Professional Documents
Culture Documents
DISUSUN OLEH :
Nurul Oktariani Azis (C111 15 042)
SUPERVISOR PEMBIMBING :
dr. Akhtar Fajar M, Sp.JP, FIHA
1
LEMBAR PENGESAHAN
Supervisor Pembimbing,
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT atas rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “ST Elevasi Miocardial
Infarction (STEMI)”
Sepanjang penyusunan laporan kasus ini, beberapa pihak-pihak yang
memberikan kontribusi baik sumbangan waktu, ide, tenaga, dan dukungan
sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya. Untuk itu, tidak ada yang
dapat kami sampaikan kecuali rasa terima kasih mendalam kepada semua pihak
yang telah membantu, khususnya kepada pembimbing kami, dr. Akhtar Fajar M,
SpJP, FIHA
Kami menyadari laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna.Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan
laporan kasus selanjutnya.Terima kasih.
Penulis
3
DAFTAR ISI
Halaman pengesahan.............................................................................................. 2
Daftar Isi................................................................................................................. 4
4
BAB 1
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. R
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Buruh
Agama : Islam
Alamat : Jl. Muhajirin 5 Bangkala
Tanggal Masuk : 10 Februari 2019
No RM : 872856
Unit Kerja : IGD PJT
II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri dada
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri dada dialami sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dialami
setelah melakukan kerja bakti dengan durasi. ±1 jam. Nyeri seperti
tertekan benda berat dan tidak menjalar. Nyeri sedikit berkurang ketika
muntah. Disertai muntah 2x dan keringat dingin. Sesak napas dialami
sejak nyeri dada. Riwayat nyeri dada sebelumnya tidak ada, riwayat sesak
napas sebelumnya tidak ada, riwayat hipertensi disangkal, riwayat DM
tidak ada, riwayat dislipedemia disangkal. Pasien juga memiliki kebiasaan
merokok 2 bungkus per hari selama ± 25 tahun. Riwayat konsumsi alkohol
saat muda selama 3 tahun. Tidak ada riwayat keluarga penyakit jantung,
DM, dan hipertensi.
5
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat diabetes mellitus tidak ada
Riwayat dislipidemia disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga dengan penyakit jantung tidak ada
Riwayat keluarga dengan diabetes mellitus tidak ada
Riwayat keluarga dengan hipertensi tidak ada
5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok ada selama ± 25 tahun dengan 2 bungkus rokok
per hari
Riwayat minum alkohol saat muda selama 3 tahun
Status generalis
Sakit sedang / gizi normal/ compos mentis
BB : 60 kg
TB : 160 cm
IMT : 23,43 (normal)
GCS : E4M6V5
Tanda vital
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 56 kali per menit
6
Pernapasan : 20 kali per menit
Suhu : 35.5° C
Pemeriksaan Kepala dan Leher
Mata : Anemis (-), ikterus (-), pupil isokor (d= 2,5 mm ODS)
Bibir : Sianosis (-)
Leher : JVP R+2 cm H2O, limfadenopati dan pembesaran tiroid
tidak ada
Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor kiri dan kanan, batas paru-hepar ICS 6 kanan
line midclavicula kanan
Auskultasi : vesikular, bunyi tambahanronchi -/-, wheezing -/-
Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis jantung tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis jantung tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas di ICS 2 para sternal kiri, batas
jantung kanan di ICS 4 linea parasternal kanan,
batas jantung kiri di ICS 5 linea midclavicula kiri.
Auskultasi : S I/II murni regular, murmur tidak ada
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien
tidak teraba.
