You are on page 1of 10

Jean Baudrillard

François Debrix

Pemikiran Jean Baudrillard cukup menggetarkan bagi banyak ahli politik yang ingin menggalinya atau
menerapkannya ke dalam karya mereka. Tidak ada satu pun teoris kritis dalam lima puluh tahun
terakhir ini yang begitu tak kenal kompromi mengenai bagaimana proses berfikir kritis harus
menemani setiap analisis atas realita politik, sebagaimana yang dilakukan Baudrillard. Namun,
sebagaimana tanpa-komprominya sifat tulisan-tulisannya, investigasi teoritis Baudrillard juga termasuk
yang paling terbuka dan paling bebas bergulir yang bisa temukan dalam teori kontemporer. Karya-
karya Baudrillard adalah undangan yang tidak pernah mau menerima apa saja yang sekadar jatuh dari
langit, atau –lebih tepatnya– tidak pernah mau mengambil begitu saja atas apa pun realita yang
disajikan pada para pengamat panggung politik global. Baudrillard menekankan pentingnya memulai
jalur berfikir dengan menempatkan kemungkinan-kemungkinan atas tantangan (atau, défi) di titik
tertinggi dari usaha apa pun. Kebenaran, kenyataan, dan fakta, saat diberlakukan oleh pemaknaan dan
sistem representasi, harus ditantang –kadang dengan cara teror yang representasional, atau dengan
melepaskan energi berlebihan, yang diupayakan pertama-tama untuk dikontrol sistem.
Tulisan-tulisan Baudrillard sekaligus menegangkan dan menjemukan, menyenangkan dan
mengesalkan, membebaskan dan menakut-nakuti. Tidak diragukan lagi, itu karena tulisan-tulisannya
terus-menerus menggelorakan antara realitas dan ironi, tindakan tak masuk akal dan ilusi brilian,
mobilisasi dan ketidakpedulian, kemungkinan transformatif dan fatalisme telanjang, serta kepastian
intelektual dan ketidakpastian radikal. Bagi sebagian orang, Baudrillard adalah ancaman bagi
pemikiran yang mapan. Dia adalah 'penipu intelektual' post-modern yang memobilisasi kata-kata atau
kalimat 'tanpa makna' (Sokal dan Bricmont 1998: 142). Lebih parah lagi, Baudrillard adalah jenis
pemikir yang justru merayakan 'nihilisme moral dan politik' (Norris 1992: 194). Namun, bagi sebagian
lainnya, Baudrillard harus dihargai sebagai teoris Prancis 'paling keras kepala' (Hegarty 2004: 1).
Tulisannya adalah “... fiesta teoritis: suatu momen eksplosif dari modernitas di mana eschatology
rasionalis kala itu pertama kali diungkapkan, dan kemudian digerogoti” (Kroker 1992: 56).
Bagaimanapun, di kalangan para teoris, kebingungan dan keraguan lah yang akhirnya menang. Di
sebagian besar waktu, entah diakui atau tidak, para pemikir sosial dan politik tak terlalu tahu apa yang
membentuk kata-kata mereka dan ide-ide mereka. Seperti diakui Zygmunt Bauman, “Kosa kata
Baudrillard yang universal diatur dalam seperangkat domain berbeda dari pengalaman, ...[yang] tidak
berkomunikasi dengan dunia persepsi yang diproses secara sosiologis” (Bauman 1993: 23).
Para cendekiawan Hubungan Internasional juga mengadopsi sikap yang sama. Karena tidak tahu
bagaimana menghadapi Baudrillard, mereka sekadar mengambil sikap tidak tahu-menahu atas dirinya.
Atau, ketika didesak, mereka sekadar membuat referensi selintas terhadap beberapa konsepnya. Jadi,
ketika sejumlah kecil teoris kritis Hubungan Internasional mendapatkan keberanian untuk mempelajari
karya Baudrillard dan memilih untuk mulai menerima tantangan konseptual Baudrillard, maka tulisan-
tulisan mereka layak untuk dikaji. Ini mengarah ke menyoroti analisis kritis yang diilhami Baudrillard
tentang beberapa pemikir kontemporer Hubungan Internasional. Meski demikian, bagian pertama dari
esai ini memaparkan pemikiran Baudrillard yang menantang dan berupaya menjelaskan bagaimana hal
itu dapat bermanfaat bagi mahasiswa dan cendekiawan Hubungan Internasional –dan, selanjutnya, pada
para pengamat panggung politik yang tertarik dalam menghadapi kekerasan global.

Dari Kritik terhadap Nilai ke Kritik terhadap Kekerasan Global


Jean Baudrillard lahir di Reims, Perancis, pada 1929. Dibesarkan dalam keluarga kelas menengah
bawah (ayah dan ibunya dari kalangan petani dan pegawai/birokrasi daerah), Baudrillard adalah orang
pertama dari keluarganya yang bisa melanjutkan studi lebih tinggi dari sekadar baccalauréat (istilah
bahasa Perancis untuk SMA). Meski berharap masuk École Normale Superieure (tempat banyak
cendekiawan Perancis belajar), dia sempat terjerumus belajar sastra Jerman di universitas La Sorbonne
di Paris, dan pekerjaan pertamanya adalah guru SMA untuk pelajaran bahasa Jerman. Publikasi
pertama karya Baudrillard adalah tinjauan dan terjemahan atas karya-karya Peter Weiss dan Bertolt
Brecht. Kemudian, dengan bantuan Henri Lefebvre dan Roland Barthes, ketertarikan Baudrillard mulai
bergeser dari bahasa ke teori sosiologis. Ia pun mulai mengajar sosiologi di Universitas Nanterre (dekat
Paris) pada 1966. Karya-karya awalnya, The System of Objects (1996a [1968]), The Consumer Society
(1998 [1970]), dan For a Critique of the Political Economy of the Sign (1981 [1970]), didorong oleh
hasrat untuk melampaui teori Marxis konvensional. Niat awalnya adalah menyediakan analisis kritis
berkelanjutan atas budaya kontemporer yang akan melepaskan penekanan kepentingan konseptual atas
nilai guna dan produksi, dan –bukannya– menyoroti peran representasi, sign-system (sistem isyarat),
dan signifikasi objektif. Dalam For a Critique, Baudrillard menjauh dari analisis Marxis dengan cara
mengembangkan teori signifikasi, daya guna, dan representasi yang “... menggabungkan kritik politik
ekonomi... dengan salah satu sign (isyarat/tanda)... untuk menjalin kritik yang dapat berbicara pada
ekonomi politik umum” (Hegarty 2004: 24). Seperti dijelaskan Baudrillard, “saat proses produksi dan
sistematisasi nilai tukar ekonomi digambarkan sebagai hal penting,... [suatu] proses yang sama-sama
digeneralisasi secara umum ternyata telah terabaikan: ... transmutasi nilai tukar ekonomi menjadi nilai
tukar sign' (Baudrillard, 1981: 113). Menurut sosiolog Mike Gane, pencarian Baudrillard pada 1960-an
atas produksi ekonomi politik sign sudah menunjukkan bakatnya untuk berfikir di luar struktur dan
kategorisasi (Gane 2000: 5). Usaha intelektual awal Baudrillard sudah dipengaruhi oleh disposisi untuk
mendorong eksplorasi kritis terhadap ekses, the radical other (pihak lain yang radikal), atau the
'accursed share' (saham/penyertaan yang terkutuk) dari setiap sistem sign, pemaknaan, atau nilai.
