Professional Documents
Culture Documents
Makalah
Oleh
NENENG NURJANAH
NIM: 1201066
A. Latar Belakang
Istilah self esteem (harga diri) pertama kali dikenalkan oleh William James (1983-
1890) seorang Psikolog berkebangsaan Amerika. Self esteem merupakan tema sosial yang paling
tua dan paling banyak ditulis. Kenyataan ini berdasarkan database dari PsychINFO yang
mengungkapkan bahwa lebih dari 23.215 artikel, chapter, dan buku membahas self esteem
sebagai faktor krusial dalam perilaku manusia. Rodewalt dan Tragakis (2003) menyatakan
bahwa self esteem merupakan “top three covariates” dalam penelitian psikologi dan sosial
bersama dengan “gender” dan “efektivitas negatif” (Mruk, 2006).
Low self esteem (harga diri rendah) sering dihubungkan dengan permasalahan
gangguan mental seperti, depresi, kecemasan, dan permasalahan belajar. Juga beberapa kesulitan
seperti, kegagalan, kerugian, dan kemunduran. Sebaliknya, high self esteem (harga diri tinggi)
diyakini menjadi dasar bagi perkembangan mental yang sehat, kesuksesan, dan kehidupan yang
efektif. Leary and MacDonald (Mruk, 2006) menuliskan hasil riset tentang karakteristik umum
yang berhubungan dengan low self esteem yaitu,
People with lower trait self-esteem tend to experience virtually every aversive emotion more
frequently than people with higher self-esteem. Trait self-esteem correlates negatively with
scores on measures of anxiety (Battle, Jarrat, Smit & Precht, 1988; Rawson, 1992), sadness and
depression (Hammen, 1988; Ouellet & Joshi, 1986; Smart & Walsh, 1993), hostility and anger
(Dreman, Spielberger & Darzi, 1997), sosial anxiety (Leary & Kowalski, 1995; Santee &
Maslach, 1982; Sharp & Getz, 1996), shame and guilt (Tangney & Dearing, 2002),
embarrassability (Leary & Meadows, 1991; Maltby & Day, 2000; Miller 1995), and loneliness
(Haines, Scalise & Ginter, 1993; Vaux, 1988), as well as general negative affectivity and
neuroticism. (Watson & Clark, 1984) (2003, pp. 404–405)
Fakta tak terelakkan muncul berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, forth edition yang menyebutkan bahwa low self esteem diidentifikasi sebagai salah
satu diagnostic criterion dari 24 gangguan mental (American Psychiatric Association, 2000)
Kerri Lee Krause; Sandra Bochner; Sue Duchesne, dalam bukunya Educational
Psychology For Learning And Teaching (2006:84) menyebutkan beberapa riset terkait dengan
low self esteem/negative self esteem pada remaja (adolescent), yaitu : self esteem negatif
hubungannya dengan penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang (Finke & Williams,
1999; Irving et al., 2002), depresi dan bunuh diri (Leslie, Stein & Rotheram-Borus, 2002; Raab,
2001), kelainan makan (Ross & Ivis, 1999). Kejahatan dan agresi (Ackard & Neumark-Sztainer,
2002), merintangi partisipasi dalam kegiatan olah raga (Perry-Burney & Takyi, 2002) dan
kehamilan remaja (Klerman, 2002; Lipovsek et al., 2002; Smith & Grenyer, 1999).
Leary & MacDonald (Murk, 2006) menyampaikan permasalahan perilaku dan emosional
lebih sering terjadi pada orang yang rendah harga dirinya. Masalah lainnya adalah dysthymic
disorder, depresi, anxiety disorder, gangguan makan, disfungsi seksual, malu patologist,
percobaan bunuh diri dan gangguan kepribadian.
