Professional Documents
Culture Documents
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Definisi
Tinea Korporis atau yang juga dikenal dengan tinea sirsinata, tinea
glabrosa, Scherende Flechte, kurap, herpes sircine, trichophytique
merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur superfisial golongan
dermatofita yang menyerang daerah kulit tidak berambut (glabrous skin)
pada wajah, badan, lengan dan tungkai.1
1.2. Etiologi
Semua dermatofita dapat menyebabkan tinea korporis, tetapi yang
merupakan penyebab tersering adalah Trichophyton rubrum, Trichophyton
mentagrophytes, Microsporum canis dan Trichophyton tonsurans,
Penyebab infeksi dermatofita yang paling dominan adalah Tricophyton
diikuti Epidermophyton dan Microsporum, dimana yang paling banyak
adalah spesies Tricophyton rubrum, T.mentagrophytes, dan T.tonsurans.2
1.3. Epidemiologi
Tinea korporis dapat terjadi pada semua usia, biasanya mengenai
usia 18-25 tahun serta 40-50 tahun. Tinea korporis juga bisa didapatkan
pada pekerja yang berhubungan dengan hewan-hewan. Dermatofita
tumbuh optimal pada suhu 15- 35°C, pada kulit manusia yang hangat, dan
lembap, sehingga dermatofitosis umumnya lebih banyak ditemukan di
negara tropis dan subtropis. Dematofitosis dapat pula diperberat oleh
penggunaan pakaian yang tertutup rapat, kelembapan tinggi, keadaan
sosioekonomi yang rendah, lingkungan tempat tinggal yang padat, dan
higiene yang rendah. Maserasi dan oklusi kulit lipatan menyebabkan
peningkatan suhu dan kelembaban kulit sehingga menyebabkan terjadinya
infeksi. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dan tidak
langsung. Melalui kontak langsung yang didapatkan dari individu yang
2
1.4. Patogenesis
Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama, yaitu:
perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta
pembentukan respon pejamu.1,4,5
1. Perlekatan dermatofit pada keratinosit
Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal
setelah 6 jam, dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit
yang memproduksi keratinase (keratolitik) yang dapat
menghidrolisis keratin dan memfasilitasi pertumbuhan jamur ini
di stratum korneum. Dermatofit juga melakukan aktivitas
proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine proteinase
(urokinase dan aktivator plasminogen jaringan) yang
menyebabkan katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi
pejamu. Proses ini dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari
kedua sel, dan pengaruh sebum antara artrospor dan korneosit
yang dipermudah oleh adanya proses trauma atau adanya lesi
pada kulit. Tidak semua dermatofit melekat pada korneosit
karena tergantung pada jenis strainnya.
2. Penetrasi dermatofit melewati dan di antara sel
Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum
dengan kecepatan melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi
menghasilkan sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik,
yang menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 4–6 jam
untuk germinasi dan penetrasi ke stratum korneum setelah spora
melekat pada keratin. Dalam upaya bertahan dalam menghadapi
pertahanan imun yang terbentuk tersebut, jamur patogen
menggunakan beberapa cara: 1) Penyamaran, antara lain dengan
membentuk kapsul polisakarida yang tebal, memicu
3
A. Antigen dermatofit
Dermatofit memiliki banyak antigen yang tidak spesifik
menunjukkan spesies tertentu. Dua kelas utama antigen
dermatofit adalah: glikopeptida dan keratinase, di mana
bagian protein dari glikopeptida menstimulasi CMI, dan
bagian polisakarida dari glikopeptida menstimulasi
imunitas humoral. Antibodi menghambat stimulasi
aktivitas proteolitik yang disebabkan oleh keratinase,
yang dapat memberikan respons DTH yang kuat.
B. CMI
Pertahanan utama dalam membasmi infeksi dermatofit
adalah CMI, yaitu T cell-mediated DTH. Kekurangan sel
T dalam sistem imun menyebabkan kegagalan dalam
membasmi infeksi dermatofit. Penyembuhan suatu
penyakit infeksi pada hewan dan manusia, baik secara
alamiah dan eksperimental, berkorelasi dengan
pembentukan respon DTH. Infeksi yang persisten
seringkali terjadi karena lemahnya respon transformasi
limfosit in vitro, tidak adanya respon DTH, dan
peningkatan proliferasi kulit dalam respon DTH. Reaksi
DTH di mediasi oleh sel Th1 dan makrofag, serta
peningkatan proliferasi kulit akibat respon DTH
merupakan mekanisme terakhir yang menyingkirkan
dermatofit dari kulit melalui deskuamasi kulit. Respon
sel Th1 yang ditampilkan dengan ciri pelepasan
interferon gamma, ditengarai terlibat dalam pertahanan
pejamu terhadap dermatofit dan penampilan manifestasi
klinis dalam dermatofitosis. Respons T Helper-1 (Th1).
