Professional Documents
Culture Documents
François Debrix
Pemikiran Jean Baudrillard cukup menggetarkan bagi banyak ahli politik yang ingin menggalinya atau
menerapkannya ke dalam karya mereka. Tidak ada satu pun teoris kritis dalam lima puluh tahun
terakhir ini yang begitu tak kenal kompromi mengenai bagaimana proses berfikir kritis harus
menemani setiap analisis atas realita politik, sebagaimana yang dilakukan Baudrillard. Namun,
sebagaimana tanpa-komprominya sifat tulisan-tulisannya, investigasi teoritis Baudrillard juga termasuk
yang paling terbuka dan paling bebas bergulir yang bisa temukan dalam teori kontemporer. Karya-
karya Baudrillard adalah undangan yang tidak pernah mau menerima apa saja yang sekadar jatuh dari
langit, atau –lebih tepatnya– tidak pernah mau mengambil begitu saja atas apa pun realita yang
disajikan pada para pengamat panggung politik global. Baudrillard menekankan pentingnya memulai
jalur berfikir dengan menempatkan kemungkinan-kemungkinan atas tantangan (atau, défi) di titik
tertinggi dari usaha apa pun. Kebenaran, kenyataan, dan fakta, saat diberlakukan oleh pemaknaan dan
sistem representasi, harus ditantang –kadang dengan cara teror yang representasional, atau dengan
melepaskan energi berlebihan, yang diupayakan pertama-tama untuk dikontrol sistem.
Tulisan-tulisan Baudrillard sekaligus menegangkan dan menjemukan, menyenangkan dan
mengesalkan, membebaskan dan menakut-nakuti. Tidak diragukan lagi, itu karena tulisan-tulisannya
terus-menerus menggelorakan antara realitas dan ironi, tindakan tak masuk akal dan ilusi brilian,
mobilisasi dan ketidakpedulian, kemungkinan transformatif dan fatalisme telanjang, serta kepastian
intelektual dan ketidakpastian radikal. Bagi sebagian orang, Baudrillard adalah ancaman bagi
pemikiran yang mapan. Dia adalah 'penipu intelektual' post-modern yang memobilisasi kata-kata atau
kalimat 'tanpa makna' (Sokal dan Bricmont 1998: 142). Lebih parah lagi, Baudrillard adalah jenis
pemikir yang justru merayakan 'nihilisme moral dan politik' (Norris 1992: 194). Namun, bagi sebagian
lainnya, Baudrillard harus dihargai sebagai teoris Prancis 'paling keras kepala' (Hegarty 2004: 1).
Tulisannya adalah “... fiesta teoritis: suatu momen eksplosif dari modernitas di mana eschatology
rasionalis kala itu pertama kali diungkapkan, dan kemudian digerogoti” (Kroker 1992: 56).
Bagaimanapun, di kalangan para teoris, kebingungan dan keraguan lah yang akhirnya menang. Di
sebagian besar waktu, entah diakui atau tidak, para pemikir sosial dan politik tak terlalu tahu apa yang
membentuk kata-kata mereka dan ide-ide mereka. Seperti diakui Zygmunt Bauman, “Kosa kata
Baudrillard yang universal diatur dalam seperangkat domain berbeda dari pengalaman, ...[yang] tidak
berkomunikasi dengan dunia persepsi yang diproses secara sosiologis” (Bauman 1993: 23).
Para cendekiawan Hubungan Internasional juga mengadopsi sikap yang sama. Karena tidak tahu
bagaimana menghadapi Baudrillard, mereka sekadar mengambil sikap tidak tahu-menahu atas dirinya.
Atau, ketika didesak, mereka sekadar membuat referensi selintas terhadap beberapa konsepnya. Jadi,
ketika sejumlah kecil teoris kritis Hubungan Internasional mendapatkan keberanian untuk mempelajari
karya Baudrillard dan memilih untuk mulai menerima tantangan konseptual Baudrillard, maka tulisan-
tulisan mereka layak untuk dikaji. Ini mengarah ke menyoroti analisis kritis yang diilhami Baudrillard
tentang beberapa pemikir kontemporer Hubungan Internasional. Meski demikian, bagian pertama dari
esai ini memaparkan pemikiran Baudrillard yang menantang dan berupaya menjelaskan bagaimana hal
itu dapat bermanfaat bagi mahasiswa dan cendekiawan Hubungan Internasional –dan, selanjutnya, pada
para pengamat panggung politik yang tertarik dalam menghadapi kekerasan global.
Ilusi Global
Dalam bukunya The Transparency of Evil (1993b [1990]) dan The Perfect Crime (1996b [1995]),
Baudrillard mengantisipasi beberapa isu yang datang kembali dengan kekuatan penuh setelah peristiwa
9/11. Totalitas dari sistem simulasi dalam konfigurasi transpolitical adalah sedemikian rupa sehingga
oto-imunisasi virtual masyarakat Barat dari segala macam risiko dan bahaya yang terantisipasi itu bisa
menyediakan keamanan lengkap (Baudrillard 1996b: 131-41). Proteksi berlebihan yang tersimulasi
semacam itu juga tentang melakukan pembersihan menyeluruh atas apa yang Baudrillard sebut sebagai
kematian atau kejahatan dari sistem nilai Barat pada era pergantian milenium. Hasrat tinggi untuk
menaklukkan atau menguasai kematian, kejahatan, atau hal lain yang radikal (the simbolic) adalah apa
yang akan mengazab model transpolitical Barat (dan ekstensi global mereka), begitulah yang
diingatkan Baudrillard. Di luar sistem protektif referensial-diri ini, kekerasan oposisional dari the
symbolic mendapatkan kekuatan. Keinginannya untuk balas dendam ditekankan oleh pembebasan
dirinya dari dunia virtual kita.
