You are on page 1of 25

1.

Pengertian, Prevalensi/ Klasifikasi


Anisa Nurhazyima – 1710711025
A. Pengertian

Radang usus buntu atau apendisitis adalah peradangan usus buntu, sebuah organ yang
merupakan tabung sepanjang 1,5 cm membentang dari usus besar.

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab


abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer,
2000).

B. Prevalensi
1. Risiko Usia Terhadap Kejadian Apendisitis

Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 9 diperoleh data responden bahwa dari
54 responden yang mengalami kejadian apendisitis, 31 responden (57,4 %) yang berusia 15-
25 tahun dan 23 responden (42,6 %) berusia 25 tahun, sedangkan dari 108 responden yang
tidak apendisitis, terdapat 24 responden (22,2 %) yang berusia 15-25 tahun dan 84 responden
(77,8%) berusia 25 tahun. Berdasarkan hasil uji statistik didapat OR yaitu 4,717 pada CI 95%
2,331 - 9,545, artinya risiko usia 15-25 tahun yang menderita penyakit apendisitis sebesar
4,717 kali lebih besar dibandingkan dengan yang berusia 25 tahun dan bermakna secara
signifikan.

2. Risiko Jenis Kelamin Terhadap Kejadian Apendisitis

Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 10 diperoleh data responden bahwa dari
54 responden yang mengalami kejadian apendisitis, 20 responden (37,0 %) yang dengan jenis
kelamin laki-laki dan 34 responden (63,0 %) dengan jenis kelamin perempuan, sedangkan
dari 108 responden yang m tidak apendisitis, terdapat 51 responden (47,2 %) dengan jenis
kelamin laki-laki dan 57 responden (52,8%) bdengan jenis kelamin perempuan. Berdasarkan
hasil uji statistik didapat OR yaitu 0,657 pada CI 95% 0,337 – 1,284, artinya risiko
responden berjenis kelamin lakilaki menderita penyakit apendisitis sebesar 0,657 kali lebih
besar dibandingkan dengan responden berjenis kelamin perempuan dan secara signifikan
tidak bermakna

3. Risiko Pola Makan Terhadap Kejadian Apendisitis

Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 5.11 diperoleh data responden bahwa dari
54 responden yang mengalami kejadian apendisitis, 38 responden (70,4 %) yang mempunyai
pola makan buruk dan 16 responden (29,6 %) mempunyai pola makan baik, sedangkan dari
108 responden yang m tidak apendisitis, terdapat 44 responden (40,7 %) yang mempunyai
pola makan buruk dan 64 responden (59,3%) mempunyai pola makan baik. Berdasarkan hasil
uji statistik didapat OR yaitu 3,455 pada CI 95% 1,717 – 6,949, artinya risiko responden
yang mempunyai pola makan buruk untuk menderita penyakit apendisitis sebesar 3,455 kali
lebih besar dibandingkan dengan responden yang mempunyai pola makan baik dan bermakna
secara signifikan

C. Klasifikasi

Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain :

1. Apendisitis akut Adalah peradangan apendiks yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum pariental setempat sehingga menimbulkan rasa sakit di abdomen kanan
bawah.
2. Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler) terjadi bila apendisitis ganggrenosa di tutupi
pendinginan oleh omentum.
2. Etiologi dan Faktor Resiko
A. Etiologi
Obstruksi Lumen : Infeksi kuman dari
a. Hiperplasia dari folikel limfoid usus E.coli dan
cacing ascorosis
b. Fekolit (Feses yg keras) dalam
lumen APENDIKS
Infeksi kuman
c. Adanya benda asing (biji cabai).
E.coli

Reaksi antigen
dengan Ig A
Obstruksi (penyumbatan lumen apendiks)

Ig A gagal
Mukosa terbendung melawan
antigen kuman
Meningkatnya tekanan
intraluminal/dinding apendiks

Menghambat aliran limfe

Menurunnya suplai O2 ke sal.apendiks

Iskemia jaringan

Ulserasi (lesi), invasi (penyebaran) bakteri


pada dinding apendiks dan Nekrosis

APPENDISITIS
Apendisitis adalah peradangan usus buntu, sebuah organ yang merupakan tabung
sepanjang 1,5 cm membentang dari usus besar.

Apendisitis biasannya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia


folikel limfoid, fekalit, benda asing stiktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau
neoplasma.

Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.


Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan meningkat tersebut
akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri dan uulserasi
mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokat yang ditandai oleh nyeri epigastrium.

