You are on page 1of 42

BAGIAN KARDIOLOGI & LAPORAN KASUS

KEDOKTERAN VASKULAR Februari 2019


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

ST ELEVATION MYOCARD INFARCTION

DISUSUN OLEH :
Nurul Oktariani Azis (C111 15 042)

SUPERVISOR PEMBIMBING :
dr. Akhtar Fajar M, Sp.JP, FIHA

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KARDIOLOGI & KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Nurul Oktariani Azis


NIM : C111 15 042
Judul Laporan Kasus :ST Elevasi Miocardial Infarction (STEMI)

Telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Departemen Kardiologi dan


Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Februari 2019

Supervisor Pembimbing,

dr. Akhtar Fajar M, SP.JP, FIHA

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT atas rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “ST Elevasi Miocardial
Infarction (STEMI)”
Sepanjang penyusunan laporan kasus ini, beberapa pihak-pihak yang
memberikan kontribusi baik sumbangan waktu, ide, tenaga, dan dukungan
sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya. Untuk itu, tidak ada yang
dapat kami sampaikan kecuali rasa terima kasih mendalam kepada semua pihak
yang telah membantu, khususnya kepada pembimbing kami, dr. Akhtar Fajar M,
SpJP, FIHA
Kami menyadari laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna.Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan
laporan kasus selanjutnya.Terima kasih.

Makassar, 13 Februari 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

Halaman sampul ..................................................................................................... 1

Halaman pengesahan.............................................................................................. 2

Kata Pengantar ....................................................................................................... 3

Daftar Isi................................................................................................................. 4

BAB 1 Laporan Kasus ........................................................................................... 5

BAB 2 Diskusi Kasus……….……………………………………………......….13

Daftar Pustaka ………………………..............................................................38

4
BAB 1
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. R
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Buruh
Agama : Islam
Alamat : Jl. Muhajirin 5 Bangkala
Tanggal Masuk : 10 Februari 2019
No RM : 872856
Unit Kerja : IGD PJT

II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri dada
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri dada dialami sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dialami
setelah melakukan kerja bakti dengan durasi. ±1 jam. Nyeri seperti
tertekan benda berat dan tidak menjalar. Nyeri sedikit berkurang ketika
muntah. Disertai muntah 2x dan keringat dingin. Sesak napas dialami
sejak nyeri dada. Riwayat nyeri dada sebelumnya tidak ada, riwayat sesak
napas sebelumnya tidak ada, riwayat hipertensi disangkal, riwayat DM
tidak ada, riwayat dislipedemia disangkal. Pasien juga memiliki kebiasaan
merokok 2 bungkus per hari selama ± 25 tahun. Riwayat konsumsi alkohol
saat muda selama 3 tahun. Tidak ada riwayat keluarga penyakit jantung,
DM, dan hipertensi.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat nyeri dada dan sesak sebelumnya tidak ada
 Riwayat penyakit jantung sebelumnya tidak ada

5
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat diabetes mellitus tidak ada
 Riwayat dislipidemia disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat keluarga dengan penyakit jantung tidak ada
 Riwayat keluarga dengan diabetes mellitus tidak ada
 Riwayat keluarga dengan hipertensi tidak ada
5. Riwayat Kebiasaan
 Riwayat merokok ada selama ± 25 tahun dengan 2 bungkus rokok
per hari
 Riwayat minum alkohol saat muda selama 3 tahun

III. FAKTOR RISIKO


a. Tidak dapat dimodifikasi:
- Usia 45 tahun
- Jenis kelamin laki laki
b. Dapat dimodifikasi:
- Riwayat Merokok
- Riwayat alkohol

IV. PEMERIKSAAN FISIS

 Status generalis
Sakit sedang / gizi normal/ compos mentis
BB : 60 kg
TB : 160 cm
IMT : 23,43 (normal)
GCS : E4M6V5

 Tanda vital
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 56 kali per menit

6
Pernapasan : 20 kali per menit
Suhu : 35.5° C
 Pemeriksaan Kepala dan Leher
Mata : Anemis (-), ikterus (-), pupil isokor (d= 2,5 mm ODS)
Bibir : Sianosis (-)
Leher : JVP R+2 cm H2O, limfadenopati dan pembesaran tiroid
tidak ada
 Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor kiri dan kanan, batas paru-hepar ICS 6 kanan
line midclavicula kanan
Auskultasi : vesikular, bunyi tambahanronchi -/-, wheezing -/-
 Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis jantung tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis jantung tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas di ICS 2 para sternal kiri, batas
jantung kanan di ICS 4 linea parasternal kanan,
batas jantung kiri di ICS 5 linea midclavicula kiri.
Auskultasi : S I/II murni regular, murmur tidak ada
 Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien
tidak teraba.
Perkusi : Timpani (+), kesan normal
 Pemeriksaan Ekstremitas
Hangat, edema (-)

7
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (10/02/2019)
No Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hematolgi Rutin
1 WBC 21.46 4,00-10,0 10^3/ul
2 RBC 5.82 4,00-6,00 10^6/ul
3 HGB 16.5 12,0-16,0 gr/dl
4 HCT 48.0 37,0-48,0 %
5 MCV 82.5 80,0-97,0 fL
6 MCH 28.4 26,5-33,5 Pg
7 MCHC 34.4 31,5-35,0 gr/dl
8 PLT 303 150-400 10^3/ul
Koagulasi
1 PT 10.0 10-14 Detik
2 INR 0,96 --
3 APTT 26,1 22,0-30,0 Detik
KIMIA DARAH
Glukosa
1 GDS 128 140 Mg/dl
FUNGSI GINJAL
1 Ureum 26 10-50 Mg/dl
2 Kreatinin 0.76 L (<1,3); P( <1,1) Mg/dl
FUNGSI HATI
1 SGOT 46 <38 U/L
2 SGPT 31 <41 U/L
Penanda Jantung
1 CK 746.64 L(<190);P(<167) U/L
2 CK-MB 72.2 <25 U/L
IMUNOSEROLOGI
Imunoserologi lain
1 Troponin I 0.76 <0,01 Ng/ml
Elektrolit

8
1 Natrium 142 136-145 Mmol/l
2 Kalium 4,0 3,5-5,1 Mmol/l
3 Klorida 105 97-111 Mmol/l