Rosenberg and Owens (2001) mengidentifikasi karakteristik low self esteem, yaitu:
hipersensitif, instability, ketidaksadaran diri, kurang percaya diri, takut mengambil resiko,
mudah putus asa, pesimis, merasa kesepian dan terasing
Self esteem diyakini menjadi akar masalah disfungsi sosial individu. Nathaniel Branden
(1994:5-12), seorang tokoh dalam gerakan harga diri, menyatakan bahwa Self esteem memiliki
konsekuensi yang mendalam untuk setiap aspek eksistensi manusia, lebih lanjut Branden
menegaskan bahwa sebuah masalah psikologis tidak disebabkan oleh penyebab yang tunggal,
seperti kecemasan dan depresi, takut akan keintiman atau kesuksesan, dan penganiayaan
terhadap anak-anak. Self esteem negatif bukan satu-satunya penyebab dari masalah-masalah
psikologis tersebut. Pendukung lainnya dari gerakan harga diri adalah Andrew Mecca (dikutip
oleh Davis, 1988:10), mengatakan bahwa hampir setiap masalah sosial dialamatkan kepada
orang-orang yang kekurangan cinta diri. Albert Ellis, menyebutkan bahwa self esteem
merupakan penyakit terbesar manusia. (dikutip dalam Epstein, 2001:72). Menurut Ellis, orang
akan lebih baik jika mereka berhenti berusaha meyakinkan bahwa diri mereka layak. Smelser
(1989) menyebut self esteem sebagai variabel independen yang kuat (kondisi, penyebab, faktor)
dalam asal-usul masalah utama sosial.
Self esteem merupakan kebutuhan mendasar manusia yang sangat kuat yang memberikan
kontribusi penting dalam proses kehidupan yang sangat diperlukan untuk perkembangan yang
normal dan sehat sehingga memiliki nilai untuk bertahan hidup. Kurangnya harga diri (self
esteem) akan menghambat pertumbuhan psikologis individu, karena self esteem positif berperan
untuk menjalankan pengaruh dari immune system of concsciousness (sistem kekebalan
kesadaran) yang dapat memberikan perlawanan, kekuatan dan kapasitas untuk regenerasi. Pada
saat individu mengalami self esteem negatif, maka ketahanan dirinya dalam menghadapi
kesengsaraan hidup menjadi berkurang, menjadi hancur sebelum menaklukan perasaan berharga
dirinya, cenderung untuk menghindari rasa sakit dari pada menyongsong kegembiraan
dikarenakan self esteem negatif lebih menguasai dirinya dari pada self esteem positif.
Apabila individu memiliki nilai dan keyakinan yang realistis, dan merasa nyaman dengan
dirinya sendiri, maka individu akan lebih terbuka dalam memandang kehidupan dan merespon
tantangan dan peluang dengan tepat. Harga diri itu memberdayakan, memberikan energi dan
memotivasi. Hal ini mengilhami individu untuk mengambil kesenangan dan bangga dengan
prestasi dirinya. Dan pada akhirnya mencapai kepuasan.
Nathaniel Branden (1987) menyebutkan self esteem merupakan aspek kepribadian yang
paling penting dalam proses berpikir, tingkat emosi, keputusan yang diambil, nilai-nilai yang
dianut serta penentuan tujuan hidup. Harga diri mencakup dua komponen yaitu perasaan akan
kompetensi pribadi dan perasaan akan penghargaan diri pribadi. Seseorang akan menyadari dan
menghargai dirinya jika ia mampu menerima diri dan pribadinya.
Berangkat dari sebuah keprihatinan akan rendahnya harga diri, tahun 1980, Amerika
mencetuskan sebuah “Program Peningkatan Harga Diri”, program ini digagas pertama kali oleh
Assemblyman Yohanes Vasconcellos, yang kemudian didukung gubernur California (1986),
George Deukmeijian yang menyetujui untuk mendanai Task Force on Self-Esteem dengan
anggaran sebesar $ 245.000 per tahun. Vasconcellos berpendapat bahwa program ini akan
membantu memecahkan banyak masalah negara, seperti kejahatan, kehamilan remaja,
penyalahgunaan obat, prestasi rendah di sekolah, dan polusi. Pada satu titik, ia mengungkapkan
harapan bahwa self esteem yang tinggi akan membantu menyeimbangkan anggaran negara
karena orang-orang dengan self esteem positif akan menghasilkan lebih banyak uang daripada
orang-orang dengan self esteem negatif. Sehingga penghasilan negara melalui pajak akan
meningkat (Winegar, 1990). Dia berpendapat bahwa self esteem positif dapat melindungi orang
dari ketertekanan akan tantangan hidup, dengan demikian dapat mengurangi kegagalan dan
kesalahan perilaku, self esteem juga berfungsi sebagai vaksin untuk melindungi diri dari
penyakit, sehingga dapat menghemat anggaran negara. Beberapa tahun kemudian, gerakan harga
diri terus berlanjut dan makin meluas di seluruh wilayah Amerika dan menjadi gerakan nasional.
