hindu bahwa air merupakan sarana pembersihan yang amat penting didalam kehidupan
manusia. Disamping itu pula air merupakan sarana pembersih, juga sebagai pelebur kotoran.

G. Hari Saraswati

Hari Saraswati, adalah hari raya untuk memuja hyang Widhi dalam menifestasinya dan kekuatannya
menciptakan ilmu pengetahuan dan ilmu kesucian. Hari Raya Saraswati merupakan piodalan Sang hyang
Aji Saraswati atau turunya Weda yang dirayakan setiap hari sabtu Umanis Wuku Watugunung, yang
jatuhnya setiap 210 hari sekali. Kekuatan Hyang Widhi dalam Manifestasin-Nya menurunkan Ilmu
pengetahuan dilambangkan dengan seorang “Dewi”. Dewi Saraswati merupakan Dewi ilmu pengetahuan
Suci, karena itu bagi para arif bijaksana, pelajar dan kaum cendikiawan, saraswati ini merupakan hari
penting untuk memuja kebesaran hyang Widhi atas segala Ilmu pengetahuan suci yang telah
dianugrahkan itu.

Dewi Saraswati merupakan sakti Brahma (manifestasi Hyang Widhi dalam hal mencipta), yang
mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan. Dari ilmu pengetahuan inilah
timbul ciptaan-ciptaan baru yang ada didunia, tanpa ilmu pengetahuan manusia tidak mungkin dapat
menciptkan yang baru.

PENUTUP

Kesimpulan

Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat

diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4

Masehi dengan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di

Kalimantan Timur.

Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada

waktu itu yang menyatakan bahwa: “Yupa itu didirikan untuk memperingati dan

melaksanakan yadnya oleh Mulawarman”. Keterangan yang lain menyebutkan bahwa

raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa.

Tempat itu disebut dengan “Vaprakeswara”.

Saran

Demikianlah makalah ini saya susun, agar dapat berguna bagi para pembaca dan

dapat mngetahui bagaimana sejarah agama hindu dan perkembangan nya di Indonesia.
Saya sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah kami ini, untuk itu saran

yang mmbangun sangat saya harapkan demi terwujudnya makalah yang sempurna.

You might also like