Laboratorium (12/02/2019)
No Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
KIMIA DARAH
Fraksi Lipid
1 Kolesterol total 127 200 mg/dl
2 Kolesterol HDL 33 L (> 55); P (> 65) mg/dl
3 Kolesterol LDL 90 < 130 mg/dl
4 Trigliserida 113 200 mg/dl
Kimia Lain
1 Asam Urat 4.7 P(2.4-5.7); L(3.4-7.0) mg/dl
IMUNOSEROLOGI
Penanda Hepatitis
1 HBs Ag (ICT) Non Reactive Non Reactive
2 Anti HCV (ICT) Non Reactive Non Reactive

EKG (10/02/2019)

9
Gambaran EKG Posterior:

Interpretasi
 Ritme : sinus
 Ritme : Sinus Ritme
 Heart Rate : 53 kali per menit
 Regularitas : Reguler
 Axis : Normoaxis
 Gelombang P : Normal, durasi 0,08 detik
 PR interval : Normal, durasi 0.18 detik
 Gelombang Q : Normal
 QRS Kompleks : Normal, durasi 0,06 detik
 Segmen ST : ST Evelevasi di II, III, aVf, V1R-V3R, V7-V9
ST Depresi V1-V4, I, aVL
 Gelombang T : Hyper Acute T
Kesimpulan : STEMI Inferoposterior + RV Infark

VI.DIAGNOSIS

STEMI Inferoposterior onset 3 jam killip 1

VII.TERAPI
1. Tirah baring

10
2. NaCl 0,9% (2000 ml/24 jam/iv)

3. Clopidogrel 75 mg/24 jam/oral

4. Atorvastatin 40 mg/24 jam/oral

5. Actylase 15 mg iv bolus

Actylase 50 mg / 30 menit / syring pump

Actylase 15 mg/60 menit/syring pump

6. Aspilet 80 mg/24 jam/ oral

Usul : X Ray Thorax, Echocardiografi

VIII. RESUME

Nyeri dada dialami sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri
dialami setelah melakukan kerja bakti dengan durasi. ±1 jam. Nyeri seperti
tertekan benda berat dan tidak menjalar. Nyeri sedikit berkurang ketika
muntah, muntah berwarna putih cairan disertai ampas makanan terjadi
sebanyak 2x. Disertai keringat dingin. Sesak napas dialami sejak nyeri
dada. Riwayat nyeri dada sebelumnya tidak ada, riwayat sesak napas
sebelumnya tidak ada, riwayat hipertensi disangkal, riwayat DM tidak ada,
riwayat dislipedemia disangkal. Pasien juga memiliki kebiasaan merokok
2 bungkus per hari selama ± 25 tahun. Riwayat konsumsi alkohol saat
muda selama 3 tahun. Tidak ada riwayat keluarga penyakit jantung, DM,
dan hipertensi.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis,
tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 56 x/menit, frekuensi napas 20x/menit
dan suhu 35.5 oC. Kesan gizi normal dengan IMT 23,43 kg/m2. Hasil
pemeriksaan kepala dan leher dalam batas normal. Pemeriksaan thorax dan
jantung dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen dalam batas normal.
Ekstremitas tidak ada kelainan.
Hasil pemeriksaan laboratorium: WBC 21.46 (leukositosis), SGOT
46 U/L (meningkat), CK 746.64 U/L(meningkat), CK-MB 72.2 U/L

11
(meningkat), Troponin I 0.76 Ng/ml (meningkat), Kolestrol LDL 16.5
gr/dl (meningkat).
Pemeriksaan EKG : STEMI Inferoposterior, RV Infark.

12
BAB 2

DISKUSI KASUS

1. DEFINISI
Infark miokard akut merupakan kejadian kerusakan otot jantung yang
terjadi secara akut akibat adanya iskemik myocardium akut disertai dengan
peningkatan enzim troponin jantung dan diikuti minimal salah satu gejala
dibawah :
1. Gejala iskemik miokardium
2. Perubahan EKG berupa iskemik baru
3. Adanya gelombang Q patologis
4. Gambaran berkurangnya otot jantung sehat yang baru atau kelainan gerak
dinding jantung yang baru akibat iskemik
5. Identifikasi trombus koroner dengan angiografi atau autopsi (ESC, 2019).
Sedangkan Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan keadaan akibat
gangguan plak aterosklerotik dengan agregasi trombosit sehingga membentuk
trombus intrakoroner. Trombus akan mengakibatkan terjadinya suatu oklusi baik
yang berat atau lengkap maupun oklusi parsial, gangguan aliran ini
mengakibatkan ketidakseimbangan yang nyata antara oksigen demand dan
oksigen suplai pada miokard. Bentuk ACS yang terjadi tergantung pada derajat
obstruksi koroner dan iskemia yang terjadi. Apabila trombus tersebut
mengakibatkan oklusi yang parsial adalah ciri khas dari Unstable Angina Pectoris
(UAP) dan non-STelevasi miyocardial infraction (NSTEMI), sedangkan jika
trombus benar-benar menghalangi arteri koroner atau membentuk suatu oklusi
total, hasilnya adalah iskemia yang lebih parah dan jumlah nekrosis yang lebih
besar, bermanifestasi sebagai ST-elevasi miocardial infraction (STEMI) (Lilly
LS, 2016).

2. EPIDEMIOLOGI
Di dunia, penyakit jantung iskemik menjadi penyebab tunggal yang paling
sering mengakibatkan kematian dengan frekuensinya yang semakin meningkat.
Namun, di Eropa, telah menjadi tren dalam upaya pengurangan mortalitas dari

13
penyakit jantung iskemik selama tiga dekade terakhir. Penyakit jantung iskemik
sekarang menyumbang hampir 1,8 juta kematian per tahunnya, atau 20% dari
semua kematian di Eropa, meskipun dengan variasi besar antar negara (ESC,
2017).

Insidensi relatif STEMI dan NSTEMI menurun dan meningkat, masing-


masing. Mungkin kejadian STEMI di Eropa paling komprehensif ditemukan di
Swedia, di mana kejadiannya adalah 58 per 100.000 per tahun pada tahun 2015.
Di lain negara-negara lain di Eropa, tingkat insiden berkisar antara 43 hingga 144
per 100.000 per tahun. Demikian pula, di Amerika Serikat insiden terlaporkan
menurun dari 133 per 100.000 di tahun 1999 menjadi 50 per 100.000 di tahun
2008, sedangkan kejadian NSTEMI tetap konstan atau sedikit meningkat.
Terdapat pola yang tersendiri yang konsisten terhadap kejadian STEMI dimana
menjadi relatif lebih umum pada yang lebih muda daripada pada orang tua, dan
lebih banyak terjadi pada pria daripada pada wanita (ESC, 2017).