Self esteem dalam konteks Indonesia belum menjadi tema yang populer sebagaimana di
Amerika, tapi bukan berarti Indonesia terlepas dari permasalahan self esteem. Lihatlah tema-
tema pemberitaan yang selalu menjadi headline pada surat kabar dan televisi, seperti: korupsi,
suap, konsumsi narkoba, tawuran pelajar, kinerja buruk anggota dewan, seks bebas, rendahnya
indeks prestasi nasional, kasus bunuh diri dan lain-lain. Atau permasalahan yang spesifik muncul
pada siswa di sekolah, seperti: pergaulan bebas dikalangan remaja, pelacuran pada pelajar putri
(hanya karena ingin berpakaian bagus dan memiliki HP baru), mencontek untuk mendapatkan
nilai bagus, merokok dan mencoba minuman keras karena khawatir dicap sebagai remaja yang
tidak gaul, melakukan tindakan agresif untuk menunjukan otoritas dan eksistensi diri dengan
cara melakukan pemalakan dan penyerangan, motivasi belajar rendah, motivasi berprestasi
rendah, dan lain-lain.
Fenomena lain adanya remaja putri yang tergila-gila dengan penampilan dan
menganggap dirinya berharga apabila memiliki tubuh langsing dan kulit putih, pada akhirnya
melakukan berbagai macam cara demi mendapatkan bentuk tubuh ideal yang diimpikan,
misalnya dengan melakukan diet ketat yang tidak sehat, mengkonsumsi obat pelangsing dan
menggunakan kosmetika yang membahayakan dirinya. Sebagaimana hasil penelitian William, et
al. (1993) yang menyimpulkan bahwa remaja yang memiliki self esteem negatif tidak percaya
diri dengan bentuk tubuhnya. Hal ini dipertegas oleh penelitian yang dilakukan Wadden (2002)
yang menyebutkan remaja dengan self esstem negatif menderita penyakit kelainan makan, seperti
bulimia dan anorexia.
Hasil need assessment yang penulis lakukan melalui Daftar Cek Masalah di sekolah
menengah menunjukan prosentase tertinggi pada permasalahan yang terkait dengan rendahnya
harga diri, seperti: tidak percaya diri/minder, sering menerima perlakukan yang melecehkan,
merasa tidak mampu/kesulitan pada beberapa mata pelajaran, takut menghadapi ulangan/ujian,
malas belajar, takut berbicara di depan kelas dan pada waktu diskusi, kesulitan berkomunikasi
dengan teman, sering nyontek, gugup apabila menghadapi masalah, merasa kurang menarik bagi
lawan jenis, tidak puas dengan kondisi tubuh, merasa tidak bahagia dengan kehidupan sekarang,
dan merasa kesepian ditengah keramaian.
B. Pembahasan
1. Definisi Self Esteem
Memahami harga diri dengan makna yang tepat adalah penting, agar harga diri tidak
dimaknai dengan pengertian yang dangkal sehingga kehilangan esensinya. Tidak bijaksana
apabila mengabaikan definisi hanya sebagai semantik atau keprihatinan seperti peragaan
pengetahuan yang menjemukan. Para peneliti self esteem sejak William James pertama kali
mencetuskan istilah ini hingga peneliti self esteem kontemporer telah merumuskan formula ini
secara berulang-ulang, silang pendapat terjadi apakah self esteem termasuk ranah sosial atau
psikologi, perspektif yang berbeda mempengaruhi tindakan (intervensi) terhadap perbaikan self
esteem. Peneliti psikologi mengembangkan program untuk meningkatkan self esteem dengan
fokus terhadap perubahan individu, self esteem dimaknai sebagai proses perkembangan
intrafisik, individu memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan dan mampu
mengembangkan beberapa perilaku yang spesifik untuk mencapai kesuksesan, kemahiran dan
prestasi. Sedangkan peneliti sosial mengembangkan program dengan fokus terhadap
pengurangan tekanan lingkungan, seperti bagaimana orang lain bersikap kepada kita dan
bagaimana kita bersikap kepada mereka, hal ini terkait dengan nilai-nilai sosial yang terkandung
di dalamnya. Artinnya, self esteem dalam perspektif psikologi memiliki makna “kompetensi”
yang berorientasi terhadap perubahan perilaku (aspek kognitif) dan makna “worthiness” dalam
perspektif sosial yang berorientasi terhadap nilai-nilai dan moral (aspek feeling).