Suatu momen penting dalam trayek intelektual Baudrillard adalah publikasi Symbolic Exchange and
Death (1993a [1976]). Dalam volume ini, Baudrillard berpaling ke pengertian filsuf Georges Bataille
tentang 'accursed share' (Bataille 1991) dan pada gagasan antropolog Marcel Mauss tentang konsumsi
objek sebagai kurban persembahan (Mauss 1990), dengan pandangan ke depan untuk menyediakan
kritik terhadap sistem nilai dan pemaknaan secara umum. Implikasi Baudrillard adalah bahwa
masyarakat dan budaya modern telah diambil-alih oleh logika nilai (dari daya guna ke sign) dan logika
pertukaran (bukan cuma barang dan produk, tetapi juga makna dan pengetahuan). Logika nilai dan
logika pertukaran adalah tentang subjek: menciptakan subjek, menjaga subjek, dan mempertahankan
subjek. Objeknya ditidak-pastikan sebagai sesuatu yang harus dimiliki, dikumpulkan, atau ditukar oleh
subjek. Sistem proliferasi nilai dan kelelahan makna ini didasarkan pada penghapusan the symbolic.
Sesuatu yang simbolis itu, menurut Baudrillard, adalah apa yang dikecualikan dari nilai dan apa yang
dapat datang kembali untuk menghantui nilai. Saat the symbolic dapat diambil untuk berfungsi sebagai
semacam realitas balas dendam, yakni sesatu yang sangat ingin untuk dipulihkan kembali,
kemungkinan bagi pemulihan semacam itu adalah terbatas. Bagi Baudrillard, “... the symbolic itu masih
menghantui [institusi-institusi sosial modern] sebagai prospek bagi kematian mereka sendiri”. Tapi “...
ini hanya memori obsesif, suatu demand (permintaan) yang tak henti-hentinya ditekan oleh hukum
nilai” (Baudrillard 1988a: 119).
Yang menekankan bahwa tampaknya mustahil untuk mengembalikan the symbolic adalah apa yang
Baudrillard lihat sebagai 'fluktuasi yang semakin meningkat atas kesamaran' (Baudrillard 1988a: 120)
dari the social (keadaan sosial). Ketidakpastian semacam itu adalah hasil realita sehari-hari yang telah
ditelan dalam struktur, sistem, dan model produksi, representasi, dan signifikasi. Sebagaimana dalam
tulisannya Symbolic Exchange, Baudrillard mengacu pada penyerapan total dan pengolahan ulang
prinsip realitas dalam sistem nilai dan sistem pemaknaan sebagai suatu 'hyperreality' (realitas yang
berlebihan) dan 'simulation' (simulasi). Dalam konteks hyperreality (di mana simulation adalah satu-
satunya cakrawala kemunculan yang mungkin bagi objek maupun subjek), the symbolic dan ‘accursed
share’-nya tidak punya pilihan lain kecuali mewujudkan diri mereka sebagai realitas yang tersimulasi.
Namun, karena simulasi justru tentang ketidakpastian dan ketidaktentuan, maka tantangannya sendiri
(yakni; kemungkinan mengembalian ke apa yang disebut sebagai 'realitas asli') mungkin tidak pernah
akan bisa dibedakan dari (hyper)reality yang berasal dari model atau kode dominan. Maka, dalam
simulation, kondisi kedapat-balikan dari suatu sistem tidak akan pernah bisa dijamin. Pertimbangan-
pertimbangan ini membentuk begitu banyak analisis Baudrillard dalam serangkaian karya (Forget
Foucault (1987 [1977]), Seduction (1990a [1979]), Simulacra and Simulation (1983a [1981]), Fatal
Strategies (1990b [1983]), America (1988b [1986]), Cool Memories (1990c [1987]), The Gulf War Did
Not Take Place (1995 [1991]), atau The Illusion of the End (1994 [1992])) untuk menyebut sebagian
kecil yang mungkin ia terkenal.
Dalam Simulacra and Simulation, Baudrillard mengembangkan argumen mengenai hyperreality dan
kekuatan simulacrum (tiruan, atau hasil simulasi). Ini adalah bagian dari teori Baudrillard yang sangat
ditekankan oleh para cendekiawan politik domestik dan politik internasional. Ini, tak diragukan lagi,
karena salah satu aplikasi simulasi Baudrillard telah menjadi praktik dan gambaran tentang perang dan
pencegahan secara militer. Simulasi, bagi Baudrillard, adalah refleksi tentang realitas, atau apa yang
masih tertinggal setelah sistem pemaknaan, penilaian, dan sistem sign, kode, model, atau media telah
menelannya habis-habisan. Bagi Baudrillard, simulasi muncul sebagai upaya (oleh media dan model)
untuk menciptakan kembali realita sesuai kode-kode yang dihasilkan model dan media itu sendiri.