Angka mortalitas penyakit kardiovaskular di Indonesia mengalami


peningkatan setiap tahunnya, mencapai angka 30% pada tahun 2004 dibandingkan
sebelumnya hanya sekitar 5 % pada tahun 1975. Data terakhir dari National Heart
Survey, menunjukkan bahwa penyakit serebrokardiovaskular merupakan
penyebab utama kematian di Indonesia. Studi kohort selama 13 tahun di tiga
daerah di provinsi Jakarta menunjukkan bahwa PJK merupakan penyebab utama
kematian di Jakarta. Data dari Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) dari
tahun 2008-2009 mencatat sebanyak 2013 orang menderita SKA, dimana
sebanyak 654 orang mengalami STEMI (Irmalita, 2015)

Angka mortalitas STEMI dipengaruhi oleh berbagai jenis faktor, antara lain
: usia, kategori killip, waktu hingga mendapatkan terapi, adanya emergency
medical system (EMS) – based STEMI networks, strategi pengobatan, riawat
infark miokard, diabetes mellitus, gagal ginjal, jumlah pembuluh darah arteri yang
terlibat, dan left ventricular ejection fraction (LVEF) (ESC, 2017).

14
3. FAKTOR RISIKO
Faktor Resiko yang Dapat Dimodifikasi :
a. Dislipidemia (peningkatan LDL, penurunan HDL)
Peningkatan kadar LDL dalam sirkulasi darah berhubungan dengan
kejadian aterosklerosis dan penyakit jantung koroner. Ketika kadarnya
berlebih, LDL dapat berakumulasi di subendotel dan mengalami
modifikasi kimiawi yang dapat lebih jauh merusak lapisan intima sehingga
mencetuskan pembentukan lesi aterosklerotik. Sedangkan fungsi dari HDL
adalah sebagai transportasi kolesterol dari jaringan ke hati, sehingga
apabila kadar HDL menurun dalam darah, maka akan diikuti dengan
penumpukan kolesterol. Selain itu, HDL juga memiliki fungsi antioksidatif
dan anti-inflamasi yang dibutuhkan oleh tubuh. (Lilly LS, 2016)

b. Merokok
Merokok dapat menjadi faktor pencetus terjadinya aterosklerosis dan
penyakit jantung iskemik dengan berbagai mekanisme, yaitu
meningkatkan modifikasi oksidatif dari LDL, menurunkan kadar HDL,
disfungsi endotel yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan dan
peningkatan stress oksidatif, peningkatan adhesivitas platelet, peningkatan
ekspresi dari leukocyte adhesive molecule (LAM), stimulasi yang tidak
tepat dari sistem saraf simpatik akibat kandungan nikotin, dan penggantion
ikatan oksigen dengan haemoglobin dengan karbon monosida. Berhenti
merokok dapat mengembalikan beberapa dari efek buruk yang telah
ditimbulkan, sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya penyakit jantung
koroner. (Lilly LS, 2016)

c. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah merusak endotel dari vascular dan dapat
meningkatkan permeabilitasnya. Angiotensin II yang merupakan mediator
dari hipertensi dapat bekerja sebagai vasokonstriktor dan stimulator dari
stress oksidatif serta sitokin proinflamasi yang dapat mencetuskan
terjadinya atherogenesis. (Lilly, LS, 2016)

15
d. Diabetes Mellitus, Sindroma Metabolik
Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolesmia yang
memungkinan timbulnya aterosklerosis dan berkaitan dengan proliferasi
sel otot polos pembuluh darah arteri koroner, sintesis kolesterol,
trigliserida, fosfolipid, peningkatan kadar LDL dan kadar HDL yang
rendah. (Lilly LS, 2016)

e. Kurang Aktivitas (Sedentary Life)


Aktivitas seperti olahraga dapat mencegah terjadinya atherogenesis
dan bermanfaat untuk memperbaiki profil lipid, tekanan darah, sensitivitas
insulin, dan pembentukan NO (nitric oxide). (Lilly LS, 2016)

Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi


a. Usia
Kerentanan terhadap atherosclerosis pembuluh darah koroner
meningkat seiring bertambahnya usia. Namun demikian jarang timbul
penyakit serius sebelum umur 40 tahun, sedangkan mulai usia 40-60 tahun
insiden miokard infark meningkat 5 kali lipat. Hal ini terkait dengan
kemungkinan terjadinya atherosclerosis yang semakin besar, terkait
dengan deposit lemak serta elastisitas pembuluh darah yang makin
menurun seiring dengan bertambahnya umur (Lilly LS, 2016)

b. Jenis Kelamin
Laki-laki usia 35-44 tahun memiliki resiko 5-6 kali lebih besar
dibanding perempuan untuk terkena penyakit jantung koroner. Namun,
setelah wanita menopause, insidensi terjadinya hampir sama. Dengan
asumsi hormon estrogen pada wanita yang mempengaruhi kadar lipid,
dengan menurunkan kadar LDL, meningkatkan HDL serta trigliserida.
Disparitas ini akan berkurang seiring dengan pertambahan usia, dengan
wanita 10 tahun kemudian. Walaupun begitu wanita cenderung lebih
mendapati penyakit jantung koroner yang lebih kompleks karena

16
pertambahan umur yang lebih tua disertai lebih banyak faktor
komorbiditas. (Lilly LS, 2016)

c. Herediter/Genetik
Pengaruh dari genetik dapat menjadi faktor risiko yang sangat penting
terhadap terjadinya atherosklerosis. Mutasi dari kromosom 9p21.3
memiliki hubungan yang sangat kuat dengan terjadinya infark miokard.
(Lilly LS, 2016)

4. PATOFISIOLOGI

Sebagian besar Sindrom Koroner Akut adalah manifestasi akut dari plak
ateroma pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak
tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi
jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus).
Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total
maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner
yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan
vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan
oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium
mengalami nekrosis (infark miokard). (PERKI, 2018)
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium
karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian
pasien ACS tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami ACS karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri
koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa

17
spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis
setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti
demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis. (PERKI,
2018).

