You are on page 1of 11

Initial Assesment, Triage, Primary Survei, Secondary Survei

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Keperawatan Kritis

Disusun Oleh :

LUTFIAH 1035181010

PROGRAM STUDI NERS FAKULTAS KESEHATAN


UNIVERSITAS MH.THAMRIN
JAKARTA, 2019
1. INITIAL ASSESSMENT

Initial assessment adalah untuk memprioritaskan pasien dan menberikan penanganan segera.
Informasi digunakan untuk membuat keputusan tentangintervensi kritis dan waktu yang
dicapai. Ketika melakukan pengkajian, pasienharus aman dan dilakukan secara cepat dan
tepat dengan mengkaji tingkatkesadaran (Level Of Consciousness) dan pengkajian ABC
(Airway, Breathing,Circulation), pengkajian ini dilakukan pada pasien memerlukan tindakan
penanganan segera dan pada pasien yang terancam nyawanya. (John EmoryCampbell, 2004).

Langkah pertama dalam prinsip penatalaksanaan kegawatdaruratan adalah dengan meninjau


kondisi medan penyelamatan atau lokasi kejadian. Keselamatan diri, partner kerja, dan orang
lain di sekitar lokasi kejadian selalu menjadi prioritas utama. Sebelum menjangkau korban,
periksa kemungkingan adanya bahaya bagi penolong. Jangan memaksakan jika kondisi tidak
memungkinkan. Tahapan scene survey, antara lain sebagai berikut :

1. Memastikan keadaan lingkungan


a) Consider
Mempertimbangkan segala informasi mengenai medan penyelamatan dari orang- orang
sekitar. Misalnya informasi dari saksi mata kejadian yang terpercaya.
b) Observe
Mengamati secara langsung kondisi medan seperti binatang buas, orang-
orangmencurigakan, jalan keluar penyelamatan, dan lain-lain.
c) Think
Selalu memikirkan rencana cadangan jika terjadi perubahan situasi. Misalnya keadaan
cuaca yang memburuk atau terjadi bencana susulan.
2. Memastikan kesadaran dari korban/pasien.
Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak penolong harus melakukan
upaya agar dapat memastikan kesadaran korban/pasien, dapat dengan cara menyentuh
atau menggoyangkan bahu korban/pasien dengan lembut dan mantap untuk mencegah
pergerakan yang berlebihan, sambil memanggil namanya atau Pak !!! / Bu!!! / Mas!!!
/Mbak !!!.
3. Meminta pertolongan.
Jika ternyata korban/pasien tidak memberikan respon terhadap panggilan, segera minta
bantuan dengan cara berteriak "Tolong !!!" untuk mengaktifkan sistem pelayanan medis
yang lebih lanjut.
4. Memperbaiki posisi korban/pasien.
Untuk melakukan tindakan BHD yang efektif, korban/pasien harus dalam posisi
terlentang dan berada pada permukaan yang rata dan keras. jika korban ditemukan dalam
posisi miring atau tengkurap, ubahlah posisi korban ke posisi terlentang. Ingat! penolong
harus membalikkan korban sebagai satu kesatuan antara kepala, leher dan bahu
digerakkan secara bersama-sama. Jika posisi sudah terlentang, korban
harusbdipertahankan pada posisi horisontal dengan alas tidur yang keras dan kedua
tangan diletakkan di samping tubuh.

2. TRIASE

Triase adalah cara pemilahan pasien berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang
tersedia serta mengatur prioritas pengelolaan korban dalam jumlah yang banyak. Tindakan ini
berdasarkan prioritas ABC (Airway dengan kontrol servikal, Breathing dan Circulation
dengan kontrol perdarahan) yang merupakan proses yang bersinambungan sepanjang
pengelolaan medik gawat darurat. Proses triase inisial harus dilakukan oleh petugas pertama
yang tiba atau berada ditempat dan tindakan ini harus dinilai ulang terus menerus karena
status triase pasien dapat berubah. Bila kondisi memburuk atau membaik, lakukan retriase.

