Professional Documents
Culture Documents
ilmu tentang alergi. Menurut pembagian Gell & Comb maka rinitis alergi termasuk
dalam reaksi hipersensitifitas tipe I (anafilaktik). Reaksi ini terjadi segera dalam
waktu beberapa menit saja dengan puncak reaksi 1 - 20 menit pasca paparan alergen.
Pada rinitis alergi reaksi akan terus berlanjut. Setelah proses degranulasi (aktifasi
sekresi) akan diikuti oleh reaksi lambat yang terjadi dalam waktu 1 - 48 jam kemudian
dengan puncak reaksi 5 - 8 jam pasca paparan. Pada reaksi tersebut banyak komponen
maupun oleh sel – sel lain, yang fungsinya dapat menurunkan atau meningkatkan
respon imun, inflamasi dan respon tubuh terhadap penyembuhan jaringan yang rusak.
Sitokin yang berperan dalam rinitis alergi yaitu IL-1, IL-3, IL-4, IL –5, IL-6, IL-8, IL-
Rinitis alergi termasuk dalam reaksi alergi tipe I sesuai klasifikasi Gell dan
Coombs. Pada penyakit ini tampak gejala utama organ hidung berupa hidung pilek,
hilang timbul dan bersifat menahun. Awal reaksi alergi dimulai dari respon
pengenalan alergen atau antigen oleh makrofag, monosit dan atau sel dendritik. Sel-
sel tersebut berperan sebagai sel penyaji ( antigen precenting cell, sel APC) dan
1
berada di mukosa saluran pernapasan. Alergen yang menempel di mukosa ditangkap
oleh sel APC, setelah mengalami proses internal dalam sel APC, terbentuk fragmen
pendek peptida imunogenik yang akan bergabung dengan molekul MHC II (major
histocompatibility complex class II) yang berada pada permukaan sel APC. Komplek
peptida MHC II ini akan dipresentasikan kepada salah satu limfosit T yang diberi
nama Helper T cells (klon CD4+ sel T, disingkat sel Th0). Bila sel Th0 ini memiliki
molekul reseptor spesifik terhadap molekul komplek peptida MHC II tersebut, akan
terjadi penggabungan kedua molekul tersebut. Sel APC akan melepas sitokin
diantaranya IL-1 yang akan mempengaruhi sel Th0 untuk aktif dan berproliferasi
menjadi Th1 dan Th2. Sel Th1 dan Th2 ini akan memproduksi spektrum luas berbagai
Sel Th2 akan melepas IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13. Sitokin IL-4 dan IL-13 akan
ditangkap reseptornya pada permukaan limfosit B istirahat yang kemudian jadi aktif
dan memproduksi Imunoglobulin E (IgE) yang akan berada di mukosa dan peredaran
darah.(1,3)
2
Gambar 1. Patofisiologi Rinitis Alergi dikutip dari Konthen (2)
Ig E yang beredar dalam sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan ditangkap
reseptor Ig E yang ada di permukaan sel mastosit dan basofil sehingga mastosit dan
basofil akan menjadi aktif. Bila dua light chain IgE kontak dengan alergen
spesifiknya maka akan terjadi degranulasi mastosit dengan akibat lepasnya Pre-
sehingga hidung pilek. Efek lain adalah karena kinerja saraf vidianus berupa gatal
pada hidung, bersin-bersin serta hipersekresi kelenjar. Selain itu terjadi vasodilatasi
organ sasaran yaitu ECFA (eosinophil chemotactic factor of anaphylactic) dan NCFA
eosinofil dan neutrofil di organ sasaran. Materi lain yang dilepaskan mastosit berupa
newly formed mediator anatara lain prostaglandin, lekotrien C4, bradikinin, PAF
(platelet activating factor) dan berbagai sitokin diantaranya IL-3, IL-4, IL-5, IL-6
3
Ditandai bertambahnya jenis dan jumlah sel-sel inflamasi yang berakumulasi di
gejala.