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan
nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini tersebut dengan apendisitis supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa . Bila dinding yang telah
rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
A. Faktor Resiko
Pola makan
Usia

Makanan
15-25 thn
rendah serat
(pelajar/mahasiswa)

Memengaruhi
Asupan tiap jam
pembentukan fekalit
istirahat rata-rata
dihabiskan dikantin

konstipasi

Makanan Instan

Obstruksi lumen apendiks

Kurang asupan
serat
↑ Sekresi Cairan & Lendir dari
Mukosa secara terus menerus
konstipasi

↑ Tekanan dalam lumen

Tekanan di
dalam rongga Bakteri lebih mudah berkembangbiak
usus meningkat

Bakteri/mikroorganisme di usus besar


bervariasi kedalam dinding apendiks
Sumbatan pada
saluran
apendiks

APPENDISITIS
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat
dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis. Konstipasi akan menaikkan
tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan flora normal kolon. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya
appendicitis. Diet memainkan peran utama pada pembentukan sifat feses, yang mana
penting pada pembentukan fekalit. Kejadian appendicitis jarang di negara yang sedang
berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan konsistensi feses.

3. Penatalaksanaan Medis

Sukmawati Dewi (1710711032)

Mutiara Zahira F (1710711107)

Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan


cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan
dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan.

Pada pasien yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan
laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan.

Menurut Arief Mansjoer (2000), penatalaksanaan apendisitis adalah sebagai berikut:

a. Observasi terhadap diagnosa

Pasien dibaringkan ditempat tidur dan tidak diberi apapun melalui mulut. Bila diperlukan
maka dapat diberikan cairan aperviteral. Pemeriksaan abdomen dan rektum, sel darah putih dan
hitung jenis diulangi secara periodik. Perlu dilakukan foto abdomen dan thoraks posisi tegak
pada semua kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas dari tanda lokalisasi kuadran kanan
bawah dalam waktu 24 jam setelah timbul gejala.

b. Intubasi

Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau toksitas yang
menandakan bahwa ileus pasca operatif yang sangat menggangu. Pada pasien ini dilakukan
aspirasi kubah lambung jika diperlukan. Pasien dibawa ke kamar operasi dengan pipa tetap
terpasang.
c. Antibiotik

Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik dengan toksitas yang
berat dan demam yang tinggi.

2. Terapi bedah

Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera setelah terkontrol


ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan gangguan sistematik lainnya. Biasanya hanya
diperlukan sedikit persiapan. Pembedahan yang direncanakan secara dini baik mempunyai praksi
mortalitas 1 % secara primer angka morbiditas dan mortalitas penyakit ini tampaknya
disebabkan oleh komplikasi ganggren dan perforasi yang terjadi akibat yang tertunda.

3.Terapi pasca operasi

Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan


didalam, syok hipertermia, atau gangguan pernapasan angket sonde lambung bila pasien telah
sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah.

Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak
terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada
perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian
berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan
harinya diberikan makan saring, dan hari berikutnya diberikan makanan lunak. Satu hari pasca
operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua
pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien
diperbolehkan pulang.

4. Pemeriksaan Penunjang

Stephanie Ester 1710711133


Ni Luh Gede Vidya Gayatri 1710711105

Jumlah WBC menunjukkan leukositosis sedang. Ketika tes jumlah leukosit diferensial
dilakukan, tes tersebut menunjukkan jumlah neutrofil imatur semakin meningkat, menunjukkan
semakin buruknya kondisi inflamasi. Dengan radang usus buntu, jumlah total sel darah putih
meningkat (10.000 hingga 20.000 / mm3), dengan peningkatan jumlah sel darah putih yang
belum matang (pita).

Abdominal ultrasound adalah tes yang paling efektif untuk mendiagnosis apendisitis
akut. Sensitivitas yang dilaporkan dalam diagnosis ultrasonografi apendisitis akut adalah sekitar
94−97% (Toorenvliet et al., 2010),computed tomography (CT) scan atau ultrasound perut
menunjukkan pembesaran di sekum. mengurangi kejadian pembedahan eksplorasi, dan sangat
berguna pada orang dengan gejala atipikal, seperti wanita hamil, anak-anak dan orang dewasa
yang lebih tua. Tes diagnostik lain yang digunakan untuk secara akurat mendiagnosis appen-
dicitis termasuk rontgen perut, pielogram intravena, urinalisis, dan pemeriksaan panggul.

Tes kehamilan dapat dilakukan untuk wanita usia subur untuk menyingkirkan kehamilan
ektopik dan sebelum rontgen diperoleh. Laparoskopi diagnostik dapat digunakan untuk
menyingkirkan apendisitis akut pada kasus samar-samar.

