You are on page 1of 10

ANALISA HUKUM AMBANG BATAS PENCALONAN

PRESIDEN (PRESIDENTIAL THRESHOLD) DALAM UNDANG-


UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2017
TENTANG PEMILIHAN UMUM

Dosen :
MEIMA S.H.,M.HUM.

Di susun oleh;

RIZKY WAHYU PUTRA PRATAMA : 41151010150095

RIVALDI NURFIKRI ALGHIFARI : 41151010150070

YOGI DIRGANTARA : 41151010150073

ANDHIKA BANYU P.S : 41151010150087

UNIVERSITAS LANGLANGBUANA BANDUNG


2019
Ambang batas parlemen (bahasa Inggris: parliamentary threshold) adalah ambang batas perolehan
suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ketentuan ini pertama kali diterapkan
pada Pemilu 2009.

Ambang batas (presidential threshold) : Sebuah istilah tak resmi untuk syarat mengajukan calon
presiden dalam Pemilihan Presiden. Syaratnya adalah partai atau gabungan partai memiliki 25 persen
kursi atau 20 persen suara sah Pemilu nasional untuk mencalonkan presiden.

Pendukung aturan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) berpendapat bahwa adanya batas
minimal mencegah kelompok-kelompok kecil dan radikal di parlemen. Hal ini dianggap baik karena akan
menyederhanakan parlemen, serta membantu terbentuknya pemerintahan dan parlemen yang stabil.
Para kritikus sistem ini berpendapat bahwa sistem ini cenderung meniadakan wakil rakyat untuk para
pendukung partai kecil.

Ambang Batas Capres(presidential threshold) 20%

Pemerintah dan beberapa partai menghendaki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah untuk
dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden. Perlunya dikaji secara mendalam mengenai
presidential threshold pada saat dilaksanakan pemilu serentak 2019 yang akan datang. Menteri Dalam
Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan angka 20-25 persen dalam presidential threshold tidak
mencerminkan suara mayoritas dari parlemen, agar presiden memperoleh dukungan parlemen. Solusi
dari pemerintah saat ini adalah menggunakan Undang-Undang yang lama jika terjadi deadlock.
Keputusan Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa pemilu serentak harus dilaksanakan 2019,
sementara Undang-Undang yang ada sekarang adalah bukan pemilu serentak. Adapun adanya usulan
menggunakan Perpu untuk mengatur pemilu serentak niscaya tidak akan disetujui oleh DPR.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa partai yang mendorong presidential threshold sebesar 20
persen diduga takut bersaing dengan partai kecil, secara generik rakyat akan memilih partai sesuai
presiden yang akan dipilih.

Pemilu Serentak

Pemilu serentak yaitu pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan
secara bersamaan. Perlunya pemilu serentak merupakan hasil uji materi UU No.42 Tahun 2008 terhadap
UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Selanjutkanya MK dalam putusannya menyatakan bahwa
penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat diselenggarakan secara
bersamaan tahun 2019. Putusan ini menimbulkan pro kontra karena akan diselenggarakan tahun 2019.

Pemilu serentak tidak saja berpeluang meletakkan pada jalur pemilu yang terpadu yang menekankan
penggunaan anggaran yang besar dari APBN maupun APBD, tetapi juga masalah dengan sistem pemilu
yang harus digunakan agar pemilu benar-benar berkualitas dengan mengahsilkan sistem pemerintahan
yang kuat.

Pemilu dilakukan serentak dalam upaya mewujudkan mekanisme demokrasi yang ideal, sehingga ide ini
bisa menjadi awal pemikiran akan pemilu yang integratif yang mengahasilkan wakil rakyat dan
pemerintahan yang terpadu sebagaimana dikehendaki UUD 1945.