Dengan demikian, ada tujuan tertentu secara sengaja untuk menyebarkan simulacrum (tiruannya), atau
upaya menekankan realitas dominan lain seolah-olah itu adalah satu-satunya yang 'benar-benar nyata'
(walaupun referensialitas itu tidak lagi secara alami diberikan tetapi –sebaliknya– ditemukan di dalam
kode atau sistem sign itu sendiri). Ini lah yang Baudrillard ungkapkan dalam Simulation ketika,
meminjam titik tolak hubungan representasional antara teritori dan peta, ia menulis bahwa “simulasi
adalah bukan lagi teritorinya, tapi referensial bagi being atau substansi. Ini adalah hasil pembangkitan
dari model-model nyata tanpa adanya realitas atau asal-usulnya: sebuah hyperreal” (Baudrillard 1983:
2).
Ketika makna dan nilai sudah meledak bersamaan dengan pengambil-alihan atas the social oleh sign
value, maka tidak ada lagi kriteria tertentu untuk apa yang dianggap sebagai realitas. Simulasi berupaya
memulihkan referensialitas itu, tetapi dengan cara yang lebih ke model simulacral, atau melalui
mekanisme suksesi trompe l'oeil (secara harfiah berarti 'mengelabui mata') (Baudrillard 1990a).
Bukannya mengembalikan the social ke referensialitas atau representasi, simulasi justru mengarah
lebih ke hyperreality (dari sign), lebih tidak bisa diputuskan (dari pemaknaan), dan lebih tidak pasti
(tentang value). Memang, bahkan ketika itu beroperasi sebagai upaya habis-habisan untuk
memunculkan kembali referensialitas, simulacrum yang 'lebih nyata daripada realitas' menghapuskan
‘prinsip realita,’ sehingga setiap perbedaan antara 'benar' dan 'salah', 'nyata' dan 'imajiner', atau 'asli' dan
'palsu', menjadi tidak lagi mungkin. Jadi, saat simulasi mungkin dapat dikerahkan secara strategis
(sebagai teknik yang berusaha menegaskan kembali realitas tertentu), maka itu akan berakhir dengan
hilangnya kenyataan.
Pembahasan yang sangat terkenal Baudrillard terhadap Perang Teluk pada 1991 (Baudrillard 1995)
adalah mengikuti logika analitis ini. Perang Teluk, menurut Baudrillard, dapat dinalar secara masuk
akal hanya dalam konteks hyperreality, sebagai trompe l'oeil atas perang. Januari 1991, beberapa
minggu menjelang serangan militer oleh kekuatan sekutu terhadap Saddam Hussein di Irak, Baudrillard
menyatakan bahwa Perang Teluk tidak akan terjadi. Dalam pandangannya, perang sebenarnya sudah
terjadi, mungkin sudah lebih dari seratus kali, dalam bentuk model, media, dan simulasi militer yang
memainkan semua skenario bahkan sebelum peristiwa aslinya bisa terungkap. Begitu perang benar-
benar terjadi, Baudrillard menulis esai berikutnya dengan keyakinan pendapat bahwa perang tidak
terjadi. Tentu saja tulisannya banyak dikecam karena dianggap sebagai prediksi yang gagal (sejak
perang, pada tingkat tertentu, kegagalan prediksi itu memang terjadi) dan bahkan dituduh sebagai
revisionisme sejarah (Norris 1992). Namun, Baudrillard tetap menulis –untuk kebanyakan orang di
dunia Barat (namun, sayangnya, bukan untuk orang Irak)– bahwa Perang Teluk tidak terjadi dalam
kenyataan, karena tidak mungkin bagi pemirsa di Barat untuk membedakan antara sign-sign media dan
gambar media tentang perang itu, dan representasi asli dari kekerasan perang di Irak. Bagi semua
pemirsa di Barat, dengan semua arsenal teknologi mereka, media bisa saja membidik Perang Teluk
melalui mise-en-scène (penataan adegan dramatis) yang cerdik. Misalnya, dengan menggunakan alat
peraga dan aktor di beberapa studio di suatu tempat, atau bahkan di dalam terowongan rahasia di
bawah tanah Gedung Putih (ini tentu kemungkinan ironis dan lucu yang justru dibangkitkan oleh film
populer Wag the Dog - yang bukan tentang Perang Teluk tapi tentang simulasi media secara umum).
Sebagian besar tulisan Baudrillard dari 1980-an hingga awal 1990-an didominasi oleh refleksi terhadap
efek simulasi dan simulacra. Namun, sebagaimana diisyaratkan beberapa penulis, pemikiran
Baudrillard sejak 1990-an tampaknya lebih tertarik dalam menggambarkan kondisi yang menentukan
simulasi sosial atau domain politik ketika simulasi itu mencapai tahap baru. Tahap baru simulasi ini,
derajad tambahan dalam pembangkitan kembali kenyataan dengan cara sistem simulated sign (tanda-
tanda yang disimulasikan), telah diberi nama berbeda oleh Baudrillard. Itu antara lain diberi label
'fractal', 'virtual', 'viral', atau 'transpolitical.' Tahap tambahan dari simulasi ini, atau apa yang
Baudrillard pernah sebut sebagai 'fase suksesif gambar' (Baudrillard, 1983: 11), sesuai dengan 'simulasi
orde-keempat'. Pada tingkat ini, proliferasi sign dan kode yang tersimulasikan dalam hyperreality
adalah sudah sedemikian rupa sehingga kondisi simulasi tidak lagi dapat dimobilisasi secara strategis.
Model dan media telah kehilangan kontrol atas simulasi itu, simulasinya juga tidak lagi tentang
'menyamarkan ketiadaan realitas dasar' (Baudrillard, 1983: 11). Malahan, simulasi orde-keempat yang
fatal, fractal, virtual, atau transpolitical itu adalah tentang kehilangan referensialitas habis-habisan.