Perkusi : Timpani (+), kesan normal
Pemeriksaan Ekstremitas
Hangat, edema (-)
7
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (10/02/2019)
No Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hematolgi Rutin
1 WBC 21.46 4,00-10,0 10^3/ul
2 RBC 5.82 4,00-6,00 10^6/ul
3 HGB 16.5 12,0-16,0 gr/dl
4 HCT 48.0 37,0-48,0 %
5 MCV 82.5 80,0-97,0 fL
6 MCH 28.4 26,5-33,5 Pg
7 MCHC 34.4 31,5-35,0 gr/dl
8 PLT 303 150-400 10^3/ul
Koagulasi
1 PT 10.0 10-14 Detik
2 INR 0,96 --
3 APTT 26,1 22,0-30,0 Detik
KIMIA DARAH
Glukosa
1 GDS 128 140 Mg/dl
FUNGSI GINJAL
1 Ureum 26 10-50 Mg/dl
2 Kreatinin 0.76 L (<1,3); P( <1,1) Mg/dl
FUNGSI HATI
1 SGOT 46 <38 U/L
2 SGPT 31 <41 U/L
Penanda Jantung
1 CK 746.64 L(<190);P(<167) U/L
2 CK-MB 72.2 <25 U/L
IMUNOSEROLOGI
Imunoserologi lain
1 Troponin I 0.76 <0,01 Ng/ml
Elektrolit
8
1 Natrium 142 136-145 Mmol/l
2 Kalium 4,0 3,5-5,1 Mmol/l
3 Klorida 105 97-111 Mmol/l
Laboratorium (12/02/2019)
No Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
KIMIA DARAH
Fraksi Lipid
1 Kolesterol total 127 200 mg/dl
2 Kolesterol HDL 33 L (> 55); P (> 65) mg/dl
3 Kolesterol LDL 90 < 130 mg/dl
4 Trigliserida 113 200 mg/dl
Kimia Lain
1 Asam Urat 4.7 P(2.4-5.7); L(3.4-7.0) mg/dl
IMUNOSEROLOGI
Penanda Hepatitis
1 HBs Ag (ICT) Non Reactive Non Reactive
2 Anti HCV (ICT) Non Reactive Non Reactive
EKG (10/02/2019)
9
Gambaran EKG Posterior:
Interpretasi
Ritme : sinus
Ritme : Sinus Ritme
Heart Rate : 53 kali per menit
Regularitas : Reguler
Axis : Normoaxis
Gelombang P : Normal, durasi 0,08 detik
PR interval : Normal, durasi 0.18 detik
Gelombang Q : Normal
QRS Kompleks : Normal, durasi 0,06 detik
Segmen ST : ST Evelevasi di II, III, aVf, V1R-V3R, V7-V9
ST Depresi V1-V4, I, aVL
Gelombang T : Hyper Acute T
Kesimpulan : STEMI Inferoposterior + RV Infark
VI.DIAGNOSIS
VII.TERAPI
1. Tirah baring
10
2. NaCl 0,9% (2000 ml/24 jam/iv)
5. Actylase 15 mg iv bolus
VIII. RESUME
Nyeri dada dialami sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri
dialami setelah melakukan kerja bakti dengan durasi. ±1 jam. Nyeri seperti
tertekan benda berat dan tidak menjalar. Nyeri sedikit berkurang ketika
muntah, muntah berwarna putih cairan disertai ampas makanan terjadi
sebanyak 2x. Disertai keringat dingin. Sesak napas dialami sejak nyeri
dada. Riwayat nyeri dada sebelumnya tidak ada, riwayat sesak napas
sebelumnya tidak ada, riwayat hipertensi disangkal, riwayat DM tidak ada,
riwayat dislipedemia disangkal. Pasien juga memiliki kebiasaan merokok
2 bungkus per hari selama ± 25 tahun. Riwayat konsumsi alkohol saat
muda selama 3 tahun. Tidak ada riwayat keluarga penyakit jantung, DM,
dan hipertensi.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis,
tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 56 x/menit, frekuensi napas 20x/menit
dan suhu 35.5 oC. Kesan gizi normal dengan IMT 23,43 kg/m2. Hasil
pemeriksaan kepala dan leher dalam batas normal. Pemeriksaan thorax dan
jantung dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen dalam batas normal.
Ekstremitas tidak ada kelainan.
Hasil pemeriksaan laboratorium: WBC 21.46 (leukositosis), SGOT
46 U/L (meningkat), CK 746.64 U/L(meningkat), CK-MB 72.2 U/L
11
(meningkat), Troponin I 0.76 Ng/ml (meningkat), Kolestrol LDL 16.5
gr/dl (meningkat).
Pemeriksaan EKG : STEMI Inferoposterior, RV Infark.