Melalui pemilu serentak sesuai dengan UUD 1945, bahwa antara pemilu legislatif dan pemilu Presiden
dam Wakil Presiden secara bersamaan dengan meniadakan ambang batas (presidential threshold)
merupakan keniscayan, agar amanat UUD 1945 terlaksana. Oleh karena itu, maka pihak yang
mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah partai politik atau gabungan partai
politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang apabila tidak
ditafsikan lain, maka pemberlakuannya tanpa ada hambatan. Sesuai dengan Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945
dengan pemilu serentak, maka setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon Presiden
dan Wakil Presiden tanpa syarat mempunyai sejumlah kursi tertentu di DPR.

Pemerintahan sistem presidensial adalah suatu sistem pemerintahan di mana kedudukan eksekutif tidak
bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, dengan kata lain kekuasaan eksekutif berada di
luar pengawasan (langsung) parlemen (Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Amandeen UUD 1945, Jakarta : Prenada Media Group, 2010, h.151)

Dalam sistem presidensial, kedudukan eksekutif tidak tergantung kepada badan perwakilan rakyat,
adapun dasar hukum kekuasaan eksekutif dikembalikan kepada pemilihan rakyat ( Mahfud MD,
Membangun Politik Hukum. Menegakkan Konstitusi, Jakarta : Rajawali Press, 2010 h.72-73).

Sistem presidensial yang diamanatkan UUD 1945 merupakan sistem presidensial murni, sehingga
presiden tidak dapat dijatuhkan oleh partai politik yang ada di DPR, meskipun partai poltik tersebut
menduduki mayoritas kursi di Parlemen.
Pembentuk Undang-Undang, baik pemerintah maupun DPR, sejatinya harus memikirkan kembali
pengaturan ambang batas (presidential threshold) dalam pemilu serentak 2019. Pengaturan ambang
batas (presidential threshold) berdasarkan UU No 42 Tahun 2008 perlu ditinjau kembali dalam
merumuskan kembali Undang-Undang Tentang Pemilu Presiden/Wakil Presiden, sehingga tidak
bertentangan dengan UUD 1945 (Pasal 6 dann Pasal 6A).

Melalui amandemen UUD 1945, Kepala Negara dan kepala pemerintahan adalah Presiden, dan Presiden
beserta wakilnya dipilih langsung oleh rakyat. Pemilihan dilakukan secara demokratis, sesuai Pasal 7
UUD 1945 yang menyatakan bahwa : "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima
tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa
jabatan". Pergantian Presiden merupakan sebuah proses yang lazim terjadi di setiap negara, yang
menerapkan sistem republik.

Dalam proses pemilihan presiden, menunjukkan proses kesadaran rakyat untuk memilih seseorang atau
partai yang dianggap mampu menampung aspirasi mereka (Harun Alrasyid, Pemilihan Presiden dan
Pergantian Presiden Dalam Hukum Positif Indonesia, Jakarta ; YLBHI, 1997 h.9)

Dalam hal pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden, UUD 1945 mengatur tata cara pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, yaitu Pasal 6 A ayat (5) UUD 1945 menyatakan : 'Tata cara peaksanaan
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang. Undang-Undang yang
dimaksud untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 adalah UU N0.42 Tahun 2008. UU imi
memberikan pengaturan teknis dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, agar pemilihan umum
dapat dilaksanakan secara demokratis.

Dalam perkembangan politik dan ketatanegaraan saat ini, mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden di Indonesia yang akan dilaksanakan secara serentak dengan pemilu legislatif, masih perlu
dikaji secara mendalam. Pembentuk Undang-Undang pada saat membentuk UU NO 42 Tahun 2008
memberi persyaratan bagi parpol untuk mengusulkan pasangan calon. Hal ini karena sistem presidensial
pada hakikatnya mempunyai filosofi yang berbeda dengan sistem parlementer.