Simulacrum ini bahkan tidak dapat berhubungan dengan media atau model yang dihasilkannya lagi.
Sebaliknya, simulacrum orde-keempat ini “... menghasilkan sesuatu yang tidak ada kaitan sama sekali
dengan realitas” (Baudrillard, 1983: 11), bahkan 'realitas' yang direkonstruksi oleh simulasi itu sendiri.
Ini adalah 'simulacrum murni' (Baudrillard 1983: 11-12), di mana dampak pemaknaan dan realitasnya
terlempar ke segala penjuru.
Menurut Baudrillard, simulasi orde-keempat adalah transpolitical karena semua landasan bagi aktivitas
politik telah dihapus. Suatu 'keadaan kebingungan terpatah-patah' terus mencengkeram (Gane 2000:
43), dan sirkulasi tanpa henti menjadi karakteristik penentu bagi realitas yang radical, viral, atau
virtual ini. Akibatnya, tidak hanya perbedaan antara 'benar' dan 'salah' yang tidak bisa dipastikan lagi,
tetapi juga kapasitas untuk membedakan antara berbagai model pembangkit sign. Maka, keadaan
sosial, ekonomi, seksual, atau estetika, semuanya runtuh saling tumpang tindih, dan mereka melahirkan
bentuk-bentuk politik yang tak berbeda. Transpolitical ini menandai penyerbuan “... ketidak-berbedaan
kombinasi total [antara makna, nilai, dan sign] di luar setiap sistem atau matriks kombinasi” (Gane
2000: 43). Fatalnya, solusi tunggal yang dihasilkan dari sistem ketidakberbedaan total ini adalah untuk
menyebarkan peredaran lebih jauh atas aliran gambar dan signs, dan untuk menjenuhkan cakupan
media transpolitical dengan truth-effect (dampak-kebenaran) yang semakin lebih tidak membumi.
Pencarian beramai-ramai atas nilai, makna, dan kebenaran melalui begitu banyaknya realitas yang
sudah tersimulasikan ini, melalui realitas maya, akhirnya membimbing Baudrillard untuk mencatat
banyak adegan transcultural/non-event pada akhir milenium (tahun 2000, pemandangan tentang
perang-perang baru, pengukiran manipulasi genetik dan kloning, hubungan seks virtual, ketakutan
pandemik, dan lain-lain) yang menjadi gejala yang bisa didaur-ulang tanpa henti atas hilangnya
rekonfigurasi nyata dan transpolitikalnya. Dalam bukunya Impossible Exchange (2001 [1999]),
Baudrillard menyimpulkan bahwa the political yang melintas saat ini “... menyerap apa saja yang ada
di dekatnya dan mengubah mereka menjadi substansi dia sendiri.” Tapi, ia juga mencatat bahwa the
transpolitical tidak mampu “... mengubah atau merefleksikan diri sendiri menjadi realitas superior yang
bisa memberinya beberapa pemaknaan” (Baudrillard 1999: 12; diterjemahkan oleh penulis). Maka, the
transpolitical gagal memangsa pertukaran yang tak mungkin terjadi dalam bentuk “... meningkatnya
ketidakbisaan untuk memutuskan kategori, wacana, strategi, dan pertaruhan” (Baudrillard 1999: 12;
diterjemahkan oleh penulis).
Dalam intervensinya pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, Baudrillard menghibur pemikiran bahwa
satu-satunya hal yang bisa memutus (meski hanya sementara) proliferasi total dari efek-realitas ini
adalah kekacauan yang tak terduga, yang menggoyang kestabilan, dan yang mungkin dengan
kekerasan, atas the symbolic yang –sekali lagi– dikemukakan sebagai hal radikal lain bagi the real yang
dibangkitkan oleh sistem nilai, pemaknaan, atau sign. Dengan demikian, dalam mode yang menarik,
simulacrum transpolitik orde-keempat secara tidak sengaja mungkin dapat membawa kembali unsur-
unsur yang kritis dan mungkin yang membebaskan. Memang, ketika sistem makna dan sistem nilai
sudah menjadi mangsa bagi undecidability dan ketidaktentuan, sebuah 'prinsip ketidakpastian'
tampaknya akan muncul kembali. Hegarty menunjukkan bahwa, pada akhir 1990-an, Baudrillard
memperkenalkan serangkaian konsep ('kekerasan simbolis', 'ilusi radikal', 'pemikiran radikal',
'kejahatan', atau' teror') yang mengembalikan analisisnya ke perhatian sebelumnya dengan pertukaran
simbolis. Impossible exchange (pertukaran yang mustahil), khususnya, adalah prinsip yang ambigu,
tidak pasti, dan berganda (Hegarty 2004: 85). Itu bermakna ganda karena, menunjuk pada fakta bahwa
tidak ada lagi pihak luar untuk simulasi, tapi sekaligus juga menunjukkan bahwa –pada titik
puncaknya– logika bagi simulated reality adalah sekadar ilusi. Dengan demikian, orang dapat
berpendapat bahwa –dengan figur impossible exchange– Baudrillard mulai memobilisasi tantangan
analitis yang serupa dengan apa yang berusaha diperkenalkan oleh filsafat Bataille ketika menawarkan
gagasan tentang 'accursed share'. Baudrillard, dengan impossible exchange, kembali untuk
memperkenalkan (kembali) ambiguitas, ilusi, dan undecidability ke dalam sistem yang telah
menegaskan kontrol mutlak atas sosial atau politik melalui dugaan aliran dan sirkulasi lengkap atas
signs (dan mereka berharap adanya rezim kemudahan pertukaran yang tak berujung).