Sitokin yang diproduksi oleh sel T (Sitokin Th1) terlibat
dalam memunculkan respon DTH, dan IFN-gamma
6
lebih tenang, sementara yang di tepi lebih aktif yang sering disebut dengan
central healing .Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan.
Kelainan kulit juga dapat dilihat secara polisiklik, karena beberapa lesi kulit
yang menjadi satu. Lesi dapat meluas dan memberikan gambaran yang tidak
khas terutama pada pasien imunodefisiensi. Pada tinea korporis yang
menahun, tanda radang mendadak biasanya tidak terlihat lagi.1,2
1.7. Penatalaksanaan
1. Terapi sistemik
a. Obat antijamur
Obat antijamur yang dapat digunakan adalah terbinavin 200
mg/hari selama 2-4 minggu, itrakonazol 200 mg/hari selama
1 minggu dan flukonazol 150-300 mg/minggu selama 4-6
9
2. Terapi topikal
Terapi topikal yang dapat diberikan adalah allylamines,
imidazole 1%, tolnaftate, butenafine atau siklopirok yang
diaplikasikan dua kali sehari selama 2-4 minggu. Selain obat
tersebut dapat diberikan asam salisilat 2-4%, asam benzoat 6-12%,
sulfur 4-6%, vioform 3%, asam undesilenat 2-5%.3
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama Lengkap : Ny. Elita Nuraini Batubara
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir/Umur : 01 Februari 1949
Alamat : Jl. Cangkir no.8 Medan
Suku Bangsa : Batak Toba
Agama : Kristen Protestan
B. Riwayat Penyakit
Keluhan utama : Bercak kemerahan yang terasa gatal
pada daerah belakang leher,
punggung, paha kanan dan kiri yang
dialami sejak 3 bulan yang lalu.
Keluhan tambahan : demam tidak dijumpai, nyeri tidak
dijumpai.
Riwayat Perjalanan Penyakit : Awalnya berupa bercak kemerahan
yang terasa gatal pada daerah
belakang leher gatal semakin
bertambah apabila pasien berkeringat
digaruk bercak semakin
melebar dan bercak baru timbul di
punggung, lengan atas, paha kanan
dan kiri disertai adanya sisik diatas
bercak pasien sudah berobat ke
dokter kulit dan diberikan obat
pasien merasa gejala berkurang
gejala tersebut kambuh kembali
setelah pasien mengkonsumsi daging
selama 2 hari berturut.
11
C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
Keadaan umum : Pasien tampak lemah
Kesadaran : compos mentis.
Tanda Vital
Tekanan darah : Tdp
Nadi : Tdp
Pernafasan : Tdp
Suhu : Tdp
Keadaan Spesifik
Kepala : Normocephali
Leher : terdapat bercak kemerahan bersisik
Thorax : terdapat bercak kemerahan bersisik di punggung
Abdomen : tidak dilakukan pemeriksaan
Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : terdapat bercak kemerahan bersisik di paha kanan dan kiri
12
Status Dermatologis
Regio colli anterior dan posterior, regio clavicularis dekstra dan sinistra,
regio brachium dekstra dan sinistra, region infraskapularis dekstra dan
sinistra, regio gluteus dan femoralis dekstra dan sinistra.
D. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan
Anjuran: KOH 10%.
E. Diagnosis Banding
1. Tinea Korporis
2. Pitiriasis Rosea
3. Psoriasis Vulgaris
F. Diagnosis Kerja
Tinea Korporis
G. Penatalaksanaan
Non medikamentosa:
- Menganjurkan untuk menjaga daerah lesi tetap kering.
- Menganjurkan untuk menjaga kebersihan badan.
- Menghindari pakaian yang panas dan tidak menyerap keringat,
menggunakan pakaian yang menyerap keringat seperti katun, tidak
ketat dan diganti setiap hari.
14
Medikamentosa:
Sistemik :
- Loratadine tab 1 x 10 mg
- Ketoconazole tab 2 x 200/hr dalam 3 minggu
Topikal :
H. Prognosis
Dubia ad malam akibat usia sudah tua dan terdapat penyakit Ca Payudara.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Pusponegoro E. Tinea Korporis. In: Menaldi SL, editor. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2017. p. 109-16.
2. Djuanda A. Tinea Korporis. In: Menaldi SL, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013.
p. 92-100.
3. Straus S, Oxman M, Schmader K. In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S,
Gilchrest B, Paller A, Leffell D, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 7th ed. United States: McGraw-Hill; 2008. p. 1885–98.
4. Siregar, R.S. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC; 2004.p.
10-23.
5. Kurniati, Cita Rosita SP. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Dept./SMF Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo. Surabaya.
2013. p. 243-50