Professional Documents
Culture Documents
SKRIPSI
1
Pangeran Alex Sebastian. F34060803. The Effect of Storage Time on the Quality
of Trichoderma viride and Rhizopus oryzae Inocula for Corncob Hydrolysis. Under
supervisory of Liesbetini Hartoto and Titi Candra Sunarti. 2011.
ABSTRACT
Production of Trichoderma viride and Rhizopus oryzae inocula prepared from cassava solid
waste from tapioca industry enriched with rice bran powder, defatted peanut, and tofu solid waste
substrates, were investigated the storage time effects to the spore viabilities. The mixed substrates
were formulated to C/N ratio of 5 and then fermented in solid-state cultivation systems for 3 days.
Each dried inocula was packed in polyethylene plastics and kept on room temperature (25-30°C) for 8
weeks, and evaluated the qualities weekly for spore viability and moisture content. Each inocula with
high viability was applied in the fermentation of the corncob to prove the cellulolytic hydrolysis
capability, that fermented in solid-state cultivation system for 9 days. Generally, storage of inocula
caused the reduction of spore viability (from 100% to 91,7% for Trichoderma viride; from 100% to
92,24% for Rhizopus oryzae) even the moisture content increased during the storage time (from 7,35%
to 9,05% for Trichoderma viride; from 10,49% to 10,18% for Rhizopus oryzae). The results showed
that inocula of Trichoderma viride produced from cassava solid waste and rice bran powder; and
Rhizopus oryzae produced from cassava solid waste and rice bran powder could maintain the spore
viabilities after 2 months of storage (from 75,01 x 107 to 13,74 x 107 spore/g for Trichoderma viride;
from 106,13 x 107 to 24,49 x 107 spore/g for Rhizopus oryzae). After the application of inocula in
corncob hydrolysis, it showed that crude fiber was reduced (from 88,64% to 47,08% - 47,48% by
using Trichoderma viride; from 88,64% to 45,76% - 47,06% by using Rhizopus oryzae inoculum) as
the effect of cellulolytic breakdown to produce oligosaccharides. DP 20,71 to 2,23 – 3,16 by using
Trichoderma viride inocula and DP 20,71 to 2,19 – 2,30 by using Rhizopus oryzae inocula.
2
Pangeran Alex Sebastian. F34060803. Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap
Kualitas Inokulum Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae untuk Hidrolisis
Tongkol Jagung. Di bawah bimbingan Liesbetini Hartoto dan Titi Candra Sunarti.
2011.
RINGKASAN
Kapang selulolitik merupakan jenis kapang yang memiliki kemampuan untuk mensintesis
enzim selulase yang mampu menghidrolisis bagian selulosa yang terikat kuat dengan ikatan hidrogen.
Kapang Trichoderma viride diisolasi dari tanah dan mempunyai enzim selulase lengkap yang
dibutuhkan untuk hidrolisis selulosa. Kapang lain yang mempunyai kemampuan selulolitik adalah
Rhizopus oryzae yang mempunyai kemampuan untuk mengubah pati menjadi dekstrosa serta dapat
memecah protein dan lemak sehingga biasanya digunakan untuk memproduksi enzim amilase,
protease maupun untuk menghasilkan tempe.
Untuk mempermudah pemanfaatan kapang selulolitik di masyarakat perlu dilakukan
pembuatan inokulum kapang. Inokulum yang dihasilkan harus memiliki viabilitas spora kapang yang
tinggi dan cenderung stabil selama inokulum tersebut disimpan serta memiliki kemampuan hidrolisis
yang tinggi terhadap tongkol jagung. Tongkol jagung merupakan salah satu limbah industri pertanian
yang merupakan sumber bahan berlignoselulosa, dengan kandungan selulosa 40-60% dan
hemiselulosa 20-30% sehingga tongkol jagung mempunyai potensi yang besar dihidrolisis oleh
kapang yang mempunyai enzim selulolitik dan dimanfaatkan sebagai bahan pakan.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh inokulum Trichoderma viride dan Rhizopus
oryzae yang memiliki viabilitas spora tertinggi dengan berbagai campuran substrat. Selain itu juga
untuk mengkaji pengaruh lama penyimpanan terhadap viabilitas inokulum spora dan menguji
perubahan kualitas tongkol jagung yang dihidrolisis dengan menggunakan inokulum tersebut.
Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahap produksi inokulum, tahap pengkajian umur
simpan inokulum dan tahap aplikasi inokulum untuk hidrolisis tongkol jagung. Tahap produksi
inokulum terdiri atas penyiapan dan karakterisasi substrat, penyiapan kultur, dan pembuatan
inokulum, sedangkan tahap hidrolisis tongkol jagung terdiri atas penyiapan dan karakterisasi tongkol
jagung, hidrolisis tongkol jagung menggunakan inokulum terpilih dan karakterisasi tongkol jagung
hasil hidrolisis.
Inokulum kedua jenis kapang selulolitik tersebut diproduksi dengan menggunakan substrat
onggok yang dikombinasikan dengan bekatul, bungkil kacang tanah dan ampas tahu untuk
menghasilkan substrat yang memiliki perbandingan nisbah C/N=5/1. Berdasarkan hasil analisa
diperoleh komposisi kombinasi substrat dengan perbandingan onggok : bekatul = 1,86 : 7,43, onggok :
bungkil kacang tanah = 4,02 : 3,50 dan onggok : ampas tahu = 3,61 : 4,71.
Inokulum yang dihasilkan dilakukan pengkajian umur simpan dengan pengamatan setiap
seminggu sekali selama 8 minggu untuk menentukan substrat inokulum terbaik pada setiap jenis
kapang. Parameter yang diujikan adalah viabilitas spora dan kadar air. Rancangan percobaan yang
digunakan untuk tiap jenis kapang adalah dengan menggunakan rancangan percobaan acak lengkap
dengan faktor perlakuan komposisi campuran substrat yang terdiri atas 3 taraf (onggok dan bekatul,
onggok dan bungkil kacang tanah, onggok dan ampas tahu) dan faktor lama penyimpanan yang terdiri
atas 9 taraf (0,1,2,3,4,5,6,7, dan 8 minggu).
3
Inokulum yang terbaik dari setiap kapang yang diperoleh setiap empat minggu sekali
diaplikasikan pada tongkol jagung untuk menentukan kualitas dari inokulum tersebut. Penentuan
kualitas inokulum dilakukan dengan menginokulasikan inokulum tersebut ke tongkol jagung dan
dikultivasi selama 9 hari pada suhu ruang. Terhadap hasil tongkol jagung yang telah dikultivasi
dilakukan analisis yang meliputi uji kadar air, abu, lemak kasar, protein, serat kasar, total gula, dan
gula pereduksi.
Hasil analisa ragam menunjukan lama penyimpanan dan perbedaan komposisi substrat
inokulum pada setiap jenis kapang berpengaruh nyata terhadap kadar air dan viabilitas spora. Hasil uji
lanjut Duncan menunjukkan bahwa lama penyimpanan dan perbedaan komposisi substrat
menghasilkan kadar air dan viabilitas spora yang berbeda nyata. Kenaikan kadar air pada inokulum
yang disimpan mengalami kenaikan yang cukup besar, namun kadar air masih terlalu rendah untuk
membuat kapang menjadi aktif. Hal ini mengakibatkan inokulum tersebut masih cukup baik untuk
menjaga dormansi spora kapang. Pengujian terhadap viabilitas spora menunjukan terjadinya
penurunan, namun penurunan tersebut sangat rendah dan jumlah spora kapang masih berada di atas
106 koloni/g. Hal ini mengakibatkan inokulum kapang masih mengandung cukup spora meskipun
telah disimpan selama dua bulan. Pada inokulum Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae viabilitas
spora tertinggi diperoleh pada inokulum yang menggunakan campuran substrat onggok dan bekatul.
Hasil viabilitas yang tertinggi dari setiap inokulum kapang diaplikasikan pada tongkol jagung untuk
mengukur kemampuan dari inokulum tersebut untuk menghidrolisis tongkol jagung.
Terhadap tongkol jagung yang telah dikultivasi dilakukan analisa kadar air, abu, protein,
lemak, serat, total gula, gula pereduksi dan derajat polimerisasi serta dilakukan uji pembeda dengan
tongkol jagung sebelum kultivasi. Hasil analisa ragam menunjukan bahwa inokulum kapang
berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar air, abu, protein, lemak, serat, total gula, gula pereduksi,
dan derajat pereduksi dari tongkol jagung. Hanya pada inokulum Rhizopus oryzae saja tidak terjadi
perubahan yang signifikan terhadap total gula dari tongkol jagung.
Secara umum hasil penelitian menunjukan bahwa inokulum kapang Trichoderma viride dan
Rhizopus oryzae yang telah disimpan selama dua bulan pada suhu ruang masih berada dalam kondisi
baik dan layak diaplikasikan untuk menghidrolisis tongkol jagung meskipun terjadi kenaikan kadar air
dan penurunan viabilitas spora di dalam inokulum selama penyimpanan.
4
PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS
INOKULUM Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae
UNTUK HIDROLISIS TONGKOL JAGUNG
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
PANGERAN ALEX SEBASTIAN
F34060803
5
Judul Skripsi : Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Inokulum
Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae untuk Hidrolisis Tongkol
Jagung
Nama : Pangeran Alex Sebastian
NIM : F34060803
Menyetujui,
(Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, M.S.) (Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si.)
Mengetahui :
Ketua Departemen,
6
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
7
BIODATA PENULIS
8
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang
telah memberikan kasih karunia-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan
baik. Skripsi ini dibuat berdasarkan penelitian dengan judul "Pengaruh Lama
Penyimpanan terhadap Kualitas Inokulum Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae
untuk Hidrolisis Tongkol Jagung". Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret
sampai dengan bulan November 2010.
1. Bapak dan Mamak serta kedua orang adik penulis karena berkat doa yang
terus menerus dan dukungan secara moral serta material kepada penulis.
2. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, M.S dan Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si. selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada
penulis.
3. Prof. Dr. Ani Suryani selaku dosen penguji atas segala perbaikan dan
sarannnya sehingga membuat skripsi ini menjadi lebih baik.
4. Segenap akademisi di Departemen Teknologi Industri Pertanian FATETA,
IPB dari jajaran Dosen, Staff, dan Laboran yang sudah turut berpartisipasi
dalam memberikan keilmuan dan ketersediaan fasilitas untuk penelitian dan
penyusunan skripsi ini.
5. Teman-teman seperjuangan penulis dalam melaksanakan penelitian Ando,
Yulia, Cucu, Martin, Sarfat, Siska, Johnbi dan masih banyak lagi yang selama
ini berjuang untuk mencapai gelar Sarjana Teknologi Pertanian.
6. Teman-teman di TIN 43 atas kebersamaan dan kekompakan dalam meraih
masa depan yang lebih baik.
7. Teman-teman di Youth of Nation Ministry yang saling berjuang dalam
mencapai visi untuk kemajuan bangsa, terutama kepada Kak Darius, Rona,
Sandro, Zeni, Santoni, Melisa, Lisa, Citra, Nova, Yuli, Fani, Gladis, Seri,
Amer, Ira, Susi, serta kakak-kakak dan adek-adek di YoNM.
8. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
9
Penulis juga menyadari bahwa dalam penelitian dan penulisan skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun
sangat diharapkan oleh penulis sebagai proses pembelajaraan. Akhirnya penulis
berharap semoga tulisan ini bermanfaat dalam memberikan kontribusi yang nyata
terhadap perkembangan ilmu di bidang Teknologi Industri Pertanian.
10
DAFTAR ISI
Halaman
11
e. Kadar Serat Kasar.....................................................................................................25
f. Total Gula .................................................................................................................26
g. Gula Pereduksi .........................................................................................................27
h. Derajat Polimerisasi .................................................................................................27
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN ....................................................................................................................29
B. SARAN ................................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................................30
LAMPIRAN ....................................................................................................................................35
12
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi kimia ampas tapioka, bungkil kacang tanah,
ampas tahu dan bekatul .......................................................................................................8
Tabel 2.Komponen elemen-elemen yang dibutuhkan oleh mikroba
untuk hidup ..........................................................................................................................8
Tabel 3. Karakteristik dan komposisi kimia tongkol jagung ...........................................................9
Tabel 4. Komposisi proksimat substrat inokulum ..........................................................................15
Tabel 5.Hasil perhitungan komposisi campuran substrat inokulum dengan
rasio C/N = 5/1 .................................................................................................................16
Tabel 6. Komposisi kimia tongkol jagung ......................................................................................21
Tabel 7. Karakteristik kimia tongkol jagung hasil kultivasi ..........................................................23
13
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Bentuk dan komponen-komponen sel Trichoderma viride...........................................3
Gambar 2. Bentuk dan komponen-komponen sel Rhizopus oryzae................................................. 5
Gambar 3. Perubahan kadar air inokulum Rhizopus oryzae dan
Trichoderma viride selama penyimpanan ....................................................................17
Gambar 4. Perubahan viabilitas spora Rhizopus oryzae dan
Trichoderma viride selama penyimpanan ....................................................................20
14
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Prosedur pengujian .....................................................................................................35
Lampiran 2. Perhitungan perbandingan komposisi substrat inokulum ..........................................38
Lampiran 3. Data perubahan parameter penyimpanan inokulum ..................................................40
Lampiran 4. Hasil Kultivasi inokulum kapang ke dalam tongkol jagung .....................................52
Lampiran 5.Data perubahan parameter viabilitas terhadap hidrolisis
tongkol jagung (setelah kultivasi tongkol jagung) ....................................................53
Lampiran 6.Data perubahan kadar air dan viabilitas inokulum selama
penyimpanan untuk substrat terpilih
(kombinasi onggok+bekatul) ....................................................................................62
Lampiran 7. Perhitungan komposisi awal media kultivasi ............................................................63
15
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kapang merupakan suatu kelompok mikroba yang sangat bervariasi dan dapat ditemukan
pada hampir semua relung ekologi (Gandjar, 2006). Menurut Hawksworth (1991), diperkirakan ada
1.500.000 spesies kapang di dunia dan sampai tahun 1996 hanya 69.000 spesies yang baru
diidentifikasi. Menurut Rifai (1995), sebanyak 200.000 spesies kapang diperkirakan ada di Indonesia.
Kapang dapat mengakibatkan keracunan bagi manusia yang memakannya, namun kapang juga dapat
mempunyai kegunaan yang positif untuk menguraikan unsur-unsur organik yang ada di alam menjadi
unsur-unsur yang sederhana. Salah satu kapang yang mempunyai kegunaan yang baik untuk manusia
adalah Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae. Kedua jenis kapang ini memiliki kemampuan untuk
mendegradasi selulosa menjadi glukosa dan gula sederhana lainnya.
Kapang terdapat di alam dalam bentuk isolat murni. Oleh sebab itu agar mudah digunakan
maka kapang tersebut perlu diisolasi untuk dijadikan inokulum. Inokulum kapang merupakan bahan
dalam bentuk padat maupun cair yang mengandung spora atau konidia yang sengaja ditambahkan
pada substrat (Gandjar, 2006). Inokulum dibutuhkan agar spora kapang memiliki umur simpan yang
lebih lama serta untuk memudahkan dalam proses inokulasi sehingga germinasi dapat terjadi dengan
cepat (Heseltine, 1982).
Parameter yang dapat menentukan umur simpan inokulum kedua jenis kapang ini terletak
pada kemampuan spora untuk bertahan hidup pada kondisi yang telah ditentukan. Kapang yang
memiliki tingkat viabilitas spora yang tinggi dan penurunan jumlah spora yang mati relatif sedikit
menjadikan kapang tersebut menjadi layak secara ekonomis untuk diproduksi dengan skala industri.
Dalam penyimpanan inokulum kapang, perlu diperhatikan kondisi lingkungannya agar
kapang dapat tumbuh dengan optimal dan spora dapat bertahan lama. Faktor-faktor lingkungan yang
mempengaruhi umur penyimpanan kapang dibedakan menjadi dua yaitu: faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri dari jumlah C/N media, struktur biologis bahan baku dan
kandungan air. Faktor ekstrinsik meliputi pH, suhu inkubasi, kelembaban, potensi terjadinya oksidasi-
reduksi, ketersediaan oksigen serta aerasi (Arbianto,1980).