Terkait impossible exchange, mungkin juga kita perlu memahami intervensi terbaru Baudrillard tentang
peristiwa 9/11, terorisme, dan kekerasan global. Ide-ide dia semacam 'kejahatan radikal' atau 'ilusi
tentang hari akhir' terkesan jauh dari optimis atau bahkan membiarkan saja hasilnya bakal berlarian ke
mana-mana, namun ide-idenya itu juga bukan perspektif nihilistik. Pengamatan baru-baru ini oleh
Baudrillard memang fatal. Tapi, pengertiannya tentang impossible exchange, pemikirannya yang
radikal, atau istilah 'evil' justru bisa membuka pemikiran tentang kemungkinan balas dendam terhadap
the symbolic, dari apa yang diasumsikan Baudrillard sebagai kekerasan secara representasional dan
bukannya realitas yang tersimulasikan. Menemukan pihak luar pada simulated reality adalah sesuatu
yang hanya sejumlah kecil teoris Hubungan Internasional bisa perhatikan.
Sekarang, saya mengarah ke penjelasan singkat mengenai bagaimana tema-tema Baudrillardian
menemukan jalan mereka menuju beberapa teks teori kritis dalam Hubungan Internasional.

Teori Hubungan Internasional Mengambil Gagasan Baudrillard


James Der Derian adalah salah satu dari sejumlah teoris Hubungan Internasional pertama yang serius
melibatkan pemikiran Baudrillard ke dalam analisis pasca-Perang Dingin. Bagi Der Derian, ketiadaan
yang tiba-tiba atas musuh total bagi Barat –terutama Amerika Serikat– setelah Perang Dingin dan
runtuhnya Uni Soviet lah yang membuat ia memperhatikan karya Baudrillard tentang simulasi (Der
Derian 1994). Berakhirnya Perang Dingin meninggalkan kekosongan atau kesenjangan politik
representasional bagi Barat, terutama untuk diplomasi militer Amerika Serikat. Setelah 1989, untuk
menopengi tidak-adanya hubungan internasional dasar atau realitas Perang Dingin bagi Barat/Amerika
Serikat (yakni hilangnya pihak lain yang absolut), maka teknologi dan media simulasi (yang visual dan
yang dihasilkan komputer) sekarang jadi lebih diandalkan (bahkan, sering diandalkan oleh komandan
militer dan perencana perang). Apa yang disebut Der Derian sebagai 'kekuatan simulasi global' akan
dikerahkan pada akhir 1980-an dan sepanjang 1990-an dalam suksesi konflik aktual (Perang Teluk
1990-91, operasi di Somalia 1992-93) dan pelatihan militer fiktif (oleh pasukan Amerika Serikat di
pangkalan militer, dan program komputer militer, atau skenario game perang). Seperti dinyatakan Der
Derian, tujuannya adalah memastikan –melalui simulasi– 'kelanjutan dari perang dengan cara-cara yang
kelihatannya benar' (Der Derian 1994: 193).
Analisis Der Derian mengambil manfaat dari refleksi Baudrillard tentang peran media dalam konteks
perang hyperreal. Dalam buku Antidiplomacy, Der Derian mendukung lebih jauh argumen Baudrillard
tentang Perang Teluk sebagai konflik yang 'tidak terjadi'. Tentang Perang Teluk itu, yang paling banyak
diingat oleh sebagian besar pemirsa di Barat, adalah 'gambar-gambar hijau, kasar, pucat, dan kabur dari
awal dan akhir' (Der Derian 1992: 180), atau gambar lebih lanjut dari bom –dilengkapi kamera– yang
menghantam bangunan, atau kelebatan sinar dengan titik-titik hijau yang diduga peluru kendali Patriot
yang melintasi langit malam Baghdad. Simulasi (tele)visual atas realita Perang Teluk itu tidak
mengaburkan perbedaan antara realitas dan fiksi, atau antara peperangan dan sekadar game (permainan
komputer). Der Derian secara provokatif mempertanyakan: “Apakah ini perang betulan, atau hanya
permainan?” (Der Derian 1992: 196). Tapi, yang lebih penting, mungkin, Der Derian mencatat bahwa,
ketika tidak ada lagi cara untuk menjelaskan perbedaan antara perang dan penafsiran hyperreal, segala
macam kematian dan penghancuran menjadi lebih dapat diterima. Dalam konteks virtual ini, yakni
realitas tentang perang, jagad kekerasan dan kematian adalah hubungan internasional yang
disimulasikan dan dibelokkan lebih menjauh. Itu karena, seperti ditegaskan Der Derian, “serangkaian
simulasi bisa [membuat] pembunuhan jadi lebih efisien, lebih tidak nyata, dan lebih dapat diterima”
(Der Derian 1994: 200).
Timothy Luke adalah teoris lain yang karya-karyanya menunjukkan pentingnya pemikiran Hubungan
Internasional dalam dua dekade terakhir. Dalam karyanya tentang penangkalan nuklir menjelang
berakhirnya era Perang Dingin (Luke 1989), Luke merasa sangat terbantu oleh kritik awal Baudrillard
terhadap teori Marxis tentang penggunaan nilai. Transposisi Baudrillard dari ekonomi politik produk
dan barang menjadi ekonomi politik umum berupa sign memungkinkan para cedekiawan Hubungan
Internasional menalar penangkalan nuklir ke dalam penjelasan di luar penjelasan yang diberikan teori-
teori tradisional Hubungan Internasional. Seperti komoditas sehari-hari yang dipertukarkan dan
diedarkan pada masyarakat kapitalis moderen, hulu ledak senjata nuklir juga dipertukarkan dengan cara
begitu karena memiliki beberapa mata rantai 'sign' yang tidak pernah berujung. Seperti komoditas
lainnya, senjata nuklir itu ada, berpengaruh, dan punya sejumlah 'mata uang' dalam politik
internasional, atas dasar nilai tukar sign mereka. Dengan demikian, senjata bisa mencegah –bukan
hanya karena apa yang mereka bela demi value-wise (begitu banyak kapasitas untuk menghasilkan
kematian)– tetapi juga karena apa yang mereka representasikan sebagai signs (Luke 1989: 221).