memiliki daya destruksi terhadap epitel mukosa. ECP (eosinophil cationic protein)
hipersekresi. Eosinofil yang aktif akan berinteraksi dengan epitel mukosa hidung akan
secreted) sebagai kemotaktik kuat untuk eosinofil itu sendiri, sel T dan sel-sel
Interleukin –3 (IL-3) dan IL-4 akan mengaktifasi basofil melepas histamin dan
Interleukin-13 (IL-13) yang dikeluarkan oleh Th2 akan memacu sel B untuk
berproliferasi dan berubah menjadi sel B produsen IgE aktif, menginduksi VCAM-1
pada sel –sel endotel untuk meningkatkan adhesi dan ekstravasasi sel eosinofil,
monosit dan sel T dari pembuluh darah ke jaringan tempat reaksi inflamasi alergi. IL-
pemacu inflamasi, kemokin, dan prostagalandin. Pada saat yang sama mengahambat
produksi RANTES, dengan demikian maka IL-13 memiliki dua peran yang
4
Gambar 2. Mekanisme kerja Interleukin-13 pada reaksi fase lambatdiambil dari Tizard (10)
Reaksi ini terjadi akibat paparan alergen yang masuk perinhalasi, mengadakan kontak
langsung dengan mukosa, ditangkap oleh sel makrofag yang berperan sebagai sel –
sel penyaji (antigen precenting cell = APC). Alergen yang dipresentasikan pada sel T
limfosit. Sel T akan merangsang sel B untuk berproliferasi, transformasi menjadi sel
plasma. Sel plasma membentuk IgE. Ig E melekat pada membran sel mast atau sel
basofil. Pada fase ini disebut fse sensitisasi. Paparan berikutnya oleh alergen serupa
akan menimbulkan interaksi antara alergen dan Fab dari IgE. Interaksi ini
mengakibatkan perubahan intra seluler sel mast. Sel mast mengalami degranulasi dan
oleh sel mast dalam bentuk granula yang disebut preformed mediator yang berperan
penting dalam reaksi awal (early phase reaction). Mediator penting pada fase ini
Klinik berupa hidung pilek, gatal, tersumbat dan bersin-bersin. Setelah 6 – 8 jam
kemudian terjadi fase lambat dimana gejala hidung pilek, gatal, bersin-bersin dan
tersumbat berlangsung lebih lama serta timbul reaksi inflamasi. Dari aspek imunologi
disebut reaksi alergi tipe cepat atau tipe I dan disebut juga reaksi anafilaksi lokal. Ada
5
beberapa komponen untuk menimbulkan reaksi tersebut yaitu komponen seluler dan
humoral berupa IgE dan sitokin. Komponen tersebut akan mengaktifkan sel-sel lain,
2. SITOKIN
atau meningkatkan respons imun, inflamasi dan respon tubuh terhadap penyembuhan
jaringan yang rusak.. Sitokin berfungsi sebagai sinyal interseluler atau perantara
dalam komunikasi interseluler yang sangat poten, aktif pada kadar yang sangat rendah
Gambar 3. Alur sitokin secara umum dan peranannya diambil dari John Hopkin(10)
inducing factor. Dengan diketemukannya antibodi terhadap IL-1 dan rekombinan IL-
1, maka saat ini diberikan nama Interleukin 1 pada substansi ini. IL-1 diproduksi oleh
6
makrofag, sel endotil, limfosit granuler, sel B, fibroblas, sel epitel, astrosit,
menimbulkan panas, tidur, pelepasan ACTH, neutrophilia dan respons akut sistemik
endotel dan makrofag, perantara dalam inflamasi, proses katabolik dan resistensi non
spesifik terhadap bakteri, merangsang secara non spesifik ekspresi berbagai reseptor
antigen pada permukaan sel sehingga secara tidak langsung meningkatkan respon
imun spesifik.(5,8)
memberikan respon terhadap IL-2, memacu pembentukan IL-2 baik oleh sel T yang
sama maupun sel T lain sehingga sel T berproliferasi dan berdiferensiasi atas
pengaruh APC . Fungsi lain dari IL-1 meningkatkan fungsi sel T sitotoksik untuk
membunuh sel tumor. IL-1 dapat mengurangi altivitas sel T penekan dengan cara
meningkatkan aktivitas sel T penolong atau menekan fungsi sel T penekan sendiri.(5,8,9)