Menurut Baudrillard, evil (kejahatan) bukanlah kebenaran metafisik besar dari beberapa pandangan
moral, ideologis, atau teologis. Evil, bagi Baudrillard, adalah hasil yang akan dibersihkan dari model
simulasi Barat atas realitas global. Evil berlawanan dengan good karena rumus-rumus transpolitical
dalam semesta global/virtual kita adalah tentang membuat semua realita tampak, terasa, dan menjadi
baik. Maka, evil adalah apa yang kembali, apa menuntut untuk dipertukarkan, dan apa yang minta
untuk menghasilkan pemaknaan. Dalam pengertian semacam ini lah evil itu radikal (dan juga orde the
symbolic) karena 'mengisi sistem dengan sesuatu yang ditolaknya' (Hegarty 2004: 82).
Bagi Baudrillard, pemikiran global hari ini didorong oleh obsesi menghasilkan efek positif dan
mengembang-biakkan wacana dan kebijakan baik (tentang hak asasi manusia, tentang kemiskinan,
tentang penyakit, tentang perang). Pemikiran yang diseragamkan global semacam itu (yang dapat
ditemukan dalam tulisan-tulisan dari Francis Fukuyama atau Thomas Friedman, misalnya) adalah
virtual dan tersimulasi. Ia berusaha 'menyadari' tatanan dunia di mana nilai-nilai Barat ditegaskan
sebagai kehendak yang seharusnya bagi semua umat manusia. Tapi proses berpikir seperti itu juga
muncul dengan aplikasi mengerikan berupa kekerasan. Itu adalah kekerasan model atau kode-kode
virtual yang mengklaim universalisme (dalam ketiadaannya) dan melenyapkan perbedaan-perbedaan.
Beberapa pihak telah berpendapat (mengikuti Baudrillard), “... apa yang harus diproblematikakan
sekarang adalah bukan perbedaan namun penghapusan virtual dan tersimulasi” (Debrix 1999: 218).
Meski virtual (dalam manipulasinya terhadap the real) dan ilusif (dalam arah menuju konfrontasi
melawan evil radikal), kekerasan dari global saat ini masih tetap mengerikan dan meneror. Itu jadi
begitu karena pemikiran global mempostulatkan tidak ada batas apa pun terhadap realita virtual yang
seharusnya membentuk nilai-nilai universal yang diciptakan kembali (globalisasi, hak asasi manusia,
demokrasi, atau perdamaian).
Baudrillard menyatakan bahwa, dalam serangan teroris 9/11, sebenarnya virtual dan global Barat lah
yang, “mengasumsikan posisi Tuhan..., telah menjadi peperangan bunuh diri dan terdeklarasikan
kepada diri sendiri” (Baudrillard 2002a: 405). Meski ini dapat diambil untuk menandai bahwa
kebijakan Barat sendiri lah yang mengakibatkan tindakan teroris, argumen ini jauh lebih kompleks.
Untuk menghargai kekuatan kritis pemikiran Baudrillard di sini, kita harus memahami kekuatan model
tersimulasi serta sistem pembuatan-realitas oposisional bahwa simulasi dan the symbolic datang untuk
terwujud dalam analisis. Intervensi Baudrillard tentang 9/11 dan 'Perang terhadap Teror' tidak berupaya
membela teror atau terorisme (juga bukan tentang membela kekerasan global). Sebaliknya, bagi
Baudrillard, terorisme hanyalah gejala dari power pembalasan yang mau tidak mau bakal kembali
untuk menyebarluaskan ke-tunggal-an dari the symbolic ke virtualitas dan keseragaman global (dan
dengan demikian mengungkap ilusi fatalnya). Terorisme bukan kebenaran fundamental atau ideologi
fundamental. Itu adalah prinsip simbolik dari destabilisasi sistem yang muncul pada saat sistem
mengira itu lah yang paling lengkap, sempurna, atau total. Seperti dikatakan Baudrillard: “Terorisme
tidak menciptakan apa pun dan tidak memulai apa pun. Terorisme hanya membuat hal-hal ke level
ekstrem, paroxysmic. Ia hanya memperparah keadaan tertentu dari realitas, logika tertentu dari
kekerasan dan ketidakpastian” Baudrillard 2002b: 36; terjemahan penulis).
Dengan demikian, dalam serangan 9/11, itu bukan hanya perlawanan simbolis terhadap kekerasan dari
virtual/global yang diungkapkan Baudrillard. Ini juga kembalinya pemikiran berbeda secara radikal,
yang berusaha memasukkan kembali singularitas event ke dalam kehidupan politik. Bagi Baudrillard,
event ini lah yang memaksa konsep menjauh dari domain referensial aman mereka, dan apa yang
'menjadikan setiap usaha total menjadi tidak berguna' (Baudrillard 2002b: 25; terjemahan penulis).
Dengan berusaha memperkenalkan kembali event itu, pemikiran Baudrillard tentang kekerasan, ekses,
juga tentang kegagalan simulasi, akhirnya terhubung kembali dengan upaya destabilisasi dan
dekonstruksi oleh para filsuf Perancis kontemporer untuk memikirkan kembali politik melalui
penyerbuan yang tidak menentu, tidak terduga, dan tak terkendali dari singularitas atau perbedaan
(Nancy 2000; Derrida 2005b).
Pada akhirnya (juga, pada akhir hidupnya), Baudrillard bertanya: “Bagaimana suatu event, bahkan
seperti 9/11, tetap menyimpan singularitasnya?” (Baudrillard 2004: 143). Mungkin pertanyaan ini lah
yang harus ditanyakan pada diri sendiri oleh para mahasiswa dan cendekiawan yang menantang
pemikiran-pemikiran dominan tentang the global (dan kekerasannya).