Adalah nilai sign dari penangkalan nuklir (bukan nilai pakainya) yang memberinya makna. Itu karena
hulu ledak nuklir dapat diedarkan dan dipertukarkan secara ad infinitum dalam ekonomi politik
semiotik bahwa mereka begitu kuat (bukan sebagai nilai tukar penggunaan, karena pucuk dari
penangkalan nuklir adalah senjata-senjata itu tidak digunakan). Dengan kata lain, adalah 'ekonomi
simbolis dari power termonuklir' lah yang memungkinkan model teoritis (neo)realis hubungan
internasional konvensional (tentang power politik, strategi, dan pertahanan nasional) untuk menalarnya
(Luke 1989: 222). Bacaan Luke tentang penangkalan nuklir sebagai sistem sign mempersiapkan dia
bagi refleksi selanjutnya tentang berbagai aspek hubungan internasional. Apa yang tetap penting bagi
analisis Luke adalah pengertian bahwa simulasi selalu berada di jantung model-model politik
internasional kontemporer. Strategi-strategi simulasi adalah apa yang memungkinkan kerangka kerja
realis atau bahkan liberal untuk menalar dan terus menyebarkan meaning-effect ke seluruh politik
global. Luke berpendapat analisis penanda representasional tradisional hubungan internasional
tampaknya telah hilang sebagai akibat dari proliferasi, intensifikasi, dan percepatan 'aliran
transnasional' (ide, barang, simbol, dan uang) (Luke, 1991: 319). Konsekuensi bagi persepsi seperti
mengenai peningkatan dan mungkin tak-terbendungnya aliran adalah ketidakpastian dan ketakutan,
terutama bagi analis Hubungan Internasional yang telah berusaha mempertahankan status quo
geopolitik dan mengembalikan Hubungan Internasional ke (mirip) orde era Perang Dingin.
Tapi ketakutan atas desentralisasi, kekacauan, atau bahkan pemusnahan hubungan internasional
tradisional/realitas Perang Dingin (kedaulatan negara berada di atas semuanya), menurut Luke,
mungkin adalah tipu muslihat atau upaya untuk 'mengelabui mata' para pengamat hubungan
internasional. Klaim tentang bahayanya deteritorialisasi beroperasi sebagai mekanisme trompe l'oeil,
yang berusaha mendorong mata pengamat menjauh dari ketidaknyataan terkonstruksi atau hyperreality
dan mendekati situasi yang diduga lebih nyata atau lebih tahan lama. Luke menulis bahwa teori-teori
hubungan internasional tradisional pada masa pasca-Perang Dingin berfungsi sebagai perangkat trompe
l'oeil yang berharap bisa menyembunyikan fakta bahwa negara-bangsa paling kontemporer sekarang
tampaknya berjalan di atas “logika simulasi, yang tidak harus ada hubungannya dengan logika fakta
dan urutan penalaran” (Luke 1993: 245). Mirip dengan apa yang terjadi pada kedaulatan Kuwait
setelah invasi Irak 1990, kedaulatan negara-bangsa saat ini sangat bergantung pada circulating flows,
immanently exchangeable signs, dan proliferasi vektor power ekonomi, politik, dan budaya yang
'berada' di banyak ibu-ibu kota atau istana-istana presiden seperti halnya di Dewan Keamanan PBB, di
pertemuan para menteri Organisasi Perdagangan Dunia, atau di kantor-kantor administrasi Organisasi
Kesehatan Dunia, Dana Moneter Internasional, atau Agen Energi Atom Internasional (1993: 246-47).
Selain itu, melalui simulacrum yang ditawarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa –lembaga yang
tampaknya sudah diberdayakan kembali– pada 1990-an (Debrix 1999), “semua nilai-nilai realis atas
negara-bangsa modern, seperti otonomi, kedaulatan, legitimasi, dan kekuasaan, adalah ditinggikan”
(Luke 1993: 246).
Namun, analisis Luke menunjukkan bahwa sulit untuk berpikir tentang Hubungan Internasional pasca
Perang Dingin tanpa memperhitungkan simulasi Baudrillard. Refleksi Baudrillard terhadap simulasi
memungkinkan kita menjelaskan bagaimana Hubungan Internasional dapat terus beroperasi dengan
premis lama yang sama (kedaulatan, politik kekuasaan, anarki, pencegahan, dan sebagainya), bahkan
ketika “kebenaran pasti terra firma realis meledak dalam aliran kode terra infirma yang hyperreal”
(Luke 1993: 256). Ketika kaum realis pada gilirannya menjadi hyperrealists, batas-batas
representasional atas pemikiran Hubungan Internasional dapat diatasi dengan cara simulasi. Namun, itu
belum dipelihara, karena konsep-konsep dasar Hubungan Internasional harus mempertahankan
kemiripan makna, nilai, dan realitas.
Cynthia Weber adalah teoris kritis kunci lain dalam Hubungan Internasional yang bersedia menerima
tantangan Baudrillardian. Mengingat beberapa refleksi Luke tentang keberalihan hubungan
internasional dari realisme/realitas menuju hyperrealism/hyperreality, karya Weber menunjukkan
bahwa kedaulatan lah yang paling tergantung pada simulasi sebagai strategi tertentu bagi the real.
Dalam bukunya Simulating Sovereignty, Cynthia Weber menunjukkan bahwa, ketika hubungan antara
kedaulatan dan intervensi tidak lagi antagonistis, kekuasaan berdaulat tidak dapat lagi dipahami
menurut logika kenyataan referensial, tetapi menurut logika simulasi (Weber 1995: 31).