12
BAB 2
DISKUSI KASUS
1. DEFINISI
Infark miokard akut merupakan kejadian kerusakan otot jantung yang
terjadi secara akut akibat adanya iskemik myocardium akut disertai dengan
peningkatan enzim troponin jantung dan diikuti minimal salah satu gejala
dibawah :
1. Gejala iskemik miokardium
2. Perubahan EKG berupa iskemik baru
3. Adanya gelombang Q patologis
4. Gambaran berkurangnya otot jantung sehat yang baru atau kelainan gerak
dinding jantung yang baru akibat iskemik
5. Identifikasi trombus koroner dengan angiografi atau autopsi (ESC, 2019).
Sedangkan Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan keadaan akibat
gangguan plak aterosklerotik dengan agregasi trombosit sehingga membentuk
trombus intrakoroner. Trombus akan mengakibatkan terjadinya suatu oklusi baik
yang berat atau lengkap maupun oklusi parsial, gangguan aliran ini
mengakibatkan ketidakseimbangan yang nyata antara oksigen demand dan
oksigen suplai pada miokard. Bentuk ACS yang terjadi tergantung pada derajat
obstruksi koroner dan iskemia yang terjadi. Apabila trombus tersebut
mengakibatkan oklusi yang parsial adalah ciri khas dari Unstable Angina Pectoris
(UAP) dan non-STelevasi miyocardial infraction (NSTEMI), sedangkan jika
trombus benar-benar menghalangi arteri koroner atau membentuk suatu oklusi
total, hasilnya adalah iskemia yang lebih parah dan jumlah nekrosis yang lebih
besar, bermanifestasi sebagai ST-elevasi miocardial infraction (STEMI) (Lilly
LS, 2016).
2. EPIDEMIOLOGI
Di dunia, penyakit jantung iskemik menjadi penyebab tunggal yang paling
sering mengakibatkan kematian dengan frekuensinya yang semakin meningkat.
Namun, di Eropa, telah menjadi tren dalam upaya pengurangan mortalitas dari
13
penyakit jantung iskemik selama tiga dekade terakhir. Penyakit jantung iskemik
sekarang menyumbang hampir 1,8 juta kematian per tahunnya, atau 20% dari
semua kematian di Eropa, meskipun dengan variasi besar antar negara (ESC,
2017).
Angka mortalitas STEMI dipengaruhi oleh berbagai jenis faktor, antara lain
: usia, kategori killip, waktu hingga mendapatkan terapi, adanya emergency
medical system (EMS) – based STEMI networks, strategi pengobatan, riawat
infark miokard, diabetes mellitus, gagal ginjal, jumlah pembuluh darah arteri yang
terlibat, dan left ventricular ejection fraction (LVEF) (ESC, 2017).
14
3. FAKTOR RISIKO
Faktor Resiko yang Dapat Dimodifikasi :
a. Dislipidemia (peningkatan LDL, penurunan HDL)
Peningkatan kadar LDL dalam sirkulasi darah berhubungan dengan
kejadian aterosklerosis dan penyakit jantung koroner. Ketika kadarnya
berlebih, LDL dapat berakumulasi di subendotel dan mengalami
modifikasi kimiawi yang dapat lebih jauh merusak lapisan intima sehingga
mencetuskan pembentukan lesi aterosklerotik. Sedangkan fungsi dari HDL
adalah sebagai transportasi kolesterol dari jaringan ke hati, sehingga
apabila kadar HDL menurun dalam darah, maka akan diikuti dengan
penumpukan kolesterol. Selain itu, HDL juga memiliki fungsi antioksidatif
dan anti-inflamasi yang dibutuhkan oleh tubuh. (Lilly LS, 2016)
b. Merokok
Merokok dapat menjadi faktor pencetus terjadinya aterosklerosis dan
penyakit jantung iskemik dengan berbagai mekanisme, yaitu
meningkatkan modifikasi oksidatif dari LDL, menurunkan kadar HDL,
disfungsi endotel yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan dan
peningkatan stress oksidatif, peningkatan adhesivitas platelet, peningkatan
ekspresi dari leukocyte adhesive molecule (LAM), stimulasi yang tidak
tepat dari sistem saraf simpatik akibat kandungan nikotin, dan penggantion
ikatan oksigen dengan haemoglobin dengan karbon monosida. Berhenti
merokok dapat mengembalikan beberapa dari efek buruk yang telah
ditimbulkan, sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya penyakit jantung
koroner. (Lilly LS, 2016)
c. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah merusak endotel dari vascular dan dapat
meningkatkan permeabilitasnya. Angiotensin II yang merupakan mediator
dari hipertensi dapat bekerja sebagai vasokonstriktor dan stimulator dari
stress oksidatif serta sitokin proinflamasi yang dapat mencetuskan
terjadinya atherogenesis. (Lilly, LS, 2016)
15
d. Diabetes Mellitus, Sindroma Metabolik
Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolesmia yang
memungkinan timbulnya aterosklerosis dan berkaitan dengan proliferasi
sel otot polos pembuluh darah arteri koroner, sintesis kolesterol,
trigliserida, fosfolipid, peningkatan kadar LDL dan kadar HDL yang
rendah. (Lilly LS, 2016)
b. Jenis Kelamin
Laki-laki usia 35-44 tahun memiliki resiko 5-6 kali lebih besar
dibanding perempuan untuk terkena penyakit jantung koroner. Namun,
setelah wanita menopause, insidensi terjadinya hampir sama. Dengan
asumsi hormon estrogen pada wanita yang mempengaruhi kadar lipid,
dengan menurunkan kadar LDL, meningkatkan HDL serta trigliserida.
