You are on page 1of 17

RINITIS ALERGI

Patofisiologi penyakit rinitis alergi berkembang terus sesuai dengan perkembangan

ilmu tentang alergi. Menurut pembagian Gell & Comb maka rinitis alergi termasuk

dalam reaksi hipersensitifitas tipe I (anafilaktik). Reaksi ini terjadi segera dalam

waktu beberapa menit saja dengan puncak reaksi 1 - 20 menit pasca paparan alergen.

Pada rinitis alergi reaksi akan terus berlanjut. Setelah proses degranulasi (aktifasi

sekresi) akan diikuti oleh reaksi lambat yang terjadi dalam waktu 1 - 48 jam kemudian

dengan puncak reaksi 5 - 8 jam pasca paparan. Pada reaksi tersebut banyak komponen

– komponen yang berperan diantaranya sitokin.(1)

Sitokin merupakan substansi mirip hormon yang dilepaskan oleh limfosit T, B

maupun oleh sel – sel lain, yang fungsinya dapat menurunkan atau meningkatkan

respon imun, inflamasi dan respon tubuh terhadap penyembuhan jaringan yang rusak.

Sitokin yang berperan dalam rinitis alergi yaitu IL-1, IL-3, IL-4, IL –5, IL-6, IL-8, IL-

13, INF dan GM-CSF.(2,3)

Pada makalah ini akan dikemukakan tentang patofisiologi rinitis alergi,

berbagai sitokin dan peranannya pada rinitis alergi.

1. PATOFISIOLOGI RINITIS ALERGI

Rinitis alergi termasuk dalam reaksi alergi tipe I sesuai klasifikasi Gell dan

Coombs. Pada penyakit ini tampak gejala utama organ hidung berupa hidung pilek,

bersin-bersin, hidung tersumbat dan gatal hidung. Gejala-gejala tersebut berlangsung

hilang timbul dan bersifat menahun. Awal reaksi alergi dimulai dari respon

pengenalan alergen atau antigen oleh makrofag, monosit dan atau sel dendritik. Sel-

sel tersebut berperan sebagai sel penyaji ( antigen precenting cell, sel APC) dan
1
berada di mukosa saluran pernapasan. Alergen yang menempel di mukosa ditangkap

oleh sel APC, setelah mengalami proses internal dalam sel APC, terbentuk fragmen

pendek peptida imunogenik yang akan bergabung dengan molekul MHC II (major

histocompatibility complex class II) yang berada pada permukaan sel APC. Komplek

peptida MHC II ini akan dipresentasikan kepada salah satu limfosit T yang diberi

nama Helper T cells (klon CD4+ sel T, disingkat sel Th0). Bila sel Th0 ini memiliki

molekul reseptor spesifik terhadap molekul komplek peptida MHC II tersebut, akan

terjadi penggabungan kedua molekul tersebut. Sel APC akan melepas sitokin

diantaranya IL-1 yang akan mempengaruhi sel Th0 untuk aktif dan berproliferasi

menjadi Th1 dan Th2. Sel Th1 dan Th2 ini akan memproduksi spektrum luas berbagai

imunoregulator yang disebut sitokin.(1, 3)

Sel Th2 akan melepas IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13. Sitokin IL-4 dan IL-13 akan

ditangkap reseptornya pada permukaan limfosit B istirahat yang kemudian jadi aktif

dan memproduksi Imunoglobulin E (IgE) yang akan berada di mukosa dan peredaran

darah.(1,3)

2
Gambar 1. Patofisiologi Rinitis Alergi dikutip dari Konthen (2)

1.1. Reaksi alergi fase cepat

Ig E yang beredar dalam sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan ditangkap

reseptor Ig E yang ada di permukaan sel mastosit dan basofil sehingga mastosit dan

basofil akan menjadi aktif. Bila dua light chain IgE kontak dengan alergen

spesifiknya maka akan terjadi degranulasi mastosit dengan akibat lepasnya Pre-

formed mediators terutama histamin yang menyebabkan mukosa hipersekresi,

sehingga hidung pilek. Efek lain adalah karena kinerja saraf vidianus berupa gatal

pada hidung, bersin-bersin serta hipersekresi kelenjar. Selain itu terjadi vasodilatasi

dan penurunan permeabilitas pembuluh darah dengan akibat pembengkakan mukosa

dan terjadilah sumbatan hidung.