Media yang digunakan untuk pembuatan inokulum kapang adalah media yang mengandung
kadar karbon dan nitrogen yang cukup untuk pertumbuhan kapang. Media tersebut dapat berasal dari
ampas tapioka (onggok), bekatul, ampas tahu dan bungkil kacang tanah. Setiap jenis media tersebut
dapat dikombinasikan sesuai dengan jumlah kadar C/N yang dibutuhkan oleh kapang. Oleh sebab itu,
perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui komposisi dari setiap jenis media tersebut.
Inokulum Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae dapat digunakan untuk menghidrolisis
komponen lignoselulosa tongkol jagung sedangkan substrat digunakan untuk mengukur kemampuan
hidrolisis dari kedua jenis kapang tersebut. Tongkol jagung merupakan limbah dari jagung yang telah
dipipil dan biasanya digunakan sebagai bahan tambahan untuk pakan ternak. Tongkol jagung
mengandung serat kasar yang terdiri atas selulosa (40-60%), hemiselulosa (20-30%) dan lignin (15-
30%) (Irawadi, 1990). Kadar serat yang tinggi mengakibatkan tongkol jagung sulit untuk dicerna oleh
ternak, oleh sebab itu perlu dilakukan upaya untuk menurunkan kadar serat dari tongkol jagung
tersebut.
Proses untuk mengurangi kadar serat pada tongkol jagung dapat dilakukan dengan cara
hidrolisis. Penggunaan bahan kimia untuk menghidrolisis serat yang ada di dalam tongkol jagung
sulit diterapkan karena dapat berdampak buruk terhadap lingkungan. Hidrolisis dengan menggunakan
enzim hasilnya baik, namun biayanya sangat tinggi. Oleh sebab itu pemanfaatan mikroba merupakan
salah satu alternatif yang diharapkan akan menguntungkan melebihi pemanfaatan bahan kimia
ataupun enzim. Selulase yang dihasilkan inokulum kapang Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae
mampu menghidrolisis tongkol jagung, namun inokulum tersebut masih belum dapat diketahui
kualitasnya apabila disimpan dalam jangka waktu tertentu.
Selama penyimpanan produktivitas inokulum kapang akan semakin berkurang. Penurunan
produktivitas inokulum kapang dapat dilihat dengan melakukan pengukuran terhadap kemampuan
kapang tersebut untuk menghidrolisis tongkol jagung. Hal ini yang menjadi dasar perlunya dilakukan
16
penelitian mengenai umur simpan inokulum kedua jenis kapang tersebut, sehingga dihasilkan
inokulum kapang terbaik yang dapat menghidrolisis selulosa.
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh inokulum Trichoderma viride dan Rhizopus
oryzae yang memiliki viabilitas spora tertinggi dengan menggunakan substrat campuran antara
onggok tapioka dengan ampas tahu, bekatul dan bungkil kacang tanah. Selain itu juga untuk mengkaji
pengaruh lama penyimpanan terhadap viabilitas inokulum spora dan menguji perubahan kualitas
tongkol jagung yang dihidrolisis dengan menggunakan inokulum tersebut.
17
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. KAPANG SELULOLITIK
1. Trichoderma viride
Trichoderma viride adalah salah satu jenis kapang tanah yang tersebar luas dan hampir
dapat ditemui di lahan-lahan pertanian dan perkebunan. Kapang ini bersifat saprofit pada tanah,
kayu, dan juga dapat bersifat parasit pada kapang yang lain (Barnett, 1987). Trichoderma viride
merupakan jenis yang paling banyak dijumpai diantara genusnya dan mempunyai kelimpahan
yang tinggi pada tanah dan bahan yang mengalami dekomposisi. Bentuk dan komponen-
komponen sel Trichoderma viride dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Bentuk dan komponen-komponen sel Trichoderma viride : a.Konidia dan konidiosfor
T.viride perbesaran 512x, b.perbesaran 1000x, c.perbesaran 1600x, d.perbesaran
4400x, e.Klamidiospora perbesaran 1600x (de Hoog, 2000)
18
Dextrose Agar (Widyastuti, 2007). Trichoderma viride dapat tumbuh optimal pada suhu 32-35°C
serta pH sekitar 4 (Enari, 1983).
Menurut Wood (1985), Trichoderma viride merupakan jenis kapang yang mampu
menghancurkan selulosa tingkat tinggi dan memiliki kemampuan mensintesis beberapa faktor
esensial untuk melarutkan bagian selulosa yang terikat kuat dengan ikatan hidrogen. Selulosa
yang terikat tersebut diuraikan menjadi glukosa dan gula sederhana dengan menggunakan enzim
selulase yang dihasilkan oleh kapang tersebut (Mandels, 1982).
Menurut Volk (2004), keunggulan kapang Trichoderma viride sebagai penghasil enzim
selulase dikarenakan kapang ini dapat menghasilkan selulase lengkap yang dibutuhkan untuk
menghidrolisis selulosa kristal dan dapat menghasilkan protein yang cukup tinggi. Miselium
kapang ini dapat menghasilkan suatu enzim yang bermacam-macam, termasuk enzim selulase dan
kitinase. Kapang umumnya memiliki selulase karena habitatnya pada bahan-bahan organik yang
mengandung selulosa. Selulase terdiri dari komponen endo-β-1,4-glukanase, ekso-β-1,4-
glukanase dan β-1,4 glukosidase (selobiase). Kapang Trichoderma viride menghasilkan ketiga
jenis enzim selulase tersebut (Crueger dan Crueger, 1982).
Menurut Gilbert dan Tsao (1983), selulase yang dihasilkan oleh Trichoderma viride
mengandung komponen terbesar berupa selobiase dan β-1,4-glukan-selobiohidrolase dalam
jumlah kecil. Semua enzim ini bersifat hidrolitik dan bekerja baik secara berturut-turut atau
bersamaan. Selobiohidrolase adalah enzim yang mempunyai afinitas terhadap selulosa tingkat
tinggi yang mampu memecah selulosa kristal, sedangkan endoglukanase bekerja pada selulosa
amorf (Coughlan, 1989). Selobiohidrolase memecah selulosa melalui pemotongan ikatan
hidrogen yang menyebabkan rantai-rantai glukosa mudah untuk dihidrolisis lebih lanjut.
Hidrolisis selanjutnya dilakukan oleh β–glukanase dan β–glukosidase, sehingga menghasilkan
glukosa.
2. Rhizopus oryzae
Rhizopus oryzae termasuk jenis kapang kelas phycomycetes. Kapang ini memiliki ciri-
ciri, yaitu mempunyai miselium yang tidak bersekat-sekat, warna miselium putih, sedangkan
warna sporangiumnya berwarna kehitam-hitaman. Kapang ini biasanya hidup sebagai saprofit
dan beberapa hidup secara parasit pada tumbuh-tumbuhan. Kapang ini memiliki bentuk seperti
kapas pada awalnya, namun setelah muncul sporangium dan sporanya maka warnanya akan
menjadi kehitam-hitaman. Miselium pada kapang ini terbagi atas stolon, yang menghasilkan alat-
alat serupa akar (rhizoid) dan sporangiofor. Kapang Rhizopus oryzae mempunyai kemampuan
untuk mengubah pati menjadi dekstrosa, serta dapat memecah protein dan lemak yang ada di
dalam bahan (Pelczar dan Chan, 1974).
Ciri-ciri dari kapang Rhizopus oryzae adalah (1) miseliumnya aseptat atau senositik, (2)
spora aseksual: sporangiospora kadang-kadang dengan konidia, (3) spora seksual: zigospora
oospora, (4) habitat alaminya di air, tanah, tumbuhan dan hewan (Pelczar dan Chan, 1974).
Bentuk dan komponen-komponen sel Rhizopus oryzae dapat dilihat pada Gambar 2.
Rhizopus oryzae mempunyai siklus reproduksi secara generatif dan vegetatif. Spora
kapang dapat terbentuk pada kedua siklus tersebut. Selain itu, Rhizopus oryzae juga bersifat
heterothallik, yaitu reproduksi seksual (generatif) dilakukan melalui fusi atau kapsulasi dari dua
gametangia yang ukurannya seimbang. Fusi ini kemudian akan menghasilkan zigospora yang
kemudian akan berkembang dan mengalami pembelahan meiosis yang diikuti oleh reduksi inti
menjadi haploid. Pada saat germinasi, dinding sel zigospora akan pecah dan menghasilkan
sporangium. Sporangium tersebut kemudian akan menghasilkan spora sebagai alat reproduksi
seksual. Sedangkan perkembangbiakan secara vegetatif (aseksual) adalah dengan pembentukan
fraksi miselium aseksual maupun sporangia secara aseksual (tidak terjadi proses peleburan dua
sel) (Pelczar dan Reid, 1974).
19
Gambar 2. Bentuk dan komponen-komponen sel Rhizopus oryzae : a.Sporangiofor b.Sporangium
c.Kolumela d.Sporangiospora e.Khlamidospora (Gandjar et al.,1999)
Menurut Fardiaz (1989), kebutuhan aktivitas air (aw) minimal untuk terjadinya germinasi
spora pada kapang Rhizopus oryzae adalah 0,93 dan aw minimal untuk pertumbuhannya adalah
antara 0,95-0,98. Jika aw media di bawah 0,62 maka akan menyebabkan pertumbuhan kapang
menjadi terhambat.
Kisaran suhu yang sesuai untuk pertumbuhan kapang Rhizopus oryzae adalah sekitar 14
- 44ºC dan suhu optimum 25 - 37ºC (Steinkraus et al., 1960). Menurut Arbianto (1980), kondisi
suhu di Indonesia adalah sekitar 30ºC dengan kelembaban 90% sehingga kondisi ini sangat sesuai
untuk pertumbuhan R.oryzae. Menurut Mitchell et al. (1988), pH optimum untuk pertumbuhan
R.oryzae adalah sekitar 7 - 7,5. Pada media campuran yang digunakan, pH dari media adalah
berkisar antara 5 - 6,5. Hal ini tidak terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan spora
dikarenakan kapang tersebut tetap tumbuh meskipun tidak optimal.
Rhizopus oryzae dapat menghasilkan glukoamilase. Enzim glukoamilase mampu
menghidrolisis pati secara sempurna menjadi glukosa. Enzim ini bersifat eksoamilase, yaitu
dapat memutuskan rantai pati menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian yang tidak
mereduksi dari molekul tersebut (Tjokroadikoesoemo, 1986). Menurut Gandjar (2006), Rhizopus
oryzae biasanya digunakan untuk memproduksi enzim amilase, protease maupun untuk
pembuatan tempe.
B. PROSES KULTIVASI
Kultivasi adalah suatu proses perubahan kimia dalam suatu media kultur organik yang dapat
berlangsung karena aksi katalisator-katalisator biokimia, yaitu enzim yang dihasilkan oleh mikroba-
mikroba hidup tertentu (Tjokroadikoesoemo, 1986).
Pada skala laboratorium, kapang dapat tumbuh pada kultur diam, kultur goyang atau dalam
fermentasi menggunakan pengaduk dan aerator. Luas aliran udara yang masuk ke dalam kultur
menentukan perbedaan pertumbuhan maupun hasil metabolisme yang dihasilkan oleh setiap kapang
dengan menggunakan metode tersebut. Media kultur untuk pertumbuhan kapang dapat menggunakan
bahan sintetik maupun bahan alami. Kultur yang menggunakan bahan sintetik terdiri atas karbon,
20
gula, nitrogen, fosfat, magnesium, kalium juga dilengkapi dan bahan-bahan pendukung lainnya.
Sedangkan kultur yang menggunakan bahan alami biasanya berasal dari corn steep liquor, ekstrak
maltosa, ekstrak kentang (Hanson, 2008).
Kultivasi dapat dilakukan dengan menggunakan dua jenis media, yaitu media padat dan
media cair. Menurut Chalal (1985), kultivasi media padat adalah proses kultivasi yang substratnya
tidak larut dan tidak mengandung air bebas, tetapi cukup mengandung air untuk keperluan hidup
mikroba. Sedangkan kultivasi cair adalah proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi
dalam fase cair. Menurut Rachman (1989), untuk kebanyakan kapang, pertumbuhannya pada
permukaan media padat dapat membentuk spora yang lebih banyak dengan viabilitas yang lebih lama
dibandingkan dengan kultur cair, sehingga untuk pembuatan inokulum kapang digunakan metode
kultivasi dengan menggunakan media padat.
Proses kultivasi yang dipilih adalah kultivasi dengan menggunakan media padat. Kultivasi
dengan menggunakan media padat memiliki kelebihan dikarenakan media yang digunakan relatif
lebih sederhana, ruangan yang dibutuhkan kecil dibandingkan dengan rendemen yang dihasilkan,
kondisi tumbuh mendekati keadaan di alam, inokulasi dapat langsung berupa spora, rendahnya kadar
air dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan, pengawasan lebih minim, tenaga
yang dibutuhkan lebih sedikit dan peralatannya sederhana. Sedangkan kelemahannya adalah
fermentasi ini hanya untuk pertumbuhan kapang dan pengukuran parameter-parameter proses menjadi
sukar dikarenakan kurang homogen serta perlu dilakukan pra-perlakuan terhadap substrat yang
digunakan (Rachman, 1989).
Faktor-faktor yang perlu ditentukan dalam persiapan fermentasi dengan medium padat, yaitu:
sifat substrat, sifat mikroba serta kinetika metabolisme dan enzim. Substrat yang menjadi tempat
bertumbuhnya mikroba harus mengandung air, nitrogen, karbon, mineral, vitamin dan bahan-bahan
penambah lainnya (Rachman, 1989).
Kultivasi kapang menggunakan media padat membutuhkan waktu dua sampai lima hari
(Winarno, 2002), sedangkan menurut Frazier (1992), kultivasi kapang selama tiga hari akan
menghasilkan enzim yang paling optimum, sehingga digunakan waktu yang terbaik yaitu selama tiga
hari untuk mendapatkan inokulum yang optimal. Pertumbuhan kapang dapat dilihat dari
penampakannya yang berserabut seperti kapas yang mula-mula berwarna putih, tetapi jika spora
timbul maka akan terbentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapang tersebut (Fardiaz, 1992).
Setiap kapang mempunyai kurva pertumbuhan yang berbeda-beda, kurva pertumbuhan ini
diperoleh dari menghitung jumlah atau bobot sel kapang. Menurut Gandjar (2006), ada 6 fase pada
kurva pertumbuhan, yaitu: fase lag, fase akselerasi, fase eksponensial, fase deselerasi, fase stasioner
dan fase kematian dipercepat. Fase yang menghasilkan komposisi spora kapang terbesar adalah pada
fase eksponensial. Pada fase ini tingkat kematian kapang sama dengan tingkat pertumbuhannya,
selain itu spora kapang juga telah dibentuk secara optimal dikarenakan adanya enzim yang
menghambat pertumbuhan kapang sehingga kapang membentuk spora untuk dapat bertahan hidup.
C. SPORA INOKULUM
Pemanenan spora kapang dapat dilakukan dengan cara membuat inokulum dari kapang
tersebut. Menurut Gandjar (2006), inokulum merupakan bahan dalam bentuk padat maupun cair yang
mengandung spora atau konidia yang sengaja ditambahkan pada substrat. Substrat inokulum yang
berisi spora kapang dapat menghasilkan warna yang berbeda-beda tergantung dari jenis kapang
(Fardiaz, 1992).
Spora kapang dapat bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang kering dan dapat tumbuh
lagi jika kondisi lingkungan memiliki kadar air yang sesuai. Spora tersebut tinggal dalam keadaan
dorman. Spora kapang mempunyai lapisan dinding yang kuat, sehingga membuatnya dapat bertahan
pada kondisi kering. Spora kapang hanya mempunyai kandungan air yang rendah dibandingkan
dengan hifa kapang sehingga dapat bertahan dalam kondisi kering (Smith dan Onions, 1994). Menurut
Ikasari et al. (1999), proses pengeringan inokulum sebaiknya dilakukan pada suhu sekitar 45-50ºC.
Hal ini dikarenakan pada suhu tersebut kapang akan menjadi inaktif dan spora tidak mati.