Disparitas ini akan berkurang seiring dengan pertambahan usia, dengan
wanita 10 tahun kemudian. Walaupun begitu wanita cenderung lebih
mendapati penyakit jantung koroner yang lebih kompleks karena
16
pertambahan umur yang lebih tua disertai lebih banyak faktor
komorbiditas. (Lilly LS, 2016)
c. Herediter/Genetik
Pengaruh dari genetik dapat menjadi faktor risiko yang sangat penting
terhadap terjadinya atherosklerosis. Mutasi dari kromosom 9p21.3
memiliki hubungan yang sangat kuat dengan terjadinya infark miokard.
(Lilly LS, 2016)
4. PATOFISIOLOGI
Sebagian besar Sindrom Koroner Akut adalah manifestasi akut dari plak
ateroma pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak
tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi
jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus).
Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total
maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner
yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan
vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan
oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium
mengalami nekrosis (infark miokard). (PERKI, 2018)
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium
karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian
pasien ACS tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami ACS karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri
koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa
17
spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis
setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti
demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis. (PERKI,
2018).
18
lapisan lemak, pembentukan plak, dan gangguan plak (Gambar 2). (Lilly LS,
2016)
19
adhesion molecule), peningktan faktor vasokontstriktor (prostacyclin dan
NO), dan penurunan molekul antitromotik (gambar 3). (Lilly LS, 2016)
20
2. Pembentukan Plak Aterosklerosis
Proses transisi dari fatty streak menjadi plak fibrotik berhubungan
dengan migrasi SMC dari tunika media ke tunika intima, proliferasi SMC
di tunika intima, dan sekresi matrix ekstraseluler oleh SMC. Sel busa,
mengaktivasi masuknya platelet melalui celah mikro pada permukaan
plak, dan sel endotel yang berinteraksi dengan substansi lain yang
mengaktifkan sinyal migrasi dan proliferasi SMC (Gambar 5). (Lilly LS,
2016)
21
demikian memperkuat dan mempertahankan peradang pada lesi. (Lilly LS,
2016)
22
3. Gangguan Plak
23
Gambar 6. Keseimbangan faktor trombosis
5. DIAGNOSIS
Diagnosis Sindrom Koroner Akut ditegakkan bila didapatkan dua atau lebih
dari 3 kriteria, yaitu
1. Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberian
nitrat biasa.
2. Perubahan elektrokardiografi (EKG)
3. Peningkatan marker jantung
1. Anamnesis
24
2. Pemeriksaan Fisis
3. Elektrocardiogram/EKG
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan
sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan,
sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien
dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior.
Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina
yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG
dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat.
Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.
(PERKI, 2018)
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2
sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis
STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1
mV. Nilai ambang untuk diagnostik pada berbagai sadapan beragam,
bergantung pada usia dan jenis kelamin (Tabel 1). Depresi segmen ST yang
resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST
elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di
mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST
25
dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru
mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu
pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat
terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia. (PERKI,
2018)
Sadapan Jenis Kelamin dan Usia Nilai Ambang elevasi ST
V1-3 Laki –laki ≥40 tahun ≥0.2 mV
Laki –laki <40 tahun ≥0.25 mV
Perempuan usia berapapun
V3R dan Laki-laki & Perempuan ≥0.05 mV
V4R Laki-laki <30 tahun ≥0.1 mV
V7-9 Laki-laki & Perempuan ≥0.05 mV
Tabel 1. Nilai ambang diagnostik elevasi segmen ST
26
spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan
kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung,
hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang
dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal
napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner,
kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I
memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit,
kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I
mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T. (PERKI, 2018)
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin
I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA,
pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan
SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya
diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang
meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal
(menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat
(48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk
mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural.
