You are on page 1of 5

Alasan diperlukannya GCG

1. Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang


didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta
kesetaraan dan kewajaran.

2. Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing organ


perusahaan, yaitu Dewan Komisaris, Direksi dan Rapat Umum Pemegang Saham.

3. Mendorong pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi agar
dalam
membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi
dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

c. Manfaat GCG

Beberapa keuntungan yang diperoleh dari penerapan GCG :

1) Dengan GCG pengambilan keputusan akan berlangsung secara lebih baik sehingga
menghasilkan keputusan yang optimal, meningkatkan efisiensi serta tercipta budaya kerja
yang lebih sehat.

2) Dengan penerapan GCG dapat diminimalkan tindakan penyalahgunaan wewenang


oleh pihak direksi dalam pengelolaan perusahaan, dapat menekan kerugian perusahaan.

3) Nilai perusahaan dimata investor akan meningkat sebagai akibat meningkatnya


kepercayaan mereka kepada pengelolaan perusahaan tempat mereka berinvestasi.

4) Bagi pemegang saham dengan sendirinya juga akan menaikkan nilai saham mereka
dan juga nilai dividen yang akan mereka terima. Untung bagi Negara meningkatnya
jumlah pembayaran pajak dari perusahaan tersebut.

5) Praktik GCG karyawan ditempatkan sebagai salah satu stakeholder yang harus
dikelola dengan baik oleh perusahaan, maka motivasi dan kepuasan kinerja karyawan
juga akan meningkat.
Dalam penerapan Good Corporate Governance (GCG), tidak terlepas dari budaya
organisasi yang berlaku di dalam organisasi itu sendiri. Budaya menurut Schein (2010:5)
adalah fenomena dinamis dalam kondisi “disini dan saat ini” dan sebuah latar belakang
sturktur paksaan yang berpengaruh pada kelompok melalui beberapa cara. Budaya sendiri
secara terus-menerus diterapkan dan tercipta oleh interaksi yang dilakukan kelompok
dengan terbentuk oleh perilaku kelompok itu sendiri. Greertz (dalam Driskill & Brendton
2010: 8) berpendapat pada budaya organisasi terdiri dari jaringan yang signifikan yang
terus dipintal oleh organisasi itu sendiri, serta dibangun melalui adanya interaksi.

Setiap organisasi memiliki cara-cara yang unik dari apa yang mereka lakukan. Hal ini sama
halnya dengan budaya nasional maupun masyarakat, yang memiliki hal-hal yang
unik,seperti Bahasa, benda-benda peninggalan sejarah, nilai-nilai, perayaan-perayaan,
pahlawan-pahlawan, sejarah dan norma-norma, dan setiap organisasi juga memiliki hal
unik yang berbeda-beda pula. Indonesia sebagai negara yang terdiri dari beragam jenis
suku, ras, budaya dan etnis yang beragam telah terbentuk menjadi satu dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Segala kebudayaan nasional, lokal maupun asing
sekalipun telah ada dan terbentuk bahkan sejak Indonesia belum merdeka pada tahun 1945.
Budaya yang telah terbentuk itu kemudian terefleksikan pada budaya-budaya organisasi
yang ada di Indonesia yang bertujuan untuk mencapai kesinambungan dan ketahanan
dalam jangka panjang, meningkatkan kinerja dan pada akhirnya meningkatkan nilai
tambah bagi organisasi untuk kepentingan pihak-pihak di dalam organisasi itu sendiri.

Dengan dasar itu pula, maka dalam penerapan Good Corporate Governance(GCG) yang
sesuai dengan budaya Indonesia harus pula mencakup 5 pilar dasar dari GCG yang
ditetapkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) (dalam anonymous
2015:5), yaitu TARIF (Transparency, Accountability, Responsibility, Independency, and
Fairness) dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Transparency

Pada penerapannya sebagaimana dengan budaya yang berlaku di Indonesia, yang mana
dalam hal ini governance sendiri terdiri dari 3 pilar yang memiliki kepentingan, yaitu
pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat. Untuk itu, dalam penerapannya, informasi-
informasi yang berkaitan dengan pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat wajib untuk
dipenuhi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat, dan mudah di akses. Hal ini dapat
dilakukan dengan mudah dengan memanfaatkan teknologi informasi, sehingga tidak lagi
dijadikan suatu alasan bagi ketiga pilar governance tersebut untuk tidak memiliki inisiatif
dalam mengungkapkan berbagai informasi yang berkaitan dengan proses pengambilan
keputusan atau kebijakan, baik oleh pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat yang
sangat berpengaruh pada para pemangku kepentingan yang disebabkan oleh keputusan
atau kebijakan tersebut.

