Professional Documents
Culture Documents
Radang usus buntu atau apendisitis adalah peradangan usus buntu, sebuah organ yang
merupakan tabung sepanjang 1,5 cm membentang dari usus besar.
B. Prevalensi
1. Risiko Usia Terhadap Kejadian Apendisitis
Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 9 diperoleh data responden bahwa dari
54 responden yang mengalami kejadian apendisitis, 31 responden (57,4 %) yang berusia 15-
25 tahun dan 23 responden (42,6 %) berusia 25 tahun, sedangkan dari 108 responden yang
tidak apendisitis, terdapat 24 responden (22,2 %) yang berusia 15-25 tahun dan 84 responden
(77,8%) berusia 25 tahun. Berdasarkan hasil uji statistik didapat OR yaitu 4,717 pada CI 95%
2,331 - 9,545, artinya risiko usia 15-25 tahun yang menderita penyakit apendisitis sebesar
4,717 kali lebih besar dibandingkan dengan yang berusia 25 tahun dan bermakna secara
signifikan.
Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 10 diperoleh data responden bahwa dari
54 responden yang mengalami kejadian apendisitis, 20 responden (37,0 %) yang dengan jenis
kelamin laki-laki dan 34 responden (63,0 %) dengan jenis kelamin perempuan, sedangkan
dari 108 responden yang m tidak apendisitis, terdapat 51 responden (47,2 %) dengan jenis
kelamin laki-laki dan 57 responden (52,8%) bdengan jenis kelamin perempuan. Berdasarkan
hasil uji statistik didapat OR yaitu 0,657 pada CI 95% 0,337 – 1,284, artinya risiko
responden berjenis kelamin lakilaki menderita penyakit apendisitis sebesar 0,657 kali lebih
besar dibandingkan dengan responden berjenis kelamin perempuan dan secara signifikan
tidak bermakna
Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 5.11 diperoleh data responden bahwa dari
54 responden yang mengalami kejadian apendisitis, 38 responden (70,4 %) yang mempunyai
pola makan buruk dan 16 responden (29,6 %) mempunyai pola makan baik, sedangkan dari
108 responden yang m tidak apendisitis, terdapat 44 responden (40,7 %) yang mempunyai
pola makan buruk dan 64 responden (59,3%) mempunyai pola makan baik. Berdasarkan hasil
uji statistik didapat OR yaitu 3,455 pada CI 95% 1,717 – 6,949, artinya risiko responden
yang mempunyai pola makan buruk untuk menderita penyakit apendisitis sebesar 3,455 kali
lebih besar dibandingkan dengan responden yang mempunyai pola makan baik dan bermakna
secara signifikan
C. Klasifikasi
Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain :
1. Apendisitis akut Adalah peradangan apendiks yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum pariental setempat sehingga menimbulkan rasa sakit di abdomen kanan
bawah.
2. Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler) terjadi bila apendisitis ganggrenosa di tutupi
pendinginan oleh omentum.
2. Etiologi dan Faktor Resiko
A. Etiologi
Obstruksi Lumen : Infeksi kuman dari
a. Hiperplasia dari folikel limfoid usus E.coli dan
cacing ascorosis
b. Fekolit (Feses yg keras) dalam
lumen APENDIKS
Infeksi kuman
c. Adanya benda asing (biji cabai).