5. Komplikasi

Nenden Purwaningsih 1710711017

Mustika Widiyastuti 1710711026

Putri Widyawati 1710711091

Adapun jenis komplikasi diantaranya:

1. Perforasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks / perforasi usus. Perforasi adalah
pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga perut.
Drainase bedah dan antibiotik diperlukan jika perforasi terjadi. Perforasi apendiks /
perforasi usus dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi
adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi
secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu
37,7O C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang
kontinyu (Smeltzer dan Barre, 2002).

2. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak dikuadran
kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang
menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau
mikroperforasi ditutupi oleh omentum

3. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat
terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan perit
oneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut
yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis
6. Asuhan Keperawatan Apendisitis

Pengkajian

a. Identitas Klien
Data diri klien meliputi : nama, umur, pekerjaan, pendidikan, alamat, dan lain – lain
b. Riwayat Kesehatan :
1. Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal kronik, diabetes mellitus, dan
lain-lain.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan yang dirasakan saat ini yaitu: nyeri abdomen berat, muntah, dan lain-lain.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Adanya riwayat keluarga yang pernah atau sedang menderita diabetes mellitus,
hipertensi, penyakit jantung, dan penyakit menular.
c. Pola Aktifitas Sehari-Hari
1. Makan dan minum, meliputi :
Komposisi makanan dan minuman, frekuensi makan dan minum, baik sebelum
dirawat.
2. Eliminasi, meliputi :
Pola eliminasi (BAK) dan defekasi (BAB), jumlah, warna, serta konsistensinya.
3. Istirahat atau tidur meliputi :
Gangguan pola tidur karena nyeri abdomen yang berat.
4. Personal hygiene meliputi :
Pola atau frekuensi mandi, menggosok gigi, keramas, baik sebelum dan selama
dirawat.
d. Pemeriksaan Fisik
 Adakah nyeri lepas tekan (nyeri setelah palpasi dalam pada perut dilepaskan)
 Adanya peritonitis
 Pemeriksaan tanda-tanda vital
e. Data Laboratorium

Diagnosa 1 : Nyeri Akut berhubungan dengan Agen Cedera Biologis : Inflamasi

Analisa Data

Data Masalah Keperawatan Etiologi


DS : Nyeri Akut Agen Cedera Biologis
 Klien mengatakan nyeri pada ditandai dengan : Inflamasi
bagian kanan bawah perut  Ekspresi wajah nyeri
 Klien mengatakan karena  Keluhan intensitas
nyeri perut yang dialaminya, menggunakan standar
ia tidak bisa bekerja, sulit skala nyeri (skala
tidur, dan tidak dapat penilaian numerik)
melakukan aktivitas seperti  Laporan tentang
sebelumnya perilaku nyeri
 Sikap melindungi
DO :
 TTV :
a. TD : 120/70 mmHg
b. N : 88 ×/m
c. RR : 20 ×/m
d. Suhu : 38 ℃
 Skala nyeri 8 dari 10
 Hasil USG abdomen terdapat
inflamasi pada area apendiks
dan beresiko perforasi
 Klien terlihat meringis dan
selalu memegangi perutnya

DT :
 Klien tidak menghabiskan
makanannya, hanya makan
nasi setengah porsi.
 Klien didiagnosis apendisitis

Intervensi Keperawatan

DX Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)