Mastosit juga melepaskan molekul kemotaktik (penarik sel darah putih) ke

organ sasaran yaitu ECFA (eosinophil chemotactic factor of anaphylactic) dan NCFA

(neutrophil chemotactic factor of anaphylactic) yang menyebabkan penumpukan

eosinofil dan neutrofil di organ sasaran. Materi lain yang dilepaskan mastosit berupa

newly formed mediator anatara lain prostaglandin, lekotrien C4, bradikinin, PAF

(platelet activating factor) dan berbagai sitokin diantaranya IL-3, IL-4, IL-5, IL-6

dan GM-CSF yang akan berperan dalam reaksi alergi selanjutnya.(1,3,11)

1.2. Reaksi alergi fase lambat

3
Ditandai bertambahnya jenis dan jumlah sel-sel inflamasi yang berakumulasi di

jaringan sasaran. Jumlah eosinofil berhubungan dengan tingkat berat ringannya

gejala.

Sitokin IL-3, IL-5 dan GM-CSF(granulocyte macrophage colony stimulating

factor) mempengaruhi eosinofil melepas molekul-molekul mediator protein basa yang

memiliki daya destruksi terhadap epitel mukosa. ECP (eosinophil cationic protein)

menstimulasi sekresi kelenjar-kelenjar submukosa dan sel goblet sehingga terjadi

hipersekresi. Eosinofil yang aktif akan berinteraksi dengan epitel mukosa hidung akan

menghasilkan RANTES (regulated upon activation normal T cell expressed and

secreted) sebagai kemotaktik kuat untuk eosinofil itu sendiri, sel T dan sel-sel

inflamasi lainnya serta GM - CSF yang berperan meningkatkan fungsi makrofag.

Interleukin –3 (IL-3) dan IL-4 akan mengaktifasi basofil melepas histamin dan

sitokin-sitokin. Sel-sel mononuklear yang berakumulasi akan melepas HRFs

(histamine releasing factors)yang mampu memacu mastosit dan basofil melepas

histamin sehingga jumlahnya jauh lebih banyak.

Interleukin-13 (IL-13) yang dikeluarkan oleh Th2 akan memacu sel B untuk

berproliferasi dan berubah menjadi sel B produsen IgE aktif, menginduksi VCAM-1

pada sel –sel endotel untuk meningkatkan adhesi dan ekstravasasi sel eosinofil,

monosit dan sel T dari pembuluh darah ke jaringan tempat reaksi inflamasi alergi. IL-

13 di permukaan makrofag aktif dan monosit menurunkan regulasi sitokin-sitokin

pemacu inflamasi, kemokin, dan prostagalandin. Pada saat yang sama mengahambat

produksi RANTES, dengan demikian maka IL-13 memiliki dua peran yang

berlawanan yaitu induktor inflamasi dan anti inflamasi.(1,3,11)

4
Gambar 2. Mekanisme kerja Interleukin-13 pada reaksi fase lambatdiambil dari Tizard (10)

Reaksi ini terjadi akibat paparan alergen yang masuk perinhalasi, mengadakan kontak

langsung dengan mukosa, ditangkap oleh sel makrofag yang berperan sebagai sel –

sel penyaji (antigen precenting cell = APC). Alergen yang dipresentasikan pada sel T

limfosit. Sel T akan merangsang sel B untuk berproliferasi, transformasi menjadi sel

plasma. Sel plasma membentuk IgE. Ig E melekat pada membran sel mast atau sel

basofil. Pada fase ini disebut fse sensitisasi. Paparan berikutnya oleh alergen serupa