Dalam sistem presidensial, bahwa penekanan diletakkan pada Presiden sebagai lembaga eksekutif
dengan lembaga legislatif sebagai pengontrol. Dengan demikian, pembentuk Undang-Undang
memberikan syarat pengusulan Presiden yang diberi nama ambang batas (presidential threshold) bagi
partai politik atau gabungan partai politk. Menurut Harun Alrasyid, dalam suatu negara demokrasi, calon
Presiden pada umumnya ditentukan melalui seleksi yang dilakukan oleh partai politik (Harun Alrasyid,
Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1999 h,24). Partai politik mempunyai
peranan dalam proses demokrasi, sehingga UUD 1945 memberikan pengaturan dalam pengusulan calon
Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan oleh partai politik.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi, bahwa pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden
dapat dilakukan serentak dengan pemilu legislatif, meskipun diselenggarakan pada 2019, namun MK
tidak mengabulkan uji materi Pasal 9 UU no.42 Tahun 2008. Sedangkan Pasal 9 UU No.42 Tahun 2008
menyatakan bahwa : 'Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta
pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah
kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam pemilu Anggota
DPR, sebelum pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden". Hal ini yang kemudian dikenal dengan
ambang batas (presidential threshold) perolehan bagi partai poltik dalam mengusung calon Presiden
dan Wakil Presiden.

Oleh karena itu, apakah Pasal 9 Undang-Undang No.42 Tahun 2008 yang mengatur ambang batas
(presidential threshold) masih diberlakukan untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 atau
dibuat UU baru yang tidak memuat ambang batas (presidential threshold).

Pada awalnya pemberlakuan ambang batas (presidential threshold) oleh pembentuk Undang-Undang
adalah dalam rangka penguatan sistem presidensial. Apabila melihat kembali pada pemilu Presiden dan
Wakil Presiden 2009 dengan menggunakan Undang-Undang No.42 Tahun 2008 ini dengan
pemberlakuan ambang batas (presidential threshold) kenyataannya Presiden dalam menjalankan
pemerintahan berjalan sesuai dengan UUD 1945 yaitu lima tahun tanpa harus dijatuhkan oeh parlemen.

Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan diatas, bahwa masalah ambang batas (presidential threshold)
dikembalikan lagi kepada pembentuk Undang-Undang. Apabila pembentuk UU melakukan kepentingan
golongan, agar ada pembatasan bagi pertai politik dalam mengajukan pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden, berarti menafsirkan Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 menjadi lain, yaitu dengan pembatasan
atau persyaratan tertentu dalam mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Sebenarnya dalam Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 tidak menentukan adanya ambang batas (presidential
threshold) dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden, yang ada hanyalah " pasangan capres dan
cawapres diajukan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu".
Hal ini dapat diasumsikan bahwa apabila sebuah parpol secara hukum menjadi peserta pemilu, berarti
berhak mengjukan capres dan cawapres tanpa harus ada syarat ambang batas (presidential threshold).
Apabila dilaksanakan pemilu serentak, dimana pileg bersamaan dengan pilpres dilaksanakan dengan
meniadakan ambang batas (presidential threshold), maka salah satu kelemahan adalah kemungkinan
terpilihnya figur presiden dari partai kecil (partai gurem) yang memiliki sedikit atau bahkan tidak
mempunyai sama sekali wakil di DPR. Figur Presiden yang kemudian terpilih akan sulit mendapat
dukungan politik di parlemen sehingga tidak akan efektif dan akan mengakibatkan stabilitas
pemerintahan yang tidak baik. Kekhawatiran tersebut kemudian mendorong pembentuk Undang-
Undang agar tetap mengatur ambang batas. Bahkan secara ideal, ambang batas (presidential threshold)
seharusnya lebih tinggi dari yang diputuskan oleh MK, karena pemilu serentak otomatis menghilangkan
ambang batas (presidential threshold). Apabila ambang batas tetap diberlakukan maka akan
meningkatkan kualitas capres dan cawapres karena sudah melalui proses seleksi yang dilakukan oleh
parpol.