E.coli
Reaksi antigen
dengan Ig A
Obstruksi (penyumbatan lumen apendiks)
Ig A gagal
Mukosa terbendung melawan
antigen kuman
Meningkatnya tekanan
intraluminal/dinding apendiks
Iskemia jaringan
APPENDISITIS
Apendisitis adalah peradangan usus buntu, sebuah organ yang merupakan tabung
sepanjang 1,5 cm membentang dari usus besar.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan
nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini tersebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa . Bila dinding yang telah
rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
A. Faktor Resiko
Pola makan
Usia
Makanan
15-25 thn
rendah serat
(pelajar/mahasiswa)
Memengaruhi
Asupan tiap jam
pembentukan fekalit
istirahat rata-rata
dihabiskan dikantin
konstipasi
Makanan Instan
Kurang asupan
serat
↑ Sekresi Cairan & Lendir dari
Mukosa secara terus menerus
konstipasi
Tekanan di
dalam rongga Bakteri lebih mudah berkembangbiak
usus meningkat
APPENDISITIS
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat
dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis. Konstipasi akan menaikkan
tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan flora normal kolon. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya
appendicitis. Diet memainkan peran utama pada pembentukan sifat feses, yang mana
penting pada pembentukan fekalit. Kejadian appendicitis jarang di negara yang sedang
berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan konsistensi feses.
3. Penatalaksanaan Medis
Pada pasien yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan
laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan.
Pasien dibaringkan ditempat tidur dan tidak diberi apapun melalui mulut. Bila diperlukan
maka dapat diberikan cairan aperviteral. Pemeriksaan abdomen dan rektum, sel darah putih dan
hitung jenis diulangi secara periodik. Perlu dilakukan foto abdomen dan thoraks posisi tegak
pada semua kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas dari tanda lokalisasi kuadran kanan
bawah dalam waktu 24 jam setelah timbul gejala.
b. Intubasi
Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau toksitas yang
menandakan bahwa ileus pasca operatif yang sangat menggangu. Pada pasien ini dilakukan
aspirasi kubah lambung jika diperlukan. Pasien dibawa ke kamar operasi dengan pipa tetap
terpasang.
c. Antibiotik
Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik dengan toksitas yang
berat dan demam yang tinggi.
2. Terapi bedah
Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak
terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada
perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian
berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan
harinya diberikan makan saring, dan hari berikutnya diberikan makanan lunak. Satu hari pasca
operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua
pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien
diperbolehkan pulang.
4. Pemeriksaan Penunjang
Jumlah WBC menunjukkan leukositosis sedang. Ketika tes jumlah leukosit diferensial
dilakukan, tes tersebut menunjukkan jumlah neutrofil imatur semakin meningkat, menunjukkan
semakin buruknya kondisi inflamasi. Dengan radang usus buntu, jumlah total sel darah putih
meningkat (10.000 hingga 20.000 / mm3), dengan peningkatan jumlah sel darah putih yang
belum matang (pita).
Abdominal ultrasound adalah tes yang paling efektif untuk mendiagnosis apendisitis
akut. Sensitivitas yang dilaporkan dalam diagnosis ultrasonografi apendisitis akut adalah sekitar
94−97% (Toorenvliet et al., 2010),computed tomography (CT) scan atau ultrasound perut
menunjukkan pembesaran di sekum. mengurangi kejadian pembedahan eksplorasi, dan sangat
berguna pada orang dengan gejala atipikal, seperti wanita hamil, anak-anak dan orang dewasa
yang lebih tua. Tes diagnostik lain yang digunakan untuk secara akurat mendiagnosis appen-
dicitis termasuk rontgen perut, pielogram intravena, urinalisis, dan pemeriksaan panggul.
Tes kehamilan dapat dilakukan untuk wanita usia subur untuk menyingkirkan kehamilan
ektopik dan sebelum rontgen diperoleh. Laparoskopi diagnostik dapat digunakan untuk
menyingkirkan apendisitis akut pada kasus samar-samar.
5. Komplikasi
1. Perforasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks / perforasi usus. Perforasi adalah
pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga perut.
Drainase bedah dan antibiotik diperlukan jika perforasi terjadi. Perforasi apendiks /
perforasi usus dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi
adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi
secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu
37,7O C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang
kontinyu (Smeltzer dan Barre, 2002).
2. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak dikuadran
kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang
menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau
mikroperforasi ditutupi oleh omentum
3. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat
terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan perit
oneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut
yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis
6. Asuhan Keperawatan Apendisitis
Pengkajian
a. Identitas Klien
Data diri klien meliputi : nama, umur, pekerjaan, pendidikan, alamat, dan lain – lain
b. Riwayat Kesehatan :
1. Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal kronik, diabetes mellitus, dan
lain-lain.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan yang dirasakan saat ini yaitu: nyeri abdomen berat, muntah, dan lain-lain.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Adanya riwayat keluarga yang pernah atau sedang menderita diabetes mellitus,
hipertensi, penyakit jantung, dan penyakit menular.
c. Pola Aktifitas Sehari-Hari
1. Makan dan minum, meliputi :
Komposisi makanan dan minuman, frekuensi makan dan minum, baik sebelum
dirawat.
2. Eliminasi, meliputi :
Pola eliminasi (BAK) dan defekasi (BAB), jumlah, warna, serta konsistensinya.
3. Istirahat atau tidur meliputi :
Gangguan pola tidur karena nyeri abdomen yang berat.
4. Personal hygiene meliputi :
Pola atau frekuensi mandi, menggosok gigi, keramas, baik sebelum dan selama
dirawat.
d. Pemeriksaan Fisik
Adakah nyeri lepas tekan (nyeri setelah palpasi dalam pada perut dilepaskan)
Adanya peritonitis
Pemeriksaan tanda-tanda vital
e. Data Laboratorium
Analisa Data
DT :
Klien tidak menghabiskan
makanannya, hanya makan
nasi setengah porsi.
Klien didiagnosis apendisitis
Intervensi Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
DO:
TD : 120/70 mmHg
HR: 88x/menit
RR: 20X/menit
Suhu : 38 C
d. Suhu : 37,5 ℃
Skala nyeri 6 dari 10
Hasil USG abdomen
terdapat inflamasi pada
area apendiks dan beresiko
perforasi
Klien terlihat masih
meringis
Klien sudah tidak selalu
memegangi perutnya
Klien menghabiskan 1
porsi makanan
A:
Sudah teratasi sebagian
P:
Intervensi Tetap
Dilanjutkan
Termoregulasi ( NOC, hal 564) 1. Pantau suhu dan tanda vital lainnya
Dependen :
NO Diagnosa Implementasi
2 Hipertermi berhubungan dengan penyakit - Perawatan demam
1. Memantau suhu dan tanda vital lainnya
2. Mendorong konsumsi cairan
3. Berkolaborasi pemberian obat antipiretik
-Pengaturan suhu
1.Memonitor tekanan darah, nadi dan
respirasi, sesuai kebutuhan(ttv)
2.Meningkatkan inntake cairan dan nutrisi
adekuat
3.Menggunakan matras pendingin, mandi air
hangat, kantong es atau bantalan jel, dan
katerisasi pendingin
intravaskular untuk menurunkan suhu tubuh,
sesuai kebutuhan
4. Menyesuaikan suhu lingkungan untuk
kebutuhan pasien
Evaluasi
1. S : klien mengatakan mulai merasa nyaman
TD : 120/70 mmHg
HR: 88x/menit
RR: 20X/menit
Suhu : 36,5 C
Diagnosa 3: Risiko Infeksi berhungan dengan Supresi Respon Inflamasi(inflamasi pda area
apendiks dan berisiko perforasi).
Analisis data
Implementasi
Evaluasi
NO. Evaluasi (SOAP)
dx
3 S:
1. Klien mengatakan merasa nyaman setelah linen diganti
2. Klien mengatakan sudah tidur selama 2 jam
3. Klien mengatakan sudah minum air putih sebanyak 2 gelas
4. Klien mengatakan berkeringat
O:
1. Tanda-tanda vital : TD : 120/80 mmHg, N: 80 x/m, RR: 18x/m, S: 37,5oC
2. Nyeri skala 6
3. Infus 14 tpm, dan alirannya lancar
4. Leukosit : 10.000/mm3
5. Klien meminum antibiotik dan paracetamol sesuai yang diresepkan
A:
- Masalah Risiko Infeksi berhubungan dengan Supresi Respon Inflamasi
(inflamasi pada area apendiks dan beresiko perforasi) sudah teratasi sebagian.