akan menimbulkan interaksi antara alergen dan Fab dari IgE. Interaksi ini

mengakibatkan perubahan intra seluler sel mast. Sel mast mengalami degranulasi dan

mengeluarkan mediator vasoaktifamin. Mediator tersebut telah dibentuk sebelumnya

oleh sel mast dalam bentuk granula yang disebut preformed mediator yang berperan

penting dalam reaksi awal (early phase reaction). Mediator penting pada fase ini

histamin Eosinophyl Chemotactic Factor (ECF), Neutrophyl Chemotactic Factor

(NCF), serotonin, ttomboksan A2, triptase. Mediator yang dilepaskan tersebut

menimbulkan perubahan pada mukosa hidung sebagai organ sasaran berupa

vasodilatasi, udim, hipersekresi kelenjar mukosa, akumulasi eosinofil dan lekosit.

Klinik berupa hidung pilek, gatal, tersumbat dan bersin-bersin. Setelah 6 – 8 jam

kemudian terjadi fase lambat dimana gejala hidung pilek, gatal, bersin-bersin dan

tersumbat berlangsung lebih lama serta timbul reaksi inflamasi. Dari aspek imunologi

disebut reaksi alergi tipe cepat atau tipe I dan disebut juga reaksi anafilaksi lokal. Ada
5
beberapa komponen untuk menimbulkan reaksi tersebut yaitu komponen seluler dan

komponen humoral. Komponen seluler sel makrofag, T limfosit dan komponen

humoral berupa IgE dan sitokin. Komponen tersebut akan mengaktifkan sel-sel lain,

sehingga timbul reaksi inflamasi yang merupakan reaksi fase lambat.(2)

2. SITOKIN

Sitokin merupakan mediator berupa peptida yang fungsinya dapat menurunkan

atau meningkatkan respons imun, inflamasi dan respon tubuh terhadap penyembuhan

jaringan yang rusak.. Sitokin berfungsi sebagai sinyal interseluler atau perantara

dalam komunikasi interseluler yang sangat poten, aktif pada kadar yang sangat rendah

yaitu 10-10 – 10-15 mol/l dapat merangsang sel sasaran .(3,4,5)

Gambar 3. Alur sitokin secara umum dan peranannya diambil dari John Hopkin(10)

2.1 Interleukin-1 (IL-1)


Dahulu dikenal dengan nama katabolin, pirogen endogen, mediator lekosit

endogen, hematopoietin 1, faktor sel mononuklear, lymphocyte activating factor,

mitogenic protein, B cell differentiation facto, inducer serum amiloid A, proteolysis

inducing factor. Dengan diketemukannya antibodi terhadap IL-1 dan rekombinan IL-

1, maka saat ini diberikan nama Interleukin 1 pada substansi ini. IL-1 diproduksi oleh
6
makrofag, sel endotil, limfosit granuler, sel B, fibroblas, sel epitel, astrosit,

keratinosit, dan tidak diproduksi oleh eritrosit.(5,6,7)

Pada manusia, makrofag terutama mensekresi IL – 1 sedangkan sel lain

memproduksi IL – 1. Interleukin-1 berfungsi untuk mengaktifkan / merangsang sel T

untuk memproduksi limfokin, co-factor untuk haematopoeietic growth factor,

menimbulkan panas, tidur, pelepasan ACTH, neutrophilia dan respons akut sistemik

lainnya. Merangsang sintesis limfokin kolagen dan kolagenase, mengaktifkan sel

endotel dan makrofag, perantara dalam inflamasi, proses katabolik dan resistensi non

spesifik terhadap bakteri, merangsang secara non spesifik ekspresi berbagai reseptor

antigen pada permukaan sel sehingga secara tidak langsung meningkatkan respon

imun spesifik.(5,8)