Domain 12. 1. Kontrol Nyeri (247: 1605) 1. Manajemen Nyeri (198: 1400)
Kenyamanan.  Menggunakan tindakan  Lakukan pengkajian nyeri
Nyeri Akut pengurangan nyeri tanpa komprehensif yang meliputi
(00132) analgesik (setiap nyeri lokasi (abdomen kuadran
berhubungan datang) kanan bawah), durasi nyeri (1
dengan Agen  Menggunakan analgesik – 2 hari), kualitas (tertusuk),
Cedera Biologis : yang direkomendasikan frekuensi (terus menerus)
Inflamasi (sesuai resep dokter dan R/ Mengetahui apakah ada
patuh minum obat) penurunan nyeri atau
 Melaporkan gejala yang keparahan nyeri yang
tidak terkontrol pada kemungkinan keadaan usus
profesional kesehatan semakin parah
(setiap gejala nyeri yang  Gali bersama pasien faktor-
datang semakin parah) faktor yang dapat menurunkan
2. Tingkat Nyeri (577: 2102) (keadaan duduk atau
 Nyeri yang dilaporkan memegangi perut) atau
berkurang (nyeri dari memperberat nyeri (keadaan
skala 8 menjadi skala 5 berdiri)
dari 10) R/ Klien dapat melakukan
 Ekspresi nyeri wajah penanggulangan dan
(tidak meringis kembali) pencegahan dini secara mandiri
 Tidak bisa beristirahat jika terjadi nyeri
(klien dapat tidur dengan  Berikan informasi mengenai
mudah) nyeri, seperti penyebab nyeri
 Kehilangan nafsu makan (peradangan pada usus buntu),
(klien menghabiskan 1 lama nyeri (2-3 hari jika
porsi makan) semakin parah kondisinya dan
3. Nafsu Makan (319: 1014) harus dilakukan operasi
 Hasrat/keinginan untuk secepatnya)
makan tidak terganggu R/ Klien memiliki antisipasi
(klien dapat menghabiskan terhadap kemungkinan akan
1 porsi makanan) terjadi
4. Status Kenyamanan (528:  Kendalikan faktor lingkungan
2008) yang dapat mempengaruhi
 Kesejahteraan fisik (nyeri respon pasien terhadap
di perut klien berkurang ketidaknyamanan (suhu,
dari skala 8 menjadi skala pencahayaan, dan suara bising)
5) R/ Agar klien tidak sulit untuk
 Kesejahteraan psikologis tidur, dan memperparah
(tidak mengganggu tidur keadaan nyeri
klien)  Ajarkan penggunaan tenik non
 Kesejahteraan spiritual farmakologi (relaksasi nafas
(klien dapat melakukan dalam)
ibadah tanpa ada rasa R/ Klien dapat mengurangi
nyeri) nyeri secara mandiri
5. Tingkat Ketidaknyamanan  Dorong pasien untuk
(576: 2109) memonitor dan menangani
 Nyeri (berkurang dari nyeri dengan tepat (relaksasi
skala 8 menjadi 5 dan nafas dalam dan makan secara
dapat beraktifitas seperti perlahan)
semula) R/ Nyeri yang klien rasakan
 Tidak dapat beristirahat dapat dikontrol dan tidak
(klien dapat tidur dengan mengganggu pola makan klien)
mudah)  Berikan individu penurunan
 Meringis (tidak ada) nyeri yang optimal dengan
pemberian analgesik
 Posisi tubuh yang buruk
R/ Antisipasi nyeri dalam
(klien tidak selalu
keadaan maksimal
memegangi perut)
2. Pemberian Obat
 Kehilangan nafsu makan
(dapat menghabiskan 1  Pertahankan aturan dan
prosedur yang sesuai dengan
porsi makanan)
keakuratan dan keamanan
pemberian obat-obatan (obat
diminum sebelum atau sesudah
makan)
 Ikuti prosedur 5 benar dalam
pemberian obat (1. Benar
Pasien, 2. Benar Obat :
antibiotik gentamisin, 3. Benar
Rute : IV/IM, 4. Benar Dosis :
7,5 mg/kgBB/dosis sehari
sekali, 5. Benar Waktu)
 Monitor kemungkinan alergi
terhadap obat, interaksi dan
kontraindikasi (gatal-gatal, dll)
R/ Agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan
3. Manajemen Lingkungan:
Kenyamanan (192 : 6482)
 Cepat bertindak jika terdapat
panggilan bel, yang harus
selalu dalam jangkauan
R/ Agar dapat penanganan
lebih cepat dan tidak terjadi hal
yang tidak diinginkan
 Hindari gangguan yang tidak
perlu dan berikan waktu
istirahat
R/ Agar klien memiliki waktu
istirahat yang
cukup,dikarenakan klien sulit
tidur
 Ciptakan lingkungan yang
tenang dan mendukung serta
aman dan bersih
R/ Dapat meningkatkan
efektifitas tidur klien serta
nafsu makan klien

Implementasi

No. Hari, Tanggal dan Diagnosa Implementasi Paraf


Waktu Keperawatan
1. Rabu, 27 Februari Domain 12. 1. Monitor efektifitas tidur
2019, 07.00 WIB Kenyamanan. klien semalam
Nyeri Akut (00132) 2. Atur lingkungan (suhu,
berhubungan dengan pencahayaan, kebersihan
Agen Cedera dll) sesuai dengan
Biologis : Inflamasi kebutuhan klien
3. Pengkajian ulang nyeri
dengan nyeri lepas tekan
(nyeri setelah palpasi
dalam pada perut
dilepaskan) serta skala
penilaian numerik
4. Beri informasi tentang
penyebab nyeri yang
dikarenakan adanya
peradangan pada usus
buntu klien. Serta
beritahu cara
menyembuhkannya,
yaitu dengan operasi cito
5. Ajarkan teknik relaksasi
nafas dalam untuk
mengurangi nyeri yang
ada.
1. Berikan analgesik dan
08.00 WIB obat pada klien