Menurut interpretasi hubungan internasional tradisional yang negara-sentris, intervensi militer ke
wilayah negara lain adalah pelanggaran khas bagi kedaulatan. Kedaulatan menjadi tidak lagi bermakna
ketika invasi terjadi. Weber berpendapat, hubungan dualistik antara intervensi dan kedaulatan
membentuk dasar dari kebanyakan kebenaran dalam hubungan internasional. Tapi bagaimana kalau
kedaulatan dipremiskan di atas serangkaian wacana atau suksesi sign yang dibuat untuk berdiri di atas
kekuasaan berdaulat? Seperti itu lah konfigurasi kedaulatan dalam invasi-invasi militer Amerika
Serikat atas Granada dan Panama pada 1980-an. Dalam kasus-kasus ini, multiple sign diandalkan untuk
membenarkan intervensi Amerika Serikat sebagai penanda kedaulatan kedua negara (dan bukan
sebagai pengingkaran atas kedaulatan, sesuatu biasanya menjadi hal paling signifikan dalam intervensi
secara tradisional). Kedaulatan menjadi bisa ditukar kapan saja dan bagaimana saja dengan intervensi,
dan bertindak sebagai signs bagi satu sama lain. Seperti dikatakan Weber, “tidak lagi mungkin
menentang kedaulatan dan intervensi karena semua orang tampaknya memiliki klaim sah pada
kedaulatan (rakyat Panama, Jenderal Noriega sebagai kepala negara de facto, pemerintah Endara, dan
Administrasi Bush)” (1995: 121).
Konsekuensi bagi penerapan simulasi Baudrillard ini cukup drastis bagi konsep kedaulatan dan seluruh
bidang politik internasional. Seperti diisyaratkan Luke, ketergantungan pada teorisasi radikal
Baudrillard tentang representasi ternyata mededramatisir kedaulatan negara (dan kekuasaan negara
serta para teoris yang bersumber dari situ). Kedaulatan tidak lagi sebagai kebenaran yang dihormati
tentang sistem internasional atas negara-negara yang disinari semua jenis klaim; kekuasaan,
pengetahuan, atau nilai. Sebaliknya, seperti yang diprovokasikan Cynthia Weber, “jika kedaulatan dan
intervensi ada di mana-mana, maka berarti mereka tidak ada di mana-mana” (Weber 1995: 121).
Asal-muasal menolehnya Cynthia Weber ke Baudrillard adalah kenyataan bahwa Weber mengambil
analisis simulasi di luar sekadar eksplorasi kritis atas beberapa aspek penting atau sub-bagian dari
analisis Hubungan Internasional (perang, teknik operasional militer, pencegahan) dan berusaha untuk
menggerakkannya ke arah kebenaran fundamental Hubungan Internasional. Tulisan-tulisan Baudrillard
berpengaruh pada sarjana dan mahasiswa Hubungan Internasional, menurut Weber, adalah karena
tulisan-tulisan itu mengijinkan mereka memproblematikakan klaim realitas atas sistem makna dan nilai
yang dominan. Dengan meluncurkan défi ini, Weber membuka ruang kritis di mana teoris berpikiran
radikal lainnya pada gilirannya dapat memobilisasi energi eksplosif dari analisis Baudrillard. Beberapa
cendekiawan Hubungan Internasional telah melompat di atas kesempatan ini untuk melepaskan
kekuatan pikiran radikal Baudrillard ke refleksi kontemporer atas situasi global (Debrix 1996; Hansen
1997; Reid 2007).
Para teoris ini juga berusaha memobilisasi dan memperluas tantangan yang lebih baru diperkenalkan
oleh Baudrillard (refleksinya terhadap transpolitical atau impossible exchange, misalnya). Sementara
aplikasi analitis seperti itu tetap dekat pada pemikiran Baudrillard tentang simulasi, mereka juga
menyadari bahwa intervensi Baudrillard baru-baru ini tidak dapat dengan mudah diabaikan. Seperti
yang saya sarankan dalam kesimpulan, masih ada ruang dalam lingkaran Hubungan Internasional kritis
untuk eksplorasi cermat terhadap argumen-argumen Baudrillard yang menantang pada peralihan
milenium.

Ilusi Global
Dalam bukunya The Transparency of Evil (1993b [1990]) dan The Perfect Crime (1996b [1995]),
Baudrillard mengantisipasi beberapa isu yang datang kembali dengan kekuatan penuh setelah peristiwa
9/11. Totalitas dari sistem simulasi dalam konfigurasi transpolitical adalah sedemikian rupa sehingga
oto-imunisasi virtual masyarakat Barat dari segala macam risiko dan bahaya yang terantisipasi itu bisa
menyediakan keamanan lengkap (Baudrillard 1996b: 131-41). Proteksi berlebihan yang tersimulasi
semacam itu juga tentang melakukan pembersihan menyeluruh atas apa yang Baudrillard sebut sebagai
kematian atau kejahatan dari sistem nilai Barat pada era pergantian milenium. Hasrat tinggi untuk
menaklukkan atau menguasai kematian, kejahatan, atau hal lain yang radikal (the simbolic) adalah apa
yang akan mengazab model transpolitical Barat (dan ekstensi global mereka), begitulah yang
diingatkan Baudrillard. Di luar sistem protektif referensial-diri ini, kekerasan oposisional dari the
symbolic mendapatkan kekuatan. Keinginannya untuk balas dendam ditekankan oleh pembebasan
dirinya dari dunia virtual kita.
Menurut Baudrillard, evil (kejahatan) bukanlah kebenaran metafisik besar dari beberapa pandangan
moral, ideologis, atau teologis. Evil, bagi Baudrillard, adalah hasil yang akan dibersihkan dari model
simulasi Barat atas realitas global. Evil berlawanan dengan good karena rumus-rumus transpolitical
dalam semesta global/virtual kita adalah tentang membuat semua realita tampak, terasa, dan menjadi
baik. Maka, evil adalah apa yang kembali, apa menuntut untuk dipertukarkan, dan apa yang minta
untuk menghasilkan pemaknaan. Dalam pengertian semacam ini lah evil itu radikal (dan juga orde the
symbolic) karena 'mengisi sistem dengan sesuatu yang ditolaknya' (Hegarty 2004: 82).