Interleukin-1(IL-1) dapat meningkatkan aktivasi sel T dengan merangsang

ekspresi reseptor IL-2 pada permukaan limfosit T sehingga limfosit T dapat

memberikan respon terhadap IL-2, memacu pembentukan IL-2 baik oleh sel T yang

sama maupun sel T lain sehingga sel T berproliferasi dan berdiferensiasi atas

pengaruh APC . Fungsi lain dari IL-1 meningkatkan fungsi sel T sitotoksik untuk

membunuh sel tumor. IL-1 dapat mengurangi altivitas sel T penekan dengan cara

meningkatkan aktivitas sel T penolong atau menekan fungsi sel T penekan sendiri.(5,8,9)

Interleukin-1(IL-1) akan mengaktivasi sel B sehingga sel B berproliferasi dan

berdiferensiasi yang kemudian terbentuk antibodi. Rangsangan antibodi di atas secara

langsung atau tak langsung dengan cara peningkatan aktivitas sel T penolong yang

memproduksi B cell growth factor sehingga berperan sebagai sinyal autoregulasi sel B

karena sel B mampu memproduksi IL-1.(5)

7
Dampak lain dari aktivitas IL-1 pada manifestasi reaksi inflamasi misalnya

demam, peningkatan kadar protein fase aktif (C reactive protein=CRP), lekositosis,

dan infiltrasi lekosit pada daerah inflamasi. Pada saat infeksi, produksi IL-1 oleh

makrofag menyebabkan sekresi faktor-faktor stimulasi koloni khususnya G-CSF dan

GM-CSF dalam sumsung tulang bertambah.(7,9)

Beberapa hormon dan protein yang diproduksi sebagai respon umpan balik untuk

mengendalikan produksi IL-1 yang berlebihan, misalnya kortikosteroid, protein

antagonis reseptor IL-1 yang diproduksi oleh monosit.(5,10)

2.2. Interleukin – 2 (IL – 2)

Dikenal sebagai T cell growth factor (TCGF), berukuran 14 – 17 kilo Dalton.

Diproduksi oleh sel T CD4+ karena rangsangan IL-1 yang dilepaskan makrofag dan

dalam jumlah yang kecil oleh sel T CD8+ . IL – 2 berfungsi menginduksi proliferasi

sel T dengan cara autocrine, dengan adanya kemampuan ini sel T dapat dirangsang

membentuk sel T in vitro. Kemampuan IL – 2 yang lain sebagai faktor pertumbuhan

dan diferensiasi sel B dan sel NK serta mengaktifkan makrofag.(10)

Gambar 4. Mekanisme kerja Interleukin-2 diambil dari Tizard (10)

8
2.3. Interleukin – 3 (IL – 3)

Dahulu dikenal dengan nama multipotent colony stimulating factor, brust

promoting activity, haematopoeitic cell growth factor, persisting cell stimulating

factor, mast cell growth factor, haematopoietin-2. IL-3 diproduksi oleh sel T, sel NK

dan makrofag. Mempunyai fungsi biologis membantu pertumbuhan sel pluripoten

dalam sumsum tulang, menstimulasi growth factor untuk mastosit (maturasi) pada

mukosa dan merangsang diferensiasi sel haemopoetik pada saat berlangsungnya

respon imun.(5,10)

Gambar 5. Mekanisme kerja Interleukin-3 diambil dari Tizard (10)

2.4. Interleukin – 4 (IL – 4)

Berukuran 20 kilo Dalton dan dikenal dengan nama B cell stimulating factor

(BSF-1), T cell growth factor II,mast cell growth factor II. Diproduksi oleh sel T,

mastosit, dan sel B CD5+. Dianggap sebagai kostimulator proliferasi sel B yang

dirangsang dengan antiodi anti IgM. IL-4 juga memegang peranan yang penting pada

proses class switching imunoglobulin, memudahkan class switch menjadi IgG-1 dan

Ig E, dan menekan pembentukan Ig M, IgG-3, IgG2a dan IgG2b. IL-4 dapat

meningkatkan ekspresi MHC kelas II dan reseptor IgE afinitas rendah pada sel B yang
9
tidak teraktifasi. Aktifasi oleh IL-4 tak terbatas hanya pada sel B tetapi pada sel T,

makrofag granulosit, mastosit, prekursor eritrosit dan megakariosit. IL-4 disekresi

oleh sel stroma karena stimulasi dari IL-1, IL-4 bersama-sama eritropoetin akan

meningkatkan pertumbuhan koloni eritroid dan dengan G-CSF akan meningkatkan

pertumbuhan granulosit. IL-4 juga dapat berfungsi sebagai faktor pertumbuhan sel T

dan menginduksi sel T untuk mengekspresikan reseptor IL-2 dan memproduksi IL-2.
(6,10)