langsung atau tak langsung dengan cara peningkatan aktivitas sel T penolong yang
memproduksi B cell growth factor sehingga berperan sebagai sinyal autoregulasi sel B
7
Dampak lain dari aktivitas IL-1 pada manifestasi reaksi inflamasi misalnya
dan infiltrasi lekosit pada daerah inflamasi. Pada saat infeksi, produksi IL-1 oleh
Beberapa hormon dan protein yang diproduksi sebagai respon umpan balik untuk
Diproduksi oleh sel T CD4+ karena rangsangan IL-1 yang dilepaskan makrofag dan
dalam jumlah yang kecil oleh sel T CD8+ . IL – 2 berfungsi menginduksi proliferasi
sel T dengan cara autocrine, dengan adanya kemampuan ini sel T dapat dirangsang
8
2.3. Interleukin – 3 (IL – 3)
factor, mast cell growth factor, haematopoietin-2. IL-3 diproduksi oleh sel T, sel NK
dalam sumsum tulang, menstimulasi growth factor untuk mastosit (maturasi) pada
respon imun.(5,10)
Berukuran 20 kilo Dalton dan dikenal dengan nama B cell stimulating factor
(BSF-1), T cell growth factor II,mast cell growth factor II. Diproduksi oleh sel T,
mastosit, dan sel B CD5+. Dianggap sebagai kostimulator proliferasi sel B yang
dirangsang dengan antiodi anti IgM. IL-4 juga memegang peranan yang penting pada
proses class switching imunoglobulin, memudahkan class switch menjadi IgG-1 dan
meningkatkan ekspresi MHC kelas II dan reseptor IgE afinitas rendah pada sel B yang
9
tidak teraktifasi. Aktifasi oleh IL-4 tak terbatas hanya pada sel B tetapi pada sel T,
oleh sel stroma karena stimulasi dari IL-1, IL-4 bersama-sama eritropoetin akan
pertumbuhan granulosit. IL-4 juga dapat berfungsi sebagai faktor pertumbuhan sel T
dan menginduksi sel T untuk mengekspresikan reseptor IL-2 dan memproduksi IL-2.
(6,10)
Mempunyai ukuran Polypeptida 20 kilo Dalton, dikenal juga dengan nama T cell
replacing factor, B cell growth factor II, eosinophil differentiation factor diproduksi
oleh sel T dan berfungsi meningkatkan Ig M dalam sel B, berperan dalam differensiasi
eosinofil dan terjadinya eosinofilia. Dan dapat mempercepat maturasi sel B untuk
factor, hepatocyte stimulating factor. Sumber utama IL-6 adalah makrofag berfungsi
menginduksi diferensiasi fase terminal dan pertumbuhan sel B, berperan dalam respon
sel T terhadap aloantigen dan pembentukaan sel sitotoksik. Peran lain meningkatkan
respon thymocyte terhadap rangsangan IL-1 dan IL-4. Pada fase akut trauma IL-6
dan IL-6.(6,10)
dengan berat molekul rendah dan diproduksi terutama oleh macrofag. Mempunyai
nama lain Neutrophile activating peptide I. IL-8 merupakan faktor yang sangat poten
untuk neutrofil, basofil dan sel T. IL-8 ini dapat meningkatkan adesi lekosit pada
endotil vaskuler dan mempercepat lekosit menuju ke tempat inflamasi. Ekivalen dari
(10)
IL-8 pada mencit adalah MIP-2 (macrophage inflamatory protein-2)
Dengan ukuran 12 kiloDalton dan diproduksi oleh Th2, memiliki dua peran yang
berlawanan yaitu induktor inflamasi dan peran antiinflamasi. Yang pada akhirnya
menghasilkan reaksi dan gejala klinik alergi di organ sasaran. Berfungsi mirip IL-4
produksi IL-1 atas pengaruh endotoksin bakteri dan meningkatkan ekspesi MHC kelas
Diproduksi oleh limfosit pada saat terjadi reaksi imun karena rangsangan dari
antigen, mitogen dan lektin. IFN dapat mempengaruhi aktifitas sel T, sel B dan sel
NK serta menigkatkan ekspresi reseptor IL-2 pada permukaan sel T dan menghambat
oleh fibroblas, dan sel T. Mempunyai fungsi meningkatkan koloni neutrofil, eosinofil,
dan syok septik. Selain itu TNF dapat meningkatkan produksi IFN.