Spora kapang memerlukan kondisi lingkungan yang sesuai agar dapat tumbuh dan bertahan
hidup. Menurut Arbianto (1980), salah satu usaha untuk meningkatkan kuantitas spora adalah dengan
mengoptimalkan faktor produksi yang mendukung aktivitas biologis kapang. Hal-hal yang
mempengaruhinya adalah sifat-sifat campuran populasi mikroba yang digunakan, laju dan efisiensi
21
aktifitas total mikroba serta faktor-faktor lingkungan. Faktor lingkungan terdiri dari faktor intrinsik
yaitu nisbah C/N media, struktur biologi bahan baku, dan kandungan air, sedangkan faktor ekstrinsik
meliputi pH, kelembaban, potensial oksidasi-reduksi, ketersediaan oksigen serta aerasi.
Kapang membutuhkan karbon, nitrogen, ion organik, faktor tumbuh, energi dan air untuk
metabolisme dan pertumbuhan yang diperoleh dari media. Oleh sebab itu, substrat inokulum yang
digunakan harus dapat memenuhi kebutuhan minimum pertumbuhan dan kelangsungan hidup dari
kapang tersebut (Walker, 1999).
D. SUBSTRAT INOKULUM
Industri tapioka merupakan industri yang sudah cukup besar di Indonesia. Menurut data
BPS tahun 2007, industri tapioka di indonesia adalah sekitar 19.802.508 ton pertahun. Industri
tapioka menghasilkan limbah padat yang disebut sebagai ampas tapioka. Sebagian besar ampas
tapioka (onggok) dimanfaatkan sebagai bahan campuran oncom, bahan baku produksi asam sitrat,
bahan bakar gas metan dan bahan pakan ternak. Ampas tapioka cukup potensial digunakan
sebagai sumber karbon dalam fermentasi media padat, meskipun masih memerlukan suplementasi
nilai gizi seperti nitrogen. Komposisi kimia ampas tapioka disajikan pada Tabel 1.
Bungkil kacang tanah merupakan limbah dari pengolahan minyak kacang tanah. Bungkil
kacang tanah disukai ternak dan merupakan suplemen protein tumbuhan yang berkualitas baik.
Bungkil kacang tanah adalah produk hasil ikutan penggilingan biji kacang tanah setelah
diekstraksi minyaknya secara mekanis atau secara kimia menggunakan pelarut (Anonim, 2010).
Komposisi kimia bungkil kacang tanah dapat dilihat pada Tabel 1.
3. Ampas Tahu
Ampas tahu merupakan hasil samping dari pengolahan tahu dari sisa bubur kedelai yang
telah diperas. Bentuknya padat dan teksturnya kuat walaupun kadar airnya tinggi. Hal tersebut
disebabkan adanya serat kasar yang bersama-sama protein mengikat air secara hidrofilik. Ampas
tahu dari hasil perasan bubuk kedelai hanya dapat bertahan tidak lebih dari 24 jam dalam keadaan
tanpa perlakuan lain. Selain itu, proses pembuatan tahu secara tradisional hanya mampu
mengesktrak sebagian protein, sedangkan sebagian lagi tertinggal dalam ampas tahu (Lahoni,
2003). Komposisi kimia ampas tahu dapat dilihat pada Tabel 1.
22
4. Bekatul
Menurut Nursalim dan Razali (2007), bekatul adalah lapisan luar dari beras yang
terlepas saat proses penggilingan gabah. Bekatul umumnya berwarna krem atau cokelat muda.
Kulit padi terdiri atas hull yang merupakan kulit bagian terluar dan bekatul yang merupakan kulit
bagian dalam atau selaput biji. Bekatul terdiri atas beberapa lapisan, yaitu pericarp, seed coat,
nucellus dan aleurone. Secara umum, dari hasil proses penggilingan padi menghasilkan bekatul
sebanyak 8-12% dari total bobot padi yang digiling, sehingga produksi bekatul halus dari
penggilingan padi di Indonesia mencapai 4-6 juta ton per tahun. Komposisi kimia bekatul dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia ampas tapioka, bungkil kacang tanah, ampas tahu dan bekatul
Kandungan
Komponen Ampas Bungkil Kacang Ampas Tahu Bekatul
Tapioka Tanah (%b.k) (%b.b)
(%b.k) (%b.b)
Abu 1,88 7* 7,48 1,60
Serat Kasar 17,95 12* 24,91 1,69
Lemak Kasar 0,00 3,5* 5,92 1,09
Protein Kasar 2,21 46** 21,26 8,77
Karbohidrat 64,8 - 59,57 84,36
Keterangan : * = %maksimum, ** = %minimum
Sumber: Lahoni (2003), SNI 01-4228-1996, Lahoni (2003) dan Nursalim (2007)
E. NISBAH C/N
Kapang memerlukan kandungan karbon dan nitrogen untuk energi dan membantu dalam
pertumbuhan sel-sel kapang. Perbandingan kandungan karbon dan nitrogen di dalam media disebut
sebagai nisbah C/N. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Walker (1999), bahwa ada beberapa dasar
penting untuk mempersiapkan media, yaitu:
1. Komposisi bahan: Kemurnian, perbandingan karbon dan nitrogen, perbedaan variasi tiap bagian,
tersedianya nutrisi bagi pertumbuhan mikroba.
2. Pengaruh dari perbedaan pencampuran tiap bahan, pH yang dibutuhkan sebelum dan sesudah
sterilisasi, efek sterilisasi pada mineral dan garam.
3. Perubahan pada media sebelum inokulasi, suhu, aerasi, pengadukan dan penggunaan antifoam.
Komposisi nisbah C/N media yang optimum untuk pertumbuhan mikroba dapat dilihat pada
Tabel 2.
23
F. TONGKOL JAGUNG
Tongkol jagung merupakan limbah dari jagung yang telah dipipil dan biasa digunakan untuk
bahan tambahan pakan ternak (Irawadi, 1990). Karakteristik dan komposisi kimia tongkol jagung
disajikan pada Tabel 3.
Tongkol jagung biasanya digunakan sebagai sumber hijuan pada pakan ternak ruminansia
dikarenakan mengandung serat kasar yang tinggi. Kadar serat pada tongkol jagung terdiri atas lignin,
hemiselulosa dan selulosa. Hal inilah yang menyebabkan tongkol jagung merupakan media yang tepat
untuk dihidrolisis dengan menggunakan kapang yang menghasilkan enzim selulolitik (Parakkasi,
1999).
G. PAKAN TERNAK
Limbah tanaman jagung biasa digunakan sebagai pakan ternak, terutama ternak ruminansia
(Pasaribu, 1993). Menurut Prihatman (2000), kandungan protein serta serat kasar yang dapat
memenuhi kebutuhan ternak ruminansia masing-masing sebesar 8% dan 15%. Ternak ruminansia
memanfaatkan selulosa sebagai sumber energi utama dalam menyokong pertumbuhan, produksi dan
reproduksi (Lynd et al., 2002).
Adanya bantuan mikroba rumen untuk meningkatkan kecernaan bahan makanan yang
mengandung karbohidrat struktural, kandungan lignin dan silika pada bahan pakan akan
mempengaruhi produksi energi metabolisme. Bahan pakan yang mengandung lignin yang tinggi akan
lebih sulit dicerna, sehingga lebih banyak energi dari bahan makanan tersebut yang keluar melalui
feses (Parakkasi, 1999).
Menurut Tillman et al. (1989), hewan tidak menghasilkan enzim untuk mencerna selulosa
dan hemiselulosa, tetapi mikroba yang ada di dalam saluran pencernaan yang menghasilkan enzim
selulase dan hemiselulase. Hal inilah yang menyebabkan perlu dilakukannya penambahan kapang
selolitik untuk meningkatkan kandungan protein di dalam pakan ternak, serta menghidrolisis serat
kasar yang ada di dalam pakan tersebut sehingga mengurangi energi metabolis pada ternak ruminansia
untuk mencerna pakan tersebut.
Selulosa merupakan bahan penyusun utama jaringan serat dan dinding sel pada tumbuh-
tumbuhan, seperti tongkol jagung. Selulosa terdiri atas sejumlah besar molekul glukosa yang
bergandengan melalui gugus 1,4 β-glukosida dari molekul glukosa yang satu dengan gugus hidroksil
C4 dari molekul glukosa yang lain. Selulosa berbentuk seperti kristal yang saling bergandengan
melalui sejenis gula (bukan glukosa) yang membentuk rantai panjang yang sangat tahan terhadap
pengaruh kimia maupun enzim. Hidrolisis selulosa oleh aktivitas tanaman sangat terbatas, namun
24
sejumlah kapang dan bakteri yang hidup dari substrat hasil-hasil pertanian dapat menghasilkan sejenis
selulase yang dapat menghidrolisis selulosa menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana
(Tjokroadikoesoemo, 1986).
Hidrolisis selulosa juga dapat dilakukan secara kimia dengan menggunakan asam maupun
secara enzimatik. Menurut Gong et al. (1981), hidrolisis bahan-bahan berselulosa akan menghasilkan
campuran gula dan xilosa yang merupakan komponen utama. Hidrolisis menggunakan asam dapat
dilakukan dengan menggunakan asam kuat. Kelemahan hidrolisis ini adalah kebutuhan bahan kimia
dan energi yang tinggi serta limbah hasil hidrolisis ini berbahaya (Clemants et al., 1985).
Hidrolisis secara enzimatis untuk menghidrolisis lignoselulosa dapat dilakukan dengan
menggunakan mikroba yang menghasilkan ligninase dan selulase. Hidrolisis enzimatis memiliki
keuntungan lebih banyak bila dibandingkan dengan hidrolisis menggunakan asam, antara lain tidak
terjadinya degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi proses yang lebih lunak (suhu rendah, dan pH
netral), berpotensi menghasilkan hasil yang tinggi dan biaya pemeliharaan relatif rendah (Taherzadeh
dan Karimi, 2007).
Enzim yang digunakan untuk menghidrolisis komponen selulosa adalah dengan selulase.
Enzim ini dihasilkan oleh kapang dan merupakan campuran yang terdiri atas tiga macam enzim, yaitu
endo β-glukonase, selobiohidrolase dan β-glukonase yang bekerja secara sinergi menghidrolisis
selulosa berkristal menjadi glukosa. Selobiohidrolase menyerang struktur berkristal selulosa dan
menghasilkan selobiosa (disakarida). Endo β-glukonase menghidrolisis bagian amorf selulosa menjadi
senyawa dengan bobot molekul yang lebih kecil, seperti glukosa (Sasaki, 1982).
25
III. METODOLOGI
1. Bahan
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini terdiri atas: media untuk pembuatan
inokulum, yaitu: onggok tapioka, bekatul beras, bungkil kacang tanah, dan ampas tahu; isolat
kapang, yaitu: kapang Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae; media untuk pengujian
produktivitas inokulum, yaitu: tongkol jagung. Media untuk pembuatan kultur awal dan pengujian
viabilitas spora, yaitu: Potato Dextrose Agar; bahan kimia untuk analisa, yaitu: alkohol 96%,
metanol, air destilat, asam sulfat (H2SO4), asam borat (H3BO4), natrium hidroksida (NaOH), fenol
5%, asam dinitrosalisilat (DNS), katalis, Potato Dextrose Agar (PDA), Pb asetat, pelarut heksan,
dan bahan-bahan lainnya.
2. Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas: peralatan yang digunakan
untuk proses penyiapan media inokulum, yaitu: pengayak 40 mesh, hammer mills, mixer, dan alat
penggiling lainnya; peralatan yang digunakan untuk proses kultivasi dan penyiapan kultur awal,
yaitu: besek, inkubator, cawan petri, tabung reaksi, pembakar bunsen, dan autoklaf; peralatan
yang digunakan untuk analisa, yaitu: oven, cawan porselen, cawan alumunium, labu erlenmeyer,
labu ukur, desikator, tabung Soxhlet, labu didih, sudip, kertas saring, neraca analitik, penjepit,
magnetic stirrer, dan pipet volumetrik.
B. METODE PENELITIAN
1. Produksi Inokulum
Media yang digunakan untuk pembuatan inokulum adalah ampas tapioka (onggok),
bekatul, bungkil kacang tanah dan ampas tahu. Media tersebut dikeringkan terlebih dahulu
dengan cara dikeringanginkan pada cahaya matahari, sedangkan ampas tahu dikeringkan
dengan menggunakan oven pada suhu 50°C. Media yang telah kering kemudian dihancurkan
dengan menggunakan hammer mills dan blender sampai hancur menjadi tepung, dan disaring
dengan menggunakan pengayak 40 mesh.
Tahap selanjutnya adalah melakukan analisis komponen bahan yaitu komponen
proksimat yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar, dan karbohidrat (by
difference). Prosedur analisa dapat dilihat pada Lampiran 1. Setelah diketahui komposisi
proksimat bahan, selanjutnya dilakukan penghitungan komposisi media inokulum. Media
yang digunakan terdiri atas kombinasi onggok dengan bekatul, onggok dengan bungkil
kacang tanah dan onggok dengan ampas tahu. Penghitungan jumlah kombinasi setiap bahan
dihitung dengan menggunakan nilai nisbah C/N sebesar 5/1 (Doelle et al., 1992). Nilai kadar
26
karbon dihitung dengan menggunakan pendekatan nilai kadar karbohidrat (by difference)
dalam bahan, sedangkan nilai kadar nitrogen dihitung dengan menggunakan pendekatan nilai
kadar protein dalam bahan.
b. Penyiapan Kultur
c. Pembuatan Inokulum
Inokulum disimpan selama 2 bulan dengan dilakukan pengujian kadar air dan viabilitas
spora setiap minggu (prosedur analisa disajikan pada Lampiran 1). Rancangan percobaan yang
digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan faktor perlakuan komposisi substrat yang
terdiri atas 3 taraf yaitu: onggok dengan bekatul, onggok dengan bungkil kacang tanah dan
onggok dengan ampas tahu. Faktor lainnya adalah faktor lama penyimpanan yang terdiri atas 9
taraf, yaitu: minggu ke-0, minggu ke-1, minggu ke-2, minggu ke-3, minggu ke-4, minggu ke-5,
minggu ke-6, minggu ke-7, dan minggu ke-8. Uji analisa perubahan kadar air dan viabilitas spora
inokulum dapat dilihat pada Lampiran 3. Tiap perlakuan memiliki dua kali ulangan. Model
rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik et al., 2000):
Keterangan:
Yijk = nilai pengamatan
μ = rata-rata sebenarnya
αi = pengaruh faktor α (komposisi substrat) pada taraf ke-i (i: onggok+bekatul,
onggok+ampas tahu, onggok+bungkil kacang tanah)
βj = pengaruh faktor β (lama penyimpanan) pada taraf ke-j (j: 1,2,3,4,5,6,7,8)
(αβ)ij = pengaruh interaksi faktor α taraf ke-i dengan faktor β taraf ke-j
εijk = galat / error
27
Data yang dihasilkan dianalisis dengan ANOVA menggunakan Statistic Analysis
Software (SAS) dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%. Apabila didapatkan hasil yang
berpengaruh nyata, maka akan dilakukan uji lanjut Duncan untuk mengetahui perbedaan
perlakuan yang ada.
Tongkol jagung yang telah dikeringkan, harus dipotong kecil-kecil dan digiling
dengan hammer mills, kemudian digiling kembali dengan hammer mills yang disaring
dengan menggunakan pengayak 40 mesh sehingga dapat menjadi tepung yang lebih halus.
Tahap selanjutnya adalah melakukan analisis komponen bahan yang meliputi analisa
komponen proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar, dan karbohidrat (by
difference)), total gula dan gula pereduksi. Prosedur analisa dapat dilihat pada Lampiran 1.
Dari hasil uji viabilitas didapatkan inokulum dengan viabilitas spora tertinggi dari
setiap kapang dan substrat yang digunakan. Inokulum tersebut diinokulasikan ke tongkol
jagung untuk diujikan kemampuan inokulum tersebut dalam menghidrolisis tongkol jagung.
Substrat tongkol jagung disiapkan sebanyak 100 g dan dicampur dengan air sebanyak 150
ml. Substrat ini kemudian disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit.
Sebanyak 100 g tongkol jagung dibagi ke dalam wadah plastik dan diinokulasikan inokulum
spora sebanyak 15 g (15% g/g), kemudian dicampurkan secara aseptis. Setelah itu ditutup
dengan kertas buram dan diinkubasikan selama 9 hari. Setelah itu tongkol jagung yang telah
dihidrolisis dipanen dan dikeringkan. Gambar hasil kultivasi tongkol jagung oleh kedua
kapang tersebut dapat dapat dilihat pada Lampiran 4.