Gambar 6. Mekanisme kerja Interleukin-4 diambil dari Tizard (10)

2.5. Interleukin – 5 (IL – 5)

Mempunyai ukuran Polypeptida 20 kilo Dalton, dikenal juga dengan nama T cell

replacing factor, B cell growth factor II, eosinophil differentiation factor diproduksi

oleh sel T dan berfungsi meningkatkan Ig M dalam sel B, berperan dalam differensiasi

eosinofil dan terjadinya eosinofilia. Dan dapat mempercepat maturasi sel B untuk

membentuk Ig A, selain itu dapat meningkatkan ekspresi reseptor IL-2.(6,10)

Gambar 7. Mekanisme kerja Interleukin-5 diambil dari Tizard (10)


2.6. Interleukin – 6 (IL – 6)
10
Berukuran 26 kilo Dalton, dikenal dengan nama lain interferon-2, B cell

stimulation factor 2, B differentiation factor, hybridoma/plasma cytoma growth

factor, hepatocyte stimulating factor. Sumber utama IL-6 adalah makrofag berfungsi

menginduksi diferensiasi fase terminal dan pertumbuhan sel B, berperan dalam respon

sel T terhadap aloantigen dan pembentukaan sel sitotoksik. Peran lain meningkatkan

respon thymocyte terhadap rangsangan IL-1 dan IL-4. Pada fase akut trauma IL-6

meningkatkan sintesis protein oleh hepatosit dan peningkatan ACTH yang

merangsang pembentukan glukokortikoid yang berperan dalam kontrol produksi IL-1

dan IL-6.(6,10)

2.7. Interleukin – 8 (IL – 8)

Interleukin – 8 (IL-8) berukuran 8,5 kiloDalton dan termasuk golongan peptida

dengan berat molekul rendah dan diproduksi terutama oleh macrofag. Mempunyai

nama lain Neutrophile activating peptide I. IL-8 merupakan faktor yang sangat poten

untuk neutrofil, basofil dan sel T. IL-8 ini dapat meningkatkan adesi lekosit pada

endotil vaskuler dan mempercepat lekosit menuju ke tempat inflamasi. Ekivalen dari
(10)
IL-8 pada mencit adalah MIP-2 (macrophage inflamatory protein-2)

2.8. Interleukin – 13 (IL – 13)

Dengan ukuran 12 kiloDalton dan diproduksi oleh Th2, memiliki dua peran yang

berlawanan yaitu induktor inflamasi dan peran antiinflamasi. Yang pada akhirnya

menghasilkan reaksi dan gejala klinik alergi di organ sasaran. Berfungsi mirip IL-4

dan menghambat IFN.(10)

2.9. Interferon gamma (IFN)


11
Berukuran 18 kiloDalton, berperan pada aktifasi sel T dengan meningkatkan

produksi IL-1 atas pengaruh endotoksin bakteri dan meningkatkan ekspesi MHC kelas

II dari makrofag serta merangsang sel B untuk berproliferasi.

