Professional Documents
Culture Documents
o > "Manfaat apa yang akan didapatkan jika anda mengurangi penggunaan NAPZA ?"
o > "Apa yang anda inginkan dalam kehidupan Anda lima tahun mendatang?"
o "Apa yang akan anda kerjakan apabila anda memutuskan untuk berubah?"
o "Seberapa yakinkah anda bahwa anda dapat berubah?"\
o "Seberapa penting bagi anda untuk mengurangi penggunaan NAPZA?"
o "Apa yang anda fikirkan saat ini tentang penggunaan NAPZA anda ?"
4. Cognitif Behavioral Therapy (CBT)
Cognitive Behavioral Therapy atau yang lebih dikenal dengan CBT adalah sebuah
psikoterapi yang mulai banyak digunakan oleh para profesional dan terapis dalam
menghadapi berbagai persoalan-persoalan psikologis individual, bahkan sampai kepada
penggunaan dalam manajemen perusahaan dalam meningkatkan kinerja dan produktifitas
yang sustainable dan resilience. CBT sebagai sebuah bentuk psikoterapi digunakan oleh para
profesional karena:
1. CBT adalah jangka pendek, sangat kompatibel dengan berbagai sumber daya yang tersedia
bagi pasien.
2. CBT telah teruji secara klinis dan didukung oleh percobaan empirikal yang solid.
3. CBT terstruktur, goal-oriented (berorientasi pada sasaran perawatan yang telah dirancang),
fokus pada masalah yang dihadapi saat ini yang bergumul untuk mengatasi problem NAPZA
yang dialami pasien.
4. CBT sangat fleksibel, pendekatan sangat individual tetapi dapat disesuaikan dengan
berbagai bentuk perawatan (inpatient, outpatient) demikian juga formatnya (kelompok dan
perorangan).
5. Sangat cocok dikombinasikan dengan berbagai terapi seperti MET, Ml, Medis, dll. Dengan
dasar diatas, maka para ahli yang menggunakan CBT mengembangkan apa yang disebut
kompetensi CBT untuk berbagai gangguan yang didasari oleh meta-analisa diatas. Asumsi
yang dipakai adalah, setiap bentuk gangguan sifatnya sangat khusus. terhadap pribadi yang
khusus, lingkungan yang khusus, dan sasaran individu (penderita gangguan) yang juga
khusus. Maka untuk setiap gangguan, harus dilakukan studi yang mendalam sehingga dapat
diterapkan secara efektif dan efisien, sesuai dengan sifatnya / hakekat CBT. Intervensi CBT
lahir dari 2 (dua) teori - teori ilmu psikologi yang telah berkembang sejak tahun 1950 sampai
1970, yaitu mulai dari psikoanalisa; client center Rogerian; terapi perilaku dalam bentuk
desentisisasi, modifikasi perilaku, aktivasi perilaku-conditioning; (1950an); lalu terapi
kognitif REBT menurut Albert ElHs,cognitive therapy dari Aaron Beck tahun 1970an; dan
pada tahun 1990an pendekatan-pendekatan yang baru muncul seperti mindful therapy and
acceptance & committment therapy, dengan tujuan utama adalah merestruktur cara berpikir
lama dan mengubah perilaku lama dalam suatu proses pembelajaran.
Dasar Teori CBT
Setiap model dan metoda intervensi, apapun pendekatannya, memerlukan dasar teori yang
sudah terbukti (evidence based} dan teruji secara klinis. CBT menggunakan dua teori, yaitu
teori terapi kognitif dan teori terapi perilaku yang telah ada dalam dunia terapiselama ini.