2.1 Prinsip-prinsip triase sebagai berikut:


a) Derajat ancaman jiwa
Pasien yang terancam jalan pernapasannya, lebih diprioritaskan dari pada pasien yang
terganggu sirkulasi atau neurologinya
b) Beratnya cedera
Sebagai contoh, fraktur pada satu tulang prioritas lebih rendah dibandingkan bisa fraktur
tersebut disertai dengan perdarahan
c) Kemungkinan terselamatkan
Pasien dengan cedera hebat tidak selalu menduduki prioritas utama, harus
dipertimbangkan kemungkinan pasien akan bertahan hidup atau tidak.
d) Sumber daya
Pasien yang kebutuhannya melampaui kapabilitas sumber daya, mendapat prioritas
rendah sampai kebutuhan sumber daya tersebut terpenuhi.
e) Waktu, jarak, lingkungan
Cedera yang dapat dikelola dengan cepat, meskipun beratnya cedera tergolong ringan dan
ancamannya minimal terhadap jiwa, dapat mempunyai prioritas tinggi karena pendeknya
waktu yang diperlukan untuk mengatasi masalah yang teridentifikasi. Jarak dan faktor
lingkugan dalam perjalanan membawa pasien ke tempat terapi definitif juga perlu
dipertimbangkan.

Triase harus mencatat tanda vital, perjalanan penyakit praRS, mekanisme cedera, usia, dan
keadaan yang diketahui atau diduga membawa maut. Temuan yang mengharuskan
peningkatan pelayanan antaranya cedera multipel, usia ekstrim, cedera neurologis berat,
tanda vital tidak stabil, dan kelainan jatung-paru yang diderita sebelumnya.

2.2 Tag Triage

Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas triase untuk
mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan tindakan medik terhadap korban.

a) Prioritas Nol (Hitam) :


Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin diresusitasi.
b) Prioritas Pertama (Merah) :
Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat serta tindakan medik dan transport
segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas, cedera torako-abdominal, cedera kepala
atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat, luka bakar berat).
c) Prioritas Kedua (Kuning) :
Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera yang kurang berat dan dipastikan
tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat. Pasien mungkin mengalami
cedera dalam jenis cakupan yang luas (misal : cedera abdomen tanpa shok, cedera dada
tanpa gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang
leher tidak berat, serta luka bakar ringan).
d) Prioritas Ketiga (Hijau) :
Pasien dengan cedera minor yang tidak membutuhkan stabilisasi segera, memerlukan
bantuan pertama sederhana namun memerlukan penilaian ulang berkala (cedera jaringan
lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan
nafas, serta gawat darurat psikologis).

3. PRIMARY SURVEY

Proses ini merupakan ABCDE-nya trauma dan berusaha untuk mengenali keadaan yang
mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan sebagai berikut:

1. Airway : menjaga jalan napas dengan kontrol servikal


a) Pemeriksaan jalan napas
Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas oleh benda
asing. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan berupa cairan
dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah yang dilapisi dengan sepotong
kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari
telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan teknik cross finger, dimana ibu
jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban.
b) Membuka jalan napas
Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa pada korban tidak
sadar tonus otot-otot menghilang, maka lidah dan epiglotis akan menutup faring dan
laring, inilah salah satu penyebab sumbatan jalan napas. Pembebasan jalan napas oleh
lidah dapat dilakukan dengan cara tengadah kepala topang dagu (Head tild - chin lift) dan
manuver pendorongan mandibula (jaw thrust). Teknik membuka jalan napas yang
direkomendasikan untuk orang awam dan petugas, kesehatan adalah tengadah kepala
topang dagu, namun demikian petugas kesehatan harus dapat melakukan manuver
lainnya.