Diproduksi oleh limfosit pada saat terjadi reaksi imun karena rangsangan dari

antigen, mitogen dan lektin. IFN dapat mempengaruhi aktifitas sel T, sel B dan sel

NK serta menigkatkan ekspresi reseptor IL-2 pada permukaan sel T dan menghambat

aktivitas sel Th2.(10)

2.10. GM-CSF (granulocyte macrophage colony stimulating factor)

Berukuran 23 kilo Dalton, diproduksi terutama oleh makrofag. Diproduksi juga

oleh fibroblas, dan sel T. Mempunyai fungsi meningkatkan koloni neutrofil, eosinofil,

makrofag serta mengaktifkan granulosit matang. (11)

2.11. TNF (tumor necrosis factor  )

Mempunyai ukuran 17 kiloDalton, diproduksi terutama oleh makrofag, berperan

sebagai mediator inflamasi, merangsang sintesis limfokin serta proses katabolik

dan syok septik. Selain itu TNF dapat meningkatkan produksi IFN.

GEJALA KLINIS

Manifestasi utama adalah rinorea, gatal hidung, bersin-bersin dan sumbatan hidung.
Pembagian rinitis alergika sebelum ini menggunakan kriteria waktu pajanan menjadi
rinitis musiman (seasonal allergic rhinitis), sepanjang tahun (perenial allergic rhinitis),
dan akibat kerja (occupational allergic rhinitis). Gejala rinitis sangat mempengaruhi
kualitas hidup penderita. Tanda-tanda fisik yang sering ditemui juga meliputi
perkembangan wajah yang abnormal, maloklusi gigi, allergic gape (mulut selalu
terbuka agar bisa bernafas), allergic shiners (kulit berwarna kehitaman dibawah
kelopak mata bawah), lipatan tranversal pada hidung (transverse nasal crease), edema
konjungtiva, mata gatal dan kemerahan. Pemeriksaan rongga hidung dengan

12
spekulum sering didapatkan sekret hidung jernih, membrane mukosa edema, basah
dan kebiru-biruan (boggy and bluish).

Pada anak kualitas hidup yang dipengaruhi antara lain kesulitan belajar dan masalah
sekolah, kesulitan integrasi dengan teman sebaya, kecemasan, dan disfungsi keluarga.
Kualitas hidup ini akan diperburuk dengan adanya ko-morbiditas. Pengobatan rinitis
juga mempengaruhi kualitas hidup baik positif maupun negatif. Sedatif antihistamin
memperburuk kualitas hidup, sedangkan non sedatif antihistamin berpengaruh positif
terhadap kualitas hidup. Pembagian lain yang lebih banyak diterima adalah dengan
menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup, menjadi intermiten ringan-sedang-
berat, dan persisten ringan-sedang-berat.

CARA PEMERIKSAAN/DIAGNOSA

Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan uji
laboratorium. Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan riwayat
keluarga atopi atau bila ada keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran nafas atas
merupakan kunci penting dalam membuat diagnosis rinitis alergika. Pemeriksaan fisik
meliputi gejala utama dan gejala minor. Uji laboratorium yang penting adalah
pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE total, IgE spesifik, dan pemeriksaan
eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi nasal masih terbatas pada
bidang penelitian.

PENYULIT

· Sinusitis kronis (tersering)

· Poliposis nasal

· Sinusitis dengan trias asma (asma, sinusitis dengan poliposis nasal dan sensitive
terhadap aspirin)

· Asma

· Obstruksi tuba Eustachian dan efusi telingah bagian tengah

· Hipertyopi tonsil dan adenoid

· Gangguan kognitif

DIAGNOSA BANDING
13
Rinitis alergika harus dibedakan dengan :
Rinitis vasomotorik
Rinitis bakterial
Rinitis virus

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan rinitis alergika meliputi edukasi, penghindaran alergen,


farmakoterapi dan imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam
penatalaksanaan rinitis alergika, penghindaran alergen hendaknya merupakan bagian
terpadu dari strategi penatalaksanaan, terutama bila alergen penyebab dapat
diidentifikasi. Edukasi sebaiknya selalu diberikan berkenaan dengan penyakit yang
kronis, yang berdasarkan kelainan atopi, pengobatan memerlukan waktu yang lama
dan pendidikan penggunaan obat harus benar terutama jika harus menggunakan
kortikosteroid hirupan atau semprotan. Imunoterapi sangat efektif bila penyebabnya
adalah alergen hirupan. Farmakoterapi hendaknya mempertimbangkan keamanan
obat, efektifitas, dan kemudahan pemberian. Farmakoterapi masih merupakan andalan
utama sehubungan dengan kronisitas penyakit. Tabel 3 menunjukkan obat-obat yang
biasanya dipakai baik tunggal maupun dalam kombinasi. Kombinasi yang sering
dipakai adalah antihistamin H1 dengan dekongestan.