28
Berikut merupakan rumus statistik uji pembanding rata-rata populasi 2 sampel
dengan nilai statistik t (uji pembeda t) (Iriawan, 2006):
29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PRODUKSI INOKULUM
Substrat yang digunakan terdiri dari onggok (ampas tapioka), bekatul, bungkil kacang
tanah dan ampas tahu. Substrat tersebut dipilih dikarenakan mudah untuk diperoleh dan
merupakan hasil samping dari industri pertanian.
Substrat yang digunakan harus dikecilkan ukurannya sampai sebesar 40 mesh dan
digunakan keadaan steril. Hal ini dilakukan agar kapang dapat tumbuh secara merata dan tidak
adanya mikroba lain yang tumbuh di dalam inokulum kapang tersebut. Selanjutnya substrat
tersebut dianalisis komponen proksimat untuk menentukan jumlah nitrogen dan karbon di dalam
media tersebut. Jumlah karbon diambil dengan melakukan pendekatan analisa karbohidrat (by
difference). Jumlah nitrogen diambil dengan melakukan pendekatan analisa protein kasar. Nisbah
karbon dan protein ini digunakan untuk menentukan perbandingan nilai C/N yang terbaik untuk
pembuatan inokulum. Pada Tabel 2, diketahui bahwa media yang sesuai untuk pertumbuhan
kapang mengandung karbon sebanyak 40-63% (b.k) dan nitrogen sebanyak 7-10% (b.k).
Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa kandungan C/N adalah antara 4-9. Hasil analisa
proksimat onggok, bekatul, bungkil kacang tanah dan ampas tahu dapat dilihat pada Tabel 4.
30
Tabel 5. Hasil perhitungan komposisi campuran substrat inokulum dengan rasio C/N = 5/1
Komponen Onggok+bekatul Onggok+Bungkil Onggok+Ampas
(%b.k) Kacang Tanah (%b.k) Tahu (%b.k)
Persentase bobot 1,86 : 7,43 4,02 : 3,50 3,61: 4,71
Abu 10,50 3,56 2,81
Protein 10,76 13,31 12,03
Lemak 13,14 10,91 3,60
Serat Kasar 11,78 5,71 21,41
Karbohidrat 53,81 66,51 60,16
(by difference)
2. Pembuatan Inokulum
Inokulum merupakan bahan dalam bentuk padat maupun cair yang mengandung spora
atau konidia yang sengaja ditambahkan pada substrat. Tujuan dibuatnya spora kapang dalam
bentuk inokulum adalah untuk mempermudah penggunaan kapang tersebut dan membuat kapang
menjadi tahan lama untuk dapat digunakan langsung saat diperlukan.
Produksi inokulum dilakukan dengan menggunakan media yang telah dihitung
kombinasinya. Sebelum diinokulasi, media tersebut harus ditambahkan air untuk memberikan
kondisi pertumbuhan yang sesuai untuk kapang. Selain itu, substrat juga harus disterilkan untuk
menghindari tumbuhnya kapang lain.
Media substrat yang telah siap, dimasukkan ke dalam wadah plastik (baskom) yang telah
disterilkan dan dimasukkan ke dalam ruangan steril. Kapang yang telah disegarkan dengan
menggunakan media agar miring PDA diinokulasikan ke dalam media dan ditutup dengan
menggunakan kertas buram. Kertas buram digunakan karena kapang membutuhkan oksigen untuk
melakukan metabolisme dalam pertumbuhannya, namun untuk menghindari kontaminasi maka
wadah ditutup dengan menggunakan bahan yang tidak terlalu rapat seperti kertas buram.
Media yang telah diinokulasikan dengan kapang tersebut kemudian diinkubasikan
selama tiga hari untuk mendapatkan pertumbuhan kapang pada fase awal stasioner. Fase ini
dipilih karena spora kapang berada pada kondisi maksimal. Menurut Gandjar (2006), kapang
Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae cenderung mengalami fase stationer setelah diinkubasi
selama 3 hari.
Setelah pemanenan inokulum kapang selanjutnya dilakukan pengeringan inokulum
tersebut pada suhu 50°C selama satu hari. Suhu pengeringan ini tidak boleh terlalu tinggi
dikarenakan dapat mematikan spora kapang. Pengeringan dilakukan agar aktivitas metabolisme
kapang menjadi terhenti dikarenakan tidak memiliki kondisi kadar air yang sesuai bagi kapang
untuk melakukan metabolisme. Menurut Fardiaz (1989), air sangat mempengaruhi pertumbuhan
kapang dikarenakan air berfungsi sebagai reaktan dan struktur organ dari kapang.
Inokulum yang telah kering disimpan dalam plastik yang telah diberi klep serta disimpan
dalam stoples yang tahan terhadap uap air dari luar. Kemasan ini digunakan untuk menjaga agar
kadar air di dalam bahan tidak mengalami perubahan serta untuk mempermudah dalam pengujian
viabilitas spora. Jenis plastik yang digunakan adalah jenis polietilen. Menurut Sacharow dan
Griffin (1970), plastik jenis polietilen memiliki derajat kerapatan yang baik dan mempunyai
ketebalan 0,001 sampai 0,01 inchi. Dikarenakan hal inilah maka plastik polietilen baik digunakan
untuk menjaga kondisi suhu dan kelembapan inokulum. Selain itu jenis plastik ini juga mudah
diperoleh di pasaran sehingga dapat memudahkan masyarakat dalam penggunaannya.
Penyimpanan dilakukan dalam kondisi suhu ruang (28-32°C).
31
B. PERUBAH
P HAN KUALIITAS INOK
KULUM SE
ELAMA PEN
NYIMPANAN
Penguujian terhadap kualitas inokuulum dilakukan n setiap seminnggu sekali dengan melakukkan
ppengamatan seelama dua bulaan, sehingga dipperoleh sembillan titik pengujjian. Pengujiann yang dilakukkan
t
terdiri atas penngujian perubaahan kadar air dan viabilitas spora dari ketiiga jenis substrrat dan dua jennis
k
kapang tersebuut. Hasil sidik ragam
r (Lampiran 3), menunjjukan bahwa jeenis kapang beerpengaruh nyaata
t
terhadap perubbahan parameteer kualitas inokkulum selama penyimpanan.
p
1 Kadar Air
1. A
H
Hasil analisis raagam (Lampiraan 3) menunju ukan bahwa jennis substrat, lam
ma penyimpannan
dan interaaksi antara jeniis substrat dann lama penyimmpanan memberrikan pengaruhh nyata terhaddap
kadar air. Selanjutnya hasil
h uji lanjutt Duncan terhaadap komposissi substrat mennunjukan bahw wa
kadar air berbeda
b nyata pada
p semua peerlakuan kompo osisi substrat.
L
Lama penyimp panan mengakiibatkan kadar air di dalam bahan cenderrung bertambaah.
Menurut Buckle
B et al., (1985), peninggkatan kadar air
a dapat terjaddi karena adan nya metabolismme
mikoba yaang menghasilkkan air. Berdassarkan data anaalisis ragam menunjukan
m bahhwa jenis kapanng
berpengaruuh nyata terhhadap perubaahan parameteer kadar air bahan selamaa penyimpanaan.
Perubahann kadar air paada inokulum Rhizopus oryz yzae dan Trichhoderma viridee tersebut dappat
dilihat pad
da Gambar 3.
20
Kadar Air (%)
15
10 Bekatul + Onggok
O
Kacang Tan
nah + Onggok
5
Ampas Tahu
u + Onggok
-
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Umur Simpan
S Inokullum (Minggu))
20
Kadar Air (%)
15
10 Bekatul +On
nggok
Kacang Tan
nah + Onggok
5
Ampas Tahu
u +Onggok
-
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Umur Simpan
S Inokuulum (Minggu))
332
Berdasarkan data pada Lampiran 3.A dapat diketahui bahwa kadar air awal inokulum
Rhizopus oryzae lebih tinggi bila dibandingkan dengan kadar air awal inokulum Trichoderma
viride. Hal ini dikarenakan struktur kapang R.oryzae yang memiliki miselium yang cenderung
lebih rapat bila dibandingkan dengan kapang T.viride, sehingga mengakibatkan tingginya
kandungan air dalam inokulum (Dwidjoseputro, 1978).
Perubahan kadar air pada inokulum kapang Rhizopus oryzae cenderung lebih stabil bila
dibandingkan dengan perubahan kadar air pada inokulum kapang Trichoderma viride. Pada
inokulum kapang Rhizopus oryzae yang menggunakan substrat bekatul+onggok terjadi perubahan
dari 10,49% menjadi 10,18%, pada inokulum yang menggunakan substrat bungkil kacang
tanah+onggok terjadi perubahan dari 16,12% menjadi 17,08% dan pada inokulum ampas
tahu+onggok terjadi perubahan dari 12,39% menjadi 12,36%. Pada inokulum kapang
Trichoderma viride yang menggunakan substrat bekatul+onggok terjadi kenaikan dari 7,35%
menjadi 9,05%, pada inokulum yang menggunakan substrat bungkil kacang tanah+onggok terjadi
kenaikan dari 8,92% menjadi 9,95% dan pada inokulum yang menggunakan substrat ampas
tahu+onggok terjadi kenaikan dari 10,20% menjadi 12,51%.
Berdasarkan data peningkatan kadar air tersebut, inokulum kapang Rhizopus oryzae
cenderung lebih stabil bila dibandingkan dengan inokulum kapang Trichoderma viride. Adanya
perbedaan dari peningkatan kadar air pada inokulum kedua kapang tersebut ditentukan dari sifat
substrat yang digunakan serta jenis dari kapang yang digunakan. Bahan yang bersifat higroskopis,
cenderung lebih cepat menyerap uap air bila dibandingkan dengan bahan yang tidak mempunyai
sifat higroskopis. Ketiga jenis substrat kombinasi yang digunakan mempunyai sifat higroskopis
yang relatif sama, oleh sebab itu perubahan kadar air pada inokulum lebih cenderung ditentukan
oleh jenis kapang yang digunakan. Kapang Rhizopus oryzae memiliki miselium yang tidak
bersekat-sekat dan cenderung lebih rapat bila dibandingkan dengan kapang Trichoderma viride.
Hal inilah yang mengakibatkan uap air yang ada di udara menjadi sulit masuk ke dalam
inokulum, sehingga mengakibatkan inokulum kapang Rhizopus oryzae cenderung lebih stabil bila
dibandingkan dengan inokulum kapang Trichoderma viride.
Peningkatan kadar air juga dapat diakibatkan oleh adanya penetrasi uap air dari
lingkungan yang masuk ke dalam bahan. Kenaikan kadar air yang terjadi tidak terlalu tinggi
dikarenakan penyimpanan dilakukan pada tempat yang cenderung kering dan menggunakan
kemasan polietilen yang tahan terhadap uap air dari luar. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Sacharow dan Griffin (1970), plastik kemasan polietilen mempunyai daya proteksi yang baik
terhadap uap air akan tetapi kurang baik terhadap gas-gas yang lain seperti oksigen.
Inokulum kering bersifat higroskopis, sehingga mudah menyerap air yang ada di udara.
Semakin kecil kadar air inokulum dibandingkan dengan kadar air ruangan penyimpanan,
mengakibatkan semakin banyak uap air yang menyerap masuk ke dalam bahan untuk
menyeimbangkan kelembaban di dalam bahan dengan kelembaban yang ada di luar kemasan.
Adanya perbedaan kelembaban di dalam bahan dengan lingkungan di luar dapat mengakibatkan
terjadinya penetrasi uap air ke dalam bahan (Buckle et al., 1985).
2. Viabilitas Spora
Spora kapang tidak dapat tumbuh di dalam bahan inokulum yang sudah dikeringkan. Hal
ini diperkuat oleh Dwidjoseputro (1978), yaitu dalam keadaan nutrisi yang optimum, kapang
membiak dengan cepat sekali, namun apabila terjadi kekeringan, dapat mengakibatkan faktor
pembatas bagi pertumbuhan kapang. Hal inilah yang mengakibatkan selama penyimpanan spora
kapang tidak terjadi kenaikan jumlah spora di dalam inokulum tersebut.
Hasil analisis ragam viabilitas spora menunjukan bahwa jenis substrat, lama
penyimpanan dan interaksi antara jenis substrat dengan lama penyimpanan memberikan pengaruh
nyata pada viabilitas spora (Lampiran 3.B). Hasil dari uji lanjut Duncan diketahui bahwa
viabilitas spora pada substrat kombinasi antara bekatul dengan onggok tidak berbeda nyata
dengan substrat kombinasi antara ampas tahu dengan onggok, sedangkan untuk substrat
kombinasi bungkil kacang tanah dan onggok berbeda nyata dengan kedua bahan yang lain. Hal
ini menandakan bahwa viabilitas spora pada penggunaan substrat kombinasi bekatul dengan
onggok tidak berbeda jauh dengan substrat kombinasi pada ampas tahu dan onggok pada kedua
jenis kapang selulolitik yang digunakan.
33
Menurut Gaman dan Sherrington (1981), spora kapang merupakan bentuk germinasi dari
kapang yang merupakan alat untuk bereproduksi pada kapang secara aseksual. Spora untuk setiap
kapang selulolitik memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk dapat bertahan hidup pada
setiap media yang digunakan. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya perbedaan jumlah spora
yang dihasilkan pada setiap media.
Perbedaan pertumbuhan spora juga dapat diakibatkan oleh adanya faktor kematangan
spora pada saat proses pembuatan inokulum. Menurut Bilgrami dan Verma (1978), spora kapang
selama mengalami periode dorman melakukan penyempurnaan proses pematangan. Apabila spora
tersebut telah matang maka periode dorman digunakan sebagai periode menjalani istirahat
sebelum bergerminasi. Hal inilah yang mengakibatkan spora yang sudah matang akan lebih cepat
bergerminasi bila dibandingkan dengan spora yang belum cukup matang. Spora yang belum
cukup matang akan melakukan penyempurnaan kematangannya dengan menambah waktu
dormannya. Hal inilah yang juga mengakibatkan terjadinya perbedaan jumlah spora yang
dihasilkan oleh setiap kapang terhadap media inokulum yang digunakan.
Spora yang telah matang juga memiliki kelebihan bila dibandingkan dengan spora yang
belum terlalu matang. Hal ini diperkuat oleh Ilyas (2007), yaitu secara morfologis dan fisiologis
spora yang sudah matang akan memiliki ketahanan yang lebih terhadap perubahan kondisi
lingkungan. Hal inilah yang mengakibatkan perubahan viabilitas spora bagi spora yang viabilitas
awalnya tertinggi akan menjadi lebih dapat bertahan lama apabila dibandingkan dengan yang
viabilitas awalnya rendah.
Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 3) menunjukan bahwa jenis kapang
berpengaruh nyata terhadap perubahan parameter viabilitas spora pada inokulum selama
penyimpanan. Hasil analisis viabilitas spora pada kedua jenis kapang menunjukan terjadinya
penurunan jumlah spora. Hal ini dikarenakan adanya perubahan komponen nutrisi di dalam
substrat serta adanya kondisi lingkungan yang mempengaruhi inokulum tersebut. Hal ini
diperkuat oleh Frazier (1992), spora mikroba dapat berkurang kemampuannya untuk bergerminasi
dikarenakan kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Menurut Fardiaz (1989), faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan mikroba tersebut terdiri atas perubahan kadar air, oksigen, suhu, pH,
menurunnya kandungan nutrien di dalam bahan serta adanya komponen anti mikroba di dalam
bahan. Hal ini yang mengakibatkan semakin lama inokulum disimpan, maka akan semakin
berkurang jumlah spora yang ada di dalam inokulum tersebut.
Berdasarkan data hasil pengamatan viabilitas spora selama dua bulan untuk kapang
R.oryzae (Lampiran 3B), diketahui bahwa semakin lama penyimpanan inokulum mengakibatkan
spora dalam berbagai substrat mengalami penurunan. Data viabilitas spora dapat dilihat pada
Gambar 4. Pada substrat bekatul+onggok mengalami penurunan dari 106,13 x 107 menjadi 24,49
x 107 (spora/g bobot kering) atau mengalami penurunan sebesar 7,06%. Pada substrat bungkil
kacang tanah+onggok mengalami penurunan dari 21,46 x 107 menjadi 1,21 x 107 (spora/g bobot
kering) atau mengalami penurunan sebesar 15,01%. Pada substrat ampas tahu+onggok
mengalami penurunan dari 92,45x 107 menjadi 32,00 x 107 (spora/g bobot kering) atau
mengalami penurunan sebesar 6,66%.