4.1. Pembentukan Plak Aterosklerosis

Gambar 1. Diagram skematik evolusi pembentukan plak aterosklerosis

Dinding arteri adalah struktur yang dinamis dan teratur, tetapi


rangsangan tertentu dapat mengganggu homeostasis normal dan membuka
jalan untuk aterogenesis. Sebagai contoh, sel-sel endotel vaskular, serta
SMC, bereaksi dengan mudah pada mediator inflamasi, seperti IL-1 dan
TNF, dan dapat menghasilkan mereka juga. Sebagai akibatnya, endotelium
vaskular dan SMC bergabung dengan sel-sel inflamasi klasik, seperti fagosit
mononuklear dan limfosit T, yang akan berperan besar dalam pembentukan
ateroma awal dan dalam perkembangan plak selanjutnya. (Lilly LS, 2016)
Hal ini membuktikan dalam proses infalamasi dapat mencetuskan
proses aterosklerosis, mulai dari kerusakan endotel, penumpukan lipid dalam
tunika intima, migrasi leukosit dan SMC ke dinding pembuluh darah,
pembentukan sel busa, dan deposisi matriks ekstraseluler (Gambar 1).
Bukannya perekembangannya akan berkembang secara berurutan, akan tetapi
sel-sel lesi aterosklerotik terus berinteraksi dan memodifikasi satu sama lain,
membentuk plak selama beberapa dekade. Secara garis besar pembentukan
plak ateroskelorosis dibagi menjadi tiga tahap patologis: pembentukan

18
lapisan lemak, pembentukan plak, dan gangguan plak (Gambar 2). (Lilly LS,
2016)

Gambar 2. Stadium pembentukan plak

1. Pembentukan Lapisan Lemak


Lapisan lemak mewakili lesi yang terlihat paling awal terbentuk
pada aterosklerosis. Pada inspeksi akan terlihat sebagai penumpukan
lemak pada dinding arteri yang tidak menonjol secara substansial ke dalam
lumen arteri atau menghambat aliran darah. Lapisan lemak ini ada di aorta
dan arteri koroner pada kebanyakan orang pada usia 20 yang tidak
menyebabkan gejala. Meskipun faktor pencetus pembentukan lapisan
lemak tidak diketahui, pengamatan pada hewan menunjukkan bahwa
berbagai penyebab stres menyebabkan disfungsi endotelial dini. Disfungsi
endotel memungkinkan masuknya lipid ke dalam ruang subendothelial, di
mana berfungsi sebagai mediator proinflamatori yang memulai
pemanggilan leukosit dan pembentukan sel busa (Gambar 1). (Lilly LS,
2016)
Disfungsi endotel dapat terjadi akibat paparan toxic, seperti rokok,
kadar lemak darah yang abnormal, dan diabetes. Setiap stimulus ini akan
mengakibatkan inflamasi lokal pada endotel. Gangguan pada endotel dapat
mengakibatkan berubahnya homeostatis dari endotel, yang bermanifestasi
mengganggu fungsi endotel sebagai barier permeabilititas, masuknya
sitokin inflamasi, peningkatan molekul perekat leokosit (leukocyte

19
adhesion molecule), peningktan faktor vasokontstriktor (prostacyclin dan
NO), dan penurunan molekul antitromotik (gambar 3). (Lilly LS, 2016)

Gambar 3. Aktivasi sel endotel dan SMC akibat inflamasi

Disfungsi endotel ini tidak lagi dapat menahan lipoprotein tetap


dalam pembuluh darah, dengan permeabilitas yang meningkat low-density
lipoprotein (LDL) dengan mudah masuk ke dalam tunika intima, hal ini
akan diperburuk dengan meningkatnya LDL pada penderita
hiperkolestrolemia. LDL yang masuk ke dalam ruang subendotelial akan
mengalami oksidasi membentuk modified LDL (mLDL). mLDL ini lah
yang akan merangsang terbentuknya leukocyte adhesion molecules
(LAMs). LAM dan sinyal kemoattractan akan menarik monosit menuju
lesi. (Lilly LS, 2016)
Monosit yang berada di dalam tunika intima akan berdiferensiasi
menjadi makrofag. Pada makrofag terdapat reseptor “scavenger” yang
suka mengikat mLDL. Akan tetapi mLDL yang terikat dengan reseptor
scavenger menghindari penghambatan umpan balik negatif dan
mengakibatkan makrofag menjadi membengkak terisi oleh kolesterol dan
ester kolesterol, membentuk tampakan khas sel busa. Dengan adanya
sitem protektif maka sel busa akan mengalami apoptosis dan
menghasilkan sitokin proinflamotori yang akan mendorong dimulainya
pembentukan plak aterosklerosis. (Lilly LS, 2016)

20
2. Pembentukan Plak Aterosklerosis
Proses transisi dari fatty streak menjadi plak fibrotik berhubungan
dengan migrasi SMC dari tunika media ke tunika intima, proliferasi SMC
di tunika intima, dan sekresi matrix ekstraseluler oleh SMC. Sel busa,
mengaktivasi masuknya platelet melalui celah mikro pada permukaan
plak, dan sel endotel yang berinteraksi dengan substansi lain yang
mengaktifkan sinyal migrasi dan proliferasi SMC (Gambar 5). (Lilly LS,
2016)

Gambar 4. Proses dari fatty streak menjadi plak fibrotik

Sel busa menghasilkan berbagai faktor yang berkontribusi dalam


migrasi SMC. Salah satunya menghasilkan platelet-derived growth factor
(PDGF), yang juga dihasilkan oleh sel endotel dan platelet. PDGF akan
menstimulasi migrasi dari SMC. Selain PDGF, sel busa juga menghasilkan
sitokin dan growth factor (contoh : TNF, IL-1, ibroblast growth factor, dan
TGF-β) yang akan mendorong proliferasi SMC dan/atau sistesis protein
matrix ekstraseluler, mendorong pelepasan sitokin lebih lanjut, dengan

21
demikian memperkuat dan mempertahankan peradang pada lesi. (Lilly LS,
2016)

Aktifitas sel T juga berkontribusi dalam pertumbuhan plak. Sel T


helper 1 (Th1) memproduksi sitokin proinflamatori yang akan menambah
perkembangan plak yang tidak stabil, sementara T helper 2 (Th2) dan sel
T regulator (Treg) memproduksi faktor seperti TGF-β dan IL-10, yang
akan menghambat proliferasi SMC, sehingga berpotensi memitigasi
pertumbuhan plak. (Lilly LS, 2016)

SMC merupakan jenis sel yang dominan mensintesis kolagen.