GEJALA KLINIS
Manifestasi utama adalah rinorea, gatal hidung, bersin-bersin dan sumbatan hidung.
Pembagian rinitis alergika sebelum ini menggunakan kriteria waktu pajanan menjadi
rinitis musiman (seasonal allergic rhinitis), sepanjang tahun (perenial allergic rhinitis),
dan akibat kerja (occupational allergic rhinitis). Gejala rinitis sangat mempengaruhi
kualitas hidup penderita. Tanda-tanda fisik yang sering ditemui juga meliputi
perkembangan wajah yang abnormal, maloklusi gigi, allergic gape (mulut selalu
terbuka agar bisa bernafas), allergic shiners (kulit berwarna kehitaman dibawah
kelopak mata bawah), lipatan tranversal pada hidung (transverse nasal crease), edema
konjungtiva, mata gatal dan kemerahan. Pemeriksaan rongga hidung dengan
12
spekulum sering didapatkan sekret hidung jernih, membrane mukosa edema, basah
dan kebiru-biruan (boggy and bluish).
Pada anak kualitas hidup yang dipengaruhi antara lain kesulitan belajar dan masalah
sekolah, kesulitan integrasi dengan teman sebaya, kecemasan, dan disfungsi keluarga.
Kualitas hidup ini akan diperburuk dengan adanya ko-morbiditas. Pengobatan rinitis
juga mempengaruhi kualitas hidup baik positif maupun negatif. Sedatif antihistamin
memperburuk kualitas hidup, sedangkan non sedatif antihistamin berpengaruh positif
terhadap kualitas hidup. Pembagian lain yang lebih banyak diterima adalah dengan
menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup, menjadi intermiten ringan-sedang-
berat, dan persisten ringan-sedang-berat.
CARA PEMERIKSAAN/DIAGNOSA
Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan uji
laboratorium. Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan riwayat
keluarga atopi atau bila ada keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran nafas atas
merupakan kunci penting dalam membuat diagnosis rinitis alergika. Pemeriksaan fisik
meliputi gejala utama dan gejala minor. Uji laboratorium yang penting adalah
pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE total, IgE spesifik, dan pemeriksaan
eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi nasal masih terbatas pada
bidang penelitian.
PENYULIT
· Poliposis nasal
· Sinusitis dengan trias asma (asma, sinusitis dengan poliposis nasal dan sensitive
terhadap aspirin)
· Asma
· Gangguan kognitif
DIAGNOSA BANDING
13
Rinitis alergika harus dibedakan dengan :
Rinitis vasomotorik
Rinitis bakterial
Rinitis virus
PENATALAKSANAAN
Pemilihan obat-obatan
14
H1
++ ++ + +++ ++
Oral
++ ++ + ++ 0
Intranasal
0 0 0 0 +++
Intraokuler
Kortikosteroid +++ +++ +++ ++ ++
intranasal
Kromolin
Intranasal + + + + 0
Intraokuler 0 9 0 0 ++
Dekongestan
Intranasal 0 0 +++ 0 0
Oral 0 0 + 0 0
Antikolinergik 0 ++ 0 0 0
Antilekotrien 9 + ++ 0 ++
· Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.
· Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2–5 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.
· Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30 mg/hari,
2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4 kali/hari.
· Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 5–11 tahun : 1 semprotan 2
kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari.
· Kortikosteroid intranasal
15
Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih parah.
Efektif untuk semua gejala dengan inflamasi eosinofilik.
Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4 tahun : 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari.
Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11 tahun : 1
semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.
Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6 tahun : 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang rendah dan
keamanannya lebih baik.
· Leukotrien antagonis
4. Nicola N A. Cytokines and their receptors. Oxford University Press. New York
1994 : 17 – 94.
6. Kresno SB. Unsur – unsur yang berperan dalam reaksi imunologik In Imunologi :
Diagnosis dan prosedur laboratorium. FKUI. Jakarta 1996 : 38 – 48.
16
8. Romagnani S. T cells, cytokines, and Ig E regulation in allergic disease In
Progress in allergy and clinical Immunology vol 3. Hogrefe & Huber Publiser.
Stockholm. 1994 : 5-10.
11. Roitt I et. al. Cell mediated Immune reactions In Immunology 4th edition.
Mosby. Lbvgftr54ondon. 1998 : 9.1 – 9.15
17