Berdasarkan data hasil pengamatan viabilitas spora selama dua bulan untuk kapang
T.viride, diketahui bahwa semakin lama penyimpanan inokulum mengakibatkan spora dalam
berbagai substrat juga mengalami penurunan. Pada substrat bekatul+onggok mengalami
penurunan dari 75,01 x 107 menjadi 13,74 x 107 (spora/g bobot kering) atau mengalami
penurunan sebesar 8,3%. Pada substrat bungkil kacang tanah+onggok mengalami penurunan dari
11,53 x 107 menjadi 1,11 x 107 (spora/g bobot kering) atau mengalami penurunan sebesar
12,61%. Pada substrat ampas tahu+onggok mengalami penurunan dari 60,69 x 107 menjadi 12,00
x 107 (spora/g bobot kering) atau mengalami penurunan sebesar 8,01%.
Berdasarkan data hasil pengamatan viabilitas spora R.oryzae dan T.viride terhadap media
(Lampiran 3B), diperoleh hasil yang tidak berpengaruh signifikan antara substrat bekatul+onggok
dengan ampas tahu+onggok, sedangkan dengan substrat bungkil kacang tanah+onggok terdapat
perbedaan yang signifikan bila dibandingkan dengan kedua substrat yang lain. Hal ini
dikarenakan perbandingan media yang digunakan ini dilakukan berdasarkan persamaan nisbah
C/N yang diambil dari pendekatan karbohidrat by difference dan pendekatan protein kasar tanpa
memperhatikan perbandingan komposisi zat kimia lain pembentuk substrat inokulum. Substrat
inokulum bekatul+onggok dan ampas tahu+onggok memiliki komposisi serat kasar yang tinggi
dan kadar lemak yang rendah bila dibandingkan dengan substrat inokulum bungkil kacang
34
tanah+ong
ggok. Hal inillah yang mem
mpengaruhi peerbedaan jumlah spora yangg ada di dalaam
inokulum tersebut.
100
100
Jumlah Spora (%)
95
Bekatul + Onggok
O
90
Bungkil Kaacang Tanah +
85 Onggok
Ampas Tah
hu + Onggok
80
0 1 2 3 4 5 6 7 8
U
Umur Simpan
n Inokulum (M
Minggu) (b
b)
Gambar 4.
4 Perubahan viabilitas
v sporaa Rhizopus oryyzae (a) dan T
Trichoderma viride
v (b) selam
ma
penyimpanaan
Juumlah spora yaang sangat renndah pada substtrat kombinasi bungkil kacanng tanah+onggok
dikarenakaan adanya kan ndungan lemakk yang tinggi pada substratt tersebut. Adanya kandunggan
lemak yanng tinggi dapatt menghambat pertumbuhan bagi b mikroba sserta mempenggaruhi jumlah ssel
spora mik kroba tersebut.. Hal ini diperrkuat oleh MccNeil dan Harvvey (2008), yang mengatakkan
bahwa miinyak diperlukkan dalam pem mbuatan mediia, namun kanndungan jumlaah minyak yanng
terlalu baanyak dapat mengakibatkan
m minyak menu utupi substrat sehingga dappat menghambbat
pembentuk kan sel mikrobba. Hal ini menngakibatkan suubstrat inokuluum bekatul+onnggok dan amppas
tahu+ongggok menghasilkan sel sporra yang lebih tinggi bila ddibandingkan dengan substrrat
inokulum bungkil kacang tanah+onggook.
K
Kandungan seerat kasar di dalam substrrat dapat meemberikan pen ngaruh terhaddap
pertumbuh han kapang. Menurut
M Maynaard dan Looslii (1956), serat kasar menganndung komponnen
karbohidraat kompleks yaang hanya dapaat dicerna olehh mikroba, teruutama kapang. Kandungan
K serrat
kasar yang g tinggi di dalaam bahan akann dihidrolisis olleh kapang unttuk memberikaan sumber enerrgi
terhadap kapang
k dalam bentuk
b karbon.. Hal inilah yanng mengakibattkan persentasee kematian spoora
kapang dii dalam substrrat ampas tahuu+onggok leb bih kecil bila dibandingkan dengan substrrat
bekatul+onnggok.
335
Berdasarkan data hasil pengamatan viabilitas spora inokulum yang telah disimpan
selama dua bulan, diketahui bahwa substrat yang menghasilkan spora terbanyak adalah substrat
bekatul+onggok. Hal ini dikarenakan pada media ini mengandung nutrien yang baik untuk
mendukung pertumbuhan spora kapang. Hal ini diperkuat oleh Rachman (1989), yaitu media
untuk membentuk spora kapang pada media padat yang baik adalah dengan menggunakan media
dari biji-bijian seperti barley, bekatul dan jagung. Setyowati (2006) juga mengatakan bahwa
bekatul merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba dikarenakan mempunyai
kandungan karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin yang cukup banyak, sehingga cocok untuk
nutrisi bagi pertumbuhan mikroba. Nursalim dan Razali (2007), juga menambahkan bahwa
bekatul memiliki kandungan gizi yang tinggi dikarenakan mengandung mineral yang terdiri atas
kalsium (Ca), magnesium (Mg), mangan (Mn), besi (Fe), kalium (K) dan seng (Zn). Hal inilah
yang mengakibatkan bekatul menjadi media terbaik untuk menghasilkan inokulum spora kapang
Rhizopus oryzae dan Trichoderma viride.
Berdasarkan data hasil pengamatan viabilitas spora inokulum R.oryzae juga diperoleh
bahwa bila dibandingkan antara substrat bekatul+onggok dengan substrat ampas tahu+onggok
terdapat perbedaan yang tidak signifikan. Selain itu juga penurunan viabilitas terendah didapatkan
pada substrat ampas tahu+onggok. Hal ini dikarenakan substrat ampas tahu+onggok mengandung
kadar serat kasar yang tinggi sehingga dapat menjadi media pengisi bagi spora inokulum untuk
dapat bertahan hidup.
Jumlah spora yang terdapat di dalam inokulum T.viride dan R.oryzae masih menunjukan
hasil yang baik meskipun telah dilakukan penyimpanan selama dua bulan. Hal ini dilihat dari
jumlah spora yang masih tinggi dan penurunan viabilitas spora yang tidak terlalu tinggi. Menurut
Lindajati (1983) kandungan spora inokulum kapang yang terbaik adalah berkisar antara 107 – 108
spora/g. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan terhadap viabilitas spora T. viride
dan R. oryzae yang berkisar antara 107 -108 spora/g, sehingga dapat dikatakan bahwa inokulum
masih dalam keadaan baik untuk digunakan meskipun telah disimpan selama dua bulan.
Berdasarkan hasil uji proksimat terhadap tongkol jagung yang digunakan sebagai media
dalam penelitian ini mengandung komposisi yang disajikan dalam Tabel 6. Menurut Prihatman
(2000), kandungan protein serta serat kasar yang dapat memenuhi kebutuhan ternak ruminansia
masing-masing sebesar 8 % dan 15%. Jika dilihat dari data hasil uji proksimat tongkol jagung
yang diperoleh, maka perlu dilakukan peningkatan kandungan protein dan penurunan kandungan
serat kasar di dalam tongkol jagung tersebut sehingga dapat menjadi bahan pakan ternak yang
baik untuk ternak ruminansia.
36
Menurut Prihatman (2000), kandungan protein serta serat kasar yang dapat memenuhi
kebutuhan ternak ruminansia masing-masing sebesar 8% dan 15%. Jika dilihat dari data hasil uji
proksimat tongkol jagung yang diperoleh, maka perlu dilakukan peningkatan kandungan protein
dan penurunan kandungan serat kasar di dalam tongkol jagung tersebut sehingga dapat menjadi
bahan pakan ternak yang baik untuk ternak ruminansia.
Komponen protein yang rendah perlu ditingkatkan dengan cara menambahkan inokulum
kapang ke dalam tongkol jagung. Hal ini dikarenakan inokulum kapang mengandung komponen
protein yang tinggi sebagai komponen pembentuk sel kapang tersebut. Semakin banyak sel
kapang yang terbentuk maka akan meningkatkan kandungan protein di dalam bahan tersebut.
Komponen serat yang tinggi dapat mengakibatkan tongkol jagung menjadi sulit dicerna
oleh ternak. Komponen serat kasar yang terdapat di dalam tongkol jagung merupakan komponen
serat lignoselulosa yang terdiri atas komponen lignin, hemiselulosa dan selulosa dalam struktur
yang kompak. Kapang selulotik mempunyai kemampuan untuk menghidrolisis selulosa yang ada
di dalam bahan menjadi gula-gula sederhana. Oleh sebab itu, adanya hidrolisis menggunakan
kapang selulolitik akan menurunkan kadar serat kasar pada tongkol jagung. Kelemahan dari
kultivasi tongkol jagung menggunakan kapang selulolitik adalah adanya kandungan lignin di
dalam tongkol jagung yang masih cukup tinggi dikarenakan lignin sulit terhidrolisis oleh kapang
selulolitik, sehingga untuk mengoptimalkan hidrolisis tongkol jagung perlu dilakukan
pendegradasian kadar lignin di dalam bahan.
Inokulum kapang yang memiliki jumlah spora tertinggi dari setiap media yang
digunakan pada kapang T.viride dan R.oryzae merupakan inokulum yang menggunakan substrat
kombinasi bekatul+onggok. Hasil analisa kadar air dan viabilitas spora inokulum yang terbaik
dapat dilihat pada Lampiran 6. Inokulum yang terbaik kemudian dikultivasikan ke dalam tongkol
jagung untuk menghidrolisis tongkol jagung. Kultivasi dilakukan pada minggu keempat dan
minggu kedelapan dari lama penyimpanan yang telah dilakukan.
Tongkol jagung yang akan dihidrolisis harus dikeringkan terlebih dahulu agar dapat
diberikan perlakuan pengecilan ukuran terhadap tongkol jagung tersebut. Pengecilan ukuran
dilakukan untuk menghasilkan luas permukaan yang besar sebagai tempat tumbuhnya kapang
selulolitik, serta untuk memotong rantai amorf pada lapisan struktur lignoselulosa pada bahan
sehingga mempermudah dalam proses hidrolisis. Hal ini diperkuat oleh Meryandini (2007),
hemiselulosa maupun lignin akan mengganggu aktivitas enzim selulase yang hanya spesifik
memotong ikatan β-1,4-glikosidik pada selulosa. Oleh sebab itu untuk meningkatkan luas
permukaan substrat maka tongkol jagung harus diperkecil ukurannya.
Tongkol jagung yang telah berukuran 40 mesh tersebut ditambahkan dengan air dengan
perbandingan tongkol jagung : air adalah 2 : 3. Penambahan air ini dilakukan untuk membuat
kadar air di dalam bahan menjadi sekitar 60 - 68% agar kapang dapat tumbuh dengan baik pada
media tersebut. Hal ini diperkuat oleh Fardiaz (1989), bahwa jika kadar air bahan yang digunakan
untuk kultivasi dibawah 62% maka akan menyebabkan pertumbuhan kapang menjadi terhambat.
Tongkol jagung yang telah mengandung kadar air sekitar 60-68% disterilkan dengan
menggunakan autoklaf. Ruangan tempat inokulasi dan inkubator ruang kultivasi perlu disterilkan
juga agar tidak terjadi kontaminasi mikroba lain yang dapat mengganggu proses hidrolisis
terhadap tongkol jagung. Menurut Riadi (2007), sterilisasi merupakan suatu proses yang
bertujuan untuk membunuh mikroba yang mengakibatkan tidak terdapatnya mikroba di dalam
bahan maupun area tersebut.
Inokulasi spora ke dalam media tongkol jagung dilakukan dengan menggunakan
perbandingan bobot inokulum sebanyak 15% dari bobot tongkol jagung dalam setiap media
inokulasi. Hal ini diperkuat oleh Fakhrudin (1995) dalam penelitiannya untuk memproduksi
enzim selulosa menggunakan substrat campuran tandan kosong dan sabut kelapa sawit. Perlakuan
pengadukan perlu dilakukan setelah spora diinokulasikan ke dalam media tongkol jagung.
Pengadukan diperlukan untuk memperbesar kontak antara enzim selulase dan komponen selulosa
sehingga dapat meningkatkan aktivitas enzim selulase secara merata (Meryandini, 2007).
Kemudian media yang telah berisi spora ditutup dengan menggunakan kertas buram agar oksigen
dapat tetap masuk (Arbianto, 1980) dan disimpan di dalam inkubator.
37
Kultivasi dilakukan selama sembilan hari. Hal ini berdasarkan penelitian sebelumnya
diketahui bahwa kedua jenis kapang tersebut dapat menurunkan kadar serat tertinggi pada
kultivasi yang dilakukan selama sembilan hari. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, selama
kultivasi perlu dilakukan penjagaan terhadap kondisi lingkungan sekitarnya. Hal ini dikarenakan
menurut Arbianto (1980), faktor lingkungan seperti perubahan kandungan nutrien bahan,
kandungan air bahan, pH, kelembaban, ketersediaan oksigen serta aerasi perlu dijaga agar
aktivitas hidrolisis yang dilakukan kapang dapat terjadi secara optimal. Suhu yang digunakan
selama proses inkubasi adalah suhu ruang, yaitu berkisar antara 25 – 37 ºC. Hal ini dikarenakan
suhu optimal untuk kapang Trichoderma viride adalah 32-35°C (Enari, 1983), sedangkan suhu
yang optimal untuk kapang Rhizopus oryzae adalah sekitar 25 - 37ºC (Steinkraus et al., 1960).
Setelah dilakukan kultivasi selama 9 hari, maka dilakukan pemanenan terhadap tongkol
jagung tersebut. Pemanenan dilakukan dengan cara pengeringan pada suhu 50°C selama satu hari
agar mikroba tidak dapat tumbuh dan spora menjadi dorman. Hasil dari kultivasi itu kemudian
dilakukan pengujian terhadap parameter perubahan-perubahan komposisi kimia di dalam tongkol
jagung dengan menggunakan analisa proksimat. Hasil analisa parameter perubahan komposisi
kimia di dalam tongkol jagung sebelum dan setelah kultivasi dapat dilihat pada Tabel 7.
a. Kadar Air
Berdasarkan hasil analisis ragam kadar air (Lampiran 5.A dan Tabel 7)
menunjukkan bahwa lama penyimpanan setiap jenis kapang berpengaruh nyata terhadap
perubahan kadar air tongkol jagung pada setiap jenis kapang. Kadar air tongkol jagung yang
dikultivasi dengan inokulum kapang yang disimpan selama 4 minggu lebih besar bila
dibandingkan dengan inokulum kapang yang disimpan selama 8 minggu.
Perbedaan kadar air terjadi akibat proses hidrolisis komponen selulosa substrat oleh
enzim selulase yang dihasilkan kapang. Menurut Pelczar et al. (1974), untuk melakukan
proses hidrolisis komponen selulosa, kapang membutuhkan air dalam jumlah yang besar. Air
tersebut dapat diperoleh dari media tempat tumbuhnya kapang tersebut. Hal inilah yang
mengakibatkan kadar air yang dikonsumsi oleh kapang yang disimpan selama 4 minggu lebih
besar dibandingkan dengan kapang yang disimpan selama 8 minggu dikarenakan jumlah
spora kapang yang semakin berkurang.
38
Pengaruh lain yang mengakibatkan penurunan kadar air tongkol jagung adalah
lamanya penyimpanan tongkol jagung tersebut. Semakin lama tongkol jagung disimpan
maka dapat mengakibatkan penurunan kadar air di dalam tongkol jagung. Hal ini diperkuat
oleh Aprianie (2009), dalam penelitiannya tentang penurunan kadar air pada tongkol jagung
didapatkan hasil bahwa apabila tongkol jagung disimpan dalam waktu tertentu akan
mengakibatkan penurunan kadar air. Hal ini dikarenakan tongkol jagung tidak bersifat
higroskopis, sehingga pada suhu kamar, penguapan akan berlangsung cukup cepat
dikarenakan bahan akan mengeluarkan kadar air bebas yang dikandungnya untuk
mempertahankan kelembaban dan mencegah kehilangan air yang lebih besar. Hal inilah yang
mengakibatkan kadar air tongkol jagung yang telah dikultivasi dengan inokulum yang
disimpan selama 8 minggu lebih rendah bila dibandingkan dengan inokulum yang disimpan
selama 4 minggu, begitu pula dengan tongkol jagung yang belum dikultivasi.
b. Kadar Abu
Berdasarkan hasil analisis ragam kadar abu (Lampiran 5.B dan Tabel 7)
menunjukkan bahwa lama penyimpanan inokulum kapang tidak berpengaruh nyata terhadap
kadar abu tongkol jagung pada inokulum kapang Rhizopus oryzae sedangkan pada inokulum
kapang Trichoderma viride lama penyimpanan inokulum kapang berpengaruh nyata dengan
kadar abu tongkol jagung. Hal ini menandakan adanya penurunan kuantitas spora kapang
pada inokulum Rhizopus oryzae tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu tongkol jagung
sebaliknya pada inokulum Trichoderma viride adanya penurunan kuantitas spora kapang
memberikan pengaruh nyata pada penurunan kadar abu tongkol jagung.