Deposisi matriks tergantung pada keseimbangan sistesisnya oleh SMC dan
degradasinya yang dirangsang oleh enzim proteolitik yang dikenal sebagai
matrix matalloproteinase (MMP). Sementara PDGF dan TGF-β
merangsang produksi kolagen interstitial oleh SMC, sitokin interferon-γ
(IFN-γ) derifat Th1 akan menghambat sintesis kolagen SMC. Selanjutnya,
sitokin inflamasi menstimulasi sel busa lokal membentuk MMP untuk
mengeluarkan kolagen dan degradasi elastin, dengan demikian
melemahkan fibrosa hingga menyebabkan pecah (Gambar 5). (Lilly LS,
2016)

Gambar 5. Metabolisme matriks yang mendasari integritas dari kapsul fibosa

22
3. Gangguan Plak

Sintesis dan degradasi matrix yang berlangsung terus-menerus


dalam beberapa dekade, bukan tanpa konsekuensi. Kematian SMC dan
sel busa meningkatkan stimulasi inflamasi atau aktivasi jalur apoptosis,
pelepasan konten sel, berkontribusi dalam penyerapan lipid dan debris
sel ke inti lipid yang tumbuh. Ukuran inti lipid memiliki implikasi
biomekanik dalam kestabilan plak. Dengan meningkatnya ukuran dan
penonjolan ke lumen, tekanan mekanik berfokus pada batas plak dengan
jaringan normal, disebut sebagai regio bahu. (Lilly LS, 2016)

Struktur dari kapsul fibrous juga turut mempengaruhi integritas


plak. Dimana lesi dengan kapsul fibrous yang tebal mengakibatkan
penyempitan arteri dan cenderung sulit pecah. Sedangkan, lesi dengan
kapsul fibrous yang tibis cenderung lebih rapuh dan lebih rentan pecah
membentuk trombosis. Terminologi klinis mendeskripsikan menjadi
“stable plaques”(ditandai dengan kapsul fibrous yang tebal dan inti lipid
yang kecil) dan “vulnerable plaque” (ditandai dengan kapsul fibrous
yang tipis, infiltrat makrofag yang luas, SMC yang kurang) (Gambar 5).
(Lilly LS, 2016)

Peluang terjadinya trombosis mencerminkan keseimbangan antara


proses pembentukan dan pembekuan clot dengan fibrinolisis. Stimulus
inflamasi ditemukan pada lingkungan mikro plak (CD40L) mendapatkan
tissue factor, inisiator jalur koagulasi ekstrinsik, dari banyak komponen
plak termasuk SMC, sel endotel, dan sel busa. Selain meningkatkan
ekspresi faktor jaringan prokoagulan yang kuat, rangsangan inflamasi
lebih lanjut mendukung trombosis dengan memanfaatkan ekspresi
fibrinolitik (Plasminogen Activator Inhibitor-1) lebih dari ekspresi dari
antikoagulan (mis., trombomodulin, heparin like molecule) dan mediator
fibrinolitik (mis., tissue aktivator plasminogen (tPA)) (Gambar 6).
Apalagi seperti yang dijelaskan sebelumnya, yang diaktifkan endotelium
juga memproduksi pembentukan trombin, koagulasi, dan deposisi fibrin
pada dinding pembuluh darah.

23
Gambar 6. Keseimbangan faktor trombosis

5. DIAGNOSIS
Diagnosis Sindrom Koroner Akut ditegakkan bila didapatkan dua atau lebih
dari 3 kriteria, yaitu
1. Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberian
nitrat biasa.
2. Perubahan elektrokardiografi (EKG)
3. Peningkatan marker jantung

1. Anamnesis

Keluhan pasien yang paling penting dalam menegakkan diagnosis


yaitu riwayat penyakit jantung koroner dan nyeri dada yang menjalar ke
leher, rahang bawah, atau tangan kiri. Beberapa pasien juga menampakkan
keluhan yang atipikal seperti sesak napas, mual muntah, lemas, palpitasi, atau
syncope (ESC, 2017). Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien
usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita
diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina
atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina
ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan
riwayat penyakit jantung koroner (PJK) (PERKI, 2018). Penurunan nyeri
dada dengan pemberian nitroglycerin (glyceryl trinitrate) dapat membuat
diagnosis yang salah sehingga tidak direkomendasikan sebagai manuver
diagnostik (ESC, 2017).

24
2. Pemeriksaan Fisis

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus


iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis
banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah
halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi
komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut,
hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan
kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis,
kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta,
pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu
dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA. (PERKI, 2018)

3. Elektrocardiogram/EKG

Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan
sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan,
sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien
dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior.
Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina
yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG
dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat.
Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.
(PERKI, 2018)
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2
sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis
STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1
mV. Nilai ambang untuk diagnostik pada berbagai sadapan beragam,
bergantung pada usia dan jenis kelamin (Tabel 1). Depresi segmen ST yang
resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST
elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di
mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST

25
dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru
mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu
pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat
terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia. (PERKI,
2018)
Sadapan Jenis Kelamin dan Usia Nilai Ambang elevasi ST
V1-3 Laki –laki ≥40 tahun ≥0.2 mV
Laki –laki <40 tahun ≥0.25 mV
Perempuan usia berapapun
V3R dan Laki-laki & Perempuan ≥0.05 mV
V4R Laki-laki <30 tahun ≥0.1 mV
V7-9 Laki-laki & Perempuan ≥0.05 mV
Tabel 1. Nilai ambang diagnostik elevasi segmen ST

Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi Iskemia atau Infark


V1 – V2 Septal
V3 – V4 Anterior
V5 – V6, aVL Lateral
Lead II, III, aVF Inferior
V7 – V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel Kanan
Tabel 2. Perkiraan Lokasi Infark Berdasarkan Gambaran Elevasi Segmen ST

Persangka adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG


pasien dengan LBBB baru/prasangka baru juga disertai dengan elevasi
segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi
segmen ST ≥1 mm di V1-V3. (PERKI, 2018)