Untuk menghemat waktu dan mengejar efektifitas, maka dalam praktik, digunakan sekitar
80% terapi kognitif; khususnya bagi pasien remaja dan dewasa. Terapi kognitif, bertujuan
untuk membangun pikiran dan tindakan yang lebih rasional, dengan mengidentifikasi
keyakinan-keyakinan inti dan asumsi-asumsi yang tidak rasional yang mengakibatkan atau
menjadi kebiasaan (otomatis) dan bekerja kearah mengkoreksinya. Sedangkan muatan terapi
perilaku, lebih menekankan teori pembelajaran sosial berupa modeling dan conditioning
sebagaimana pasien belajar menggunakan NAPZA. Didasari atas kedua terapi diatas, CBT
dikembangkan sesuai dengan kondisi dan latar belakang pasien, lingkungan hidupnya,
dan budaya lingkungannya. Semakin luas pengetahuan terapis, maka akan sangat efektif bagi
terapis dalam mengaplikasikan CBT terhadap pasien. Jadi CBT didasari atas meta-analisa,
maka dari itu efektifitasnya sangat tinggi yang akibatnya memiliki efisiensi atau waktu
perawatan yang relatif singkat dibanding dengan cara pendekatan tradisional.
Kesiapan Terapis CBT
CBT untuk adiksi didasari atas asumsi pendekatan biopsikososial. Dengan demikian para
terapis harus mengembangkan pemikiran yang komprehensif terlebih dahulu sebelum
melakukan perawatan; pertanyaan-pertanyaan dibawah ini harus menjadi bagian dari asumsi
asumsi terapis sebelum menghadapi pasien; yang akan ditanyakan dan di selidiki:
- Apakah pasian memiliki gangguan atau penyakit tertentu
sebelum menggunakan NAPZA dan sebagai akibat dari
penggunaan NAPZA; kemana saya harus merujuknya bila hal
ini ada?
- Apakah pasien memiliki gejala dual diagnosis? Merujuk ke
psikiater mana yang mengerti masalah adiksi dan gangguan
psikiatrik yang berhubungan dengan adiksi.
- Gangguan psikologis apa saja yang diderita pasien? Perangkat
asesmen dan analisa apa yang harus dipakai untuk
mengetahuinya?
- Kemudian dari hasil-hasil diatas apakah tingkat keparahannya
pasien? Tingkat perawatan apa yang berguna dan harus
dilaksanakan bagi pasien bersangkutan?
- Apa saja faktor-faktor berisiko bagi pasien bila dia harus
menjalani perawatan rawat jalan maupun rawat inap?
- Sampai dimana tingkat motivasi pasien untuk berhenti
menggunakan NAPZA? Apa faktor-faktor penentu motivasi
tersebut sehingga pasien datang keperawatan atau dipaksa
menjalankan keperawatan.
- Apa kekuatan dan kelemahan yang dimiliki pasien sehingga
dia mampu bertahan dengan keadaan emosional dan pefilaku
sampai saat ini? Latar belakang sosial dan individual perlu
diperhatikan.
- Dan beberapa pertanyaan yang spesifik yang timbul ketika
berhadapan dengan pasien secara langsung; termasuk alat assessmen apa yang nanti akan
digunakan, siapa yang akan menjadi pendamping (peer counselor), siapa yang menjadi
manager kasus, dan terakhir apakah fasilitas yang dimiliki terapis sudah memadai dalam
menjawab pertanyaanpertanyaan diatas. Keberhasilan menjawab sebanyak mungkin
pertanyaan diatas akan menentukan langkah-langkah intervensi selanjutnya apakah menjadi
mudah atau sulit. Terapis harus melengkapi diri dengan pertanyaan-pertanyaan diatas yang
akan dilakukan pada pasien pada tahap awal perawatan primer.
wawancara memotivasi)
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
68
dapat dilihat pada daftar persyaratan minimal layanan
penunjang.
a. Bangunan
Kesehatan Rl No.04/Menkes/SK/l/2002
institusi/lembaga kesehatan
LSM atau organisasi kemasyarakatan
dll)
Pelaksana program penjangkauan dan pendampingan adalah
sebuah tim yang terdiri dari petugas lapangan dan koordinator
penjangkauan. Petugas lapangan bisa yang mempunyai latar
belakang mantan pengguna NAPZA atau individu yang
mempunyai kemampuan dan kesediaan untuk masuk dalam
komunitas pengguna NAPZA. Sedangkan koordinator
penjangkauan berperan dalam memberikan dukungan dan
pemantauan terhadap proses penjangkauan dan pendampingan
di lapangan sehingga searah dengan tujuan program yang
dikembangkan. Tim penjangkauan dan pendampingan,
sebelum melaksanakan program sudah mendapatkan pelatihan
khusus mengenai penjangkauan dan pendampingan. .