Berdasarkan Lampiran 7 diketahui bahwa kadar abu tongkol jagung pada awal
sebelum dikultivasi adalah sebesar 3,18%. Adanya penambahan spora kapang
mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar abu pada tongkol jagung. Peningkatan yang
terjadi adalah sebesar 0,47% pada inokulum Rhizopus oryzae yang disimpan selama 4
minggu dan sebesar 0,8% pada inokulum Rhizopus oryzae yang disimpan selama 8 minggu.
Peningkatan juga terjadi pada inkulum inokulum Trichoderma viride yaitu sebesar 0,05%
pada inokulum yang disimpan selama 4 minggu dan sebesar 0,81% pada inokulum yang
disimpan selama 8 minggu.
Adanya penambahan inokulum kapang ke dalam tongkol jagung mengakibatkan
terjadinya kenaikan kadar abu pada tongkol jagung. Hal ini dikarenakan menurut Cowan dan
Talaro (2009), struktur sel mikroba terdiri atas DNA, nukleus, plasmid dan mitokondria,
dinding sel serta unsur pembentuk tubuh lainnya. Unsur-unsur tersebut mengandung mineral
yang digunakan untuk menyusun setiap komponen sel di dalam tubuh mikroba. Hal inilah
yang mengakibatkan di dalam spora kapang terdapat kandungan mineral yang akan
meningkatkan kadar abu di dalam tongkol jagung yang telah dikultivasi.
c. Kadar Protein
Hasil analisis ragam kadar protein (Lampiran 5.C dan Tabel 7) menunjukkan bahwa
lama penyimpanan inokulum kapang tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein tongkol
jagung pada setiap jenis kapang. Hal ini menandakan adanya penurunan jumlah spora kapang
tidak mempengaruhi kadar protein tongkol jagung yang dihasilkan.
Berdasarkan Lampiran 7 diketahui bahwa kadar protein tongkol jagung pada awal
sebelum dikultivasi adalah sebesar 2,18%. Adanya penambahan spora kapang
mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar protein pada tongkol jagung. Peningkatan yang
terjadi adalah sebesar 4,25% pada inokulum Rhizopus oryzae yang disimpan selama 4
minggu dan sebesar 4,29% pada inokulum Rhizopus oryzae yang disimpan selama 8 minggu.
Peningkatan juga terjadi pada inkulum inokulum Trichoderma viride yaitu sebesar 3,33%
pada inokulum yang disimpan selama 4 minggu dan sebesar 3,13% pada inokulum yang
disimpan selama 8 minggu.
39
Adanya penambahan substrat bekatul+onggok akan mengakibatkan peningkatan
kadar protein pada tongkol jagung menjadi sebesar 2,18% yang dapat dilihat pada Lampiran
7. Selain dikarenakan adanya penambahan substrat bekatul+onggok, kenaikan kadar protein
ini juga disebabkan karena adanya peningkatan biomassa kapang. Biomassa kapang
mengandung nitrogen sebesar 7 - 10% (Stanbury dan Whitaker, 1984) dan protein sebesar
14 - 44% bobot kering (Griffin, 1981).
Kenaikan kadar protein di dalam tongkol jagung dengan kultivasi menggunakan
inokulum kapang Rhizopus oryzae lebih tinggi bila dibandingkan dengan menggunakan
inokulum kapang Trichoderma viride. Hal ini dikarenakan menurut Gandjar (2006), setiap
kapang memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim protease yang dapat menghidrolisis
protein menjadi asam amino yang dibutuhkan oleh kapang untuk pertumbuhan. Kapang yang
memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim protease yang cukup baik adalah kapang
Rhizopus oryzae. Menurut Sumanti (2005), adanya proses perombakan protein pada substrat
menjadi asam-asam amino akan meningkatkan komposisi nitrogen terlarut di dalam bahan.
Hal inilah yang mengakibatkan kapang Rhizopus oryzae menghasilkan protein yang lebih
baik bila dibandingkan dengan kapang Trichoderma viride.
Adanya peningkatan kadar protein pada tongkol jagung akan mendukung kegunaan
tongkol jagung sebagai pakan ternak. Menurut Prihatman (2000), kandungan protein yang
dapat memenuhi kebutuhan ternak ruminansia adalah sebesar 8 %. Jika dilihat dari kenaikan
kadar protein di dalam tongkol jagung yang telah dikultivasi, maka diketahui bahwa tongkol
jagung tersebut masih belum layak digunakan sebagai pakan ternak tunggal. Penggunaan
tongkol jagung yang telah dikultivasi sebagai pakan ternak perlu ditambahkan dengan
sumber protein tambahan, sehingga dapat mencukupi kebutuhan protein pada ternak.
d. Kadar Lemak
Berdasarkan analisis ragam kadar lemak (Lampiran 5.D dan Tabel 7) menunjukkan
bahwa lama penyimpanan inokulum kapang tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak
tongkol jagung pada setiap jenis kapang. Hal ini menandakan adanya penurunan jumlah
spora kapang tidak mempengaruhi kadar lemak tongkol jagung yang dihasilkan.
Berdasarkan Lampiran 7 diketahui bahwa kadar lemak tongkol jagung pada awal
sebelum dikultivasi adalah sebesar 3,97%. Adanya penambahan spora kapang
mengakibatkan terjadinya penurunan kadar lemak pada tongkol jagung. Penurunan yang
terjadi adalah sebesar 0,01% pada inokulum Rhizopus oryzae yang disimpan selama 4
minggu dan sebesar 0,27% pada inokulum Rhizopus oryzae yang disimpan selama 8 minggu.
Penurunan juga terjadi pada inkulum inokulum Trichoderma viride yaitu sebesar 1,59%
pada inokulum yang disimpan selama 4 minggu dan sebesar 1,75% pada inokulum yang
disimpan selama 8 minggu.
Penurunan kadar lemak pada tongkol jagung terjadi dikarenakan kapang dapat
menghasilkan lipase, sehingga dapat mendegradasi lemak untuk menjadi sumber karbon
(Gandjar, 2006). Menurut Rapp dan Backhaus (1992), kapang melakukan degradasi lemak
dengan cara mensekresikan enzim lipase ke bahan untuk mengubah lemak tersebut sebelum
dimasukkan ke dalam sel. Proses degradasi lemak tersebut dilakukan dengan cara pemutusan
ikatan gliserol pada triasilgliserol menjadi diasilgliserol, monogliserol serta asam lemak dan
gliserol (Ratledge dan Tan, 1990). Hal inilah yang mengakibatkan kapang dapat
mendegradasi lapisan lemak yang ada di dalam bahan untuk sumber energi meskipun tidak
terlalu besar.
Berdasarkan analisis ragam kadar serat kasar (Lampiran 5.E dan Tabel 7)
menunjukkan bahwa lama penyimpanan inokulum kapang tidak berpengaruh nyata terhadap
kadar serat kasar tongkol jagung pada setiap jenis kapang. Hal ini menandakan adanya
40
penurunan jumlah spora kapang tidak mempengaruhi kadar serat kasar tongkol jagung yang
dihasilkan.
Berdasarkan Lampiran 7 diketahui bahwa kadar serat kasar tongkol jagung pada
awal sebelum dikultivasi adalah sebesar 77,11%. Adanya penambahan spora kapang
mengakibatkan terjadinya penurunan kadar serat kasar pada tongkol jagung. Penurunan yang
terjadi adalah sebesar 31,35% pada inokulum Rhizopus oryzae yang disimpan selama 4
minggu dan sebesar 30,05% pada inokulum Rhizopus oryzae yang disimpan selama 8
minggu. Penurunan juga terjadi pada inkulum inokulum Trichoderma viride yaitu sebesar
30,03% pada inokulum yang disimpan selama 4 minggu dan sebesar 29,63% pada inokulum
yang disimpan selama 8 minggu.
Serat kasar terdiri atas lignin, selulosa dan hemiselulosa yang saling berikatan yang
disebut sebagai lignoselulosa. Ikatan yang sangat kompleks ini mengakibatkan kapang
selulolitik tidak dapat melakukan hidrolisis terhadap selulosa dan hemiselulosa di dalam
bahan dengan sempurna (Orth et al., 1993). Adanya penurunan kadar serat tongkol jagung
yang kurang maksimal dikarenakan ada beberapa bagian dalam tongkol jagung yang
berikatan dengan lignin sehingga menjadi ikatan lignoselulosa.
Kapang selulolitik dapat menghidrolisis serat di dalam bahan, serat yang dapat
dihidrolisis adalah selulosa dan hemiselulosa. Menurut Perez et al. (2002), selulosa
merupakan polimer glukosa dengan ikatan β-1,4 glukosida dalam rantai lurus. Selulosa dapat
dihidrolisis dengan menggunakan enzim selulase. Selulase merupakan enzim yang termasuk
dalam kelompok enzim yang terdiri atas endoglukanase, eksoglukanase dan β-glukosidase
(Maheshwari, 2005). Endoglukanase merupakan enzim yang dapat menghidrolisis daerah
amorf selulosa secara acak. Enzim ini dapat membentuk oligosakarida dengan panjang rantai
yang berbeda-beda dan membentuk ujung rantai non-pereduksi (Sinegani dan Emtiazi, 2006).
Eksoglukanase merupakan komponen enzim yang produk hidrolisis utamanya adalah
selobiosa. Enzim ini memecah selulosa dengan cara menghilangkan ujung akhir gugus
selobiosa pada rantai selulosa (Raja dan Shafiq-Ur-Rehman, 2008). β-glukosidase merupakan
enzim yang dapat memutuskan unit glukosa secara spesifik dari ujung nonpereduksi dari
selo-oligosakarida (Sinegani dan Emtiazi, 2006). Hal inilah yang mengakibatkan selulosa
dapat dihidrolisis oleh kapang selulolitik menjadi glukosa dan gula-gula sederhana.
Hemiselulosa tersusun atas ikatan β 1-4 pentosa yang berikatan dengan ikatan
hidrogen terhadap selulosa dan ikatan kovalen terhadap lignin (Maheshwari, 2005).
Hemiselulosa merupakan polisakarida yang mempunyai tingkat degradasi lebih baik bila
dibandingkan selulosa dan lignin (Suparjo, 2008). Menurut Tjokroadikoesoemo (1986),
Hemiselulosa merupakan polimer dari sejumlah sakarida yang berbeda-beda, yaitu: D-xilosa,
L-arabinosa, D-galaktosa, D-glukosa, dan D-glukoronat. Berbeda dengan selulosa,
hemiselulosa berbentuk amorf. Hal ini mengakibatkan hemiselulosa di dalam bahan lebih
mudah dihidrolisis oleh kapang selulolitik. Adanya serat yang dihidrolisis mengakibatkan
glukosa dan gula-gula sederhana di dalam bahan bertambah.
Penurunan serat kasar pada tongkol jagung yang dikultivasi dengan kapang
Trichoderma viride serta tongkol jagung yang dikultivasi dengan kapang Rhizopus oryzae
tidak terlalu berbeda dikarenakan kedua jenis kapang tersebut hanya dapat menghidrolisis
sebagian dari serat tongkol jagung akibat adanya ikatan lignoselulosa. Hidrolisis yang tidak
sempurna ini mengakibatkan terjadinya kesulitan dalam membedakan kemampuan kedua
jenis kapang selulotik dalam menghidrolisis serat kasar di dalam tongkol jagung.
f. Total Gula
Berdasarkan analisis ragam total gula (Lampiran 5.F dan Tabel 7) menunjukkan
bahwa lama penyimpanan inokulum kapang tidak berpengaruh nyata terhadap total gula
tongkol jagung pada setiap jenis kapang. Hal ini menandakan adanya penurunan jumlah
spora kapang tidak mempengaruhi total gula tongkol jagung yang dihasilkan.
Total gula di dalam tongkol jagung yang dikultivasi dengan menggunakan inokulum
kapang Rhizopus oryzae yang disimpan selama 4 minggu dan 8 minggu mengalami
penurunan sebesar 53,6 ppm dan 44,73 ppm, sedangkan kultivasi dengan menggunakan
inokulum kapang Trichoderma viride yang disimpan selama 4 minggu dan 8 minggu
41
mengalami penurunan sebesar 34,48 ppm dan 30,31 ppm. Hal ini dikarenakan kapang
mengkonsumsi gula yang ada di dalam substrat, sehingga berkurangnya jumlah spora kapang
mengakibatkan penurunan total gula dalam tongkol jagung menjadi makin rendah. Hal ini
diperkuat oleh Gandjar (2006) yang mengatakan bahwa kapang membutuhkan nutrisi-nutrisi
untuk pertumbuhannya, seperti gula, lemak, protein dan zat-zat kimia lainnya yang diambil
dari substrat.
Total gula pada tongkol jagung yang dikultivasi dengan kapang Trichoderma viride
lebih besar bila dibandingkan dengan kapang Rhizopus oryzae. Hal ini dikarenakan dalam
pengukuran total gula semua gula sederhana, oligosakarida dan turunannya dapat bereaksi
dengan fenol dalam asam sulfat pekat, sehingga hemiselulosa, selulosa dan turunannya ikut
bereaksi dengan fenol, sehingga menghasilkan total gula yang lebih tinggi. Hal ini dapat
dilihat dari lebih besarnya kandungan serat kasar tongkol jagung yang dihidrolisis kapang
Trichoderma viride dibandingkan dengan tongkol jagung yang dihidrolisis kapang Rhizopus
oryzae.
g. Gula Pereduksi
h. Derajat Polimerisasi
42
dan sebesar 3,16 pada inokulum yang disimpan selama delapan hari. Penurunan DP juga
terjadi pada tongkol jagung yang dikultivasi dengan menggunakan inokulum kapang
Trichoderma viride yaitu menjadi sebesar 2,19 pada inokulum yang disimpan selama empat
hari dan sebesar 2,30 pada inokulum yang disimpan selama delapan hari.
Penurunan derajat polimerisasi di dalam tongkol jagung menjadi antara 2 sampai 20
menunjukkan dihasilkannya gula dalam bentuk oligosakarida (Deman, 1997). Penurunan ini
diakibatkan adanya perubahan selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana akibat
enzim selulase yang dihasilkan oleh inokulum kapang. Pembentukan gula oligosakarida yang
dihasilkan memberikan pengaruh terhadap peningkatan nilai nutrisional di dalam tongkol
jagung. Hal ini dikarenakan menurut Van Der Kapm et al. (2004), oligosakarida digunakan
sebagai alternatif pengganti antibiotik dalam usaha peningkatan produksi ternak dikarenakan
berfungsi sebagai senyawa prebiotik. Prebiotik merupakan zat yang digunakan oleh mikroba
yang untuk sumber makanan bagi pertumbuhan mikroba tersebut. Menurut Fahey et al.
(2004), prebiotik yang berbasis oligosakarida dapat membantu pertumbuhan populasi
mikroba yang ada di dalam saluran pencernaan pada ternak, sehingga saluran pencernaan
pada ternak dapat berjalan dengan baik.
43
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Inokulum kapang Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae yang disimpan selama dua bulan
mengalami penurunan viabilitas spora dan peningkatan kadar air. Inokulum yang memiliki viabilitas
spora terbaik pada kedua jenis kapang tersebut adalah inokulum yang menggunakan substrat
campuran bekatul dengan onggok. Peningkatan kadar air juga terdapat di dalam inokulum, namun
pengaruh kenaikan air di dalam inokulum tidak terlalu signifikan, sehingga spora kapang tetap dapat
bertahan lama dalam keadaan dorman.