Nathaniel Branden yang dikenal dengan sebutan “The father of self esteem movement”
menjadi pelopor untuk menggabungkan perbedaan terminologi self esteem kedalam definisinya.
Dalam bukunya The Power of Self Esteem (1992) dikatakan bahwa Self esteem merupakan
pengalaman yang sesuai untuk hidup dan kebutuhan hidup. Lebih khusus, self esteem berarti: a)
Keyakinan individu bahwa dirinya memiliki kemampuan berpikir dan kesanggupan untuk
mengatasi tantangan hidup, dan b) Keyakinan individu bahwa dirinya memiliki hak untuk hidup
bahagia, merasa berharga, layak, dapat menyampaikan aspirasi, dan menikmati hasil kerja keras
yang telah diusahakan.
Nathaniel Branden (1992:16) menyebutkan dua pilar utama self esteem yang sehat, yaitu:
a. Self efficacy
Self efficacy adalah kepercayaan pada keberfungsian pikiran dan kemampuan berpikir
dalam proses dimana dirinya dapat menilai, memilih dan memutuskan. Meyakini bahwa dirinya
memiliki kemampuan untuk memahami fakta-fakta realitas yang mempengaruhi minat,
kebutuhan, kepercayaan dan keyakinan.
b. Self respect
Self respect adalah jaminan terhadap nilai-nilai pribadi, sikap afirmasi terhadap hak-
haknya untuk hidup bahagia, merasa nyaman dalam menyatakan pendapat, keinginan,
kebutuhan, dan meyakini bahwa kebahagiaan merupakan hak asasi.
Self efficacy dan self respect merupakan pilar ganda self esteem (harga diri) yang sehat.
Apabila kurang salah satunya, maka harga diri akan terganggu. Keduanya mendefinisikan
karakteristik istilah dikarenakan self efficacy dan self respect merupakan sesuatu yang
fundamental. Keduanya merepresentasikan self esteem bukan merupakan makna turunan atau
sekunder dari self esteem tapi merupakan esensi self esteem. Self efficacy menghasilkan rasa
kendali atas kehidupan individu yang berkaitkan dengan kesejahteraan psikologis, perasaan akan
pusat eksistensi individu, bukan sebagai penonton yang pasif dan korban peristiwa. Self respect
memungkinkan seorang individu untuk bersikap penuh kebajikan, terhindar dari permasalahan
emosional dengan orang lain, mencapai independensi, bukan sebaliknya merasa terasing dan
kesepian.
C. Kesimpulan
Permasalahan self esteem sebagaimana telah disampaikan pada latar belakang
menggambarkan fenomena menarik dan menjadi isu sentral yang perlu mendapatkan perhatian
khusus semua pihak. Teori dua faktor merupakan pendekatan kontemporer dalam upaya
memperbaiki/meningkatkan self esteem dengan menyertakan aspek kompetensi dan
“worthiness”, yang menjadikan makna self esteem lebih komprehensif, dengan teori dua faktor,
silang pendapat di seputar tema self esteem antara ranah psikologi dan ranah sosial dianggap
sudah final, karena dua faktor telah menyatukan perbedaan tersebut dalam satu pendekatan.
D. Daftar Pustaka
Branden, Nathaniel. (1981). The Psychology of Self Esteem. Toronto, New York, London, Sydney:
Bantam Books.
_______________. (1992). The Power of Self Esteem. Florida: Health Communications Inc. Deerfield
Beach.
_______________. (1994). The Six Pillar of Self Esteem. Now York: Bantam Book Publishing History.
Feist, Jess & J. Feist Gregory. (2008). Theories of Personality (Terjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Murk, Christopher J. (2006). Self-esteem Research, Theory, and Practice: Toward a Positive
Psychology of Self-esteem. 3rd Ed. New York: Springer Publishing Company, Inc.
Krause, Kerri Lee; Bochner, Sandra; and Duchesne, Sue. (2006). Educational Psychology for Learning
ang Teaching. Australia: Nelson Australia Pty Limited CAN 058 280 149 Trading as Thomson
Learning Australia.