Bagi Baudrillard, pemikiran global hari ini didorong oleh obsesi menghasilkan efek positif dan
mengembang-biakkan wacana dan kebijakan baik (tentang hak asasi manusia, tentang kemiskinan,
tentang penyakit, tentang perang). Pemikiran yang diseragamkan global semacam itu (yang dapat
ditemukan dalam tulisan-tulisan dari Francis Fukuyama atau Thomas Friedman, misalnya) adalah
virtual dan tersimulasi. Ia berusaha 'menyadari' tatanan dunia di mana nilai-nilai Barat ditegaskan
sebagai kehendak yang seharusnya bagi semua umat manusia. Tapi proses berpikir seperti itu juga
muncul dengan aplikasi mengerikan berupa kekerasan. Itu adalah kekerasan model atau kode-kode
virtual yang mengklaim universalisme (dalam ketiadaannya) dan melenyapkan perbedaan-perbedaan.
Beberapa pihak telah berpendapat (mengikuti Baudrillard), “... apa yang harus diproblematikakan
sekarang adalah bukan perbedaan namun penghapusan virtual dan tersimulasi” (Debrix 1999: 218).
Meski virtual (dalam manipulasinya terhadap the real) dan ilusif (dalam arah menuju konfrontasi
melawan evil radikal), kekerasan dari global saat ini masih tetap mengerikan dan meneror. Itu jadi
begitu karena pemikiran global mempostulatkan tidak ada batas apa pun terhadap realita virtual yang
seharusnya membentuk nilai-nilai universal yang diciptakan kembali (globalisasi, hak asasi manusia,
demokrasi, atau perdamaian).
Baudrillard menyatakan bahwa, dalam serangan teroris 9/11, sebenarnya virtual dan global Barat lah
yang, “mengasumsikan posisi Tuhan..., telah menjadi peperangan bunuh diri dan terdeklarasikan
kepada diri sendiri” (Baudrillard 2002a: 405). Meski ini dapat diambil untuk menandai bahwa
kebijakan Barat sendiri lah yang mengakibatkan tindakan teroris, argumen ini jauh lebih kompleks.
Untuk menghargai kekuatan kritis pemikiran Baudrillard di sini, kita harus memahami kekuatan model
tersimulasi serta sistem pembuatan-realitas oposisional bahwa simulasi dan the symbolic datang untuk
terwujud dalam analisis. Intervensi Baudrillard tentang 9/11 dan 'Perang terhadap Teror' tidak berupaya
membela teror atau terorisme (juga bukan tentang membela kekerasan global). Sebaliknya, bagi
Baudrillard, terorisme hanyalah gejala dari power pembalasan yang mau tidak mau bakal kembali
untuk menyebarluaskan ke-tunggal-an dari the symbolic ke virtualitas dan keseragaman global (dan
dengan demikian mengungkap ilusi fatalnya). Terorisme bukan kebenaran fundamental atau ideologi
fundamental. Itu adalah prinsip simbolik dari destabilisasi sistem yang muncul pada saat sistem
mengira itu lah yang paling lengkap, sempurna, atau total. Seperti dikatakan Baudrillard: “Terorisme
tidak menciptakan apa pun dan tidak memulai apa pun. Terorisme hanya membuat hal-hal ke level
ekstrem, paroxysmic. Ia hanya memperparah keadaan tertentu dari realitas, logika tertentu dari
kekerasan dan ketidakpastian” Baudrillard 2002b: 36; terjemahan penulis).
Dengan demikian, dalam serangan 9/11, itu bukan hanya perlawanan simbolis terhadap kekerasan dari
virtual/global yang diungkapkan Baudrillard. Ini juga kembalinya pemikiran berbeda secara radikal,
yang berusaha memasukkan kembali singularitas event ke dalam kehidupan politik. Bagi Baudrillard,
event ini lah yang memaksa konsep menjauh dari domain referensial aman mereka, dan apa yang
'menjadikan setiap usaha total menjadi tidak berguna' (Baudrillard 2002b: 25; terjemahan penulis).
Dengan berusaha memperkenalkan kembali event itu, pemikiran Baudrillard tentang kekerasan, ekses,
juga tentang kegagalan simulasi, akhirnya terhubung kembali dengan upaya destabilisasi dan
dekonstruksi oleh para filsuf Perancis kontemporer untuk memikirkan kembali politik melalui
penyerbuan yang tidak menentu, tidak terduga, dan tak terkendali dari singularitas atau perbedaan
(Nancy 2000; Derrida 2005b).
Pada akhirnya (juga, pada akhir hidupnya), Baudrillard bertanya: “Bagaimana suatu event, bahkan
seperti 9/11, tetap menyimpan singularitasnya?” (Baudrillard 2004: 143). Mungkin pertanyaan ini lah
yang harus ditanyakan pada diri sendiri oleh para mahasiswa dan cendekiawan yang menantang
pemikiran-pemikiran dominan tentang the global (dan kekerasannya).

Bacaan lebih lanjut


The System of Objects (Jean Baudrillard, 1996a [1968], London: Verso): Ini buku pertama Baudrillard.
Ini juga yang memulai gerakannya ke luar dari analisis Marxis tentang penggunaan nilai dan
mengembangkan semiologi dari objek.
Forget Foucault (Jean Baudrillard, 1987 [1977], New York: Semiotext (e)): Baudrillard mengkritik
ketergantungan Foucault pada power sebagai suatu sistem referensialitas/representasi. Baudrillard
mengisyaratkan; fakta bahwa power ada di mana-mana (seperti disiratkan Foucault) berarti power telah
bergerak di luar representasi dan realita. Power telah memasuki era simulacrum.
America (Jean Baudrillard 1988b [1986], London: Verso): Perjalanan fikiran terkenal Baudrillard
menelusuri hyperreality Amerika. Buku ini berkontribusi besar bagi popularisasi teorinya.
Power Inferno (Jean Baudrillard [2002b], Paris: Galilée): Volume ini (yang diterbitkan dalam bahasa
Perancis) berisi tiga esai yang ditulis Baudrillard setelah serangan teroris 9/11 ( 'Requiem for the Twin
Towers’,‘Hypotheses on Terrorism’, dan ‘The Violence of the Global'). Ini berisi beberapa refleksi
paling polemik tentang kekerasan global.

You might also like