Pengujian terhadap perubahan kualitas inokulum kapang Trichoderma viride dan Rhizopus
oryzae dilakukan dengan menggunakan substrat tongkol jagung. Pengaruh hidrolisis kapang terhadap
tongkol jagung dapat dilihat pada perubahan komposisi kadar serat kasar di dalam tongkol jagung
menjadi glukosa dan gula-gula sederhana. Hasil hidrolisis serat kasar menandakan bahwa serat kasar
di dalam tongkol jagung berkurang hampir sebesar 41-42%. Kedua jenis kapang tersebut
menghasilkan pola penurunan yang hampir sama.
Kapang Trichoderma viride menunjukan hasil hidrolisis yang lebih baik bila dibandingkan
dengan kapang Rhizopus oryzae, hal ini ditandai dengan adanya kenaikan gula pereduksi pada tongkol
jagung menjadi 50,04 ppm pada inokulum yang disimpan selama empat minggu dan 50,5 ppm pada
inokulum yang disimpan selama delapan minggu, sedangkan pada inokulum Rhizopus oryzae hanya
menjadi sebesar 41,03 ppm pada inokulum yang disimpan selama empat minggu dan 31,77 ppm yang
disimpan selama delapan minggu.
Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukan bahwa inokulum kapang Trichoderma viride
dan Rhizopus oryzae yang disimpan selama dua bulan dalam kondisi kering dengan suhu kamar (15-
32°C) masih baik digunakan untuk menghidrolisis tongkol jagung dan dapat diaplikasikan langsung di
masyarakat.
B. SARAN
Perlu dilakukan peningkatan terhadap hasil hidrolisis kadar serat pada tongkol jagung dengan
cara menghilangkan lignin yang ada di dalam tongkol jagung terlebih dahulu sebelum dihidrolisis
sehingga diperoleh hasil hidrolisis yang terbaik.
Apabila penelitian ini hendak diaplikasikan secara langsung ke masyarakat, perlu dilakukan
kajian penggandaan skala produksi inokulum, kondisi penyimpanan inokulum, serta wadah kultivasi
tongkol jagung, sehingga dapat digunakan langsung untuk menghasilkan pakan ternak yang
berkualitas.
44
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1996. SNI. Standar Nasional Indonesia no 01-4228-1996 tentang Standar Mutu Bungkil
Kacang Tanah. Jakarta.
AOAC. 1995. Official Methods Analysis The Association of Official Analytical Chemist 14thed.
Virginia: AOAC, Inc. Arlinton.
Alexopoulos, C.J. dan C.W. Mims. 1979. Introduction Mycology 3rded. John Wiley & Sons. New
York.
Aprianie, V. 2009. Pengaruh Kadar Air dan Metode Penyimpanan Tongkol Jagung (Zea mays, L.)
terhadap Pertumbuhan Aspergillus flavus dan Pembentukan Aflatoksin. Skripsi TIN IPB.
Bogor.
Arbianto, P. 1980. The Indige4nous Fermented Food Process. Kumpulan Paper Fermented Food II.
Pusbangtepa IPB. Bogor.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wooton. 1985. Ilmu Pangan. Terjemahan Hari
Purnomo. UI Press. Jakarta.
Bilgrami, K.S. dan R.N. Verma. 1978. Physiology of Fungi. Vikas Publishing House Pvt. Ltd. New
Dehli.
Clemants, L.D dan S.R. Beek. 1985. Best Available Technology Plant for Conversion of Cotton Gin
Residues (Celulose Waste) to Etanol. Biotechnol. Bioeng. Symp. 15: 579-598.
Chalal, D.S. 1985. Solid State Fermentation with Trichoderma ressei. Appl. Environt. Microbiol
49(1):205-210.
Coughlan, M.P. 1989. Enzyme System for Lignocellulose Degradation. Elsevier Applied Science.
London.
Cowan, M.K dan K.P. Talaro. 2009. Microbiology : A systems approach 2nded. McGraw-Hill
Companies, Inc. New York.
Doelle, H.W., D.A. Mitchell dan C.E. Rolz. 1991. Solid Substrate Cultivation. Elsevier Applied
Sciene. London.
Dubois, M., K.A. Gills, J.K. Hamilton, P.A. Robbers dan E. Smith. 1956. Methods in Microbiology
(eds). J.K. Norris dan D.W. Ribbons. Acad. Press London, N.Y. pp. 272
Enari, T.M. 1983. Microbial Celullose. In: Forgaty, W.M. 1985. Microbial Enzymes and
Biotechnology. Appl.Sci.Publ. New York.
Fahey, G.C.Jr, E.A. Flickinger, A.M. Grieshop, K.W. Swanson. 2004. The Role of Dietary Fibre in
Companion Animal Nutrition. In: Van der Kamp, J.W., J.M. Jones, dan G. Schaafsma. 2004.
Dietary Fibre: Bioactive Carbohydrates for Food and Feed. Wageningen Academic
Publishers. Wageningen.
45
Fakhrudin, S. 1995. Produksi Spora dari Neurospora sitophila untuk Produksi Selulase menggunakan
Substrat Padat Campuran Tandan dan Sabut Kelapa Sawit. Skripsi. FATETA IPB. Bogor.
Frazier, W.C dan D.C. Westhoff. 1988. Food Microbiology 4thed. McGraw Hill Inc. Singapura.
Frazier, W.C. 1992. Food Microbiology. McGraw-Hill Book Company, Inc. New York.
Gandjar, I., R.A. Samson, K.V.D.T. Vermulen, A. Oetari, dan I. Santoso. 1999 Pengenalan Kapang
Tropik Umum. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Gandjar, I. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Gilbert, I. G. dan G. T. Tsao. 1983. Interaction Between Solia Substrat and Cellulase Enzyme in
Cellulose Hydrolysis In: Tsao, G.T. (ed). Annual Reports on Fermentation Processes. 6: 323-
358.
Gong, C.S., F.C. Li, C.F. Michael, dan T.S. George. 1981. Conversion of Hemicelullose
Carbohydrates. In: Fietcher, A. (ed). Advances in Biochemical Engineering Vol 20. Berlin.
Griffin, D.H. 1981. Fungal Physiology. John Willey and Sons Publication. New York.
Hawksworth, D.L. 1991. The Fungal Dimension Biodiversity: Magnitude, Significance and
Conservation. Mycological Research 95: 641-655.
Heseltine, C.W. 1982. Investigation of Tempeh, an Indonesian Food Develop. Indus. Microbial. 4.
Ikasari, L., D.A. Mitchell. dan D.M. Stuart. 1999. Response of Rhizopus oligosporus to temporal
temperature profiles in a model solid-state fermentation system. J.Biotechnol.Bioeng.Sep
64:722-8.
Ilyas, M. 2007. Uji Viabilitas Koleksi Kapang LIPI-MC dalam Ampul Penyimpanan Kering-Beku L-
drying setelah satu Tahun Penyimpanan pada suhu 5°C. J Biodiversitas 8(1):20-22.
Iriawan, N. 2006. Mengolah Data dengan Menggunakan Minitab 14. Andi Offset. Yogyakarta.
Johnson LA. 1991. Corn : Production, Processing, and Utilization. In: K.J. Lorentz dan K. Pulp (ed).
Handbook of Cereal Science and Technology. Marcell Dekker, Inc., New York.
Judoamidjojo, M., E.G. Sa’id, dan L. Hartoto. 1989. Biokonversi. Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lahoni, E. 2003. Pengetahuan Bahan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. IPB. Bogor.
Larry, R. 1977. Food and Beverage Mycology. Department of Food Science Agricultural Experiment
Station. University of Georgia.
Lindajati, T. 1983. Pengaruh Substrat Terhadap Daya Tahan Simpan Inokulum Tempe. Mikrobiologi
di Indonesia. Kumpulan Makalah Kongres Nasional Mikrobiologi ke III. Perhimpunan Ahli
Mikrobiologi Indonesia.
Lynd L.R., P.J. Weimer, W.H. van Zyl WH dan I.S. Pretorius. 2002. Microbial Cellulose Utilization:
Fundamentals and Biotechnology. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 66(3):506-577.
46
Maheshwari, R. 2005. Fungi: Experimental Models in Biology. Taylor and Francis Group CRC Press.
New York.
Mandels, M.R. 1982. Cellulase. In: D.Pearlman (ed.) Annual Reports on Fermentation Process. 5, 39-
44.
Maynard, L.A. dan J.K. Loosli. 1956. Animal Nutrition 4thed. McGraw-Hill Book Company. Inc.
New York.
Mattjik A.A, dan I.M. Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab.
IPB. Bogor.
McNeil, B dan L.M. Harvey. 2008. Practical Fermentation Technology. John Wiley & Sons Ltd.
England.
Meryandini, A. 2007. Karakterisasi Xilanase Aktinomiset Asal Indonesia dalam Upaya Menggali
Mikrob Penghasil Enzim Komersial. Laporan Jurnal Ilmiah IPB. Insititut Pertanian Bogor.
Bogor.
Miller, S.R. 1959. Germination Variation and Tolerances. Proceedings of the Association of Official
Seed Analysis, 51: 86-91.
Mitchell, D.A., H.W. Doelle dan P.F.Greenfield. 1988. Agar Plate Growth Studies of Rhizopus
oligosporus dan Aspergillus oryzae to Determine Their Sustability For Solid-state
Fermentation. Appl. Microbial. Biotechnology.
Nursalim, Y dan Z.Y. Razali. 2007. Bekatul Makanan yang Menyehatkan. Agromedia Pustaka.
Jakarta.
Orth A.B., D.J. Royse, M.Tien. 1993. Ubiquity of Lignindegrading Peroxidases among Various
Wood-Degrading Fungi. Appl Environ Microbiol 59:4017-4023.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UI Press. Jakarta.
Pasaribu, T.D. 1993. Silase kulit jagung manis dan pemanfaatannya sebagai bahan pakan domba ekor
tipis. Skripsi. Universitas Pakuan. Bogor.
Pelczar, M.J., R.D. Reid dan E.S.C. Chan. 1974. Microbiology 4thed. Tata McGrawHill Pub. Co.Ltd.
New Delhi .
Peppler, H.J. 1979. Microbial Technology Vol 1: Microbial Process. Academic Press. New York.
Perez, J., J.M. Dorado, T. Rubia, dan J. Martinez. 2002. Biodegradation and biological treatments of
cellulose, hemicellulose and lignin : an overview. Int. Microbiol 5: 53- 63.
Prihatman, K. 2000. Pakan Ternak. Jakarta: Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan,
Bappenas.
P.M. Gaman dan K.B. Sherrington. 1981. Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan
Mikrobiologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Poesponegoro, M. 1976. Fermentasi Substrat Padat. Laporan Ceramah Ilmiah Nasional. Lembaga
Kimia Nasional LIPI.
Rapp, P. dan S. Backhaus. 1992. Formation Of Extracellular Lipases By Filamentous Fungi, Yeasts,
And Bacteria. Enzyme Microbiol Technol 14.938-943.
47
Ratledge, C dan K.H. Tan. 1990. Oil and Fat: Production, Degradation, and Utilization by Yeasts. In:
Verachtert. H dan R.De Mot (ed.). 1990. Yeast: Biotechnology and Biocatalysis. Marcel
Dekker, Inc. New York.
Rifai, M.A. 1995. The biodiversity of Indonesian Micobial Diversity. Regional Workshop on Culture
Collection of Microorganisms in Southeast Asia. June 10-20, 1995. Gadjah Mada University.
Yogyakarta.
Sacharow. S. dan R.C. Griffin. 1980. Principle of Food Packaging. The AVI Publishing.
Co.Inc.Westport. Connecticut.
Sasaki, T. 1982. Enzymatic Saccharification of Rice Hull Cellulose. Trop. J Agric Res Japan 16
(2):144-150.
Setyowati, R. 2006. Pengaruh Penambahan Bekatul Terhadap Kadar Serat Kasar, Sifat Organoleptik
Dan Daya Terima Pada Pembuatan Tempe Kedelai (Glycine Max (L) Meriil). Karya Tulis
Ilmiah, Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Sinegani A.A.S, G. Emtiazi. 2006. The Relative Effects of Some Elements on DNS Method in
Celullase Assay. J Appl Sci Environ 10:93-96.
Smith, D dan A.H.S. Onions. 1994. The Preservation and Maintenance of Living Fungi second editon.
CAB International. United Kingdom.
Stanbury, P.F dan A. Whittaker. 1984. Principles of Fermentation Technology. Pergamon Press.
Oxford.255p.
Steinkraus, K.H., B.H. Yap, J.P. Buren, dan D.B. Hand. 1960. Studies on Tempeh, an Indonesian
Fermented Food. Food Res 25:77.
Taherzadeh M.J. 1999. Ethanol from Lignocellulose: Physiological Effects of Inhibitors and
Fermentation Strategies. [thesis]. Department of Chemical Reaction Engineering. Chalmers
University of Technology. Goteborg.
Tillman, A.D., Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1989. Ilmu Makanan Ternak
Dasar. Gadjah Mada University Press. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Tjokroadikoesoemo, P.S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Gramedia. Jakarta.
Van der Kamp, J.W., J.M. Jones, dan G. Schaafsma. 2004. Dietary Fibre: Bioactive Carbohydrates
for Food and Feed. Wagenigen Academic Publishers. Wagenigen.
Walker, G.M. 1999. Media for Industrial Fermentations. In: Robinson, K. dan C.A. Batt (ed.)
Enyclopedia of Food Microbiology. Academic Press. New York.
Wang, H.L., E.W. Swain dan C.W. Hesseltine. 1975. Mass Production of Rhizopus oligosporus
Spores and Their Application in Tempeh Fermentation. J. Food Sci.
Widyastuti, S.M. 2007. Peran Trichoderma dalam Revitalisasi Hutan Di Indonesia. Gajah Mada
University Press.Yogyakarta.
48
Winarno. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Volk, T.J., 2004. Trichoderma viride, the dark green parasitic mold and maker of fungal-digested
jeans. http ://botit. botany.wisc. edu/toms_fungi/ nov2004 .html.
49
Lampiran 1. Prosedur Pengujian
Sebanyak 2-3 g bahan dipanaskan dalam oven yang mempunyai suhu 105ºC sampai
diperoleh bobot yang konstan. Selanjutnya bahan dimasukkan ke dalam desikator dan kemudian
ditimbang. Rumus yang digunakan yaitu:
Bahan sebanyak 2-5 g dimasukkan ke dalam cawan porselen, kemudian dibakar sampai
tidak berasap, kemudian dimasukkan ke dalam tanur yang mempunyai suhu 550-600 ºC selama 4
jam. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Rumus yang digunakan, yaitu:
Bahan sebanyak 0,1-1 g didekstruksi dengan 2,5 ml H2SO4 pekat dengan katalisator
CuSO4 dan Na2SO4 sampai berwarna hijau jernih. Setelah itu dilakukan proses destilasi dengan
menambahkan 5 ml air suling dan 10-15 ml NaOH 50%, sebagai penampung digunakan 25 ml
H2SO4 0,02N dan 2-3 tetes indikator mengsel hingga cairan dalam penampung kurang lebih 50
ml. Hasil destilasi dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,02N. Prosedur analisis blanko
ditentukan seperti diatas tanpa menggunakan bahan yang dianalisa. Kadar protein dihitung
dengan rumus:
50
4. Kadar Lemak (SNI 01-2892-1992)
Timbang bahan sebanyak 3-5 g, kemudian dimasukkan ke dalam kertas saring yang
berbentuk tabung dan dimasukkan ke dalam tabung Soxhlet. Pasang tabung ekstraksi pada alat
distilasi, kemudian labu Soxhlet diisi pelarut heksana. Ekstraksi dilakukan selama 6 jam. Setelah
itu, selongsong yang berisi bahan dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 105ºC selama 1-2
jam. Timbang bobot selongsong tersebut. Kadar Lemak dapat dihitung dengan rumus:
Bahan sebanyak 1-2 g yang sudah dihilangkan kadar lemaknya dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 500 ml. Setelah itu dihidrolisis dengan cara ditambahkan 100 ml H2SO4 0,325N dan
dimasukkan ke dalam autoclave dengan suhu 105ºC selama 15 menit. Setelah itu bahan
didinginkan dan dihidrolisis kembali dengan ditambahkan 50 ml NaOH 1,25 N dan dimasukkan
ke dalam autoclave dengan suhu 105ºC selama 15 menit. Setelah siap, maka bahan disaring
dengan menggunakan kertas saring menggunakan bantuan pompa vakum. Cuci kertas saring
berturut-turut dengan air panas + 25 ml H2SO4 0,325N dan air panas + 25 ml alkohol. Angkat dan
keringkan kertas saring dalam oven dengan suhu 110ºC selama 1-2 jam. Kadar serat kasar dapat
dihitung dengan rumus:
B –B
Kadar serat (%) = 100%
Pertama-tama dilakukan penyiapan terhadap pereaksi DNS yang dilakukan dengan cara
mencampurkan larutan NaOH 1% dengan DNS 1%, fenol 0,2% dan natrium sulfit 0,05%. Contoh
yang mengandung gula pereduksi ditambahkan dengan pereaksi tersebut, kemudian dipanaskan
dengan penangas air selama 15 menit, setelah itu ditambahkan garam Rochelle 40% dan
didinginkan dalam suhu kamar. Setelah dingin dibaca OD nya dengan menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm untuk dibandingkan hasilnya dengan kurva
baku. Kemudian untuk menguji sampel, sampel sebanyak 1 ml ditambahkan dengan DNS 3 ml
dan dipanaskan selama 15 menit kemudian diukur dengan panjang gelombang 550 nm.