P:
1. Monitor tanda-tanda vital dan pengkajian nyeri
2. Monitor hasil laboratorium yang relevan (leukosit)
3. Tingkatkan intake nutrisi yang sesuai
4. Dorong intake cairan yang sesuai
5. Kolaborasi: berikan antibiotik yang sesuai
Apendisitis merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai factor pencetusnya, antara
lain sumbatan lumen apendiks, hyperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, cacing askaris,
erosi mukosa apendiks, pola makan serat rendah mengakibatkan konstipasi serta timbulnya
apendisitis. World Health Organization (WHO) menyatakan angka kematian akibat apendisitis di
dunia adalah 0,2-0,8%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui risiko usia, jenis kelamin, dan
pola makan dengan Kejadian Apendisitis di Bagian Rawat Inap Rumah Sakit Umum Anutapura
Palu. Jenis penelitian ini yaitu observasional analitik dengan pendekatan case control study.
Jumlah sampel sebesar 54 pasien apendisitis dan 108 pasien non apendisitis, diambil dengan
menggunakan teknik accidental sampling. Data dianalisis secara analisis univariat serta analisis
bivariat dengan menggunakan uji Odd Ratio (OR), pada taraf kepercayaan 95%. Hasil
penelitianmenunjukkan usia (OR = 4,717 padaCI 95% 2,331 - 9,545) dan pola makan (OR =
3,455 padaCI 95% 1,717 – 6,949) merupakan faktor risiko terhadap apendisitis dan jenis kelamin
(OR = 0,657 pada CI 95% 0,337 – 1,284) bukan merupakan risiko apendisitis. Disarankan
kepada masyarakat untuk menjaga pola makan serat mengingat apendisitis lebih berisiko pada
usia produktif. Sebagai pencegahan yang sangat efektif untuk mengurangi kasus apendisitis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 55 responden yang berusia 15 sampai 25 tahun,
terdapat 31 responden (57,4%) diantaranya mengalami kejadian apendisitis, sedangkan dari 107
responden yang berusia <15 tahun dan >25 tahun terdapat 23 responden (42,6%) yang
mengalami kejadian apendisitis. Diperoleh odds ratio (OR) dengan Confidence interval (CI) 95%
sebesar 2,331 - 9,545 , ini berarti bahwa pasien yang berusia 15 sampai 25 Tahun 4,717 kali
lebih besar untuk menderita Apendisitis di bandingkan pasien yang berusia <15 tahun dan >25
tahun.
masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini lebih banyak adalah pelajar dan
mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa banyak menghabiskan waktu di sekolah/di kampus sehingga
untuk asupan tiap jam istirahat hanya pada kantin di sekolah/di kampus. Kantin yang ada di
sekolah/di kampus lebih menjual makanan yang bersifat instan atau cepat saji, Hal inilah yang
apendisitis.Usia 15 – 25 tahun dalam penelitian ini memiliki pola asupan serat yang buruk. Hal
ini dipengaruhi oleh kurangnya konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan setiap hari. Sayur-
sayuran dan buah-buahanmerupakan sumber serat yang paling mudah didapatkan. Berdasarkan
hasil Penelitian ini menunjukan bahwa dari 55 responden yang berusia 15-25 tahun. Terdapat 31
responden (57,4%) yang menderita apendisitis. Penelitian ini menunjukan bahwa dari 55
responden yang berusia 15-25 tahun. Terdapat 24 responden (22,2 %) yang tidak menderita
apendisitis. Berdasarkan fakta di lapangan hal ini disebabkan pengetahuan responden yang baik
sehingga dapat menjaga asupan serat dan konsumsi air minum yang cukup tiap harinya sehingga
mengurangi risiko apendisitis. Penelitian ini menunjukan bahwa dari 107 responden yang berusia
<15 tahun dan >25 tahun. Terdapat 23 responden (42,6%) yang menderita apendisitis. Hal ini
dikarenakan apendisitis dapat terjadi pada semua umur. Pola asupan serat yang buruk juga
mempengaruhi terjadinya apendisitis pada usia <15 tahun dan >25 tahun.