Evaluasi

No. Hari, Tanggal dan Diagnosa Catatan Perkembangan Paraf


Waktu Keperawatan
1. Rabu, 27 Februari Domain 12. DS :
2019, 14.00 WIB Kenyamanan.  Klien mengatakan nyeri
Nyeri Akut pada bagian kanan bawah
(00132) perut
berhubungan  Klien mengatakan karena
dengan Agen nyeri perut yang
Cedera Biologis : dialaminya, ia tidak bisa
Inflamasi bekerja, dan melakukan
aktivitas seperti
sebelumnya
 Klien mengatakan bisa
tidur jika sudah minum
obat (selama 2 jam)
DO :
 TTV :
a. TD : 120/80 mmHg
b. N : 80 ×/m
c. RR : 18 ×/m
Data Masalah Etiologi

DS: klien mengeluh demam Hipertermi Penyakit

DO:

TD : 120/70 mmHg

HR: 88x/menit

RR: 20X/menit

Suhu : 38 C

d. Suhu : 37,5 ℃
 Skala nyeri 6 dari 10
 Hasil USG abdomen
terdapat inflamasi pada
area apendiks dan beresiko
perforasi
 Klien terlihat masih
meringis
 Klien sudah tidak selalu
memegangi perutnya
 Klien menghabiskan 1
porsi makanan
A:
Sudah teratasi sebagian
P:
 Intervensi Tetap
Dilanjutkan

Diagnosa 2 : Hipertermi berhubungan dengan Penyakit

NO. Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


2. Noc : Nic :

Setelah dilakukan tindakan Perawatan Demam (NIC, hal 355)


keperawatan masalah hipertermi dapat
teratasi dengan kriteria hasil : Independen :

Termoregulasi ( NOC, hal 564) 1. Pantau suhu dan tanda vital lainnya

- suhu kulit normal (36,5 - 37,2 C) R/ ttv merupakan indikator untuk


menggambarkan status kesehatan klien

2. Dorong konsumsi cairan

R/ mempertahankan keseimbangan cairan tubuh


dan mengganti cairan yang hilang akibat
hipertermi

Dependen :

1. Kolaborasi pemberian obat antipiretik

R/ Pemberian obat ini unuk mempercepaproses


penyembuhan dan cepat menurunkan demam.

NO Diagnosa Implementasi
2 Hipertermi berhubungan dengan penyakit - Perawatan demam
1. Memantau suhu dan tanda vital lainnya
2. Mendorong konsumsi cairan
3. Berkolaborasi pemberian obat antipiretik
-Pengaturan suhu
1.Memonitor tekanan darah, nadi dan
respirasi, sesuai kebutuhan(ttv)
2.Meningkatkan inntake cairan dan nutrisi
adekuat
3.Menggunakan matras pendingin, mandi air
hangat, kantong es atau bantalan jel, dan
katerisasi pendingin
intravaskular untuk menurunkan suhu tubuh,
sesuai kebutuhan
4. Menyesuaikan suhu lingkungan untuk
kebutuhan pasien

Evaluasi
1. S : klien mengatakan mulai merasa nyaman

Klien Mengatakan sudah minum air putih sebanyak 2 gelas

2. O : tanda vital klien :

TD : 120/70 mmHg

HR: 88x/menit

RR: 20X/menit

Suhu : 36,5 C

Klien mau meminum obat paracetamol sesuai yang dianjurkan

3. A : Hipertermi berhubungan dengan penyakit teratasi

4. P : intervensi dilanjutkan (monitor tanda vital klien)

Diagnosa 3: Risiko Infeksi berhungan dengan Supresi Respon Inflamasi(inflamasi pda area
apendiks dan berisiko perforasi).

Analisis data

No. Data Fokus Masalah Keperawatan Etiologi


Dx
3 Data subjektif : Risiko Infeksi Supresi respon
1. Klien mengeluh demam inflamasi (inflamasi
Data objektif : pada area apendiks
1. Suhu : 38oC dan berisiko
2. TD : 120/70 mmHg perforasi).
3. Nadi : 88 x/m
4. RR : 20 x/m
5. Hasil USG abdomen
terdapat inflamasi pada
area apendiks dab
berisiko perforasi
6. Leukosit meningkat