4. Pemeriksaan Enzim Jantung

Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka


nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan

26
spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan
kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung,
hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang
dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal
napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner,
kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I
memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit,
kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I
mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T. (PERKI, 2018)
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin
I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA,
pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan
SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya
diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang
meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal
(menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat
(48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk
mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural.
(PERKI, 2018)
Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium
sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point
of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatif,
lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care testing sebagai
alat diagnostic rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di
laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara
point of care testing menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan harus
diulang di laboratorium sentral. (PERKI, 2018)

5. Pemeriksaan Non-Invasif

27
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan
gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk menetukan
diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia segmental dinding ventrikel kiri
dapat terlihat iskemia dan menjadi normal saat iskemia menghilang. Selain
itu, diagnosis banding seperti stenosis aorta, kardiomiopati hipertropik, atau
diseksi aorta dapat terdeteksi melalui pemeriksaan ekokardiografi. Jika
memungkinkan, pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat harus
tersedia di ruang gawat darurat dan dilakukan secara rutin dan sesegera
mungkin pada pasien tersangka SKA. Stress test seperti EKG exercise yang
telah dibahas sebelumnya dapat membantu menyingkirkan diagnosis banding
PJK obstruktif pada pasien-pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat normal, dan
marka jantung yang negatif.

Multislice cardiac CT (MSCT) dapat digunakan untuk menyingkirkan


PJK sebagai penyebab utama nyeri pada pasien dengan kemungkinan PJK
rendah sampai menengah, dan jika pemeriksaan troponin dan EKG tidak
meyakinkan.

6. Pemeriksaan invasif (angiografi koroner)

Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan


tingkat keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk
tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding
yang tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya pada arteri
sirkumfleksa, sangat penting pada pasien yang sedang mengalami gejala
atau peningkatan troponin namun tidak ditemukan perubahan EKG
diagnostik. Pada pasien dengan penyakit pembuluh multiple dan pasien
dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk
kejadian kardiovaskular yang serius, angiografi koroner disertai
perekaman EKG dan abnormalitas gerakan dinding regional seringkali
memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi penyebab. Penemuan
angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang ireguler,
ulserasi, penampakan yang kabur, dan filling defect yang mengesankan
adanya trombus intrakoroner. (PERKI,2018)

28
7. Pemeriksaan Laboratorium

Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus


dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah
sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid.
Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA. (PERKI, 2018)

8. Pemeriksaan Foto Polos Dada

Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang


gawat darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus
dilakukan di ruang gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan
adalah untuk membuat diagnosis banding,identifikasi komplikasi dan
penyakit penyerta. (PERKI, 2018)

6. KLASIFIKASI KILLIP

Klasifikasi Killip merupakan salah satu metode stratifikasi risiko


berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard akut
dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas dalam 30 hari. (PERKI,
2018)
Pasien dengan kelas Killip yang lebih tinggi ditemukan memiliki insiden
yang lebih tinggi terhadap penyakit arteri koroner angiografi berat, disfungsi
ventrikel, dan infark miokard. (El Menyar, 2012)

29
Tabel 3. Mortalitas 30 Hari Berdasarkan Klasifikasi Killip

7. PENATALAKSANAAN

Tindakan Umum Dan Langkah Awal


Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera
menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan
selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada
pasien dengan diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan
angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau
marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat,
Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.
1. Tirah baring
2. Pada semua pasien IMA-EST direkomendasikan untuk mengukur
saturasi oksigen perifer
a. Oksigen diindikasikan pada pasien dengan hipoksemia (SaO2
<90% atau PaO2 <60 mmHg)
b. Oksigen rutin tidak direkomendasikan pada pasien dengan SaO2
≥90%.
3. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih
terpilih mengingat absorbsi sublingual (dibawah lidah) yang lebih
cepat
4. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali
pada pasien STEMI yang direncanakan untuk reperfusi
menggunakan agen fibrinolitik.
atau
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk

30
terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat
reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel)
5. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri
dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika
nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang
setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena
diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis
NTG sublingual. Dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat
(ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti
6. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.
(PERKI, 2015)

Gambar 7. Algoritma Evaluasi dan Tatalaksana Sindrom Koroner Akut

Tatalaksana STEMI

31
1. TERAPI REPERFUSI
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan untuk
semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen ST
yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru. Terapi
reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti
klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala
telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak
tersendat. Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan
ada tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada,
langsung pilih terapi fibrinolitik. (PERKI, 2018)
Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit
atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika
membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah

32
fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat
dengan fasilitas IKP. (PERKI, 2018)
Jika strategi reperfusi yang dipilih adalah fibrinolitik, maka terapi
fibrinolitik sebaiknya dimulai dalam waktu 10 menit dari diagnosis STEMI.
Diagnosis STEMI harus ditegakkan dalam waktu 10 menit dari KMP. Waktu
absolut dari diagnosis STEMI ke reperfusi IKP adalah 120 menit. Jika
diperkirakan lebih dari 120 menit, maka fibrinolitik menjadi pilihan (PERKI,
2018)
Untuk mempersingkat waktu iskemia, jika memungkinkan, fibrinolitik
dapat dipertimbangkan sebelum pasien tiba di RS. Setelah pemberian fibrinolitik,
pasien dirujuk ke RS dengan fasilitas IKP. Jika fibrinolitik gagal (resoluasi
segemen ST <50% dalam waktu 60-90 menit setelah pemebrian fibrinolitik), atau
terjadi ketidakstabilan hemodinamik/elektrolit, perburukan iskemia, atau nyeri
dada persisten, merupakan keadaan dengan indikasi untuk dilakukan IKP resecue.
Angiografi koroner rutin direkomendasikan setelah fibrinolisis berhasil. Pasien
dengan presentasi klinis IMA dan EKG dengan segmen ST yang tidak dapat
diinterpretasikan (seperti pada bundle branch atau ventricular pacing), harus
menjalani IKP Premir. (PERKI, 2018)
IKP primer juga harus dikerjakan pada pasien dengan gejala yang
berlangsung >12 jsm disertai :
1. EKG yang menunjukkan iskemia sedang berlangsung
2. Nyeri sedang berlangsung/rekuren dan perubahan EKG yang dinamis
3. Nyeri sedang berlangsung/rekuren, gejala dan tanda gagal jantung,
syok, atau aritmia maligna (PERKI, 2018)