yang berjenis kelamin perempuan, terdapat 34 responden (63,0%) yang mengalami kejadian
apendisitis. Hasil uji statistik faktor risiko jenis kelamin terhadap penyakit apendisitis yang
dilakukan di RSU Anutapura Palu tahun 2015, diperoleh odds ratio (OR) dengan Confidence
interval (CI) 95% sebesar 0,337 – 1,284, ini berarti bahwa pasien yang berjenis kelamin laki-
laki0,657 kali lebih besar untuk menderita Apendisitis dibandingkan pasien yang berjenis
kelamin perempuan.Karena nilai OR < 1, maka jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko
terhadap apendisitis. Hasil perhitungan nilai OR tersebut menunjukkan bahwa jenis kelamin
Penelitian ini menunjukan bahwa dari 71 responden dengan jenis kelamin laki-laki.
Terdapat 20 responden (37,0%) yang menderita apendisitis. Berdasarkan fakta di lapangan, Hal
ini dikarenakan laki-laki lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah untuk bekerja dan lebih
cenderung mengonsumsi makanan fast food dibandingkan dengan nasi dan sebagainya, karena
makanan fast food lebih gampang mereka dapatkan direstauran ataupun di pedagang kaki lima.
Makanan fast food merupakan jenis makanan yang cara pengolahannya tidak tepat, sehingga hal
ini dapat menyebabkan beberapa komplikasi atau obstruksi pada usus yang bisa menimbulkan
masalah pada sistem pencernaan salah satunya yaitu apendisitis. Pada jenis kelamin laki-laki
menurut data di lapangan mempunyai pola asupan serat yang buruk hal ini dikarenakan
dari 80 responden yang mempunyai pola makan baik, terdapat 16 responden (29,6%) yang
mengalami kejadian apendisitis. Hasil uji statistik faktor risiko pola makan terhadap penyakit
apendisitis di RSU Anutapura Palu tahun 2015, diperoleh odds ratio (OR) dengan Confidence
interval (CI) 95% sebesar 1,717 – 6,949, ini berarti bahwa pasien yang pola makannya
buruk3,455 kali lebih besar untuk menderita Apendisitis di bandingkan pasien yang pola
makannya baik. Hasil nilai OR > 1, maka pola makan merupakan faktor risiko terhadap
apendisitis.
Penelitian ini menunjukan bahwa dari 82 responden dengan pola makan buruk. Terdapat
38 responden (70,4 %) yang menderita apendisitis. Hal ini disebabkan bahwa pola makan
merupakan faktor risiko penyakit apendisitis. Pola makan makanan berserat merupakan
informasi mengenai jenis dan jumlah pangan berserat yang dikonsumsi seseorang atau
sekelompok orang pada waktu tertentu, sehingga penilaian konsumsi pangan berserat dapat
berdasarkan pada jumlah maupun jenis makanan berserat yang dikonsumsi. Makanan berserat
sangat dibutuhkan oleh tubuh dalam proses pencernaan. Kekurangan asupan serat dapat
2. Jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko terhadap apendisitis di RSU Anutapura Palu.
3. Pola makan merupakan faktor risiko terhadap apendisitis di RSU Anutapura Palu.
Saran Dari Penelitian :
1. Kepada masyarakat yang berusia 15-25 tahun untuk lebih menjaga dan memperbaiki asupan
2. Diharapkan kepada masyarakat yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan agar dapat
mengatur pola makan khususnya asupan serat, karena kejadian apendisitis dapat terjadi pada
sayuran dan buah-buahan merupakan makanan yang banyak mengandung serat sebagai