Intervensi dan kriteria hasil


Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Setelah dilakukan Kontrol infeksi: Kontrol infeksi:
tindakan keperawatan 1. Bersihkan lingkungan 1. Agar tetap bersih dan
selama 1x24 jam, masalah dengan baik setelah rapi sehingga pasien
risiko infeksi pada klien digunakan untuk setiap merasa nyaman.
dapat teratasi dibuktikan pasien 2. Untuk mencegah risiko
oleh klien menunjukkan: 2. Ganti peralatan perawatan terjadinya infeksi
1. Leukosit normal per pasien sesuai protokol 3. Untuk mencegah risiko
(4000-10000/mm3) institusi terjadinya infeksi
2. Suhu normal ( 3. Anjurkan pasien dan 4. Untuk mengurangi nyeri
36,5-37,5oC) pengunjung mengenai pada area yang terinfeksi
3. Tidak ada demam teknik mencuci tangan 5. Guna mencegah infeksi
4. Tidak ada nyeri dengan tepat nosokomial
4. Cuci tangan sebelum dan 6. Karena antibiotik harus
sesudah kegiatan perawatan diminum secara teratur
5. Dorong untuk beristirahat 7. Kolaborasi:
6. Anjurkan pasien untuk - Untuk melawan
meminum antibiotik seperti infeksi pada
yang diresepkan pasien
7. Kolaborasi: - Untuk
 Berikan terapi mengetahui
antibiotik yang bagaimana
sesuai perubahan
 Monitor hasil leukosit, infeksi
laboratorium yang menyebabkan
relevan (leukosit) leukosit tinggi
Manajemen elektrolit dan cairan Manajemen elektrolit dan cairan
1. Monitor tanda-tanda vital 1. Untuk menilai kemajuan
dan pengkajian nyeri penyakit menuju
2. Tingkatkan intake/asupan pemulihan
cairan per oral 2. Untuk mengatasi demam
3. Tingkatkan intake nutrisi 3. Untuk meningkatkan
yang tepat imunitas tubuh kita
4. Monitor kehilangan cairan 4. Untuk mengetahui
(keringat, muntah) adanya output yang
5. Jaga infus intravena yang berlebihan
tepat 5. Agar infus intravena
6. Jaga pencatatan intake dan tidak tersumbat dan
output yang akurat alirannya lancar, serta
7. Kolaborasi: agar tetesannya tepat
 Berikan infus 6. Untuk mengetahui intake
intravena yang dan output sehingga bisa
sesuai mengukur keseimbangan
cairan
7. Kolaborasi:
- Untuk
mengurangi
dehidrasi
- Untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi
dan elektrolit
pasien

Implementasi

Hari/ No Tindakan Hasil


Tanggal
Jam
Rabu, 27-2-
19
07.30 1 Memonitor tanda-tanda vital dan mengkaji nyeri TD: 120/80 mmHg, N: 80
x/m, RR: 18 x/m, S:
37,5oC, nyeri skala 6
08.00 2 -Membersihkan lingkungan dengan baik setelah Mengganti linen di bed
digunakan pasien pasien dengan yang baru,
-Mencuci tangan sebelum dan sesudah tindakan perawat mencuci tangan
sebelumd an sesudai
mengganti linen pasien
08.30 3 Menjaga infus intravea yang tepat Infus 14 tpm, aliran infus
lancar dan tidak ada
sumbatan pada selang
09.00 4 Meningkatkan intake cairan dan nutrisi yang tepat Klien makan ½ porsi dan
sudah minum air putih
sebanyak 2 gelas
09.30 5 Mendorong klien untuk beristirhat Klien tidur selama 2 jm
karena tadi malam sulit
tidur
11.30 6 -Memberikan terapi obat yang sesuai Memberikan klien
-Menganjurkan pasien agar minum antibiotik antibiotik dan paracetamol,
sesuai yang diresepkan klien meminum obat yang
diberikan
12.30 7 Memonitor hasil laboratoriu yang relevan Leukosit : 10.000/mm3
13.30 8 Memonitor kehilangan cairan Klien berkeringat

Evaluasi
NO. Evaluasi (SOAP)
dx
3 S:
1. Klien mengatakan merasa nyaman setelah linen diganti
2. Klien mengatakan sudah tidur selama 2 jam
3. Klien mengatakan sudah minum air putih sebanyak 2 gelas
4. Klien mengatakan berkeringat
O:
1. Tanda-tanda vital : TD : 120/80 mmHg, N: 80 x/m, RR: 18x/m, S: 37,5oC
2. Nyeri skala 6
3. Infus 14 tpm, dan alirannya lancar
4. Leukosit : 10.000/mm3
5. Klien meminum antibiotik dan paracetamol sesuai yang diresepkan
A:
- Masalah Risiko Infeksi berhubungan dengan Supresi Respon Inflamasi
(inflamasi pada area apendiks dan beresiko perforasi) sudah teratasi sebagian.
P:
1. Monitor tanda-tanda vital dan pengkajian nyeri
2. Monitor hasil laboratorium yang relevan (leukosit)
3. Tingkatkan intake nutrisi yang sesuai
4. Dorong intake cairan yang sesuai
5. Kolaborasi: berikan antibiotik yang sesuai