2.1 Intervensi koroner perkutan primer (IKP)


IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan
dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120
menit dari waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien
dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila
diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien datang
dengan awitan gejala yang telah lama. Stenting lebih disarankan dibandingkan

33
angioplasti balon untuk IKP primer. Tidak disarankan untuk melakukan IKP
secara rutin pada arteri yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan
gejala pada pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum
diberikan fibrinolisis. (PERKI, 2018)
Bila pasien tidak memiliki indikasi kontra terhadap terapi antiplatelet dual
(dual antiplatelet therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap
pengobatan, drug-eluting stents (DES) lebih disarankan daripada bare metal
stents (BMS). (PERKI, 2018)

2.1.1. Farmakoterapi periprosedural

Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet
ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera mungkin
sebelum angiografi, disertai dengan antikoagulan intravena. Aspirin dapat
dikonsumsi secara oral (160- 320 mg). Pilihan penghambat reseptor ADP yang
dapat digunakan antara lain:
1. Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua
kali sehari)
2. Atau clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis
loading 600 mg diikuti 150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau
diindikasikontrakan.
(PERKI, 2018)

Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Pilihannya


antara lain:
1. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP
Iib/IIIa rutin) harus digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan
bivarlirudin atau enoksaparin
2. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa) dapat
lebih dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi
3. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer

34
4. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang
direncanakan untuk IKP primer
(PERKI, 2018)

2.2 Terapi fibrinolitik

Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada


tempat – tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam
waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12
jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP
primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak
kontak medis pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak
awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis
perlu dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi
balon lebih dari 90 menit. Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.
Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih
disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin
(streptokinase). Aspirin oral atau intravena harus diberikan. Clopidogrel
diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin. Antikoagulan
direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati dengan fibrinolitik
hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga
5 hari. Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:
1. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak
terfraksi)
2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan
dan infus selama 3 hari
3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks intravena
secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian.
(PERKI, 2018)
Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan IKP
setelah fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien. IKP “rescue”diindikasikan
segera setelah fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen ST kurang dari 50%

35
setelah 60 menit disertai tidak hilangnya nyeri dada. IKP emergency diindikasikan
untuk kasus dengan iskemia rekuren atau bukti adanya reoklusi setelah fibrinolisis
yang berhasil. Hal ini ditunjukkan oleh gambaran elevasi segmen ST kembali.
(PERKI, 2018)
Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi
diindikasikan untuk gagal jantung/pasien syok setelah dilakukannya fibrinolisis
inisial. Jika memungkinkan, angiografi dengan tujuan untuk melakukan
revaskularisasi (pada arteri yang mengalami infark) diindikasikan setelah
fibrinolisis yang berhasil. Waktu optimal angiografi untuk pasien stabil setelah
lisis yang berhasil adalah 3-24 jam. (PERKI, 2018)

2.3. Koterapi antikogulan

1. Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan terapi


antikoagulan selama minimum 48 jam dan lebih baik selama rawat inap, hingga
maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non UFH bila lama terapi lebih dari 48 jam
karena risiko heparin-induced thrombocytopenia dengan terapi UFH
berkepanjangan.
2. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan terapi
antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari
pemberian
3. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH atau fondaparinuks
dengan regimen dosis sama dengan pasien yang mendapat terapi fibrinolisis.
4. Pasien yang menjalani IKP Primer setelah mendapatkan antikoagulan

Berikut ini merupakan rekomendasi dosis:


• Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai kebutuhan untuk
mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP IIb/IIIA telah diberikan
• Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan dalam 8 jam,
tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir antara 8-12 jam, maka
ditambahkan enoxapain intravena 0,3 mg/kg

36
• Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan dengan
aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP IIb/IIIa

5. Karena adanya risiko trombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan


digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya ditambahkan
antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa. (PERKI, 2018)

8. PROGNOSIS
a. Manifestasi Klinis
Selain dari berbagai pertanda klinis yang umum seperti usia lanjut, adanya
diabetes, gagal ginjal dan penyakit komorbid lain, prognosis pasien dapat
diperkirakan melalui presentasi klinis ketika pasien tiba. Adanya gejala saat
istirahat memberikan prognosis yang buruk.Selain itu, nyeri yang
berkelanjutan atau sering serta adanya takikardia, hipotensi dan gagal jantung
juga merupakan pertanda peningkatan risiko dan memerlukan diagnosis dan
penanganan segera. (PERKI, 2018)

b.Pemeriksaan EKG
Pertanda EKG. Hasil EKG awal dapat memperkirakan risiko awal. Pasien
dengan EKG yang normal saat tiba di RS memiliki prognosis yang lebih baik
dibandingkan mereka dengan inversi gelombang T. Selain itu, adanya depresi
segmen ST saat tiba, inversi gelombang T yang dalam di sadapan anterior,
depresi segmen ST ≥0,1 mV atau ≥0,05 mV di dua atau lebih sadapan yang
bersebelahan, dan elevasi segmen ST ≥0,1 mV di sadapan aVR memberikan
prognosis yang lebih buruk. (PERKI, 2018)

9. KOMPLIKASI

Komplikasi akibat terjadinya infark dapat diakibatkan oleh inflamasi,


mekanikal, dan gangguan elektrik yang diinduksi oleh bagian miokardium yang
nekrosis. Komplikasi dini dapat disebabkan oleh nekrosis miokardium itu sendiri,
yang kemudian akan berkembang dalam beberapa hari hingga beberapa minggu

37
dan dapat dilihat dalam bentuk mencerminkan peradangan dan penyembuhan
jaringan nekrotik. (Lilly LS, 2016)

9.1. Iskemik berulang


Pada pasien infark miokard dilaporkan sebanyak 20% hingga 30%
mengalami angina postinfark. Angka kejadian ini tidak berkurang
dengan pemberian terapi trombolik, akan tetapi berkurang dengan
penanganan menggunakan PCI. Aliran darah koroner residual yang
tidak memadai mengindikasikan suatu pertanda buruk dan berkorelasi
dengan peningkatan risiko infark. (Lilly LS, 2016)