(PERKI, 2018)
Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium
sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point
of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatif,
lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care testing sebagai
alat diagnostic rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di
laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara
point of care testing menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan harus
diulang di laboratorium sentral. (PERKI, 2018)
5. Pemeriksaan Non-Invasif
27
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan
gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk menetukan
diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia segmental dinding ventrikel kiri
dapat terlihat iskemia dan menjadi normal saat iskemia menghilang. Selain
itu, diagnosis banding seperti stenosis aorta, kardiomiopati hipertropik, atau
diseksi aorta dapat terdeteksi melalui pemeriksaan ekokardiografi. Jika
memungkinkan, pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat harus
tersedia di ruang gawat darurat dan dilakukan secara rutin dan sesegera
mungkin pada pasien tersangka SKA. Stress test seperti EKG exercise yang
telah dibahas sebelumnya dapat membantu menyingkirkan diagnosis banding
PJK obstruktif pada pasien-pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat normal, dan
marka jantung yang negatif.
28
7. Pemeriksaan Laboratorium
6. KLASIFIKASI KILLIP
29
Tabel 3. Mortalitas 30 Hari Berdasarkan Klasifikasi Killip
7. PENATALAKSANAAN
30
terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat
reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel)
5. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri
dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika
nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang
setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena
diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis
NTG sublingual. Dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat
(ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti
6. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.
(PERKI, 2015)
Tatalaksana STEMI
31
1. TERAPI REPERFUSI
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan untuk
semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen ST
yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru. Terapi
reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti
klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala
telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak
tersendat. Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan
ada tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada,
langsung pilih terapi fibrinolitik. (PERKI, 2018)
Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit
atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika
membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah
32
fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat
dengan fasilitas IKP. (PERKI, 2018)
Jika strategi reperfusi yang dipilih adalah fibrinolitik, maka terapi
fibrinolitik sebaiknya dimulai dalam waktu 10 menit dari diagnosis STEMI.
Diagnosis STEMI harus ditegakkan dalam waktu 10 menit dari KMP. Waktu
absolut dari diagnosis STEMI ke reperfusi IKP adalah 120 menit. Jika
diperkirakan lebih dari 120 menit, maka fibrinolitik menjadi pilihan (PERKI,
2018)
Untuk mempersingkat waktu iskemia, jika memungkinkan, fibrinolitik
dapat dipertimbangkan sebelum pasien tiba di RS. Setelah pemberian fibrinolitik,
pasien dirujuk ke RS dengan fasilitas IKP. Jika fibrinolitik gagal (resoluasi
segemen ST <50% dalam waktu 60-90 menit setelah pemebrian fibrinolitik), atau
terjadi ketidakstabilan hemodinamik/elektrolit, perburukan iskemia, atau nyeri
dada persisten, merupakan keadaan dengan indikasi untuk dilakukan IKP resecue.
Angiografi koroner rutin direkomendasikan setelah fibrinolisis berhasil. Pasien
dengan presentasi klinis IMA dan EKG dengan segmen ST yang tidak dapat
diinterpretasikan (seperti pada bundle branch atau ventricular pacing), harus
menjalani IKP Premir. (PERKI, 2018)
IKP primer juga harus dikerjakan pada pasien dengan gejala yang
berlangsung >12 jsm disertai :
1. EKG yang menunjukkan iskemia sedang berlangsung
2. Nyeri sedang berlangsung/rekuren dan perubahan EKG yang dinamis
3. Nyeri sedang berlangsung/rekuren, gejala dan tanda gagal jantung,
syok, atau aritmia maligna (PERKI, 2018)
33
angioplasti balon untuk IKP primer. Tidak disarankan untuk melakukan IKP
secara rutin pada arteri yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan
gejala pada pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum
diberikan fibrinolisis. (PERKI, 2018)
Bila pasien tidak memiliki indikasi kontra terhadap terapi antiplatelet dual
(dual antiplatelet therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap
pengobatan, drug-eluting stents (DES) lebih disarankan daripada bare metal
stents (BMS). (PERKI, 2018)
Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet
ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera mungkin
sebelum angiografi, disertai dengan antikoagulan intravena. Aspirin dapat
dikonsumsi secara oral (160- 320 mg). Pilihan penghambat reseptor ADP yang
dapat digunakan antara lain:
1. Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua
kali sehari)
2. Atau clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis
loading 600 mg diikuti 150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau
diindikasikontrakan.
(PERKI, 2018)
34
4. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang
direncanakan untuk IKP primer
(PERKI, 2018)
35
setelah 60 menit disertai tidak hilangnya nyeri dada. IKP emergency diindikasikan
untuk kasus dengan iskemia rekuren atau bukti adanya reoklusi setelah fibrinolisis
yang berhasil. Hal ini ditunjukkan oleh gambaran elevasi segmen ST kembali.