Penghapusan ambang batas akan berdampak pada kepemimpinan eksekutif yang tidak akan mendapat
dukungan dari parlemen, sehingga akan sulit menerapkan kebijakan pemerintah. Pemerintah dan DPR
sebagai lembaga pembentuk Undang-Undang dapat saja memberlakukan ambang batas (presidential
threshold) pada Pemilu 2019, asalkan aturan ambang batas (presidential threshold) disesuaikan dengan
kursi di lembaga legislatif. Apabila ambang batas (presidential threshold) ditiadakan, parlemen
cenderung dominan sehingga memperlemah sistem presidensial. Apabila angka ambang batas
(presidential threshold) tetap tinggi, akan memaksa parpol atau gabungan parpol memperkuat sistem
presidensial dan akan menyeleksi capres dan cawapres secara efektif. Hal ini menyebabkan terjadinya
koalisi untuk memperkuat pelaksanaan pemerintahan, sehingga akan membangun pemerintahan yang
efektif. Ambang batas (presidential threshold) dalam pengajuan capres dan cawapres dimaksudkan
untuk menyerderhanakan sistem kepartaian.

Melihat fakta diatas, menjadi capres maupun cawapres tidaklah mudah, karena harus memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu yang diatur dalam Undang-Undang No 42 Tahun 2008. Capres tidak
hanya diusulkan oleh parpol maupun gabungan parpol, juga harus memenuhi amabang batas
(presidential threshold) yaitu parpol atau gabungan parpol harus memenughi perolehan kursi paling
sedikit 20 % dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25 % dari suara sah pemilu nasional anggota
DPR.

Dengan demikian mengkaji permohonan uji materi UU No 42 Tahun 2008 terhadap UUD 1945 yaitu
tidak hanya pemilu serentak antara pileg dan pilpres saja, tetapi juga mengenai peniadaan atau
dihapuskannya ambang batas (presidential threshold) dalam pilpres. UUD 1945 telah mengatur bahwa
Presiden terpilih berdasarkan perolehan suara 50% plus satu dan tersebar di 20% provinsi.

Penerapan ambang batas (presidential threshold) dilakukan untuk mempekuat sistem presidensial juga
tidak bisa dibuktikan. Apabila presiden terpilih berasal dari partai kecil, di Parlemen akan berkoalisi
dengan parpol besar. Pemilu serentak dengan meniadakan ambang batas (presidential threshold) akan
memperlemah sistem presidensial tidaklah tepat, karena kenyataannya selama Presiden SBY tidak
didukung sepenuhnya partai besar, tetap dapat menjalankan roda pemerintahannya dalam dua periode
dengan efektif.

Ambang batas (presidential threshold) untuk memperkuat sistem presidensial, efektifnya pemerintahan
oeh Presiden terpilih, penyederhanaan kepartaian dan menyeleksi capres/cawapres tidak sepenuhnya
tepat. Hal ini karena parpol peserta pemilu sudah diseleksi secara ketat oleh KPU, sehingga parpol yang
lulus verifikasi mengusulkan capres/cawapres. Seleksi parpol oleh KPU merupakan bentuk
penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia.

Pembentuk Undang-Undang (Pemerintah dan DPR) harus memikirkan ulang rentang ambang batas yang
terdapat dalam Pasal 9 UU No 42 Tahun 2008 yaitu 20 % dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 %
suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, karena akan membatasi warga negara untuk
mendapatlkan alternatif pilihan yang lebih banyak dan juga lebih baik. Pembatasan capres berarti
membatasi saluran molitik warga negara sebagai pemilih.yang kemudian tidak mustahil menciptakan
masyarakat golput.

Penghapusan ambang batas (presidential threshold) akan meningkatkan partisipasi warga negara
sebagai pemilih karena daya tarik capres/cawapres lebih banyak pilihannya. Apabila ambang batas
(presidential threshold) untuk pilpres diberlakukan, tidak akan mempengaruhi sistem pemerintahan
presidensial, karena UUD 1945 sudah mengatur sedemikian rupa dan sudah mengatur kedudukan
presiden adalah setara (sama dengan) lembaga lain dan tidak bisa saling menjatuhkan.