2. Breathing : menjaga pernapasan dengan ventilasi. Terdiri dari 2 tahap yaitu :


a) Memastikan korban/pasien tidak bernapas.
Dengan cara melihat pergerakan naik turunnva dada, mendengar bunyi napas dan
merasakan hembusan napas korban/pasien. Untuk itu penolong harus mendekatkan
telinga di atas mulut dan hidung korban/pasien, sambil tetap mempertahankan jalan napas
tetap terbuka. Prosedur ini dilakukan tidak boleh melebihi 10 detik.
b) Memberikan bantuan napas
Jika korban/pasien tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukkan melalui mulut ke
mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan)
dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan, waktu yang
dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5 - 2 detik dan volume udara yang
dihembuskan adalah 7000 - 1000 ml (10 ml/kg) atau sampai dada korban/pasien terlihat
mengembang serta mendengar dan merasakan udara yang keluar pada ekspirasi .
Penolong harus menarik napas dalam pada saat akan menghembuskan napas agar tercapai
volume udara yang cukup. Konsentrasi

3. Circulation : bantuan sirkulasi dengan kontrol perdarahan. Terdiri atas 3 penemuan klinis
a) Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang akan mengakibatkan
penurunan kesadaran.
b) Warna kulit
Warna kulit dapat memberikan diagnosis hipovolemia. Pasien trauma dengan warna kulit
kemerahan terutama pada wajah dan ekstrimitas jarang dalam keadaan hipovolemia.
Sebaliknya, jika wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstrimitas pucat merupakan tanda
hipovolemia.
c) Nadi
Periksalah pada nadi yang besar seperti a.femoralis atau a.karotis. Nadi yang tidak cepat,
teratur dan kuat menandakan normo-volemia, biasanya nadi yang tidak teratur merupakan
tanda gangguan jantung dan tidak ditemukan pulsasi pada arteri besar yang merupakan
pertanda diperlukannya resusitasi segera untuk memperbaiki volume dan cardiac output.

Cara pemeriksaan a.carotis dapat ditentukan dengan meraba arteri karotis di daerah leher
korban/ pasien, dengan dua atau tiga jari tangan (jari telunjuk dan tengah) penolong dapat
meraba pertengahan leher sehingga teraba trakhea, kemudian kedua jari digeser ke bagian
sisi kanan atau kiri kira-kira 1 - 2 cm raba dengan lembut selama 5 - 10 detik. Jika teraba
denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan korban dengan melakukan
manuver tengadah kepala topang dagu untuk menilai pernapasan korban/pasien. Jika
tidak bernapas lakukan bantuan pernapasan, dan jika bernapas pertahankan jalan napas

4. Disability : status neurologis

Penilaian meliputi tinkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan
tingkat cedera spinal. Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh trauma langsung pada otak
atau penurunan oksigenasi ke otak, jika terjadi penurunan harus dilakukan reevaluasi
terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi. GCS (Glasgow Coma Scale) adalah
sistem skoring yang sederhana dan dapat menilai derajat/tingkat kesadaran penderita dengan
kriteria yang secara kuantitatif dan terpisah yaitu respon membuka mata (E), respon motorik
terbaik (M), dan respon verbal terbaik (V).

Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4 V5 M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1 V1 M1.
Biasanya, pasien dengan nilai GCS dibawah 5 ialah pasien emergensi yang sulit
dipertahankan keselamatannya. Berdasarkan buku Advanced Trauma Life Support, GCS
berguna untuk menentukan derajat trauma/cedera kepala (trauma capitis).

5. Exposure : buka baju pasien, tetapi cegah hipotermia


Pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya dengan cara menggunting untuk memeriksa
dan evaluasi pasien. Setelah pakaian dibuka, segera menyelimuti pasien agar tidak
hipotermia. Pasien bisa dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan
cairan intravena yang sudah dihangatkan. Jadi, yang terpenting adalah suhu tubuh pasien,
bukan rasa nyaman petugas kesehatan.
4. SECONDARY SURVEY
Secondary survey baru dapat dilakukan setelah primary survey selesai, RJP dilakukan dan
ABC-nya pasien dipastikan membaik. Secondary survey adalah pemeriksaan kepala sampai
kaki (head to toe examination) termasuk reevaluasi pemeriksaan tanda vital. Pada tahap ini
dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap, foto ronsen dan pemeriksaan lab termasuk GCS
bisa di primary survey belum dilakukan.