(PERKI, 2018)
Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi
diindikasikan untuk gagal jantung/pasien syok setelah dilakukannya fibrinolisis
inisial. Jika memungkinkan, angiografi dengan tujuan untuk melakukan
revaskularisasi (pada arteri yang mengalami infark) diindikasikan setelah
fibrinolisis yang berhasil. Waktu optimal angiografi untuk pasien stabil setelah
lisis yang berhasil adalah 3-24 jam. (PERKI, 2018)
36
• Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan dengan
aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP IIb/IIIa
8. PROGNOSIS
a. Manifestasi Klinis
Selain dari berbagai pertanda klinis yang umum seperti usia lanjut, adanya
diabetes, gagal ginjal dan penyakit komorbid lain, prognosis pasien dapat
diperkirakan melalui presentasi klinis ketika pasien tiba. Adanya gejala saat
istirahat memberikan prognosis yang buruk.Selain itu, nyeri yang
berkelanjutan atau sering serta adanya takikardia, hipotensi dan gagal jantung
juga merupakan pertanda peningkatan risiko dan memerlukan diagnosis dan
penanganan segera. (PERKI, 2018)
b.Pemeriksaan EKG
Pertanda EKG. Hasil EKG awal dapat memperkirakan risiko awal. Pasien
dengan EKG yang normal saat tiba di RS memiliki prognosis yang lebih baik
dibandingkan mereka dengan inversi gelombang T. Selain itu, adanya depresi
segmen ST saat tiba, inversi gelombang T yang dalam di sadapan anterior,
depresi segmen ST ≥0,1 mV atau ≥0,05 mV di dua atau lebih sadapan yang
bersebelahan, dan elevasi segmen ST ≥0,1 mV di sadapan aVR memberikan
prognosis yang lebih buruk. (PERKI, 2018)
9. KOMPLIKASI
37
dan dapat dilihat dalam bentuk mencerminkan peradangan dan penyembuhan
jaringan nekrotik. (Lilly LS, 2016)
9.2. Aritmia
38
d. Pemberian obat yang berpotensi mengakibatkan aritmia (mis.
Dopamine). (Lilly LS, 2016)
39
yang dapat diakibatkan karena lebih dari 40% ventrikel kiri
mengalami infark. Syok kardiogenik terjadi pada 10% pasien
post-MI, dengan mortalitas lebih dari 70%. (Lilly LS, 2016)
Pasien dengan syok kardiogenik memburuhkan agen
inotropik intravena (mis. Dobutamine) untuk meningkatkan
cardiac output dan, sekaligus meningkatkan tekanan darah,
vasolidator digunakan untuk mengurangi resistensi kontraksi
ventrikel kiri. Penanganan lain yang lebih efektif dapat dilakukan
yaitu intra-aortic ballon pump dan percutaneus left ventricular
assist device (LVAD). (Lilly LS, 2016)
40
d. Aneurysma ventrikel sejati (Lilly LS, 2016)
9.6. Pericarditis
Perikarditis akut dapat terjadi pada periode post-MI awal (di rumah
sakit) karena peradangan meluas dari miokardium ke perikardium yang
berdekatan. Nyeri yang tajam, terus menerus, dan perikardial friction
rub biasanya hadir dalam situasi ini dan membantu membedakan
perikarditis dari iskemia miokard berulang. Gejala-gejalanya biasanya
segera berespons terhadap terapi aspirin. Antikoagulan relatif
kontraindikasi pada MI yang dipersulit oleh perikarditis untuk
menghindari perdarahan dari lapisan perikardial yang meradang.
Frekuensi kejadian pericarditis-MI telah menurun sejak adanya
strategi penanganan reperfusi akut, karena penaganan tersebut
membatasi tingkat kerusakan dan peradangan miokard. (Lilly LS, 2016)
9.7. Tromboemboli
Aliran darah yang statis di daerah-daerah gangguan kontraksi LV
setelah MI dapat mengakibatkan pembentukan trombus intrakavitas,
terutama ketika infark melibatkan apex LV atau ketika aneurisma sejati
telah terbentuk. Tromboemboli berikutnya dapat menyebabkan infark
organ perifer (mis., Kejadian serebrovaskular [stroke] yang disebabkan
oleh emboli pada otak). (Lilly LS, 2016)
41
DAFTAR PUSTAKA
42