Ambang batas (presidential threshold) dalam pemilu serentak (pilpres dan pileg) sebaiknya ditiadakan
saja, karena merupakan hak setiap warga negara untuk menentukan pilihan sesuai dengan hati
nuraninya, agar alternatif capres/cawapres dalam pilpres lebih banyak, sehingga dapat memilih mana
capres/cawapres yang berkualitas.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi, bahwa pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden
dapat dilakukan serentak dengan pemilu legislatif, meskipun diselenggarakan pada 2019, namun MK
tidak mengabulkan uji materi Pasal 9 UU no.42 Tahun 2008. Sedangkan Pasal 9 UU No.42 Tahun 2008
menyatakan bahwa : 'Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta
pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah
kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam pemilu Anggota
DPR, sebelum pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden". Hal ini yang kemudian dikenal dengan
ambang batas (presidential threshold) perolehan bagi partai poltik dalam mengusung calon Presiden
dan Wakil Presiden.

Oleh karena itu, apakah Pasal 9 Undang-Undang No.42 Tahun 2008 yang mengatur ambang batas
(presidential threshold) masih diberlakukan untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 atau
dibuat UU baru yang tidak memuat ambang batas (presidential threshold).

Pada awalnya pemberlakuan ambang batas (presidential threshold) oleh pembentuk Undang-Undang
adalah dalam rangka penguatan sistem presidensial. Apabila melihat kembali pada pemilu Presiden dan
Wakil Presiden 2009 dengan menggunakan Undang-Undang No.42 Tahun 2008 ini dengan
pemberlakuan ambang batas (presidential threshold) kenyataannya Presiden dalam menjalankan
pemerintahan berjalan sesuai dengan UUD 1945 yaitu lima tahun tanpa harus dijatuhkan oeh parlemen.

Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan diatas, bahwa masalah ambang batas (presidential threshold)
dikembalikan lagi kepada pembentuk Undang-Undang. Apabila pembentuk UU melakukan kepentingan
golongan, agar ada pembatasan bagi pertai politik dalam mengajukan pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden, berarti menafsirkan Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 menjadi lain, yaitu dengan pembatasan
atau persyaratan tertentu dalam mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Sebenarnya dalam Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 tidak menentukan adanya ambang batas (presidential
threshold) dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden, yang ada hanyalah " pasangan capres dan
cawapres diajukan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu".

Hal ini dapat diasumsikan bahwa apabila sebuah parpol secara hukum menjadi peserta pemilu, berarti
berhak mengjukan capres dan cawapres tanpa harus ada syarat ambang batas (presidential threshold).
Apabila dilaksanakan pemilu serentak, dimana pileg bersamaan dengan pilpres dilaksanakan dengan
meniadakan ambang batas (presidential threshold), maka salah satu kelemahan adalah kemungkinan
terpilihnya figur presiden dari partai kecil (partai gurem) yang memiliki sedikit atau bahkan tidak
mempunyai sama sekali wakil di DPR. Figur Presiden yang kemudian terpilih akan sulit mendapat
dukungan politik di parlemen sehingga tidak akan efektif dan akan mengakibatkan stabilitas
pemerintahan yang tidak baik. Kekhawatiran tersebut kemudian mendorong pembentuk Undang-
Undang agar tetap mengatur ambang batas. Bahkan secara ideal, ambang batas (presidential threshold)
seharusnya lebih tinggi dari yang diputuskan oleh MK, karena pemilu serentak otomatis menghilangkan
ambang batas (presidential threshold). Apabila ambang batas tetap diberlakukan maka akan
meningkatkan kualitas capres dan cawapres karena sudah melalui proses seleksi yang dilakukan oleh
parpol.