51
8. Total Viabilitas Spora (modifikasi Wang et al., 1975)
Pertama-tama air suling berisi 0,85% garam fisiologis dibuat dan dimasukkan ke dalam
tabung ulir. Kemudian inokulum sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam tabung ulir tersebut yang
berisi 9 ml air tersebut. Kemudian dikocok hingga merata dan dilakukan pengenceran sebanyak 7
kali. Kemudian 1 ml suspensi dituangkan ke dalam cawan petri yang berisi 10 ml PDA. Inkubasi
dilakukan selama 24 - 48 jam hingga koloni kapang tumbuh. Setelah itu dihitung jumlah koloni
yang tumbuh dengan didekatkan pada cahaya atau dengan menggunakan Quebec Colony
Counter.
52
Lampiran 2. Perhitungan Perbandingan Komposisi Substrat Inokulum
Maka pada perbandingan onggok : bekatul (1,86 : 7,43) diperoleh komposisi sebagai berikut:
Onggok + Bekatul
Komponen Onggok (% b.k) Bekatul (%b.k)
(%b.k)
Abu 0,43 10,07 10,50
Protein 0,39 10,37 10,76
Lemak 0,07 13,08 13,14
Serat Kasar 2,04 9,75 11,78
Karbohidrat by difference 17,10 36,71 53,81
53
Maka pada perbandingan onggok : bungkil kacang tanah (4,02 : 3,50) diperoleh komposisi
sebagai berikut:
Bungkil Kacang Onggok + Bungkil
Komponen Onggok (% b.k)
Tanah (%b.k) Kacang Tanah (%b.k)
Abu 1,16 2,41 3,56
Protein 1,04 12,27 13,31
Lemak 0,18 10,73 10,91
Serat Kasar 5,44 0,27 5,71
Karbohidrat by difference 45,65 20,87 66,51
Maka pada perbandingan onggok : ampas tahu (3,61: 4,71) diperoleh komposisi sebagai berikut:
Komponen Onggok Ampas Tahu Onggok + Ampas
(% b.k) (%b.k) Tahu (%b.k)
Abu 0,94 1,87 2,81
Protein 0,84 11,18 12,03
Lemak 0,14 3,45 3,60
Serat Kasar 4,42 16,99 21,41
Karbohidrat by difference 37,07 23,09 60,16
54
Lampiran 3. Data Perubahan Parameter Penyimpanan Inokulum
55
Dikarenakan ada data yang berpengaruh signifikan, maka dilakukan uji lanjut Duncan pada
faktor bahan:
Dikarenakan ada data yang berpengaruh signifikan, maka dilakukan uji lanjut Duncan pada
faktor umur inokulum:
Umur
Simpan Jumlah Kadar Air
Grup Duncan *
Inokulum Sampel Rata-Rata (%)
(Minggu)
0 6 12,99 A
1 6 12,96 A
2 6 13,64 B
3 6 13,39 C
4 6 13,35 C
5 6 13,25 D
6 6 13,14 E
7 6 13,10 E
8 6 13,21 F
*Kelompok huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan.
56
2. Inokulum Trichoderma viride
57
Dikarenakan ada data yang berpengaruh signifikan, maka dilakukan uji lanjut Duncan pada
faktor bahan:
Jumlah Kadar Air Grup
Bahan
Sampel Rata-Rata (%) Duncan*
Bekatul dan Onggok 18 8,35 A
Bungkil Kacang Tanah dan Onggok 18 9,70 B
Ampas Tahu dan Onggok 18 12,09 C
*Kelompok huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan.
Dikarenakan ada data yang berpengaruh signifikan, maka dilakukan uji lanjut Duncan pada
faktor umur inokulum:
58
B. Perubahan Viabilitas Spora Selama Penyimpanan
59
Log [ Jumlah Spora] :
60
Viabilitas inokulum spora Rhizopus oryzae dalam persen:
Pengamatan Jumlah Spora Jumlah Spora Jumlah Spora
Perlakuan
(minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%)
0 100,00 100,00 100,00
1 98,70 98,57 98,64
2 98,03 97,87 97,95
3 97,18 96,80 97,00
Onggok +
4 96,81 96,50 96,66
Bekatul
5 95,58 95,05 95,32
6 95,44 95,31 95,37
7 93,55 93,15 93,36
8 92,72 93,16 92,94
0 100,00 100,00 100,00
1 99,21 99,72 99,44
2 97,88 98,61 98,21
Onggok +
3 96,99 98,13 97,53
Bungkil
4 95,93 95,74 95,85
Kacang
5 92,88 85,53 90,73
Tanah
6 88,12 85,52 87,11
7 88,10 85,50 87,09
8 84,53 85,52 84,99
0 100,00 100,00 100,00
1 99,73 98,74 99,27
2 98,87 98,99 98,93
Onggok + 3 97,97 98,52 98,25
Ampas 4 96,64 97,52 97,10
Tahu 5 95,28 95,84 95,56
6 95,29 95,08 95,18
7 94,80 94,92 94,86
8 93,63 93,03 93,34
61
Dikarenakan ada data yang berpengaruh signifikan, maka dilakukan uji lanjut Duncan pada
faktor bahan:
Dikarenakan ada data yang berpengaruh signifikan, maka dilakukan uji lanjut Duncan pada
faktor umur inokulum:
Umur Simpan
Jumlah Jumlah Spora
Inokulum Grup Duncan *
Sampel Rata-Rata (%)
(Minggu)
0 6 100 A
1 6 99,11 B
2 6 98,37 C
3 6 97,60 D
4 6 96,52 D
5 6 93,36 E
6 6 92,46 F
7 6 91,67 G
8 6 90,43 H
*Kelompok huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan.
62
2. Inokulum Trichoderma viride
63
Log [ Jumlah Spora] :
64
Viabilitas inokulum spora Trichoderma viride dalam persen:
65
Dikarenakan ada data yang berpengaruh signifikan, maka dilakukan uji lanjut Duncan pada
faktor bahan:
Jumlah Jumlah Spora
Bahan Grup Duncan *
Sampel Rata-Rata (%)
Bungkil Kacang Tanah dan Onggok 18 95,16 A
Bekatul dan onggok 18 96,85 B
Ampas Tahu dan Onggok 18 96,88 B
*Kelompok huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan.
Dikarenakan ada data yang berpengaruh signifikan, maka dilakukan uji lanjut Duncan pada
faktor umur inokulum:
Umur
Simpan Jumlah Jumlah Spora
Grup Duncan*
Inokulum Sampel Rata-Rata (%)
(Minggu)
0 6 100 A
1 6 98,99 B
2 6 98,04 C
3 6 97,40 D
4 6 96,90 D
5 6 96,27 E
6 6 95,33 E
7 6 93,38 F
8 6 90,35 G
*Kelompok huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan.
66
Lampiran 4. Hasil Kultivasi Inokulum Kapang Ke Dalam Tongkol Jagung
(1)
(1)
(2) (2)
Keterangan:
1. Keadaan selama kultivasi
2. Keadaan ketika pemanenan selama sembilan hari kultivasi
3. Sampel yang siap untuk dianalisis
67
Lampiran 5. Data perubahan parameter viabilitas terhadap hidrolisis tongkol
jagung (setelah kultivasi tongkol jagung)
Dilakukan uji T terhadap dua jenis perlakuan dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%, yaitu:
Perlakuan Jumlah Rata-Rata Standar Deviasi Rata-Rata Standar Equivalen
4 Minggu 2 7,815 0,0212 0,015
8 Minggu 2 5,18 0,0141 0,01
Karena nilai P (0,004) < α (0,05) maka tolak H0, inokulum 4 minggu dan 8 minggu berbeda
nyata.
Dilakukan uji T terhadap dua jenis perlakuan dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%, yaitu:
Perlakuan Jumlah Rata-Rata Standar Deviasi Rata-Rata Standar Equivalen
4 Minggu 2 7,85 0,0424 0,03
8 Minggu 2 5,18 0,0283 0,02
68
Karena nilai P (0.009) < α (0.05) maka tolak H0, inokulum 4 minggu dan 8 minggu berbeda
nyata.
Dilakukan uji T terhadap dua jenis perlakuan dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%, yaitu:
Perlakuan Jumlah Rata-Rata Standar Deviasi Rata-Rata Standar Equivalen
4 Minggu 2 3,645 0,0636 0,045
8 Minggu 2 3,98 0,141 0,1
Karena nilai P (0,201) > α (0,05) maka terima H0, inokulum 4 minggu dan 8 minggu tidak
berbeda nyata.
Dilakukan uji T terhadap dua jenis perlakuan dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%, yaitu:
Perlakuan Jumlah Rata-Rata Standar Deviasi Rata-Rata Standar Equivalen
4 Minggu 2 3,23 0,0283 0,02
8 Minggu 2 3,995 0,0354 0,025
69
Diferensiasi = perlakuan (4minggu) – perlakuan (8minggu)
Estimasi untuk diferensiasi: -0,765
95% CI untuk diferensiasi: (-1,171797; -0,358203)
Uji T untuk diferensiasi= 0, Nilai T = -23,89, Nilai P = 0,027
Karena nilai P (0.027) < α (0.05) maka tolak H0, inokulum 4 minggu dan 8 minggu berbeda
nyata.
Dilakukan uji T terhadap dua jenis perlakuan dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%, yaitu:
Perlakuan Jumlah Rata-Rata Standar Deviasi Rata-Rata Standar Equivalen
4 Minggu 2 6,425 0,0919 0,065
8 Minggu 2 6,41 0,707 0,05
Karena nilai P (0,201) > α (0,05) maka terima H0, inokulum 4 minggu dan 8 minggu tidak
berbeda nyata.
70
Dilakukan uji T terhadap dua jenis perlakuan dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%, yaitu:
Perlakuan Jumlah Rata-Rata Standar Deviasi Rata-Rata Standar Equivalen
4 Minggu 2 5,51 0,0283 0,02
8 Minggu 2 5,315 0,7 0,49
Karena nilai P (0,761) > α (0,05) maka terima H0, inokulum 4 minggu dan 8 minggu tidak
berbeda nyata.
Dilakukan uji T terhadap dua jenis perlakuan dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%, yaitu:
Perlakuan Jumlah Rata-Rata Standar Deviasi Rata-Rata Standar Equivalen
4 Minggu 2 3,965 0,276 0,19
8 Minggu 2 3,705 0,0354 0,025
Karena nilai P (0,412) > α (0,05) maka terima H0, inokulum 4 minggu dan 8 minggu tidak
berbeda nyata.
71
2. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Trichoderma viride
Dilakukan uji T terhadap dua jenis perlakuan dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%, yaitu:
Perlakuan Jumlah Rata-Rata Standar Deviasi Rata-Rata Standar Equivalen
4 Minggu 2 2,375 0,7 0,5
8 Minggu 2 2,21 0,113 0,08
Karena nilai P (0,798) > α (0,05) maka terima H0, inokulum 4 minggu dan 8 minggu tidak
berbeda nyata.
Dilakukan uji T terhadap dua jenis perlakuan dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%, yaitu:
Perlakuan Jumlah Rata-Rata Standar Deviasi Rata-Rata Standar Equivalen
4 Minggu 2 45,765 0,0636 0,045
8 Minggu 2 47,06 0,622 0,44
Karena nilai P (0,21) > α (0,05) maka terima H0, inokulum 4 minggu dan 8 minggu tidak
berbeda nyata.
72
Perlakuan Kadar Serat Grup*
Rata-Rata (%)
Inokulum 4 minggu 45,76 A
Inokulum 8 minggu 47,06 A
*Kelompok angka yang sama menunjukan perbedaan yang signifikan.
Dilakukan uji T terhadap dua jenis perlakuan dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%, yaitu:
Perlakuan Jumlah Rata-Rata Standar Deviasi Rata-Rata Standar Equivalen
4 Minggu 2 47,08 0,0141 0,01
8 Minggu 2 47,475 0,969 0,68
Karena nilai P (0,667) > α (0,05) maka terima H0, inokulum 4 minggu dan 8 minggu tidak
berbeda nyata.
Dilakukan uji T terhadap dua jenis perlakuan dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%, yaitu:
Perlakuan Jumlah Rata-Rata Standar Deviasi Rata-Rata Standar Equivalen
4 Minggu 2 91,41 3,7 2,6
8 Minggu 2 100,265 0,983 0,7
73
Karena nilai P(0,189) > α (0,05) maka terima H0, inokulum 4 minggu dan 8 minggu tidak
berbeda nyata.
Dilakukan uji T terhadap dua jenis perlakuan dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%, yaitu:
Perlakuan Jumlah Rata-Rata Standar Deviasi Rata-Rata Standar Equivalen
4 Minggu 2 110,525 0,983 0,69
8 Minggu 2 114,695 0,983 0,7
Dilakukan uji T terhadap dua jenis perlakuan dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%, yaitu:
Perlakuan Jumlah Rata-Rata Standar Deviasi Rata-Rata Standar Equivalen
4 Minggu 2 41,03 1,12 0,8
8 Minggu 2 31,78 2,16 1,5
74
Diferensiasi = perlakuan (4minggu) – perlakuan (8minggu)
Estimasi untuk diferensiasi: 9,25
95% CI untuk diferensiasi: (-12,6019; 31,1019)
Uji T untuk diferensiasi= 0, Nilai T = 5,38, Nilai P = 0,117
Karena nilai P (0,117) > α (0.05) maka terima H0, inokulum 4 minggu dan 8 minggu tidak
berbeda nyata.
Dilakukan uji T terhadap dua jenis perlakuan dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%, yaitu:
Perlakuan Jumlah Rata-Rata Standar Deviasi Rata-Rata Standar Equivalen
4 Minggu 2 50,495 0,516 0,37
8 Minggu 2 50,04 2,46 1,7
75
Dilakukan uji T terhadap dua jenis perlakuan dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%, yaitu:
Perlakuan Jumlah Rata-Rata Standar Deviasi Rata-Rata Standar Equivalen
4 Minggu 2 2,23 0,156 0,11
8 Minggu 2 3,165 0,247 0,17
Karena nilai P (0,139) > α (0.05) maka terima H0, inokulum 4 minggu dan 8 minggu tidak
berbeda nyata.
Dilakukan uji T terhadap dua jenis perlakuan dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%, yaitu:
Perlakuan Jumlah Rata-Rata Standar Deviasi Rata-Rata Standar Equivalen
4 Minggu 2 2,19 0,0424 0,03
8 Minggu 2 2,295 0,134 0,095
Karena nilai P(0,483) > α (0,05) maka terima H0, inokulum 4 minggu dan 8 minggu tidak
berbeda nyata.
76
Lampiran 6. Data Perubahan Kadar Air dan Viabilitas Inokulum Selama
Penyimpanan untuk Substrat Terpilih (Kombinasi
Onggok+Bekatul)
77
Lampiran 7. Perhitungan Komposisi Awal Media Kultivasi
Sehingga pada perbandingan tongkol jagung : Inokulum Rhizopus oryzae ( 85:15) diperoleh
komposisi sebagai berikut:
Komponen Media Awal Kultivasi (%b.k)
Abu 3,18
Protein 2,18
Lemak 3,97
Serat Kasar 77,11
78