9.2. Aritmia

Tabel 4. Airtmia pada Infark Miokard Akut

Aritmia merupakan hal paling sering terjadi pada infark miokard


akut dan merupakan penyebab utama mortalitas pada pasien yang
masuk ke Rumah Sakit. Mekanisme yang berkontribusi terjadi aritmia
pada pasien infark adalah :
a. Terganggunya aliran darah yang memperdarahi struktur penting
dalam sistem konduksi (SA node, AV node, bundle of HissI, dll)
(Tabel 5).
b. Akumulasi toksin metabolik (mis. Asidosis seluler) dan
abnormalitas konsentrasi ion akibat kebocoran membran sel.
c. Stimulasi autonomik (Simpatis dan Parasimpatis)

38
d. Pemberian obat yang berpotensi mengakibatkan aritmia (mis.
Dopamine). (Lilly LS, 2016)

Tabel 5. Suplai darah pada sistem konduksi

9.3. Disfungsi Miokardium


9.3.1 Gagal Jantung
Iskemik akut menyebabkan gangguan pada kontraktilitas
otot jantung (disfungsi sistolik) dan meningkatkan kekakuan
(disdungsi diastolik), kedua hal ini menyebabkan gejala gagal
jantung. Sebagai tambahan, remodelling ventrikel, aritmia, dan
gangguan mekanik yang merupakan komplikasi dari infark
miokard dapat berujung pada kegagalan jantung. Tanda dan
gejala dekompensasi yaitu dyspnea, pulmonary rales, dan bunyi
jantung ketiga (S3). Penangannya yaitu penanganan gagal jantung
pada umumnya, termasuk diuretik untuk menurunkan cairan, serta
terapi ACE-I dan β-Blocker untuk manfaat mortalitas jangka
panjang. Untuk pasien gagal jantung post-MI dengan EFLV
kurang dari 40%, aldosteron antagonis (spironolactone atau
aplerenone) dapat dipertimbangkan. Akan tetapi, pemberian
antagonis aldosteron disertai pemberian ACE-I, tingkat potassium
serum harus dimonitor untuk mencengah hiperkalemia. (Lilly LS,
2016)
9.3.2 Syok kardiogenik
Syok kardiogenik merupakan kondisi dimana cardiac
output menurun drastis dan hipotensi (tekanan darah sistol < 90
mmHg) dengan perfusi yang tidak adekuat ke jaringan perifer

39
yang dapat diakibatkan karena lebih dari 40% ventrikel kiri
mengalami infark. Syok kardiogenik terjadi pada 10% pasien
post-MI, dengan mortalitas lebih dari 70%. (Lilly LS, 2016)
Pasien dengan syok kardiogenik memburuhkan agen
inotropik intravena (mis. Dobutamine) untuk meningkatkan
cardiac output dan, sekaligus meningkatkan tekanan darah,
vasolidator digunakan untuk mengurangi resistensi kontraksi
ventrikel kiri. Penanganan lain yang lebih efektif dapat dilakukan
yaitu intra-aortic ballon pump dan percutaneus left ventricular
assist device (LVAD). (Lilly LS, 2016)

9.4. Infark ventrikel kanan


Sekitar sepertiga dari pasien dengan infark dinding inferior LV
juga mengalami nekrosis pada bagian ventrikel kanan, karena arteri
koroner yang memperdarahi keduanya sama (biasanya arteri koroner
dextra) pada sebagian besar individu. Kontraksi abnormal yang
dihasilkan dan penurunan pemenuhan pada ventrikel kanan mengarah
ke tanda-tanda gagal jantung kanan (mis., Distensi vena jugularis) di
luar proporsi terhadap tanda-tanda gagal jantung kiri. Selain itu,
didapatnya kejadian hipotensi dapat terjadi ketika disfungsi ventrikel
kanan yang mengganggu aliran darah melalui paru-paru, menyebabkan
ventrikel kiri menjadi kurang terisi. Dalam pengaturan ini, infus volume
intravena berfungsi untuk memperbaiki hipotensi, yang dipantau
dengan pengukuran hemodinamik melalui kateter arteri pulmonalis
transvenous. (Lilly LS, 2016)

9.5. Komplikasi mekanik


Komplikasi mekanik akibat MI dikarekanan adanya nekrosis dan
iskemik jaringan jantung. Komplikasi mekanik dapat berupa :
a. Ruptur otot papilla
b. Ruptur dinding ventrikel
c. Ruptur septum interventricular (VSD)

40
d. Aneurysma ventrikel sejati (Lilly LS, 2016)

9.6. Pericarditis
Perikarditis akut dapat terjadi pada periode post-MI awal (di rumah
sakit) karena peradangan meluas dari miokardium ke perikardium yang
berdekatan. Nyeri yang tajam, terus menerus, dan perikardial friction
rub biasanya hadir dalam situasi ini dan membantu membedakan
perikarditis dari iskemia miokard berulang. Gejala-gejalanya biasanya
segera berespons terhadap terapi aspirin. Antikoagulan relatif
kontraindikasi pada MI yang dipersulit oleh perikarditis untuk
menghindari perdarahan dari lapisan perikardial yang meradang.
Frekuensi kejadian pericarditis-MI telah menurun sejak adanya
strategi penanganan reperfusi akut, karena penaganan tersebut
membatasi tingkat kerusakan dan peradangan miokard. (Lilly LS, 2016)
9.7. Tromboemboli
Aliran darah yang statis di daerah-daerah gangguan kontraksi LV
setelah MI dapat mengakibatkan pembentukan trombus intrakavitas,
terutama ketika infark melibatkan apex LV atau ketika aneurisma sejati
telah terbentuk. Tromboemboli berikutnya dapat menyebabkan infark
organ perifer (mis., Kejadian serebrovaskular [stroke] yang disebabkan
oleh emboli pada otak). (Lilly LS, 2016)

41
DAFTAR PUSTAKA

El-Menyar et al. Killip classification in patients with acute coronary syndrome:


insight from a multicenter registry. American Journal of Emergency
Medicine. 2012.
European Society of Cardiology. Guidelines for The Management of Acute
Myocardial Infarction in Patients Presenting with ST-Segment Elevation.
European Heart Journal. 2017.
Irmalita, Juzar DA, Andrianto, Setianto By, Tobing DPL, Firman D, et al.
Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut. 3rd ed. Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2018
Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease. 6th Ed. China: Wolters Kluwer
Health. 2016.

42

You might also like