Penghapusan ambang batas akan berdampak pada kepemimpinan eksekutif yang tidak akan mendapat
dukungan dari parlemen, sehingga akan sulit menerapkan kebijakan pemerintah. Pemerintah dan DPR
sebagai lembaga pembentuk Undang-Undang dapat saja memberlakukan ambang batas (presidential
threshold) pada Pemilu 2019, asalkan aturan ambang batas (presidential threshold) disesuaikan dengan
kursi di lembaga legislatif. Apabila ambang batas (presidential threshold) ditiadakan, parlemen
cenderung dominan sehingga memperlemah sistem presidensial. Apabila angka ambang batas
(presidential threshold) tetap tinggi, akan memaksa parpol atau gabungan parpol memperkuat sistem
presidensial dan akan menyeleksi capres dan cawapres secara efektif. Hal ini menyebabkan terjadinya
koalisi untuk memperkuat pelaksanaan pemerintahan, sehingga akan membangun pemerintahan yang
efektif. Ambang batas (presidential threshold) dalam pengajuan capres dan cawapres dimaksudkan
untuk menyerderhanakan sistem kepartaian.

Melihat fakta diatas, menjadi capres maupun cawapres tidaklah mudah, karena harus memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu yang diatur dalam Undang-Undang No 42 Tahun 2008. Capres tidak
hanya diusulkan oleh parpol maupun gabungan parpol, juga harus memenuhi amabang batas
(presidential threshold) yaitu parpol atau gabungan parpol harus memenughi perolehan kursi paling
sedikit 20 % dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25 % dari suara sah pemilu nasional anggota
DPR.

Dengan demikian mengkaji permohonan uji materi UU No 42 Tahun 2008 terhadap UUD 1945 yaitu
tidak hanya pemilu serentak antara pileg dan pilpres saja, tetapi juga mengenai peniadaan atau
dihapuskannya ambang batas (presidential threshold) dalam pilpres. UUD 1945 telah mengatur bahwa
Presiden terpilih berdasarkan perolehan suara 50% plus satu dan tersebar di 20% provinsi.

Penerapan ambang batas (presidential threshold) dilakukan untuk mempekuat sistem presidensial juga
tidak bisa dibuktikan. Apabila presiden terpilih berasal dari partai kecil, di Parlemen akan berkoalisi
dengan parpol besar. Pemilu serentak dengan meniadakan ambang batas (presidential threshold) akan
memperlemah sistem presidensial tidaklah tepat, karena kenyataannya selama Presiden SBY tidak
didukung sepenuhnya partai besar, tetap dapat menjalankan roda pemerintahannya dalam dua periode
dengan efektif.

Ambang batas (presidential threshold) untuk memperkuat sistem presidensial, efektifnya pemerintahan
oeh Presiden terpilih, penyederhanaan kepartaian dan menyeleksi capres/cawapres tidak sepenuhnya
tepat. Hal ini karena parpol peserta pemilu sudah diseleksi secara ketat oleh KPU, sehingga parpol yang
lulus verifikasi mengusulkan capres/cawapres. Seleksi parpol oleh KPU merupakan bentuk
penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia.

Pembentuk Undang-Undang (Pemerintah dan DPR) harus memikirkan ulang rentang ambang batas yang
terdapat dalam Pasal 9 UU No 42 Tahun 2008 yaitu 20 % dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 %
suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, karena akan membatasi warga negara untuk
mendapatlkan alternatif pilihan yang lebih banyak dan juga lebih baik. Pembatasan capres berarti
membatasi saluran molitik warga negara sebagai pemilih.yang kemudian tidak mustahil menciptakan
masyarakat golput.

Penghapusan ambang batas (presidential threshold) akan meningkatkan partisipasi warga negara
sebagai pemilih karena daya tarik capres/cawapres lebih banyak pilihannya. Apabila ambang batas
(presidential threshold) untuk pilpres diberlakukan, tidak akan mempengaruhi sistem pemerintahan
presidensial, karena UUD 1945 sudah mengatur sedemikian rupa dan sudah mengatur kedudukan
presiden adalah setara (sama dengan) lembaga lain dan tidak bisa saling menjatuhkan.

Ambang batas (presidential threshold) dalam pemilu serentak (pilpres dan pileg) sebaiknya ditiadakan
saja, karena merupakan hak setiap warga negara untuk menentukan pilihan sesuai dengan hati
nuraninya, agar alternatif capres/cawapres dalam pilpres lebih banyak, sehingga dapat memilih mana
capres/cawapres yang berkualitas.

You might also like