2. Accountability

Akuntabiltas sebagai bentuk pertanggung jawaban bagi organisasi


kepada shareholders dan stakeholders agar pengelolaan organisasi dapat berjalan secara
benar, terukur, dan sesuai dengan kepentingan organisasi tanpa mengesampingkan
kepentingan shareholder dan stakeholders tersebut. Hal ini tidak terbatas pada itu saja,
namun juga memastikan setiap pegawai organisasi memiliki kompetensi yang memadai
sesuai dengan tugas, tanggung jawab serta perannya dalam organisasi dengan menerapkan
sistem pengahargaan dan sanski secara objektif untuk menguji akuntabilitasnya.

Dalam penerapannya di Indonesia, konsep ini masih terkendala dalam pengembangan


Sumber Daya Manusia (SDM) organisasi, terutama untuk melakukan re-generasi kepada
pegawai-pegawai baru untuk menggantikan posisi-posisi pegawai yang sudah semakin tua
serta penerapan penghargaan dan sanksi yang belum jelas dan tepat dalam organisasi.
Untuk itu, dalam penerapannya perlu dilakukan pelatihan atau seminar bagi pegawai baik
di internal maupun eksternal perusahaan secara berkelanjutan dan disesuaikan dengan
kebutuhan bidang pekerjaan pegawai dan statusnya dalam organisasi sehingga mencapai
hasil yang diharapkan. Serta melakukan uji akuntabilitas dengan melakukan pemberian
penghargaan dan sanksi secara objektif kepada setiap pegawai.

3. Responsibility
Dalam penerapannya di Indonesia, konsep ini belum mampu diterapkan secara optimal
oleh setiap organisasi di Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus penutupan bidang usaha yang
disebabkan tidak memiliki izin operasi, serta menyalahi aturan perundang-undangan
lainnya. Disamping itu, kesadaran dalam menjaga lingkungan akibat dampak kegiatan
produksi atau kegiatan usaha lainnya belum dapat dipahami secara sadar dan merata oleh
setiap pelaku usaha, yang mana dalam hal ini mereka harus mampu bertanggung jawab
untuk meminimalisir dampak laingkungan yang akan dirasakan secara langsung atau tidak
langsung oleh masyarakat atau lingkungan sekitar di wilayah organisasi itu melakukan
kegiatan usahanya.

Perbaikan yang dapat dilakukan agar menciptakan kesadaran setiap organisasi untuk
bertanggung jawab atas apa yang telah mereka lakukan adalah dengan memberikan aturan
dan implementasi yang ketat, namun harus dibarengi dengan penyampaian informasi
secara menyeluruh sesuai dengan konsep transparasi melalui penggunaan tekologi
tertentu. Disamping itu, penerapan sanksi tegas sesuai dengan konsep akuntabilitas secara
objektif kepada para pelaku usaha yang tidak dapat mengikuti aturan yang telah berlaku
di suatu wilayah tertentu.

4. Independency

Dalam penerapannya di Indonesia, konsep kemandirian ini belum optimal karena dalam
pengelolaan organisasi di Indonesia masih banyak dominasi dan dipengaruhi oleh bangsa
asing di dalam organisasi-organisasi di Indonesia. Dalam konsep kemandirian yang baik
untuk organisasi di Indonesia, proses pengambilan keputusan-keputusan seharusnya
berdasarkan pada keputusan-keputusan yang tegas oleh bangsa Indonesia itu sendiri,
namun tetap senantiasa objektif untuk mencapai kepentingan
para shareholders dan stakeholders.
Perbaikan yang dadap dilakukan yaitu dengan meningkatkan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) yang mampu berdaya saing dan memiliki pengaruh dalam menjalankan
perannya dalam organisasi. Serta menguatkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) milik
bangsa Indonesia, yang diharapkan mampu menjadi pilar atau fondasi ekonomi yang
kokoh untuk mencapai kemandirian bangsa Indonesia tanpa didominasi dan dipengaruhi
oleh bangsa asing lainnya lagi.

5. Fairness

Dalam penerapannya di Indonesia, masih terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaanya.


Konsep kesetaraan dan kewajaran ini harus didukung oleh kemampuan dari segi
pengetahuan, dan infrastruktur setiap pihak yang baik dan menunjang untuk mengakses
informasi atau mengambil kesempatan untuk berkontribusi dalam sebuah organisasi.
Kondisi aktualnya di Indonesia, di beberapa wilayah belum memiliki fasilitas dan
infrastruktur yang sama dalam mengakses informasi-informasi terbaru. Disamping itu,
dalam hal penyerapan tenaga kerja masih terdapat kesenjangan antara kesempatan kerja
dengan kompetensi yang dimiliki oleh masyarakat sehingga jumlah calon tenaga kerja
yang ada di Indonesia belum dapat terserap secara menyeluruh. Sebagai solusi masalah
ini, yaitu dengan menguatkan lagi fondasi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang
mampu berdaya saing dan berkualitas untuk membuka lebih banyak lagi lapangan
pekerjaan di bidang-bidang tertentu untuk meningkatkan kemampuan ekonomi Indonesia
di masa yang akan datang.

You might also like