Pemilihan obat-obatan

Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain


:

1. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang.

2. Tidak menimbulkan takifilaksis.

3. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun


demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain.

4. Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan


dengan adanya efek samping sistemik.

Tabel 3. : Jenis obat dan efek terapetik.


Jenis obat Bersin Rinorea Buntu Gatal Keluhan
hidung mata
Antihistamin

14
H1
++ ++ + +++ ++
Oral
++ ++ + ++ 0
Intranasal
0 0 0 0 +++
Intraokuler
Kortikosteroid +++ +++ +++ ++ ++
intranasal
Kromolin

Intranasal + + + + 0

Intraokuler 0 9 0 0 ++
Dekongestan

Intranasal 0 0 +++ 0 0

Oral 0 0 + 0 0
Antikolinergik 0 ++ 0 0 0
Antilekotrien 9 + ++ 0 ++

Jenis obat yang sering digunakan :

· Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4


kali/hari

· Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.

· Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2–5 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.

· Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30 mg/hari,
2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4 kali/hari.

· Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 5–11 tahun : 1 semprotan 2
kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari.

· Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15


mg/hari, 4 kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari 4
kali/hari. Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari.

· Kortikosteroid intranasal
15
Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih parah.
Efektif untuk semua gejala dengan inflamasi eosinofilik.

Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4 tahun : 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari.

Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11 tahun : 1
semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.

Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6 tahun : 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang rendah dan
keamanannya lebih baik.

· Leukotrien antagonis

Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.

1. Sumarman I. Patogenesis, Komplikasi, Pengobatan dan Pencegahan Rinitis


Alergi Tinajuan Aspek Biomolekuler In Forum konsultasi kasus alergi dibidang
THT. Perhati – KL. Batu-Malang. 2000 : 1 - 181.

2. Konthen PG. Imunopatogenesis rinitis alergi. Simposium Rinitis Alergi. Perhati.


Surabaya. 2000: 1-2.

3. Abbas A K. et. al. Cytokine In Cellular and Molecular Immunology 3th


Edition. W.B. Saunders Co. Philadelphia. 1997 : 250 – 257.

4. Nicola N A. Cytokines and their receptors. Oxford University Press. New York
1994 : 17 – 94.

5. Bratawidjaja KG. Sitokin In Imunologi Dasar. FKUI. Jakarta. 1996 : 64-75.

6. Kresno SB. Unsur – unsur yang berperan dalam reaksi imunologik In Imunologi :
Diagnosis dan prosedur laboratorium. FKUI. Jakarta 1996 : 38 – 48.

7. Playfair J H, Lydyard P M. Cytokines In Medical Immunology for Students.


Churchill Livingstone. Tokyo. 1995 : 33-34.

16
8. Romagnani S. T cells, cytokines, and Ig E regulation in allergic disease In
Progress in allergy and clinical Immunology vol 3. Hogrefe & Huber Publiser.
Stockholm. 1994 : 5-10.

9. Reeves G, Todd I. Cell Interaction and cytokines In Lecture notes on


immunology. 1971 : 116-18. Blackwell Scientific Publications. Paris. 1993 : 47 –
53.

10. Tizard I R. Lymphokines and Cytokines. In Immunology an introduction 4th


edition. Saunders college publishing. Philadelphia. 1995. 155 – 167.

11. Roitt I et. al. Cell mediated Immune reactions In Immunology 4th edition.
Mosby. Lbvgftr54ondon. 1998 : 9.1 – 9.15

17

You might also like