7. Hasil Penelitian Apendisitis

Sitti Latifah Faradiba Suaidy 1710711003

Husna Maharani 1710711078

FAKTOR RISIKO KEJADIAN APENDISITIS DI BAGIAN RAWAT INAP

RUMAH SAKIT UMUM ANUTAPURA PALU

Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan

Universitas Tadulako, Jl. Soekarno Hatta KM 9, Palu, 94116, Indonesia


ABSTRAK

Apendisitis merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai factor pencetusnya, antara

lain sumbatan lumen apendiks, hyperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, cacing askaris,

erosi mukosa apendiks, pola makan serat rendah mengakibatkan konstipasi serta timbulnya

apendisitis. World Health Organization (WHO) menyatakan angka kematian akibat apendisitis di

dunia adalah 0,2-0,8%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui risiko usia, jenis kelamin, dan

pola makan dengan Kejadian Apendisitis di Bagian Rawat Inap Rumah Sakit Umum Anutapura

Palu. Jenis penelitian ini yaitu observasional analitik dengan pendekatan case control study.

Jumlah sampel sebesar 54 pasien apendisitis dan 108 pasien non apendisitis, diambil dengan

menggunakan teknik accidental sampling. Data dianalisis secara analisis univariat serta analisis

bivariat dengan menggunakan uji Odd Ratio (OR), pada taraf kepercayaan 95%. Hasil

penelitianmenunjukkan usia (OR = 4,717 padaCI 95% 2,331 - 9,545) dan pola makan (OR =

3,455 padaCI 95% 1,717 – 6,949) merupakan faktor risiko terhadap apendisitis dan jenis kelamin

(OR = 0,657 pada CI 95% 0,337 – 1,284) bukan merupakan risiko apendisitis. Disarankan

kepada masyarakat untuk menjaga pola makan serat mengingat apendisitis lebih berisiko pada

usia produktif. Sebagai pencegahan yang sangat efektif untuk mengurangi kasus apendisitis.

Faktor Risiko Usia Terhadap Kejadian Apendisitis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 55 responden yang berusia 15 sampai 25 tahun,

terdapat 31 responden (57,4%) diantaranya mengalami kejadian apendisitis, sedangkan dari 107

responden yang berusia <15 tahun dan >25 tahun terdapat 23 responden (42,6%) yang

mengalami kejadian apendisitis. Diperoleh odds ratio (OR) dengan Confidence interval (CI) 95%

sebesar 2,331 - 9,545 , ini berarti bahwa pasien yang berusia 15 sampai 25 Tahun 4,717 kali
lebih besar untuk menderita Apendisitis di bandingkan pasien yang berusia <15 tahun dan >25

tahun.

Berdasarkan hasil di lapangan saat penelitian didapatkan bahwa tingkat pekerjaan

masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini lebih banyak adalah pelajar dan

mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa banyak menghabiskan waktu di sekolah/di kampus sehingga

untuk asupan tiap jam istirahat hanya pada kantin di sekolah/di kampus. Kantin yang ada di

sekolah/di kampus lebih menjual makanan yang bersifat instan atau cepat saji, Hal inilah yang

menyebabkan kurangnya mengkonsumsi makanan berserat yang berisiko terhadap

apendisitis.Usia 15 – 25 tahun dalam penelitian ini memiliki pola asupan serat yang buruk. Hal

ini dipengaruhi oleh kurangnya konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan setiap hari. Sayur-

sayuran dan buah-buahanmerupakan sumber serat yang paling mudah didapatkan. Berdasarkan

hasil Penelitian ini menunjukan bahwa dari 55 responden yang berusia 15-25 tahun. Terdapat 31

responden (57,4%) yang menderita apendisitis. Penelitian ini menunjukan bahwa dari 55

responden yang berusia 15-25 tahun. Terdapat 24 responden (22,2 %) yang tidak menderita

apendisitis. Berdasarkan fakta di lapangan hal ini disebabkan pengetahuan responden yang baik

sehingga dapat menjaga asupan serat dan konsumsi air minum yang cukup tiap harinya sehingga

mengurangi risiko apendisitis. Penelitian ini menunjukan bahwa dari 107 responden yang berusia

<15 tahun dan >25 tahun. Terdapat 23 responden (42,6%) yang menderita apendisitis. Hal ini

dikarenakan apendisitis dapat terjadi pada semua umur. Pola asupan serat yang buruk juga

mempengaruhi terjadinya apendisitis pada usia <15 tahun dan >25 tahun.