4.1 Pemeriksaan Fisik


A. Pemeriksaan kepala:
a) Kelainan kulit kepala dan bola mata
b) Telinga bagian luar dan membrana timpani
c) Cedera jaringan lunak periorbital

B. Pemeriksaan leher :
a) Luka tembus leher
b) Emfisema subkutan
c) Deviasi trakea
d) Vena leher yang mengembang

C. Pemeriksaan neurologis :
a) Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
b) Penilaian fungsi medula spinalis dengan aktivitas motorik
c) Penilaian rasa raba / sensasi dan refleks

D. Pemeriksaan dada :
a) Clavicula dan semua tulang iga
b) Suara napas dan jantung
c) Pemantauan ECG (bila tersedia)

E. Pemeriksaan rongga perut (abdomen) :


a) Luka tembus abdomen memerlukan eksplorasi bedah
b) Pasanglah pipa nasogastrik pada pasien trauma tumpul abdomen kecuali bila ada
F. Trauma Pelvis dan ekstremitas :
a) Cari adanya fraktura (pada kecurigaan fraktur pelvis jangan melakukan tes gerakan
apapun karena memperberat perdarahan)
b) Cari denyut nadi-nadi perifer pada daerah trauma
c) Cari luka, memar dan cedera lain

G. Pemeriksaan sinar-X (bila memungkinkan) untuk :


a) Dada dan tulang leher (semua 7 ruas tulang leher harus nampak)
b) Pelvis dan tulang panjang
c) Tulang kepala untuk melihat adanya fraktura bila trauma kepala tidak disertai defisit
neurologis fokal

H. Foto atas daerah yang lain dilakukan secara selektif :


Foto dada dan pelvis mungkin sudah diperlukan sewaktu survei primer

4.2 Transportasi Pasien Kritis


Transportasi pasien-pasien kritis ini berisiko tinggi sehingga diperlukan komunikasi yang
baik perencanaan dan tenaga-tenaga kesehatan yang sesuai. Pasien harus distabilisasi lebih
dulu sebelum diberangkatkan. Prinsipnya pasien hanya ditransportasi untuk mendapat
fasilitas yang lebih baik dan lebih tingggi di tempat tujuan.
1. Perencanaan dan persiapan meliputi :
a) Menentukan jenis transportasi (mobil, perahu, pesawat terbang)
b) Menentukan tenaga keshatan yang mendampingi pasien
c) Menentukan peralatan dan persediaan obat yang diperlukan selama perjalanan baik
d) kebutuhan rutin maupun darurat
e) Menentukan kemungkinan penyulit
f) Menentukan pemantauan pasien selama transportasi

2. Komunikasi yang efektif sangat penting untuk menghubungkan :


a) Rumah sakit tujuan
b) Penyelenggara transportasi
c) Petugas pendamping pasien
d) Pasien dan keluarganya
3. Untuk stabilisasi yang efektif diperlukan :
a) Resusitasi yang cepat
b) Menghentikan perdarahan dan menjaga sirkulasi
c) Imobilisasi fraktur
d) Analgesia
Daftar Pustaka

Colquhoun MC, Handley AJ, Evans TR. 2004. ABC of Resuscitation 5th ed. BMJ Publishing
Group

Departemen Kesehatan R.I. 2006. Penanggulangan Penderita Gawat Darurat / General


Emergency Life Support (GELS). Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
(SPGDT) Cetakan Ketiga

Fildes, John. 2008. Advanced Trauma Life Support for Doctors eight edition.

Syafri, K, Arief. 2011. Materi Calcaneus On Respirologi Emmergency

You might also like