Faktor Risiko Jenis Kelamin Terhadap Kejadian Apendisitis


Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 71 responden yang berjenis kelamin laki-laki, terdapat

20 responden (37,0%) diantaranya mengalami kejadian apendisitis, sedangkan dari 91 responden

yang berjenis kelamin perempuan, terdapat 34 responden (63,0%) yang mengalami kejadian

apendisitis. Hasil uji statistik faktor risiko jenis kelamin terhadap penyakit apendisitis yang

dilakukan di RSU Anutapura Palu tahun 2015, diperoleh odds ratio (OR) dengan Confidence

interval (CI) 95% sebesar 0,337 – 1,284, ini berarti bahwa pasien yang berjenis kelamin laki-

laki0,657 kali lebih besar untuk menderita Apendisitis dibandingkan pasien yang berjenis

kelamin perempuan.Karena nilai OR < 1, maka jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko

terhadap apendisitis. Hasil perhitungan nilai OR tersebut menunjukkan bahwa jenis kelamin

bukan merupakan faktor risiko terhadap apendisitis.

Penelitian ini menunjukan bahwa dari 71 responden dengan jenis kelamin laki-laki.

Terdapat 20 responden (37,0%) yang menderita apendisitis. Berdasarkan fakta di lapangan, Hal

ini dikarenakan laki-laki lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah untuk bekerja dan lebih

cenderung mengonsumsi makanan fast food dibandingkan dengan nasi dan sebagainya, karena

makanan fast food lebih gampang mereka dapatkan direstauran ataupun di pedagang kaki lima.

Makanan fast food merupakan jenis makanan yang cara pengolahannya tidak tepat, sehingga hal

ini dapat menyebabkan beberapa komplikasi atau obstruksi pada usus yang bisa menimbulkan

masalah pada sistem pencernaan salah satunya yaitu apendisitis. Pada jenis kelamin laki-laki

menurut data di lapangan mempunyai pola asupan serat yang buruk hal ini dikarenakan

kurangnya konsumsi sayur sayuran dan buah-buahan setiap hari.

Faktor Risiko Pola Makan Terhadap Kejadian Apendisitis


Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 82 responden yang mempunyai pola makan

buruk, terdapat 38 responden (70,4%) diantaranya mengalami kejadian apendisitis, sedangkan

dari 80 responden yang mempunyai pola makan baik, terdapat 16 responden (29,6%) yang

mengalami kejadian apendisitis. Hasil uji statistik faktor risiko pola makan terhadap penyakit

apendisitis di RSU Anutapura Palu tahun 2015, diperoleh odds ratio (OR) dengan Confidence

interval (CI) 95% sebesar 1,717 – 6,949, ini berarti bahwa pasien yang pola makannya

buruk3,455 kali lebih besar untuk menderita Apendisitis di bandingkan pasien yang pola

makannya baik. Hasil nilai OR > 1, maka pola makan merupakan faktor risiko terhadap

apendisitis.

Penelitian ini menunjukan bahwa dari 82 responden dengan pola makan buruk. Terdapat

38 responden (70,4 %) yang menderita apendisitis. Hal ini disebabkan bahwa pola makan

merupakan faktor risiko penyakit apendisitis. Pola makan makanan berserat merupakan

informasi mengenai jenis dan jumlah pangan berserat yang dikonsumsi seseorang atau

sekelompok orang pada waktu tertentu, sehingga penilaian konsumsi pangan berserat dapat

berdasarkan pada jumlah maupun jenis makanan berserat yang dikonsumsi. Makanan berserat

sangat dibutuhkan oleh tubuh dalam proses pencernaan. Kekurangan asupan serat dapat

mengakibatkan konstipasi. Konstipasi sangat tinggi berisiko menyebabkan penyumbatan pada

saluran appendiks, sehingga dapat menimbulkan penyakit apendisitis.

Kesimpulan Dari Penelitian:

1. Usia merupakan faktor risiko terhadap apendisitis di RSU Anutapura Palu.

2. Jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko terhadap apendisitis di RSU Anutapura Palu.

3. Pola makan merupakan faktor risiko terhadap apendisitis di RSU Anutapura Palu.
Saran Dari Penelitian :

1. Kepada masyarakat yang berusia 15-25 tahun untuk lebih menjaga dan memperbaiki asupan

seratnya. Karena usia 15-25 tahun lebih berisiko menderita apendisitis.

2. Diharapkan kepada masyarakat yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan agar dapat

mengatur pola makan khususnya asupan serat, karena kejadian apendisitis dapat terjadi pada

laklaki maupun perempuan.

3. Sebaiknya masyarakat lebih banyak mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan. Karena

sayuran dan buah-buahan merupakan makanan yang banyak mengandung serat sebagai

pencegahan terhadap apendisitis.

You might also like